Makna Hari Kiamat

BOOK ID

سرشناسه : جوادی آملی، عبدالله، 1312 -

عنوان و نام پدیدآور : Makna Hari Kiamat Dalam Al-Qu’ran: perspektif agama, falsafah, dan irfan/ Jawadi Amuli; penterjemah Muhammad Abdul Qadir Alkaf, Miqdad Turkan.

مشخصات نشر : Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری : 374ص.؛ 5/14×5/21 س م.

فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/259/166. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 5.

شابک : 175000ریال 978-964-195-029-5 :

وضعیت فهرست نویسی : فاپا

یادداشت : اندونزیایی.

یادداشت : این کتاب ترجمه جلد4 و 5 به نام معاد در قرآن از کتاب تفسیر موضوعی قرآن کریم است.

موضوع : معاد -- جنبه های قرآنی

شناسه افزوده : الکاف، محمد، مترجم

شناسه افزوده : Alkaff, Muhammad

شناسه افزوده : ترکان، مقداد، مترجم

شناسه افزوده : Turkan, Miqdad

رده بندی کنگره : BP104 /م57 ج9 1393

رده بندی دیویی : 297/159

شماره کتابشناسی ملی : 3649485

p:1

Point

p:2

Ayatullah Jawadi Amuli

pusat penerbitan dan

penerjemahan internasional al Musthafa

penerjemah:

Muhammad Abdul Qadir Alkaf

Miqdad Turkan

Makna Hari Kiamat Dalam Al-Qu’ran

perspektif agama, falsafah, dan irfan

Makna Hari Kiamat Dalam Al-Qur’an Perspektif Agama, Falsafah, Dan

Irfan

penulis: Ayatullah Jawadi Amuli

penerjemah: Muhammad Abdul Qadir Alkaf, Miqdad Turkan

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-029-5

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

p:3

Stores:

IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

مؤلف: آیت الله عبدالله جوادی آملی

مترجم: محمد عبدالغدیر الکاف، مقداد ترکان

چاپ اول: 13 93 ش / 2014 م

چاپخانه: نارنجستان

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم

تیراژ: 300

قیمت: 175000 ریال

معاد در قرآن

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

p:4

PEDOMAN TRANSLITERASL ARAB

p:5

PEDOMAN TRANSLITERASL PERSIA

p:6

Pengantar Penerbit

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Al-Allamah asy-Syaikh Abdul Jawadi Amuli termasuk salah seorang

ustaz Hauzah ‘Ilmiyah yang paling menonjol di bidang tafsir, falsafah, dan

‘irfan di Qum. Beliau mengajar ilmu-ilmu ini sejak beberapa tahun dan

majelis taklimnya diikuti oleh banyak pelajar. Banyak sekali kitab-kitabnya

yang telah dicetak yang bertemakan Al-Qur’an, falsafah, atau pemikiran

umum. Sebagian besar kitab-kitab tersebut berkaitan dengan ceramahceramah

yang disampaikannya kepada murid-muridnya atau dalam

kesempatan-kesempatan umum. Sebagian lainnya adalah karya tulisnya

sendiri. Salah satu kitab itu berisi pelbagai topik Al-Qur’an yang terdiri atas

lebih dari sepuluh juz yang disampaikannya pada saat ceramah di televisi,

yang kemudian dicetak menjadi kitab.

Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan salah satu bagian

dari ceramah-ceramah tersebut yang terdiri atas dua puluh lima ceramah.

Sebagian besar berfokus pada masalah Hari Kemudian (Ma‘ad), di

samping ada cuplikan-cuplikan beberapa masalah yang lain. Kami telah

menerjemahkannya ke bahasa Arab dari cetakan bahasa Persia. Kami sama

sekali tidak membuang salah satu paragrafnya yang masih berhubungan

dengan tema yang ditampilkan. Bahkan, kurang lebih kami tetap

membiarkan teks sesuai dengan bentuk harfiahnya dan urutannya secara

utuh. Usaha kami ini dalam rangka menonjolkan makna dengan pengertian

yang sebenarnya tanpa melen ceng atau melanggar metode kitab dan lafallafalnya.

Harapan kami, mudah-mudahan kami tepat dalam menghadirkan teks

p:viii

p:7

ini ke hadapan pembaca yang menguasai bahasa Arab, sehingga mampu

memanfaatkannya untuk mengenal topik-topik yang tersaji di dalamnya

dan pemikiran pengarang serta jalannya.

Segala puji bagi Allah, Tuhan Pengatur Alam Semesta.

Dar ash-Shafwah

p:ix

p:8

Daftar Isi

Pengantar Penerbit ix

Pelajaran I

Keyakinan terhadap Asal-Muasal(Mabda’), Hari Kemudian, dan

Argumentasinya 1

Derajat-derajat Tauhid 4

Tauhid ‘ibadi dan Argumentasi Gerakan (Burhanul Harakah) 4

Bagian-bagian Gerakan 5

Gerakan dalam jiwa manusia 15

Pelajaran I I

Wahyu Samawi dan Jalan-jalan Pemikiran dalam Pandangan Falsafah

Dunia 17

Pelajaran I I I

Ilmu dan Makrifat adalah Lahan Kecintaan (Tawalli) dan

Kebencian(Tabarri) 33

Pelajaran IV

Cinta, Jalan Allah, dan Caranya 49

Pelajaran V

Pelbagai Jalan Untuk Mengenal Allah dalam Pandangan Al-Qur’an 67

p:x

p:9

Pelajaran VI

Kehidupan dan Kematian adalah Salah Satu Dalil Tauhid 83

Pelajaran VII

Al-Qur’an Al-Karim sebagai Sebab Tawalli Dan Tabarri yang Terpenting

99

Pelajaran VIII

Al-Qur’an adalah Sarana Satu-satunya untuk Mencapai Maqâm Orangorang

Saleh 113

Pelajaran IX

Allah adalah Sebab Utama dari Seluruh Wujud 127

Pelajaran X

Allah SWT Pembimbing Setiap Gerakan 141

Pelajaran XI

Mengenal Tolok Ukur Akhlak 157

Pelajaran XII

Kiamat Hari Penyingkapan Kebenaran(Al-Haq) 171

Pelajaran XI I I

Barzakh, Ruh yang Immateri, dan Perubahan, serta Ketetapan 185

Pelajaran XIV

Mengenal Jalan Makrifat dan Jalan Takwa 199

Pelajaran XV

Takwa adalah Dasar Pandangan Internal terhadap Dunia 215

Pelajaran XVI

Argumentasi Hari Kemudian dan Pentingnya Keyakinan tentangnya 231

Pelajaran XVI I

Kiamat Penutup Segala Bentuk Perselisihan dan Kebatilan 247

Pelajaran XVI I I

Tujuan Penciptaan 263

p:xi

p:10

Pelajaran XIX

Ma’ad Berdasarkan Keadilan Ilahi 277

Pelajaran XX

Perlunya Ma’ad dari Sisi Pandang Gerakan Kesempurnaan Alam 291

Pelajaran XXI

Pentingnya Ma’ad dari Sisi Hikmah Pemikiran 305

Pelajaran XXI I

Para Nabi adalah Saksi Perbuatan Setiap Umat 319

Pelajaran XXI I I

Jalan Menuju Kesaksian Amal 331

Pelajaran XXIV

Kelebihan-Kelebihan Nabi yang Termulia 345

Pelajaran XXV

Keislaman Nabi Menurut Pandangan Teoretis dan Praktis 359

Indeks 373

p:xii

p:11

p:12

Pelajaran I

Keyakinan terhadap Asal-Muasal (Mabda')

Point

Asal-Muasal(Mabda’),

Hari Kemudian, dan

Argumentasinya

p:1

p:2

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Dari pelajaran terdahulu jelaslah bahwa tidak ada nikmat yang lebih

tinggi daripada yakin, dan tidak ada juga sesuatu yang lebih rendah daripada

yakin. Yakin adalah kepastian yang sesuai dengan realitas yang tidak dapat

salah. Barang siapa mencapai maqam (tingkat) yakin dalam tauhid, maka

dia merasakan suatu kenikmatan yang tidak dibarengi dengan segala bentuk

kesedihan dan ketakutan. Dia tidak merasa sedih atas apa yang telah lalu dan

tidak merasa takut kepada sesuatu yang akan datang.

Al-Qur’an al-Karim sebagai kitab cahaya dan hidayah—“Hai manusia,

sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh

bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat

bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Yunus: 57)—yang mengatasi semua

duka dan nestapa dalam hati. Tidak ada kesedihan dan penderitaan hati

yang lebih buruk daripada kegelisahan, kebingungan, keguncangan, dan

ketakutan. Oleh karena itu, Al-Qur’an al-Karim berusaha menjadikan

ruh senantiasa tenang dan tenteram. Cahaya yakin-lah yang menjamin

ketenangan dan kedamaian ruh. Yakin harus berhubungan dengan

suatu prinsip asal muasal (mabda’) yang meyakinkan agar mendapatkan

keistimewaan-keistimewaan ini, yaitu menjadi dasar ketenangan ruh, obat

penyakit-penyakit yang membawa kesembuhan bagi ruh, mencabut akar-akar

kesedihan, kegelisahan dan ketakutan, serta menjaga ketenteraman ruh

dan keselamatan jiwa.

Oleh karena yakin termasuk nikmat Allah Swt yang paling utama dan

dasar ketenteraman (sebab ini merupakan sifat-sifat orang yakin bukan yakin

itu sendiri), maka Al-Qur’an al-Karim berusaha agar manusia mencapai

tingkat yakin terhadap mabda’ dan ma’ad (Hari Kemudian), sehingga

manusia yang yakin tersebut mendapatkan bahwa Allah Swt adalah Tuhan

alam semesta Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihi dan Dia Maha

Mengetahui terhadap segala sesuatu dan Maha kuasa atas segala sesuatu, serta

tidak ada batas bagi rahmat-Nya. Al-Qur’an al-Karim telah mengemukakan

dalil-dalil agar manusia sampai ke maqam yakin dan tauhid yang sempurna.

Sebagaimana dalil-dalil (argumentasi) memiliki bagian-bagian dan

tingkatan-tingkatan, tauhid juga memiliki tingkatan-tingkatan.

p:3

DERAJAT-DERAJAT TAUHID

Derajat-derajat tauhid sebagai berikut.

1 Tauhid al-wujud

2 Tauhid al-wajib

3 Tauhid al-khaliq

4 Tauhid ar-rabb

5 Tauhid al-ma‘bud

Jika kita mulai secara tertib dari bawah ke atas, maka derajat tauhid

sebagai berikut: tauhid ‘ibadi, tauhid rububi, tauhid al-khaliq, tahuid alwajib,

dan tauhid al-wujud. Bagian terakhir berada di luar pembahasan

kita. Yang menjadi ruang lingkup pembahasan kita adalah tauhid al-wajib

sampai dengan tauhid al-ma‘bud. Jalan-jalan yang disiapkan dan dibangun

oleh Al-Qur’an untuk manusia beraneka ragam karena Al-Qur’an adalah

meja makan(jamuan) Allah yang sudah siap. Semua manusia, dari para nabi

dan para wali sampai dengan orang-orang biasa, telah duduk di samping

makanan yang siap santap ini. Para nabi dan para wali menikmati hakikat-hakikat

dan rahasia-rahasia Al-Qur’an. Begitu juga murid-murid mereka dan

orang-orang yang beriman dengan mereka serta manusia pada umumnya.

Setiap orang mengambil manfaat dari makanan yang siap santap ini sesuai

dengan kesiapannya.

TAUHID ‘IBADI DAN ARGUMENTASI GERAKAN (BURHANUL HARAKAH)

Al-Qur’an al-Karim memaparkan argumentasi gerakan untuk

menjelaskan tauhid ‘ibadi dan tauhid rububi secara luas dan lebih mudah

dibandingkan dengan argumentasi-argumentasi yang lain.

Al-Qur’an memandang bahwa seluruh gerakan ke arah kesempurnaan

sebenarnnya berjalan menuju Allah dan dasar pertamanya juga Allah Swt.

Dan Al-Qur’an menisbatkan segala kesempurnaan ini kepada

Allah. Jika terdapat kekurangan, aib, kerusakan, dan lain sebagainya, maka

itu semua timbul dari ketidakmampuan (keteledoran—Peny.) asal dan

tempat(yang bergerak menuju kesempurnaan—Peny.) itu. Jika tidak, maka

tidak datang kebaikan murni (dari Allah kepada kita) kecuali keindahan.

Sesungguhnya anugerah (faidh) Allah senantiasa tercurahkan dan Dia selalu

menebarkan anugerah (da’im al-faidh) dan memberikan keutamaan (da’im

al-fadhl) kepada manusia. Namun, manusia yang mengambil anugerah

p:4

tersebut berbeda-beda. Sebagian manusia mengambil dan sebagian yang lain

tidak mengambil, dan terkadang mereka mengambil secukupnya atau tidak

mengambil secukupnya.

BAGIAN-BAGIAN GERAKAN

Al-Qur’an menghitung ada lima macam gerakan. Ia menjelaskan

bahwa gerakan-gerakan ini bergantung kepada irâdah Allah. Allah-lah yang

menggerakkan, yang mengubah, dan yang mengatur gerakan-gerakan ini.

Perubahan-perubahan ini dan pergantian-pergantian yang berjalan menuju

ke kesempurnaan, dalam pengertian Al-Qur’an, adalah dengan perantaraan

(washitah) Allah Tabaraka Wata‘ala sebagai sumber kesempurnaan. Lima

gerakan itu sebagai berikut.

Gerakan Pertama, gerakan benda-benda yang Allah letakkan di langit,

yaitu gerakan bintang-bintang, planet-planet, dan perjalanan tata surya.

Allah Tabaraka Wata‘ala menisbatkan gerakan itu kepada diri-Nya.

Gerakan Kedua, gerakan yang turun dari langit ke bumi, seperti hujan.

Allah juga menisbatkanya kepada diri-Nya.

Gerakan Ketiga, gerakan yang keluar dari bumi, seperti rumput dan

pohon juga dinisbatkan kepada Allah Swt.

Gerakan Keempat, gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan yang

ada dalam perut bumi, seperti mata air dan air yang mengalir di bawah bumi

juga dinisbatkan kepada Allah.

Gerakan Kelima, gerakan yang terjadi pada ruh manusia, berupa

perubahan-perubahan dalam mengenal jiwa (ma‘rifah an-nafs). Al-Qur’an

menisbatkannya kepada Allah.

Lima gerakan tersebut telah disebutkan sebagianya dalam surah Al-

An’am dan bagian-bagian lainnya dijelaskan dalam seluruh surah Al-Qur’an.

“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji

buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan

yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah,

maka mengapa kamu masih berpaling?”(Q.S. Al-An’am: 95).

Penyebab (al-musabbib) butir tumbuhan dan biji buah-buahan terbelah

adalah Allah. Dan Allah adalah dasar atau asal muasal (al-mabda’) yang

membelah butir tumbuh-tumbuhan dan menumbuhkan biji-bijian yang

sebagainya menjalar ke dalam bumi, yang dinamakan akar, dan sebagian

yang lain keluar dari bumi, yang dinamakan batang. Al-Qur’an yang mulia

p:5

menisbatkan semua bentuk pembelahan biji buah-buahan, penjalaran

akarnya ke dalam perut bumi, dan pertum buhan batang-batangnya,

serta dahan-dahannya keluar bumi kepada Allah Tabaraka Wata‘ala.

“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji

buah-buahan”. Biji buah-buahan ini tidak akan pernah terbelah dengan

sendirinya, dan butir tumbuhan ini tidak akan pernah terpecah dengan

sendirinya. Ia tidak mengetahui bagaimana dapat terbelah. Ia tidak dapat

membelah sendiri, tetapi ia hanya menerima pembelahan. Biji hanya

menerima pembelahan, bukan ia yang membuatnya dan butir-butir

tumbuhan pengambil bukan pemberi. Ia dapat membelah, tetapi butuh

kepada Pembelah (Allah—Peny.). Ia tidak memiliki pembelahan ini, tetapi

hanya mengambilnya. Ia membutuhkan Pemberi. Ia tidak memiliki akar dan

tidak memiliki dahan, sehingga ia butuh kepada Pemberi (Wâhib). Ia tidak

memiliki sifat ini, maka bagaimana ia dapat memberi sesuatu yang tidak ada

pada dirinya? Baik ia mengambil atau menerima itu karena ia membutuhkan.

Seandainya ia memiliki sesuatu yang dibutuhkannya, seperti apabila ia

mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menerimannya, maka mau jud

menerima sesuatu yang tidak dimilikinya tetapi ia menerima sesuatu yang

dibutuhkannya. Jika ia memiliki apa yang dibutuhkannya, niscaya ia tidak

akan menerima pemberian dari selainnya, karena yang membutuhkan adalah

yang menerima. Ia sendiri tidak dapat memberi karena masih membutuhkan.

Tidak mungkin sesuatu itu pada saat yang sama menerima dan memberi. Dan

setiap pembelahan yang terjadi di biji buah-buahan dan butiran tanaman

disebabkan oleh Penggerak—yang bernama Allah. Setiap pembelahan yang

terdapat di ufuk terjadi dengan perantara (washilah) Allah. Allah-lah yang

membelah kegelapan dengan terbitnya bintang yang terang di tengah langit.

Di mana pun terdapat pembelahan, pertumbuhan, gerakan, dan pembelahan

biji-bijian, maka Allah-lah Pengaturnya (Rabbuha) dan Penciptanya.

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”

(Q.S. al-Falaq: 1).

Dialah juga yang menyingsingkan subuh (pagi) dan ini merupakan

masalah yang berhubungan dengan langit dan bintang. Dia juga yang

membelah biji buah dan butir tanaman dan ini merupakan masalah

tanaman. “Sesungguhnya Allah-lah yang membelah biji buah dan butir

tanaman”. Agar tidak seorang pun menganggap bahwa ia yang menjadikan

biji menjadi buah atau benih dan menjadikannya kebun, maka Allah Swt

telah menjelaskan secara terperinci hal itu dalam surah al-Waqi’ah. Dia

berkata bahwa pertumbuhan biji dan benih bukan melalui manusia.

p:6

Maka tidakkah kamu melihat tentang apa yang kamu bajak(tanam)?

Kamu-kah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?

(Q.S. al-Waqi’ah: 63—64).

Pekerjaan yang berasal dari petani adalah membajak tanah, bukan

menumbuhkannya. Petani sekadar menebarkan bibit-bibit, bukan

membelahnya dan bukan juga menumbuhkan akar dan batang. Kalian

(para petani—Peny.) adalah pembajak bukan penumbuh. Dan penebaran

biji-biji adalah gerakan tempat(dari suatu tempat ke tempat lainnya—

Peny.). Manusia membawa biji-biji dan benih-benih dari gudang ke sawah

dan setelah dibajak ditinggalkan begitu saja di atas tanah. Adapun gerakan

dasar dan gerakan penyempurnaan (harakah ashliyah wa takamuliyah) yang

mana dengannya biji itu terbelah dan terpecah menjadi dua bagian, salah

satunya bergerak ke bawah, yang dinamakan akar, dan yang lainnya bergerak

ke atas, yang dinamakan batang. Semuanya di bawah penjagaan (tanggung

jawab) Allah Swt. Al-Qur’an mengatakan: “Allah-lah yang menumbuhkan,

bukan kalian; kalian hanya menebarkan benih-benih, padahal pekerjaan ini

juga berakhir kepada Allah”. Demikian juga yang terjadi dalam reproduksi

(pengembangbiakan keturunan) yang merupakan pokok masalah ini. Pada

saat yang sama, Allah mengatakan bahwa perempuan adalah tanah bajakan

dan kebun bagi suaminya.

“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok-tanam,

maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu

kehendaki” (Q.S. Al-Baqarah: 223).

Pertumbuhan janin di perut ibunya bukan pekerjaan (urusan) si ayah.

Pekerjaan laki-laki hanyalah ejakulasi (al-imna’). Allah Tabaraka Wata‘ala

berfirman, “Kamu-kah yang menciptakannya, atau Kami-kah yang menciptakan

nya?”. Gerakan setetes air menjadi manusia sempurna dan gerakan

pembelahan untuk kesempurnaan setetes air terlaksana di bawah penjagaan

(tanggung jawab) Allah Swt secara langsung. Al-Qur’an mengatakan bahwa

baik di ladang manusia (janin di perut ibunya—Pen) maupun di ladang

tanaman, Allah-lah Yang Menggerakkan (al-Muharrik).

Maka gerakan dan kesempurnaan masalah-masalah ini membutuhkan

sumber kesempurnaan. Pertumbuhan membutuhkan pembimbing (mursyid)

dan pembuka jalan; membutuhkan pembawa untuk mem bawanya. Dan

gerakan di permukaan rumput-rumput dan pohon-pohon Allah-lah yang

menimbulkannya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa surah dalam Al-

Qur’an yang mulia. Surah Al-Baqarah mengisyaratkan masalah ini juga.

p:7

Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan

langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air(hujan) dari langit, lalu Dia

menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu;

karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal

kamu mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 22).

Gerakan kesempurnaan itu, yang dimulai dari bumi sampai berakhir

menjadi buah yang lezat, terlaksana dengan perantara Sang Penggerak yang

bernama Allah. “Sesungguhnya Allah-lah yang membelah(menumbuhkan) biji

dan benih yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan

yang mati dari yang hidup” (Q.S. Al-An’am: 95). Jika keluar suatu pohon

atau tumbuhan hidup atau biji yang telah mati, maka Allah-lah yang

mengeluarkannya(baca: menghidupkannya—Peny.). Dan jika tumbuh satu

biji yang mati dari suatu pohon atau tumbuhan yang hidup, maka Allah

jugalah yang menghidupkannya. “(Yang memiliki sifat-sifat demikian adalah

Allah) maka mengapa kamu masih berpaling? Inilah Tuhan kamu, maka ke

mana kamu akan pergi?”.

An-Nizhami dalam bait syairnya mengatakan bahwa setiap manusia

yang berpikir, mengetahui bahwa di belakang setiap perubahan ada yang

mengubah. Hal ini adalah tema dari argumentasi gerakan, karena setiap

gerakan butuh kepada Pengubah dan Penggerak yang menggerakkan sesuatu

ke jalan(cara) tertentu. Dan sebagaimana Allah Swt membelah biji gandum

dan mengeluarkan tangkai darinya supaya taman menjadi hijau, begitu juga

Dia membelah ufuk kegelapan dengan cahaya bintang yang menerangi

malam yang kelam sehingga bercahaya seperti siang. “Dia menyingsingkan

pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menja dikan) matahari

dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi

Maha Mengetahui” (Q.S. Al-An’am: 96).

Dia menjadikan malam untuk ketenangan dan kedamaian. Dia menja

dikan matahari dan bulan bergerak dengan penuh ketelitian, di mana Dia

menyiapkan keduanya untuk alat perhitungan. Setiap perhitungan didasari

kepada penggerak dan begitu juga sistem gerakan keduanya menunjukkan

adanya pembuat sistem (nazhim) yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Dia Maha Perkasa (al-‘Aziz) karena Dia tidak dapat dipisahkan. Tidak

ada faktor apa pun yang mampu membendung rencana-rencana dan

program-program-Nya. Dia Maha Mengetahui karena Dia mengetahui

bagaimana merencanakan dan meletakkan program-program yang tepat.

Dia mengetahui bagai mana memberikan gerakan dan bagaimana mengatur

p:8

gerakan itu. Oleh karena itu, Dia berfirman: “Itulah ketentuan(perhitungan)

Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.

Perhitungan-perhitungan yang teliti ini dilakukan oleh Insinyur yang

berpengalaman lagi Maha Tahu, “Dan Dialah yang menjadikan bintangbintang

bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan

di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda

kebesaran(Kami) kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.S. Al-An’am: 97).

Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung telah mengatur gerakan bintang

dan galaksi, suatu cara yang mana para musafir menjadikannya petunjuk di

padang pasir, lautan, dan daratan. Demikianlah gerakan galaksi dan bintang.

Adapun gerakan tumbuhan dan pohon di dalam tanah telah dikemukakan

kepada masyarakat umum. Gerakan bintang telah diatur sesuai dengan

perhitungan-perhitungan yang sangat teliti dan dalam, di mana tidak mudah

bagi orang-orang awam untuk menyingkapnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an

berkata sehubungan dengan gerakan bintang-bintang, “Sesungguhnya Kami

telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang

mengetahui”. Di sini diharuskan adanya ilmu, pengetahuan, dan informasi.

Seorang ahli di bidang ilmu falak akan mengetahui dengan baik gerakan

galaksi-galaksi yang sistematis dan mampu menyampaikan argumentasi

atasnya. Pada bagian lain Allah Swt berfirman:

“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami

tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami

keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami

keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang

kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai dan kebun-kebun anggur, dan

(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa.

Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikanlah

pula) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda

(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Al-An’am: 99).

Gerakan hujan dari langit ke bumi butuh kepada Penggerak. Sesuatu tidak

bergerak dengan sendirinya untuk (mencapai) tujuannya karena sesuatu yang

bergerak dapat menerima penyampaian kepada tujuannya dan kesempurnaan

gerakannya. Maka, ia adalah penerima, dan kehilangan (tidak memiliki) apa

yang diterimanya; dan karena ia tidak memiliki apa yang diperlukannya, ia

butuh pemberi. Oleh karena ia tidak memiliki dan ingin mengambil apa yang

tidak dimilikinya, maka dia butuh pemberi. Oleh karena itu, ia mengambil

dari dasar (mabda’) yang dengannya ia mencapai batas kesempurnaan.

p:9

Al-Qur’an yang mulia mengatakan: Gerakan hujan dari langit ke bumi

terjadi atas kehendak (irâdah) Allah Swt, “Dialah yang menurunkan air dari

langit”. Ketika hujan ini turun ke bumi dan mengalir di dalamnya, maka

biji tumbuhan dan buah-buahan terbelah dan bergerak menuju dua arah

dalam bentuk akar dan batang. Dengan sampainya air hujan, maka ia (biji)

mulai tumbuh berkembang dan membesar kemudian meng hasilkan buah,

“Kami keluarkan dengannya tumbuh-tumbuhan dari segala sesuatu”. Allah

Swt melalui hujan memberikan kesempurnaan pada setiap tumbuhan. Allah

menisbatkan pengeluaran (penumbuhan) ini dan gerakan ini kepada diri-

Nya sendiri. Benih di dalam tanah akan membelah dan pembelahannya

merupakan hasil dari gerakannya yang terjadi karena irâdah (kehendak)

Allah. Dan ketika ia (tumbuhan itu) keluar ke permukaan bumi, maka itu

juga dengan perantara Allah. Begitu juga terbelahnya tetesan air di rahim

perempuan dan pertumbuhannya. Dan pertumbuhan ini dalam bentuk

tangan, kaki, mata, dan telinga, semua terjadi karena kekuasaan Allah,

“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya”

(Q.S. Ali ‘Imran: 6). Dan ketika mendekati masa kelahiran, janin bergerak

dari rahim ibunya ke ujunngya, dan saat itu dia butuh Penggerak.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,

dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S. An-Nahl: 78).

Secara umum, setiap gerakan menuju ke kesempurnaan tejadi

karena Allah. Allah adalah sumber gerakannya. Dan yang mem berikan

kesempurnaan ini haruslah Dia sebagai sumber kesempurnaan. Dan yang

lain atau orang-orang lain adalah dasar-dasar perantara (mabâdi’ washitah),

apa pun eksistensi mereka dan apa pun yang mereka miliki. Mereka tidak

lain kecuali perantara-perantara anugerah (wasaith al-faidh), tempat aliran

anugerah, dan jalan anugerah, bukan dasar anugerah dan sumber karunia.

“Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau”. Allah

Swt mengeluarkan batang hijau dari tumbuhan, dan mengeluarkan dari batang

hijau dan mengeluarkan dari tandan biji-bijian yang banyak lagi menumpuk.

“Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak”.

Adapun biji yang keluar dari pohon kurma—dan dari mayang

kurma mengurai—akan tumbuh menjadi pohon kurma, lalu batangnya

bergelantungan—tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur—

dan taman-taman anggur—dan zaitun dan delima yang serupa dan yang

tidak serupa—buah zaitun, kurma, dan delima, sebagian menyerupai yang

lain, dan sebagian yang lain tidak ada yang menyerupainya—perhatikanlah

p:10

buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pula) kematangannya.

Perhatikanlah buahnya ketika mulai masak; bagaimana bergerak dari tahap

munculnya buah atau sebelum itu sampai pada tahap masak? Siapakah

yang memberikannya potensi masak ini? Siapakah yang membantunya

dan mengeluarkannya dari bumi dan membelah bijinya? Siapakah yang

menjadikan biji ini buah? Siapakah yang mengendalikan buah ini hingga

menjadikannya segar, baik, dan enak rasanya?

Al-Qur’an yang mulia mengatakan bahwa pada tahapan-tahapan ini

dapat dilihat pergerakan dan penyempurnaan Ilahi. “Sesungguhnya pada

yang demikian itu terdapat bukti-bukti (kekuasaan Allah bagi kaum yang

ber iman)”. Pada bagian ini Al-Qur’an mengatakan bahwa cukuplah orang

yang jujur(objektif ), tidak fanatik, dan termasuk sedang-sedang saja dalam

keimanan (mutawassith fil iman) dan akidah untuk melihat argumentasi ini

supaya argumentasi gerakan mengantarkannya ke tujuan tauhid. Masalah ini

tidak seperti masalah ilmu perbintangan dan falak, sehingga butuh kepada

ahli matematika di mana orang lain tidak mampu mengetahui dengan teliti

dan mendalam gerakan galaksi-galaksi dan rahasia-rahasianya. Pada masalah

seperti itu memang dibutuhkan seorang ahli, sementara di sini cukup dengan

kejujuran (inshaf ). Di sana butuh kepada pemahaman yang dalam, sedangkan

di sini butuh kepada pemahaman dan iman yang sedang-sedang saja.

Telah jelas bahwa ada tiga gerakan. Antara lain: pertama, yang berlalulalang

di langit; kedua, yang turun dari langit; dan ketiga, yang naik dari

bumi. Semua penggeraknya adalah Allah. Dan sekarang tinggal dua bagian

dari bagian-bagian gerakan. Yang pertama gerakan-gerakan di dalam perut

bumi yang kita sebut sebagai gerakan di bawah bumi, sedangkan yang

lain(kedua) perubahan-perubahan di dalam jiwa manusia dan ia merupakan

gerakan yang paling dalam dan perubahan yang paling sulit. Dalam surat

Az-Zumar, Allah tabaraka (Mahaagung) Wata‘ala (Mahatinggi) berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah

menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di

bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanaman yang bermacammacam

warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuningkuningan,

kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang

mempunyai akal” (Q.S. Az-Zumar: 21).

Jika Anda meneliti dengan baik, maka masalah (ini) tidak begitu sulit.

Sampai batas apa pun ia dapat dilihat dan disaksikan. Allah mengatakan

bahwa hujan tidak terjadi dengan sendirinya, dan tidak bergerak dengan

p:11

sendirinya. Maka, hujan yang tidak memiliki kesempurnaan ini dari mana

dia (dapat) mendatangkannya? Tidakkah kita mengetahui bahwa pemberi

kesem purnaan ini, Dia (pula) yang (dapat) menahan tetesan-tetesan hujan

dan membimbingnya untuk turun? “Tidakkah kamu melihat bahwa Allahlah

yang menurunkan air dari langit”. Dan ketika turun hujan, maka bumi

akan menariknya. Terkadang ia turun dalam bentuk air hujan, terkadang

dalam bentuk salju, dan terkadang dalam bentuk hawa dingin; semua

dihisap oleh bumi. Dan saat itu terbentuklah secara sistematis aliranaliran

(air) di bawah bumi seperti sumber-sumber atau sumur-sumur atau

(mata) air yang sedikit (uruq) di bawah bumi. Air-air yang ada di tanah

ini dibimbing untuk mengurusi gerakan-gerakan itu (yang ada) di bawah

tanah dan meneruskannya—maka diaturnya menjadi sumber-suber air di

bumi. Maka, air yang turun dari langit menuju ke dalam tanah dan gerakangerakan

yang ada di bawah tanah, dengan cara ditentukan di mana akan

menjadi sumur? Dan di mana akan menjadi mata air? Dan di mana air itu

dekat dengan tanah? Dan di mana jauh darinya? Dan di mana ada di bawah

jangkauan tangan? Dan di mana jauh dari jangkauan tangan? Allah telah

mengatur semua ini di bawah tanggung jawab-Nya.

Jika Dia mengetahui bahwa kemaslahatan itu terdapat ketika permukaan

air, aliran-aliran air, mata air-mata air, dan sumur-sumur yang ada di bawah

bumi terletak jauh di dalam tanah; sekiranya tangan kosong manusia biasa

bahkan tangan para insinyur yang dibekali dengan pengetahuan dan alat

tidak akan sanggup mencapainya, maka sumur yang dalam pun tidak

akan menyentuh air itu, apalagi air itu akan didapat melalui tangan dan

timba(jelas tidak mungkin)—“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku jika

sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air

yang mengalir bagimu?” (Q.S. al-Mulk: 30). Jika air ini tenggelam dari batas

yang diinginkan, jika air ini yang sekarang telah ditentukan berupa sumursumur

dan mata air-mata air dan yang ada di bawah jangkauan tangan kalian

telah tenggelam dan bersembunyi di perut bumi, maka apa yang akan terjadi

selain kekeringan dan kerusakan tanah-tanah kalian setelah sebelumnya hijau

dan memiliki buah yang segar? Bukankah pekerja apa pun dan penyebab apa

pun tidak mampu untuk mengeluarkan air ini dari kedalaman bumi yang

jauh? Dengan demikian, gerakan air yang naik ke atas dan turun ke bawah

berada di bawah kekuasaan Allah Swt.

Banyak sekali tanah-tanah yang subur lagi dihijaukan dengan aneka buah

yang segar, tiba-tiba menjadi layu dan berubah menjadi tanah tandus karena

kedalaman airnya yang luar biasa. Dan sebaliknya, banyak juga tanah-tanah

p:12

tandus yang tidak ada tanda kehidupan tumbuh-tumbuhan yang hijau, tiba-tiba

berubah menjadi kebun-kebun yang berbunga karena munculnya mata

air di dalamnya. Al-Qur’an mengata kan bahwa gerakan-gerakan di dalam

perut bumi dan sistematika gerakan vertikal dan horizontal di bawah bumi

berada di tangan Allah Swt. Jika Dia menginginkan untuk memindahkan

air ini dari suatu tempat ke tempat lain karena tuntutan kemaslahatan, maka

Dia akan membim bingnya menuju ke tempat alirannya. Sistem gerakan dan

pengarahannya, Allah-lah yang menjalankannya dan menunjukkan jalan-jalannya.

Jika Dia ingin agar perjalanan air di perut bumi menjadi vertikal,

maka air itu akan turun ke bawah sebagai azab atau ke atas sebagai rahmat,

ini juga berada di bawah kekuasaan Ilahi—“Terangkanlah kepadaku jika

sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air

yang mengalir bagimu”.

Jika air tenggelam di kedalaman tanah yang jauh, maka siapakah yang

mendatangkan air itu bagi kalian dan menjadikannya berada di bawah

jangkauan tangan kalian? Allah Swt menisbatkan gerakan semacam ini

kepada diri-Nya. “Lalu keluar darinya aneka warna tumbuh-tumbuhan”.

Buah-buahan yang beraneka macam dengan perantara Allah sampai

kepada kematangannya. Dan orang-orang yang melihat fenomena alam

yang mana mereka bukan termasuk ahli makrifat dan riset, telah mengetahui

sistem gerakan bintang dan ketelitiannya dan hal itu (sebenarnya)

akan menjadi tanda yang mengantarkan mereka kepada Allah. Mereka

bukan termasuk orang-orang Mukmin yang jujur, sehingga penyaksian

tanda-tanda (kekuasaan) Allah menjadi bukti (dalil) bagi mereka untuk

sampai kepada kesatuan pengaturan (al-wahdah ar-rububiyah). Mereka

kehilangan pemahaman yang bagus yang mengantarkan mereka ke tauhid

rububi melalui pengenalan diri, sementara keinginan mereka terbatas

hanya pada makan, minum, pakaian, tidur, dan kesenangan. Al-Qur’an

memandang mereka persis seperti binatang dan tumbuhan, tidak lebih.

Al-Qur’an mengatakan bahwa di bumi ada berbagai macam tumbuhan

dan ada berbagai macam kelompok manusia yang berjalan di muka bumi

yang tidak berbeda dengan binatang kecuali (dilihat) dari warna. Al-Qur’an

menyebut nama mereka bersama tumbuhan dan hewan dengan satu

perbedaan yaitu warna. Al-Qur’an mengatakan: lihatlah pelbagai macam

buah dan pohon dan tumbuh-tumbuhan bagaimana berkem bang. Al-

Qur’an berbicara seputar manusia yang tidak berpikir, dengan ungkapan

(ta’bir) yang sama sebagaimana yang digunakannya dalam berbicara dengan

p:13

binatang dan tumbuhan, dan dikecualikan dari itu para ulama dan kaum

cerdik yang beramal. Dalam surat Fathir Al-Qur’an mengatakan:

“Tidakkah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari

langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam

jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang

beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula)

di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak

ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya)” (Q.S. Fathir: 27—28).

Buah termasuk bagian dari tumbuhan. Binatang ternak, binatang

melata, dan sebagian manusia yang mana keinginan mereka dan pikiran

mereka hanya pada makanan, minuman, dan pakaian satu sama lain hanya

dibedakan dari warna. Mereka berada dalam kelompok tumbuhan dan

binatang. Dan manusia yang tidak memiliki keinginan selain memen tingkan

perutnya dan tidurnya pada hakikatnya dia adalah binatang yang tidak dapat

dibedakan darinya kecuali dalam hal warna, “Dan demikian (pula) di antara

manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-bina tang ternak ada yang

bermacam-macam warnanya(dan jenisnya)”. Akan tetapi, di antara mereka

terdapat kelompok istimewa yaitu para ulama yang beramal, orang-orang

yang konsekuen lagi bebas yang terpisah dari pengaruh orang lain, serta orang-orang

yang takut kepada Allah Swt, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah

di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama. Sungguh Allah Perkasa lagi

Maha Pengampun”(Q.S. Fathir: 28).

Jika ada seorang Mukmin yang berakal dan berpikir lebih tinggi

daripada yang biasa dipikirkan oleh binatang, maka dia dibedakan dari

manusia lainnya. Al-Qur’an telah mengecualikan kelompok manusia seperti

ini. Adapun orang-orang lain, mereka ini dan binatang berada di satu barisan

yang hanya dibedakan dari warna, seperti semua buah yang semuanya adalah

tumbuhan di mana satu sama lain hanya dibedakan dalam warna.

Al-Qur’an tidak menganggap mereka yang berpikir seperti binatang

termasuk kelompok manusia. Al-Qur’an mengatakan bahwa mereka dan

binatang ternak serta binatang melata berada dalam satu barisan, tetapi

berbeda warna. Yang dibedakan dari mereka adalah manusia yang bebas

dari cengkeraman syahwat lagi takut kepada Allah. Dia melihat Allah selalu

hadir dalam seluruh keadaannya dan dia kembali kepada-Nya dalam setiap

kesulitan dan masalah. Dia mengetahui bahwa semua nikmat datang dari

Allah, Dia terhibur melalui zikir kepada-Nya dalam setiap masalah-masalah

besar dan musibah-musibah yang dahsyat. Inilah tiga dimensi yang telah saya

paparkan pada majelis-majelis terdahulu, yakni hajat itu dari Allah, nikmat

p:14

itu dari Allah, dan kesabaran dan hiburan atas musibah itu juga dari Allah,

“Dan apa saja nikmat(yang kalian peroleh), itu dari Allah” (Q.S. An-Nahl: 53).

GERAKAN DALAM JIWA MANUSIA

Gerakan kelima yang telah saya kemukakan dalam mukadimah pembahasan

merupakan gerakan yang paling penting. Al-Qur’an yang mulia

telah menyinggunngya dalam surah Al-An’am, sebagai berikut, “Dan Dialah

yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tem pat tetap dan

tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran

Kami kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.S. Al-An’am: 98). Banyak

perubahan-perubahan yang terjadi atas manusia, sebagiannya tetap dalam

sulbi dan rahim dan sebagian yang lain berpindah dari sulbi dan rahim ke

masyarakat. Manusia sendiri dapat mengamati perubahan-perubahan yang

terjadi pada dirinya. Aku tadinya berupa setetes air dan sekarang menjadi

bentuk yang normal seperti ini, maka siapakah yang mengubahku dari

keadaan itu ke keadaan ini?

Ini bukanlah gerakan ilmiah sehingga butuh kepada seorang ahli

matematika untuk mengetahuinya dan tidak pula butuh kepada orang yang

berpandangan sedang-sedang saja (mutawassitul inshaf ) dari masyarakat

Mukmin. Namun, untuk mengetahui hal itu butuh kepada pemahaman

yang dalam (fahmun fuqahati) yang merupakan pemahaman yang bagus.

Perjalanan ini di dalam berupa penyaksian Penggerak melalui gerakan-gerakan

jiwa, dan menjadikan jiwa berada di bawah kendali Penggerak itu,

“Aku mengenal Allah Swt melalui peniadaan kesenangan (al-‘azaim) dan

pemutusan belenggu”.(1) Penglihatan jiwa yang bergerak dan penyaksian

kendalinya berada dalam kekuasaan Allah. Ini bukan pekerjaan setiap ahli

matematika, dan tidak pula pekerjaan setiap Mukmin yang sederhana

pemikirannya dan sedang-sedang saja, tetapi ini adalah pekerjaan seorang fakih

(insan faqih) yang menikmati fiqh (pengetahuan). Itu seperti perasaan (syu’ur)

yang merupakan pemahaman yang dalam (fahm daqiq). Maka, manusia jika

dapat melihat seperti perasaan yang tinggi (asy-sya’rah ar-rafi’ah) dikatakan

sebagai seorang yang memiliki perasaan dan seorang yang halus (raqiq).

Al-Qu’ran berkata, “Telah Kami jelaskan (secara terperinci) ayat-ayat(Kami)

bagi kaum yang mengerti (yafqahun)”. Di sini perlu ada fiqh (pengetahuan).

Jika manusia tidak termasuk pemilik tingkat pemahaman seperti di

atas, Al-Qur’an menganggapnya berada di barisan binatang melata dan

p:15


1- 1 Nahjul Balaghah, Hikmah hlm. 242.

binatang ternak yang hanya berbeda warna dengannya. Sebab, Allah Swt

telah menjelaskan nikmat-nikmat. Penjelasan ini adalah dari Imam Sajjad

a.s. yang mana beliau adalah Al-Qur’an yang berbicara. Beliau berkata:

Sesungguhnya setiap ayat Al-Qur’an adalah simpanan (khazanah) dari

simpanan-simpanan Allah. Dan dia mengatakan: Sesungguhnya jalan Al-

Qur’an dan caranya ketika menghitung nikmat-nikmat lahiriah dengan

mengatakan: Kami telah mengirim awan dan telah menurunkan hujan dan

menjadikan matahari bercahaya supaya tanaman kalian dan buah kalian

tumbuh, dan Kami telah menurunkan hujan supaya hasil produksi kalian

bertambah, “Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”

(Q.S. An-Nazi’at: 33). Sesuatu untuk kalian dan sesuatu yang lain untuk

binatang ternak kalian. Makanan materi adalah makanan manusia sekaligus

binatang. Akan tetapi, ketika suatu masalah menyangkut ilmu dan makrifat

serta keimanan, Al-Qur’an mengatakan, “Allah menganugerahkan al-hikmah

(pemahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang

Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benarbenar

telah dianuge rahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang

berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”(Q.S. Al-

Baqarah: 269). Yakni orang-orang yang memiliki kalbu dan akal.

Kita perhatikan dari kumpulan ayat yang telah disebutkan Al-Qur’an

dalam surah Al-An’am, surah Az-Zumar, surah al-Mulk, dan semua surah

yang lain, bahwa setiap gerakan yang berjalan menuju ke kesempurnaan

dinisbatkan kepada Allah Swt. Dan gerakan-gerakan ini telah dibagi—

sebagaimana telah kami jelaskan—ke dalam lima bagian. Antara lain:

gerakan-gerakan di langit, gerakan-gerakan yang turun dari langit ke bumi,

gerakan-gerakan yang naik dari bumi ke atas, gerakan-gerakan dalam perut

bumi, dan gerakan-gerakan yang dinamakan dengan perubahan-perubahan

jiwa. Allah telah menisbatkan semua gerakan yang menuju ke kesempurnaan

ini kepada diri-Nya.

Saya memohon kepada Allah Tabaraka Wata‘ala agar menjadikan hati

kita sebagai wadah dari tauhid rububi dan apa yang di atasnya, sehingga

hati akan terus-menerus menyebut Sang Kekasih, “Dengan zikir kepada

Allah, hati akan menjadi tenang” (Q.S. ar-Ra’d: 28). Dan mudah-mudahan

kita dikaruniai keyakinan terhadap tauhid rububi yang merupa kan nikmat

teragung, dan saat itu tidak ada rasa takut yang mengancam hati dan tidak

ada pula rasa sedih, “Sesungguhnya para wali-wali Allah itu, mereka tidak

merasa takut dan tidak pula mereka merasa bersedih” (Q.S. Yunus: 62).

p:16

Pelajaran II

Wahyu Samawi dan Jalan-jalan Pemikiran Dalam Pandangan Falsafah Dunia

Jalan-jalan Pemikiran

dalam Pandangan

Falsafah Dunia

p:17

p:18

Wahyu Samawi dan Jalan-jalan Pemikiran Dalam Pandangan Falsafah Dunia

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Kesimpulan pembahasan majelis terdahulu adalah bahwa tauhid itu

memiliki tingkatan-tingkatan. Dan tauhid yang berhubungan dengan

manusia dalam rangka kesempurnaan mereka dan dijadikan sandaran oleh

Al-Qur’an lebih daripada penyandarannya atas bagian-bagian lain adalah

tauhid rububi. Yakni, di alam wujud terdapat mabda’ yang pertama ini. Kami

telah menunjukkan topik ini pada salah satu majelis.

Al-Qur’an adalah kitab cahaya dan petunjuk dan bukan kitab falsafah

murni yang menyusun dalil-dalil rasional dalam ramuan (qawaqib)

falsafah yang kering (membosankan). Ia menyusun dengan suatu cara yang

berkaitan dengan amal dan dengan suatu cara di mana iman dan keyakinan

(i‘tiqad) menjadi bagian dari hasil-hasilnya dan pengaruh-pengaruhnya.

Ia juga mengingatkan orang-orang yang keras kepala (al-mu’anidin) agar

mereka mula-mula mengungkapkan dalil atas dakwaan mereka atau mereka

meruntuhkan dalil yang telah kami bangun. Dan jika mereka tidak memiliki

dalil, baik dalil aqli (akal) maupun dalil naqli (riwayat), dan mereka tidak

bersandarkan kepada wahyu samawi dan dan tidak berdasarkan kepada dalil

naqli yang dibawa oleh para nabi terdahulu, maka mereka tidak dapat lari

kecuali tunduk dan menerima. Dan jika mereka tidak memiliki dalil aqli

dan naqli untuk melawan Nabi yang mulia Saw., maka mereka dianggap

gagal dan rugi. Tidak ada sebab apa pun yang akan menolong kalian, tidak

ada kekuatan orang-orang kuat mampu berdiri dan melawan di hadapan

wahyu dan akal, dan tidak ada pula kekayaan orang-orang kaya mampu

mengadakan penentangan. Sungguh ada orang-orang sebelum kalian

yang lebih kuat dan lebih mampu diban dingkan kalian, namun mereka juga

menuai kegagalan yang cepat dan kerugian yang nyata.

Pada bagian pertama dari pembahasan bahwa Al-Qur’an adalah

kitab cahaya dan petunjuk, telah dijelaskan di dalamnya masalah-masalah

akal dengan suatu cara dimana keyakinan (al-i‘tiqad) berhubungan

dengan amal dan bergandengan dengannya. Kita dapat memperhatikan

ini dalam banyak ayat Al-Qur’an, sebagaimana ayat ini dari surah Fathir

yang telah saya kemukakan pada pembahasan terdahulu. “Sesungguhnya

yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama”

p:19

(Q.S. Fathir: 28). Di sini terdapat pujian dan sanjungan terhadap

ulama, yang mana ilmu mereka disertai dengan khusyuk dan tunduk

di hadapan wujud Ilahi (al-hadrah al-ilahiyah). Dan atas perubahan-perubahan

batin manusia melalui proses argumentasi dan bukti, maka

pengetahuan ini akan bergandengan dengan iman dan keyakinan.

Pada akhir surah Al-An’am, dikemukakan masalah tauhid melalui tiga

jalan. Dan dalam surah Al-An’am juga, Allah Tabaraka Wa Ta‘ala memerintahkan

Rasul-Nya yang mulia pada empat puluh tempat dengan “qul”

(katakanlah), yakni bantahlah mereka dengan cara demikian. Dan meminjam

ungkapan Ustaz Allamah Thabathaba’i (penulis Tafsir al-Mizan—Peny.),

sangat tepat apabila surah ini dinamakan dengan surah al-Ihtijaj. Adapun

surah ini disebut dengan nama surah Al-An’am, itu adalah bentuk zhahir dari

pemakluman yang umum (at-tasâmuh al-muta‘ârif ) dalam memberitahukan

tentang hal kebanyakan (al-i‘lam bil ghalbah). Apabila kita merujuk

kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh orang-orang zaman dahulu sebelum

sepuluh abad atau di antara waktu itu, seperti Talkhis al-Bayan karya asy-

Syârif dan Lathaiful Ma’ârif karya al-Qusyairi, maka dapat dimaklumi ketika

mereka mengomentari tentang surah-surah ini, “Dalam tafsir surah yang

disebutkan di dalam Al-An’am atau Al-Baqarah atau al-Fil atau al-‘Ankabut”.

Adapun surah-surah yang dinamakan dengan nama-nama khusus di

zaman Rasulullah atau diberi nama oleh para imam dengan nama khusus,

maka itu dapat dihitung tersendiri. Kalau tidak, maka nama surah-surah yang

lain itu adalah sekadar pemberitahuan tentang hal kebanyakan. Dan pada

akhir surah Al-An’am pada saat penyempurnaan hikayat bantahan-bantahan

(al-ihtijâjat) Ibrahim al-Khalil(kekasih Allah), Allah Swt berkata kepada

Rasul-Nya yang mulia, “Katakanlah, sesungguhnya Tuhan ku telah memberiku

petunjuk ke jalan yang lurus” (Q.S. Al-An’am: 161). Hidayah (petunjuk)

adalah gerakan khusus, baik yang berarti menunjukkan ke suatu jalan atau

yang berarti mengantarkan dan menyampaikan pada tujuan atau jalan.

Kedua-duanya adalah gerakan, dan atas dasar argumentasi gerakan (burhan alharakah)—

yang telah saya paparkan pada majelis terdahulu—butuh kepada

Pengggerak, dan Penggerak itu adalah Allah al-Hadi (Pemberi petunjuk).

“Agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah

termasuk orang-orang yang musyrik” (Q.S. Al-An’am: 161).

Ayat ini telah lewat dalam kaitannya dengan argumentasi-argumentasi

Ibrahim al-Khalil, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku,

dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’” (Q.S. Al-An’am:

162). Ayat ini telah dibahas dalam kaitannya dengan pembahasan iman

p:20

dan akhlak dalam pandangan Al-Qur’an, “Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan

demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang

pertama-tama menyerahkan diri (muslim kepada Allah)”(Q.S. Al-An’am:

163). Maka, Allah Swt tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Rasul-Nya diperintahkan

untuk menyampaikan tauhid ini.

Adapun pertama-tama (awwaliyah) dalam ayat orang Muslim yang

pertama, bukanlah pertama-tama dalam waktu (awwaliyah az-zamaniyah)

karena setiap nabi sehubungan dengan umatnya—adalah orang

Muslim yang pertama. Para nabi terdahulu seperti Ibrahim a.s. memiliki

keistimewaan permulaan waktu apabila dibandingkan dengan para nabi dan

umat-umat yang datang sesudahnya. Meskipun demikian, tidak terdapat

dalam Al-Qur’an ungkapan (ta’bir orang Muslim yang pertama untuk para

nabi (terdahulu) selain Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an yang mulia telah

mengisyaratkan hal itu dalam beberapa tempat (ayat). Dan itu adalah isyarat

akan kedudukan (maqâm) penutup para nabi yang mana beliau mempunyai

keistimewaan permulaan dalam wujud dan tingkatan (al-awwaliyah alwujudiyah

warrutbiyah). Beliau jika dilihat dari kemuliaan dan ketinggian

adalah orang Muslim di dunia yang paling mulia. Tingkat keislaman dan

kepatuhan penutup para nabi paling tinggi dibandingkan dengan seluruh

kaum Muslim di dunia baik di masa lalu, sekarang, dan akan datang. Dan

beliau adalah orang Muslim yang pertama. Saat itu Allah Swt mengajari

Rasul-Nya yang mulia bantahan-bantahan (al-ihtijâjat) dan menyebutkan

tiga cara untuk berargumentasi:

Pertama, tentang asal perkembangan kehidupan dunia.

Kedua, tentang wujud manusia dan kehidupan kemanusiaan dan

sistem masyarakat manusia, serta struktur sosial dan sebagainya.

Ketiga, tentang apa yang terjadi setelah dunia berupa hisab, pahala,

siksa, surga, dan neraka.

Dengan kata lain, pada dua ayat ini dikemukakan tiga bukti atau tiga

argumentasi. Pertama, dengan memperhatikan kehidupan dunia; kedua,

dengan memperhatikan apa-apa (yang terjadi) sebelum kehidupan dunia; dan

yang ketiga, dengan memperhatikan apa-apa yang terjadi setelah kehidupan

dunia: manusia sebelum dunia, manusia di dunia, dan manusia setelah dunia.

Argumentasi yang berhubungan dengan sekumpulan sistem (nizham)

dan sebelum keberadaan kehidupan kemanusiaan tanpa memperhatikan

kehidupan manusia (al-hayat al-basyariyah), yaitu, “Katakanlah, ‘Apakah

p:21

aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala

sesuatu’” (Q.S. Al-An’am: 164). Yakni, tidak mungkin manusia tidak tunduk

di bawah pengaturan (rububiyah) pencipta asal (mabda’) segala sesuatu

dan mengatakan: aku mengurusi urusanku sendiri. Dan tidak dapat dia

menjadikan selain Allah sebagai Tuhan Pengatur (rabb) dan mengatakan:

aku tidak butuh kepada Tuhan Pengatur. Yakni dia mengingkari sistem

sebab yang efektif (al-‘illah al-fâ’iliyah) dan mengatakan: kesempurnaan-kesempurnaan

ini terbentuk dengan sendirinya, yakni kesempurnaan ini

tanpa ada yang menyempurnakan dan tanpa ada yang memberi karunia.

Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap sebab yang efektif yang

merupakan ruh (dasar) dari sistem sebab (qanun al-‘illiyah), dan tidak

dapat mengadakan pembahasan dengan akal seperti ini. Barangsiapa yang

mengingkari al-‘illah al-fâ’iliyah, maka dia tidak dapat menyusun mukadimah-

mukadimah lalu menarik suatu kesimpulan (nâtijah) darinya. Tidak

dapat dikatakan bahwa manusia adalah rabb sehingga tidak perlu (lagi)

kepada Pendidik dan Pengajar. Dan tidak dapat dikatakan juga bahwa Tuhan

Pengatur manusia adalah selain Allah karena selain Allah butuh kepada Allah.

“Katakanlah, ‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang

menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi

makan?’” (Q.S. Al-An’am: 14).

Maka, setiap orang dan setiap sesuatu yang dijadikan oleh Rabb

(Tuhan Pengatur) adalah marbub (yang menjadi bidikan objek pengaturan).

Jika suatu kesempurnaan sampai kepada orang lain atau

orang-orang lain, maka dia adalah perantara karunia (wasithah alfaidh)

bukan dasar dari karunia (mabda’ al-faidh). Allah adalah Tuhan

Pengatur segala sesuatu. Dengan demikian Dia memang Allah.

Kedua, “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya

kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan

memikul dosa orang lain” (Q.S. Al-An’am: 164). Amal manusia hidup akan

menemani manusia yang bersangkutan dan akan dipertanggungjawabkan.

Alam tersistem dan karena Pencipta Alam tidak menganggur (âthil), maka

setiap manusia yang beramal akan dibalas. Dan tidak mungkin perhitungan

(hisab) antara orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat itu sama.

Al-Qur’an mengatakan: Janganlah ada orang yang menganggap bahwa

“sama antara kehidupan dan kematian mereka” (Q.S. al-Jatsiyah: 21). Orang-orang

yang beriman dan orang-orang yang jahat tidaklah sama, dan tidak

sama pula orang-orang yang membuat perbaikan dan orang-orang yang

membuat kerusakan. Setiap orang dari mereka akan menerima kitab catataan

p:22

amal dan hisab. Setiap amal pada hakikatnya hidup. Dan setiap dosa akan

dipikul pemilik dosa itu. Pada Hari Kiamat seseorang tidak akan membawa

beban (dosa) orang lain. Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban

atas beban dosanya. Oleh karena terdapat hisab di alam ini, maka seharusnya

ada pahala dan siksa. Dengan demikian, terdapat malaikat pemberi pahala,

pemberi siksa, peneliti, dan pencatat dalam urusan perbuatan (tasharruf )

Allah, Pemilik Hari Kiamat.

Ini adalah (bentuk) argumentasi atas prinsip dasar (mabda’) melalui

hari kemudian, “Dan tidak seorang pun yang beramal kecuali untuk dirinya

sendiri”. Setiap manusia yang mengamalkan suatu amalan, maka dia beramal

untuk dirinya. Dan tidak mungkin amalan tersebut akan terhapus

dari perbedaan, dan tidak mungkin seorang pun yang mengingkari amalnya

lalu membebankannya di atas pundak orang-orang lain. “Tiap-tiap diri

bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Q.S. al-Mudatsir: 38).

Setiap orang selalu bergandengan dengan amalnya. Kecuali orang-orang yang

bebas, yang tidak berutang kepada seorang pun—kecuali golongan kanan,

berada di dalam surga, mereka tanya-menanya. (Q.S. al-Mudatsir: 39—40).

Adapun orang-orang lain, mereka tergantung dengan amal mereka, akidah

(keyakinan) mereka , dan moral mereka yang bejat.

Oleh karena terdapat sistem perhitungan dan penelitian, maka seharusnya

ada Penghitung Yang Maha Tahu dan Maha َdil dan Dia adalah Allah

Tabaraka Wa Ta’ala. Hal ini adalah proses argumentasi atas tauhid rububi

melalui hari kemudian. Ketika kita membaca surah al-Fatihah, “Segala puji

bagi Allah Tuhan Pengatur alam semesta, Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, Pemilik hari kemudian, “ ayat ini pun memandang kepada dua

hujah dari dua jalan. Pertama, bahwa semua makhluk dan wujud tunduk di

bawah rububiyah Allah Swt, dan Allah adalah Tuhan Pengatur alam semesta.

Dan ini adalah Tauhid rububi dengan memperhatikan permulaan ciptaan.

Dan kedua, harus ada hari pembalasan. Semua manusia akan menghadiri

hari itu di sisi Dzat yang memberi mereka kemampuan-kemampuan ini dan

Dia(Allah) membeberkan apa-apa yang diperbuat oleh mereka dan Dia Maha

Tahu terhadap amal mereka. Oleh karena itu, Dia Pemilik hari kemudian.

Dan ini adalah proses argumentasi atas tauhid melalui hari kemudian.

Dua penjelasan ini yang disebutkan dalam surah al-Fatihah sesuai

dengan dua penjelasan yang disebutkan dalam surah Al-An’am, “Kemudian

kepada Tuhanmulah tempat kembalimu dan Dia akan memberitahu kan

apa-apa yang kamu perselisihkan” (Q.S. Al-An’am: 164). Pada hari itu semua

bentuk perselisihan akan berakhir dan akan nampak dengan jelas bersama

p:23

siapakah kebenaran itu akan berpihak. Dan akan menjadi jelaslah pada

hari itu mengapa muncul berbagai macam aliran dan mazhab, mengapa

terjadi peperangan antara tujuh puluh dua kelompok. Apakah hakikat yang

dianggap oleh orang lain sebagai khurafat? Dan apakah hakikat yang dilihat

orang lain atau orang-orang lain sebagai kebatilan?

Pada hari itu akan nampak dengan jelas segala sesuatu dan akan

berakhirlah segala bentuk perselisihan pemikiran, akidah, dan amaliah.

Pada hari itu tidak akan terjadi perselisihan antara dua orang terhadap

suatu masalah apakah benar ataukah batil karena di sana, “Sehingga nampak

dengan jelas bagi mereka bahwa ia adalah kebenaran” (Q.S. Fushshilat: 53).

Ia adalah hari kemunculan kebenaran, dan hari terhapusnya kegelapan.

Maka, tidak ada kegelapan pemikiran dan tidak ada pula kegelapan akhlak

di sana. Dan setiap orang yang menyembunyikan sesuatu besamanya, maka

pada hari itu dia terpaksa untuk mengeluarkannya—“Dan mereka tidak akan

menyembunyikan pembicaraan apa pun kepada Allah” (Q.S. An-Nisa’: 42).

Tidak ada seorang pun pada Hari Kiamat yang dapat menyembunyikan

sesuatu atau menyimpannya dan tidak membicarakannya. “Maka Dia akan

memberitahukan kepada kalian terhadap apa-apa yang kalian perselisihkan”

(Q.S. Al-Maidah: 48).

Ketiga, melalui perkembangan kehidupan manusia. Al-Qur’an berkata,

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan

Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat

(Q.S. Al-An‘am: 165). Pembentukan masyarakat manusia, penciptaan

manusia, munculnya suatu kelompok, dan tersebarnya kelompok yang lain,

diangkatnya suatu kelompok yang ada menjadi khalifah atau dijadikannya

manusia sebagai khalifah Allah, semua gerakan ini dan program ini ada di

bawah kekuasaan Penggerak yang pertama dan Perancang yang pertama.

Allah ‘azza wa jalla menjadikan perbedaan-perbedaan ini untuk

menjaga sistem. Dan perbedaan-perbedaan ini tidak ada nilainya. Adapun

perbedaan-perbedaan ini tidak ada nilainya. Adapun perbedaan-perbedaan

yang sebenarnya adalah dilihat dari keimanan dan akidah(keyakinan). Dan

itu juga menjadi hal yang maklum di sisi Allah, “Sesungguhnya orang yang

paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling takwa di antara kalian”

(Q.S. al-Hujurat: 13). Adapun perbedaan-perbedaan yang ada ini adalah

untuk menjaga sistem sosial.

Al-Qur’an mengatakan: Dia (Allah) mengangkat sebagian kalian atas

sebagian yang lain beberapa derajat agar terjadi pemanfaatan timbal-balik

dari kedua pihak bukan dari satu pihak saja. “Agar sebagian mereka dapat

p:24

menggunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada

yang mereka kumpulkan” (Q.S. az-Zukhruf: 32). Al-Qur’an mengatakan

bahwa segala perbedaan yang ada dalam masyarakat manusia tidak layak

dijadikan dasar untuk kebanggaan dan keangkuhan dan tidak memiliki nilai

sama sekali. Adapun nilai yang sebenarnya adalah keimanan dan kemuliaan.

Dan itu juga penilainnya berada di sisi Allah. Manusia yang mulia adalah

yang meninggalkan sikap berbangga-bangga diri (tafakhur) karena sikap

berbangga diri tidak pantas. Dan perbedaan dalam tingkatan-tingkatan ini

adalah yang terbaik bagi kehidupan manu sia. Apabila mereka semua memiliki

satu tingkatan, maka kehidupan manusia akan mengalami kelumpuhan.

Pebedaan dalam tingkatan ini adalah untuk pemanfaatan timbal-balik

antara dua pihak, bukan dari satu pihak saja. Dan pertumbuhan kehidupan

manusia, perubahan-perubahan ini, gerakan-gerakan ini, pulang dan pergi

ini butuh kepada Penggerak dan butuh kepada Pewujud (muzhhir) dan

Pembuat (shani), dan itu adalah Allah Swt, “Dan Dialah yang menjadikan

kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas

sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang

diberikan-Nya kepadamu” (Q.S. Al-An’am: 165). Apa saja yang diberikan

Allah adalah berupa ujian dan cobaan. Setiap individu manusia selama

mereka hidup, mereka sebenarnya sedang duduk di ruang ujian dan cobaan.

Terkadang mereka menikmati fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada

mereka dan pada kesempatan lain mereka tidak menikmati.

Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman dalam surah al-Fajr: Sesungguhnya

apa saja yang Kami karuniakan untuk manusia adalah termasuk dari bab

ujian dan cobaan, namun manusia berprasangka buruk bahwa Allah Azza wa

jalla jika memberinya nikmat, maka Dia memberinya sebagai penghormatan

baginya dan jika mencabutnya, maka itu sebagai tanda penghinaan

atasnya. Allah Swt dalam surah al-Fajr berfirman, “Adapun manusia apabila

Tuhannya mengujinya” (Q.S. al-Fajr: 15). Apabila Allah Swt mengujinya

dan mencobanya dengan memberinya harta atau ilmu dan dia (manusia

pandir itu) menikmati nikmat dan kemuliaan lahiriah ini (maka biasanya

dia berkata), “Dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku

telah memuliakanku’. Adapun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi

rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’” (Q.S. al-Fajr: 15—16).

Inilah dua pandangan kelompok mewah(kaya) dan kelompok miskin

(kaum papa). Al-Qur’an berkata bahwa kelompok kaya yang bernikmat-nikmat

sebenarnya mereka duduk di ruang ujian dan kelompok miskin yang

sabar dan menahan diri sebenarnya mereka juga duduk di ruang ujian. Dan

p:25

Al-Qur’an berkata bahwa tidak benar apa yang dibayangkan kelompok

pertama dan apa yang dianggap kelompok kedua. Orang-orang kaya

adalah tempat ujian begitu juga orang-orang miskin. Adapun kemuliaan

yang hakiki ada di sisi Allah, yaitu, “Sesungguhnya kekayaan dan kefakiran

setelah kemuliaan di sisi Allah”.(1) Dan Anda akan mengetahui pada Hari

Kiamat. Dan tidak ada di sini(di dunia) sesuatu yang menimbulkan

pemuliaan dan penghinaan; setiap sesuatu di dunia ini adalah ujian karena,

“Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya

Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya” (Q.S. Al-An’am: 165). Dan jika Dia

ingin mengambil (mencabut nikmat), maka itu karena ujian dan sebagai

pelaksanaan darinya—yakni untuk menguji kalian, “Dan sesungguhnya Dia

Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, sementara jalan tobat terbuka.

Allah Swt memerintahkan Rasul-Nya yang mulia Saw. untuk membantah

orang-orang kafir dengan tiga argumentasi ini yang menunjukkan

atas tauhid rububi. Oleh karena itu, Al-Qur’an yang mulia dalam beberapa

tempat (surah), salah satunya dalam surah Al-Ahqaf, mengatakan kepada

orang-orang musyrik dan para penyembah berhala: Sesungguhnya perkataan

kalian dan dakwaan kalian seharusnya bersandar pada dasar akal yang (biasa)

digunakan oleh akal pemikir atau berdasarkan pandangan wahyu samawi

yang dibawa oleh seorang rasul yang berhubungan dengan langit. Yakni

dengan akal atau dengan wahyu. Dan batasan ini disepakati oleh akal. Akal

mengatakan bahwa pandangan falsafah dunia mempunyai dua jalan:

1. Jalan penyaksian dan wahyu

2. Jalan pemikiran dan akal

Maka, akal membenarkan wahyu, sedangkan wahyu memhormati

posisi akal. Dan sebagaimana telah kami katakan, tidak ada yang lebih dari

dua jalan tersebut. Orang yang menyampaikan teori tentang pemahaman

falsafah dunia, seharusnya berdasarkan dalil akal yang kuat atau didukung

oleh wahyu yang pasti. Adapun jika dia tidak didukung oleh wahyu dan

dia tidak memiliki pemikiran rasional dan logis yang dapat diterima, maka

teorinya tidak benar (batil). Dan jika pandangannya batil, maka dia tidak akan

mampu berdiri di hadapan kebenaran dan tidak mampu pula melawannya.

Al-Qur’an telah menentukan bentuk-bentuk kebatilan. Ia berkata: setiap

saat kebatilan dan kebenaran masuk dalam kancah pergulatan, dan kebatilan

selalu kalah. Dan Al-Qur’an mengingatkan orang-orang kafir dan para

penyembah berhala di Hijaz serta orang-orang yang berusaha menentang

Rasulullah Saw. bahwa sebelum kalian ada orang-orang yang lebih kuat

p:26


1- 2 Nahjul Balaghah, hlm. 555, kalimat-kalimat pendek(Subhi Soleh).

dan lebih memiliki pengaruh di muka bumi dibandingkan kalian, namun

orang-orang yang kuat dan kekuatan taghut (apa yang disembah selain

Allah) tidak mampu menentang risalah (agama) samawi. Dan Al-Qur’an

telah menjelaskan bagian-bagian ini dengan jelas. Dan rububi, ia berkata,

“Kami sekali-kali tidak menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada di

antara keduanya kecuali dengan kebenaran” (Q.S. Al-Ahqaf: 3).

Penciptaan langit dan apa yang ada di dalamnya dan bumi dan apa

yang ada di atasnya adalah dengan kebenaran dan bersama kebenaran.

Maka, kebenaran tidak dapat berpisah dengan penciptaan. Jika di alam ini

tidak terdapat sistem, kitab (catatan), dan hisab (perhitungan), maka alam

adalah kesia-siaan dan batil (tidak bermanfaat). Sekiranya di alam ini setiap

orang berbuat sesuai dengan apa yang diinginkannya dan berkata seenaknya

sendiri lalu semuanya berakhir tanpa ada hisab, pahala, dan siksa, maka ia

adalah makhluk yang sia-sia.

Akan tetapi, dunia ini berjalan, menuju kesempurnaan, dan bahtera

yang mengarungi (samudera) dunia yang keras ombaknya ini mempunyai

pelabuhan yang bernama kiamat yang di situ ia akan berlabuh, dan

meminjam ungkapan (ta’bir) Al-Qur’an yang dalam, “Bilakah tempat

berlabuhnya” (Q.S. Al-A’raf: 187). Mereka bertanya-tanya tentang Hari

Kiamat, kapan bahtera yang berlayar di laut dunia yang dahsyat ombaknya

dan menghebohkan ini akan berlabuh? Dan di mana pelabuhan itu? Maka,

jika bahtera ini mempunyai tempat berlabuh yang (di situ) ia (beristirahat

serta) merasa nyaman dari keletihan perjalanan, maka (alam ini) adalah

kebenaran (tidak sia-sia) dan (alam ini) adalah alam kebenaran.

Al-Qur’an mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dengan sia-sia

tetapi diciptakan dengan kebenaran dan bahwa sitem ini mempunyai masa

tertentu yang pada akhirnya ia sampai pada tujuannya, “Dan dalam waktu yang

ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan

kepada mereka” (Q.S. Al-Ahqaf: 3). Orang-orang kafir berpaling dari(dakwah)

para nabi yang mana mereka (para utusan Allah itu) telah mengingatkan,

mengancam, dan menjelaskan kepada mereka tentang akibat-akibat

buruk (yang bakal mereka terima) dari kerusakan (yang mereka lakukan).

Pada saat itu Al-Qur’an berargumentasi dan mengatakan: Sungguh

apa yang kalian katakan bertentangan dengan tauhid ar-rububi, dan apakah

patung-patung ini mengurusi suatu urusan? Dan apakah kalian melihat apa

yang dikatakannya (itu) tertulis dalam kitab samawi? Atau, pembicaraan

ini didukung oleh akal pemikir yang objektif? “Katakanlah, ‘Terangkanlah

kepadaku tentang apa yang kalian sembah selain Allah’” (Q.S. Al-Ahqaf: 4).

p:27

Beritahulah kami tentang maksud dari syirik? Dan beritahulah kami tentang

apa saja yang kalian sembah selain Allah? “Perlihatkan kepada-Ku apakah yang

telah mereka ciptakan dari bumi ini” (Q.S. Al-Ahqaf: 4). Apa yang dilakukan

oleh sesuatu yang kalian sembah selain Allah? Apakah ia pencipta? Apakah ia

menciptakan sesuatu dengan sendirinya? Ataukah ia memiliki peranan dan ikut

serta dalam pencip taan: Jika ia tidak menciptakan sesuatu pun lalu (apakah)

ia menjadi serikat Allah Swt dalam sebagian perbuatan, “Perlihatkanlah

kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adalah mereka

berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit” (Q.S. Al-Ahqaf: 4).

Kemudian Al-Qur’an berkata pada tambahan dua jumlah ini, “Bawalah

kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan dari

pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang

benar” (Q.S. Al-Ahqaf: 4). Jika apa yang kalian katakan memang benar,

maka datangkanlah saksi atasnya berupa kitab-kitab samawi yang terdahulu

atau dukunglah dengan tambahan ilmu dan dalil serta pemikiran yang logis.

Pembicaraan kalian seharusnya didukung oleh wahyu samawi atau akal

pemikir dan orang alim yang membelanya. Adapun apabila keikutsertaan

kalian(dalam penciptaan) tidak didukung oleh wahyu samawi, tidak ada

dasar samawi baginya dan tidak berdasarkan kepada pemikiran rasional, tidak

ada dasar akal baginya, maka saat itu pem bicaraan kalian tidak benar(batil),

dan pembicaraan yang batil tidak akan dapat menjatuhkan kebenaran,

“Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan

dari pengetahuan (orang-orang dahulu)”(Q.S. Al-Ahqaf: 4).

Jika kalian membawa suatu aliran diharapkan agama Allah yang tidak

didukung oleh wahyu samawi dan tidak disepakati oleh dalil akal yang jitu,

maka bagaimana mungkin aliran ini mampu menentang agama

Allah? Jika ia tidak didukung oleh pemikiran, hujah, dan argumentasi serta

wahyu samawi, maka ia terpaksa memanfaatkan cara iming-iming (targhib)

dan teror (tarhib) untuk memadamkan cahaya Allah. Jika mereka ingin

menjatuhkan kebenaran melalui jalan ini, maka ketahuilah bahwa ada orang-orang

sebelum kalian yang lebih banyak harta dan kekuatan (ketimbang

kalian), namun mereka tidak berhasil dan menemui kegagalan.

Ketika Qur’an berkata: Aku yang mencurahkan tenaga ini dan karena

sesuatu yang aku ketahui dari ilmu ekonomi, dan dengan ilmu ekonomi aku

memperoleh harta kekayaan yang melimpah ini, Allah Swt berfirman, “Dan

apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan

umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak

mengumpulkan harta?” (Q.S. Al-Qashash: 78). Tidakkah Qarun mengetahui

p:28

sejarah masa lalu supaya dia mengambil pelajaran atas apa yang Allah

lakukan terhadap orang-orang yang sebelumnya yang memiliki lebih banyak

harta kekayaan daripadanya, bagaimana mereka dihancurkan dan dijadikan

pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran? Jika Qarun yang

memiliki harta simpanan (al-kunuz) melihat kunci-kuncinya memberatkan

pundak orang-orang yang kuat, maka di dunia (juga) terdapat orang yang

lebih banyak harta simpanannya daripada dirinya, namun pada akhirnya dia

mengalami kehancuran dan kebinasaan abadi.

“Yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta.

Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa

mereka” (Q.S. Al-Qashash: 78).

Sampai firman-Nya:

“Maka Kami benamkanlah Qarun bersama rumahnya ke dalam bumi.

Maka, tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab

Allah, dan tidaklah ia termasuk orang-orang yang dapat membela (dirinya)”

(Q.S. Al-Qashash: 81).

Dan ketika datang hari yang berbahaya, maka kelompok perusak ini

yang tadinya berdiri melawan kebenaran, tidak memiliki kekuatan untuk

mendapatkan pertolongan dan melakukan tindakan balas dendam (intiqam)

dan tidak ada (pula) kelompok dari luar yang akan membantunya. Tidak akan

memperoleh pertolongan dan tidak ada pertolongan, tidak ada kekuatan

balas dendam dan tidak ada bantuan dari luar, tidak ada kekuatan dari

dalam yang akan membantunya dan tidak ada kekuatan dari luar yang akan

menyelamatkannya, karena (kekuatan) luar dan dalam di bawah pengaruh

Allah dan kekuasaan-Nya, “Tidak ada kelompok (satu pun) yang akan

menyelamatkannya selain Allah”. Maka, mereka tidak memiliki kemampuan

yang sebenarnya (qudrah dzatiyyah) untuk mendapatkan pertolongan dan

tidak ada bagi mereka kekuatan luar yang akan menolong mereka.

Di dalam surah an-Naba’, setelah Al-Qur’an menjelaskan bahwa

penuturan (mantiq) orang-orang kafir tidak berdasarkan kepada wahyu

samawi dan tidak berlandaskan kepada dasar rasional, ia berkata, “Dan

Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca

dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutus kepada mereka sebelum kamu

seorang pemberi peringatan pun” (Q.S. Saba’: 44). Yakni, bahwa perkataan

mereka tidak berdasarkan wahyu samawi dan logika yang logis. Dan saat

itu, Al-Qur’an berkata: Tidakkah orang-orang yang bersama kebatilan itu

mengetahui bagaimana Kami menghancurkan orang-orang sebelum mereka

yang lebih kuat ketimbang mereka.

p:29

“Dan orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan” (Q.S. Saba’:

45). Dan sebelum mereka, di sana ada orang-orang materialis dari para

penyembah berhala dan selain mereka yang mendustakan dakwah tauhid

para nabi, “Dan orang-orang yang sebelum mereka telah mendusta kan sedang

orang-orang kafir Mekah itu belum sampai menerima sepersepuluh dari apa yang

telah Kami berikan kepada orang-orang terdahulu itu” (Q.S. Saba’: 45). Allah

Swt berfirman kepada Rasul-Nya yang mulia Saw. : Sesungguhnya mereka

orang-orang kafir itu dan para penyembah berhala yang mana mereka tolong menolong

untuk memerangimu dan berusaha membinasakanmu, mereka

tidak memilki sepersepuluh kekuatan yang dimiliki orang-orang sebelum

mereka. Jika dilihat dari sisi harta, mereka tidak memiliki sepersepuluh

harta yang dimiliki orang-orang (yang sebelum mereka) itu; jika dilihat dari

sisi persenjataan, kabilah (suku), partai, dan persekongkolan internal dan

eksternal, mereka tidak memiliki sepersepuluh yang dinikmati oleh orang-orang

(sebelum mereka) itu dari kemampuan politik dan militer. Para taghut

dari orang-orang sebelum mereka memiliki puluhan kali lipat dari apa-apa

yang dimiliki oleh orang-orang kafir kontemporer. Meskipun demikian,

Kami telah hancurkan mereka dan sisa-sisa mereka berantakan.

“Sedang orang-orang kafir Mekah itu belum sampai menerima sepersepuluh

dari apa yang telah Kami berikan kepada orang-orang dahulu itu lalu mereka

mendustakan rasul-rasul-Ku”(Q.S. Saba’: 45).

Orang-orang kafir dahulu itu memiliki kemampuan politik dan

militer serta ekonomi sepuluh kali lipat lebih besar daripada orang-orang

(kafir Mekah) itu lalu mereka bangkit untuk memerangi para utusan-Ku.

“Lalu mereka mendustakan rasul-rasul-Ku. Maka alangkah hebatnya akibat

kemurkaan-Ku”(Q.S. Saba’: 45). Kemudian mereka berhadapan dengan

balasan (intiqam) Ilahi. “Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan

kepada orang-orang yang berdosa” (Q.S. As-Sajdah: 22). Al-Qur’an berkata:

barang siapa yang membawa kebatilan, maka Kami akan menghancurkan

kebatilannya, yakni katakanlah, “Telah datang kebenaran”. Akan tetapi,

bagaimanakah kebenaran itu menghancurkan kebatilan? Allah berfirman

dalam surah Al-Anbiya’, “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada

yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta

yang batil itu lenyap” (Q.S. Al-Anbiya’: 19). Dengan kebenaran Kami akan

menghancurkan kebatilan. Kebenaran akan melumatkan otak kebatilan dan

menyungkurkannya. Saat itu kebatilan akan terhapus dan bekas-bekasnya

tidak ada.

p:30

Ringkasnya, Al-Qur’an itu merupakan kitab cahaya, petunjuk, dan

obat. Ia mengemukakan dalil-dalil atas tauhid sisi per sisi bersama dengan

keyakinan (i’tiqad) dan keimanan. Dan Allah Swt telah mengajari Rasul-Nya

beberapa cara untuk menyampaikan cara berargumentasi dan membantu,

di antaranya apa yang dikatakannya kepada orang-orang yang

bersikeras (menolak) terhadap kebenaran: Seharusnya kalian mengemukakan

dalil atas dakwaan kalian atau (kalau tidak), kalian harus menerima dalil

kami. Dalil kalian harus bersandarkan kepada wahyu samawi atau kepada

logika yang rasional. Adapun jika pendapat kalian tidak didukung oleh

wahyu samawi dan tidak pula dibantu oleh akal lalu kalian tidak menerima

dengan tulus agama Allah, maka ketahuilah bahwa kalian akan gagal dalam

menghadang kebenaran, karena sebelum kalian terdapat orang-orang yang

lebih kuat dari kalian meskipun demikian mereka menemui kehancuran dan

mendapatkan balasan buruk dari Tuhan.

Saya berharap, mudah-mudahan ilmu tauhid ini meresap dalam hati

Anda yang dibarengi dengan rasa takut dan sikap tunduk yang khusus.

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para

ulama” (Q.S. Fathir: 28). Saya berharap pula, agar cahaya ini meliputi seluruh

individu umat Islam sehingga kita semua diselimuti dengan ayat yang mulia

ini, “Dan Kami berikan kepadanya cahaya (yang terang) yang dengan cahaya

itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat” (Q.S. Al-An’am: 122).

p:31

p:32

Pelajaran III

Ilmu dan Makrifat adalah Lahan Kecintaan (Tawalli) dan Kebencian(Tabarri)

Ilmu dan Makrifat adalah Lahan Kecintaan (Tawalli) dan Kebencian(Tabarri)

p:33

p:34

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Oleh karena Al-Qur’an adalah kitab cahaya dan hidayah Ilahi bagi

manu sia, maka ia menjelaskan seluruh makrifat dan hukum yang perlu dan

bermanfaat serta memiliki peranan dalam kesempurnaan manusia. Manu sia

adalah makhluk (maujud) yang bekerja dengan irâdah (kehendak). Oleh karena

itu, ketika Al-Qur’an ingin menentukan jalan kesempurnaan manusia, maka ia

harus mengatur prinsip-prinsip (mabâdi’) yang membentuk dan hal-hal buruk

yang mana mereka terbiasa dengannya dan hal-hal buruk yang mana mereka

harus membencinya dan apa yang akan dilakukan berkaitan dengan sumber-sumber

(mawârid) kecenderungannya dan sumber-sumber kebenciannya.

Jika manusia itu makhluk yang mempunyai satu dimensi saja dan

bergerak di satu dimensi, maka mereka tidak butuh kepada usaha dan

upaya keras ini. Karena manusia mempunyai dua dimensi maka terkadang

ia menginginkan satu hal, lalu berusaha keras untuk mendapatkannya, dan

terkadang lagi ia lari dari satu hal, lalu ia berhati-hati untuk tidak melakukannya.

Kebahagiaannya juga tergantung pada perbuatan-perbuatan

pilihannya. Oleh karena itu, seharusnya ia diarahkan dan dibimbing

terhadap apa saja yang harus disukainya dan apa saja yang harus diben cinya.

Manusia harus mendidik dirinya secara paksa tentang masalah cinta

dan benci. Inilah masalah formal dalam agama yang dinamakan dengan

tawalli (cinta) dan tabarri (berlepas diri dari sesuatu yang dibenci). Yakni,

suatu hal atau seseorang yang disukai serta dinikmati hubungan emosional

dengannya, sehingga terbentuklah ikatan emosional (aqd wala’) bersamanya;

dan suatu hal yang dihindari dan dibenci.

Oleh karena salah satu tema penting dalam pendidikan (tarbiyah)

adalah penanaman kecintaan dan permusuhan, dan karena salah satu

cara yang menonjol dalam bimbingan hidup adalah kecenderungan dan

kebencian, maka seharusnya prinsip-prinsip masalah ini diatur sedemikian

rupa. Manusia bukanlah makhluk yang beramal sesuai dengan ilmu

dan informasi saja, tetapi ilmu dan makrifatnya akan membentuk (baca:

membuka—Peny.) lahan tawalli, kecintaan, dan kecenderungan.

p:35

Tawalli dan kecintaan menjadi dasar untuk maju (bergerak) sementara

tabarri dan kebencian menjadi dasar untuk mundur(menahan diri).

Kebencian dan ketidakenakan ini akan menjadi penghalang baginya untuk

maju. Dan dasar aturan ini adalah kecintaan dan kebencian. Makhluk-makhluk

yang lain menikmati daya tarik (jalibah) dan daya tolak (dâfi’ah),

ia menarik sesuatu yang sesuai dengannya dan menolak sesuatu yang tidak

sesuai dengannya. Dengan dua sayap daya tarik dan daya tolak ini, ia sampai

kepada kesempurnaannya. Daya tarik dan daya tolak ini ketika melunak,

muncul dalam bentuk syahwat dan amuk (ghadab). Jika menjadi lebih

lunak (halus) daripada tingkatan ini, muncul dalam bentuk kecintaan dan

permusuhan. Jika tiba pada tempat yang lebih tinggi daripada tingkatan

ini, ia muncul dalam bentuk irâdah dan kebencian (karâhah). Dan jika

menjadi lebih halus dan lebih lunak dari tingkatan ini, ia memanifestasi

dalam bentuk tawalli dan tabarri dan menjadi salah satu tiang agama. Untuk

menyelamatkan diri dari bahaya tawalli yang batil dan tabarri terhadap

kebenaran, maka manusia harus bersandarkan kepada wahyu dan akal dan

hendaklah ia mengetahui tempat tawalli yang benar dan menyadari bahwa

apa yang ia berlepas diri darinya adalah kebatilan. Manusia tidak dapat

hidup tanpa kecenderungan dan kecintaan, sebagaimana ia tidak dapat

sampai kepada kesempurnaannya, jika tenggelam dalam laut cinta yang

batil. Dan ia tidak dapat juga menggabungkan antara cinta kebenaran dan

cinta kebatilan. Dan apa yang dapat ditarik sebagai suatu kesimpulan dari

Al-Qur’an adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Manusia; dengan cinta ia hidup, dan dengan cinta (pula) ia bekerja.

2. Tempat (bersemayam) cinta adalah hati.

3. Setiap insan menikmati satu hati (saja) dan tidak ada seorang pun

yang memiliki dua buah hati dalam rongganya.

4. Setiap orang yang hatinya disibukkan dengan cinta kebenaran,

maka dalam hatinya tidak ada tempat bagi cinta kebatilan. Dan hati yang

menjadi tempat bagi cinta kebatilan tidak akan menyisakan tempat kosong

bagi cinta kebenaran.

Ada kaidah-kaidah yang harus dijaga dalam mencapai cinta kebenaran,

sebagaimana ada kebutuhan-kebutuhan (lawâzim) setelah sampai

kepada cinta kebenaran. Al-Qur’an telah menjelaskan secara terperinci—

kaidah-kaidah dan kebutuhan-kebutuhan ini. Dan sesungguhnya telah

dijelaskan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa cinta, maka Al-Qur’an

mendefinisikan manusia sebagai laku yang memilih dan pelaku dengan

irâdah. Ikhtiar dan irâdah adalah cabang ketergantungan (al-ta’alluq). Ketika

p:36

manusia menginginkan sesuatu yang disukainya dan ia mengetahui manfaat-manfaatnya,

maka hatinya akan tergantung dengan manfaat-manfaatnya

sampai terbentuk di sisinya, irâdah, sesuatu itu. Ia juga tidak menyukai dan

membenci sesuatu yang ia ketahui bahayanya, sehingga apabila ia membenci

sesuatu yang ia ketahui bahayanya, ia akan berlepas diri darinya. Dari jalan

inilah hubungan (nisbat) keinginan (masyi’ah) dan ikhtiar dalam Al-Qur’an

terhadap manusia. Tidak syak lagi bahwa masyi’ah dan ikhtiar adalah cabang

cinta juga. Dan hati adalah wadah cinta karena ketertarikan dan cinta adalah

dua perkara ruhani yang harus berdampingan dengan intelektual (idrâk).

Oleh karena hati manusia adalah tempat pengetahuan dan tempat

masalah-masalah ruhani, maka dengan demikian ruh akan menjadi wadah

cinta. Hati memberikan tempat bagi cinta, dan cinta mempunyai tempat

di hati pecinta, sedangkan ruh adalah wadah cinta. Bahwa manusia tidak

mempunyai lebih dari satu hati dan lebih dari satu ruh, hal ini telah

dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Ahzab, “Allah sekali-kali tidak

menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya” (Q.S. Al-Ahzab:

4). Sedangkan bahwa kebenaran dan kebatilan tidak akan bertemu dalam

satu wadah, karena keduanya adalah dua hal yang berlawanan (naqidhani),

suatu tempat, maka saat itu tidak ada tempat bagi kebatilan, “Katakanlah,

‘Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak

(pula) akan mengulangi’”(Q.S. Saba’: 49).

Terkadang kebenaran itu menjadi lama dan terkadang pula menjadi

baru, dan ketika datang kebenaran dan mengejawantah, maka tidak ada

tempat bagi kebatilan yang lama atau yang baru. Ketidakbenaran tidak

akan berkumpul. Dan tidak ada hubungan apa pun antara kebenaran

dan kebatilan. Terkadang kebatilan itu berupa sesuatu yang lama dan

berpengalaman dan terkadang juga berupa sesuatu yang baru dan sesuatu

yang memulai “Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang’”, dan ketika datang

kebenaran, maka saat itu “dan yang batil itu tidak akan memulai dan

tidak(pula) akan mengulangi” tidak ada kebatilan yang baru mulai dan tidak

ada kebatilan yang lama.

Inilah pokok-pokok bahasan, dan ia terwujud dalam bentuk yang

bagus dari celah-celah ayat-ayat Al-Qur’an. Kecenderungan adalah cabang

cinta dan melarikan diri adalah cabang permusuhan dan benci. Oleh karena

itu, kita harus lebih teliti dalam pembahasan cinta dalam pandangan Al-

Qur’an yang mulia.

Kebaikan cinta dan kejelekannya dan kebaikan kebenaran dan kebatilan

bergantung kepada kebaikan yang dicintai (al-mahbub) dan kejelekannya,

p:37

karena cinta adalah hakikat yang mempunyai tambahan (idâfah). Maka (bagian)

nilai cinta termasuk dari nilai yang dicintai. Sesungguhnya ketergantungan

kepada cinta kebatilan adalah cinta yang dusta, dan ketergantungan

kepada cinta kebenaran adalah cinta yang benar (tulus). Jika sesuatu yang

dicintai adalah sebuah kebatilan, maka cinta ini akan berbahaya; dan jika

yang dicintai adalah sebuah kebenaran, maka cinta ini akan bermanfaat.

Agama telah menjelaskan cinta yang benar atau cinta yang tulus

dan cinta yang batil dan bohong yang mana kedua-duanya adalah sarana

kebahagiaan dan kehancuran dengan penjelasan sebagai berikut: Cinta

dunia adalah permulaan setiap kesalahan dan ketergelinciran, sedangkan

cinta kepada Allah adalah dasar setiap keutamaan dan kesempurnaan.

Dalam kumpulan riwayat di kitab yang berharga, Ushul al-Kafi pada bab

Hubbu Dunya (cinta dunia) terdapat banyak riwayat dari para manusia

suci, di antaranya riwayat berikut ini dari Rasulullah Saw. , “Cinta dunia

adalah puncak segala kesalahan”. Hubungan (buta) dengan dunia adalah

dasar setiap sikap salah dan kesalahan, karena cinta dunia adalah permulaan

setiap kesalahan dan kemaksiatan, dan dunia yang dimaksud bukan berarti

bumi dan langit, maka segala sesuatu yang menjauhkan manusia dari Allah

pada hakikatnya adalah dunia. Terkadang dunia itu berupa hubungan secara

alami (al-alaqah bitabi’ah, dan terkadang juga berupa hubungan dengan

ilmu dan bahasan-bahasan pemikiran yang malah menjauhkan manusia dari

kesempurnaan dan mendatangkan sikap arogan (ghurur), egois, dan takabur

padanya. Ini merupakan hijab (tabir) terbesar, dan sebagainya. Segala sesuatu

yang menjauhkan manusia dari Allah adalah dunia, dan dasar setiap tindakan

bahaya adalah cinta dunia. Dan segala sesuatu yang mendekatkan diri manusia

kepada Allah adalah permulaan keutamaan dan dasar setiap kebenaran.

Al-Qur’an yang mulia benar-benar memperhatikan dua dimensi

ini, begitu juga riwayat-riwayat para imam Ahlulbait. Mengenai

orang-orang yang beriman, ia berkata: Apabila orang-orang lain bergantung

ke pada berhala-berhala dan apa-apa yang serupa dengan itu, maka orang-orang

yang beriman hati mereka bergantung kepada Allah Swt, “Adapun

orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 165).

Dalam surah Al-Baqarah, ia menunjukkan cinta yang(dibalut dengan)

dusta. Ia berkata, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah

tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka

mencintai Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 165). Kemudian ia berkata, “Adapun

orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah”. Jika orang-orang lain

bergantung kepada kebatilan, maka orang-orang Mukmin lebih bergantung

p:38

kepada Allah Swt karena arwah mereka (orang-orang Mukmin) lebih tinggi

daripada arwah mereka (orang-orang kafir) dan apa yang orang Mukmin

cintai lebih tinggi dan lebih agung daripada apa yang mereka cintai. Oleh

karena itu, cinta orang-orang Mukmin lebih kuat—“Adapun orang-orang

yang beriman sangat cinta kepada Allah”.

Mengikuti wahyu Ilahi adalah jalan yang mengantarkan kepada cinta

Allah. Dalam surah Ali ‘Imran Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya,

“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah’” (Q.S. Ali ‘Imran: 31). Pecinta

menyukai bekas-bekas yang dicintainya dan hatinya bergantung kepada

ayat-ayat-Nya. Dan agamamu adalah bekas dari bekas-bekas sesuatu yang

dicintai. Oleh karena itu, mereka harus mengikutinya dan menaatimu serta

mengikutimu—“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah

aku”. Ikutilah Rasulullah Saw. karena pecinta menyukai bekas-bekas yang

dicintiainya. Dan ketika ia mengikuti bekas-bekas (sesuatu) yang dicintai,

maka akan terbentuklah di sisinya irâdah dan akan terdapat tawalli. Dan

apabila ia menemukan tawalli, maka ia akan menemukan pula Penggerak

dan Pendorong untuk maju (melangkah) dan beramal.

Al-Qur’an berkata: Jika kalian memang mencintai Allah, maka ikutilah

Allah, dan supaya Sang Kekasih (al-mahbubu) mendekatkan para pecinta-

Nya di sisi-Nya, maka dia menunjukkan mereka jalan (menuju) ke (diri)

Nya, melalui perantara rasul-rasul Allah. Agama ini dan meng ikuti nabi

serta menaati perintah-perintah agama, adalah melalui yang mendekatkan

pecinta kepada Sang Kekasih. Jika jalan ini dilalui, maka pecinta akan

sampai di rumah Sang Kekasih dan saat itu Sang Kekasih pun akan

mencintainya. Dan dalam bentuk ini—bentuk cinta timbal-balik—yang

itu sebagai tanda sampainya sang pecinta ke (hadirat) Sang Kekasih karena

“sampainya bekas(berarti) bekasnya sampai” maka jika sampai bekas Sang

Kekasih kepada sang peicnta, itu sebagai alamat sampainya sang pecinta

ke Sang Kekasih. Hal itu disebabkan sang pecinta bergerak atas dasar cinta

ini—“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya

Allah akan mencintai kalian”. Jika kalian mengikuti Rasulullah Saw. , maka

kalian akan menjadi kekasih-kekasih Allah. kalian sampai saat ini kalian

masih menjadi pecinta, maka mulai saat ini juga dan seterusnya kalian akan

menjadi kekasih dan setiap cinta pengaruh-pengaruhnya akan diberikan

kepada sang kekasih. Akan muncul pengaruh kekuasaan Ilahi atas sang

kekasih dengan cara pemanifestasian (tajalli) bukan dengan cara penyerahan

kekuasaan (tafwidh). Cara yang pertama adalah kebenaran dan cara yang

kedua adalah kemustahilan. Al-Qur’an yang mulia sering menjelaskan jalan

p:39

jalan yang mengantarkan manusia kepada Kekasihnya dan Penciptanya.

Ia berkata: Takwa adalah suatu jalan yang mendekatkan manusia kepada

Kekasihnya. Allah Sang Pencipta Swt telah berfirman:

Katakanlah, “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku; niscaya

Allah akan mencintai kalian” (Q.S. Ali ‘Imran: 31).

Sesungguhnya kekasih-kekasihnya Allah mereka memiliki keistimewaan ini.

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang takwa. (Q.S. at-Taubah: 4—7).

Maka, takwa adalah suatu jalan dari jalan-jalan cinta kepada Allah.

Manusia yang cinta kepada Allah, menjadi orang yang takwa, dan manusia

yang saleh, dan disukai oleh Allah—“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang

yang takwa, mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, mencintai

orang-orang yang sabar, mencintai orang-orang yang tawakal, mencintai orang-orang

yang memberi hak orang lain”. Muqsith adalah orang yang memberi hak

dan bagian orang-orang lain, sedangkan qâsith adalah orang yang mengambil

bagian orang-orang lain. Dan qâsith adalah orang yang memiliki qasth (huruf

qaf dibaca fathah) yang berarti orang yang melalimi dan memakan bagian

manusia. Tetapi, muqsith adalah orang yang memberikan hak setiap orang.

Dan setiap orang yang memberikan hak orang-orang lain sesuai apa yang

diperintahkan Allah, maka ia akan menjadi kekasih Allah karena ia melalui

jalan menuju kepada Allah, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang

tobat dan orang-orang yang membersihkan diri” (Q.S. Al-Baqarah: 222). Ia

orang yang bersuci dan disucikan juga. Dan orang yang takwa adalah orang

yang bersih hati dan suci ruh karena ia melalui jalan bersuci.

Jadi, jalan bersuci akan mengantarkan pecinta menuju ke Sang Kekasih

dengan cara ia pun menjadi dicintai Allah, “Sesungguhnya Allah mencintai

orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan

mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Q.S. Shaf: 4).

Merekalah yang melalui jalan jihad dan mereka berdiri seperti suatu bangunan

yang tersusun kokoh dalam berperang dan melawan musuh-musuh di dalam

(hawa nafsu—Peny.) dan musuh-musuh di luar, lalu mereka memperoleh

kemenangan. Mereka melalui jalan jihad dan peperangan, dan akhirnya

mereka sampai di hadapan Sang Kekasaih dan ketika mereka sampai di

hadapan Sang Kekasih, mereka mendapatkan siraman cinta-Nya.

Al-Qur’an berkata: Sesungguhnya orang-orang yang memiliki

keinginan-keinginan yang tinggi dan orang-orang yang berdiri dengan tegar

baik baja yang kuat dalam menghadapi musuh, mereka adalah kekasih-kekasih

Allah. Dengan demikian, ketika Dia berfirman dalam surah Ali

‘Imran, “Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku’“. Maka

p:40

kekasih-kekasih Allah adalah orang-orang yang mengikut langkah Rasulullah

Saw. . Sesungguhnya Al-Qur’an telah berkata dalam surah Shaf: Bahwa Allah

menyukai orang-orang yang melalui jalan jihad dan mengikuti Rasul Saw. .

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam

barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun

kokoh”, maka manusia harus menjadi kuat dalam menghadapi setan (dalam)

dirinya sendiri dalam peperangan di dalam dan begitu juga ia harus kuat

dalam menghadapi musuh luar dengan menjadi bangunan yang tersusun

kokoh pada dua (bentuk) jihad itu dan pada dua (bentuk) front itu sehingga

pada akhirnya ia menjadi dicintai di sisi Allah. Dalam shahifah as-Sajjadiyah

yang seperti kitab Zabur bagi keluarga Muhammad—salawat Allah dan

salam-Nya atas mereka semua—Imam Sajjad a.s. memohon kepada Allah

Tabaraka wa Ta’ala agar menyertakan beliau dalam barisan para kekasih-Nya

dan menulis nama beliau bersama para syuhada. Beliau berkata dalam doa

pertama dari shahifah as-Sajjadiyah:

Karuniailah aku taufik itu, sehingga aku di sisimu termasuk dari orang-orang

yang memuji. Suatu pujian yang kami akan merasa bahagia bersama

orang-orang yang bahagia dari para kekasih-Nya dan kami menjadi orang-orang

yang tertulis sebagai syuhada melalui pedang-pedang musuh-musuh-Nya.

Sesungguhnya Dia Wali (orang Mukmin) dan Maha Terpuji.

Demikianlah doa pertama dari shahifah as-Sajjadiyah di mana Imam

Sajjad memohon kepada Allah Swt agar memberinya taufik untuk memuji

dan menyanjung yang akan mengantarkannya kepada perolehan syahadah

di jalan-Nya “menjadi orang-orang yang tertulis sebagai syuhada melalui

pedang musuh-musuh-Nya” maka Allah mengaruniainya syahadah di jalan-

Nya melalui pedang musuh-musuh-Nya. Dan inilah bangunan yang baik,

baja yang kokoh dalam menghadapi musuh luar.

Dan dalam doa keempat puluh empat beliau mengatakan, “Dan

jadikanlah kami orang-orang yang tertulis sebagai orang yang berhak

mendapatkan tempat yang tinggi dengan rahmat-Mu”. Yakni, Ya Allah,

karuniailah kami taufik kemenangan dalam medan jihad besar menghadapi

hawa nafsu, sehingga kami berada di barisan wali-wali-Mu yang mendapatkan

derajat tertinggi dan kedudukan teragung, di jalan para syuhada dan sekaligus

bersama para wali. Pada peperangan di dalam diri, kami ingin menjadi wali-wali;

dan pada peperangan di luar, kami ingin disebut juga sebagai tentara

Allah. Ketika manusia mati syahid, maka dia menjadi tercinta di sisi Allah

sebagaimana apabila dia menang dalam medan perjuangan di luar, maka dia

juga tercinta di sisi Allah dan menjadi wali-Nya. Selama dia belum melalui

p:41

jalan menuju ke Sang Kekasih, maka dia sama sekali tidak akan menjadi dekat

dengan-Nya dan tidak akan menjadi kekasih dari Sang Kekasih. Dan manusia

menjadi tercinta di sisi Allah, ketika dia melalui jalan yang mendekatkannya

kepada-Nya. Salat merupakan pendekatan diri (qurban) setiap orang

yang takwa dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama juga merupakan

pendekatan diri setiap orang yang takwa serta mampu mendekatkannya dan

menjadikannya dekat di sisi Allah, maka saat itu dia menjadi tercinta di sisi

Allah. Dan ketika seseorang melalui jarak untuk menuju kepada Allah lalu

dia menjadi tercinta di sisi Allah, maka ruhnya akan menjadi wadah bagi

cinta Ilahi. Dan hatinya tidak akan bergantung kepada seseorang pun dan

kepada apa pun kecuali jika (dapat mendekatkannya) di jalan Allah dan di

jalan Sang kekasih (al-Habib).

Surah at-Taubah dan surah al-Mujadalah telah mengidentifikasi

garis-garis yang cukup lebar bagi cinta Ilahi. Dalam surat at-Taubah,

Al-Qur’an berkata: Setiap orang yang melalui jarak-jarak di

jalan Allah, dia tidak dapat merampok jalannya sendiri dengan(cara)

membiarkan hatinya bergantung kepada macam-macam cinta yang

batil atau bergantung kepada sesuatu yang tidak akan membiarkannya

meneruskan jalan menuju Allah atau dia mempunyai hubungan dengan

orang lain yang menjadi penghalang perjalanannya. Dalam surah at-

Taubah, terhitung ada delapan perkara yang termasuk hal-hal yang

penting dari masalah-masalah yang bersifat alami dan berbau dunia.

Al-Qur’an berkata: jika masalah-masalah ini merampok jalan manusia,

maka dia sama sekali tidak akan sampai kepada Allah atau apabila cinta

kepada masalah-masalah ini menjadi penghalang bagi kalian dalam melalui

jalan Allah, maka tunggulah azab Allah. Adalah hal yang maklum jika

cinta kepada Allah telah bersemayam dalam hati, maka perkara-perkara

yang memutus jalan Allah ini tidak memiliki pengaruh sama sekali.

Barang siapa menjadi tawanan masalah-masalah ini, maka dia diputuskan

akan menerima azab Ilahi. Ketika ada perintah jihad, dia mengemukakan

(mencari-cari) alasan. Pada suatu kali dia mengatakan, “Tidak ada seorang

pun di rumah kami”, dan pada kali yang lain, dia berkata, “Sesungguhnya

ayahku melarangku dari (hal) itu”. Pada kali yang lain lagi, dia berkata,

“Sesungguhnya ibuku melarangku dari itu”. Dan pada kesempatan lain dia

berkata, “anak”, dan pada kali yang lain, dia berkata, “Saudara lelaki”. Dia

mengemukakan alasan-alasan ini sebagai perampok jalan menuju jalan jihad.

Dalam surah at-Taubah ada khitab (seruan langsung—Peny.) untuk

Nabi Saw. agar mengatakan kepada mereka, “Katakanlah, ‘Jika bapak

p:42

bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu harta kekayaan

yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugian nya, dan

rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai’” (Q.S. at-Taubah: 24). Jika

salah satu dari delapan perkara ini memutus jalan kalian menuju kepada

Allah, maka saat itu nantikanlah azab Ilahi. “Adalah lebih kamu cintai

daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya” (Q.S. at-

Taubah: 24) dan kalian menyukai perkara-perkara ini dengan begitu tulus

atau murni (ashalah)—bukan cinta kepada-Ku dan kepada jalan-Ku—cinta

yang menghalangi kalian melalui jalan Allah, “Maka tunggulah sampai Allah

mendatangkan keputusan-Nya” (Q.S. at-Taubah: 24). Jika cinta kepada salah

satu dari delapan perkara ini yang disebutkan sebagai contoh saja bukan

sebagai penentuan(karena yang memutus jalan menuju kepada Allah bukan

hanya delapan perkara ini, (masih banyak yang lain—Peny.) atau cinta

kepada sesuatu yang lain lebih banyak daripada cinta kepada Allah dan

rasul-Nya dan lebih banyak pula daripada cinta jihad di jalan Allah, maka

tunggulah azab Ilahi—“Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan

keputusan-Nya”—dan ketahuilah bahwa kalian tidak akan pernah sampai

kepada tujuan yang kalian inginkan, karena perbuatan ini adalah kefasikan

dan penyelewengan, “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang

fasik”(Q.S. at-Taubah: 24). Penyelewengan dari jalan disebut dengan

kefasikan, dan kefasikan tidak akan dapat sampai pada suatu tujuan karena

ia merupakan penyimpangan. Dan orang yang fasik tidak akan mampu

mencapai tujuan kemanusiaan karena dia adalah orang yang menyimpang.

Makna demikian ini dijelaskan juga dengan cara lain dalam surah al-

Mujadalah, yaitu dibahas dari sisi positif dari suatu masalah(al-janib alijâbi

minal qadhiyah). Al-Qur’an berkata dalam surah al-Mujadalah, “Orang-orang

yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian tidak akan tersesat

selamannya dan mereka tidak akan menyayangi orang-orang yang

menyimpang dari jalan Allah”. Kemudian Al-Qur’an berkata, “Sesungguhnya

orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang

yang sangat hina” (Q.S. al-Mujadalah: 20). Sesungguhnya orang-orang

yang berkata bahwa dengan menentang orang lain bukan berarti menentang

Allah dan mereka melanggar batasan-batasan hukum Allah dan mereka

malah mempercayai hukum-hukum orang lain selain hukum Allah, (pada

dasarnya) mereka merupakan tingkat(masyarakat) yang paling rendah dan

paling hina. Kehinaan yang sangat telah ditetapkan atas mereka, “Allah telah

menetapkan, ‘Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang” (Q.S. al-Mujadalah:

21). Dan ini(dalam rangka) kepastian hukum Allah yang tidak menerima

p:43

pengeculian dan kemunduran dan ia adalah kepastian kemenangan para

rasul dan pengikut-pengikut mereka karena mereka bersandarkan kepada

Allah dan Allah Mahakuasa lagi Maha Perkasa. Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Q.S. al-

Mujadalah: 21).

Kemudian Ia mengatakan:

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah

dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang

Allah dan Rasul-Nya” (Q.S. al-Mujadalah: 22).

Oleh karena mereka mencintai Allah Swt, maka mereka tidak akan

mencintai orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah karena “Allah

sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya”

(Q.S. Al-Ahzab: 4). Oleh karena manusia hanya memiliki satu buah hati,

maka di hati manusia; yang saleh tidak ada lain kecuali cinta kepada

Allah. Dan tidak mungkin hati mereka (orang-orang yang saleh—Peny.)

akan condong kepada mereka yang berkata dengan (tindakan mereka

melaksanakan) batasan-batasan (hukum) orang (yang menentang Allah itu)

adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara

mereka, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada

Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang

menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau

anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka”.

Ada empat perkara dari delapan perkara yang tersebut dalam surah

at-Taubah yang mendapatkan perhatian khusus. Dan empat perkara yang

penting ini dari delapan perkara (tersebut) telah dijelaskan di sini. Al-

Qur’an berkata: para kekasih Allah tidak mungkin menyukai orang-orang

yang menyimpang dari jalan Allah, “Mereka itulah orang-orang yang Allah

telah menanamkan keimanan dalam hati mereka” (Q.S. al-Mujadalah:

22) dan tanda cinta Allah adalah tidak adanya cinta kepada sesuatu yang

asing (gharib) dari-Nya. Dan pengaruh cinta Allah, bahwa Allah akan

menetapkan keimanan di hati manusia yang sedang bercinta ini, “Allah telah

menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan

pertolongan yang datang dari-Nya” (Q.S. al-Mujadalah: 22). Sebagaimana

dosa dan penyelewengan juga ditetapkan di sebagian hati—“tetapi (dosa)

telah melekat (berkarat) dalam hati mereka atas perbuatan (keji) yang mereka

lakukan”—sedangkan keimanan dite tapkan juga di sebagian hati—“Allah telah

menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan

pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya ke dalam surga

p:44

(yang mereka tinggal) di bawah pohon yang terjalin dahan-dahannya dan

mengalir sungai-sungai di buminya yang hijau, “Mereka kekal di dalamnya.

Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan

rahmat)-Nya” (Q.S. al-Mujadalah: 22). Rida adalah konsekuensi dari cinta,

“Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap-Nya.

Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah

itulah golongan yang beruntung”.

Jika hati tercemari dengan cinta kepada orang lain, maka di sana tidak

ada tempat (kosong) bagi cinta kepada Allah. Hati yang bersih adalah hati

yang tidak ada di dalamnya tempat untuk pembicaraan seputar orang-orang

lain. Apabila setan belum keluar dari hati, maka tidak ada malaikat pun

yang masuk di dalamnya, dan (sebaliknya) tempat yang dikuasai oleh para

malaikat tidak akan dilalui oleh setan, karena setan akan lari dari kaum yang

sedang membaca Kitab Allah. Akan tetapi pengusiran setan dan datangnya

para malaikat di tempatnya masing-masing. Butuh kepada menghidupkan

(dengan melakukan amalan tertentu) malam-malam panjang, sehingga di

rumah ini tidak ada zikir lain selain zikir kepada-Nya.

Hal tersebut termasuk pengaruh cinta. Cinta adalah suatu jalan yang

mana setiap perjalanan ruhani melalui jarak menuju kepada-Nya, maka

cintanya kepada Allah akan bertambah dan merasa lebih dekat kepada

Kekasih-Nya. Cinta tidak dibarengi dengan kebekuan, dan cinta tidak

disertai dengan sikap statis, kemalasan, sikap diam (membisu), dan sikap

pasif. Cinta adalah suatu jalan yang akan mengantarkan si musafir cinta

kepada Kekasihnya. Allah berfirman dalam surah Ali ‘Imran, “Jika kalian

mencintai Allah, maka ikutilah aku” (Q.S. Ali’Imran: 31). Jalan cinta ini

mengatakan kepada si musafir: Jika kamu menginginkan agar sampai (di

depan) kehadiran (Dzat) Yang kudus (al-hadrah al-muqad dasah), maka inilah

jalan yang menuju ke perkampungan Kekasih. Maka, cinta adalah suatu

jalan, “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku”. Jika kalian menyukai

Allah, maka berlalulah di atas langkah Nabi kalian dan lewatilah jalan

cinta menuju Allah. Nabi adalah kekasih (habib) Allah, dan mengikut habib

Allah berarti melalui jalan cinta dengan melaksanakan tugas-tugas agama

(at-takâlif ) dan bangkit untuk memerangi setan pada jihad hawa nafsu dan

begitu juga bangkit untuk melawan orang-orang kafir pada jihad di luar.

Cinta bukan berarti duduk di pojok-pojok. Cinta adalah jalan hati dan

juga suatu jalan di luar. Cinta adalah usaha dan jerih payah dan cinta adalah

penelitian—atau pertanyaan—(istiqsa’). Pada mukadimah (cinta) terdapat

habib Allah dan umat sesudah habib Allah. Masjid yang dibangun dengan

p:45

tangan (suci) Nabi, masjid yang dibangun di bawah pengawasan Nabi Allah

dan umatnya turut serta membangunnya, di dalamnya terdapat orang-orang

laki-laki yang mondar-mandir di masjid ini untuk bersuci, “di dalamnya ada

orang-orang laki-laki yang mereka menyukai untuk membersihkan diri” (Q.S.

at-Taubah: 108). Mereka ingin bersuci dari polusi alam, mereka ingin mandi

dari kotoran-kotoran alam materi, mereka ingin sampai ke suatu derajat

yang mana mereka akan menjadi kekasih-kekasih Allah, “Sesungguhnya

Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang

menyucikan diri” (Q.S. Al-Baqarah: 222). Di dalam masjid terdapat orang-orang

yang suka untuk bersuci. Dan jalan penyucian dan pembersihan

tertutup bagi orang yang di dalam hatinya terdapat rasa dengki dan benci

kepada saudara seimannya, karena orang seperti ini tidak akan (dapat) sama

sekali melalui jalan cinta, karena tidak boleh ada rasa dengki pada seorang

Muslim atas orang Muslim yang lain, “Janganlah Kau letakkan dalam hati

kami (perasaan) dengki (dendam) atas orang-orang yang beriman” (Q.S. al-

Hasyr: 10). Pada waktu yang akan datang kami akan membahas—insya

Allah—makna dari cinta yang berbahaya, makna dari penyimpangan dari

jalan (lurus), dan apa bahaya-bahaya cinta yang dusta.

Cinta yang hakiki dan cinta yang tulus adalah hendaklah manusia

melalui jalan Allah. Al-Qur’an berkata, “Jika kalian mencintai Allah, maka

ikutilah aku” (Q.S. Ali ‘Imran: 31). Ikutilah aku. Rasulullah mendaki ke

suatu tempat yang tinggi lalu beliau berkata kepada umatnya, “Marilah”

(tâ’alau), mendakilah kalian juga ke tempat yang tinggi. Jika mereka memang

berada pada tingkat yang sama, maka beliau (melalui Al-Qur’an) tidak akan

berkata “marilah” (tâ’alau), tetapi berkata “kepa dakulah” (ilayya). Orang

yang berada di puncak gunung akan berkata kepada orang yang di kaki

gunung tâ’al(kemarilah). Adalah hal yang biasa di desa-desa dan di kota-kota

yang terletak di kaki gunung bahwa anak-anak kecilnya turun pada suatu

pagi untuk bermain di lembah-lembah. Jika waktu malam sudah tiba wali-wali

mereka akan memanggil mereka; “tâ’alau. Seorang ustaz berkata kepada

muridnya, “tâ’al” dan imam berkata kepada umatnya: “tâ’alau”. Meminjam

ungkapan Al-Qur’an, Rasul telah berkata kepada umatnya: Kemarilah

janganlah kalian tetap berada di bawah, dan turun ke bawah dan tinggal di

tempat datar sahl. “Maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh

jalan yang mendaki lagi sukar?’ (Q.S. al-Balad: 11). Nabi Saw. telah menaiki

tempat-tempat yang tinggi ini dan beliau memanggil-manggil kita dari

puncaknya: Naiklah kalian ke tempat yang tinggi ini dan mengapa kalian

tidak datang ke sini? “Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)

p:46

yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu” (Q.S. Ali ‘Imran: 64). Dan

puncak itu adalah puncak tauhid dan itu adalah rawa syirik, maka janganlah

kalian tetap di dalam rawa-rawa, dan puncak itu adalah puncak kenabian

dan janganlah kalian tetap tinggal di rawa ateisme dan pengingkaran,

“Bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia

dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang

lain sebagai Tuhan selain Allah”(Q.S. Ali ‘Imran: 64). Maka, janganlah hati

kalian bergantung kepada selain Allah—“dan tidak kita persekutukan Dia

dengan sesuatu pun”—dan puncak-puncak yang tinggi ini adalah puncak-puncak

kesempurnaan insani, dan habib Allah telah pergi ke puncak yang

tinggi ini dan beliau memanggil umatnya untuk datang di belakangnya ke

puncak ini—“Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang

tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali

Allah”—tauhid ‘ibadi adalah puncak yang tinggi yang umat harus melalui

jalan menuju kepadanya, dan juga—‘dan tidak sebagian kita menjadikan

sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”—tauhid rububi adalah puncak

yang menjulang dalam kesempurnaan insani.

p:47

p:48

Pelajaran IV

Cinta, Jalan Allah, dan Caranya

Cinta, Jalan Allah, dan Caranya

p:49

p:50

Cinta, Jalan Allah, dan Caranya

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Pada Majelis terdahulu kami telah menyampaikan tema cinta

dengan dasar bahwa kesempurnaan insani berada di bawah naungan

tindakannya yang didukung oleh irâdah (al-’irâdi), dan irâdah adalah

hasil cinta. Apabila tidak ada kecenderungan dan cinta, maka tidak

ada irâdah. Dan apabila tidak ada irâdah, maka tidak ada kebangkitan

dan keberanian bertindak. Begitu juga sebaliknya, jika tidak ada rasa

benci dan tidak suka, maka tidak ada pengekangan dan penahanan diri.

Apabila tawalli dan tabarri termasuk dasar-dasar agama yang otentik,

maka cinta dan permusuhan adalah bentuk persahabatan emosional

(wilayah) dan sikap melepaskan diri (barâ’ah). Maka, manusia mencintai

kekasihnya dan melepaskan diri dari apa yang dibencinya dan menyukai

sesuatu yang disukainya dan melepas kan diri dari orang yang dibencinya.

Masalah tawalli dan tabarri akan menjadi kabur (tidak jelas) jika tidak

ditentukan standar-standar cinta. Kami telah menjelaskan pada pelajaran

terdahulu—sampai pada batas tertentu—hubungan antara tawalli dan

tabarri dengan irâdah dan rasa benci dan juga hubungannya dengan cinta

dan permusuhan dan begitu juga dengan syahwat dan marah dan dengan

daya tarik dan daya tolak. Daya tarik dan daya tolak adalah tingkat terendah,

dan tingkat tertinggi adalah tawalli dan tabarri. Dan di antara derajat

yang tinggi dan derajat yang rendah ini terdapat juga derajat menengah.

Telah dijelaskan juga pada pelajaran terdahulu bahwa ruh manusia adalah

wadah cinta. Manusia tidak memiliki lebih dari yang dipalsukan dengan

stempel palsu. Jika manusia menjadi kekasih kebenaran (al-haq), maka tidak

mungkin dia menjadi pecinta selain kebenaran. Dan apabila dia menjadi

pecinta kebatilan maka tidak mungkin dia menjadi kekasih kebenaran.

Terdapat saksi-saksi dalam ayat-ayat Al-Qur’an atas masalah ini.

Pembahasan ini harus disebut dalam tambahan pembahasan terdahulu.

Telah diriwayatkan dari Imam keenam as: “Bukankah iman itu tidak ada lain

kecuali cinta dan benci”.(1)

Karena manusia atas dasar cinta berani bertindak.

Jika dia memiliki kekasih yang hakiki, maka cintanya memang benar, dan

ia akan bangkit atas dasar standar cinta ini. Ketika Ibrahim al-Khalil a.s.

p:51


1- 3 Ushul al-Kafi, bab “Cinta dan Benci Karena Allah”.

mengemukakan argumentasi tauhid meskipun Allah memberitahukannya

kerajaan (malâkut) langit, namun beliau menyampaikan masalah melalui

jalan cinta, dan beliau berkata, “Aku tidak menyukai(sesuatu) yang

hilang (tenggelam)”. Sesuatu yang hilang (tenggelam) tidak layak untuk

mendapatkan cinta. Apabila manu sia bergantung kepada dirinya atau

kepada sesuatu dari komponen-komponen alam fisik, maka sesungguhnya

dia bergantung kepada sesuatu yang hilang dan fana. Ketika kekasihnya

hilang dan raib, maka sesuatu (yang tadinya) menjadi sebab kecintaannya

dan kedamaiannya (di sisinya) akan menjadi sebab kesedihannya dan

penderitaannya. Dan cinta semen tara dapat (saja) berubah menjadi cinta

abadi jika sesuatu yang dicintai kekal dan abadi. Adapun jika sesuatu yang

dicintai itu akan hilang (tidak kekal), maka hal itu akan mendatangkan

kesedihan dan penderitaan.

Seandainya hati bergantung kepada sesuatu yang sementara dan akan

hilang, maka hubungan ini yang (tadinya) menjadi sebab kegembiraan

dan kebahagiaan (pada akhirnya) akan berubah menjadi kehancuran dan

penderitaan. Ketika yang dicintai pergi yang mana (tadinya) dia sampai

sekarang(sebelum kepergiannya) adalah penyebab kelezatan dan kedamaian,

maka hal itu menyebabkan kesedihan dan kegelisahan. Oleh

karena ketika sesuatu yang dicintai pergi, maka (tentu) kepergiannya

tidak membawa pengaruh terhadap orang yang hatinya tidak bergantung

kepadanya; adapun orang yang mencintainya dan bergantung hatinya

kepadanya, maka itu akan mengundang kesedihan. Asmara (mahabbah)

ini nampak ketika yang dicintai lenyap, maka ia akan menderita, dan

ketergantungan (juga nampak) ketika tempat ketergantungan hilang,

maka hal itu akan membawa kehancuran. Dan cinta selain Allah, di

samping ia merupakan jalan yang menyimpang; ia juga menjadi bagian

dari bentuk asmara ini sendiri yang akan menyebabkan kehancuran.

Oleh karena itu, Allah Swt mengajak orang-orang Mukmin untuk

membangkitkan kembali logika Ibrahim al-Khalil karena beliau telah

menjadi kekasih Allah, “Aku tidak menyukai sesuatu yang hilang”. Dan

Allah telah menerimanya dan menjadikannya sebagai kekasih dan kesayangan-

Nya:

“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya“(Q.S. an-

Nisa’: 125).

Dan saat itu, Dia berfirman:

“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang

yang mengikutinya dan Nabi ini” (Q.S. Ali ‘Imran: 68).

p:52

Logika mereka harus dibangkitkan kembali, logika yang bangkit atas

dasar pandangan alam malâkut. Setiap yang cenderung kepada tenggelam

dan hilang tidak akan dicintai, karena hakikat cinta ini akan berubah pada

suatu hari menjadi penyebab kehancuran. Diriwayatkan berikut ini yang

dinukil dari perkataan para imam, “Ya Allah, aku tidak menyembah-Mu

karena rasa tamak akan surga-Mu dan tidak pula karena rasa takut akan

neraka-Mu, tetapi aku mendapatkan-Mu memang layak disembah, maka

(karenanya) aku menyembah-Mu”, kembali kepada dasar yang orsinil ini.

Cinta kepada Yang Maha Hidup yang tidak mati, akan menyebabkan

keabadian (cinta) dan tidak terjadi(bersemi) atas dasar pirbadi (nafs) dan

kelezatan-kelezatan diri. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa

cinta adalah cara (thariqah) dan cinta adalah jalan dan cinta adalah peraturan

(syara’).

Cinta bukanlah lintasan dan gambaran di dalam pikiran yang atas

dasarnya seseorang berkata, “Aku kekasih Allah”, sebagaimana telah kami

jelaskan secara terperinci pada pelajaran lalu dalam surah Ali’Imran ketika

kami mendefinisikan bahwa cinta kepada Allah adalah suatu jalan, “Jika

kalian memang benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah

akan mencintai kalian” (Q.S. Ali ‘Imran: 31). Jika kalian memang mencintai

Allah, maka ikutilah Rasul-Nya. Nabi adalah habib (kekasih) Allah. Dan

habib Allah telah melalui jalan kesempurnaan menuju kepada Allah, maka

bergeraklah kalian untuk berjalan di atas bekasnya—“Maka itulah aku,

niscaya Allah akan mencintai kalian”.

Dengan demikian, siapa pun yang mengklaim cinta kepada Allah dan

tidak mengikuti Rasul-Nya, maka ketahuilah bahwa klaimnya tidak berdalil;

klaimnya bohong. Dan setiap orang yang mencintai Allah, maka dia tidak

pernah membiarkan Rasul-Nya sendiri pada saat-saat dan waktu-waktu yang

menegangkan dan berbahaya. Allah Swt telah menge nalkan orang-orang Mukmin

bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang tidak membiarkan

RasulNya sendiri pada situasi-situasi genting dan sulit, “Dan apabila mereka

berada bersama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan,

mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya”

(Q.S. an-Nur: 62).

Di dalam surah Nur terdapat definisi orang-orang Mukmin yang benar,

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin”. Orang Mukmin hakiki

dan sempurna adalah orang yang memenuhi kategori-kategori berikut ini:

“Ialah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Mereka dilihat dari

sisi akidah, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, “Dan apabila mereka

p:53

berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan

pertemuan, mereka tidak meninggalkan (beliau) sebelum meminta izin”

(Q.S. an-Nur: 62). Dilihat dari sisi sosial, di antara mereka saling tolong

menolong pada saat kebangkitan umat, dan hendak lah mereka sama sekali

tidak membiarkan pemimpin mereka berjuang sendiri dan meninggalkan

Nabi Allah sendiri, dan hendaklah mereka tidak pergi sehingga mereka

meminta izin dulu kepadanya meskipun pekerjaan mereka sangat penting.

Dan—“Apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan

yang memerlukan pertemuan”—maka mereka sekali-kali tidak meninggalkan

beliau dalam masalah-masalah sosial dan masalah-masalah umum kecuali

setelah meminta izin dan lisensi dalam hal itu.

Oleh karena Nabi Saw. berada pada barisan terdepan dan sebagai

imam umat dalam perkara-perkara keagamaan dan pelaksanaan tugas-tugas

Ilahi, maka umat yang menerima ajakan(dakwah) cinta kepada Allah harus

mengikuti Nabi dengan akal dan hati mereka. Cinta tidak sesuai dengan

sikap non-aktif, kebekuan, dan statis. Cinta adalah suatu jalan; apabila

manusia melalui jalan ini dan mendekat kepada Sang Kekasih, mendekat

kepada Allah, maka dia menjadi kekasih Allah. Al-Qur’an berkata: Lewatilah

jalan menuju Allah ini, supaya kalian menjadi kekasih-kekasih di sisi Allah,

“Jika kalian memang benar-benar mencintai Allah, maka ikuitlah aku, niscaya

Allah akan mencintai kalian”, dan Al-Qur’an telah menentukan sifat-sifat

kekasih Allah sebagaimana telah dijelaskan tentang pengaruh cinta Allah

(al-mahabbah al-ilahiyyah) pada pembahasan pelajaran terdahulu. Lalu,

siapakah orang-orang yang dicintai di sisi Allah? Dan apa jalan yang dapat

mengantarkan kepada kedudukan (maqâm) ini?

Sementara riwayat yang disebutkan dalam kumpulan-kumpulan

riwayat (al-jawami’ ar-rawaiyah) membeberkan bahwa manusia yang

paling utama dalam perjalanan cinta kepada Allah adalah orang yang cintanya

telah meresap dalam hatinya dan merindukan ibadah, sebagaimana

dinukil oleh Almarhum al-Kulaini dalam al-Kafi pada bab al-‘Irâdah dari

salah seorang imam as: “Manusia yang paling utama adalah orang yang

merindukan ibadah lalu dia memeluknya dan menyukainya dengan hatinya

dan berhubungan dengannya melalui badannya dan menyendiri dengannya

(menekuninya)”.(1) Al-‘isyq adalah cinta (mahab bah) yang sempurna; al-‘isyq

adalah penjagaan terhadap sesuatu yang ada dan kerinduan untuk mencari

sesuatu yang hilang. Manusia menyembah bersama dengan kerinduan supaya

sampai kepada tingkat ‘isyq dalam ibadah. Riwayat itu berbunyi: Sebaik-

p:54


1- 4 Ibid., bab “Ibadah”.

baik manusia adalah orang yang mencapai tingkat isyq dalam ibadah karena

ibadah itu sendiri adalah suatu yang jalan juga berguna untuk mencapai

tingkat isyq terhadap sesuatu yang disembah (al-ma‘bud). Kalau tidak, maka

barang siapa yang mengalami ‘isyq dalam ibadah karena ibadah (itu sendiri)

(bukan karena sesuatu yang disem bah—Peny.), dia (sebenarnya) berhenti

di jalan dan belum sampai ke tujuan. “Barang siapa yang mengutamakan

‘irfan (pencapaian ma‘rifah melalui ibadah) karena ‘irfan, maka dia telah

mengatakan dengan yang kedua”.(1) Jadi, barang siapa yang mengalami

isyq dalam beribadah, dia berada di pertengahan jalan dan belum sampai

ke tujuan. Alhasil, orang yang telah sampai ke tujuan adalah orang yang

menjadikan kekasihnya (ma‘syuq) sebagai tempat sasaran) penyembahannya

(ma‘bud), bukan ibadahnya. Riwayat itu mengatakan, “Sebaik-baik manusia

adalah orang yang mengalami ‘isyq dalam ibadah”. Sebaik-baik manusia

bukanlah orang yang melaksanakan ibadahnya sebagai (tuntutan) kewajiban

(takâlif ) dan dia menikmatinya, dan juga bukan orang yang mencintai

ibadah itu sendiri sehingga ibadah itu menjadi kecintaan di sisinya. Tetapi

sebaik-baik manusia adalah orang yang mengalami isyq dalam ibadah dan ini

merupakan tingkatan cinta ibadah yang tertinggi.

Adapun kisah yang disebutkan dalam sejarah pendidikan Sayid Ibn

Thawus yang mana beliau termasuk kebanggaan dunia Islam bahwa beliau

merayakan usia balig anaknya, maka perbuatan ini termasuk dari mukadimah

isyq itu. Ibn Thawus berkata kepada anaknya pada peringatan masa balig dan

usia taklif (kewajiban untuk menjalankan ajaran agama):

“Aku bersyukur kepada Allah Swt yang mana Dia telah mengantarkanmu

ke usia muda dan ke usia taklif, sehingga kamu termasuk dalam

khitab (seruan)Nya Swt. Allah belum pernah menyerumu dan belum pernah

meminta sesuatu darimu, tetapi mulai hari ini kamu menjadi tempat khitab

Ilahi dan termasuk dalam cakupan firman Allah Swt, “Wahai orang-orang

yang beriman”. Sekarang kamu adalah bagian dari mereka orang-orang

yang mendapatkan khitab Ilahi. Dan saya mensyikuri keutamaan ini—

yakni sampainya kamu ke usia balig dan masa kemuliaan (tasyarruf)—

dengan mengadakan perayaan ini. Dan ini adalah perayaan kemuliaan

bukan kewajiban. Aku bersyukur kepada Allah Yang Mahatinggi yang telah

menjadikanmu sebagai tempat khitab-Nya bukan untuk menunaikan tugas

dan kewajiban, karena tidak ada paksaan dan keberatan. Mendengarkan

khitab Ilahi serta menjalankan perintah Ilahi adalah suatu kemuliaan

(tasyrif ) bukan suatu kewajiban (taklif ), dan ini adalah mukadimah cinta

p:55


1- 5 Isyarat Ibnu Sina, pasal 20 dai bentuk ke-9.

itu”. Demikianlah rahasia yang dinukil oleh al-Kulaini dari sabda Rasulullah

Saw. , “Sebaik-baik manusia adalah orang yang mengalami ‘isyq dalam

ibadah lalu dia memeluknya dan mencin tainya dengan hatinya …” Karena,

seseorang yang mencapai tingkatan ini, akan memahami bahwa cinta

yang bohong akan berubah menjadi kegelisahan dan kemurungan ketika

kehilangan sang kekasih. Apabila kekasih hilang, maka orang-orang lain tidak

merasakan kesedihan dan kehancuran itu, tetapi pecinta itu sendiri yang

terbakar dengan api perpisahan. Asmara yang kemarin menjadi penyebab

kebahagiaan, sekarang malah menjadi penyebab penderitaan.

Kalau begitu, jika kekasih hilang, maka itu menjadi penyebab kesedihan.

Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang mencintai “Yang Maha Hidup

dan tidak mati”. Ketika Kekasih menjadi abadi, maka pecinta seharusnya

melalui perjalanan menuju puncak derajat cinta yaitu al-‘isyq. Dan ‘syiq

membangkitkan pengaruh-pengaruh Sang Kekasih (al-ma‘syuq) pada diri

pecinta (al-‘âsyiq). Ada satu macam tanaman yang tumbuh di samping

pohon dan melilit di atas barangnya. Mereka mengatakan bahwa tanaman

ini telah mengalami ‘isyq. Ia melilit di atas pohon dan menutup jalan-jalan

pernapasan atasnya dan menjadikan daun-daunnya kekuning-kuningan

(pucat) serta menjadikan kerontokannya lebih cepat sehingga mencegah

kematangan buahnya. Ia menjadikan pemandangannya menjadi kuning

(pucat) dan tidak membiarkannya bernapas. “Setiap orang yang jarang tidur,

maka wajahnya lebih nampak kuning (pucat)”. Dan pecinta ini berwajah

kuning (pucat) karena ‘isyq itu telah menutup jalan-jalan pernapasannya.

Rasa rindu dan gejolak itu tidak membiarkannya meneruskan perkembangannya

dan tidak meninggalkannya untuk memperoleh ukurannya yang

sesuai. Padahal, dari sisi perkembangannya dengan sendiri dia seharusnya

memperoleh lebih dari ukuran ini yang sekarang dimilikinya. Riwayat itu

mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang memeluk ibadah dan

berhubungan dengannya melalui badannya”. Dan niat ini yang kita sertakan

di saat salat adalah niat secara teoretis (realitas di otak, al-haml al-awwali—

Peny.). Namun, menurut istilah ahli makna adalah kelalaian secara praktis

(realitas di luar ota, al-haml as-syâi’—Peny.) Dan siapa yang berkata: Saya

salat dengan empat rakaat ini untuk pendekatan diri kepada Allah Swt,

maka makna yang terlintas dalam pikiran adalah Alhaml al-awwali tetapi

pada hakikatnya ia adalah kelalaian dengan al-haml as-syâi’. Dan niat adalah

kebangkitan kembali, terbang (membumbung), dan kecenderungan serta

usaha meninggalkan alam fisik.

Itulah yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar dan sebagian ahli

p:56

makrifat (al-‘urâfa’): Sungguh saya terhentak ketika saya mendengar sebagian

orang yang ketika mereka mendirikan salat, seluruh panca indra mereka

bersama dunia dan alam fisik lalu orang-orang itu mengatakan “Assalamu

‘alaikum” ketika selesai salat. Sebab emosiku adalah: orang yang terpisah

dari jamaah salat kemudian dia kembali kepadanya kedua kali, yakni orang

yang tidak hadir pada saat (salat) jamaah lalu dia kembali kepadanya, dia

dapat menghadiahkan salam dan ucapan penghormatan dan mengatakan

“Assalamu ‘alaikum” tetapi orang yang bersama jamaah dan bersama orang-orang

lain, dia berada di tengah-tengah kehadiran mereka dan orang-orang

lain pun hadir bersamanya. Dia bersama manusia dan manusia bersamanya,

maka tidak ada baginya anjuran untuk mengucapkan salam. Ahli makrifat

(al-‘ârif ) yang agung ini berkata: Jika salatnya orang yang salat

adalah “mi’raj ruhani bagi seorang Mukmin” atau “apabila seorang yang salat

mengetahui kepada siapa dia bermunajat, niscaya dia tidak terlilit dengan

dunia”.(1) Sungguh dia benar-benar bermunajat kepada Tuhannya atau

jika—“salat adalah kurban setiap orang yang takwa”,(2) maka dia akan

terbang (membumbung) dengan niatnya dari alam materi dan rumah. Dia

benar-benar gaib dari alam fisik dan dari jamaah serta dari kehadiran orang

lain dan mereka juga tidak terlintas dalam pikirannya. Dia hanya bersama

sesuatu yang disembahnya dan ketika selesai salat dan dia kembali dari

puncak ketinggiannya dan setelah menyelesaikan munajatnya bersama Allah

lalu berhubungan dengan para jamaah dan dia datang di tengah-tengah

kehadiran orang lain dan merasa senang dengan mereka, maka saat itu dia

berkata, “Assalamu‘alaikum warahmatullah wabarakatuh”.

Jadi, salat ini yang diharamkan (dari perbuatan apa pun yang dapat

membatalkan ketentuan salat) dengan takbir dan dihalalkan dengan taslim

(ucapan salam) dan orang yang salat ini yang haram (baginya untuk melakukan

perbuatan di luar ketentuan salat) dengan perkataannya “Allahu akbar” dan

menghalalkan(untuk melakukan perbuatan yang tadinya haram dikerjakan

di waktu salat) dengan perkataannya “Assalamu alaikum”, orang seprti ini

dapat mengucapkan salam atas orang-orang lain. Akan tetapi, orang yang

salat itu yang mana pancaindranya masih bersama manusia dan dia belum

mampu menghilangkan ingatannya terhadap dunia dan penghuninya, maka

dia(sebenarnnya) belum gaib dari jamaah, sehingga ketika dia kembali

kepadanya, dia tidak dapat (baca: tidak pan tas—Peny.) mengucapkan salam.

Riwayat itu mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang

mengalami ‘isyq dalam ibadah, “Segala bentuk ibadah: finansial dan fisik

p:57


1- 6 Man La Yahdurh al-Faqih, bab “Shalat”.
2- 7 Ibid.

dan pembentukan (perpaduan) antara fisik dan finansial, dan semua

ibadah internal dan eksternal, “Bukankah keimanan itu tidak ada lain

kecuali kecintaan dan kebencian”.(1)

Sebaik-baik manusia, semulia-mulia manusia, dan sehormat-hormat manusia adalah yang mengalami ‘isyq dalam

ibadah lalu dia memeluknya dan berhubungan dengannya melalui badan-

nya. Namun, cinta dunia telah menghalangi manusia untuk mencapai

kedudukan yang tinggi ini. Pada bab cinta dunia dari kitab al-Kafi terdapat

riwayat yang dinukil dari perkataan salah seorang imam, “Cinta dunia adalah

pangkal segala kesalahan”.(2) Dan dua kelompok (Syiah-Sunah—Peny.) telah

meriwayatkan sabda Rasulullah Saw. , “Tidak lah dua serigala buas yang

berada di hadapan kambing yang telah ditinggalkan penggembalanya

yang mana salah satunya (memangsa) di bagian depannya dan yang lain

(memangsa) di bagian belakangnya lebih buruk daripada cinta dunia dan

kemuliaan(jabatan) pada agama seoroang Muslim”.(3)

Cinta yang batil dan hubungan dengan dunia serta kedudukan atau

jabatan akan menghilangkan agama dari pangkalnya, di mana serangan dua

serigala buas terhadap sekawanan domba tanpa penggembala tidak lebih buruk

darinya. Ketika serigala menyerang sekawanan domba, dia memangsa sesuai

dengan kebuasannya, tidak sekadar kebutuhannya terhadap makanan. Dia tidak

pernah merasa kenyang, dan tabiat kebuasannya tidak akan pernah terpuaskan.

Para ulama Syiah dan Ahlusunah telah menulis beberapa risalah seputar

tema yang diperbincangkan oleh hadis yang terdahulu yang diriwayatkan dari

Rasul yang mulia Saw. Masalah tersebut pada akhirnya juga menjadi perhatian

kaum intelektual dari kalangan khusus dan umum yang menulis risalah yang

banyak dalam menjelaskan hadis ini. Jika Imam a.s. berkata, “Cinta dunia

adalah pangkal segala kesalahan”, Maka tidak dapat dibantah bahwa cinta

Allah adalah dasar, pangkal, dan pondasi segala kebenaran, kemaslahatan,

dan keutamaan. Dan kedua-duanya mempunyai dasar dalam Al-Qur’an.

Cinta Allah adalah puncak segala keutamaan, dan dasar Al-Qur’annya

telah dikemukakan pada pelajaran-pelajaran terdahulu. Sedangkan

“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan”, makna ini telah terdapat

dalam surah an-Nahl, “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk

kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya” (Q.S. an-Nahl: 106). Mereka

adalah orang-orang yang ruh mereka dipenuhi kekufuran (sebaliknya,

orang-orang lain dada mereka dilapangkan dengan keutamaan, yakni ruh

mereka terlapangkan, terbuka, dan terpenuhi dengan keutamaan). Maka

p:58


1- 8 Ushul al-Kafi, bab “Cinta dan Benci Karena Allah”.
2- 9 Ibid., bab “Cinta Dunia”.
3- 10 Ibid.

ruh mereka dipenuhi dengan keburukan-keburukan dan dosa-dosa—

sebagian telah dilapangkan dadanya dan diluaskan untuk dipenuhi dengan

makrifat Ilahi dan sebagian lagi dilapangkan dadanya dan diluaskan untuk

dipenuhi dengan keburukan dan penyimpangan—dan keluasan dada untuk

(melakukan) maksiat-maksiat dibarengi dengan kesempitan, “Dan barang

siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan

yang sempit” (Q.S. Thaha: 124). “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya

untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan bagi mereka siksaan

yang besar”. Maka mereka berhak mendapatkan kemurkaan Ilahi dan mereka

akan jatuh (bergelimpangan) sebagai akibat kelaliman mereka, karena

setiap orang yang berhak mendapatkan kemurkaan Ilahi adalah orang yang

jatuh(binasa), “Dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan

kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku,

maka sesungguhnya ia jatuh (binasa)” (Q.S. Thaha: 81). Ketika dia jatuh,

maka tidak ada jalan untuk kenaikannya dan kesempurnaannya.

Cinta dunia di sini didefinisikan sebagai rahasia kejatuhan dan kemur-

kaan Ilahi, “Yang demikian itu karena mereka lebih mencintai kehidupan

dunia ketimbang akhirat” (Q.S. an-Nahl: 107). Mereka telah menjadikan

dunia sebagai sasaran cinta mereka dan lebih mengutamakan kehidupan

dunia daripada kehidupan akhirat. Dunia adalah kekasih mereka, bukan

akhirat. Apa saja yang mendekatkan manusia kepada Allah, maka itu adalah

akhirat; dan baginya setelah alam ini terdapat pahala. Sedangkan apa saja

yang menjauhkan manusia dari Allah, itu adalah dunia, dan baginya pada

alam itu terdapat balasan. Al-Qu’ran berkata: Penyebab seluruh balasan Ilahi

adalah karena mereka menjadikan dunia sebagai kekasih mereka, dan mereka

menerima dunia sebagai kekasih. Cinta dunia inilah yang menyebabkan

kemurkaan Ilahi dan kemurkaan Ilahi ini mengakibatkan—“Yang demikian

itu karena mereka lebih men cintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan

sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir”.

Orang-orang yang menjadikan kekafiran sebagai kebiasaan tidak

akan mencapai tujuan karena mereka telah menyia-nyiakan kebenaran

dan jalan kebenaran. Mereka akan berjalan dalam keadaan menyimpang

dengan mengesampingkan akal, mereka akan melangkah dalam kesesatan,

“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah

dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai. Pastilah

bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi” (Q.S. an-

Nahl: 108—109). Mereka itulah orang-orang yang lalai yang mana hati,

pandangan, dan penglihatan mereka telah dipasang tabir (penutup) oleh

p:59

Allah. Hal yang seharusnya mereka pahami dengan hati mereka, tidak

mereka pahami. Hal yang seharusnya mereka lihat dengan mata mereka,

mereka malah tidak melihatnya. Dan hal yang seharusnya mereka dengar

dengan telinga mereka, malah mereka tidak mendengarnya. Mereka akan

menjadi orang-orang yang lalai dan kelalaian mengakibatkan kerugian,

“Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi”.

Orang yang lalai adalah orang yang telah mengunci akalnya, sehingga dia

tidak mengenali kebenaran dengannya. Dia telah menyerahkan kendalinya

kepada khayal (imajinasi). Seseorang yang tidak memfungsikan wahyu dan

akal, dia akan jatuh dalam perangkap khayal dan akan menjadi tawanan

khayal. Dia tidak akan melalui jalan cinta kepada Allah. Dan barang siapa

menjadi demikian, maka dia juga tidak akan menjadi orang yang dicintai di

sisi Allah. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an yang mulia, “Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”

(Q.S. Luqman: 18). Kandungan (seperti) ini terdapat dalam beberapa

tempat (surah) dalam Al-Qur’an.

Orang yang sombong (al-mukhtal) adalah orang yang menjalin

khayalan. Barang siapa menjadi tawanan khayal, maka dia dinamakan

manusia fantastis; yaitu manusia yang melaksanakan pekerjaannya atas dasar

isyarat yang ditunjukkan oleh khayalannya. Siapa pun yang telah menjadi

tawanan khayalnya dan budak ilusinya serta bersandarkan kepada jalinan

khayalannya yang berlandaskan kepada hal-hal yang berbau asumsi yang

mana ia menjadikan khayalannya seolah-olah mempunyai nilai baginya,

maka dia dinamakan orang yang sombong (mukhtal), yakni penjalin khayal

dan tawanan khayal. Dan apa pun yang selain Allah dan apa pun yang

termasuk produk asumsi, itu adalah khayal.

Barang siapa bersandarkan kepada tenunan-tenunan khayalnya,

maka dia adalah orang yang sombong. Dan ketika dia menjadi orang yang

sombong, dia akan menjadi orang yang membanggakan diri. Dan orang

yang membanggakan diri adalah orang yang bangga dengan kebatilan. Al-

Qur’an berkata: Seseorang yang telah menjadi tawanan khayalannya lagi

merasa tinggi denggan bangga diri adalah orang yang tidak disukai di sisi

Allah, karena jalan cinta adalah jalan akal bukan jalan ilusi. Dan barang siapa

menjadi tercinta di sisi Allah, maka dia telah melalui jalan wahyu dan akal.

Dan barang siapa menjadi tawanan khayalannya, maka dia sama sekali tidak

akan menjadi tercinta di sisi Allah, “Dan Allah tidak menyukai orang-orang

yang sombong lagi membanggakan diri”(Q.S. al-Hadid: 23).

p:60

Setiap orang yang sampai pada kedudukan (maqâm) tertentu, lalu

dia merasa bangga dengan hal itu, maka hendaklah dia mengetahui bahwa

dia masih jauh dari jalan cinta, dan selanjutnya dia masih jauh juga dari

agama. “Bukankah iman tidak ada lain kecuali cinta dan benci”. Agama

mengupayakan agar menjadikan (baca: memposisikan—Peny.) akal sebagai

pengatur dan pegurus masalah-masalah manusia, bukan khayal dan ilusi.

Dalam bab hubb (cinta), Almarhum Kulaini menukil perkataan Imam kelima

as, “Perumpamaan orang yang mencintai dunia adalah seperti ulat sutera;

semakin meluas dan semakin bekerja, maka ia justru memper sempit dirinya

dan malah ia mencekik dirinya sendiri dengan itu”. Semakin ia bekerja,

semakin ia menghasilkan dan semakin ia menenun, malah ia tengelam di

pertengahan itu. Ulat sutera ini berusaha dan menjadikan dirinya berada

dalam lubang lalu ia memenuhi sekitarnya dengan bahan-bahan yang

mentah berupa sutera kemudian ia malah teggelam di pertengahannya dan

setelah selesai dari pekerjaannya, ia malah tewas.

Al-Qur’an berkata: Cinta dunia-dunia adalah segala sesuatu selain

Allah—mencegah sampainya seseorang kepada Allah seperti pekerjaan

ulat sutera. Jika dunia adalah alam pertumbuhan (tarbiyah), dan dengan

pertumbuhan daun kebesaran (mulberry) berubah menjadi sutera, maka

mengapa manusia tidak melalui jalan yang benar sehingga menjadi salah

seorang malaikat? Mengapa dia malah tenggelam seperti ulat sutera di

tengah-tengah pekerjaannya? Mengapa dia tidak melepaskan kedua sayapnya

lalu terbang? Simak syair berikut:

Sesungguhnya Anda akan menjadi malaikat seandainya Anda ber -usaha

dengan sekuat tenaga untuk itu, sebagaimana daun kebesaran(waraqah attaut)

secara perlahan-lahan menjadi atlas.(1)

Jika di alam ini daun kebesaran dapat berubah melalui perantaraan

pertumbuhan menjadi sutera, maka mengapa manusia tidak berubah

melalui perantaraan pertumbuhan (tarbiyah) menjadi malaikat? Mengapa

manusia malah menjadi seperti ulat sutera yang tenggelam di saat bekerja

dan tetap di dalamnya. AlQur’an berkata: Segala sesuatu selain Allah adalah

dunia, dan cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, “Yang demikian itu

karena mereka lebih mencintai kehidupan dunia ketimbang akhirat” (Q.S. an-

Nahl: 107). Dan manusia yang fantastis, semakin dia banyak bekerja sesuai

petunjuk khayalnya dan menikmati khayalan-khayalannya serta bangga

dengannya, maka dia akan menjadi seperti ulat sutera menurut pernyataan

p:61


1- 11 Atlas adalah nama pahlawan dalam legenda Yunani yang membawa tanah di atas lehernya.

Imam kelima as. Dia akan tenggelam di tengah-tengah pekerjaan yang akan

menjadi tempat kuburannya “seperti ulat sutera yang selalu menenun”. Maka

usaha dan jerih payah ini seperti ulat sutera yang manusia selalu berusaha

untuk menggali kuburannya sendiri. Jika terdapat riwayat, “Kuburan itu

dapat berupa taman dari taman-taman surga, “ yang manusia adalah tempat

terbang “atau galian dari galian api”,(1)

maka riwayat ini bukan berarti tidak ada hubungan dengan masalah ini.

Manusia yang suka khayal, hatinya lalai karena cinta kepada Allah

harus berada di hati sementara dia menghilangkannya. Dan Allah Swt telah

memerintahkan Rasul-ya yang mulia untuk memutuskan hubungannya

dengan orang-orang yang hatinya lalai, Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya

yang mulia dalam surah Al-Kahfi:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang

menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya;

dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan

perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya

telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan

adalah keadaannya itu melewati batas” (Q.S. al-Kahfi: 28).

Yakni, bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang lemah dan tidak

beralas kaki itu yang mana mereka kembali berzikir kepada Allah pagi dan

sore. Janganlah kamu terima usulan kaum elite dan mewah yang menga -

takan kepadamu usirlah orang-orang yang fakir itu sehingga kami dapat

datang ke majelismu. Berkumpullah bersama orang-orang yang tidak beralas

kaki itu dan janganlah kamu terima usulan kaum elite itu yang mengatakan:

sangat berat bagi kami duduk di satu majelis bersama orang-orang fakir

itu. Janganlah kamu perhatikan usulan mereka yang menginginkan duduk

bersamamu secara khusus dan pertemuan khusus besamamu, “Dan janganlah

kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan

kehidupan dunia; dan janganlah kamu meng ikuti orang yang hatinya telah

Kami lalaikan dari mengingat Kami”. Janganlah bergabung bersama orang-orang

yang hati mereka telah dilalaikan oleh Allah dari mengingat-Nya, dan

mencabut dari mereka nikmat zikrullah yang termasuk nikmat teragung

karena ruh mereka tidak layak untuk melakukan itu.

Sebagaimana dalam pelajaran-pelajaran terdahulu, orang-orang yang

perilaku mereka buruk kepada Allah dan tidak mengikuti kekasih Allah

(Muhammad Saw. ) serta mengabaikan Al-Qu’ran, maka Allah Yang Maha

Mulia dan Maha Agung akan menarik nikmat zikir kepada-Nya Swt dari

p:62


1- 12 Furu’ al-Kafi, III, hlm. 242.

hati mereka dan mencabut juga dan mengingat akhirat dan Hari Kiamat.

Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung tidak memberi taufik ini kepada

sembarang orang, “Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan

(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingat

negeri akhirat” (Q.S. Shad: 46).

Jadi, mengingat akhirat adalah nikmat khusus yang Allah anugerah kan

kepada hamba-hamba-Nya yang khusus sehingga dengan nikmat ini mereka

menjadi hamba-hamba Allah yang ikhlas, “Aku akan memalingkan orang-orang

yang menyombongkan dirinya di muka bumi” (Q.S. Al-A’raf: 146).

Jadi, mengingat akhirat adalah nikmat khusus yang Allah anugerahkan

kepada hamba-hamba-Nya yang khusus sehingga dengan nikmat ini

mereka menjadi hamba-hamba Allah yang ikhlas, “Aku akan memalingkan

orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi” (Q.S. Al-A’raf:

146). Allah berfirman: Aku akan memalingkan orang-rang yang bersikap

sombong dan arogan di muka bumi dari mengingat kepada-Ku, “Kemudian

mereka berpaling, maka Allah memalingkan hati mereka” (Q.S. at-Taubah:

127). Ketika mereka dengan sengaja berpaling dari ajaran-ajaran agama,

maka Allah Swt memalingkan hati mereka dari memahami agama, dan

selanjutnya, Allah tidak menganugerahi mereka nikmat pemahaman. Dan

bagian-bagian ini, dua atau tiga yang telah di paparkan, disebutkan dalam Al-

Qur’an di beberapa surah secara lengkap.

Al-Qur’an berkata: Barang siapa menjadi tawanan khayalannya dan

bangga dengan petunjuk yang diberikan khayalnya serta bangga dengan

setiap kedukan yang dicapainya meskipun itu sekadar tenunan imajinasi,

maka hatinya lalai, dan barang siapa yang hatinya lalai, maka dia tidak akan

pernah mendapatkan cinta Rasulullah Saw. , “Dan janganlah kamu mengikuti

orang yang hatinya Kami lalaikan dan mengingat Kami serta mengikuti hawa

nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (Q.S. al-Kahfi: 28).

Ketika seseorang memilih penjara untuk menjaga kehormatannya, maka

dia akan menjadi Nabi Yusuf ash-Shiddiq (yang benar), “Wahai Tuhanku,

penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku” (Q.S.

Yusuf: 133). Pergi ke penjara lebih utama daripada memenuhi ajakan zina.

Dan Agama adalah cinta di jalan Allah.

Seseorang terkadang meninggalkan ayahnya atau anaknya atau

saudaranya atau keluarganya dalam rangka mencari jalan rida Allah Swt

sebagaimana hal itu dijelaskan dalam surah Mujadalah. Dia tidak siap

sama sekali untuk menerima selain Allah menyelinap ke dalam hatinya,

maka dia akan menemui kesulitan dan kesempitan. Sebab, Kekasih itu

p:63

akan meninggalkan hatinya dan dia akan bersedih pada hari kepergiannya

disebabkan cinta tanpa kehadiran Kekasih adalah penderitaan dan

kesengsaraan. Cinta dunia adalah dasar segala kesalahan, sementara cinta

Allah adalah pangkal segala keutamaan, “Jika kamu benar-benar mencintai

Allah, maka ikutilah aku; niscaya Allah akan mencintaimu” (Q.S. Ali ‘Imran:

31). Allah akan menjadikan kalian sebagai kekasih-keasih-Nya. Barang siapa

yang melalui jalan Ibrahim al-Khalil, maka dia akan menjadi kekasih Allah

(khalilullah). Barang siapa yang melalui jalan Rasul yang termulia Saw. ,

maka dia menjadi kekasih Allah (habibullah).

Alhasil, mereka (para rasul dan wali Allah—Peny.) adalah pemimpin-pemimpin,

panutan, dan teladan; dan umat hendaklah berjalan di atas

langkah mereka. Setiap orang yang melalui jalan (mereka) pada batas

tertentu, maka dia akan menikmati cinta dengan sebatas kadar itu karena—

“Bukankah iman tidak ada lain kecuali cinta dan benci”. Dan mereka (para

rasul—Peny.) mengatakan bahwa mereka (para pejalan ruhani—Peny.)

menikmati hati yang tulus (qalbun salim) karena di hati mereka tidak ada

lain kecuali stempel Allah Swt.

Di dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa pernah salah seorang

imam ditanya: Apa benar ahli surga memang tidak merasakan kesedihan

dan kegelisahan, padahal bagaimana mungkin seseorang tidak merasakan

kesedihan sementara misalnya, dia melihat anaknya yang kafir dilemparkan

ke dalam neraka Jahim? Bagaimana mungkin seseorang tidak merasa sedih

meski dia berada di surga dan bersenang-senang di dalamnya sementara

anaknya atau saudaranya atau temannya disiksa di neraka? Bukankah

penghuni surga berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan

kesedihan dari kami” (Q.S. Fathir: 34). Sungguh telah hilang kesedihan dan

kegelisahan dari surga dan sama sekali tidak ada di dalamnya rasa khawatir

atau rasa gelisah, “Tidak ada di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak

ada pula pertautan dosa” (Q.S. Thur: 23). Di dalam surga tidak ada lain

kecuali kedamaian dan keselamatan. Maka, Imam menjawab: Tidak ada di

hati penduduk surga kecuali Allah dan wali-wali Allah. Mereka tidak ingat

kalau mereka mempunyai anak yang sedang disiksa di Jahim; tidak ada di

hati mereka selain Allah sehingga mereka tidak sedih atas kehilangannya.

Disebutkan di sebagian ayat Al-Qur’an bahwa di antara mereka saling

bertanya, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman”

(Q.S. as-Safat: 51). Pertanyaan ini tidak bertentangan dengan pembahasan

itu karena tidak ada di hati mereka ketergantungan kepada seorang pun.

Cinta adalah jalan Allah, dan tidak ada cinta kecuali dengan gerakan. Dan

p:64

gerakan ini disimpulkan dalam bagian-bagain akidah, akhlak, dan amal.

Dan Rasulullah Saw. adalah teladan bagi umatnya pada tiga bagian ini

untuk mengantarkan mereka ke suatu derajat yang mana mereka akan

menjadi kekasih-kekasih Allah. “Jika kamu benar-benar mencintai Allah,

maka ikutilah aku; niscaya Allah akan mencintai kamu”.

p:65

p:66

Pelajaran V

Pelbagai Jalan Untuk Mengenal Allah dalam Pandangan Al-Qur’an

Pelbagai Jalan Untuk Mengenal Allah Dalam Pandangan Al-Qur’an

p:67

p:68

Pelbagai Jalan Untuk Mengenal Allah Dalam Pandangan Al-Qur’an

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Al-Qur’an adalah kitab cahaya dan petunjuk bagi semua manusia.

Ajakan Al-Qur’an adalah untuk seluruh manusia, dan ajakan itu dapat

dipahami dan diterima. Kandungan-kandungan Al-Qur’an yang mulia

dikemukakan dengan cara menyampaikan argumentasi rasio yang pasti dan

dijelaskan juga dengan cara menggambarkan contoh-contoh agar manusia

secara umum mudah memanfaatkan contoh-contoh ini untuk mengetahui

makna-makna dan tujuan-tujuan Al-Qur’an yang mulia. Seorang eksklusif

(al-auhadi) pun dapat memanfaatkan argumentasi-argumentasi rasio yang

pasti dan memuaskan dahaga intelektualnya dan limpahan-limpahannya.

Perumpamaan-perumpamaan yang dikemukaan oleh Al-Qur’an

merupa kan dalil bagi manusia pada umumnya dan sebagai penguat (almuayyid)

bagi kalangan ekslusif. Pembahasan perumpamaan-perumpamaan

Al-Qur’an berkatian dengan argumentasi-argumentasi rasio yang merupakan

tiruan (tamsil). Yakni, penjelasan tingkatan yang diturunkan untuk argumentasi

rasio menggambarkan pengetahuan-pengetahuan rasional (al-ma’ârif al-aqliyah).

Tingkatan yang diturunkan untuk kedudukan-kedudukan yang tinggi

dan masalah yang terpenting yang mendapat perhatian cukup besar oleh Al-

Qur’an adalah masalah tauhid dan Hari kemudian. Al-Qur’an yang mulia

telah memanfaatkan perbagai jalan untuk memberikan petunjuk kepada

manusia tentang asal-muasal (mabda’) dan Hari Kemudian, dan khususnya

tauhid. Meskipun semua wujud alam mumkinat adalah ayat-ayat (tandatanda

kebesaran) Allah Swt., dapat saja menetapkan mabda’ dari banyak jalan

yang lain. Saya telah banyak menunjukkan hal itu pada pelajaran-pelajaran

terdahulu. Al-Qur’an yang mulia terkadang menjelaskan pelbagai jalan untuk

mengenal Allah sebagian atas sebagian yang lain. Ia juga menyebutkan dalil-dalil

yang cukup banyak untuk menetapkan Hari Kemudian dan pentingnya

pahala dan siksa. Dan terkadang Al-Qur’an menjelaskan dalil-dalil lain itu

secara ringkas melalui dalil yang umum. Dalam surah Al-An’am terdapat

contoh kumpulan dalil seputar tauhid sebagian atas sebagian yang lain, dan

terdapat juga contoh kumpulan dalil tentang Hari Kemudian dalam surah

Shad. Sebagian jumlah yang lain juga terdapat dalam surah Al-An’am. Kami

akan mengemukakannya dan menjelaskannya.

p:69

Dalam surah Al-An’am—yang mana pada hakikatnya ia adalah surah

Ihtijaj—Allah Swt mengajari Rasul-Nya yang mulia Saw. kira-kira empat

puluh bantahan (ihtijaj). Allah berkata di dalamnya “qul (katakanlah)” atau

menginstruksikannya agar menyampaikan hukum-hukum Allah, dan banyak

dari hukum-hukum ini dibarengi dengan menyebut dalil dan bantahan

bersamanya. Apa yang terdapat dalam surah Al-An’am sebagai dalil-dalil

tentang tauhid disebutkan di akhir surah sebagai kesimpulan baginya. Allah

Swt berkata kepada Rasul-Nya Saw. , “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku

memberikan petunjuk kepadaku menuju jalan yang lurus’” (Q.S. Al-An’am:

161). Jalan yang lurus adalah jalan yang penghujungnya adalah keabadian.

Tidak syak lagi, menempuh jarak di jalan ini akan mengantarkan seseorang

kepada kebahagiaan abadi. Perbuatan-perbuatan Allah Swt atas dasar jalan

yang lurus; bimbingan-bimbingan dan pengarahan-pengarahan Rasul yang

mulia Saw. juga berdasarkan jalan yang lurus. Dan setan-setan sebagai

perampok-perampok jalan telah duduk di atas jalan yang lurus, karena setan

tidak akan berbuat apa-apa bersama jalan-jalan yang menyimpang, tetapi dia

senantiasa duduk di atas jalan yang lurus untuk menyiapkan penyergapan

guna menangkap orang-orang yang berjalan di atasnya. Dan tentu

menempuh jalan yang lurus adalah sangat berat karena setan telah bertekad

untuk memutus jalan dengan segala potensi yang diberikan kepadanya.

Oleh karena itu, menempuh jalan yang lurus sangat sulit lagi berat sampai

pada tingkatan sebagaimana dikatakan dalam suatu riwayat bahwa manusia

meletakkan kakinya di atas suatu jalan yang lebih halus daripada rambut dan

lebih tajam daripada pedang.

Dan pekerjaan-pekerjaan Allah Swt atas dasar jalan yang lurus,

“Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus” (Q.S. Hud: 56). Dan

program-program Tuhan berlandaskan jalan yang lurus, bahkan program

kebenaran adalah jalan yang lurus ini. Dan Rasulullah Saw. juga bergerak

di atas jalan yang lurus (Yasin). “Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah.

Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul (yang berada) di atas jalan

yang lurus.” (Q.S. Yasin: 1—4).

Kalau begitu, Rasul yang termulia Saw. berada di atas jalan yang

lurus. Pemikiran-pemikirannya, akhlaknya yang agung, perkataan dan

perbuatannya, semuanya menggambarkan sunahnya dan hujahnya yang

terbentang di jalan. Dan Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya yang mulia

Saw. : Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus, dan setan telah

bertekad bulat untuk memotong jalan orang-orang yang berjalan di atas jalan

ini, “Saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau

p:70

yang lurus” (Q.S. Al-A’raf: 16). Setan telah duduk menghalang-halangi di

atas jalan dan di atas lintasan-lintasan yang menuju ke jalan ini agar ia dapat

menyimpangkan (membelokkan) mereka dari jalan ini. Dengan demikian,

jalan tersebut memliki peranan yang cukup besar. Dan Allah Swt juga

“bersembunyi” di atas jalan ini untuk “menyer gap” tangan wali-wali-Nya

dan berjaan-jalan bersama mereka di jalan ini. Sementara setan juga tidak

ketinggalan; ia duduk di tempat persembunyian untuk menjegal kaki orang-orang

yang berlalu-lalang di atas jalan ini guna memalingkan mereka dari jalan

ini dan menebarkan duri-duri di jalan itu. Allah Swt berkata kepada Nabi-Nya

Saw. , “Katakanlah, ‘Tuhanku telah memberikan petunjuk kepadaku menuju

jalan yang lurus’” , dan yang dimaksud jalan ini adalah agama itu yang tidak

ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya yaitu agama yang dianut

oleh Ibrahim al-Kahlil. “Yaitu agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus;

dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Katakanlah,

‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadahaku, hidupku dan matiku hanyalah

untuk Allah, Tuhan (Pengatur) semesta alam” (Q.S. Al-An’am: 161—162).

Dan tanda bahwa alam kosmos berada di atas jalan yang lurus yaitu

bahwa hendaklah manusia dengan segenap dimensi keberadaannya hanya

untuk Allah Swt. Maka, salatnya, hajinya, dan semua ibadah yang lain serta

hidupnya dan matinya untuk Allah Tuhan Pengatur alam. Yakni, dia tidak

mengamalkan suatu amalan tanpa ada perintah dari Allah Swt; dia tidak

meletakkan kaki atau melangkahkan suatu langkah kecuali untuk mencari

rida Allah. Dan selama dia hidup, dia berjalan di jalan agama Ilahi; ketika

dia mati, maka kematiannya juga di jalan Allah dan untuk mendapatkan rida

Allah. Sementara orang-orang yang hidup untuk selain Allah, maka kematian

mereka juga untuk selain Allah “Sebagaimana kalian hidup, maka kalian

akan mati dan sebagiamana kalian mati, maka kalian akan dibangitkan”.

Apabila hidupnya untuk selain Allah, maka matinya tidak mungkin untuk

Allah Swt. Dan barang siapa yang matinya untuk selain Allah, maka nanti

di Mahsyar dan pada Hari Kiamat setelah kematian dia tidak mendapatkan

rahmat Allah.

Dalam beberapa surah Al-Qur’an yang mulia disebutkan bahwa

para malaikat memukul wajah (bagian depan) dan punggung (bagian belakang)

orang-orang yang fasik, dan ini berhubungan dengan tekanan dalam

keadaan kematian. Sebagian tokoh besar urafa (kaum sufi—Peny.) Muslim

belakangan menafsirkan ayat yang mulia ini—“mereka (para malaikat)

memukul wajah mereka (kaum fasik) dan punggung mereka” (Q.S. Al-An’am:

50). Dengan tafsiran sebagai berikut: Sesungguhnya para malaikat yang

p:71

memukul bagian depan orang-orang fasik bukanlah para malaikat yang juga

memukul bagian belakang mereka, karena malaikat alam ini ketika melihat

orang ini hampir mati dari dunia ini dan dia tidak mengutamakan sedikit

pun akhirnya daripada tanaman dunia dan dia tidak memberi barang apa

pun dari pasar dunia untuk(kebu tuhan)nya di akhirat, maka malaikat itu

memukuli punggungnya dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkannya dari

dunia ini. Adapun malaikat alam yang lain itu, ketika melihat orang ini telah

datang dari dunia dengan tangan kosong, maka mereka memukuli wajahnya.

Demikianlah makna yang terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia, “Mereka

(malaikat) memukul wajah mereka (kaum fasik) dan punggung mereka”. Maka,

anggota tubuh bagian depan dan bagian belakang orang-orang fasik disakiti

pada saat kematian dan berpindah dari alam dunia menuju alam barzakh.

Dan barang siapa yang hidupnya bukan untuk Allah, maka kematiannya

sama sekali bukan untuk Allah. Tetapi, Rasul termulia Saw. hidupnya untuk

Allah dan matinya untuk Allah dan di jalan Allah, “Tidak ada sekutu bagi-

Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang

yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Q.S. Al-An’am: 163).

Kami telah menjelaskan pada salah satu pelajaran terdahulu bahwa

Rasulullah Saw. adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri

(kepada Allah). Permulaan ini bukan lebih dahulu dalam hal waktu (sabqan

zamaniyyan) karena setiap nabi sehubungan dengan umatnya dengan

memperhatikan keislamannya, juga memiliki pendahuluan waktu. Nabi-nabi

terdahulu juga memiliki pendahuluan waktu dibandingkan dengan

para nabi yang datang sesudah mereka dengan memperhatikan keyakinan

mereka terhadap Islam. Namun, ungkapan (ta’bir) “awwalul muslimin”

tidak dilekatkan kepada seorangpun dari nabi-nabi terdahulu. Ungkapan

“awwalul mulsimin” yang terdapat dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an

yang mulia adalah khusus untuk Nabi termulia Saw. , dan ini merupakan

isyarat tentang permulaan subjektif (awwaliyah dzatiyyah) dan permulaan

dalam keutamaan, tingkatan, dan kemuliaan. Dan saat itu ia mengemukakan

tiga dalil atas tauhid:

Pertama, berkaitan dengan perwujudan sistem dunia.

Kedua, berkaitan dengan perwujudan sistem Hari Kemudian dan

kiamat.

Ketiga: berkaitan dengan masyarakat manusia dan kehidupan kemanusiaan.

Kesimpulan tiga argumentasiini disebutkan di dua ayat terkahir dari

p:72

surah Al-An’am. “Katakanlah, ‘Apakah aku akan mencari Tuhan Selain Allah,

padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu’” (Q.S. Al-An’am: 164). Dan

Tidak ada satu wujud pun yang tidak diciptakan oleh Allah Swt, dan tidak

ada(pula) satu makhluk pun yang tidak butuh kepada sumber yang hakiki

(al-mabda’ ad-dzati), dan tidak ada satu wujud pun yang tidak memerlukan

sumber yang wajib (al-mabda’ al-wajib). Kalau begitu, maka setiap wujud di

dalam wujud ini dan setiap yang dinamakan dengan makhluk kemungkinan

di dalam wujud, maka pasti ia berada di bawah pengaturan dan perencanaan

Allah Swt. Sebab, tidak dapat dikatakan bahwa makhluk-makhluk alam

tidak butuh kepada Tuhan Pengatur, dan tidak dapat dikatakan juga bahwa

keberadaan mereka bersandarkan pada selain Allah karena apabila sistem

(nizham) di atas benar dan apabila setiap wujud eksistensinya dan urusannya

tergantung kepada sumber yang hakiki, maka apa saja yang terwujud di

kosmos ini pasti memerlukan Tuhan Pengatur, dan Pengaturnya adalah

Allah, Sang Pencipta dan Yang Maha Kaya. Dan ini adalah bantahan (ihtijaj)

atas tauhid melalui jalan penyaksian sistem yang menyeluruh (an-nizaham

al-Kulli).

Kedua: Argumentasi atas tauhid melalui jalan Balasan dan Hari

Kemudian, Al-Qur’an berkata, “Dan tidaklah seseorang membuat dosa

melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang

berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S. Al-An’am: 164). Tidak ada

seorang penjahat yang melakukan tindak kejahatan kecuali dia bertanggung

jawab sendiri atasnya, karena suatu tindakan tidak akan pernah terpisah di

tempat mana pun dan di waktu apa pun dari pelakunya, dan pelaku kejahatan

tidak akan terpisah dari kejahatannya. Maka, tidak mungkin amal-amal itu

hilang sia-sia begitu saja, dan tidak mungkin hubungan amal-amal ini terputus

dengan para pelakunya. Dan tidak mungkin manusia yang bebas(tidak

bersalah) akan memikul beban dosa para pelaku kejahatan. Sama sekali

tidak akan ada pada Hari Kiamat seseorang yang memikul dosa orang lain.

Jadi, setiap manusia akan memikul dosanya sendiri. Terkadang dapat

saja seseorang memikul dosanya dan dosa orang-orang lain yang disesatkannya.

Tetapi orang-orang yang sesat dengan sengaja mereka harus memikul

dosa mereka juga. Karena, balasan dan upah (pahala) itu benar, dan tidak

dapat seseorang melepaskan diri dari jerat amalnya, Sebab “Setiap jiwa

bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Q.S. Al-Mudatsir: 38).

Maka, setiap manusia akan bergantung kepada amalnya—“Kecuali golongan

kanan, (Q.S. Al-Mudatsir: 39). Mereka adalah orang-orang yang bebas

karena mereka bukan para penjahat sehingga mereka tidak menjadi tawanan

p:73

kejahatan mereka. Mereka hidup sebagai orang-orang yang bebas dan mereka

(nanti) akan dibangkitkan pada Hari Kiamat sebagai orang-orang yang

mulia. Karena setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya, dan alam

ini juga tidak dibiarkan tanpa ada balasan, maka atas dasar ini hisab, pahala,

siksa, dan upah juga ada. Oleh karena hari pembalasan ada, maka Pemilik

hari pembalasan juga ada, yaitu Allah. Ini semua adalah argumentasi atas

tauhid dilihat dari sisi pentingnya balasan dan Hari Kemudian, “Kemudian

kepada Tuhanmulah kamu akan kembali lalu Dia akan memberitahukan apa-apa

yang kamu perselisihkan” (Q.S. Al-An’am: 164).

Perjalanan(masa depan) manusia haruslah sampai pada batas bahwa

mereka akan menyaksikan bagaimana perselisihan-perselisihan mereka

akan dipecahkan. Perselisihan mereka akan diselesaikan dan segala perbedaan

dalam pemikiran, akidah, pendapat, dan ijtihad ini akan berakhir.

Peperangan tujuh puluh dua umat akan berakhir, dan akan nampak dengan

jelas perselisihan dan kebohongan ini dan akan jelas juga kebenaran. Jika

perselisihan tidak akan hilang dan kebenaran tidak jelas, maka peperangan

tujuh puluh dua umat tidak akan berakhir. Maka, haruslah tiba suatu hari

yang mana menurut pandangan wujud dunia (alwujud al-kauni) akan tamat

perselisihan-perselisihan ini, yaitu Hari Kiamat. Meskipun tiba masa

kemunculan Imam Mahdi (mudah-mudahan Allah menyegerakan

kedatangannya yang mulia), maka segala perselisihan ini tidak akan berakhir

begitu saja. Kendati tidak ada permerintahan lain kecuali pemerintahan

Mahdi a.s. dan dia menulis di atas panjinya “baiat untuk Allah”, dan

walaupun bumi akan dipenuhi dengan keadilan dan kesejahteraan serta

tidak ada penguasa selain Imam Mahdi as, kelompok-kelompok lain

akan tetap bertahan bersama keyakinan-keyakinannya meskipun dalam

masalah-masalah umum mereka tunduk kepada pemerintahan Islam dan

melaksanakan ketetapan-ketetapan pemerintah Islam. Akan tetapi, ada

perselisihan antargolongan, pemikiran, akidah, agama, dan mazhab.

Al-Qur’an yang mulia menunjukkan tentang kesinambungan sebagian

golongan yang batil sampai Hari Kiamat. Misalnya, seputar ahlul

kitab, Allah Swt berfirman, “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan

kebencian di antara mereka sampai Hari Kiamat” (Q.S. Al-Maidah: 64).

Di sini Al-Qur’an mengungkapkan dengan ungkapan ilqa’ al-‘adawah

(menimbulkan permusuhan) berkenaan dengan sebagian yang lain. Dengan

begitu, diketahui bahwa mereka akan tetap dalam perselisihan sampai Hari

Kiamat. Dan ia (Al-Qu’ran) mengungkapkan tentang orang-orang yang

dekat dengan Islam dengan ungkapan “uqrabun nasi mawad datan lil Islam

p:74

(orang yang paling dekat kecintaannya kepada Islam)”, karena mereka jarang

bersikap istikbar (arogan) sesuai dengan argumentasi (istidlâl) itu. Al-Qur’an

mengungkapkan dengan kata ighra. Ia berkata, “Maka Kami bangkitkan

permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai Hari Kiamat” (Q.S. Al-

Maidah: 14). Dua bagian ayat ini terdapat dalam surah Al-Maidah. Hari di

mana segala perselishan ini akan berakhir adalah hari munculnya kebenaran,

“Sehingga nampak jelas bagi mereka bahwa ia adalah kebenaran” (Q.S.

Fushshilat: 53). Segala perselisihan, segala khurafat, dan segala perbedaan

visi akan dicampakkan dan akan nampak jelas kebenaran dan tidak ada

tempat lagi bagi perselishan, “Maka Dia akan memberithau kalian atas apa-apa

yang kalian perselisihkan”.

Hal itu merupakan argumentasi atas tauhid dari sudut perlunya

balasan. Dan Al-Qur’an yang mulia telah menjelaskan dua tema ini dalam

surah Al-Fatihah. Yang pertama adalah firman-Nya, “Segala puij bagi

Allah Tuhan (Pemelihara) alam semesta” (Q.S. Al-Fatihah: 2). Dan yang

lain adalah firman-Nya, “Pemilik hari kemudian” melalui pengaturan

(rububiyah) alam semesta, dan ditetapkan juga melalui kepemilikan Hari

Kemudian dan balasan. Ini berarti dapat saja menetapkan wujud Allah Swt

melalui pandangan falsafat dunia yang dalam dan dapat juga mene tapkan

keberadaan-Nya sebagai Pemilik Hari Kemudian melalui pentingnya balasan

dan imbalan. Keduanya ini sebagai dalil untuk menetapkan tauhid rububiy.

Ketiga: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di

bumi dan Dia meninggikan sebagaian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa

derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”

(Q.S. Al-An’am: 165). Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an bahwa

Allah mengatur masyarakat manusia satu demi satu dan Dia menjadikan

sebagian yang lain sebagai khalifah atas kelompok manusia yang pertama

dan kelompok manusia sesudahnya sebagai khalifah atas kelompok manusia

yang terdahulu. Atau Dia menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di

muka bumi untuk mengujinya, agar Dia melihat apa yang akan diperbuat

manusia di alam ujian. Dan tidak ada sesuatu pun yang berlalu-lalang

di alam ini kecuali untuk ujian dan cobaan. Terkadang ujian itu dalam

bentuk kelapangan dan terkadang dengan kesempitan, terkadang dengan

kebahagiaan dan terkadang dengan kesedihan.

Sesuai dengan surah Al-Fajr, manusia selalu menghadapi ujian dan

cobaan. Perbedaan dan kesenjangan ini antara sebagian dan sebagian yang

lain dalam hal-hal materi adalah untuk pemanfaatan timbal-balik sesama

p:75

mereka dan bukan untuk eksploitasi(sepihak) dll.

Dan telah kami bahas—sebelumnya—ayat-ayat (dalam surah Al-Fajr—

Peny.) ini bersama ayat-ayat yang tedapat dam surat az-Zukhruf dan kami

katakan bahwa perbedaan status sosial adalah untuk mengatur masyarakat

dalam bentuk yang terbaik, “Agar sebagian mereka dapat mempergunakan

sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik” (Q.S. az-Zukhruf: 32).

Di sana telah kami jelaskan secara terperinci antara pemanfaatan timbalbalik

dan pemanfaatan dari satu pihak. Apa yang disebutkan dalam surah

Al-An’am sebagai argumentasi atas tauhid kesimpulannya terkumpul pada

akhir surah dengan tiga pandangan dan tiga dalil:

1. Argumentasi atas tauhid melalui pandangan falsafah dunia dan

sistem kosmos (an-nizham al-kauni).

2. Argumentasi atas tauhid melalui keperluan(adanya) balasan dan

imbalan.

3. Argumentasi atas tauhid melalui penyaksian sistem masyarakat

manusia.

Tiga argumentasi atas ini meskipun tidak terpisah dari sistem kosmos

dan alam yang univiersal (an-nizham al-kulli lil kaun), namun karena ia

terbedakan dengan ciri-ciri tertentu, maka ia dikemukakan melalui dalil

tersendiri. Adapun yang berkenaan dengan argumentasi atas Hari Kemudian

dan pentingnya kiamat, maka ia telah dijelaskan melalui pelbagai

jalan, sebagainya terdapat dalam surah Shad dan sebagian lagi dalam surah

Al-An’am. Dan Allah telah memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang

Mahbenar (al-haq), Maha Bijaksana, Mahaadil, Maha Penyayang, dan yang

paling kasih dari siapa pun yang mengasihani. Dia memerintahkan kita

untuk mensifati-Nya sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri. Allah

Maha Suci dari apa-apa yang disifat bagi-Nya oleh orang-orang yang asing

(al-ghuraba’), “Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa

yang mereka katakan” (Q.S. ash-Shafat: 180). Hamba-hamba Allah yang

ikhlas mensifati Allah dengan cara: mereka mempelajarinya dari Allah dan

sebagaimana yang telah dijelaskan-Nya.

Termasuk nama-nama Allah tabaraka wa ta’ala yang terbaik (al-asma

al-husna) di dalam Al-Qur’an adalah nama al-haq (Yang Maha Benar), “Yang

demikian itu karena Allah adalah Yang Maha Benar” (Q.S. Al-Hajj: 62). Dan

ungkapan ini menunjukkan pembatasan (al-hashr), yakni bahwa kebenaran

itu terbatas untuk Allah. Jika terdapat sesuatu yang benar dan tetap, maka

itu pasti dari Allah, “Kebenaran itu (pasti) dari Tuhanmu” (Q.S. Al-Baqarah:

p:76

147). Masalah ini berulangkali disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu bahwa

sumber kebenaran itu dari Allah, kebenaran itu tidak bersama Allah, tetapi

kebenaran itu dari Allah. Segala sesuatu yang tetap dalam keadaannya dan

menikmati hakikat, maka ia berasal dari kebenaran yang murni dan yang tidak

terbatas. Apabila Allah sendiri adalah kebenaran dan kebenaran yang murni

serta tidak terbatas, maka kebenaran yang terdapat pada orang lain adalah

kebenaran terbatas dan kebenaran yang tidak murni yang berasal dari Allah.

Tentang hal tersebut, Ustaz Allamah Thabathaba’i—rahmat Allah

atasnya—memberikan pernyataan sebagai berikut: Terdapat perbedaan

antara kita mengatakan Imam a.s. bersama kebenaran dan kita mengatakan,

“Kebenaran itu dari Tuhanmu”. Kita katakan bahwa Ali bin Abi Thalib

bersama kebenaran, dan pada setiap tempat, kebenaran realistis tedapat di

sisinya, dan kebenaran bersama Ali. Adapun sumber kebenaran itu dari

Allah, maka kebenaran yang murni dan tidak ada bagi-Nya “bersama”.

Tidak ada sesuatu yang bersama Allah. Dia adalah kebenaran murni lagi

tidak terbatas dan tidak ada sesuatu di sisiNya yang bersamanya. Tetapi,

kebenaran-kebenaran (yang lain) terbatas dan kebenaran-kebenaran yang

tetap adalah bersumber dari kebenaran yang tidak terbatas.

Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an terdapat dalam beberapa tempat

(surah) firman-Nya, “Kebenaran itu dari Tuhanmu, sebab itu jangan kalian

termasuk dari orang-orang yang ragu” (Q.S. Al-Baqarah: 147). Apabila Allah

adalah kebenaran murni, dan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an

bahwa al-haq (yang benar) adalah nama dari nama-nama Allah yang baik,

maka al-haq tidak akan mengerjakan suatu pekerjaan yang batil (sia-sia).

Dan termasuk asmaul husna bagi Allah tabaraka wa ta’ala yang lain adalah

al-hakim (Yang Maha Bijaksana) dan al-‘adil (yang Mahaadil). Yang Maha

Bijaksana dan Yang Maha Adil tidak akan berbuat suatu perbuatan yang

sembarangan dan lalim.

Masalah ketiga, bahwa Allah Maha Kasih, Maha Penyayang, dan Yang

Paling kasih dari yang mengasihani. Dan Dia tidak mungkin melakukan

amalan yang bertentangan dengan rahmat. Al-Qur’an telah berargumentasi

dalam surah Shad tentang perlunya Hari Kemudian dan kiamat dengan dalil

yang banyak, salah satunya adalah bahwa Allah adalah Maha Benar (al-haq),

sehingga tidak ada perbuatan batil (sia-sia) yang berasal dari-Nya.

Apabila ciptaan tidak memiliki hari pembagian pahala dan

penerapan siksa dan alam dengan gerakannya tidak menuju ke suatu

tujuan, gerakannya yang terus-menerus dan abadi namun tidak menuju

ke suatu tujuan tertentu dan tidak menuju kepada suatu ketenangan dan

p:77

kedamaian dan alam yang disesaki perselisihan-perselisihan ini tidak akan

berakhir dan konflik antara kebenaran dan kebatilan akan berkesinambungan,

maka ia akan menjadi alam yang batil (sia-sia). Al-Qur’an berkata,

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara

keduanya dengan sia-sia” (Q.S. Shad: 27). Kami jadikan ia dengan suatu

tujuan, dan bukanlah ia (alam) pasti merupakan tujuan yang aktif (hadaf

fâ’ili) tetapi ia adalah tujuan yang aktual (hadaf fi’li). Pelaku(nya) (fâ’il)

adalah Allah karena dia Maha Kaya yang mutlak, Yang Maha Kaya dengan

sendiri, Dia tidak memiliki tujuan tetapi ia adalah hakikat tujuan, dan

tujuan pelaku (fâ’il) di sini bukanlah suatu jalan bagi-Nya sehingga Allah

butuh untuk melakukan suatu perbuatan yang dengannya Dia sampai ke

tujuan itu, dan perbuatan Allah bukanlah untuk mencapai suatu tujuan

sehingga tujuan tersebut kembali ke pelaku. Dan tidak dapat dikatakan

bahwa Allah melakukan demikian untuk mencapai tujuan demikian.

Jadi, perbuatan Allah tidak serasi dengan al-lâm ilghaiyyah (yang

berarti: puncak, tujuan atau akhir suatu perbuatan—silakan merujuk nahwu

bab jar—Peny.) Dan tidak dapat dikatakan bahwa Allah Swt melakukan

suatu perbuatan untuk mendapatkan faedah dan tidak dapat dikatakan

juga Bahwa Allah melakukan ini agar Dia menjadi dermawan (jawâd).

Aku (Allah) tidak menciptakan makhluk untuk memperoleh keuntungan

tertentu tetapi untuk bermurah hati atas manusia. Jadi, perbuatan Allah

tidak untuk memperoleh manfaat seperti orang lain, dan tidak untuk disebut

sebagai dermawan seperti juga orang lain. Karena mabda’ (sumber) itu yang

melaksanakan suatu perbuatan untuk menggapai suatu tujuan, maka jika dia

tidak melaksanakan perbuatan iti, dia tidak akan mencapai tujuan itu, dan

jika dia tidak melakukan perbuatan itu, dia menjadi kurang (sempurna), dan

dengan perbuatan itu; dia menghilangkan kekurangan dari dirinya. Maka

mabda’ itu tidak mutlak kaya.

Allah tidak menciptakan alam supaya menjadi dermawan dan apabila

Dia tidak menjadi dermawan, Dia akan menjadi kurang. Telah disebutkan

dalam pelajaran-pelajaran terdahulu bahwa Allah adalah mabda’ yang memilih

(al-mukhtar), hakikat kehidupan, kekuasaan, ilmu yang mutlak, serta tidak

ada sesuatu yang berasal dari-Nya kecuali kemurahan hati (al-jud). Dia tidak

melakukan suatu perbuatan agar Dia menjadi dermawan. Dalam arti, jika

dia tidak melakukan perbuatan itu, maka dia tidak menjadi dermawan.

Ketika Imam ketujuh a.s. ditanya siapakah yang dermawan (al-jawâd),

maka Imam menjawab: Sesungguhnya pertanyaanmu memiliki dua sisi.

Jika kamu bertanya tentang makhluk, maka orang yang disebut al-jawâd

p:78

adalah orang yang melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah atasnya

berupa hak-hak yang wajib dan dia tidak mengotori dirinya dengan

harta-harta yang haram, dan dia menunaikan hak-hak Ilahi seperti zakat

dan lain-lain. Orang seperti ini disebut al-jawâd. Adapun berkenaan dengan

Allah, maka Dia disebut al-jawâd baik memberi atau menolak. Apabila Dia

memberi, maka karena kemaslahatan juga Dia memberi. Maka, dalam dua

kondisi tersebut Dia tetap menjadi jawâd. Dan perlu diperhatikan bahwa

kedermawanan (al-jud) adalah sifat perbuatan-Nya dan di bawah kekuasaan-

Nya, dan kekuasaan itu adalah hakikat Dzat-Nya.

Dengan demikian, perbuatan Allah tidak sesuai dengan al-lâm, hatta,

dan ilâ al-ghayyah (istilah nahwu seperti di atas—Peny.), karena Dia adalah

tujuan yang terakhir dan kesempurnaan yang mutlak—“Dia Yang Pertama

dan Yang Terakhir”. Apabila Dia adalah kesempurnaan mutlak, maka saat

itu Dia tidak butuh kepada suatu perbuatan agar sampai kepada tujuan-

Nya. Kalau tidak (demikian), maka Dia akan menjadi kurang (sempurna).

Kalau begitu, maka perbuatan Allah tidak mempunyai tujuan aktif (hadf

fa’li) meski disertai dengan tujuan aktual (had fi’li). Penjelasan ini tidak

seperti pengertian yang naif itu yang menyatakan bahwa perbuatan Allah

tidak beralasan dengan tujuan-tujuan, baik tujuan aktual atau tujuan aktif.

Terdapat perbedaan besar antara logika orang yang menetapkan bahwa

Allah memiliki irâdah dengan tujuan tertentu yang serampangan (irâdah

juzafiyyah) dan antara logika orang yang mengatakan bahwa perbuatan Allah

tidak mempunyai tujuan aktif meski bermuatan dan dipenuhi tujuan-tujuan

aktual (al-aghrad al-fi’liyah).

Al-Qur’an berkata bahwa Allah tidak menciptakan alam ini sia-sia,

yakni bahwa penciptaan dan makhluk ini memililiki tujuan tertentu.

Gerakan mereka menuju ke tujuan itu, tetapi Pencipta (al-khaliq) tidak

mempunyai tujuan yang ingin diraihnya. Maka, alam ini tidak berarti tanpa

tujuan, dan gerakan alam bukan tanpa tujuan. Ia (alam) di bawah pengaruh

arah (tujuan) itu sehingga apabila ia telah mencapainya dan meraihnya,

maka ia menjadi tenang dan damai.

Demikianlah ungkapan yang dalam, yang terdapat dalam Al-Qur’an

yang mulia. Kami telah menukilnya pada sebagian pelajaran terdahulu

tentang Hari Kiamat yaitu sebagai berikut: “Kapankah (masa) berlabuhnya”

(Q.S. an-Nazi’at: 42). Mereka bertanya-bertanya kapan perahu alam

yang bergerak akan berlabuh? Berdasarkan hal ini, alam ini harus sampai

ke tujuannya dan perahunya yang bergerak ini harus berlabuh di tempat

tertentu, dan saat itu Al-Qur’an berkata tentang orang-orang yang ingkar

p:79

terhadap Hari Kemudian, “Yang demikian itu adalah anggapan

orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan

masuk ke dalam neraka” (Q.S. Shad: 27).

Demikianlah anggapan orang-orang kafir bahwa manusia akan binasa

setelah kematian, dan di sana tidak ada kebaikan sesudah kematian. Perkataan

ini tidak berlandaskan kepada dalil akal dan dalil naqli (Al-Qur’an hadis),

serta tidak bersandarkan kepada wahyu samawi dan argu mentasi falsafah

atau akal. Dan siapa yang mengatakan bahwa alam memang seperti ini

dan tidak ada sesuatu pun sesudahnya, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah

kehidupan kita di dunia, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan

dibangkitkan lagi” (Q.S. Al-Mukminun: 37). Siapa yang mengatakan bahwa

tidak ada Hari Kiamat setelah kematian, maka ia termasuk orang kafir

yang berbicara sesuai dengan apa yang anggapannya dan tidak berdasarkan

kepada argumentasi atau akal. Berdasarkan hal ini maka dalil-dalil tauhid

adalah sebagai berikut:

Pertama: Bahwa Allah Maha Benar (haq), maka tidak ada yang berasal

dari-Nya perbuatan yang batil (sia-sia). Kalau begitu, alam ini memiliki Hari

Kemudian.

Kedua: Bahwa Allah Maha Bijaksana dan Maha Adil dan Dia telah

memisahkan antara orang yang takwa dan orang yang jahat (yang berdosa).

Jadi, terdapat dua kelompok. Sedangkan di dunia, Dia tidak memisahkan

antara keduanya, sehingga mereka di dunia berkumpul bersama-sama. Maka

dengan demikian, haruslah ada alam dan ada suatu hari yang dikatakan di

dalamnya: Dan dikatakan kepada orang-orang kafir:

“Berpisahlah kamu(dari orang-orang Mukmin) pada hari ini, hai orang-orang

yang berbuat jahat” (Q.S. Yasin: 5).

“Apakah Kami akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal

saleh seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi atau Kami

akan jadikan orang-orang yang takwa seperti orang-orang yang jahat”

(Q.S. Shad: 28).

Jika Dia tidak memisahkan antara orang-orang yang takwa dengan

orang-orang yang jahat, maka ini bertentangan dengan keadilan dan hikmah.

Padahal Allah adalah Maha Adil dan Maha Bijaksana yang tidak

mungkin melakukan demikan sama sekali karena (sekali lagi) Allah Maha

Bijaksana dan Maha adil. Kalau begitu, Dia telah memisahkan antara orang-orang

yang takwa dengan orang-orang yang jahat (para pendosa). Dan

pemisahan ini tidak terjadi di dunia karena kita melihat mereka berdua

p:80

(berkumpul) bersama. Dengan demikian maka haruslah ada suatu hari yang

dikatakan “Berpisahlah kamu pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat

jahat”. Inilah dalil kedua atas Hari Kemudian dan lafal yang berulang dan

menghubungkan antara dua mukadimah (alhad al-ausath—silakan merujuk

ke buku logika bab kiyas—Peny.) di dalamnya adalah hikmah dan keadilan

sebagaimana dalil pertama atas Hari Kemudian al-had al-ausath-nya adalah

keberadaan Allah sebagai Dzat Yang Maha Benar.

Adapun dalil ketiga atas Hari Kemudian yaitu melalui rahmat yang

mutlak, Al-Qur’an berkata dalam surah Al-An’am, “Katakanlah (hai

Muhammad) kepunyaan siapakah apa-apa yang ada di langit dan dibumi.

Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah’. Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih

sayang” (Q.S. Al-An’am: 12). Dan karena Allah Maha Penyayang. “Agar

Dia mengumpulkan kalian pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan di

dalamnya” (Q.S. Al-An’am: 12). Hal yang demikian ini telah ditetapkan

dan diputuskan secara pasti oleh Allah. Dan keharusan (lâzim) rahmat

adalah bahwa hendaklah Dia mengantarkan setiap makhluk menuju ke

kesempurnaannya, dan memberinya bentuknya yang sempurna yang

merupakan hakikat rahmat itu sendiri, dan kesempurnaan dalam hal ini

adalah hendaklah mereka (mampu) mencapai pertemuan dengan Allah

dan memperoleh balasan (amalan) mencapai pertemuan dengan Allah dan

memperoleh balasan (amalan) mereka serta mendapatkan tujuan akhir

mereka dalam semua perbuatan mereka. Dan Allah telah menjelaskan

masalah Hari Kiamat dan mengatakan, “Dia telah menetapkan atas diri-

Nya kasih sayang”. Semua (makhluk) akan diantarkan menuju ke kesempurnaannya,

dan memberinya bentuknya yang sempurna yang merupakan

hakikat rahmat itu sendiri, dan kesempurnaan dalam hal ini adalah

hendaklah mereka (mampu) mencapai pertemuan dengan Allah dan

memperoleh balasan (amalan) mereka serta mendapatkan tujuan akhir

mereka dalam semua perbuatan mereka. Dan Allah telah menjelaskan

masalah Hari Kiamat dan mengataan, “Dia telah menetapkan atas diri-Nya

kasih sayang”. Semua (makhluk) akan diantarkan menuju kesempurnaan

terakhir, “Dia akan mengumpulkan kalian pada Hari Kiamat yang tidak ada

keraguan di dalamnya”.

p:81

p:82

Pelajaran VI

Kehidupan dan Kematian adalah Salah Satu Dalil Tauhid

Kehidupan dan Kematian adalah Salah Satu Dalil Tauhid

p:83

p:84

Kehidupan dan Kematian Adalah Salah Satu Dalil Tauhid

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Salah satu dalil tauhid adalah terjadinya kematian dan kehidupan pada

semua makhluk alam dan mereka tunduk di bawah pengaturan (rububiyyah)

Allah. Kematian dan kehidupan adalah benar (haq) dan tetap (tsâbit) dan di

bawah pengawasan Tuhan Yang Mengatur alam semesta, yang tidak akan

pernah hilang, yang tidak terjadi dengan sendiri nya dan tidak bersandarkan

kepada selain Allah. Dan tidak mungkin kematian dan kehidupan terjadi

dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada pelaku (fâ’il) dan

sumber yang aktif (mabda’ fâ’ili). Kedua masalah ini tidak dapat dinisbatkan

kepada selain Allah karena sistem (an-nizham) yang di dalamnya tidak ada

kehidupan adalah sistem yang kurang (cacat), dan jika tidak ada kehidupan

maka tidak ada tempat untuk mengemukakan pemikiran, argumentasi, dan

keyakinan dll dari masalah-masalah seperti ini.

Apabila tidak ada kematian dan kehidupan, materi akan abadi, maka

konsekuensinya adalah bahwa kehidupan materi akan menjadi gerakan yang

abadi padahal realitas membuktikan bahwa gerakan tersebut tidak sejalan

dengan keabadian. Gerakan mempunyai arah (tujuan) yang ia tuju, dan ia

mempunyai tujuan dan ketika ia sampai kepada tujuannya itu maka ia akan

menjadi tenang. Kehidupan alam dan materi akan menjadi tenang (tidak

bergerak) dengan kematian. Maka, kematian adalah pencapaian tujuan dan

keterbebasan dari alam serta pencapaian alam lain (akhirat).

Dengan demikian, kehidupan dan kematian tidak dapat ditentang

(dihindari). Dari sisi yang lain, kedua-keduanya tidak menciptakan dirinya

sendiri karena sistem ciptaan dan sistem wujud adalah sistem sebab dan akibat

(nizham al-‘illah wal ma’lul). Dan akan binasa karena kebe tulan juga. Tidak

ada kebetulan di dalam ini dan tidak ada jalan bagi kebetulan di alam wujud.

Setiap fenomena butuh kepada sebab yang aktif (‘illah fâ’iliyyah) dan setiap

kejadian perlu kepada sebab yang aktif. Dan tidak mungkin sistem akibat

dan akibat disisihkan dari alam penciptaan. Jika sistem akibat dihancurkan,

maka akan runtuhlah jalan pemi kiran dan sekaligus argumentasi (istidlâl).

Seorang alim yang berpikir, menyusun premis-premis dan menanti

untuk mendapatkan kesimpulan (nâtijah) yang khusus dari mukadimah-mukadimah

tertentu bersandarkan sistem sebab. Maka, premis-premis ini

p:85

adalah sebab akibat (ma’lullah) dari mukadimah-mukadimah ini. Maka,

sebab yang dekat atas kesimpulan itu adalah mukadimah-mukadimah ini.

Kalau begitu, apabila tidak terdapat hubungan sebab (‘alaqah ‘illiyah)

di dalam, maka jalan berargumentasi juga akan tertutup. Dan orang yang

ingkar terhadap sistem sebab itu adalah orang yang seluruh keinginannya

adalah pengingkaran terhadap sistem yang aktif. Kalau tidak, maka dia

menerima sebab yang potensial (‘al-illah al-qâbilah) dan materi (al-mâdah)

karena orang yang mengingkarinya tidak bermanfaat dan yang menerimanya

tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada filsuf Ilahi yang akan puas

dari seseorang yang hanya menerima sebab materi (‘illayah al-mâdiyah) dan

sebab potensial. Dan seluruh pembahasan intinya adalah ‘illah al-fâ’iliyyah,

meskipun sistem sebab terwujud dan terdapat tanpa sebab potensial(dan

sebab potensial adalah materi (mâdah). Tetapi tidak mungkin sistem sebab

memanisfestasi tanpa sebab aktif, karena dapat saja terjadi suatu perbuatan

dari sumber(mabda’) yang mempunyai gambar (shurah) saja dan tidak terdapat

sebab materi(‘illah mâdiyah) bersamanya sebagaimana keadaan yang terjadi

pada hal-hal yang metafisik (al-mujarradât).

Dalam bagian hal-hal yang metafisik (al-mujarradât) terdapat sistem

sebab yang merupakan pengaruh (ma’lulah) dari Allah Swt. Maka, Allah,

Sang Pencipta Swt adalah sebabnya yang aktif (al-‘illlah al-fâ’iliyyah) tetapi

tidak ada materi (mâdah) bersamanya, dan tentu saat itu ia tidak memilki

‘illah mâdiyah), dan sebab ini adalah curahan anugerah (al-Faidh) Allah Yang

Maha Benar (al-Haq) dan berasal dari al-Haq. Dengan demikian, dapat

diterima terwujudnya sistem sebab tanpa sebab yang potensial tetapi tidak

dapat diterima tanpa sebab yang aktif.

Berdasarkan hal ini, maka fenomena kematian dan kehidupan membutuhkan

sumber yang aktif (mabda’ fâ’ili). Dan salah satu argumentasi yang

digunakan oleh para nabi atas tauhid rububi adalah bahwa Allah sumber

asal (mabda’) kematian dan kehidupan. Dan sebab aktif yang kematian dan

kehidupan berada di bawah kekuasaan-Nya adalah Allah. Allah-lah yang

dapat menghidupkan dan mematikan. Dan Ibrahim al-Khalil telah berdiri

menentang Namrud yang hidup di zamannya yang mengaku bahwa dia

adalah Tuhan yang mengatur manusia dan dia berkata kepada Ibrahim:

Kamu harus mengakui bahwa akulah yang mengatur (alam, termasuk kamu’.

Ibrahim menjawab, “Tuhankulah Yang Mengaturku, yang Menghidupkan,

dan Mematikan”(Q.S. Al-Baqarah: 258).

Allah adalah mabda’ itu yang menghidupkan dan mematikan karena

penghidupan dan pematian bukan di tangan selain Allah. Kalau begitu, orang

p:86

yang mengaku-ngaku menguasai pengaturan alam (rububiyyah) sebenarnya

dia berbohong dan bukanlah Tuhan Pengatur (rabb). Lalu Namrud berkata,

“Aku yang menghidupkan dan mematikan” (Q.S. Al-Baqarah: 258). Yakni,

hidupmu dan matimu berada di tanganku, dan dia tidak mengatakan:

“Dan aku yang menghidupkan dan mematikan” yakni saya (ana) dan tidak

mengatakan: saya juga yang menghidupkan dan mematikan, dan tidak

mengatakan: saya juga mampu untuk mematikan dan menghidupkan,

tetapi dia mengatakan, “Saya menghidupkan dan mematikan”, tanpa kata

‘dan’ (wâwu), yakni itulah saya, yang kematian dan penghidupan berada di

bawah kekuasaanku. Yakni, wahai Ibrahim, kamu mengatakan bahwa Tuhan

Pengatur (rabb) adalah yang di tangan-Nya penghidupan dan pematian,

sedangkan sayalah yang menguasai penghidupan dan pematian. Kalau

begitu saya adalah Tuhanmu dan kamu harus mengakui kemampuanku

dalam mengatur (rububiyah).

Menghadapi sikap bodoh atau berpura-pura bodoh Namrud di dalam

perdebatan yang dipenuhi argumentasi (dalil), maka Ibrahim al-Khalil tidak

berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain, tetapi beliau mengemukakan

suatu bukti (misdaq) yang lebih jelas karena dalil yang disampaikannya

adalah dalil yang sempurna, sehingga Namrud tidak dapat mendebatnya.

Orang-orang yang menyaksikan di majelis protes dan perdebatan itu juga

tidak akan dapat menerima buah pikiran yang keliru (mughâlathah). Oleh

karena itu beliau berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari

timur, maka terbitkanlah dia dari barat” (Q.S. Al-Baqarah: 258). Tuhankulah

yang mengatur terbitnya matahari dan tenggelamnya matahari dengan cara

demikian dalam sistem ciptaan. Jika kamu memang Tuhan, maka lakukanlah

terhadap matahari hal yang sebaliknya.

Ini adalah pembahasan tersendiri dan barangkali kami telah

menunjukkan sisi-sisi pembahasan ini pada majelis-majelis terdahulu.

Tujuan Al-Qur’an yang mulia bahwa kematian dan kehidupan tidak ada

dengan sendirinya, tetapi keduanya butuh kepada’illah fâ’iliyyah, dan selain

Allah tidak dapat menjadi ‘illah fâ’iliyyah, karena hidupnya bukan tidak

terbatas dan bukan dengan sndirinya, ia telah mengambil kehidupan dari

sumber (mabda’) yang lain. Kalau begitu, kematian dan kehidupan berada di

tangan Allah. Tidak ada satu wujud pun yang sanggup menghidupkan dan

mematikan dengan sendirinya.

Al-Qur’an mendefinisikan bahwa kematian adalah sesuatu yang eksis

(amr wujudi) dan bukan sesuatu yang jelas nihil (amr ‘adami). Ketika

manusia pergi dari alam materi ke alam barzakh, berarti dia pergi dari

p:87

suatu alam menuju ke alam lain. Dan arah ini yang manusia terbebaskan

di dalamnya dari dunia, dinamakan dengan kematian. Dan arah itu yang

manusia sampai dengannya menuju alam barzakh, dinamakan kelahiran.

Perpindahan dari suatu alam menuju alam yang lain disebut dengan kematian.

Dengan demikian, kematian bukanlah sesuatu yang nihil. Oleh karena

itu Al-Qur’an mendefinisikan bahwa kematian adalah makhluk Allah,

“Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara

kalian yang paling baik amalnya” (Q.S. Al-Mulk: 2). Dan Dia (Allah)

mengatakan di dalam Al-Qur’an bahwa kehidupan tidak berada di tangan

seseorang pun dan tidak ada seorang pun yang hidup abadi. Begitu juga

kematian tidak berada di tangan seseorang pun. Apabila kematian berada

ditangan orang-orang lain, maka mereka tentu dapat menghindar saat itu

dari kematian. Manusia semenjak dahulu kala berpikir untuk menghindar

dari kematian dan menentang fenomena kematian.

Al-Qur’an mengatakan bahwa kalian tidak mampu memberikan

kehidupan pada seseorangpun dan kalian juga tidak sanggup mencegah

kematian dari orang-orang. Maka, kehidupan dan kematian berada di bawah

kekuasaan Allah, dan Dia berkata dalam surah Al-Hajj: Ketika berhala-berhala

dan sembahan-sembahan kalian bersekongkol untuk membuat

seekor lalat, maka mereka tidak akan sanggup, “Hai manusia, telah dibuat

perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya

segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor

lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya” (Q.S. Al-Hajj: 73).

Tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan seekor lalat. Jika semua

berkumpul, berkoalisi, dan berpikir untuk menciptakan seekor lalat, maka

mereka tidak akan sanggup melakukan hal itu. Kehidupan tidak berada di

bawah kekuasaan seorangpun. Ada seorang lelaki di zaman Imam keenam

a.s. yang meletakkan air dan tanah secukupnya di dalam botol lalu dia

menutupnya. Selang beberapa saat muncullah sekelompok makhluk hidup

yang lembut. Selanjutnya, lelaki ini mengklaiim di tengah-tengah manusia

yang bodoh sambil berkata, “Akulah yang mencampur antara air dan tanah

di dalam botol ini dan akulah yang menjadi sebab hidupnya makhluk-makhluk

yang ada di dalam botol. Aku juga yang mencampur air dan tanah

ini di dalam lalu membentuk kehidupan. Dan kehidupan yang terjadi di

dalam botol ini adalah karena pekerjaan tanganku”.

Masalah ini sampai ke Imam keenam as. Lalu beliau berkomentar,

“Apabila lelaki itu memang memiliki peranan dalam kehidupan makhluk-

makhluk itu, maka tanyakanlah kepadanya: Pertama, berapa jumlah

p:88

nya? Dan berapa jumlah jantannya? Dan berapa jumlah betinannya? Coba

ia menjelaskan timbangannya dan bagaimana caranya? Apabila dia mampu

memberi kehidupannya dan kehidupan ada di tangannya, maka kematian

harus ada juga di tangannya; hendaklah dia mengembalikan keadaannya

seperti sedia kala, yaitu berupa tanah. Ketika dia menjadi pemilik kehidupan,

maka dia juga seharusanya menjadi pemilik kematian”.

Orang laki-laki itu menyadari bahwa selama ada Imam as-Shadiq

a.s., dia akan mati kutu dan tidak dapat menyebarkan pemikirannya yang

menipu orang-orang awam. Dan makna yang persis seperti ini terdapat

dalam bagian yang cukup banyak dalam Nahjul Balaghah. Yaitu, seandainya

mereka berkumpul semua dan ingin memberikan kehidupan kepada

seseorang, maka mereka tidak sanggup melakukan hal itu, “Dan jika lalat

itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali

dari lalat itu” (Q.S. Al-Hajj: 73). Apabila lalat-lalat itu merampas sesuatu

dari berhala-berhala mereka, maka berhala-berhala mereka tidak akan

mampu mengembalikannya padahal lalat itu adalah jenis serangga kecil yang

lemah. Mereka yang ingin mengembalikan apa-apa yang telah dirampas oleh

lalat-alat juga orang-orang yang lemah, “Amat lemahlah yang menyembah dan

amat lemah(pulalah) yang disem bah” (Q.S. Al-Hajj: 73). Barangsiapa yang

musyrik, maka dia tidak mengenal Allah. Dan orang-orang yang kembali

kepada selain Allah, mereka tidak mengenal Allah, “Mereka tidak mengenal

Allah dengan sebanar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat

lagi Maha Perkasa” (Q.S. Al-Hajj: 74).

Al-Qur’an yang mulia telah menyebutkan dalam beberapa tempat

bahwa Allah “Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kematian

dan kehidupan hanya ada di tangan Allah. Dan dikatakan dalam surah

an-Najm, “Dan sesunguhnya Dia Menghidupkan dan Mematikan”

(Q.S. An-Najm: 44). Jika Al-Qur’an ingin menisbatkan pematian dan

penghidupan ini kepada selain Allah, ia berkata: Dengan izin Allah.

Yakni, sesuatu itu atau Imam yang suci adalah salah satu tentara Allah

sehingga mampu menguasai penghidupan ini atau ciptaan ini. Al-Qur’an

berkata tentang Isa Al-Masih (salam Allah atasnya): Sesungguhnya dia

menciptakan burung dan sungguh ciptaan ini dan penghidupan ini

terjadi dengan izin Allah, bukan dari Al-Masih a.s.sendiri. Karena, tidak

ada suatu per buatan pun yang terdapat di dunia ini tanpa izin Allah .

Allah berfirman, “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang bekata

kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa

sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu” (Q.S. Ali ‘Imran: 49). Allah Swt

p:89

mengutus seorang rasul untuk memberikan petunjuk kepada Bani Israil yang

mana beliau dibekali mukjizat. Dan Mukjizat ini berupa, “Aku membuat

untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung; kemudian aku meniupnya,

maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah” (Q.S. Ali ‘Imran: 49).

Masalah kehidupan dan terbangnya burung dinisbatkan kepada izin Allah.

Apa-apa yang disebutkan dalam surah Al-Maidah telah memperkenalkan

seluruh masalah ini bahwa ia terjadi dengan izin Allah sampai

pembentukan tanah seperti bentuk burung juga terjadi dengan izin Allah

karena tidak ada sesuatu yang berwujud di muka bumi tanpa izin Allah.

Dia berfirman, “Dan (ingatlah) di waktu kau membentuk dari tanah (suatu

bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniupnya,

lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan izin-Ku” (Q.S.

Al-Maidah: 110). Yakni bahwa pembuatan burung dari tanah dengan

bentuk, tipe, dan susunan burung adalah juga dengan izin Allah.

Akan tetapi, dalam surah Ali ‘Imran, bagian yang sensitif itu dinisbatkan

kepada Allah, “Aku membuat untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung;

kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah”.

Kalau begitu, jika ada seseorang memberikan kehidupan, maka dengan

izin Allah, dia memberinya. Dan apabila dia menciptakan burung, maka

dia menciptakannya karena izin Allah. Karena, Tidak ada sesuatu pun di

dunia yang tercipta tanpa izin Allah. Karena, tidak ada sesuatu pun di dunia

yang tercipta tanpa izin Allah. Tidak ada konsep legitimasi (ijâzah) dalam

sistem pencpitaan; segala sesuatu yang ada karena izin dari Allah. Dengan

demikian, seseorang tidak akan bekerja tanpa sepengetahuan dan izin

Allah, lalu setelah itu dia meminta izin dari Allah. Tidak demikian

apabila belum diperoleh izin, dan jika halangan (misalnya angin adalah salah

satu penghalang terbakarnya kertas—Peny.) belum dihilangkan, jika suatu

keharusan (al-muqtadi), misalnya untuk dapat terbakarnya kertas, maka

salah satu keharusan adalah keringnya kertas itu—Peny.) belum sampai

kepada batasan maksimal (had an-nishab) dan jika batasan sebab (Nishab

al-‘illiyah) tidak mencapai batas kesempurnaan, maka tidak ada sesuatu pun

yang akan terwujud sama sekali.

Allah telah menisbatkan penciptaan kepada selain-Nya dalam beberapa

surah Al-Qur’an yang mulia seperti penisbatan penciptaan kepada Al-Masih,

atau apa yang difirmankan-Nya dalam surah Al-Mukminun. “Maka Maha

Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling baik” (Q.S. Al-Mukminun: 14) Yakni,

orang-orang lain juga sebagai pencipta. Di dunia juga terdapat pencipta-pencipta

lain, tetapi pada akhirnya Allah adalah “sebaik-baik pencipta”, dan

p:90

lain-lain. Karena Al-Qur’an adalah Kitab cahaya, petunjuk, dan penjelas

segala sesuatu, maka ia telah menjelaskan masalah ini dan memecahkannya.

Al-Qur’an telah mengembalikan seluruh ayat yang mutasyabihat(yang

samar) kepada ayat-ayat muhkamat (yang jelas). Dan Allah telah menisbatkan

di sebagian ayat Al-Qur’an kepada selain Allah, maka masalah ini telah

dipecahkan di ayat-ayat muhkamat yang lain, yaitu bahwa penciptaan

terbatas dalam percobaan Allah. Orang-orang lain adalah terminal anugerah

Ilahi (emanation of god) dan aliran anugerah Pencipta, bukan berarti mereka

pencipta. Pencipta satu-satunya adalah Allah, sementara yang lain, siapa pun

mereka dan apa pun kedudukan mereka adalah tempat (curahan) anugerah

Pencipta, seperti kemuliaan, rezeki, dan lain-lain.

Al-Qur’an yang mulia telah menisbatkan kemuliaan kepada diri-Nya,

para nabi-Nya, dan orang-orang beriman, “Kemuliaan itu untuk Allah dan

untuk Rasul-Nya dan untuk orang-orang yang beriman” (Q.S. Al-Munafiqun:

8). Akan tetapi hal itu dikhususkan dalam surah Fathir, “Semua kemuliaan

itu bagi Allah semata” (Q.S. an-Nisa’: 139). Kalau begitu, apa yang dimiliki

Rasulullah dan orang-orang yang beriman pada hakikatnya adalah milik

Allah. Allah-lah yang memberi mereka kemuliaan itu. Dan mereka orang-orang

yang mulia tidaklah mendapatkan kemuliaan dengan sendirinya

melainkan mereka hanya sebagai wadah (atau manifestasi kemuliaan Yang

Maha Mulia). Bukan berarti ia adalah rantai panjang yang mana apabila kita

melipat rantai itu dan kita sampai ke permulaan dan asalnya, maka kita akan

menemukan Allah dan saat itu kita akan mengerti bahwa Penggerak rantai

itu adalah satu, tetapi ketika kita sampai ke sana, maka dari sisi pemikiran,

kita sampai ke sebab yang menyeluruh (‘illatul kul) bukan sebab yang

pertama saja dan yang mengharuskan sebab kedua dan ketiga di alam.

Dengan menjaga sistem sebab, maka tauhid perbuatan (al-tauhid alaf

’ali) harus diketahui. Bukan berarti ketika kita melalui rantai itu dan kita

sampai ke permulaannya, maka kita mengetahui Allah, tetapi ketika kita melalui

rantai, kita akan melihat bahwa Sang Pencipta dan Sang Penggerak semua

rantai ini adalah sesuatu yang satu, yaitu Allah, Tuhan Pengatur alam semesta.

Al-Qur’an berkata tentang kemuliaan: jika orang-orang lain menjadi

orang-orang yang mulia, maka kemuliaan ini adalah milik Allah

dan Allah telah menganugerahi mereka kemuliaan ini. Dan Al-Qur’an

berkata tentang rezeki: Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki. “Apa yang

ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, dan

Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki” (Q.S. Al-Jum’ah: 11). Yakni, bahwa orang-orang

lain juga sebagai pemberi-pemberi rezeki tetapi Allah adalah sebaik

p:91

baik pemberi rezeki atau ia (Al-Qur’an) mengatakan, “Dan berilah mereka

rezeki”, yakni berilah rezeki orang-orang yang menjadi bawahan kalian dan

orang-orang yang harus kalian beri nafkah dan lain-lain. Atau ia berkata

tentang pendidikan anak, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian

kepada para ibu dengan cara yang baik” (Q.S. Al-Baqarah: 233). Maka,

jaminan rezeki istri menjadi tanggung jawab suami, dan anak-anak harus

diberi rezeki oleh para ibu dan pasangan suami-istri.

Meskipun Allah telah menisbatkan rezeki sebagian manusia kepada

sebagian yang lain, tetapi bukan berarti orang-orang lain juga sebagai rezeki

di samping Allah. Pokoknya, Allah lebih tinggi kedudukan-Nya dari mereka,

bahkan Pemberi rezeki satu-satunya adalah Allah sementara orang-orang

lain adalah tempat curahan rezeki Allah. Atas dasar tauhid al-af ’ali, maka

apa yang sampai kepada manusia dari orang-orang lain pada hakikatnya

adalah dari Allah. Sedangkan seseorang yang memberi kemuliaan dan lain-lain

adalah tempat curahan anugerah (al-faidh), bukan berarti dia sendiri

memberikan sesuatu kepada orang lain, “Apa saja nikmat (yang kalian

peroleh) adalah (datang) dari Allah” (Q.S. an-Nahl: 53).

Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata, “Aku tidak menciptakan manusia

dan jin kecuali agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki

rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka

memberi Aku makan, “Sesungguhnya Dia-lah Allah Maha Pemberi rezeki

yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh” (Q.S. adz-Dzariyat: 56—58).

Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata, “Aku tidak menciptakan manusia

dan jin kecuali agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki

rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka

memberi Aku makan. Sesungguhnya Dialah Allah Maha Pemberi rezeki Yang

Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (Q.S. adz-Dzariyat). Ini merupakan

pembatasan, yakni bahwa pemberi makan satu-satunya adalah Allah, dan di

dunia tidak ada pemberi rezeki dan pemberi makan selain Allah. Dengan

demikian, Pemberi rezeki satu-satunya untuk semua makhluk adalah Allah.

Dan Yang Mahakuasa untuk hal itu adalah Allah, karena Allah memiliki

kekuatan yang dahsyat.

Oleh karena itu, sebagian orang berkata bahwa maksud dari “Yang

memiliki kekuatan dahsyat” (syadidul kuwâ) adalah Allah karena Allah

memiliki kekuatan yang dahsyat. Dia Yang Memiliki kekuatan yang dahsyat

yang juga sebagai pengajar Rasulullah bukan malaikat pembawa wahyu,

dan Jibril a.s. terkadang mengatakan, “Seandainya aku mendekat seujung

jari (saja) niscaya aku terbakar”. Alhasil, rezeki apa pun yang dinisbatkan

p:92

kepada selain Allah dalam Al-Qur’an adalah sebagai perantaraan rezeki Allah

dan sebagai tempat curahan anugerah Allah. Bukan berarti mereka sebagai

pemberi rezeki dan Allah juga pemberi rezeki. Pada akhirnya, Allah adalah

sebaik-baik pemberi rezeki. Dan hendaknya tentang penciptaan juga harus

dipahmai seperti itu. Apabila Allah me nge nalkan sebagian orang bahwa

mereka adalah para pencipta kemudian dia mengatakan bahwa Allah adalah

Pencipta yang terbaik, atau menisbatkan penciptaan kepada Al-Masih as,

“Kamu menciptakan dari tanah seperti bentuk burung dengan seizin-Ku”

(Q.S. Al-Maidah: 110). Maka, hal ini bukan berarti bahwa Isa Al-Masih a.s.

pencipta dengan sendirinya dan Allah juga Pencipta. Pada akhirnya, Allah

adalah sebaik-baik pencipta, suatu derajat yang lebih tinggi dari ciptaan Al-

Masih as. Tidaklah demikian, menurut pandangan tauhid af ’ali, ciptaan Al-

Masih merupakan wadah anugerah dari ciptaan Allah.

Oleh karena itu, Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Allah adalah

Pencipta segala sesuatu”, “Dia menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian

lakukan”, Karena kalian juga wadah anugerah dari penciptaan, maka ciptaan

itu bukanlah sesuatu yang asing dan keluar dari hal itu(irâdah Allah). Semua

alam mempunyai satu Pencipta dan satu sistem penciptaan. Semua orang

dan apa yang mereka lakukan adalah makhluk-makhluk dari-Nya meskipun

mereka melaksanakan pekerjaan mereka dengan memperoleh hak memilih

dan meskipun perbuatan-perbuatan manusia jauh dari keterpaksaan (aljabr)

dan jauh juga dari kebebasan mutlak (at-tafwidh). Mereka bekerja

dengan memilih (ikhtiar) tetapi pilihan ini bersandarkan kepada kekuasaan

Allah dan berada di di bawah kendali Allah.

Manusia tidaklah terpaksa atau bebas sepenuhnya dalam perbuatan-perbuatannya.

Bahaya penyerahan sepenuhnya dan kebebasan mutlak lebih

buruk daripada bahaya pemaksaan. Manusia adalah bebas, namun tidak

mutlak dan tidak terpaksa tetapi ia adalah makhluk yang memilih(mukhtar).

Simak syair berikut:

Kita tidak menggerakkan sehelai rambut kepala kita kecuali dengan

ikhtiar, dan ikhtiar ini juga berada di bawah genggaman ikhtiar-Nya.

Apabila mereka mengancammu dengan neraka atau kekekalan (di

dalamnya) maka janganlah kamu gelisah. Mereka tidak akan menyiksamu

keluar dari rumah Sang Kekasih.

Bait (syair) yang kedua di luar topik kita. Al-Qur’an yang mulia ketika

menisbatkan suatu perbuatan yang baik dan suatu hal yang eksis kepada

selain Allah, maka ia berkata di tempat (ayat) yang lain: Semua masalah

ini milik Allah. Demikianlah yang dikatakannya tentang kemuliaan, rezeki,

p:93

penciptaan, dan kekuassan. Apabila Allah mengatakan: Sebagian mereka

adalah orang-orang kuat atau Dia berkata: Kami beri mereka suatu kekuatan,

“Peganglah kuat-kuat atap yang Kami berikan ke pa damu” (Q.S. Al-Baqarah:

63) dan lain-lain, maka Dia berkata di ayat lain, “Sesungguhnya kekuatan(itu)

untuk Allah semua” (Q.S. Al-Baqarah: 165).

Jadi, tidak benar bahwa Allah menyerahkan sepenuhnya kekuatan

tersebut kepada seseorang atau beberapa orang, dan tidak benar bahwa

orang-orang lain memiliki kekuatan ini secara bebas, dan tidak benar

bahwa orang-orang lain memiliki kekuatan ini secara bebas, dan tidak benar

bahwa orang-orang lain mengambil kekuatan dari selain Allah. Tiga hal

ini semuanya mustahil. Kalau begitu, jika Isa Al-Masih a.s. disebut sebagai

pencipta, maka beliau adalah wadah anugerah dari ciptaan Allah

atau beliau menjadi manifestasi “Yang Menghidupkan” sehingga beliau

mampu menghidupkan burung-burung dan memberikan kehidupan bagi

burung meskipun kehidupan itu berada di bawah kekuasaan Allah saja dan

tidak berada di bawah kekuasaan makhluk lain.

Dengan demikian, kumpulan penjelasan dalam surah Ali ‘Imran dan

surah Al-Maidah, “Maka bentuk (tanah itu) menjadi burung dengan izin-Ku”.

Menunjukkan bahwa penciptaan dan penghidupan khusus bagi Allah, dan

apabila orang-orang lain melakukan hal itu, maka mereka sekadar wadah

anugerah dari penciptaan dan penghidupan Ilahi. Karena semua kehidupan

yang terbatas ini dan yang dikelilingi dengan dua kematian hendaklah

bersandarkan kepada kehidupan yang tidak akan berakhir dari dua sisi

dengan nama “Dia Yang Maha hidup lagi tidak akan mati”.

Adapun tentang kematian, Dia (Allah) mengatakan: Kematian tidak

berada di bawah kekuasaan seseorang, dan tidak ada seorangpun yang tahu

di tempat mana dan di zaman mana dia akan mati. Allah berkata, “Tidak

ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan meninggal” (Q.S. Luqman:

34). Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan dilakukannya esok hari,

dan tidak ada seorang pun yang tahu di tanah dan tempat mana dia akan

mati, dan tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan diperbuatnya esok.

Oleh karena itu, dikatakan dalam surah Al-Kahfi, “Dan jangan sekali-kali

kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan

itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) insya Allah’” (Q.S. Al-Kahfi: 23—

24). Janganlah berkata dengan pasti, saya akan melakukan demikian besok

kecuali sesudahnya Anda mengatakan: insya Allah.

Pengertian kalimat tersebut adalah saya akan melakukan demikian

jika Allah memang menghendaki atau saya tidak akan dapat melakukannya

p:94

kecuali kehendak Allah menggagalkan atau Anda tidak menginginkan

sesuatu kecuali apa yang diinginkan oleh Allah. Alhasil, seseorang tidak

akan mengetahui apa yang akan dilakukannya besok dan seseorang tidak

akan mengetahui di bumi mana dia akan mati. Dan yang lebih dalam

dari itu, seseorang tidak akan mengetahui di tanah mana dia akan mati,

apakah dia akan mati di tanah keimanan atau dia akan mati di tanah

kekufuran atau kemunafikan. Dan dengan keikhlasan yang bagaimana dia

membungkus (mempersiapkan) barang-barang bepergian ke rumah yang lain

(akhirat)? Tanah kematian dan bumi kematian yang bernama akibat yang

buruk atau akibat yang baik adalah sebuah misteri, sebagaimana masa depan

juga menjadi misteri, dan zaman itu adalah, “Maka apabila telah tiba waktu

(yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya

barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya” (Q.S. an-Nahl: 61).

Momen yang tidak menerima perubahan dan pergantian adalah sebuah

mistri. Dan tidak ada seorang pun yang mati kecuali dengan izin Allah,

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai

ketetapan yang tertentu waktunya” (Q.S. Ali ‘Imran: 145). Setiap manusia

mempunyai masa depan tertentu dan kitab yang tertulis di mana dia akan

sampai ke puncak kematian dengan berakhirnya masa dan waktu itu. Tidak

sesaat pun akan dimajukan dan tidak sesaat pun akan diundurkan. Waktu

itu ada di sisi Allah, Dia berkata, “Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah,

sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang

ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah

yang mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit

itu)” (Q.S. Al-An’am: 2). Dan meminjam istilah Allamah Thabathaba’i

(rahmat Allah atasnya), apabila ada sesuatu yang di sisi Allah, maka akan

terjaga dari kerusakan perubahan dan pergantian, karena dia berkata dalam

surah an-Nahl, “Apa saja yang ada di sisi kalian akan habis (binasa) sedangkan

apa saja yang ada di sisi Allah kekal” (Q.S. an-Nahl: 9—6).

Al-Qur’an telah mengatakan dalam surah Al-An’am: waktu yang telah

ditentukan pada setiap orang berada di bawah kekuasaan Allah, lalu dia

(Allamah Thabatha’i) menjelaskan tafsir surah an-Nahl itu sebagai berikut:

Apa saja yang berada di sisi Allah akan tetap (tidak berubah) dan abadi.

Maka kesimpulannya: Sesungguhnya waktu yang telah ditentukan tidak

akan pernah dapat berubah, dan waktu itu telah diambil sebagai sebab

yang sempurna (‘illah tâmmah) untuk mengatur kematian jika seseorang

tidak berdoa, tidak bersedekah, tidak menjalin ikatan persaudaraan dengan

p:95

dengan kerabatnya, dan jika dia tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

memiliki peranan dalam memanjangkan umur.

Jika masalah-masalah (perbuatan-perbuatan yang dapat memanjangkan

umur—Peny.) ini telah dikumpulkan, bukan hanya satu keharusan (almuqtadhi)

tetapi seluruh keharusan ini serta segenap halangan ditiadakan,

maka ia akan sampai ke batas sebab yang sempurna, maka saat itu kematian

tidak akan pernah dapat berubah. Dengan demikian, kematian dan kehidupan

tidak berada di bawah kekuasaan seorangpun. Dan tidak ada seorangpun

yang mengeetahui di bumi mana dia akan mati, dan dia tidak mengetahui

kapan akan mempersiapkan barang-barang untuk bepergian, dan dia juga

tidak mampu untuk menghindar dari kematian. Manusia sampai sekarang

tidak akan pernah mampu menghindar dari kematian dan Anda tidak akan

pernah dapat dari sekarang sampai seterusnya untuk melakukan hal itu.

Adapun bahwa mereka tidak akan mampu melakukan hal itu sampai

sekarang, maka hal ini jelas sekali karena Al-Qur’an mengatakan, “Setiap

jiwa akan merasakan kematian” (Q.S. Al-Anbiya’: 35). Maka, semua

orang yang hidup di dalam biologi ini mau tidak mau mereka merasakan

(mengalami) kematian. Mereka benar-benar merasakan kematian bukan

berarti Dia (Allah) membinasakan mereka. Setiap orang bakal mencicipi

kematian dan melaluinya, bukan berarti dia akan binasa. Jika kematian ini

kita umpamakan seperti keadaan air di gelas dan perasan kehidupannya

pahit sekali, maka dia akan mendapatkan kesulitan pada saat kematian.

Adapun jika lezat sebagai akibat dari masa lalunya yang baik, maka dia akan

memperoleh kelezatan di saat kematian.

Al-Qur’an berkata sebagai berikut, “Kami tidak menjadikan hidup

abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau

kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Q.S. Al-Anbiya’: 34). Berdasarkan

ayat ini, maka kekekalan di dunia ini mustahil terjadi. Karena kehidupan

adalah untuk ujian dan percobaan dan berdasarkan argumentasi-argumentasi

rasional adalah untuk menuju suatu tujuan, maka harus ada kematian agar

manusia mencapai tujuannya.

Adapun yang dikatakannya bahwa kematian bukan berada di bawah

kekuasaan seorang pun dan ia (Al-Qur’an) mengatakan kepada orang-orang

munafik: Kalian yang duduk-duduk (tidak turut berperang) jauh dari medan

(peperangan) dan kalian bersekongkol serta mengatakan: jika para pejuang

tidak berangkat ke medan peperangan niscaya mereka tidak akan terbunuh.

Apabila kalian memang mampu, maka hindarilah kematian dari diri kalian.

Orang-orang munafik tidak mengetahui bahwa kematian dan kehidupan

p:96

ada di tangan Allah karena hati mereka tidak percaya kepada Allah, karena

kepercayaan tidak sesuai dengan kemu nafikan.

Ketika Al-Qur’an yang mulia menceritakan ihwal pertempuaran dan

peperangan yang terjadi di (masa) permulaan Islam, ia berkata: Sesungguhnya

dalam hal ini terdapat sisi ujian dan cobaan, “Dan supaya Allah mengetahui

siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah (naik ke

atas)” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Maka, Nabi berkata kepada umatnya; Marilah

kalian(menuju) ke atas, dan Imam juga berkata kepada umatnya: marilah

kalian menuju ke atas. Datang ke atas berarti melaksanakan perintahperintah

dan peraturan-peraturan Ilahi. “Marilah berperang di jalan Allah atau

pertahankanlah” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Boleh jadi peperangan permulaan

atau pertahanan dimulai dengan menyebarkaan agama atau dengan judul

menjaga negeri Islam. Bangkitlah kalian untuk bertempur dan berperang dan

singkirkanlah orang-orang yang menduduki (tanah orang lain secara ilegal).

Orang-orang munafik berkata: Kami tidak melihat bahwa peperangan

ini pantas(untuk dikobarkan), dan ini bukanlah peperangan yang mendatangkan

kebahagiaan. Seandainya peperangan ini baik dan layak,

maka kami tidak akan bimbang untuk turut serta di dalamnya. “Mereka

mengatakan, seandainya kami mengetahui akan terjadi peperangan (ini)

niscaya kami akan mengikuti kalian”(Q.S. Ali ‘Imran: 167). Namun,

Al-Qur’an berkata: Meskipun orang munafik batinnya kafir tetapi dalam

situasi-situasi normal (biasa) dia tidak termasuk bagian dari orang-orang

kafir atau bagian dari orang-orang Mukmin, “Mereka dalam keadaan raguragu

antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk pada golongan ini

(orang-orang beriman) dan tidak (pula) pada golongan itu(orangorang

kafir)”(Q.S. an-Nisa’: 143). Akan tetapi, mereka pada hari ujian dan

percobaan lebih dekat kepada orang-orang kafir, “Mereka pada hari itu lebih

dekat kepada kekafiran daripada keimanan” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Oleh

karena hati mereka kafir, sementara kendali mereka dan kepemim pinan

mereka berada di bawah kekuasaan hati mereka, sedangkan hati mereka

lebih condong kepada kekufuran.

Oleh karena itu, mereka pada hari-hari yang berbahaya akan menjadi

orang-orang yang lebih dekat kepada kekufuran ketimbang keimanan, dan

juga “Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam

hatinya dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan” (Q.S. Ali

‘Imran: 167). Dan saat itu mereka berkata kepada orang-orang munafik:

Kami telah mengatakan kepada para pejuang itu, janganlah kalian pergi untuk

berperang, jika mereka tidak jadi pergi niscaya mereka tidak akan terbunuh,

p:97

“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka

tidak turut serta pergi berperang, “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah

mereka tidak terbunuh’” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Akan tetapi, mereka tidak

mendengarkan perkataan kami, lalu mereka pergi ke medan perperangan

sehinga mereka terbunuh. Al-Qur’an berkata, “Tolaklah kematian itu dari

dirimu, jika kamu orang-orang yang benar” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Jika kalian

memang mampu, maka usirlah kematian dari diri kalian, tetapi kematian

tidak dapat meninggalkan kalian meskipun kalian berada di menara tinggi

yang dibangun (dengan kokoh), ia tetap mengejar kalian dan jika kalian lari

ia akan (segera) menangkap kalian.

Jadi, kematian dan kehidupan ada di tangan Allah dan Dialah penyebab

kehidupan dan kematian, sementara kalian tidak akan pernah melakukan hal itu.

p:98

Pelajaran VII

Al-Qur’an Al-Karim sebagai Sebab Tawalli Dan Tabarri yang Terpenting

p:99

p:100

Al-Qur’an Al-Karim Sebagai Sebab Tawalli Dan Tabarri yang Terpenting

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Kami telah menjelaskan sebagian masalah seputar tawalli dan tabarri

dalam pandangan Al-Qur’an yang mulia. Kami telah menjelaskan juga

bagaimana tawalli dan tabarri terhitung sebagai bagian dari tiang-tiang

agama yang pokok. Nah, untuk menyempurnakan pembahasan tersebut

dan menyiapkan tempat untuk pembahasan-pembahasan berikutnya, kami

katakan: Sesungguhnya Al-Qur’an yang mulia adalah faktor yang paling

penting dalam tawalli dan tabarri dan memiliki peranan dalam mendorong

keyakinan bahwa Allah adalah wali (kekasih atau pemimpin) manusia dan

manusia berada di bawah wilayah (kecintaan atau kepemimpinan) Allah

yang hasilnya bahwa manusia akan mencintai wilayah Allah dan

wilayah wali-wali Allah. Ikatan dan hubungan yang paling kuat yang mengikat

hamba dan Allah dan yang mengantarkan curahan anugerah Allah kepada

hamba-hamba-Nya adalah Al-Qur’an yang mulia. Merasa tenteram dengan

kehadiran Kitab ini, merenungkan (tadabbur) isi Kitab ini, beriman kepada

apa saja yang dibawa oleh Kitab ini dan mengamalkan perintah-perintah

Kitab ini temasuk jalan yang paling penting dalam menapaki wilayah Allah.

Dalil atas pembahasan ini dan topik ini adalah firman-Nya tabaraka

wa ta’ala dalam surah Al-A’raf, “Sesungguhnya kekasihku (pelindungku) ialah

Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab( Al-Qur’an) dan Dia melindungi

orang-orang yang saleh”(Q.S. Al-A’raf: 196).

p:101

Poin pertama dalam ayat yang mulia ini adalah firman-Nya, “Sesungguhnya

kekasihku adalah Allah”. Itulah Tuhan yang aku di bawah wilayah-

Nya dan segala urusanku berada di bawah kendali-Nya, juga pendidikanku

dan perkembanganku berada di bawah wilayah-Nya, sumber mabda’)

itu adalah Allah—“Sesungguhnya kekasihku adalah Allah”. Hal yang paling

utama yang berhubungan dengan masalah ini adalah penurunan Al-

Qur’an. Al-Qur’an berkata, “Yang telah menurunkan al-Kitab”. Kekasihku

adalah Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an, yakni Al-Qur’an turun

lalu Dia menjelaskannya dengan suatu cara yang mana manusia mampu

membacanya, memahaminya, beriman, dan beramal dengannya.

“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”. Masalah kedua dan

ketiga: Bahwa Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan Allah yang melindungi

orang-orang yang saleh adalah wali Rasulullah karena Al-Qur’an

mengenalkan Rasulullah sebagai teladan (uswah) dan meneladani beliau

adalah peneladanan yang terbaik. Umat Islam diharuskan untuk meneladani

beliau. Dan Al-Qur’anlah yang mengenalkan beliau sebagai teladan

dan panutan. Al-Qur’an (juga) mengenalkan bahwa Rasulullah berada di

bawah wilayah Allah. Al-Qur’an menentukan jalan yang menyebabkan

Allah menjadi Wali bagi Rasul-Nya. Setiap orang yang melalui jalan

itu, Allah akan menjadikannya berada di bawah wilayah-Nya. Dengan

memperhatikan dasar-dasar ini dapat dipahami bahwa jalan terbaik untuk

memperoleh wilayah Allah adalah menjadi seorang yang saleh. Selama

manusia belum menjadi orang yang saleh, maka dia keluar dari wilayah

Allah dan Allah juga tidak menerima tawalli-nya dan jalan kesalehannya,

yaitu merasa damai yang dalam (al-uns al-‘amiq) dengan (kehadiran) Al-

Qur’an. Kesimpulan tiga masalah ini yang telah dijelaskan dalam ayat itu

adalah sama dengan apa yang telah dipaparkan, “Sesungguhnya kekasihku

adalah Allah”, dan Tuhan itu “Yang menurunkan Al-Kitab” dan Tuhan itu

“melindungi orang-orang yang saleh”. Segala pengaturan urusan mereka

dikendalikan-Nya dan dibimbing-Nya. Dengan demikian, selama manusia

belum dapat menjadi orang yang saleh, maka dia tidak akan menikmati

wilayah Allah dan juga (tidak dapat menikmati) jalan kesalehannya, yaitu

kedamaian yang dalam dengan Al-Qur’an. Oleh karena Allah yang

menurunkan Al-Qur’an adalah Wali Rasulullah, maka penetapan hukum

(sebagai Wali Allah—Peny.) dengan sifat (orang yang saleh—Peny.) diikuti

dengan sebab sifat itu. Yakni, siapa yang mengamal kan Al-Qur’an, dia

akan menjadi orang yang saleh. Apabila Allah ingin menjadi Wali bagi

seseorang, maka melalui Al-Qur’an dia akan mengatur kewalian-Nya.

Dengan demikian, siapa (saja) yang tidak berhubungan dengan Al-Qur’an

maka pasti dia tidak akan pernah menjadi orang yang saleh dan tidak akan

pernah mengambil manfaat dari wilayah Allah. Begitu juga jika Allah ingin

mendidik seseorang dan menjadikannya berada di bawah wilayah-nya, maka

jalan Al-Qur’an dan makrifat-makrifat Al-Qur’an akan mengantarkannya

ke batasan ini, “Sesungguhnya Allah adalah kekasihku Yang telah menurunkan

Al-Qur’an dan Dia melin dungi orang-orang yang saleh”. Adapun tentang Al-

Qur’an yang mulia, kita telah diperintah sebagai berikut, “Bacalah apa yang

mudah (bagimu) dari Al-Qu’ran” (Q.S. Al-Muzammil: 20). Jadikanlah Al-

Qur’an kesenangan bagi kalian meskipun sebagai ayat dan surah tidak jelas

bagi kalian. Janganlah kalian berkata: Apa perlunya membaca tanpa memahami.

Pembicaraan (kalam) ini bukanlah pembicaraan manusia yang tidak

ada manfaatnya jika tidak memahami maknannya. Ini (Al-Qu’ran) adalah

p:102

cahaya Ilahi. Apabila seseorang tidak mengerti makna-maknanya bukan

berarti tidak bermanfaat; bacaan diharuskan merenung (tadabbur) pada saat

membaca. Namun, jika dia tidak mengerti maknanya, maka dia tidak boleh

berkata, saya tidak mengerti maknanya lalu mengapa saya membacanya?

Tidaklah demikian, “Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qu’ran”. Dia

(Allah) memerintahkan untuk membaca (Al-Qur’an) dan memerintahkan

untuk membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an. Dia berfirman (juga)

dalam surah Al-A’raf, “Dan apabila dibacakan Al-Qu’ran, maka dengarkanlah

baik-baik, dan perhatikankah dengan tenang” (Q.S. Al-A’raf: 204). Jika imam

salat jamaah sedang membaca Al-Fatihah dan surah (Al-Qur’an), maka

kewajiban kita adalah diam dan mendengarkan bacaannya. Sekelompok

ulama berpendapat bahwa kewajiban diam dan mendengarkan bacaan Al-

Qur’an berlaku juga pada selain salat jamaah, tetapi pendapat yang populer

di antara para ulama itu hanya sunah. Alhasil, pada saat Al-Qur’an dibacakan

hendaklah orang-orang lain mendengarkan dan memperhatikan dengan

tenang. Dari sisi lain, Al-Qur’an berkata, “Maka apakah mereka tidak

memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci” (Q.S. Muhammad:

24). Ini adalah ajakan untuk merenung dan memperhatikan isi Al-Qur’an.

Al-Qur’an berkata: Setiap orang yang tidak merenung dalam (membaca)

Al-Qur’an, maka hatinya terkunci. Pintu pemahaman hatinya terkunci, dan

gembok hati adalah dosa. Maka kegelapan-kegelapan dalam jiwa diakibatkan

oleh terkuncinya jendela-jendela hati, sehingga makrifat-makrifat Al-Qur’an

tercegah untuk menembus dan menguasai hati melalui jendela-jendela ini.

Dan Allah telah menegaskan pentingnya Al-Qur’an dalam firman-Nya,

“Dan Kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk berzikir, maka adalah orang

yang mau berzikir” (Q.S. Al-Qamar: 17). Sungguh Kami telah memudahkan

Kitab ini untuk berzikir kepada Yang Maha benar (Al-haq), nama kebenaran

(ism al-haq), dan merasa senang bersama Allah. Jalan yang termudah untuk

mengingat Allah (zikrullah) adalah Al-Qur’an, jalan yang terdekat dan yang

terbaik untuk merasa senang bersama Allah adalah Al-Qur’an. Kitab Ilahi

ini (meskipun) berat (sukar), maka pada saat yang sama ia juga mudah. Al-

Qur’an berkata, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan

yang berat” (Q.S. Al-Muzammil: 5). Sungguh Kami telah mengirim

kepadamu suatu perkataan yang berat dan menurunkannya atas hatimu,

dan ia (Al-Qur’an) juga berkata: ia mudah dan gampang tetapi tidak ringan,

tetapi berat namun tidak sulit bahkan mudah. Terdapat perbedaan antara

kemudahan dan kelemahan. Tidak ringan tetapi berat, bahkan ia mudah

karena sesuai dan serasi dengan fitrah. Pada saat dikatakan, “Sesungguhnya

Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”, Ia juga “Dan Kami

p:103

telah memudahkan Al-Qur’an untuk berzikir”. Dan kami telah menjelaskan

hal itu secara rinci pada majelis-majelis pertama pembahasan tafsir.

Ketika Allah Swt berfirman: Bacalah apa yang mudah dari Al-

Qu’ran, dan berfirman: Apabila Al-Qur’an dibacakan maka dengarkanlah,

dan berfirman: Kami telah memudahkan Al-Qur’a untuk berzikir, maka

semua ini menunjukkan bahwa jalan terbaik untuk memperoleh kecin taan

(tawalli) Allah adalah Al-Qur’an. Dan hal yang paling penting (berperan)

yang menjadikan manusia berada di bawah wilayah Allah adalah Al-Qur’an,

“Sesungguhnya waliku adalah Allah”. Apabila Allah menjadi Wali bagi

seseorang, maka apa yang akan dilakukan? “Allah adalah Wali orang-orang

yang beriman yang mengeluarkan mereka dari ke ge lapan menuju cahaya“ (Q.S.

Al-Baqarah: 257). Dia akan menyelamatkan manusia dari segala macam

kelaliman dan kegelapan dan mengeluarkannya menuju ke medan cahaya

dan menjadikannya sebagai orang yang bercahaya. Berdasarkan hal ini, maka

Rasulullah Saw. telah selamat dari pelbagai bentuk kelaliman dan menjadi

cahaya, karena Allah Swt berfirman dalam surah Al-A’raf, “Allah adalah Wali

bagi orang-orang yang beriman”. Tugas wilayah Allah adalah mengeluarkan

orang-orang yang berada di bawah wilayah-Nya menuju cahaya,

sehingga mereka menjadi orang-orang yang bercahaya, demikianlah yang

difirmankan-Nya, “Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan

cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat” (Q.S. Al-An’am:

122). Dia men jadikannya cahaya spiritual di tengah-tengah umat sehingga

gerakannya, wawasannya, dan perjalanannya adalah cahaya. Ringkasnya,

Allah telah menjelaskan jalan ini kepada orang-orang lain. Apabila seeorang

ingin berada di bawah wilayah Allah dan menjadi orang yang bercahaya,

maka dia harus menjadi orang yang saleh, “Dan Dia melindungi orang-orang

yang saleh”. Dan jalan kesalehan adalah merasa senang dengan kehadiran Al-

Qur’an karena Allah Yang menurunkan Al-Qur’an adalah Wali Rasulullah,

“Yang menurunkan Al-Qur’an dan Dia melindungi orang-orang yang

saleh”. Dan orang-orang yang saleh (as-sahl ihun) bukanlah “orang-orang

yang beriman dan beramal saleh (kebaikan)”. Mereka adalah orang-orang

saleh yang telah mencapai kedudukan di mana jiwa mereka juga saleh

(min ahli maqâm ad-dzat) pada satu kali, jiwa menjadi saleh, dan pada kali

yang lain manusia melakukan perbuatan yang saleh.

Amal saleh tidak butuh kepada banyak urutan (tartib), namun jiwa yang

saleh membutuhkan amal-amal yang sempurna. Rasulullah Saw. dan Ahlulbait

yang suci dan terjaga (dari kesalahan) as termasuk dari orang-orang yang saleh

(as-shalihun). Orang-orang yang saleh yang jiwa mereka (juga saleh) telah

p:104

mencapai suatu kedudukan yang tinggi. Allah Swt berkata tentang sebagian

nabi bahwasanya dia akan digolongkan bersama orang-orang yang saleh pada

Hari Kiamat, “Dan sesungguhnya dia di akhirat akan(dikelompokkan) bersama

orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-Baqarah: 130). Jika jiwa telah menjadi

saleh, maka tidak akan keluar darinya kecuali amal saleh. Akan tetapi, jiwa

belum saleh sementara perbuatannya saja baik (saleh), maka terkadang

dapat saja perbuatannya saleh (baik) dan terkadang (juga) tidak baik (saleh).

Ringkasnya, orang yang saleh yang mampu melihat (baca: mencapai—

Peny.) kedudukan Dzat (maqâm ad-dzat) bukanlah “orang-orang yang

beramal saleh” yang melihat (baca: mencapai kedudukan perbuatan (maqâm

al-fi‘l). Dalam ayat ini, Rasulullah mengklaim dari sisi Allah bahwa beliau

mampu melihat Dzat yang saleh karena Allah yang melindungi orang-orang

yang saleh adalah Walinya. Apakah mungkin seseorang yang tidak saleh

akan berada di bawah wilayah Allah yang khusus? Padahal, keberadaannya

sebagai orang yang saleh dan sebagai orang yang mendapatkan kedamaian

(an-uns) dengan Al-Qur’an kedua-duanya membutuhkan wilayah Allah

(al-wilayah al-ilahiyah). Bukankah wilayah khusus itu untuk orang-orang

yang mendapatkan kedamaian yang dalam bersama Al-Qur’an ini dan yang

mendaki martabat tertinggi melalui persahabatan (dengan) Al-Qur’an yang

merupakan tali Allah lalu mereka mencapai maqâm yang saleh, dan saat itu

mereka secara langsung berada di bawah wilayah Allah?

Jika Allah menjadi wali bagi seseorang, maka Dia akan mengurus

seluruh urusannya karena semua masalah anak buah menjadi tanggung jawab

atasan. Apabila seseorang berada di bawah kekuasaan Allah, maka apakah

setan dapat merusak maqâm itu? Atau dia akan dikuasai oleh hawa nafsu dan

kegilaan(yang diilhamkan oleh setan)? Atau orang-orang yang asing dapat

menebarkan waswas kepadanya? Atau setan yang ada dalam tubuhnya dapat

melakukan waswas kepadanya? Sama sekali tidak, karena manusia ini telah

berada secara langsung di bawah wilayah Allah.

Jika seseorang telah mencapai sisi maqâm kesempurnaan dan cahaya

spiritual suatu kedudukan di mana Allah menjadi Wali-nya, maka tidak ada

tempat bagi was-was setan pada kali berikutnya. Dan Al-Qur’an menyeru kita

dalam rangka menjelaskan kepada kita suatu jalan, dan juga agar manusia

melalui jalan itu sesuai dengan kemampuan mereka. Al-Qur’an berkata

kepada kita semua: Ambillah dengan kekuatan apa yang telah Allah kirim

untuk memberikan petunjuk kepada kalian. Seruan itu bukan hanya untuk

Musa al-Kaliim dan umatnya dan bukan juga untuk Yahya a.s. saja, tetapi

untuk seluruh umat dengan firman-Nya, “Peganglah dengan teguh(kuat) apa

p:105

yang telah Kami berikan kepadamu” (Q.S. Al-A’raf: 171). Dan Dia berkata

kepada umatnya Musa al-Kalim: Ambillah dengan kuat apa-apa yang

diwajibkan Allah kepadamu. Terdapat dalam surah la-A‘raf, “Dan (ingatlah)

ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan

awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan

Kami katakan kepada mereka): “Peganglah dengan teguh (kuat) apa yang telah

Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu apa yang tersebut di dalamnya

supaya menjadi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. Al-A’raf: 171).

Kami akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan mengambil

(atau memegang) dengan kekuatan, apakah dengan kekuatan otot atau

dengan kekuatan otak (pikiran)? Ketika salah seorang Imam yang terjaga

dari dosa (al-maksum) as ditanya: apakah dengan kekuatan iman ataukah

dengan kekuatan fisik? Beliau menjawab, dengan keuatan fisik dan

hati yang notabene kekuatan iman; dengan kekuatan sekaligus dengan

kekuatan pikiran dan akidah yang kuat sekaligus juga kekuatan otot.

Dengan kekuatan pemikiran argumentatif yang dalam, “Katakanlah (hai

Muhammad) datangkanlah argumentasi kalian jika kalian memang benar”

(Q.S. Al-Baqarah: 111) dan juga dengan kekuatan fisik, “Dan siapkanlah

untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (Q.S. Al-

Anfal: 60). Dengan kekuatan materi sekaligus kekuatan ruhani. Dengan

pemikiran yang dalam dan kuat sekaligus juga otot yang besar dan kuat,

“Peganglah dengan teguh (kuat) apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta

ingatlah selalu apa yang tersebut di dalamnya”. Dan Al-Qu’ran berkata kepada

Musa al-Kalim, “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih kamu dari manusia

yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu

berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah

kamu termasuk orang-orang yang bersyukur. Dan telah Kami tuliskan untuk

Musa pada papan (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan

bagi segala sesuatu; maka (kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan

teguh (kuat)”(Q.S. Al-A’raf: 144—145). Berpeganglah kepada papan-papan

samawi (al-alwah)—yang tertulis padanya isi Taurat—lembaran Ilahi, dan

Kitab samawi yang berharga ini dengan kuat, ambillah dengan kekuatan

hati dan badan.

Ketika Allah Swt memerintahkan Nabi Yahya yang syahid melalui

firman-Nya, “Hai Yahya ambillah Al-Kitab dengan kuat” (Q.S. Maryam:

12). Maka, maksudnya bukan dengan kekuatan fisik saja, tapi juga dengan

kekuatan ruhani. Oleh karena itu, Yahya a.s. bekerja keras (dengan memerangi

hawa nafsu), sehingga beliau mencapai makam kesyahidan (syaha Al-

p:106

dah), Yahya bukan saja seorang yang zuhud tetapi juga seorang yang syahid,

karena beliau mengambil dengan kekuatan dan menerima dengan kekuatan,

“Hai Yahya ambillah al-Kitab dengan kekuatan”. Manusia harus menerima

Kitab samawi dengan kekuatan ruh. Hendaklah dia tidak merasa takut

untuk menjaga Kitab ini dari segala bentuk perbuatan yang tidak pantas.

Hendaklah dia tidak membiarkan ketakutan dan kesedihan menghantui

jiwanya akibat kejadian buruk (yang menimpanya) dan hendaklah (juga)

dia tidak meninggalkan pelaksanaan kewajiban (agama)nya.

Saya telah memaparkan masalah—“Ambilah apa yang telah Kami

berikan dengan teguh (kuat)” (Q.S. Al-Baqarah: 63)—yang terdapat dalam

surah Al-Baqarah pada dua tempat, “Dan Kami angkat bukti (Thursina) di

atasmu (seraya Kami berfirman), ‘Peganglah kuat-kuat apa yang Kami berikan

kepadamu dan dengarkanlah’” (Q.S. Al-Baqarah: 93). Dan pada akhirnya

bahwa mereka berkata “Kami mendengar dan kami bemaksiat”. Oleh

karena hati diminumi oleh cinta tehadap berhala, maka tidak ada tempat

baginya untuk berkeyakinan (iman) kepada Allah. Dan sebagaimana telah

lewat dalam pembahasan majelis terdahulu bahwa seseorang tidak dapat

mengumpulkan antara cinta Allah dan cinta selain Allah, karena dia

tidak mampu memadu cinta Allah di selain hati, begitu juga dia tidak sanggup

untuk menggabungkan antara dua cinta karena dia tidak memiliki dua hati

tetapi (hanya) satu hati. Tidak dapat menyim pan dua cinta di dalam satu hati

karena tauhid dan syirik tidak selaras. Demikianlah maksud yang disampaikan

kepada para nabi: Ambillah apa yang telah Kami berikan dengan kekuatan.

Maka, barang siapa ingin memasuki wilayah Allah, dia harus mengambil

Al-Qur’an dengan kekuatan: dengan memahami makna-maknanya,

meyakini sepenuhnya, berusaha keras untuk mengamalkannya dan

tidak malas terhadapnya. Hal yang prinsip, bahwa tawalli dan wilayah

Allah tidak serasi dengan kemalasan. Ketika Allah Swt memerintahkan

Musa Al-Kalim dan Harun a.s. untuk bangkit melawan Fir’aun,

Dia berfirman, “Dan janganlah kamu berdua lalai (malas) dalam

mengingat-Ku” (Q.S. Thaha: 42). Janganlah kalian dari membiarkan

jalan kemalasan dan kebosanan (menghalangi kalian) dari zikrullah,

dan janganlah hati kalian berdua merasakan kemalasan dari zikrullah.

Jika hati merasakan kemalasan, maka ia tidak akan mengambil Kitab

Allah dengan kuat, dan jika tidak mengambilnya dengan kuat maka ia tidak

akan menang. Apa yang akan kita lakukan agar kita menang atas musuh

eksternal kita dan juga atas setan internal? Oleh karena itu, Al-Qur’an

mengindentifikasi jalan (untuk meruntuhkan dua musuh itu) dengan

p:107

firman-Nya, “Ambillah apa yang telah Kami berikan kepadamu dengan kuat”.

Apabila lembaran ruh bercahaya dengan kekuatan pikiran, maka ia akan

melihat semua jendela-jendela setan dan akan(segera) menutup nya dan

akan mencegah penetrasinya melalui jendela tersebut. Ketika dia melihat

jendela-jendela setan dan menutupnya, maka saat itu tidak ada tempat bagi

penetrasi was-was karena setan datang dari suatu jalan yang tidak dilihat oleh

manusia. “Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-peng ikutnya melihat kamu

dari suatu tempat yang tidak dapat kamu lihat” (Q.S. Al-A’raf: 27). Maka,

ia datang melalui jalan itu yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Manusia

lalai dari jalan itu sehingga dia tidak melihatnya lalu dia terkena (lemparan)

panah setan “setiap orang yang lalai akan terkena panah”. Jika manusia tidak

menutup jalan setan itu untuk mencegahnya dari (melakukan) was-was,

maka dia akan terkena benturan.

Apabila manusia melihat semua jalan lalu menutupnya, maka tidak

ada tempat bagi penetrasi setan. Dalam surah Al-A’raf (juga) disebutkan,

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was

dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka

melihat(kesalahan-kesalahannya)” (Q.S. Al-A’raf: 201).

Jika orang-orang asing ingin tawaf dengan (memakai) baju ihram di

sekitar kakbah hati, jika orang asing yang tawaf ini melalui tawaf(berusaha)

mendapatkan jalan untuk menembus Ka'bah hati, maka pemilik hati

tersebut—karena dia bangun (sadar) dan mengerti bahwa orang asing ini

datang dengan (menyamar) memakai pakaian teman yang dikenalnya—

langsung mengusirnya dan melemparinya.

Prinsipnya, setan senang dengan kelalaian. Dan manusia yang tidak

melihat jalan karena dia bodoh atau lalai, maka dia akan mendapatkan

gangguan. Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata: Ingatlah Allah dengan zikir

yang banyak dan jangan kalian sekali-kali lalai karena setan akan datang

dari jalan kelalaian. Saat itu, orang yang tidak beriman akan berada di

bawah kendali setan, ia akan menghabiskan usianya di bawah kekuasaan

setan dan dia tidak mengetahui sedang berada di bawah kekuasaan siapa,

dia menghabiskan usianya dengan tunduk (sepenuhnya) di bawah perintah-perintah

setan sementara dia tidak mengerti di bawah pimpinan siapa! Setan

seperti anjing yang terlatih, ia tidak dapat melakukan godaan terhadap orang

yang menunaikan perintah Ilahi, sebagaimana ia (juga) tidak serta-merta

memerintah pada saat menyesatkan manusia. Manusia itu sendiri yang

membuka semua jendela hatinya untuk(ditem pus) was-was setan. Manusia itu

sendiri yang mengucapkan Kitabullah ke belakang punggungnya “lalu mereka

p:108

melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka” (Q.S. Ali ‘Imran: 187).

Manusia itu, yang seharusnya mengambil Kitabullah dan pergi dengannya

menuju tempat yang tinggi, namun dia justru melemparkan nya jauh-jauh

lalu membuka jalan untuk orang-orang asing (para setan), sehingga, dia

berada di bawah wilayah setan. Setan menyerang melalui kelalaian, sementara

Al-Qur’an berusaha agar tidak seorang pun lalai. Setan menyesatkan atas

nama petunjuk; memotong jalan atas nama bimbingan; menjatuhkan atas

nama ketinggian dan kemajuan; dan menurunkannya (Adam—Peny.) atas

nama (memberi) hidayah. Dia berkata kepada Adam, Bapak manusia,

“Maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang

tidak akan binasa” (Q.S. Thaha: 120). Dia datang atas nama petunjuk,

tetapi “setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu dengan tipu

daya)”. Setan tidak memberikan petunjuk kepada keduanya, melainkan ia

menyesatkan keduanya, dan bukannya membimbing keduanya, melainkan

malah memotong jalan keduanya. Dan setiap pejalan yang (melalui) jalan

yang tertutup(tidak terang), maka dia akan jatuh dari atas.

Menurut ungkapan Al-Qur’an yang dalam, setan berpakaian petunjuk.

Ia menjatuhkan atas nama petunjuk, “Setan menjatuhkan (membujuk)

keduanya dengan tipu daya”. Ia menjatuhkan melalui tipu daya dan

merobohkan orang yang berada di atas. Setan menurunkan orang-orang

yang berada di puncak kesempurnaan sampai ke (puncak) kerendahan,

dan perbuatan setan adalah memotong jalan atas nama bimbingan dan

kepemimpinan. Dan menurut pernyataan Mulla Sadra: Sesungguhnya setan

bersumpah kepada Adam dan istrinya untuk tidak mengkhianati keduanya,

namun ia memperlakukan keduanya seperti itu, maka apa gerangan yang

akan dilakukannya kepada kita, padahal ia bersumpah untuk menyesatkan

kita? Ia bersumpah kepada Adam, Bapak manusia dan istrinya, “Dan setan

bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang

memberi nasihat kepada kamu berdua’“. Namun, ia mengkhianati keduanya.

Berkaitan dengan orang-orang lain, ia berkata, “Iblis menjawab, ‘Demi

kekuasaan Engkau, aku akan menye satkan mereka semuanya’” (Q.S. Shad: 82).

Setan mengerahkan seluruh potensinya untuk menyesatkan, sekaligus

menggunakan makar dan tipu dayanya. Sehubungan dengan Adam as, setan

menggunakan makar dan tipuan sehingga dia masuk dengan tidak diketahui,

dan sekarang dia menyerang dengan segala kekuatan yang dimilikinya untuk

menyesatkan manusia, demikianlah ungkapan Al-Qur’an Al-Karim yang

mengatakan “Mereka benar-benar menyimpang dari jalan yang lurus” (Q.S.

p:109

Al-Mukminun: 74). Para pengikut setan terjungkal dari jalan yang lurus.

Terkadang Al-Qur’an mengatakan: Mereka jauh dari jalan (yang

lurus), pada kali lain mengatakan: Mereka terjungkal dari jalan (yang

lurus), “dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya

dia terjatuh” (Q.S. Thaha: 81). Terkadang (menggunakan ungkapan)

menyimpang (nakaba) dan pada kali lain (menggunakan ungkapan) jatuh

(hawâ), terkadang mereka jatuh jauh (sekali) dan pada kali lain mereka pergi

ke bawah, kedua-duanya sama saja: “Kanan dan kiri adalah (jalan) kesesatan

sedangkan yang tengah adalah(jalan) kebenaran”.(1)

Atas dasar inilah, setan melakukan was-was melalui suatu jalan yang

tidak dilihat oleh manusia yang saat itu dia lalai. Agar tidak ada tempat

tinggal bagi setan di hati dan tidak ada sudut gelap yang terisi di dalamnya

sehingga waswas itu tidak dapat memulai (bekerja) dari sudut yang gelap itu,

Al-Qur’an berkata, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan

merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di

waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang

yang lalai”(Q.S. Al-A’raf: 205).

Hidupkanlah zikrullah dalam hatimu dan biarkanlah menyebut

kebenaran (zikrulhaq) mengapung di atas ruhmu. Zikrullah melalui kedua

bibir (dengan mulut) merupakan zikir tingkat rendah, sedangkan zikrullah

di dalam hati merupakan zikir tingkat tinggi. Zikrullah seperti inilah yang

mencegah setan dari penyusupan. Berikanlah jalan kepada nama ini (untuk

memasuki) hatimu, bukan sekadar teoretis atau sekadar pengucapan namun

lebih dari itu sebagai tanda keimanan di dalam hati dengan penuh kerendahan

diri dan rasa takut agar Anda tidak terkena kelalaian lalu Anda melihat

godaan pada saat kelalaian, yang demikian ini sehubungan dengan ruh.

Adapun sehubungan dengan lisan (mulut), maka, “Dan dengan tidak

mengeraskan suara”. Hendaklah mulutmu selalu kontinyu melakukan

zikrullah baik di waktu pagi dan petang namun tidak dengan suara yang

terlalu keras sekali dan tidak (pula) dengan suara terlalu rendah sekali. Anda

bergerak di awal waktu pagi hari dengan (menyebut) nama Allah agar harimu

terjaga, dan sibukkanlah (dirimu) dengan zikrullah dari permulaan malam

agar malammu terlindungi. Dan zikrullah bukan hanya di waktu fajar dan

terbenamnya matahari, tetapi di waktu pagi dan juga petang. Nampaknya,

ini berarti (menunjukkan) kesinambungan zikir.

Apabila Al-Qur’an berkata: lakukanlah yang demikian di waktu pagi

dan malam dan lakukanlah yang demikian di waktu fajar dan terbenamnya

p:110


1- 13 Najh al-Balaghah, “Faidul Islam”, hlm. 69.

matahari, maka ini berarti bahwa hendaklah Anda selalu berada dalam

keadaan seperti ini, karena rentetan ayat itu mengatakan, “Dan janganlah

kamu termasuk orang-orang yang lalai”. Seberapa pun kadar kelalaian Anda

dari zikrullah, maka setan akan melakukan was-was terhadap Anda melalui

kadar tersebut karena seseorang yang lalai tidak akan pernah melihat

penyusupan was-was setan kepada dirinya.

Apabila manusia tidak melihat (arah) perjalanannya disebabkan

kelalaiannya, maka setan akan melakukan was-was terhadapnya melalui

jalan itu sendiri. Apabila manusia tidak menghitung untung-rugi di mana

dia tidak menilai (sejauh mana) manfaatnya dan mudaratnya dan dia (juga)

tidak berpikir dalam hal itu, maka dia akan melihat kuburukan dan bahaya

dari jalan itu sendiri, “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.

Al-Qur’an tidak hanya mengatakan, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam

hatimu”, tetapi ia memberikan perintah-perintah ibadah dengan berkata:

Sebutlah Tuhanmu di waktu pagi dan petang, dan jangan hanya (sebatas)

menyebut-Nya di dalam jiwamu, tetapi janganlah lupa pula berdoa.

Al-Qur’an juga memberikan perintah berdoa dalam surah Al-A’raf:

Bacalah zikrulhaq dan ism al-haq (nama kebenaran) dan zikrullah. Al-Qur’an

juga memerintahkan zikrullah di dalam jiwa dan mengatakan: Kalian yang

membaca nama Allah dengan rasa takut dan (dibarengi) harapan, janganlah

melampaui batas karena Allah ‘tidak menyukai orang-orang yang melampaui

batas”, baik melampaui batas ini dalam berdo’a atau untuk mendapatkan

sesuatu yang Anda minta, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri

dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

malampaui batas” (Q.S. Al-A’raf: 55).

Al-Qur’an berkata: Berdoalah kepada Allah dengan penuh rendah diri

dan di kesunyian (khafa’), dengan rendah diri dan rahasia di waktu sahur,

mintalah dan berdoalah di saat sendirian dan jauh dari riya dan pamrih. Dan

pada saat Anda bersama Allah, hendaklah dengan penuh rendah diri dan suara

yang lembut serta suara gemuruh yang tersembunyi (tidak terang-terangan).

Berusahalah untuk tidak melampaui batas dalam berdoa, sesuatu yang

seyogyanya tidak Anda minta, maka janganlah memintanya, janganlah Anda

keluar dari etika berdoa dan janganlah melampaui batas. Janganlah memanggil

Allah dengan suara yang keras sekali, karena ketika Anda mengabaikan suara

yang lembut dan dengan penuh rendah diri, maka Anda berarti mengabaikan

etika berdoa. Dan jika Anda keluar dari etika berdoa, maka Anda tergolong

sebagai orang yang melampaui batas, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang melampaui batas”. Janganlah Anda melampaui batas

p:111

dalam meminta (ath-thalib) dan apa yang Anda minta(al-Mathlub).

Sesuatu yang Anda minta haruslah Anda kemukakan dengan cara

penuh rendah diri dan dengan suara yang lembut. Apabila rendah diri

itu diungkapkan dengan suara yang lembut, maka tanaman ini akan

membuahkan keyakinan yang (buahnya) mudah untuk dipetik. Apabila

di suatu kebun terdapat pohon yang tidak tumbuh dan berbuah, maka

sebabnya bukan dari kebun itu sendiri; dan apabila seseorang menyirami

batang pohonnya dengan air matanya dengan penuh rendah diri dan rahasia,

maka pohon itu pasti akan berbuah. Lalu, pohon ini akan memenuhi setiap

halaman ruh dan akan membentangkan naungannya di dalamnya, dan saat

itu tidak ada jalan bagi penyusupan setan.

Apabila setan tidak dapat menyusup, maka seseorang akan melalui

jalan kebaikan (kesalehan), dan pada saat ia melalui jalan tersebut, maka

ia akan (bergandengan) dengan Al-Qur’an dengan suatu ikatan yang kuat

di seluruh tahapan-tahapan ini. Dan bentuk hubungan yang kuat bersama

Al-Qur’an ini pada dirinya, maka ia akan mencapai wilayah Allah yang

merupakan tahapan kemanusiaan tertinggi karena manusia sempurna

adalah manifestasi dari Nama yang Agung (ism al-a’zham), dan melalui ism

al-a’zham ia mencapai (tingkatan itu).

Rasulullah, penutup para nabi dan yang termulia di antara para nabi dan

para wali—atas mereka semua beribu-ribu penghormatan dan pujian—berada

langsung di bawah perlindungan Allah. Dan Al-Qur’an telah menjelaskan

kepada kita jalan ini dengan(menyebutkan) tiga kalimat, “Sesungguhnya

pelindungku (waliku) adalah Allah Yang telah menurunkan al-Kitab (Al-

Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-A’raf: 196).

p:112

Pelajaran VIII

Al-Qur’an adalah Sarana Satu-satunya untuk Mencapai Maqâm Orang-orang Saleh

p:113

p:114

Al-Qur’an Adalah Sarana Satu-satunya

Untuk Mencapai Maqam Orang-orang Salih

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Perbincangan seputar wilayah Ilahi telah dikemukakan pada majelis

terdahulu. Di sana telah dikemukakan bahwa Allah Swt menyebut Rasul-

Nya sebagai seorang yang berada langsung di bawah wilayah-Nya. Allah Swt

berfirman kepada Rasul-Nya, “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Sesungguhnya

pelindungku (waliku) ialah Allah Yang telah menurunkan al-Kitab (Al-

Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh’”(Q.S. Al-A’raf: 196).

Ayat ini terbagi menjadi tiga dimensi. Setiap dimensi ini harus dikupas.

Pertama, Allah adalah Wali (pelindung) Rasulullah. Kedua, Allah-lah yang

menurunkan Al-Qur’an. Dan ketiga, Allah melindungi orang-orang yang

saleh. Apa yang difirmankan-Nya—“Sesungguhnya pelindungku (waliku)

ialah Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi

orang-orang yang saleh”—menunjukkan bahwa Rasulullah termasuk golongan

orang yang saleh dan jalan untuk mencapai kesalehan dan ketetapan (istiqrar)

dalam wilayah Allah adalah Al-Qur’an al-Karim.

Keakraban (al-uns), perenungan (tadabur), keimanan, serta pengamalan

Al-Qur’an adalah (jalan) yang mengantarkan manusia (mencapai)

wilayah Allah. Dan kami telah menjelaskan perbedaan antara “orang-orang

yang beriman dan beramal saleh” dan “orang-orang yang saleh”. Yaitu,

bahwa kedudukan orang yang beramal saleh tidak sama dengan

kedudukan orang yang zatnya atau jiwanya (juga) saleh. Oleh karena Al-

Qur’an adalah suatu ikatan antara hamba (al-‘abd) dan Tuhan (al-maula),

maka ia menjelaskan jalan wilayah dan mengantarkan manusia untuk

(mencapai) wilayah Allah (yaitu suatu pencapaian) menuju kesempurnaan.

Oleh karena itu, Allah banyak memberikan perintah berkenaan dengan Al-

Qur’an,(seperti) firman-Nya:

“Maka, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qu’ran” (Q.S. Al-

Muzammil: 20).

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan

perhatikanlah dengan tenang” (Q.S. Al-A’raf: 204).

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati

p:115

mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad: 24).

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”

(Q.S. Al-Muzamil: 5).

“Dan sesungguhnya Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka

adalah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.S. Al-Qamar: 22).

Al-Qur’an adalah sebab yang terbaik dan termudah untuk mengingat

Allah dan untuk kehidupan hati. Dan Al-Qur’an telah memperkenalkan

dirinya sebagai tali Allah dan masalah-masalah yang lain. Al-Qur’an

adalah jalan yang terpenting, bahkan ia jalan satu-satunya yang memberikan

manusia kesempatan naik (mi’raj ruhani) ke tempat yang tinggi dan

bergabung bersama orang-orang saleh, supaya ia berada di bawah wilayah

Allah secara langsung. Apabila manusia berada di bawah wilayah Allah, maka

Allah akan mengurusi semua urusannya dan ia akan diliputi oleh hidayah

Ilahi secara langsung. Maqâm yang tinggi itu tidak memberikan jalan

sedikit pun bagi was-was setan dan penetrasinya. Dan tidak dapat dalih-dalih

kosong menghalangi manusia untuk melalui jalan itu, meskipun ia cukup

memuaskan diri namun ia tidak cukup untuk memuaskan akal. Boleh jadi

seseorang akan berkata: Sungguh setan tidak akan pernah membiarkan aku

melalui jalan ini. Dan boleh jadi ia akan berkata: Sesungguhnya was-was di

dalam jiwa mencegahku untuk melewati jalan ini.

Kita harus memperhatikan sejauh mana pengaruh (penembusan)

setan terhadap manusia menurut pandangan Al-Qur’an. Atas apa penem

busan itu terjadi? Apakah tingkat penembusannya sama atas semua

orang atau berbeda? Dan apakah setan mempunyai program atau rencana

tertentu yang berlawanan dengan perintah Allah ataukah ia adalah bagian

dari makhluk-makhluk yang menjalankan perintah Allah (seperti para

malaikat yang mendapat perintah Allah—Peny.)? Apakah setan memotong

(baca: menggagalkan—Peny.) perintah-perintah Allah dan melakukan suatu

tindakan yang berseberangan dengan tindakan Allah, ataukah ia temasuk

dari bagian sistem ciptaan (nidzam al-khilqah) dan termasuk dari bagian

sistem ciptaan (nidzam al-khilqah) dan termasuk dari makhluk-makhluk

yang ditugaskan? Atau begini: apakah setan menentang (perintah) Allah,

ataukah ia makhluk Allah yang (seharusnya) mengikuti perintah-perintahNya?

Bukankah Allah adalah Tuhan Pengatur alam semesta dan seluruh

maujud (makhluk) tunduk di bawah pengaturan dan bimbingan Allah, lalu

dalam hal ini setan dikecualikan? Kalau tidak, bukankah setan (tunduk) di

bawah pengaturan Allah? Dan kalau tidak, maka setan akan bebas dan tidak

menjalankan perintah-perintah Allah? Padahal, tidak ada sesuatu pun yang

p:116

memiliki potensi kebebasan (secara mutlak), semua wujud di langit dan

bumi tunduk dan hina di hadapan perintah Ilahi, “Dan semua mereka datang

menghadap-Nya dengan merendahkan diri (hina)”(Q.S. An-Naml: 87).

Meminjam ungkapan Ali bin Abi Thalib as: Setan adalah pemimpin

orang-orang yang fanatik (al-muta’ashibin). Apakah pemimpin orang-orang

yang fanatik ini mempunyai sikap yang berlawanan secara struktural(takwini)

terhadap perintah-perintah Ilahi atau ia termasuk dari makhluk-makhluk

yang diperintah secara paksa oleh Allah? Al-Qur’an tidak memperkenalkan

penembusan setan kecuali sekadar was-was dan hanya penembusan

yang(mampu) disadari dan diketahui, dan tidak merampas ikhtiar manusia

secara mutlak.

Meminjam ungkapan Ali bin Abi Thalib as: Setan adalah pemimpin

orang-orang yang fanatik (al-muta’ashibin). Apakah pemimpin orang-orang

yang fanatik ini mempunyai sikap yang berlawanan secara sruktural (takwini)

terhadap perintah-perintah Ilahi atau ia termasuk dari makhluk-makhluk

yang diperintah secara paksa oleh Allah? Al-Qur’an tidak memperkenalkan

penembusan setan kecuali sekadar waswas dan hanya penembusan yang

(mampu) disadari dan diketahui, dan tidak merampas ikhtiar manusia

secara mutlak.

Perbuatan setan hanya membuat orang was-was, upaya meragukan,

dan mengajak kepada kemaksiatan, tidak lebih dari itu. Dari sisi lain,

manusia dibekali dengan senjata akal dari dalam dan dengan nabi dan

agama dari luar, kedua-duanya saling berhubungan. Tabiat manusia, fitrah

ruhaninya, hati nuraninya, akalnya, serta petunjuk para rasul, semua ini

mengantarkannya menuju ke jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim). Dan

sebagaimana yang kami katakan bahwa perbuatan setan tidak lebih dari

was-was saja. Was-was setan tidak mampu mengeluarkan manusia dari batasan

ikhtiar dan kekuasaannya. Dan jiwa (an-nafs) juga melakukan was-was dan

ia merupakan sebab terdekat bagi setan, yaitu “yang biasa tersembunyi, yang

membisikkan(kejahatan) ke dalam dada manusia” (Q.S. an-Nas: 4—5) yang

tersembunyi, yang membisikkan ke dalam dada, ruh, dan jiwa.

Allah Swt mengetahui was-was dalam jiwa ini merupakan akibat dari

waswas setan, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan

mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya” (Q.S. Qaf: 16). Dan was-was

jiwa bersama waswas setan bukanlah sesuatu yang terpisah, namun keduanya

saling berpautan. Maka, setan melakukan waswas melalui jiwa. Nafsu

amarah adalah alat dan bahan pekerjaan setan karena tidak ada di dalam

(ini) dua sumber kesesatan yang diperintahkan untuk menyesatkan dan

p:117

tugas keduanya adalah (melakukan) waswas. Meski manusia mempunyai

akal di dalam dan petunjuk para nabi di luar, namun ia dapat saja melakukan

suatu perbuatan yang sesuai dengan waswas (setan), ini disebabkan pilihanya

yang salah. Sebab, setan tidak mampu menguasai (pilihan) manusia. Ketika

manusia dengan sengaja meninggalkan jalan yang lurus meski ia mempunyai

dua hujah yang dalam dan yang luar dan pergi membonceng waswas setan—

karena ”api (neraka) dikelilingi oleh syahwat”,(1) lalu ia bergerak (seiring)

dengan kemauan syahwat, maka ia akan terjatuh di (tengah-tengah) api.

Syahwat-syahwat yang menipu ini akan menyeretnya dan mengajaknya

pergi ke dalam api.

Jika manusia dengan sengaja mengabaikan sebab-sebab (perolehan)

hidayah lalu ia berlari dengan cepat untuk membonceng waswas guna

mencapai syahwat, maka Allah Swt menggiring setan untuk mengua sainya

dan menjadikannya dari sekarang sampai seterusnya berada di bawah

wilayah setan, “Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya (wali-walinya)

ialah setan” (Q.S. Al-Baqarah: 257). Setan (taghut) men jadi

walinya, dari sekarang sampai seterusnya, “Sesungguhnya Kami jadikan setan-setan

sebagai wali bagi orang-orang yang tidak beriman” (Q.S. Al-A’raf: 27).

Maka, Kami jadikan para setan sebagai walinya lalu dia berubah menjadi

setan yang (bertopeng) manusia (syaithon insi), dengan sengaja dia menutup

jalan kembali untuk dirinya.

Ketika Al-Qur’an al-karim memaparkan masalah setan, ia berkata

kepadanya: Kamu tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, kamu

tidak lain kecuali mengajak mereka (melakukan kajahatan), dan mereka

dapat(saja) memenuhi ajakanmu atau tidak memenuhi ajakanmu. Surah

Ibrahim menjelaskan kejadian-kejadian pada Hari Kiamat sebagai berikut,

“Dan mereka semua akan muncul di hadapan Allah” (Q.S. Ibrahim: 21). Semua

akan muncul pada hari itu secara jelas karena(itu terjadi) pada Hari Kiamat,

“Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun”

(Q.S. an-Nisa’: 42). Dan itu adalah hari “penyingkapan rahasia-rahasia” (Q.S.

ath-Thariq: 9).

Apa saja yang disembunyikan oleh manusia, maka dia akan mengungkapkannya

di sana dan tidak akan menyembunyikannya, “lalu berkatalah

orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong (para pembesar):

“Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah

kamu menghindarkan kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja?”(Q.S.

Ibrahim: 21). Maka, orang-orang yang sombong dan orang-orang yang

p:118


1- 14 Al-Jami’ ash-Shaghir, I, hlm. 148.

memegang tampuk kekuasaan berkata, “Mereka menjawab, ‘Seandainya

Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi

petunjuk kepada kalian’” (Q.S. Ibrahim: 21). Seandainya kami diliputi oleh

petunjuk Ilahi, niscaya kami akan memberi kalian petunjuk, “Sama saja bagi

kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar”(Q.S. Ibrahim: 21). Sama saja

bagi kita, apakah kita beteriak atau diam maka kita tetap disiksa atas dua

keadaan itu karena kelompok inilah yang berkata kepada nabi mereka di

dunia, “Sama saja bagi kita, baik kamu menasihati kita atau kamu bukan

termasuk orang-orang yang menasihati” (Q.S. asy-Syu’arah: 136). Bagi kita

sama saja prosentasenya, kita tidak akan menerima apa yang kalian katakan.

Allah Swt berkata kepada Nabinya (menjelaskan) tentang mereka,

“Sama saja bagi mereka, baik kamu memperingatkan mereka atau kamu

tidak memperingatkan mereka, mereka tidak akan pernah beriman” (Q.S.

Al-Baqarah: 6). Sama saja, baik kamu memperingatkan dan menakut-nakuti

mereka dengan azab akhirat atau tidak, maka mereka tidak akan beriman,

yakni sama saja bagi mereka—“Sama saja (hasilnya) baik kalian menyeru

mereka atau kalian berdiam diri” (Q.S. Al-A’raf: 193). Maka, dakwah kalian

tidak akan membawa hasil apa pun. Dan empat hal ini satu sama lain

berhubungan: Suatu kali mereka mengatakan kepada nabi mereka, Syu’aibah,

sama saja bagi kita, baik kamu menasihati kita atau kamu bukan termasuk

orang-orang yang menasihati. Nasihatmu tidak bermanfaat sedikit pun.

Pada tempat yang lain, Allah Swt berkata, “Sama saja bagi mereka, baik

kamu memperingatkan mereka atau kamu tidak memperingatkan mereka”.

Dakwah itu tidak bermanfaat. Di tempat yang lain (lagi), Al-Qur’an berkata:

Sesungguhnya orang-orang musyrik tunduk kepada Tuhan (berhala—Peny.)

mereka dan sama saja bagi mereka, baik kalian berdakwah kepada mereka

atau kalian berdiam diri, maka itu semua tidak akan bermanfaat sedikit pun

karena mereka tidak memahami dan tidak mendengar. Kelompok manusia

ini ketika menjadi tawanan neraka, mereka berkata “Sama saja bagi kita,

baik kita mengeluhkan atau kita bersabar” (Q.S. Ibrahim: 22). Siksa (neraka)

telah menjerat kita (semua), “Kita tidak menemukan jalan keluar” (Q.S.

Ibrahim: 22). Tidak adanya perbedaan ini(terjadi) di dunia, dan tidak

adanya perbedaan ini (juga) akan terjadi ditengah-tengah datangnya siksaan.

Dan setan akan berkata pada saat orang-orang kafir disiksa, “Dan berkatalah

setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan” (Q.S. Ibrahim: 22).

Tatkala mahkamah Ilahi telah memutuskan hukumnya dan perbuatan-perbuatan

telah diteliti pada Hari Perhitungan dan ahli keutamaan telah

mendapatkan apa yang dijanjikan kepada mereka sementara orang-orang

p:119

yang berdosa bersedih atas balasan (yang mereka terima) dan hukum telah

diputuskan—“tatkala perkara telah diputuskan”—maka setan berkata kepada

mereka, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar,

dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya” (Q.S.

Ibrahim: 22). Janji Allah adalah benar, yaitu bahwa apabila kalian melalui jalan

ini, maka pada akhirnya kalian akan mencapai kebahagiaan, adapun janjiku

kepada kalian adalah janji bohong (palsu), “Dan aku pun telah menjanjikan

kepada kalian tetapi aku menginginkannya”. Aku telah mengingkari apa yang

aku janjian kepada kalian, sedangkan pada Hari Kiamat ini janji-janji Allah

akan terealisasi, dan Allah tidak pernah megingkari janji-Nya karena Dia

mengajak ke jalan yang lurus dan membimbingnya ke arahnya. Sedangkan

setan mengingkari janjinya karena ia mengajak ke kesesatan. Dan akhir dari

kesesatan ialah tidak memiliki tujuan dan maksud. Tidak mungkin akhir

dari ajakan menuju kesesatan adalah keutaman, karena ajakan ini sendiri

adalah hakikat penyimpangan dan pencegahan (menuju kesempurnaan).

Kemudian setan berkata, “Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap

kalian, melainkan (sekadar) aku mengajak kalian” (Q.S. Ibrahim:

22). Tidak pernah sesaat pun aku memiliki kekuasaan terhadap kalian, aku

tidak lain kecuali mengusulkan dan mengajak kalian sementara kalian bebas

memilih, dapat saja kalian tidak memenuhi ajakan tersebut. Dan Allah dan

Rasul-Nya mengajak kalian dari sisi lain dan menjanjikan kalian janji yang

benar sementara aku menjanjikan kalian janji yang batil (kosong), aku tidak

ada lain kecuali sekadar mengajak kalian. Kekuasaanku atas kalian adalah

sekadar memberikan usulan, dapat saja kalian tidak mengabulkannya,

tindakanku tidak ada unsur paksaan dan intimidasi, “Sekali-kali tidak ada

kekuasan bagiku terhadap kalian, melainkan (seka dar) aku mengajak kalian”

(Q.S. Ibrahim: 22). Aku tidak memiliki kekuasaan atas kalian kecuali sebatas

mengajak kalian, tetapi kalian “mematuhi ajakanku”, sedangkan Allah Swt

berfirman kepada kalian, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan

Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi

kehidupan kepada kamu” (Q.S. Al-Anfal: 24). Kalian tidak mengikuti

seruan ini dan malah memenuhi seruan ku yang (diembel-embeli) janji-janji

bohong, “kalian mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kalian

mencercaaku, akan tetapi cercalah diri kalian sendiri”, karena, “Kamu

mencela perbuatan yang kamu lakukan dengan tanganmu sendiri” (Pepatah

Arab—pent.).(1)Cercalah diri kalian sendiri,

kamu sendiri yang berada di antara dua jalan lalu. Kamu memilih jalan

kebatilan dengan sengaja dan tidak ada sesuatu pun yang menguasai kalian,

dan kedua matamu memilih

p:120


1- 15 Majma’ al-Amtsal, II, hlm. 363 dan 414.

syahwat yang berlalu dengan cepat dan kamu berpikir untuk (melakukan)

penyimpangan dan datang ke jalan ini. Dan musibah-musibah yang berlalu

dengan cepat (sebagai manifestasi) dari “surga dikelilingi oleh hal-hal yang

tidak menyenangkan”, tidak akan membiarkanmu untuk melalui jalan itu

dan sampai ke surga kebahagiaan.

Amirul Mukminin (Ali bin Abithalib as—Peny.) meriwayatkan dari

Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya surga dikelilingi

oleh hal-hal yang tidak menyenangkan dan neraka dikelilingi oleh syahwat”.

(1) Jika manusia bergerak mengikuti

kilauan syahwat dan kenikmatan yang dusta, maka akhirnya adalah neraka, namun apabila dia mampu

menahan hal yang tidak menyenangkan dan penderitaan yang mengelilingi

surga, maka dia akan sampai ke surga kebahagiaan. Manusia yang

menghadapi kesulitan-kesulitan dengan penuh kesabaran dan menapaki

jalan yang tidak menyenangkan dan penderitaan, maka Allah akan bersamanya

meski sebenarnya Allah bersama semua (orang), “Dan Dia bersama

kalian (semua) di mana pun kalian berada”(Q.S. Al-Hadid: 4).

Semua bersama Allah dan di bawah kepemimpinan Allah, namun

orang-orang yang sanggup menahan penderitaan-penderitaan dengan

penuh kesabaran, maka mereka akan mendapatkan kebersamaan penuh

kesabaran, maka mereka akan mendapatkan kebersamaan Allah yang khusus

karena “Allah bersama orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah: 153). Dan

kesabaran dan salat mendapatkan perhatian khusus di dalam Al-Qur’an al-

Karim, “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu” (Q.S. Al-Baqarah:

45). Jadikanlah salat sebagai penolongmu dan raihlah istiqamah, kekokohan,

keberanian, dan menahan kesabaran. Yakni, manu sia harus membuat tangga

(yang dengannya) dia (dapat) naik ke atas.

Hasil dari perintah-perintah Ilahi adalah: Buatlah tangga salat dan

tangga sabar dan naiklah ke alam yang tinggi, ini adalah alat-alat petunjuk,

Al-Qur’an berkata, “Jadikanlah sabar dan salat sebagai pernolongmu”.

Namun, berkaitan dengan salat, Al-Qur’an berkata, “Dan sesungguhnya ia

(salat) sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Q.S. Al-Baqarah:

45). Salat adalah masalah yang besar, penting dan sulit, kecuali bagi orang-orang

yang khusyuk. Bagi orang-orang yang khusyuk salat itu tidak sulit,

melainkan ia (salat) adalah cahaya mata mereka. Salat adalah cahaya mata

dan kesenangan (qurratul ‘ain) Rasulullah dan orang-orang mukmin, “Dan

kesenanganku (terletak) di dalam salat”.(2)

Mata yang menitikkan air mata kebahagiaan dan kesemangatan adalah mata yang dingin (qarirah) dan yang

p:121


1- 16 Nahjul Balaghah, Subhi Shaleh, hlm. 251.
2- 17 Al-Jami’ ash-Shaghir, I, hlm. 144.

bersangkutan disebut yang bermata dingin (qarirul’ain). Ketika dikatakan

mata menjadi senang (qarratil a’yun) maka itu berarti matanya menjadi

dingin karena ditetesi air mata kebahagiaan dan kesemangatan, ia berbeda

dengan air mata kesedihan yang panas. Adapun air mata kebahagiaan (itu)

dingin, (menurut bahasa) al-qirrqh adalah alburudah (dingin).

Seseorang yang khusyuk meyakini bahwa salat adalah kesenangannya.

Dia menyambut salat dengan air mata cinta (isyq) yang berupa air mata

dingin. Salat dan kesabaran kedua-duanya adalah tangga kesempurnaan,

tetapi kesabaran mendapatkan (tempat) yang khusus, hal ini nampak

jelas melalui pernyataan Allamah Thabathaba’i (semoga Allah menyucikan

jiwanya) yaitu bahwa salat adalah tiang agama, “Dan sesungguhnya ia (salat)

sugguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”, tetapi Allah tidak berkata

tentang orang-orang yang salat, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang

yang salat”, tapi Dia berkata, “Jadikanlah salat dan sabar sebagai penolongmu”.

Namun, Dia berkata tentang kesabaran, “Jadikanlah sabar dan salat sebagai

penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.

Setiap orang yang tidak meninggalkan tanggung jawab masalah-masalah

agama, setiap orang yang tidak takut menghadapi situasi-situasi yang berat,

dan setiap orang yang tidak meninggalkan medan jihad dan perlawanan

(terhadap kebatilan), maka pada situasi dia menampakkan perlawanan, dia

akan mendapat nikmat kebersamaan Allah karena “Allah bersama orang-orang

yang sabar”. Setiap orang yang (sanggup) menahan penderitaan

perintah-perintah Ilahi, maka dia akan sampai ke surga kebahagiaan.

Perbuatan setan tidak lebih dari sekadar janji-janji bohong dan ajakan

kemaksiatan; ia tidak mempunyi kekuasaan (sedikit pun) atas manusia.

Tidak benar jika ada seseorang yang berdalih bahwa setan mencegahnya

karena Hari Kiamat adalah hari penampakkan kebenaran, “Dan mereka

semua akan muncul di hadapan Allah” (Q.S.Ibrahim: 21). Hari itu adalah hari

kebenaran, “Dan mereka semua akan muncul di hadapan Allah” (Q.S. Ibrahim:

21). Hari itu adalah hari kebenaran yang akan menampakkan dengan jelas

secara menyeluruh, dan pada hari itu setan akan berbicara dan Allah

memutuskan kebenaran perkataannya, yaitu bahwa setan tidak mempunyai

kekuasaan atas manusia. Dan penembusan setan (dapat) dideteksi. Pertama,

dalam batasan janji-janji dan ajakan. Kedua, dalam batasan wilayah

(perlindungan), dan semua usaha setan adalah untuk mengeluarkan

aib-aib dan kejahatan-kejahatan internal dan menonjolkan keburukan-keburukan

dengan cara memuaskan manusia (dengan memandang)

kebaikannya, serta mengantarkan keburuan-keburukan yang tesembunyi

p:122

yang masih dalam batas potensial dan kesiapan ke batas realitas dan ia juga

berupaya untuk menghiasinya dan membaguskannya di hadapan manusia.

Al-Qur’an berkata tentang kisah Adam dan istrinya: Sesungguhnya

setan berupaya menampakkan kejahatan-kejahatan keduanya yang terpendam,

“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan

tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai (buah) pohon itu, nampaklah bagi

keduanya perbuatan buruknya” (Q.S. Al-A’raf: 22). Yakni bahwa ia (setan)

ingin mengeluarkan dorongan-dorongan keburukan. Setan berupaya untuk

menampakkan potensi kejahatan menjadi nyata, sebagaimana para nabi

berupaya membangkitkan potensi-potensi keutamaan yang terpendam di

dalam manusia menjadi nyata dan dengannya mereka (ingin) mencetak wujud

manusia sempurna. Setan berusaha untuk menampakkan potensi kehinaan

menjadi nyata lalu menghiasinya (sehingga nampak bagus, yang demikian

ini) sebagai sikap penentangan terhadap usaha para nabi yang menampakkan

potensi-potensi keutamaan dan menjadikan (manusia) mencintainya dan

membaguskannya, “Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan

dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu” (Q.S. Al-Hujarat: 7).

Apabila perbuatan setan terbukti untuk menampakkan keburukan-keburukan

internal dan mengantarkannya ke alam nyata dan berusaha

memuaskan manusia dengan menganggapnya sebagai hal yang bagus dan

menghiasinya sehingga seolah-olah indah, maka manusia harus betul-betul

hati-hati dan sadar dan berusaha agar tidak pernah sama sekali lalai.

Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib—Peny.) berkata, “Wahai manusia

tidakkah kau terjaga (bangun) dari tidurmu?”(1) Wahai manusia, sampai

kapan kamu tetap tidur? Bukankah Anda harus bangun sekali lagi dari

tidurmu? Atas dasar itu, maka jalan penembusan setan tidak melebihi—

pada kali pertama—batas ajakan, tidak ada sesuatupun di balik itu. Barang

siapa mengikut jalannya, maka dia akan berada di bawah wilayahnya, dan

mulai saat itu dan seterusnya dia harus mencela dirinya dan tidak boleh

mencela selainnya, karena pencegahan (itu) adalah dengan ikhtiarnya “dan

pencegahan dengan ikhtiar tidak meniadakan ikhtiar” dan untuk melawan

itu, maka manusia tidak harus mendengarkan panggilan-panggilan setan.

Dan mereka telah mengatakan kepada kita dari sisi lain: penuhilah (ajakan)

sesuatu yang memberi kehidupan bagi kalian, maka lengkaplah hujah (bukti)

dari segala segi. Dan contoh-contohnya terdapat di seluruh fase (tahapan)

sejarah dan begitu juga sampai sekarang.

Diriwayatkan dari Imam kelima (salam Allah atasnya): salah seorang

p:123


1- 18 Nahjul Balaghah, “Faidul Islam”, hlm. 708.

pemuda datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Sesungguhnya aku

adalah seorang pemuda yang giat”. Rasulullah berkata kepadanya, “Berjuanglah

di jalan Allah, jika kamu terbunuh (di medan perang), maka kamu

tetap hidup lagi diberi rezeki dari di sisi Allah, dan jika kamu mati biasa,

maka pahalamu ditanggung oleh Allah”. Yakni, sesuai dengan ayat yang

mulia, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah

itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”

(Q.S. Ali ‘Imran: 169). Kamu akan hidup di sisi Allah dan akan memakan

rezeki Allah.

Adapun jika kamu tidak dianugerahi kesyahidan dan kamu mati di

suatu jalan(yang lain), maka pahalamu ditanggung oleh Allah, karena ayat

lain dalam Al-Qur’an berkata, “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan

maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian meimpanya,

maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah” (Q.S. an-Nisa’: 100).

Ujung penjelasan Rasulullah Saw. mengambil ayat yang kedua, sedangkan

penjelasannya yang pertama mengambil ayat yang pertama. Manusia

selalu memiliki kendali ikhtiar, karenanya dia dapat memilih (antara) jalan

keutamaan dan kebaikan atau memlih jalan kehinaan dan kejahatan, “Dan

Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Q.S. Al-Balad: 10). Pengaruh

setan tidak ada lain kecuali melalui ajakan. Dan begitu juga, para nabi dan

para wali tidak memiliki pengaruh atas manusia selain dakwah. Manusia

bebas memilih, namun tidak bebas mutlak dan tidak pula terpaksa. Apabila

manusia menapaki jalan keutamaan, maka hidayah yang berarti bimbingan

akan sampai (kepadanya) secara perlahan-lahan, hidayah berarti penyampaian

(kepada tujuan), “Dia (Allah) menambah petunjuk kepada mereka dan

memberikan mereka (balasan) ketakwaan mereka” (Q.S. Muhammad: 17).

Kandungan semacam ini dapat kita lihat dalam banyak ayat Al-Qur’an

di mana Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah menambah keimanan mereka

dan petunjuk mereka atau mengantarkan mereka pada tujuan mereka dll.

Kalau begitu, orang yang dengan sengaja mencampakkan ajakan-ajakan

Ilahi, maka dia akan melalui jalan setan. Allah berfirman dalam surah Al-

A’raf, “Kaakanlah (hai Muhammad) bahwa Tuhanku memerintahkan aku

(untuk berlaku) adil”(Q.S. Al-A’raf: 29).

Orang yang tidak memperhatikan perintah Allah dengan sengaja dan

condong kepada kelaliman dan penindasan, maka dia akan dikuasai oleh

setan dan dia akan menjadi sama seperti anjing yang terlatih, dan hatinya

akan dipenuhi penyimpangan melalui jalan waswas. Dan saat itu, Kami akan

membuntukan jalan kembali dan tobat karena dia sendiri dengan sengaja

p:124

telah menutup jalan atas dirinya. Al-Qur’an Al-Karim berkata, “Aku akan

memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa

alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku” (Q.S. Al-A’raf: 146).

Allah akan memalingkan hati mereka orang-orang yang bersikap arogan

dan tidak tunduk terhadap perintah-perintah Allah dari pemahaman makna-makna

keagamaan, “Kemudian mereka berpaling, maka Allah memalingkan

hati mereka” (Q.S. at-Taubah: 127). Dicabutlah taufik (petunjuk) dari

mereka. Mereka selalu memikirkan harta dunia yang gampang hilang, dan

meminjam ungkapan Al-Qur’an, “Mereka mengambil harta (dunia) yang

rendah (atau hina) ini” (Q.S. Al-A’raf: 169). Yakni, mereka mengambil harta

yang hina ini, dan setan telah memperdaya mereka melalui harta yang hina

ini. Dan meminjam ungkapan Ali bin Abi Thalib as: Tidak terdapat alam

yang lebih rendah dari dunia, dan alam penciptaan adalah sama dengan

tingkat rak sepatu di rumah, di mana rak sepatu itu diletakkan di tingkat

rumah yang paling rendah, dan tidak ada alam yang lebih rendah daripada

alam dunia ini karena “Allah tidak ditentang kecuali di dalamnya”, dan tidak

ada maksiat di alam manapun kecuali di dunia. Jika kita telah meninggalkan

dunia, maka tidak ada tempat lain untuk melakukan maksiat, “dan tidak ada

sesuatu yang di sisi Allah dapat diperoleh kecuali dengan meninggalkannya”.

Dan sulit unuk men dapatkan apa yang ada di sisi Allah, kecuali dengan

meninggalkan dunia ini.

p:125

p:126

Pelajaran IX

Allah adalah Sebab Utama dari Seluruh Wujud

p:127

p:128

Allah Adalah Sebab Utama dari Seluruh Wujud

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Meskipun Al-Qur’an al-Karim banyak menjamah tema-tema sebagai

pokok bahasan dan argumentasi serta menjelaskan tema-tema itu melalui

wahyu dalam bentuk yang terbaik, namun tema terbaik yang dibahas oleh

Al-Qur’an dengan suatu bahasan yang luas adalah tema tauhid. Kepercayaan

terhadap sumber asal (al-mabda’) dan keyakinan terhadap keesaan mabda’ itu

serta pembenaran bahwa alam ciptaan mepunyai mabda’ yaitu satu (wahid)

dan Maha Satu (ahad), Dia satu dan Dia juga Maha Satu. Dia tidak dapat

dibagi dari dalam dan tidak ada sekutu dan tandingan-Nya di luar. Dia tidak

mempunyai sekutu dan tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Esa.

Al-Qur’an banyak mengemukakan argumentasi untuk menetapkan

klaim ini, terkadang(berargumentasi) melalui kebutuhan seluruh wujud

alam, dan terkadang ia menjadi dasar untuk membentuk argumentasi melalui

sifatnya yang baru (huduts), dan lain-lain. Akan tetapi, yang mendapat

perhatian Al-Qur’an lebih besar adalah argumentasi perjalanan sistem (sair

an-nizham) dan sistem itu ada tiga dimensi atau tiga bagian: (i) sistem efektif

(an-nizham al-fâ’ili), (ii) sistem internal (an-Nizham ad-dakhili), dan (iii)

sistem akhir (an-nidzham al-ghaiy).

Kami telah menjelaskan an-nizham al-fâ’ili dengan suatu bentuk

penjelasan bahwa Allah menjadi titik tolak semua sebab-sebab efektif (al-

‘ilal al-fâ’iliyah), yakni bahwa semua perbuatan yang berasal dari sumber

efektif (mabda’ fâ’ili) manapun pasti menuju ke sumber yang pertama (almabda’

al-awwal), yaitu Allah. Dan mata rantai sebab-sebab aktif atau setiap

benang aktif (khaith fâ’ili) menuju ke ujung benang, yaitu Allah.

Pada bagian kedua dibahas Sistem Internal, yaitu bahwa setiap

wujud diciptakan secara teratur (tersistematis) di mana setiap bagian yang

dibutuhkannya dan setiap komponen yang menunjang kesempurnaannya

dan setiap potensi-potensi yang berperan dalam pertumbuhannya juga

diciptakan bersamanya. Allah telah menciptakannya dan memberikannya

apa saja yang dibutuhkannya berupa alat-alat dan bahan-bahan yang penting.

Demikianlah Sistem Internal yang terdapat dalam benda-benda.

Dan pada bagian ketiga dikemukakan perjalanan Sistem Akhir,

p:129

yaitu bahwa setiap komponen dari makhluk mempunyai tujuan tertentu

yang berusaha digapainya. Tujuan-tujan sekunder dan mata rantai tujuan-tujuan

ini akan menuju ke tujuan akhir dan Dzat yang dituju, yaitu

Allah. Setiap eksistensi dalam kesempurnaannya menuntut sesuatu yang

merupakan kesempurnaan mutlak (al-kamal al-mahdh) dan itu adalah esensi

kesempurnaannya (kamaluha bidzat) juga dan ia di dalam kesempurnaannya

juga tidak terbatas. Hal ini disebabkan eksistensi-eksistensi ini bersumber

dari suatu asal-muasal (mabda’) dan suatu tempat yang merupakan Wujud

Mutlak (wujud mahdh) dan pada saat yang sama wujud-Nya berdiri sendiri

(dzati) dan tidak terbatas.

Penjelasan tiga dimensi dan tiga sistem tersebut adalah bahwa Al-

Qur’an menetapkan aturan sebab-akibat (qanun al-illiyah). Ia mengatakan

bahwa tidak ada suatu fenomena yang tidak berasal dari suatu asal dan

tidak ada suatu kejadian yang tidak bersumber dari suatu sumber. Ketika

bercerita tentang masalah turunnya hujan, ia menyebutkan faktor-faktor

dekat (al-‘ilal al-qaribah) yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan

tumbuh-tumbuhan secara apik, dan seterusnya. Tujuannya adalah untuk

mengatakan bahwa sesungguhnya Sistem Efektif yang bercabang (an-nizham

al-fâ’ili al-far’i) harus menuju ke Sumber Pertama itu yang mana Dia tidak

membutuhkan sesuatu sebagai pelaksana (fâ’il), namun Dia adalah tempat

tujuan (shamad). Dia memenuhi hajat semua makhluk yang membutuhkan.

Setiap yang wujudnya bukan hakikat zatnya (‘ainu dzatihi), maka ia

membutuhkan sampai pada batas pencapaian suatu sumber (mabda’) yang

merupakan Hakikat Wujud (‘ain al-Wujud), sehingga ia mencapai Allah

yang Maha Kaya secara mutlak dan tidak membutuhkan apa pun. Dan

sesuatu yang butuh (al-faqir) dapat saja bersandar sementara kepada sesuatu

yang mampu, tetapi sandaran sesuatu yang mampu (mu’tamad al-mustaghni)

adalah sesuatu Yang Maha Kaya (ghani) bukan sesuatu yang mampu yang

lain. Dan (pengertian) fakir (al-faqir) adalah wujud yang membutuhkan

yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi hajatnya. Adapun wujud

yang mampu (al-mustaghni) adalah sesuatu yang membutuhkan, namun

ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Sedangkan(pengertian) fakir

(al-faqir) adalah wujud yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu

untuk memenuhi hajatnya, adapun wujud yang mampu (al-mustaghni)

adalah sesuatu yang membutuhkan, namun ia mendapatkan apa yang

dibutuhkannya. Sedangkan (pengertian) wujud yang kaya (al-ghani) adalah

sesuatu yang tidak membutuhkan kepada apa pun. Setiap wujud alam

kemungkinan (‘alam imkan) pasti membutuhkan dan ia bersandar kepada

p:130

curahan anugerah (al-faidh) melalui yang Maha Kaya secara mutlak itu.

Dengan demikian ia menjadi mampu (mustaghni) karena anugerah itu.

Oleh karena itu, maka yang dijadikan sandaran dan tumpuan sesuatu yang

membutuhkan (mustanad al-muhtaj) adalah Yang Maha Kaya (al-ghani)

bukan sesuatu yang mampu (al-mustaghni).

Oleh karena itu, Al-Qur’an al-Karim ketika menjelaskan Sistem

Efektif mengatakan: Mereka semua membutuhkan Allah, setiap yang

membutuhkan di dalam penciptaan ini memerlukan sesuatu dari Allah,

‘Apa yang ada di langit dan di bumi meminta kepada-Nya” (Q.S. ar-

Rahman: 29). Oleh karena permintaan itu sifatnya umum dan semua

makhluk meminta kepada-Nya, maka jawaban pun mesti bersifat umum

dan terus-menerus. Oleh karena itu, jawaban yang tersebut di dalam

rentetan ayat ini berbunyi, “Setiap waktu dia dalam kesibukan” (Q.S.

ar-Rahman: 29). Yakni, apabila permintaan bersifat umum dan terus menerus,

maka curahan anugerah (al-faidh) juga bersifat umum dan terus menerus.

Allah selalu memunculkan curahan anugerah baru sebagaimana

setiap makhluk di langit maupun di bumi setiap saat merasa butuh dan

meminta. Seharusnya, Anda memperhatikan ayat-ayat yang dikemukakan

pada majelis-majelis yang lalu untuk memahami Sistem Efektif ini.

Di sini, kami akan mengulangi sebagian ayat-ayat itu sekadar untuk

mengingat-ingat kembali. Dalam menjelaskan Sistem Internal, Al-Qur’an

berkata bahwa apa saja yang diciptakan Allah merupakan sesuatu yang indah,

“(Dia) Yang memperindah segala sesuatu yang diciptakan-Nya” (Q.S. As-

Sajdah: 7). Yakni, Dia memberi semua keperluan-keperluan yang berperan

dalam kesempurnaannya.

Jika suatu makhluk kehilangan sebagian komponennya dan alat alatnya

yang penting, maka ia kurang (cacat), dan sesuatu yang kurang itu

tidak indah, karena keindahan sesuatu (terletak) pada kesempurnaannya.

Allah berkata: segala sesuatu yang Aku ciptakan indah dan bagus. Ketika Dia

menciptakan tanaman, maka dia memberinya sesuatu yang diperlukannya

dalam proses pertumbuhannya. Dan ketika Dia menciptakan hewan-hewan

lautan, maka Dia telah menyediakan tanah (tempat tinggal) yang sesuai

untuk kehidupannya di laut. Dan ketika Dia menciptakan makhluk-makhluk

di dalam perut bumi, maka Dia telah menyiapkan kebutuhan-kebutuhan

hidupnya di sana, dan begitu juga makhluk-makhluk luar angkasa dan

makhluk-makhluk yang lain, “(Dia) yang memberi ciptaan-Nya segala sesuatu

(yang dibutuhkannya)”(Q.S. Thaha: 50). Dan terkadang, Dia mendatangkan

nama-nama (asma’) sebagian makhluk. Dia telah menjelaskan tentang

p:131

manusia bahwa Dia telah memberinya alat pemahaman (âlat al-idrâk), alat

bergerak, perangkat pendengaran, daya tolak, dan daya tarik. Di samping

itu dia membentangkan jalan latihan-latihan pendengaran dan penglihatan

di hadapannya dan (juga) memberinya alat kontrol (adawat ad-dhabat),

pemikiran, dan seterusnya. Begitu juga pembentukan bahan-bahan tambang

di perut gunung, Dia telah menyiapkan segala yang dibutuhkannya dalam

proses pembentukan dan pertumbuhannya.

Berkenaan dengan Sistem Akhir, Dia berkata: Sesungguhnya setiap

wujud yang bergerak menuju kesempurnaan ini mempunyai maksud dan

tujuan tertentu dan ia bergerak mengikuti tujuan itu, dan ia membutuhkan

sumber (mabda’) yang membimbingnya menuju maksud dan tujuannya.

Tujuan Akhir dan Hakikat Terminal itu adalah Dia yang Maha Akhir

dari segala yang kahir (akhirtul akhirin), yang bernama Allah, Sang Pemberi

Petunjuk (al-hadi). Sebagaimana Sumber (al-mabda’) yang menciptakan dan

membuat segala wujud adalah Dia Yang Maha dahulu dari para pendahulu

(awwalul awwakin) yang bernama Allah, Sang Pencipta (al-fathir).

Al-Qur’an telah menjelaskan garis-garis pokok tiga sistem ini, yakni

analis Sistem Efektif, penjelasan Sistem Internal benda-benda, dan penjabaran

Sistem Akhir Benda-benda. Dan ketika berkeinginan untuk mengemukakan

argumentasi melalui Sistem Efektif, maka al-had al-ausath bagi argumentasi-argumentasi

itu adalah Dia Sang Pencipta(al-khaliq), Sang Pembikin (alfathir),

Sang Kreator Yang Indah (al-badi’ wal mubdi’), dan seterusnya. Apa

yang dikatakan tentang penciptaan, kreativitas, dan buatan, serta apa yang

dibahas tentang perkembangan-perkembangan, maka semuanya merupakan

prinsip-prinsip argumentatif yang berperan dalam menjelaskan Sistem

Efektif.

Adapun masalah hikmah, pengaturan, pemberian, dan yang semisal

dengan itu merupakan al-had al-ausath bagi agumentasi-argumentasi yang

menjelaskan Sistem Internal benda-benda. Dan karena ingin memahamkan

al-had al-ausath bagi argumentasi yang menjelaskan Sistem Akhir, maka Dia

memaparkan masalah hidayah (bimbingan) dan masalah kepemimpinan

dan bahwa sesunggunya Dia adalah Pemimpin dan Pengarah. Dan pada

bagian ketiga ini Allah dikemukakan sebagai Pemberi Petunjuk (al-hadi),

dan pada bagian kedua dikemukakan sebagai Pengatur (al-mudabbir), dan

pada bagian pertama dikemukakan sebagai Pencipta (al-fathir) Kendatipun

al-asma’ alhusna ini berasal dari satu tempat yang satu sama lain terikat,

namun masing-masing menjelaskan sisi tertentu. Allah memanifestasi

bersama setiap nama dengan dimensi tertentu, maka Dia memanifestasi pada

p:132

bagian sistem efektif dengan nama al-fathir, al-khaliq, al-badi’, al-mubdi’

dan seterusnya. Dan Dia memanifestasi pada bagian sistem internal benda-benda

sebagai Yang Maha Bijaksana (al-hakim), Pengatur (al-mudabbir),

Pemberi (al-mu’thi), Penjawab permintaan (al-mujib), dan seterusnya. Dan

Dia memanifestasi pada bagian sistem akhir sebagai Pemberi Petunjuk (alhadi),

Pemimpin (al-qaid), dan seterusnya. Hal itu untuk menjelaskan titik

temu tiga dimensi ini.

Al-Qur’an berkata bahwa kosmos telah diatur berdasarkan (sistem)

pencitraan, hikmah (kebijaksanaan), dan petunjuk (hidayah), yakni bahwa

teknik hikmah dan petunjuk telah melukis peta alam. Di mana saja Anda

mengarahkan pandangan Anda, maka Anda akan melihat pelbagai model

dari penciptaan, pelbagai model dari hikmah, dan pelbagai model dari

petunjuk karena Sang Pencipta, Sang Pemberi Kebijakan, dan Sang Pemberi

Petunjuk (itu) satu. Sistem efektif, sistem akhir, dan sistem internal semuanya

merupakan alamat dan tanda kebesaran Allah dan setiap bagian dari tiga

bagian ini adalah tanda kebenaran (ayatul haq). Sebagiannya adalah tanda

(kebesaran) bagi al-fathir, sebagiannya tanda bagi al-hakim, dan sebagiannya

lagi tanda bagi al-hadi. Setiap tempat yang di dalamnya terdapat (sistem)

penciptaan, pertumbuhan, dan kreativitas, maka ia adalah tanda (kekuasaan)

Allah (ayatullah) dan setiap tempat yang di dalamnya (kekuasaan) Allah, dan

setiap tempat yang di dalamnya terdapat kepemimpinan, bimbingan, dan

petunjuk, maka ia adalah tanda (kekuasaan) Allah, sang Pemberi Petunjuk.

Dan penjelasan Al-Qur’an al-Karim adalah, “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya

ada ukurannya” (Q.S. ar-Ra’d: 8).

Al-Qur’an berkata: Segala wujud telah dijelaskan di sisi Allah dengan

batasan tertentu dan peranan tertentu. Yakni, makhluk apa pun yang ingin

berwujud dan eksis maka pertumbuhannya harus berasal dari pelaku (fâ’il)

tertentu. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, ia harus berjalan di bawah tujuan

tertentu, dan dari sisi ketiga, batasan-batasannya telah dibentuk sesuai

Sistem Internal Khusus yang menerima perwujudan dengan alat tertentu.

Oleh karena itu, ia (Al-Qur’an) berkata, “Dan segala sesuatu pada sisi-

Nya ada ukurannya”. Dan “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu

menurut ukuran” (Q.S. Al-Qamar: 49). Kata al-handasah (teknik) telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (yang berasal dari bahasa Persi) yaitu

índaruh” yang berarti ukuran (al-miqdar), sedangkan al-muhandis(ahli

bangunan atau arsitek) adalah orang yang bekerja berlandaskan ukuran

(al-miqdar). Dikatakan hundisa al-‘alam, yakni ditetapkan ukuran-ukurannya(

ta’ayyanat maqadiruhu), “Sesungguhnya Kami menciptakan segala

p:133

sesuatu menurut ukuran”. Dikatakan dalam surah Al-Hijr, “Dan tidak ada

sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak

menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu” (Q.S. Al-Hijr:

21). Tidak ada sesuatu pun melainkan mempunyai khazanah-khazanah di

sisi Allah, bukan berarti kumpulan benda-benda mempunyai khazanah-khazanah,

namun setiap wujud mempunyai pelbagai khazanah yang satu

sama lain saling berhubungan. Dan setiap fenomena mem punyai khazanah-khazanah

dan ia menampakkan ukuran tertentu dari khazanah-khazanah

ini dan berwujud di luar (mengaktual). Dengan demikian, tidak ada

sesuatu pun yang tidak memiliki ukuran, namun ia memiliki ukuran efektif

(miqdar fâ’ili), dan mesti berasal dari pelaku tertentu (fâ’il khas), dan ia juga

mempunyai ukuran internal (miqdar dakhili) yang mengaktual bersama

sistem khusus sebagaimana ia juga mempunyai ukuran akhir (miqdar nihaiy)

yang mengikuti tujuan ter tentu.

Masalah ukuran (al-qadar) telah dikemukakan dalam Al-Qur’an yang

berarti pengguna ukuran (akhidul miqdar) di tempat(baca: ayat—Peny.)

yang cukup banyak, “Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-

Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi

petunjuk”(Q.S. Al-A’la: 2—3). Dikatakan dalam surah Al-A’ala: Allah,

Sang Pencipta telah memberikan makhluk ini alatnya yang khusus. Dan

setiap yang diciptakan-Nya (mempunyai bentuk) ciptaan yang tepat

(sempurna). Dan Dia memberinya apa saja yang mengantarkannya menuju

kesempurnaan. Tidak ada di dalamnya kekurangan dalam sistemnya dan

tidak ada kecacatan internal. Ketika Dia menciptakan tumbuh-tumbuhan,

maka Dia menciptakannya dengan penuh keseimbangan. Dan ketika Dia

menciptakan bintang-bintang di langit, maka Dia (juga) menciptakannya

berdasarkan batas keseimbangaan dan cukupan (sedang-sedang saja). Dan

ketika Dia menciptakan manusia, maka Dia menciptakannya dalam bentuk

ciptaan yang seimbang (mustawiyul khilqah).

Penciptaan terlaksana dengan penuh keseimbangan dan kenormalan

internal. Yakni, bahwa bagian-bagian dan alat-alat segala sesuatu pada

bagian dalamnya terbentuk secara teratur dengan suatu bentuk yang sesuai

satu sama lain yang tercipta dengan ukuran tertentu. Kalau begitu, tidak

ada sesuatu pun yang tercipta dengan kekurangan dan kecacatan. Anggota-anggota

internalnya saling berhubungan dan seimbang dengan kerangkanya

yang khusus, sebagaimana seluruh alam (terbentuk) dengan seimbang saling

berkaitan, dan cukup (sempurna). Segala sesuatu mempunyai ukuran,

cetakan, peta, dan takaran tertentu, dan telah dijadikan baginya masa lalu

p:134

tertentu dan masa depan tertentu, dan ia dibimbing menuju masa depan

yang telah ditentukan untuknya, dan diberi petunjuk berdasarkan tuntunan

peta. Jika sesuatu tidak memiliki tujuan tertentu, maka ia tidak memiliki

jalan untuk dibimbing oleh Sang Pemberi Petunjuk (al-hadi) untuk

menelusuri jalan itu. Apabila ia mempunyai jalan, tetapi ia tidak memiliki

maksud (tertentu), maka ia tidak memiliki tujuan sehingga tidak perlu

baginya penunjukan tempat.

Adapun ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an al-Karim dengan

sebutan qadr, qadar, miqdar, taqdir dan yang semisal dengan itu, adalah

untuk memberikan tanda (alamat) bagi tiga dimensi alam penciptaan,

yaitu Ukuran Efektif (handasah fâ’iliyah), Ukuran Internal dan Sistematis

(handdasah dakhiliyah wa tandzimiyah), serta Ukuran Akhir dan Bertujuan

(handasah nihayatiyah wa hadiyah). Ayat umum yang menjelaskan tiga

sistem (tersebut) adalah argumentasi Musa al-Kalim, salam Allah atasnya,

terhadap tauhid rububi di hadapan taghut (yang disembah selain

Allah—Peny.) dan Fir’aun Mesir. Ketika Musa al-Kalim ditugasi untuk

berdakwah, membimbing, dan memberi petunjuk kepada Fir’aun, maka

beliau meminta suatu permintaan, yaitu agar saudaranya, Harun, dijadikan

menteri dan mitra usahanya. Beliau menyeru Allah dengan berkata:

Sesungguhnya pekerjaan ini penting, dan pekerjaan penting ini tercapai

tujuannya melalui dakwah, dan hal yang berpengaruh dalam dakwah

adalah kefasihan lisan, sedangkan saudaranya “lisannya lebih fasih dariku”

(Q.S. Al-Qashash: 34). Maka, sertakan dia dalam urusanku. Dan beliau

juga meminta kepada Allah permintaan-permitnaan yang lain, dan

Allah mengabulkan semua permohonannya, “Aku kabulkan permintaanmu,

wahai Musa” (Q.S. Thaha: 36). Aku telah mengabulkan semua permintaanmu

dan semua usulanmu diterima. Kemudian Musa al-Kalim

(salam Allah atasnya) beserta saudaranya, Harun, duduk bersama taghut

zamannya untuk mengadakan suatu pembahasan, hal itu untuk menyebarkan

tauhid. Maka, pertama-tama, mereka mengarahkannya kepada tauhid

karena Firaun, meskipun dia menyembah berhala-berhala, memerintah

manusia dengan kapasitasnya sebagai Tuhan Pengatur (rabb). Orang-orang

yang dekat dengan Fir’aun berkata kepadanya: Sesungguhnya

mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi ingin “Meninggalkanmu serta

Tuhanmu”. Mereka ingin menjadikanmu serta Tuhanmu terlupakan.

Meksipun Fir’aun dan kroni-kroninya adalah penyembah berhala, dia

mengklaim sebagai pengatur iklim (atau kawasan tertentu). Dia berkata; Aku

adalah Tuhan pengatur mereka; mengatur umat ini, itulah Tuhan teragung.

p:135

Apabila kalian ingin menyembah Tuhan, maka tidak ada sembahan lain bagi

mereka kecuali aku, “Akulah Tuhan teragung” (Q.S. an-Nazi’at: 24). Dari

sisi lain juga, “Aku tidak mengenal bagi kalian Tuhan selain diriku” (Q.S. Al-

Qashash: 38). Tidak ada bagi kalian sembahan dan yang dipatuhi kecuali

diriku dan tidak ada juga bagi kalian Tuhan pengatur dan perencana selain

aku, “Aku Tuhan teragung”.

Berdasarkan ini, “Aku tidak mengenal bagi kalian Tuhan selain diriku”,

Musa al-Kalim menyebaran dakwah tauhid untuk menentang sikap

jahiliyah (kebodohan). Dikatakan dalam surah Thaha, “Sesungguhnya

telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan)

atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling. Berkata Fir’aun: “Maka

siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?” (Q.S. Thaha: 48—49). Fir’aun berkata

kepada Musa al-Kalim as: Siapakah Tuhan Pengaturmu sementara tidak ada

Tuhan pengatur di kawasan ini selain aku? Dan ini adalah protes (ihtijaj)

dan usaha untuk menyimpulkan atau berargumentasi (istidlâl). “Musa

berkata, “Tuhan kamilah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap

sesuatu bentuk ciptaannya, kemudian memberinya petunjuk” (Q.S. Thaha:

50). Di dalamnya terdapat petunjuk tentang program teknik (al-khitthah

al-handasiyah) yang mempunyai tiga sistem di mana beliau mengatakan:

Tuhan Pengaturku adalah Tuhan yang memberikan kepada tiap-tiap wujud

Sistem Internalnya, dan memandunya serta membimbingnya ke tujuannya

dan maksud akhirnya.

Tuhan Pengatur kami ialah sumber (mabda’) itu—“yang telah memberikan—“

yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk

ciptaannya”. Allah-lah yang telah memberi setiap makhluk Sistem Internal

yang diperlukannya, dan ini untuk menjelaskan dua makna dan dua

sistem, “kemudian memberinya petunjuk”. Dapat dimengerti bahwa ayat ini

menyinggung Sistem Akhir yang merupakan sistem ketiga. Dan perkataannya:

“Sesungguhnya Allah telah memberikan tiap-tiap sesuatu bentuk ciptaannya dan

apa yang dibutuhkannya berupa alat-alat internal”, yakni Allah memberinya:

(i) dasar kehidupan (aslul wujud), (ii) penciptaan alat-alat dan perangkat-perangkat

kesempurnaan setiap wujud, dan menjadikannya indah. Dia

(Allah) telah membangunnya dan melaksanakannya juga berdasarkan dasar-dasar

teknik (al-ushul al-han dasiyah) dan mewujudkannya juga berdasarkan

suatu rencana (matang)—“yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu”—

yakni memberikan nya segala hal yang mendukung kesempurnaan bentuk

ciptaannya, dan segala hal yang memiliki bagian dalam alat-alat internalnya.

Dalam kalimat (ayat) yang pendek ini namun memiliki pengertiannya yang

p:136

tinggi. Sistem Efektif (an-nidzam al-fâ’ili) disandarkan kepada Allah. Musa

berpen dapat bahwa Allah adalah Pemberi segala sesuatu, dasar pemberian

(mabda’ al-‘atha’), dan dasar pemberian pertama dan disebut dengan dasar

pemberian pertama (mabda’ al-i’tha al-awwal).

Sebagaimana Sistem Internal juga disandarkan kepada-Nya di mana

Musa berkata; Dia telah memberikan kepada segala sesuatu apa saja yang

mendukung kesempurnaan bentuk ciptaannya, maka Dia memberikan

bentuk ciptaan tertentu untuk makhluk itu. Apabila mata, telinga, dan jantung

diperlukan dalam penciptaan manusia, maka Dia telah memberinya mata,

telinga, dan hati. Dan apabila Sistem Internal manusia memerlukan mata,

bibir dan gigi, maka Dia telah memberinya mata, bibir, dan gigi, “Bukankah

Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua bibir. Dan

Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Q.S. Al-Balad: 8—10).

Apabila penciptaan jantan dan betina diperlukan dalam pertumbuhan

tumbuh-tumbuhan, maka Dia menciptakannya. Apabila biji harus diberi

kemampuan untuk membelah, maka Dia memberinya. Dan bagaimana

proses pembelahan biji itu atau tangkai itu? Bagaimana biji itu terbelah

dari suatu pohon? Itulah Allah—Pembelah butir (tumbuh-tumbuhan)

dan biji buah-buhan” (Q.S. Al-An’am: 95). Dialah yang memberinya

sifat ini. Dan bagaimana seorang malaikat menjadi pembawa wahyu dan

ilmu? Dan bagaimana proses pekerjaan malaikat yang mengurusi masalah

takaran dan ketentuan rezeki? Bagaimana proses pekerjaan malaikat yang

mengurusi pencabutan ruh? Allah-lah yang memberi (mengatur) semua cara

ini. Bagaimana seekor burung mampu terbang di udara di mana ia dapat

menentukan kapan harus membuka sayapnya dan kapan harus menutupnya?

Allah-lah yang memberinya sifat ini. Simak syair berikut:

Singa yang marah mengetahui bagaimana ia menyerang(musuh)

Sebagaimana kijang diberi kecepatan berlari

Dia (Allah) memberi hewan-hewan laut alat-alat yang dengannya

mereka mampu hidup di kedalaman lautan atau pada setiap lingkungan

yang cocok untuk kehidupan mereka. Allah-lah yang memberi alat-alat ini

dan yang mempersiapkannya. Dengan demikian, tidak ada sesuatu pun yang

kurang dari apa yang dibutuhkan oleh makhluk pada Sistem Internalnya.

Tidak ada kecacatan pada ukuran internal (al-handasah ad-dakhiliyah) dan

tidak ada kekurangan pada peta eksternal (al-kharithah al-kharijiyah) karena

kekurangan dan kecacatan tidak sesuai dengan keindahan. Segala sesuatu yang

diciptakan Allah pasti indah. Berdasarkan ayat ini, “Yang memperindah segala

sesuatu yang diciptakan-Nya” dan ayat ini, “Yang memperindah segala sesuatu

p:137

yang diciptakan-Nya”, dan ayat ini, “Yang telah memberikan kepada tiap-tiap

sesuatu bentuk ciptaan-Nya”. Yakni, bahwa Dia telah memberikan kepada

setiap makhluk apa yang diperlukannya untuk menjamin kebahagiannya.

Adapun jika makhluk itu tidak mampu memanfaatkan potensi-potensi itu

atau ia memanfaatkannya secara tidak benar dan menggunakannya di jalan

yang tidak terpuji, maka ini masalah lain (tersendiri).

Dengan demikian, Al-Qur’an menunjukkan dua sistem: Sistem Efektif

dan Sistem Internal. “Kemudian memberinya petunjuk”. Ketika dijelaskan

Sistem Internal, di mana sistem ini telah mengaktual ke alam wujud lalu

ditentukan bahwa Sistem Internal mempunyai peta internal nya, maka saat

itu sampailah giliran penjelasan Sistem Akhir. Segala sesuatu mempunyai

tujuan, setiap eksistensi bergerak menuju tujuannya. Apabila non-materi

(mujarrad), maka asal-muasalnya (mabda’) dan tempat berkumpulnya (itu)

satu, dan ia mempunyai tujuan karena ia memiliki asal-muasal (mabda’).

Kondisi-kondisi ini ada bersamanya, asal-muasalnya, dan terminalnya

satu. Sedangkan apabila materi (madiy) dan ingin datang (mengejawantah)

dari dunia potensial (‘alam al-quwwah) ke dunia nyata (‘alam fi’il), maka

aktivitasnya (al-fi’iliyah) itu berusaha di dalam potensi (al-quwwah) secara

lemah melalui pengaturan (tadbir) agar dibuka sesuatu yang lemah dalam

strukturnya, dan kekuatan itu yang membimbing potensi ini untuk

merealisasi, dan cahaya itu yang memperkenalkan kafilah ini menuju

ketujuannya, dan pelita yang menunjukkan kafilah ini ke jalannya, lentera,

petunjuk dan sumber itu adalah (Dia) Sang Pemberi Petunjuk (al-hadi)

yang—sesuai dengan Sistem Akhir—mengantarkannya menuju tujuan-tujuan

pertengahannya sampai menunjukkannya ke Yang Akhir dari

yang terakhir (akhirul akhirin) yang merupakan tujuan final bagi seluruh

makhluk. Dan Dia menciptakan setiap orang dan menjadikannya seorang

hamba dengan suatu ukuran tertentu (miqdar) dan menariknya kepada-

Nya dengan ukuran kemampuan yang dimiliki orang tersebut, “Kemudian

memberinya petunjuk”.

Meskipun di sini masalah perencanaan (rububiyah) dikemukakan

namun ada sesuatu yang terlintas di dalam benak: Bahwa Musa al-

Kalim (salam Allah atasnya) berkata dalam bentuk protes menggunakan

argumentsai: “Tuhanku adalah Allah yang telah menciptakan segala sesutu

dan Dia adalah Tuan Pengatur alam semesta”. Disebutkan “Tuan Pengatur

alam semesta” (rabb al-‘alamin) bukan “Tuan Pemandu alam semesta”

(hadi al-‘alamin), dan had al-ausath-nya adalah pengaturan semua makhluk

p:138

yang terdapat dalam Sistem Efektif bukan Pemandu semua makhluk yang

disinggung dalam Sistem Efektif bukan Pemandu semua makhluk yang

disinggung dalam Sistem Akhir, namun karena beliau diperintahkan untuk

menunjukkan Fir’aun dan umatnya (jalan kebenaran), maka beliau berdialog

dengan mereka untuk membimbing mereka dan mengantarkan mereka

menuju ke tujuan akhir mereka. Oleh karena itu beliau berkata, “Kemudian

memberinya petunjuk”.

Sistem akhir dan hidayah ini bukan berarti Dia menggiring setiap

makhluk ke suatu tujuan dari belakang. Tidak demikian, namun Dia

menyeretnya dari depan. Yang dimaksud dengan al-hadi bukan berarti yang

bergerak untuk memindah suatu kafilah bersamanya, dan juga bukan berarti

bahwa dengan gerakannya Dia menggerakkan sesuatu yang bergerak, tetapi

Dia menggiring kafilah yang berjalan bersama cinta yang dalam (al-‘isysiq),

cinta (al-mahabbah), kecenderungan kepada tujuan, dan kerinduan. Semua

ini Dia-lah yang menariknya.

Dalam falsafah Islam, kekasih (al-mahbub) menciptakan gerakan tanpa

terlebih dahulu bergerak dari tempat yang tetap (tsâbit). Penggerak itu ada dua

bagian: Bagian pertama, Penggerak yang turut bergerak untuk memberikan

gerakan. Dan bagian kedua, Penggerak yang memberikan gerakan sementara

pada saat yang sama Dia tetap tenang (baca; tidak bergerak—Pen). Tetapnya

pecinta-Nya tanpa Dia bergerak dan menarik sang pecinta ke sisi-Nya tanpa

Dia harus bergerak. Alam berjalan dengan cinta tidak dengan paksaan dan

tekanan. Alam yang berputar, mengurusi urusannya dengan cinta bukan

dengan paksa. Dia-lah Sumber (al mabda’) yang menciptakan kerinduan,

yang menggerakkan alam ini dan semua makhluk menoleh kepada-Nya

dan meminta kepada-Nya. Dan Dia memberi petunjuk dengan cara “tidak

terjadi atas-Nya suatu gerakan dan diam”.

Masalah tersebut telah dijelaskan secara bagus dalam pembahasan-pembahasan

tematis dalam Nahjul Balaghah. Amirul Mukminin (Ali bin

Abi Thalib as.) berkata dalam khotbah tauhid yang panjang, “Tidak terjadi

atas-Nya suatu gerakan dan diam”, Allah tidak diam dan tidak juga bergerak,

karena Dia bukan tubuh dan materi, Dia bekerja tetapi tidak dengan gerakan,

“Pelaku bukan dengan gerakan”, Sang Kekasih menggerakkan pecinta-Nya

tanpa terlebih dahulu Dia bergerak, karena Dia bukan tubuh dan materi, Dia

bekerja tetapi tidak dengan gerakan, “Pelaku bukan dengan gerakan”, Sang

Kekasih menggerakkan pecinta-Nya tanpa terlebih dahulu Dia bersegera,

kesempurnaan menggerakkan sesuatu yang disempurnakan (mustakmal)

p:139

tanpa gerakan. Ilmu menarik orang yang belajar kepadanya tanpa gerakan,

maka Allah di sini memberikan gerakan bagi kafilah-kafilah keberadaan

tanpa Dia bergerak—“Pelaku bukan dengan gerakan”, Allah al-hadi

menciptakan segala sesuatu dan membekalinya semua (dengan alat-alat) dan

membimbingnya semua. Dia adalah Pemandu semua makhluk karena Dia

adalah Pencipta semua makhluk dan Yang Maha Bijaksana bagi semua makhluk.

Dengan memperhatikan Sistem Efektif di mana kita akan pergi ke atas,

maka kita akan sampai di hadapan Allah, dan dengan melalui Sistem Internal

dan Aturan Internal ketika kita mengamati benda-benda, maka kita akan

menemukan Allah dan akan sampai kepada-Nya, dan begitu juga pada Sistem

Akhir ketika kita menelitinya, maka kita akan sampai kepada Allah, “Dia Yang

Pertama dan Yang Terakhir dan Yang Nampak dan Yang tersembunyi”(Q.S.

Al-Hadid: 299). Dan Al-Qur’an al-Karim adalah cahaya, hikmah dan

dalil “Dan obat bagi(penyakit) yang ada dalam dada”(Q.S. Yunus: 300).

p:140

p:141

Pelajaran X

Allah SWT Pembimbing Setiap Gerakan

p:142

Allah SWT Pembimbing Setiap Gerakan

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Dalam pandangan Al-Qur’an al-Karim, tauhid mempunyai jalan yang

cukup banyak. Kami telah memaparkan jalan-jalan tauhid ini pada majelismajelis

terdahulu. Yang dikemukakan pada majelis terdahulu adalah bahwa

jalan terbaik untuk menerima tauhid ialah burhan nizham (argumentasi sistem).

Al-Qur’an telah memperkenalkan alam sebagai sesuatu yang teratur

dan tersistematis dan terbagi menjadi tiga bagian. Setiap bagian mempunyai

sistem khusus, dan semua bagian ini juga tersistematis:

1. Bagian sistem aktif (qism an-nizham al-fâ’ili)

2. Hierarkis sistem internal (silsilah an-nizham ad-dakhili)

3. Putaran sistem akhir (halaqat an-nizham al-ghai)

Hukum sebab (qanun al-‘illiyah) dalam sistem aktif menetapkan bahwa

setiap wujud tidak ada dengan sendirinya; ia membutuhkan kepada sebab

aktif (‘illah fâ’iliyyah). Bagian-bagian sebab aktif berakhir ke sebab utama (al-

‘illatul ula) dan sumber utama (al-mabda’) yang menjadikan wujud-wujud

yang lain, yaitu Allah. Pada bagian sistem aktif, tidak diciptakan suatu bagian

pun yang tidak pada tempatnya; yang belakang tidak dijadikan di depan dan

begitu juga sebaliknya.

Apabila sebab (‘illah) tidak mendapati batas kesempurnaannya, maka

hal itu tidak dapat mewujudkan apa pun. Ketika sebab sudah sempurna

(al-‘illah at-taammah), maka tidak dapat tidak hal itu akan menyebabkan

terjadinya sesuatu (takhalluf ). Dalam sistem aktif tidak terdapat takhalluf

danikhtilaf.(1) Tidak mungkin terdapat sebab dan tidak terdapat akibat

(ma’lul). Tidak mungkin terdapat ma’lul yang berbeda, di mana ma’lul ini

terdapat di suatu waktu dan ma’lul yang lain di waktu yang lain. Atau terkadang

ini adalah ‘illah -nya masalah ini dan terkadang’illah yang lain.

p:143


1- 19 Di dalam kaidah falsafah dikatakan: Dalam aturan kausalitas, setiap ada sebab(‘illah) pasti ada akibat(ma’lul); hal ini disebut dengan la takhalluf. Dan setiap akibat dari sebuah sebab selalu sama dan tidak pernah berbeda; hal ini disebut dengan la ikhtilaf. Contoh kaidah la takhalluf: Setiap ada api pasti ada hawa panas. Tidak pernah kita menemukan ada api tetapi tidak ada hawa panas yang ditimbulkannya. Contoh kaidah la ikhtilaf: Setiap pengaruh yang ditimbulkan api adalah hawa panas. Tidak pernah kita mendapatkan di suatu waktu pengaruh api adalah hawa panas, tetapi di waktu lain pengaruh yang ditimbulkannya adalah hawa dingin—pent.

Masalahnya, sebagaimana telah kami jelaskan di atas pada hierarkis

sistem internal, yakni bahwa alat-alat dan bagian-bagian serta komponen-komponen

internal setiap makhluk diciptakan secara serasi, teratur, dan

berimbang, di mana tidak terdapat di dalamnya suatu ciptaan dan suatu

keadaan pun yang (menunjukkan) ketidakteraturan dan kerusakan, “Yang

telah memberikan segala sesuatu kepada ciptaannya lalu membimbingnya”

(Q.S. Thaha: 50). Segala sesuatu diciptakannya dengan indah.

Adapun hierarkis sistem akhir adalah sebagai berikut. Setiap wujud

mepunyai tujuan khusus dan maksud tertentu yang diikutinya, dan tujuan-tujuan,

dan maksud-maksud ini bukanlah tujuan-tujuan pokok dan akhir

(ahdaf dzatiyyah wa nihaiyyah) karena ia bukan kesempurnaan murni dan

(juga) bukan kesempurnaan yang tidak terbatas dan (karena nya) tidak

dapat menjadi tujuan terakhir. Sedangkan tujuan terakhir adalah yang tidak

terbatas dan kesempurnaan murni yang semua makhluk ber tujuan ke arah-

Nya, yaitu Allah. Pada hierarkis sistem aktif, semua makhluk berada dari

sumber (mabda’) yang merupakan wujud murni (al-wujud al-mahd) dan

yang wujud-Nya adalah hakikat zat-Nya (wujuduhu ‘ainu dzatih), yaitu

Allah. Kesimpulan pembahasan mjaelis terdahulu terdapat dalam ayat yang

mulia dari surah Al-Hadid ini, “Dia Yang Pertama dan Yang Terakhir dan

Yang Nampak dan yang Tersembunyi” (Q.S. Al-Hadid: 3).

Pada majelis yang membahas tema tasbih makhluk-makhluk, telah

diterangkan secara baik bahwa ayat-ayat Al-Qur’an al-Karim terbagi menjadi

beberapa kelompok. Sebagian kelompok itu mengemukakan tasbih halilintar

dan para malaikat, “Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah,

(demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya” (Q.S. ar-Ra’d: 13).

Sebagiannya, menyebutkan tasbih manusia, dan sebagiannya lagi, menyebutkan

tasbih langit dan bumi, dst. Adapun ayat lengkap yang menyebutkan tasbih

abadi semua alam wujud adalah satu ayat yang terdapat dalam surah Al-

Isra’. Allah berfirman setelah menjelaskan tasbih langit dan bumi, “Tidak

ada sesuatupun kecuali bertasbih dengan memuji-Nya” (Q.S. Al-Isra’: 44).

Dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam (masalah). Argumentasi sistem juga

terdiri atas beberapa kelompok. Sebagiannya, menyinggung masalah sistem

aktif; sebaginnya, mengemukakan masalah sistem internal benda-benda; dan

sebagian lagi, menyampaikan masalah sistem akhir. Namun, ayat lengkap

yang dapat dipahami dengannya tiga sistem ini dan dapat dibahas setiap

darinya, adalah ayat yang menceritakan bantahan (ihtijaj) Nabi Musa al-

Kalim (salam Allah atasnya) dalam melawan Fir’aun. Beliau berkata, “Tuhan

kami adalah Dia yang telah memberikan apa (saja yang dibutuhkan makhluk)

p:144

lalu Dia menunjukinya”(Q.S. Thaha: 50). Ayat ini telah menjelaskan sistem

aktif dan sistem internal dengan menggunakan makna al-Muthabaqah

dan iltizam(1). Sebagaimana sistem akhir juga dije laskan dengan makna

muthabaqah. Maka, segala sesuatu telah diciptakan oleh Allah, dan segala

sesuatu yang diciptakan-Nya pasti diciptakannya dengan indah. Dia-lah

yang membimbing semua makhluk menuju tujuan-tujuannya.

Akan tetapi, di samping ayat lengkap ini, terdapat juga ayat-ayat lain

yang menjelaskan masalah sistem akhir, dan menerangkan tujuan-tujuan

makh luk-makhluk dunia, dan kepatuhan alam ciptaan untuk dibimbing

dan diarahkan oleh Allah adalah sesuatu yang menghentakkan pendengaran

(baca: menakjubkan). Dan karena bagian terpenting dari peristiwa-peristiwa

ini telah menjelaskan tentang manusia dan tujuan diturunkan nya Al-Qur’an

adalah membimbing manusia supaya ia bergerak melalui perantaraan Al-

Qur’an dari kegelapan menuju cahaya, maka telah terdapat ayat-ayat seputar

sistem aktif, sistem internal, dan sistem akhir (yang berkenaan) khusus dengan

manusia. Pada kajian yang lalu telah dijelaskan hal-hal yang berhubungan

dengan sistem internal dan sistem aktif. Kami akan menjelaskan kajian yang

berhubungan dengan sistem akhir yang diikuti dengan masalah-masalah

Hari Kemudian dan sistem tujuan (an-nizham al-hadafi) dan bahasan yang

menjelaskan kepemilikan manusia terhadap tujuan. Namun, sebelum masuk

ke kajian sistem akhir bagi manusia dan bahwa manusia mempunyai tujuan

yang harus digapainya, kami akan memaparkan sebuah ayat tentang semua

gerakan yang Al-Qur;an menjelaskan kepemilikannya terhadap suatu tujuan

agar setelah itu kita sampai ke tujuan khusus yang berkenaan dengan manusia.

Dalam surah Hud dikatakan, “Sesungguhnya aku bertawakal kepada

Allah, Tuhan (Pemelihara)ku dan Tuhan (Pemelihara) kalian” (Q.S. Hud:

56). Dia adalah Wakil perbuatan-perbuatanku. Aku telah bersandar kepada-

Nya, karena Dia adalah Pengurus urusanku dan urusan kalian. Seharusnya

yang dipelihara (al-marbub) bersandar kepada Pemeliharanya (rabbihi)

sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan ter dahulu,

bahwa Allah menyandarkan tawakal kepada makhluk, hal ini telah dijelaskan

secara terperinci. Dikatakan bahwa seharusnya makhluk bertawakal kepada

Allah karena Allah adalah Pencipta segala sesuatu, “Allah adalah Pencpta segala

p:145


1- 20 Al-muthabaqah dalam kajian logika(al-mantiq) berarti: Lafal atau kata yang menunjukkan maknanya secara sempurna, seperti kata “buku” yang mengandung arti ‘seluruh kertasnya, sampulnya, dan apa saja yang ada di dalamnya dari ukiran atau gambar, dll. Sedangkan al-iltizam berarti ‘lafal yang keluar dai makna aslinya, namun masih memiliki hubungan yang kuat dengan makna asalnya. Misalnya, ketika seseorang meminta tinta kepada Anda, maka bukan berarti Anda cukup membawa tinta saja, tapi permintaan tinta tersebut bertanda bahwa dia sebetulnya meminta pena—pent.

sesuatu” (Q.S. ar-Ra’d: 16). “Dan kepada-Nya-lah hendaklah orang-orang yang

bertawakal” (Q.S. Yusuf: 67) atau “Dan Dia adalah Wakil (Yang Memelihara)

segala sesuatu” (Q.S. Az-Zumar: 62). Al-Qur’an berkata; Karena Allah adalah

Pencipta segala sesuatu, maka Dia adalah Wakil (Pemelihara) segala sesuatu.

Dia adalah Pencipta segala sesuatu, maka Dia mengetahui bagaimana cara

mengurusinya. Pengurusan (wakala) segala sesuatu menjadi tanggung jawab

yang men ciptakannya Yang demikain itu menjadi keharusan karena “Allah

adalah Pencipta segala sesuatu”, “Dan Dia adalah Wakil segala sesuatu”. Dengan

demikian, segala makhluk bertawakal kepada Allah. Apabila manusia ingin

tawakal kepada selain Allah, maka itu berarti bertentangan dengan sistem.

Oleh karena itu tidak membuahkan hasil dia (manusia tersebut) tidak

mampu bersandar kepada dirinya sendiri atau kepada selain Allah.

Jika manusia mengabaikan dan bersandar kepada dirinya atau kepada

selain Allah, maka ketahuilah bahwa bersandar kepada selain Allah adalah

kejatuhan (kegagalan), karena Allah adalah rabb (Tuhan Pengatur). Dengan

demikain, hendaklah manusia bertawakal kepada Allah. Dan karena Allah

adalah Pencipta, maka haruslah bertawakal kepada-Nya. Allah berfirman,

“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah” (Q.S. Hud: 56) dan telah

disebutkan alasannya di sampingnya, “Tuhan Pemeliharaku dan Pemelihara

kalian”. Adalah suatu keharusan bertawakal kepada Allah, karena Dia adalah

Tuhan Pemeliharaku dan Pemelihara Kalian. Oleh karena itu aku bersandar

kepada Allah. Demikianlah permulaan ayat itu, adapun lanjutannya, “Tidak

ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya”

(Q.S. Hud: 56). yakni bahwa Allah adalah pembimbing setiap

gerakan. Penunjuk, Pembuka jalan, dan Penuntun setiap yang bergerak adalah

Allah. Allah-lah yang membimbing setiap yang bergerak menuju tujuannya,

dan mengantarkan si musafir dengan cahaya petunjuk Ilahi ke tujuannya, serta

mengenalkan setiap pejalan—melalui cahaya hidayah Ilahi—ke tujuannya.

Dan di sini Al-Qur’an juga berdalil, “Sesungguhnya Tuhan Pengaturku

(berada) di jalan yang lurus”(Q.S. Hud: 56). Masalah tawakal tidak sama

dengan masalah hidayah, karena masalah tawakal berkaitan dengan

pengaturan (rubibiyyah) dan penciptaan (al-khaliqiyyah). Oleh karena Allah

adalah Pengatur dan Pencipta, maka seharusnya manusia bertawakal kepada-

Nya. Sedangkan masalah hidayah berhubungan dengan masalah jalan yang

lurus (as-shirath al-mustaqim). Dikatakan karena perbuatan-perbuatan Allah

berada di jalan yang lurus (bukan hanya curahan karu nia-Nya (faidh)) di atas

jalan yang lurus, tetapi jalan yang lurus merupakan perbuatan-Nya, curahan

karunia-Nya, jalan-Nya, dan hidayah-Nya berada di jalan yang lurus,

p:146

maka hendaknya hidayah Allah dimanfaatkan oleh manusia dan kendali

perbuatan diserahkan kepada-Nya. Dan pembimbing itu yang faidh-Nya

berada di jalan yang lurus haruslah meletakkan kendali hidayah di tangan-

Nya. Oleh karena itu, klaim (al-mudda’a) ini disebutkan di samping dalil

itu. Al-Qur’an berkata, “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan

Dia-lah yang memegang ubun-ubun-Nya”. Kening dan dahinya berada di

tangan Allah. Apabila ubun-ubun ini, dahi ini, wajah ini, kendali ini, dan

bentuk ruh (wajh ar-ruh) berada di tangan sesuatu yang tidak di atas jalan

yang lurus, maka itu merupakan kendali yang bohong dan tali pengendali

binatang yang bohong, wajah yang batil, dan bimbingan yang bohong. Oleh

karena itu, Al-Qur’an berkata, “Sungguh, Kami tarik ubun-ubunnya,(yaitu)

ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka” (Q.S. Al-‘Alaq: 15—16). Wajah

dan dahi itu yang tidak ditinggalkan (baca: tidak diserahkan—Peny.) di sisi

pemilik hati (ashab al-qulub), maka ia adalah kendali yang bohong.

Oleh karena itu, orang yang dahinya terdapat bekas sujud, namun dia

tidak tergolong sebagai orang yang bertauhid secara sempurna (muwahhid

kamil) dan dahinya belum mengkilat dengan keikhlasan dan kepatuhan serta

dia tidak mempunyai hubungan dengan kejernihan dahi ini, maka dahi itu

adalah dahi yang dusta. Dan setiap orang yang wajah ruhnya (wajhah ruhihi)

menuju kebatilan, maka itu merupakan wajah pembohong, “Sungguh, Kami

tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun yang mendustakan lagi durkaha”.

Gerakan ubun-ubun mereka menjadi benar(tidak dusta) maka bumi atau

burung di udara merupakan suatu umat yang mempunyai imam dan yang

mempunyai maksud dan tujuan.

Hierarkis tujuan-tujuan ini dan imam para imam ini berakhir kepada

Allah. Apabila Allah berfirman dalam surah Hud, “Tidak ada suatu binatang

melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya”, maka Dia

berfirman dalam surah Al-An’am, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada

di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan

umat-umat (juga) seperti kamu” (Q.S. Al-An’am: 38). Tidak ada dalam buku

alam penciptaan (kitab attakwin) terdapat kelebihan dan kekurangan (ifrath

wa tafrith), “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab” (Q.S.

Al-An’am: 38). Maka saat itu, seluruh kafilah angkasa dan bumi dan semua

makhluk bumi dan langit, “kemudian mereka dikumpulkan di sisi Tuhan

mereka”, Dikumpulkan di sisi Allah pada Hari Perkumpulan Akbar. Tujuan

akhir mereka adalah Allah. Dengan demikian, mereka semua mempunyai

kendali yang dipegang oleh Pemilik kendali, Pemimpin mereka, dan

Penggerak mereka, yaitu Allah.

p:147

Kami telah memaparkan pada majelis terdahulu bahwa Penggerak

itu ada dua bagian: Bagian pertama, Penggerak yang berjalan lalu yang

bergerak mengikuti bersamanya di jalannya. Dia bergerak untuk memberikan

gerakan kepada orang-orang lain. Dan bagian kedua, Penggerak

yang memberikan gerakan kepada orang-orang lain sementara dia sendiri

tenang (tidak bergerak). Orang-orang lain berusaha dengan gerakan mereka

untuk mencapai ketenangan-Nya. Sang kekasih menggerakkan pecinta

tanpa Dia menggerakan tangan atau memindahkan langkah, dan Sang

Kekasih menggantungkan rantai-rantai gerakan (silsilah al-harakah) di leher

sang pecinta tanpa sedikit pun usaha dan gerakan dari-Nya.

Tujuan Tertinggi (al-maqsad al-a’la) menggerakkan kafilah dari-Nya.

Semua menggantungkan hati mereka kepada sang Kekasih ini dan berjalan

menuju-Nya, “Kemudian mereka dikumpulkan di sisi Tuhan mereka” (Q.S.

Al-An’am: 38). Demikianlah penjelasan yang lengkap tentang tujuan setiap

makhluk. Al-Qur’an al-Karim telah mengemukakan tujuan manusia dan

kepemilikannya terhadap maksud tertentu secara tersendiri dan terperinci,

yakni ia menjelaskan bagian sistem akhir tentang manusia secara terperinci

dan berulang-ulang. Dalam surah “Aku bersumpah dengan Hari Kiamat” (Q.S.

Al-Qiyamah: 1). Al-Qur’an berkata: Janganlah manusia mengira bahwa ia

diciptakan dengan sia-sia dan tanpa tujuan, “Ia akan dibiarkan begitu saja”

(Q.S. Al-Qiyamah: 36). Manusia menyangka bahwa ia diciptakan dengan

sia-sia dan tanpa faedah, tanpa harus melalui tujuan tertentu atau mengikuti

maksud tertentu, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu

saja (setelah kematian tanpa pertanggungan jawab)?”. Ia tidak mempunyai

tujuan yang harus dilaluinya dan tidak terdapat sanad hisab dan kitab(amal).

Manusia mengira bahwa ia akan binasa dengan kematian dan keberadaanya

diakhiri dengan kematian. Tidakkah ia mengetahui bahwa kematian

adalah jalan menuju alam barzah dan kiamat. Atau ia mengira bahwa

ia diciptakan sia-sia dan tanpa faedah, “Apakah manusia mengira, bahwa ia

akan dibiarkan begitu saja”. Dan dalam pemisahan (sesuatu dari kesatuannya)

tidak akan terdapat sistem akhir, ia menduga bahwa kehidupan baru setelah

kematian sulit sekali. Adalah hal yang maklum bahwa ketika Al-Qur’an al-

Kariim menukil pernyataan para penentang Hari Kemudian, ia menukilnya

dengan nada keheranan dan memegang jauh. Mereka mengira bahwa Hari

Kiamat merupakan hal yang mustahil dan tidak mengemukakan satu dalil

pun atas ketiadaan kiamat. Mereka mengatakan: Aneh sekali sesuatu yang

tadinya berupa tanah akan kembali hidup kedua kalinya. Dan—masih kata

mereka—apakah mungkin sesuatu yang telah tidak ada atau terpisah (dari

p:148

kesatuannya) secara nyata dan atom-atom badannya telah berhamburan

akan hidup kembali? “Apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya,

sesungguhnya kamu benar-benar(akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan

yang baru?” (Q.S. Saba: 7). Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang

lain: Ada satu orang yang datang dan mengklaim sembari berkata: Ketika

tubuh kalian tercabik-cabik, rusak, dan hancur-lebur, maka kalian akan

hidup seperti sedia kala.

Orang yang mengklaim adanya Hari Kemudian ini kalau tidak

berbohong atas Allah, atau dia orang yang gila, “Apakah dia mengada-adakan

kebohongan terhadap Allah ataukah ada padanya penyakit gila” (Q.S.

Saba: 8). Dan apa yang dikatakan oleh para pengingkar Hari Kemudian

hanya sekadar keheranan dan menganggap mustahil, tetapi mereka tidak

mengemukakan satu dalil pun. Perkataan orang-orang kafir yang terdapat

dalam surah as-Saba’, “Dan orang-orang kafir berkata, “Maukah kamu Kami

tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang memberitakan kepadamu bahwa

apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu benar-benar

(akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru? Apakah dia

mengada-adakan kebohongan ter hadap Allah ataukah ada padanya penyakit

gila” (Q.S. Saba: 7—8). Barangkali dia orang yang gila atau orang waras

yang ingin mengambil keun tungan dengan cara yang ilegal lalu menisbatkan

kebohongan tersebut kepada Allah. Al-Qur’an menjawab pernyataan mereka

itu, “(Tidak), tetapi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat mereka

akan mendapatkan siksaan dan berada dalam kesesatan yang jauh”(Q.S. Saba:

8). Hal ini disebabkan pengingkaran mereka hanya sekadar keheranan tanpa

dibarengi oleh argumentasi.

Dalam surah Al-Qiyamah, Allah berfirman, “Apakah manusia mengira,

bahwa ia dibiarkan begitu saja”. Atas dasar apa orang yang ingkar kepada

Hari Kemudian merasa heran, “Bukankah ia dahulu setetes mani yang

ditumpahkan”. Bukankah manusia tadinya berupa setetes air, lalu berubah

menjadi bentuk ini? Apakah dia sendiri yang membuat setetes air ini lalu

menjadi bentuk ini? “Dialah yang menggambarkan(bentuk) kalian di dalam

rahim sesuai dengan yang dikehendaki-Nya” (Q.S. Ali ‘Imran: 6). Dialah

yang menggerakan kafilah-kafilah ilmiah manusia (al-Qawafil al-Ilmiyah

al-basyariyyah) untuk mengikuti jejak-Nya supaya dapat sampai kepada-

Nya. Meskipun demikian, sampai sekarang mereka masih mempunyai

banyak sekali teka-teki (misteri) yang belum terpecahkan, padahal mereka

benar-benar bersungguh-sungguh dan bekerja keras sepanjang hari untuk

mengetahui anggota tubuh manusia bagian dalam dan mengobatinya dari

p:149

pelbagai penyakit serta menyediakan obat-obatan yang penting untuk

hal itu. Namun demikian, masih lebih banyak yang tidak mereka ketahui

daripada yang mereka ketahui. Simak syair berikut:

Hendaklah kita menampakkan tanda kefakiran kita

Allah Maha Kaya, sementara kita membutuhkan.

Oleh karena itu, disebutkan dalam surah Al-Qiyamah, “Bukankah ia

dahulu setetes mani yang ditumpahkan, kemudian mani itu menjadi segumpal

darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah

menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan. Bukankah(Allah yang

berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?”(Q.S.

Al-Qiyamah: 37—40). Bukankah Allah yang telah men ciptakan setetes air

menjadi bentuk ini dan menganugerahinya sistem internal, dan mengatur

penciptaannya, baik laki-laki maupun perempuan supaya keturunan manusia

berlanjut dan membentuk sistem sosialnya. Agar terjamin keberadaan

individu, Dia membekalinya dengan sistem internal seperti ini, dan agar

terjamin kesinambungan spesies manusia, Dia memberinya sistem eksternal

ini. Bukankah yang demikian ini mampu menghidupkan orang-orang mati?

Dia(Allah) yang menganugerahi kehidupan, apakah tidak mampu

mengumpulkan benda-benda yang telah hancur berserakan dan mengantarkanya

ke tujuannya? “Bukankah yang demikian itu mampu menghidupkan

orang-orang yang telah mati”. Ayat yang maknanya ‘Apakah manusia

mengira, bahwa dibiarkan begitu saja’ sering diucapkan oleh Ali bin Abi

Thlaib a.s. pada saat bercocok-tanam. Orang-orang yang melakukan pekerjaan

fisik biasanya mempunyai nyanyian tertentu untuk menghilangkan

keletihan. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. melantukan ayat ini,

“Apakah manusia mengira, bahwa ia dibiarkan begitu saja”. Apakah manusia

menyangka bahwa dia akan ditinggalkan begitu saja dan tidak dibangkitkan

kembali dari kubur dan tidak mempunyai tujuan. Setiap benih yang

disebarkan ini mempunyai tujuan dan kepalanya (atau ujungnya) akan

diangkat dari tanah dalam keadaan mencari tujuannya. Maka, apakah

manusia berdiri tanpa tujuan dan maksud tertentu? Tidak, masalahnya

tidaklah demikian.

Adapun ayat lain yang dibaca oleh Rasulullah Saw. adalah: “Maha Suci

EngkauYa Allah dan benar”.(1) Yakni: Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Suci

dari segala kekurangan dan aib dan engkau mampu menghidupkan orang-orang

yang telah mati.

Dan tujuan akhir ini, yang mana manusia berusaha untuk mengga-

p:150


1- 21 Majma’ al-Bayan, juz 10.

painya, adalah sampainya mereka ke alam itu; dan kesempurnaan manusia

adalah ketika mereka sampai ke alam ketetapan dan ketenangan. Tujuan

manusia adalah mencapai alam yang “Tidak ada di dalamnya kata-kata yang

tidak berguna dan tidak ada pula perbuatan dosa” (Q.S. ath-Thur: 23). Tidak

ada di sana perbuatan yang bertentangan dan kebatilan. Manusia akan menemukan

suatu alam yang tidak ada kepayahan di dalamnya. Alam yang sunyi

dari kebatilan dan kebohongan, alam yang tidak ada kematian di dalamnya,

dan tidak ada jalan bagi kejahilan di dalamnya, dan tidak ada jalan bagi

kebencian dan hasut di dalamnya, “Dan Kami lenyapkan segala dendam yang

ada dalam hati mereka” (Q.S. Al-Hijr: 47). Tidak ada hasut di sana, karena ia

merupakan kesaksian murni. Manusia suka (‘âsyiq) terhadap tujuan ini, dan

manusia mencari-cari maksud yang sangat tinggi ini.

Oleh karena itu, dikatakan dalam surah Shad—yang menjelaskan

bahwa setiap sistem penciptaan akan melalui sistem akhir: Janganlah manusia

mengira bahwa ia adalah (ciptaan) sia-sia dan batil karena sistem penciptaan

bukanlah sistem yang sia-sia. Telah lewat kajian surah Shad pada majelis

terdahulu, yaitu firman-Nya, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi

dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah

anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena

mereka akan masuk neraka” (Q.S. Shad: 27). Oleh karena Allah adalah haq

(Yang Maha Benar), maka Dia tidak mungkin melakukan suatu perbuatan

yang sia-sia. Penciptaan tanpa dibarengi dengan tujuan adalah hal yang sia-sia,

sementara Allah tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang sia-sia.

Dengan demikain, maka penciptaan tidak mungkin tidak dibarengi

dengan tujuan. Dan al-had al-ausath bagi argumentasi ini adalah Allah

Yang Maha Benar, sebagaimana al-had al-ausath pada argumentasi yang

lain yang terdapat setelah ayat ini adalah Allah Yang Maha Bijaksana dan

Mahaadil. Al-Qur’an berkata, “Apakah Kami akan menjadikan orang-orang

yang beriman dan beramal saleh seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di

muka bumi ataukah Kami akan menjadikan orang-orang yang takwa seperti

orang-orang yang jahat” (Q.S. Shad: 28). Allah Yang Mahaadil tidak mungkin

menyamakan antara manusia pembuat kerusakan (di muka bumi) dengan

manusia yang takwa.

Apabila di sana tidak terdapat suatu tujuan, tidak ada Hari Kiamat,

hisab, pahala, dan siksa; apabila yang terjadi adalah bahwa orang-orang

yang takwa mati lalu pergi begitu saja, dan begitu juga apabila orang-orang

yang berdosa mati lalu pergi begitu saja, tidak ada berita setelahnya, dan

mereka tidak akan memperoleh laporan perhitungan (hisab) amal mereka

p:151

di dunia, dan tidak ada juga kabar sesudah kematian, maka semua (yakni

antara orang yang baik dan orang yang jahat—Peny.) menjadi sama, dan

tentu hal ini tidak sesuai dengan hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan

Ilahi. Seharusanya ada suatu alam yang memisahkan antara barisan orang-orang

yang jahat(berdosa) dan orang-orang yang takwa lalu dikatakan, “Dan

berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang

yang berbuat jahat” (Q.S.Yasin: 59). Di sana diperintahkan agar barisan

orang-orang yang jahat dipisahkan dari barisan orang-orang yang bertakwa.

Kemudian ditambahkan—dalam rangka menjelaskan bahwa manusia

mempunyai tujuan dalam sistem akhir dan ia harus berusaha menuju ke tujuan

itu—dengan dikatakan, “Apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan

kamu sia-sia” (Q.S. Al-Mukminun: 115). Apakah kalian mengira bahwa

kalian datang dengan sia-sia? Kalian dilahirkan untuk kemudian dimatikan

(begitu saja)? Apakah kalian dilahirkan agar kalian bergerak (berpindah)

dan berhijrah? Apakah keberadaan ini ada untuk kemudian binasa dengan

kematian dan tidak ada di sana kembali dan pulang kepada Allah? “Apakah

kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia”. Apakah mungkin

Allah Yang Maha Bijaksana melakukan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak

ada gunanya? Dan apakah Dia menciptakan manusia untuk hanya menetap

di dunia, dan tidak dipertanggung jawabkan atas segala perbuatannya?

“Dan sesungguhnya apakah kalian tidak akan kembali kepada Kami?” (Q.S.

Al-Mukminun: 115). Apakah kalian tidak akan kembali kepada Kami?

Apakah kalian tidak akan kembali kepada Pencipta (asal) kalian? Ini adalah

perbuatan yang sia-sia, dan Allah Yang Maha Bijaksana, Maha Suci dari

perbuatan yang sia-sia.

Apabila kalian meyakini bahwa kalian mempunyai tujuan; yaitu

kesempurnaan yang tidak terbatas itu (Allah Swt) yang merupakan sumber

ketenangan dan kedamaian; dan apabila hal ini menjadi jelas bagi kalian

di mana kalian akan bergerak menuju kepada kesempurnaan yang tidak

terbatas, maka saat itu kalian tidak akan merasa puas dengan sesuatu

yang tidak berupa wujud murni (al-wujud al-mahd), dan kalian tidak rela

dengan sesuatu yang keberadaannya tidak abadi, dan hati kalian tidak akan

bergantung pada kehidupan yang tidak berhubungan dengan kehidupan

abadi yang ada di sisi Allah.

Dan kalian akan berusaha—ketika kalian berhasil mencapai ke tingkat

mana pun—untuk melaluinya dan menjadikannya sebagai tujuan kalian,

karena “Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)”

(Q.S. an-Najm: 42). Oleh karena itu, tidak ada kesia-siaan dan main

p:152

main, dan semua itu telah dibantah oleh Al-Qur’an ketika menjelaskan

sistem akhir bagi penciptaan. Namun, orang-orang yang berhasil melalui

tujuan ini sedikit sekali. Akan tetapi mereka pasti mengingat tujuan akhir

ini dalam setiap keadaan mereka. Mereka memikirkan tujuan tinggi ini

dalam semua keadaan mereka, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga,

baik dalam keadaan duduk maupun berdiri. Alhasil, mereka mengingat

tujuan ini dalam semua situasi, karena tujuan itu adalah sumber (Allah, almabda’)

itu sendiri. Tujuan ini menyebabkan adanya usaha dan daya tarik

seseorang untuk mencarinya, dan selama manusia tidak mengenalinya dan

tidak mendatanginya, maka tidak ada daya tarik apa pun dari arah itu yang

akan mendatanginya. Dan apabila tidak ada daya tarik dari sisi ini, maka

usaha manusia tidak akan membuahkan hasil apa pun. Sesungguh nya usaha

orang yang bergerak membuahkan hasil ketika daya tarik tujuan berada di

genggamannya, karena tujuan akhir itu adalah hakikat sumber awal (al-mabda’

al-awwal). Dan orang-orang yang berakal (al-uqala’) sibuk memikirkan

mabda’ dan ma‘ad (Hari Kemudian), “Orang-orang yang mengingat Allah

sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka

memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan

kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Q.S. Ali ‘Imran: 19).

Pada akhir Surah Ali ‘Imran disebutkan tentang sifat orang-orang yang

berakal, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya

malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali

‘Imran: 190). Orang-orang yang berakal (ashab al-albab) adalah mereka orang-orang

yang dalam setiap kondisi selalu mengingat Allah, bahkan dalam salat

mereka yang dilakukan dalam berbagai keadaan itu mereka tetap mengingat

Allah. Orang-orang salat itu terdiri dari beberapa kelompok. Sebagian

mereka salat dengan berdiri, sebagian lagi dengan duduk dan sebagian lagi

salat sambil tiduran. Dari ayat yang mulia ini dapat disimpulkan (istinbath)

dan diambil dalil(istidlâl) tentang hukum fikih dan hukum akhlak.

Orang yang berakal adalah orang yang setiap keadaannya selalu

mengingat penciptanya (mabda), karena ia mau agar Pencipta tersebut

mengingatnya dalam setiap keadaannya. Allah Swt berfirman, “Ingatlah

kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian” (Q.S. Al-Baqarah:

152). Allah Yang Maha Penyayang (ar-rahim al-mahd) ketika mengingat

manusia berarti Dia akan menjadikan rahmat sebagai bagian manusia

yang berzikir kepada Allah dan rahmat tersebut senantiasa terbuka (baca:

tercurah—Peny.) di hadapannya dan—dengan sebab apa pun—tidak akan

tertutup, “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,

p:153

maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya” (Q.S. Fathir: 2). Dan

Dialah” Dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun

yang dapat melepaskanya sesudah itu” (Q.S. Fathir: 2). Ketika Allah menutup

suatu pintu, maka tidak ada seorangpun yang mampu membuka pintu itu

atau membebaskan sesuatu yang ditahan oleh Allah.

Allah Yang Mahakuasa (al-qadir) ketika mengingat manusia

berarti manusia tersebut akan menikmati suatu kekuasaan (al-qudrah).

Allah Yang Maha Mengetahui (al-‘alim) ketika mengingat manusia berarti

manusia yang bersangkutan akan memperoleh manfaat dari ilmu. Allah

Yang Maha Kasih dari para pengasih (ar-ham ar-rahimin) ketika mengingat

manusia berarti manusia tersebut akan menikmati rahmat khusus. Allah

Yang Maha Hidup ketika mengiangat manusia berarti manusia tersebut

akan menikmati kehidupan dan tidak akan mati selamanya, dan dari sana

hatinya akan hidup dengan cinta dan makrifat Allah.

Orang yang berakal—dengan demikian—adalah orang yang mengingat

Allah dalam setiap keadaannya karena ia suka, agar Allah juga mengingatnya

dalam setiap keadaannya, “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan

langit dan bumi (sembari mengatakan): “Tuhan kami, sungguh Engkau

tidak menciptakan semua ini sia-sia”. Ia berada dalam (pengawasan) sistem

aktif (an-nizham al-fâ’ili). Di tangan-Mu-lah kepemilikan segala sesuatu,

“Siapalah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia

melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi (dari azab-Nya)” (Q.S. Al-

Mukminun: 88). Dan pada bagian sistem internal (an-nizham ad-dakhili)

hierarkis (halaqat) sistem ini berada dalam kekuasaan-Mu “Yang memperbaiki

segala sesuatu yang diciptakan-Nya” “Tuhan kami yang menganugerahi segala

sesuatu yang diciptakan-Nya”. Dia menciptakan ciptaan-Nya dengan indah

dan menganugerahinya segala sesuatu yang menunjang kesempurnaannya.

Dan terdapat sistem lain yang bernama sistem akhir (an-nizham al-ghai),

tujuan akhir alam, alam yang bertujuan “Tuhan kami, sungguh Engkau tidak

menciptakan semua ini sia-sia”. Dia Berfirman dalam surah Shad, “Sungguh

Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya

sia-sia” (Q.S. Shad: 27) Dalam surah Ali ‘Imran terdapat lantunan (lahn)

hamba-hamba Allah yang bijak (al-hukama’). Demikianlah yang mereka

ulang-ulangi, “Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia”.

Pekerjaan yang tidak bertujuan adalah sia-sia. Allah berkata: Alam mempunyai

tujuan, dan orang-orang yang berakal berkata: Alam mempunyai

tujuan. Dan apa yang dikatakan orang-orang yang bijak ini adalah apa yang

mereka pelajari dari Allah Yang Maha Bijaksana, karena Allah memberi

p:154

hati dan juga memberi akal. Dia menciptakan tempat (zharf ) dan sekaligus

menciptakan sesuatu yang ditempati (mazhruf ). Dia menciptakan ruh dan

juga menciptakan kehidupan ruh (hayat ar-ruh), dengan nama Pengatur ruh

dan akal(rab ar-ruh wal aql).

Apabila Firdausi, seorang filsuf Syiah yang tersohor menyeru

Allah dengan nama Pencipta ruh dan Pencopta akal, dan dia telah memulai

pembicaraan dengan (menyebut) nama-Nya yang terkenal, maka Syebestari,

seorang ‘ârif (ahli ma’rifah) yang kondang mengatakan: Dengan nama itu

yang mengajari ruh pikiran (al-fikrah). Beliau mengisyaratkan tiga masalah.

Beliau mengutarakan sesuatu yang lebih dalam dari apa yang diutarakan oleh

Firdausi ketika dia mengatakan: Dengan nama itu yang mengajari ruh akal,

proses pemikrian (at-tafkir), dan hasil pemikiran (al-fikrah). Allah bukan

hanya menciptakan ruh; Allah bukan hanya menciptkan akal. Namun,

pembimbingan manusia dengan akal dan penganugerahan (a-ifdah) akal

dengan ruh juga berada di bawah tanggung jawab Allah, sehingga tidak

akan ada seorangpun setelah itu yang mengatakan dan menganggap bahwa

memang Allah yang menciptakan ruh ini dan akal ini, tetapi ruh berkembang

dan mencapai akal dengan sendirinya. Tidak demikian, daya tarik ini dan

upaya ini, belajar dan mengajar ini merupakan aliran karunia (majra’ alfaidh)

Allah juga “dengan nama itu yang mengajari ruh pikiran”.

Atas dasar ini, hal itu adalah kalam Allah yang kita dengar melalui lisan

hamba-Nya, “Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia”.

Rasulullah adalah manusia istimewa (al-auhadi) yang beliau di antara

sekian banyak hamba-hamba Allah telah mencapai suatu tingkatan yang tidak

dapat diraih oleh siapa pun. Dan meminjam ungkapan Syebestari, seorang

tokoh ilmu dan ahli falsafah yang populer. “Dari Ahmad ke Ahad hanya

terdapat satu perbedaan, yaitu(huruf ) mim. Allah adalah ahad (Maha Esa) dan

Rasulullah adalah Ahmad. Dan semua alam telah tenggelam dalam mim ini”.

Rasulullah melantunkan nada ilahi (al-lahn al-ilahi) ini sebelum salat

malam dan pada waktu sahur. Beliau bekata, “Tuhan kami, sungguh Engkau

tidak menciptakan semua ini sia-sia”. Saat itu berarti beliau menuju salat

malam. Mula-mula, berpikir (al-tafkir) lalu menjadi orang yang berakal dan

mengesakan Tuhan (muwwahid), kemudian menjadi orang yang berpikir

kemudian menjadi orang yang berakal, kemudian menjadi orang yang

muwahhid, kemudian menjadi ‘abid. Tidak terdapat kesia-siaan dalam sisi

mana pun, begitu juga tidak ada jalan kesia-siaan dalam perbuatan manusia,

“Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia”. Adapun

orang-orang asing (al-ajanib), maka mereka keluar dari jalan ini. Selama

p:155

mereka tidak melihat tekanan (cobaan), maka mereka tidak akan mengingat

Allah, baik dalam keadaan berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.

Ketika mereka merasakan rasa sakit dan tertimpa musibah, maka saat itu

mereka akan mengingat Allah dan saat itu mereka (menyebut) nama Allah.

Anda dapat memperhatikan dalam surah Yunus, ayat yang bertentangan

dengan ayat tersebut. Disebutkan dalam surah Yunus bahwa ketika beberapa

orang dari mereka terkena musibah dan merasakan penderitaan, maka saat

itulah mereka memanggi-manggil Allah dalam keadaan terlentang atau

berdiri atau duduk, “Dia (manusia) berdoa kepada Kami dalam keadaan

berbaring, duduk, atau berdiri”, (Q.S. Yunus: 12). Pada saat itu, mereka

disadarkan oleh rasa sakit karena pada hakikatnya rasa sadar (his al-istiqadh)

tidak ada dalam diri mereka. Orang yang bangun (sadar) melalui rasa sakit

bukanlah tergolong orang-orang yang sadar(ahlul yaqdah), sedangkan

orang yang sadar melalui pemikiran dan cinta, maka pada hakikatnya dia

adalah orang yang terjaga (bangun) selamanya. Riwayat dari Imam Ali a.s.,

“Tidakkah dari tidurmu terdapat masa terjaga”.(1)

p:156


1- 22 Nahjul Balaghah, “Faidul Islam”, hlm. 708.

p:157

Pelajaran XI

Mengenal Tolok Ukur Akhlak

p:158

Mengenal Tolok-Ukur Akhlak

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Ketika Al-Qur’an menjelaskan tujuan-tujuan agama, ia mengatakan:

Para nabi—khususnya penutup mereka (Muhammad Saw. —Peny.)—diutus

untuk mendidik manusia dan menyucikan mereka agar mereka menjadi

bersih dan memberi mereka bimbingan. Pendidikan jiwa dan penyuciannya

dianggap termasuk dalam tujuan-tujuan agama yang paling penting.

Hal demikian akan menjadi jelas ketika masalah akhlak, tujuan akhlak, dan

tingkatan-tingkatan tujuan akhlak dikemukakan. Akhlak dapat berubah dan

berganti. Akhlak dapat berubah sampai pada batas tertentu. Pembawaan-pembawaan

jiwa (al-malakat an-nafsiyyah) dapat diperbaiki sampai pada

batas tertentu. Kalau tidak, maka para nabi tidak akan diperintahkan untuk

memperbaiki jiwa dan hukum-hukum Allah tidak akan berperan.

Sifat yang ada dalam tabiat manusia dan yang dengan perantaraannya

manusia mampu menunaikan tugas dengan mudah disebut dengan pembawaan

moral (malakah khuluqiyyah), baik yang terdapat dalam keutamaan

atau kehinaan. Manusia yang mempunyai sifat moral (sifah nafsaniyyah) dan

yang dengannya ia mampu melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan

sifat tersebut disebut dengan pemilik moral khusus, di mana moral (khuluq)

ini memandunya di jalan yang benar dan mengaturnya secara benar. Manusia

yang bermoral—melalui moral ini—melihat tujuan dengan cara yang benar

dan ia akan melangkah sesuai dengan arah tujuan yang tinggi itu.

Agama telah mengemukakan rencana-rencana dan program-program

yang efektif dan dalam. Namun, akhlak mempunyai tujuan-tujuan yang

berbeda sebagai dampak dari pelbagai pandangan falsafah dunia dan

pelbagai perbedaan yang cukup banyak antara tingkatan-tingkatan makrifat

(pengetahuan) yang beraneka ragam satu sama lain.

Bagian pertama: Manusia menjadikan tujuan-tujuan materi di balik

pengamalan akhlak yang mulia. Yakni, ia mempunyai tujuan-tujuan sosial

di balik keberadaannya sebagai orang yang alim, adil, pemberani, yang

bersikap qanaah, yang menjaga kehormatan, dll. Ia mengatakan: Faedah

ilmu adalah bahwa orang yang alim menikmati penghormatan khusus di

antara manusia, atau faedah berlaku adil adalah bahwa seseorang yang adil

menikmati penghormatan khusus di tengah-tengah masyarakat, atau faedah

p:159

orang yang bersikap qanaah adalah bahwa seseorang yang bersikap qanaah,

cenderung untuk memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, dll.

Maka, tujuan akhlak yang mulia bagi kelompok ini adalah bahwa manusia

yang memperhatikan keutamaan-keutamaan ini akan menjadi orang yang

terpandang di tengah-tengah masyarakat.

Demikianlah hukum moral pada aliran-aliran materi. Yang demikian

itu juga dipraktikkan oleh sebagian individu masyarakat biasa yang mana

mereka membekali diri dengan akhlak yang terpuji dengan maksud agar

mereka mendapatkna kehormatan khusus di tengah-tengah masyarakat dan

memiliki nama harum di mata masyarakat dan tercatat secara terhormat

dalam sejarah. Juga agar mereka mendapatkan kemuliaan di mata generasi

yang akan datang. Dengan cara dan jalan demikianlah, manusia berusaha

menjalankan akhlak yang mulia dan memilih jalan ini agar ia memperoleh

tujuan-tujuan sosial, materi, dan masa lalu (al-‘adiyah) yang indah.

Bagian kedua: Tujuan yang dikemukakan oleh Kitab-kitab Samawi dan

usaha para nabi terdahulu untuk menggapainya, serta menganjurkan manusia

untuk memperoleh kemuliaan akhlak. Mereka mengatakan: Apabila Anda

menjadi orang yang adil, orang yang bersikap qanaah, orang yang bekorban

di jalan keyakinan agama, orang yang menjaga kehormatan diri, orang

yang suci, orang yang jujur, dan orang yang takwa, maka Anda akan masuk

dalam surga dan jauh dari api neraka, dan menjalankan tugas-tugas agama

mengantarkanmu menuju akhlak yang terpuji, dan ketika Anda berhias dengan

akhlak yang baik, maka Anda akan menikmati surga.Terdapat beberapa dalil

(yang mendukung hal ini) dalam pernyataan-pernyataan para imam dan

usaha mereka dalam mendorong manusia untuk meraih surga dan menakut-nakuti

mereka dengan neraka melalui pengamalan akhlak yang mulia.

Bagian ketiga: tujuan yang dkemukakan oleh Al-Qur’an al-Karim

sebagai tujuan akhlak yang paling tinggi. Yaitu, hendaklah manusia

menggapai akhlak yang mulia bukan karena untuk memperoleh kedudukan

dan status sosial, dan bukan karena untuk mendapatkan kebanggaan dalam

sejarah, atau untuk menjadi orang yang terpandang di mata generasi yang

akan datang, dan bukan pula untuk menjadi orang yang terhormat di mata

masyarakat, dan begitu juga bukan untuk menikmati surga dan selamat dari

api neraka. Namun, akhlak yang terpuji dan keutamaan jiwa menyiapkan

manusia supaya ruhnya berada di tingkat yang lebih tinggi daripada sekadar

rindu kepada surga atau takut kepada neraka.

Ia (manusia tersebut) tidak berada pada batas suka dan takut, nikmat

dan derita. Tidak ada sesuatu pun yang menggembirakannya dan sebaliknya

p:160

tidak ada sesuatu pun yang menyakitinya. Ia tidak merasa nikmat dengan

sesuatu dan tidak pula merasa menderita dengan sesuatu, karena ruhnya

telah terbang tinggi sampai pada tingkat tidak akan kembali dikuasai oleh

sebab-sebab kegembiraan atau sebab-sebab kesusahan, dan meninggi ruhnya

sampai pada batas sebab-sebab kegembiraan tidak akan meninggalkan

pengaruh apa pun dalam hatinya atau sebab-sebab kesedihan menemukan

jalan untuk mempengaruhinya. Ruhnya mencapai derajat yang tinggi di

mana ia terlepas dari kekuasaan dan pengaruh sebab apa pun.

Manusia sempurna ini tidak saja mencapai akhlak yang utama

untuk mendapatkan penghormatan ditengah-tengah manusia atau untuk

memperoleh kedudukan dalam pentas sejarah. Bahkan lebih dari itu, ia

tidak melangkah satu langkah pun untuk mempraktikkan akhlak mulia

guna mendapatkan kemenangan dengan surga atau pelarian dari neraka,

melainkan karena ia ingin menjadi manifestasi dari sumber akhlak itu (Allah,

al-mabda’) yang terwujud di dalam-Nya seluruh keutaman-keutamaan

akhlak secara tidak terbatas dan tidak berakhir. Dia tidak memiliki batas

kecuali “batasan yang tidak terbatas”. Dia tidak memiliki hubungan

sehingga dengannya dapat dikenali (walaisa lahu ayyu ‘alaqah allahumma

illa annahu la ‘alamata lahu). Dan Al-Qur’an memberi tanda-tanda jalan ini

dan mengenalkannya bahwa ia adalah jalan yang istimewa (al-auhadi) yang

dilalui oleh para pejalan akhlak.

Terdapat beberapa contoh dari jalan kedua dan ketiga di dalam Al-

Qur’an al-karim. Adapun jalan pertama bukanlah termasuk jalan agama,

karena ia tidak sesuai dengan tauhid. Para nabi tidak datang untuk mendidik

jiwa serta pencapaian keutamaan akhlak dalam rangka memperoleh

penghormatan masyarakat di mana manusia yang berakhlak menjadi orang

yang terhormat di mata masyarakat atau menjadi mulia di mata sejarah

atau menjadi orang yang terpandang di masyarakat, melainkan mereka

melaksanakan tugas-tugas mereka di jalan Allah dan mereka mengetahui

bahwa ruh yang berjalan menuju Allah adalah ruh yang sempurna. Dan

mereka yang berpikir untuk memperoleh keuntungan dari materi,

masyarakat, dan sejarah pada hakikatnya tidak memiliki tujuan Ilahi.

Meskipun Allah menjadikan orang yang memiliki tujuan Ilahi

terhormat di tengah-tengah manusia, terpandang di mata sejarah, dan

sebagai bukti kebenaran (lisan sidqin), namun bukan berarti tujuan manusia

yang berakhlak utama tersebut guna menarik perhormatan manusia dan

memperoleh kedudukan terpandang di tengah-tengah masyarakat. Orang

yang melakukan kebaikan akan diberi karunia-karunia (althaf ) oleh Allah.

p:161

Dan sebagian dari karunia itu berapa kehormatan di tengah masyarakat dan

menjadikannya sebagai bukti kebenaran serta mendapatkan kemuliaan di

mata sejarah, dan lain-lain.

Kalau begitu, para nabi sama sekali tidak menerima jalan yang

pertama, yaitu seseorang yang beramal baik bertujuan untuk mendapatkan

penghormatan khusus di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tidak

sesuai dengan tauhid dan tidak sesuai juga dengan pendidikan jiwa dan

penyuciannya. Dikatakan tidak sesuai dengan tauhid karena menjadikan

selain Allah sebagai tujuan yang sangat bertentangan dengan tauhid Sistem

Akhir (al-mabda’ al-khai), dan dikatakan tidak sesuai dengan pendidikan dan

penyucian jiwa karena ruh yang bersifat non-materi (ar-ruh al-mujarradah)

dan ruh malâkut (ar-ruh al-malâkutiyah) tersibuk dengan salah satu masalah

materi dan kepemilikan. Ini adalah bentuk penyimpangan dan ini adalah

peringatan (ancaman) bagi jiwa, bukan pelatihan jiwa. Hal itu merupakan

penyibukan dengan masalah-masalah yang sepele bukan dengan masalah-masalah

yang tinggi (baca: sangat penting—Peny.).

Ada satu riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw. , bahwa beliau

bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang tinggi dan membenci

hal-hal yang rendah darinya”. Sesungguhnya Allah menyukai perkara-perkara

yang tinggi, keinginan-keinginan yang tinggi, pemikiran-pemikiran

yang tinggi, dan tujuan-tujuan yang tinggi; dan membenci keinginan-keinginan

yang rendah, pemikiran-pemikiran yang sederhana, dan tujuan-tujuan

murahan. Maka, jalan yang pertama adalah penyimpangan. Dapat

saja, seseorang yang berakhlak mulia mendapatkan kedudukan khusus dalam

sejarah atau di tengah-tengah manusia, tetapi jalan ini bukanlah jalan para

nabi, karena para nabi menyeru kepada Allah dan tujuan langsung mereka

adalah Allah. Allah-lah yang memberi mereka keberkahan-keberkahan

dan boleh jadi salah satu bentuk keberkahan ini adalah kehormatan dan

kemuliaan sosial di dunia.

Rasulullah berkata, “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak

(kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata” (Q.S. Yusuf: 108). Dengan

demikian, dakwah yang dilakukan untuk selain Allah berarti jauh dari

bimbingan ajaran para nabi. Dan tujuan pokok dalam masalah-masalah

akhlak terdapat dalam jalan kedua dan ketiga. Manusia yang berakhlak

mulia bertujuan untuk mencapai kenikmatan surga dan menjauhi siksa

neraka, atau untuk mencapai suatu maqâm yang lebih tinggi daripada

sekadar pencapaian surga dan penjauhan dari neraka.

p:162

Penjelasan yang demikian ini kita temukan dari para imam di

mana mereka mengatakan: Ibadah itu ada tiga bagian: Suatu kaum yang

menyembah Allah, karena keinginan untuk memperoleh surga; suatu

kaum yang menyembah Allah, karena takut kepada neraka; dan suatu

kaum lagi, yang menyembah Allah untuk memperoleh pujian-Nya, cinta-

Nya, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, bukan didorong oleh

keinginan akan surga dan rasa takut akan neraka. Dan inilah ibadahnya

orang-orang yang bebas.(1)

Penjelasan ini tidak hanya terbatas pada masalah

ibadah, bahkan ia juga mencakup semua permasalahan akhlak. Pencapaian

keutamaan-keutamaan akhlak termasuk dari amal ibadah dan pencapaian

akhlak tidak dapat tidak dianggap ibadah. Pencapaian akhlak yang mulia

tidak akan berhasil tanpa muatan ibadah kepada Allah. Berdasarkan hal ini,

maka secara luas atau umum akhlak termasuk ibadah. Akan tetapi, ibadah

menurut makna istilah (memang) tidak sejalan dengan masalah-masalah

akhlak. Ringkasnya, pencapaian akhlak menurut Islam mempunyai dua jalan.

Jalan pertama, hendaklah tujuan akhlak dan pembekalan (diri) dengan

akhlak mulia adalah untuk memperoleh kenikmatan di surga dan upaya

pelarian dari neraka.

Jalan kedua, hendaklah tujuan akhlak adalah untuk meraih maqâm

‘cinta Allah’ dan ‘pertemuan dengan Allah’. Yakni, naik ke tingkat yang

lebih tinggi daripada sekadar keinganan menikmati suga dan rasa takut dari

neraka, serta sama sekali tidak berpikir tentang diri sendiri, kenikmatan, dan

kesedihan; juga tidak berpikir tentang kegembiraan dan kegelisahan. Suatu

pencapaian ke tingkat yang tinggi di mana kesedihan dan kegembiraan

tidak memiliki jalan (untuk mempengaruhinya), ke suatu tempat di mana

manusia merasa bebas di dalamnya dari kekuasaan dan pengaruh kesedihan

dan kegembiraan. Orang yang mencapai tingkat tinggi (al-auhadi) dari

kalangan manusia adalah orang yang berakhlak dengan akhlak yang baik

untuk tujuan ini. Dan orang yang mencapai kedudukan tinggi tersebut (alauhadi)

adalah orang yang menapaki tujuan(jalan) ini.

Al-Qur’an al-Karim mempunyai beberapa contoh dan dalil-dalil

yang menunjukkan dua jalan tersebut. Dalam surah Taubah dikatakan,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta

mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (Q.S. at-Taubah: 111). Pada

saat Allah memiliki ruh kita, begitu juga Dia memiliki harta kita, rahmat-

Nya diturunkan dengan suatu ketentuan, untuk mengadakan transaksi

perdagangan bersama kita lalu mengatakan: Juallah harta kalian ke jalan

p:163


1- 23 Nahjul Balaghah, Subhi Shaleh, hlm. 510.

Allah dan ambillah keuntungannya darinya, dan juallah nyawa kalian yang

merupakan milik Allah kepada Allah dan ambillah surga sebagai gantinya.

Apakah nyawa kita dan harta kita adalah milik kita? Yakni, apakah manusia

merasa memilki nyawanya dan hartanya di hadapan Allah? Sama sekali tidak.

Manusia tidak memiliki apa pun di hadapan Allah. Dia berfirman, “Siapalah

yang memiliki pendengaran dan penglihatan” (Q.S. Yunus: 31). Itulah Allah

yang memiliki telinga kalian dan mata kalian, dan Dialah yang “Siapakah

yang memperkenalkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa

kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan” (Q.S. An-Naml: 42). Yakni,

hanya Dia yang memiliki kekuasaan untuk mengabulkan (doa) orang yang

kepepet, tidak ada selain-Nya. Mata kita dan telinga kita adalah milik-Nya.

Oleh karena itu, terkadang Allah tidak memberi izin (siapa pun) untuk

menutup mata manusia mati yang terbuka. Dan jika tidak terdapat sesuatu

yang dapat menutup matanya, maka mayat ini memiliki pandangan yang

menakutkan dan buruk sekali. Maka, manusia sama sekali tidak memiliki

mata dan telinganya. Semua wujud adalah milik Allah. Alhasil, bahwa

rahmat-Nya yang luas mengharuskan untuk membeli dari kita apa yang

dimiliki-Nya untuk memberi kita surga. Demikianlah pengertian yang

dikatakan bahwa manusia tidak memiliki apa pun di hadapan Allah, dan

dalil hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Allah kepada Rasul-Nya dalam

surah Yunus, “Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan

dan tidak (pula) kemanfaatan bagi diriku’” (Q.S. Yunus: 49). Maka, manusia

tidak memiliki apa pun.

Ada pernyataan dari Amirul Mukminin a.s. tentang tafsir firman-

Nya Swt “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan

kembali’, (Q.S. Al-Baqarah: 156). Beliau berkata, “Sesungguhnya kita milik

Allah adalah pengakuan tentang kepemilikan, dan kepada-Nya kita akan

kembali adalah pengakuan tentang kehancuran (kematian)”.(1) Apa yang kita

katakan “Kita adalah milik Allah” ialah kita mengakui bahwa kita milik Allah

dan semua wujud kita adalah milik-Nya, ”dan kepada-Nya kita akan kembali”

ialah sebuah pengakuan dan ikrar akan kehancuran (kematian). Maka, kita

akan binasa (mati) dan akan kembali kepada-Nya.

Dengan demikian, tidak ada seorangpun yang memiliki sesuatu. Adapun

maksud yang dikatakan oleh nabi Musa al-Kalim kepada Allah: “Aku

tidak memiliki kecuali diriku dan saudaraku” (Q.S. Al-Maidah: 25), hal itu

(berkenaan dengan) amal-amal yang (bertautan) dengan hukum (al-a’aml

at-tasyri’iyyah) dan ikhtiar, (tapi) tidak (bertalian) dengan penciptaan (at-

p:164


1- 24 Ibid, kalimat-kalimat pendek.

takwiniyyah). Yakni, beliau berkata kepada Allah Swt: Sesungguhnya aku

tidak memiliki apa pun kecuali diriku dalam penerimaan agama, dan

dengan ikhtiar yang Engkau berikan kepadaku ini, aku dapat memilih

agama-Mu dan menerimanya, dan saudaraku juga memiliki dirinya, “Aku

tidak memiliki kecuali diriku dan saudaraku”. Maka, sesungguhnya aku

tidak memiliki ikhtiar seorangpun kecuali ikhtiar diriku sendiri, begitu juga

saudaraku tidak memiliki ikhtiar seorangpun kecuali ikhtiar dirinya sendiri.

Aku merasa aman dengan ikhtiar (pilihan)ku dan begitu juga saudaraku,

dan kami tidak memiliki ikhtiar seorang pun selain ikhtiar yang aku miliki

dan ikhtiar yang dimiliki saudaraku—“Aku tidak memiliki kecuali diriku

dan saudaraku”. Maksudnya bukan hanya memiliki diriku dan saudaraku.

Tidak demikian, manusia secara takwini (penciptaan) tidak dapat memiliki

dirinya, maka bagai mana dia akan memiliki saudaranya? Sedangkan masalah-masalah

yang berkaitan dengan hukum (tasyri’i) dan tugas agama (taklif )

maka semua manusia memiliki ikhtiarnya. Maka, saudaraku memiliki

ikhtiarnya(sendiri), bukan orang lain. Begitu juga aku memiliki ikhtiarku,

bukan orang lain.

Dengan demikain, menjadi jelas perbedaan antara apa yang dikatakan

Musa al-Kalim dengan apa yang dikatakan Allah Swt kepada Rasul-Nya,

“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak(pula)

kemanfaatan kepada diriku’” (Q.S. Yunus: 49). Di dalam masalah-masalah

tasyri’i, Musa menyeru Allah Swt sembari mengatakan: Saya hanya memiliki

ikhtiarku dalam menerima dakwah (agama—Peny.)mu dan saudaraku juga

memiliki ihtiarnya saja, yang demikian ini dalam masalah syariat (‘alam attasyri’).

Adapun dalam masalah takwini, tidak ada seorang pun yang memiliki

sesuatu pun, sungguh aku tidak memiliki kecuali diriku dan saudaraku juga

tidak memiliki kecuali dirinya. Maka, rahmat Allah adalah sangat luas sekali

sampai pada batas: Dia membeli dari kita apa yang sebenarnya dimiliki-Nya.

Dia membeli jiwa kita yang sebenarnya adalah milik-Nya. Allah berfirman,

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-

Nya kepadamu” (Q.S. An-Nur: 33). Dia membeli harta kita yang (Sebenarnya)

adalah milik-Nya. Al-Qur’an mengenalkan sikap mementingkan orang lain

ini (itsar) sebagai hubungan timbal-balik perniagaan (tabadul tijari)¸ Dia

berkata kepada manusia: Juallah dirimu dan jiwamu untuk Allah. Kamu

adalah penjual dan Allah adalah pembeli. Dan setiap yang menjual hartanya

dan jiwanya kepada Allah, maka saat itu dia tidak menjadi pemilik bagi

hartanya dan jiwanya serta tidak dapat membelanjakan hartanya dan

p:165

jiwanya tanpa izin Pembeli, yaitu “Sesungguhnya Allah telah membeli dari

orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga” (Q.S.

at-Taubah: 111) sebagai ganti barang (yang berupa) jiwa dan harta, Dia

memberi manusia surga.

Dan keutamaan jihad yang termasuk salah satu keutamaan akhlak adalah

untuk mencapai surga. Keberanian termasuk salah satu kemuliaan akhlak,

dan tujuan keutamaan akhlak adalah untuk mencapai surga. Ketika manusia

menjual hartanya dan jiwanya untuk Allah, maka dia harus memperlakukan

jiwanya dan hartanya sesuai dengan perintah-perintah Ilahi, demikianlah

yang diperintahkan oleh Allah Swt, “Mereka berperang di jalan Allah, lalu

mereka membunuh atau terbunuh” (Q.S. at-Taubah: 111). Mereka membunuh

atau terbunuh lalu menjadi syuhada, “(Itu telah menjadi) janji yang benar

dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an” (Q.S. at-Taubah: 111).

Demikianlah janji yang diberikan Allah, dan janji ini ditetapkan di

dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan tidak

ada seorang pun yang lebih menepati janji selain Allah—“Dan siapakah

yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual

beli yang telah kamu lakukan itu” (Q.S. at-Taubah: 111). Dan jual-beli yang

berasal dari kalian ini merupakan berita gembira bagi kalian, “Dan itu adalah

kemenangan yang besar” (Q.S. at-Taubah: 111). Meminjam ungkapan Ustaz

Allamah Thabathaba’i (semoga rida Allah tercurah kepada beliau): Anda

dapat memperhatikan enam perkara penting dalam jual-beli:

(i) Penentuan penjual.

(ii) Penentuan pembeli

(iii)Penentuan barang

(v) Penentuan harga

(vi) Pencatatan muamalah

(vii)Saksi-saksi adil

Keenam masalah di atas sangat diperhatikan dalam muamalah pernia

gaan yang penting dan dalam muamalah perdagangan antara hamba

(manusia ) dan Tuhan (Allah).

Penjual: seorang mukmin; pembeli : Allah; barang: jiwa dan harta;

harga: surga; pencatatan akad muamalah: Taurat, Injil, dan Al-Qur’an;

para saksi: para nabi yang datang membawa Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.

Sandaran akad dan muamalah ini adalah ayat yang tersebut dalam surah

at-Taubah yang menganjurkan untuk menghidupkan dan melatih jiwa

melalui keutamaan-keutamaan akhlak dengan cara berusaha mencapai surga

p:166

dari jalan ini. Dan janji-janji Ilahi juga disebutkan pada bagian-bagian lain

seperti(yang terdapat) dalam surah Az-Zumar, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-

Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu’. Orang-orang

yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah

itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang

dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (Q.S. Az-Zumar: 10). Perbincangan

dalam ayat tersebut seputar pahala, pada saat seseorang beramal untuk

dirinya, maka sebagai ganti dari amalnya dia akan mendapatkan pahala dari

Allah. Ungkapan-ungkapan demikian banyak terdapat dalam Al-Qur’an al-

Karim, seperti dijelaskan bahwa orang yang berakhlak dengan akhlak yang

bagus, maka tempatnya berada di surga—“Mereka mewarisi (surga) Firdaus”

(Q.S. Al-Mukminun: 11). Sementara, apabila dia terpolusi dengan moral

yang bobrok, maka Jahanam siap menunggunya. Terdapat cukup banyak

ayat dan riwayat yang memperbincangkan bagian pelatihan dan penyucian

jiwa ini, dan ia mempunyai peranan yang efektif dalam mendidik dan

membentuk jiwa di tengah-tengah masyarakat awam.

Adapun jalan ketiga dalam memperoleh keutamaan-keutamaan

akhlak adalah bahwa manusia sampai pada tingkatan dimana masalah ini

terpecahkan baginya, tidak ada perbedaan antara penjualan dan pembelian,

manusia tidak memiliki sesuatu pun dari dirinya untuk dijual kepada Allah.

Apabila dia pemberani dan berjuang di jalan Allah, maka yang demikian

itu bukan berarti untuk mengharap surga sebagai ganti dari pengorbanan

jiwanya, dia tidak memiliki jiwa yang dapat diberikannya lalu dia memperoleh

surga sebagai ganti darinya, karena dia tidak memiliki apa pun, “Dan tidak

kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula

untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan dan (juga) tidak kuasa mematikan,

menghidupkan, dan tidak (pula) membangkitkan” (Q.S. Al-Furqan: 3).

Makhluk yang berisfat mungkin (wujud imkani) baik patung atau

selainnya tidak memiliki apa pun. Tema ini telah dianggap selesai bagi

manusia yang telah sampai ke maqam yang tinggi itu, dia (menyadari)

bahwa dia tidak memilki apa pun yang dapat diberikannya kepada Allah

lalu memperoleh harga surga sebagai gantinya. Ketika dia sampai ke

derajat yang tinggi ini sesuai dengan ayat yang terdapat dalam surah an-

Nahl, “Apa saja yang kalian peroleh dari kenikmatan (pada hakikatnya)

dari Allah”, (Q.S. an-Nahl: 53), maka masalah ini terpecahkan baginya.

Dengan demikian nikmat spiritual (ni’maturruh), nikmat pengenalan atas

keutamaan-keutamaan akhlak, nikmat pencapai keutaman akhlak, nikmat

berakhlak dengan akhlak yang benar(al-haq, Allah), semuanya dari

p:167

Allah. Manusia tidak memiliki apapun untuk dapat diberikan kepada Allah

sehingga dia tidak dapat memperoleh sesuatu sebagai ganti dari amalnya

itu. Dia tidak mengamalkan suatu amalan yang manfaatnya kembali kepada

Allah, sehingga karenanya dia berhak memperolah upah (pahala).

Ungkapan jual-beli dan upah adalah untuk kalangan masyarakat

awam yang mana (peringkat) iman mereka sedang-sedang saja. Mereka

hanya mencapai suatu peringkat di mana mereka tidak akan meneruskan

perjalanan kecuali melalui jual-beli dan diiming-imingi dengan upah.

Mereka berada di tingkatan di mana mereka akan mengatakan; kami telah

bekerja dan kami ingin upah atas mencapai maqâm tertinggi (al-auhadi)

ketika mereka sampai di derajat tertentu, maka masalah itu akan terpecahkan

baginya. Dia menyadari bahwa dia bukan pemilik sesuatu pun, dia

tidak lain kecuali tempat penuangan kasih Allah (mahallu faidh) dan

bukanlah Sumber asal atas hal itu. Apabila jelas baginya bahwa dia tidak

ada lain kecuali tempat berlalunya karunia dan bukan Pencipta karunia, dan

apabila jelas baginya bahwa dia tidak melakukan apa pun kecuali sebagai

tempat berjalannya rahmat saja, dan apabila dia mencerna dengan baik

bahwa dia tidak berjuang, namun diam dijadikan jalan untuk menolong

agama, dan apabila jelas baginya secara sempurna bahwa dia bukan pekerja,

tetapi sebagai tempat lewatnya dan sebagai kesinambungan pekerjaan Yang

Maha Benar (al-haq), maka dia tidak akan menjual apapun sehingga dia

akan memperoleh upah sebagai ganti darinya. Dia sadar bahwa dia tidak

mengerjakan apapun sehingga tidak akan menuntut upah kepada Allah.

Orang seperti itu kedudukannya lebih tinggi daripada sekadar

keinginan untuk memperoleh kenikmatan surga, bahkan surga pada

hakikatnya diciptakan untuknya dan dia akan sampai pada derajat sebagai

“pembagi surga dan neraka” (qâsimul jannah wannar). Dia akan sampai pada

derajat di mana pembagian surga dan neraka bergantung loyalitas kepadanya.

Orang itu seperti Ali bin Abi Thalib a.s. yang mana kecintaan kepadanya

menjadi sebab pembagian surga dan neraka. Orang itu seperti Imam Husain

bin Ali a.s. yang mana persahabatan dan permusuhan kepadanya sebagai

barometer untuk memperoleh surga maupun neraka. Dan orang itu seperti

Imam Mahdi (nyawa kita menjadi tebusannya) yang mana beliau sampai

pada derajat di mana surga dan neraka dibagikan dan dihargai karenanya.

Ada suatu pernyataan dari almarhum Ibn Babaweh al-Qummi (semoga

Allah meridainya) dalam kitab ‘ma’ani al-Akhbar’: Ketika salah seorang

murid Imam Shadiq a.s. bertanya kepada beliau, “Mengapa Rasulullah Saw.

dijuluki dengan Abul Qasim?” Beliau menjawab, “Rasulullah mempunyai

p:168

anak lelaki yang bernama Qasim, karenanya beliau dijuluki dengan Abul

Qasim”.

Penanya itu melanjutkan, “Saya mau belajar darimu makna yang lebih

dalam dari sekadar julukan ini”. Beliau berkata, “Bukankah Ali bin Abi Thalib

a.s. murid yang sangat loyal kepada Rasulullah?” (dalam Nahjul Balaghah

disebutkan bahwa Amirul Mukminin berkata, “Rasulullah mengasuhku sejak

aku masih kecil, dan aku tumbuh di pangkuannya, aku telah mencium bau

semerbak badannya, beliau mengunyah sesuap makanan lalu menyuapkannya

kepadaku, dan aku telah tumbuh di pangkuan Islam”. Kemudian beliau

melanjutkan, “Bukankah murid adalah anak guru dan guru adalah ayah

si murid?” (Dan hak pengajaran tidak lebih rendah dari hak melahirkan).

Ketika Hakim Ilahi ditanya tentang apakah hubunganya lebih erat

dengan ayahnya atau dengan ustaznya, dia menjawab, “Dengan ustazku,

karena ayahku membawaku dari alam yang tinggi menuju alam bumi

(alam rendah), tetapi ustazku membawaku dari alam bumi menuju alam

tinggi (alam langit). Atas dasar inilah, maka kedudukan nabi sama dengan

kedudukan ayah bagi Ali bin Abi Thalib. Surga dan neraka didistribusikan

atas dasar kesetiaan kepadanya. Maka, cinta kepadanya, mengikuti

langkahnya dan ketaatan mengikuti kepemimpinanya merupakan tolok

ukur untuk keberangkatan menuju surga, sedangkan permusuhan padanya

dan kebencian padanya merupakan tanda keberangkatan menuju neraka.

Beliau adalah timbangan dan tolok ukur bagi pembagian surga dan neraka.

Dalam Nahjul Balaghah disebutkan bahwa beliau pernah berkata

kepada seseorang yang mulai melenceng dari jalur agama, “Sungguh aku

akan memenggalmu dengan pedangku yang tidak ada seorangpun yang

aku pukul dengannya kecuali dia akan masuk ke dalam neraka”.(1) Maka,

setiap orang yang terbunuh dengan pedang Ali, dia pasti termasuk penghuni

neraka. Ali berkata, “Sungguh Aku akan memenggalmu dengan pedangku

yang tidak ada seorangpun yang aku pukul dengannya kecuali dia akan

masuk ke dalam neraka”, maka atas dasar ini, Ali bin Abi Thalib adalah murid

Nabi, dan murid adalah anak ustaz. Kalau begitu, Ali bin AbiThalib adalah

putra Nabi. Selain itu, Ali bin Abi Thalib adalah pembagi surga dan neraka

(qâsimul jannah wan nar), maka atas dasar ini, Nabi adalah Abul Qasim.

Manusia yang berhasil mencapai keutamaan-keutamaan akhlak tidak

hanya berada di peringkat yang (hanya) mengurusi pembagian surga dan

neraka, bahkan (mencapai peringkat) yang lebih tinggi (dari sekadar)

mengurusi (masalah tersebut). Maka, Rasulullah Saw. peringkatnya lebih

p:169


1- 25 Ibid., Faidh, hlm. 957.

daripada sekadar mengurusi masalah tersebut. Demikian juga Ali bin Abi

Thalib, semuanya dapat mencapai makam tertinggi (al-maqâm al-a’ala) di

mana “mereka semua dari satu cahaya”. Di dalam Al-Qur’an terdapat isyarat

terhadap jalan ketika ini, ketika ia mengutarakan keutamaan-keutamaan

akhlak. Ia berkata kepada manusia: Apabila Anda mau memperoleh keutamaan-keutamaan

akhlak karena seseorang atau karena sesuatu maka ketahuilah

bahwa “dan milik Allah kerajaan langit dan bumi” (Q.S. Al-Fath: 14). Mengapa

tujuanmu tidak lebih tinggi dari (sekadar kenikmatan) surga dan neraka?

Dan jika untuk memperoleh kemuliaan, maka ketahuilah bahwa kemuliaan

itu tidak ada di makhluk manapun selain Allah—“Sesungguhnya kemuliaan

itu semuanya bagi Allah” (Q.S. an-Nisa’: 39). Dengan demikian, manusia

harus beramal untuk Allah. Dan apabila dia mengharap untuk memperoleh

kekuatan, “Sungguh kekuatan itu semua bagi Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 165)

dan manusia tidak akan mampu untuk memperoleh keutamaan akhlak

untuk mencapai kekuatan karena “Sungguh kekuatan itu semua bagi Allah”.

Dengan demikian, manusia tersebut tidak berusaha untuk memperoleh

akhlak dengan tujuan mendapat kemuliaan dan para nabi tidak datang untuk

menyucikan dan mendidik jiwa manusia karena tujuan untuk mendapat

kekuatan dan tidak juga pendidikan jiwa mereka melalui jalan pertama,

yaitu jalan yang biasa dan jalan materi semata, namun pendidikan jiwa

boleh jadi dengan jalan kedua yang bermanfaat bagi kalangan awam atau

jalan ketiga yang menjadi bagian manusia yang mempunyai makam tinggi

(al-auhadi), yaitu orang-orang yang berakhlak dengan akhlak Allah karena

mereka berusaha menjadi manifestasi dari asma al-husna lil haq (nama-nama

Tuhan yang baik) dan menjadi manifestasi dari nama-nama Allah yang

tertinggi, yang mana surga dan neraka pun bersumber darinya, dan dari sana

juga berasal cinta dan benci, dan kesetiaan dan permusuhan juga bersumber

dari sana, sebagaimana kedekatan dan kejauhan juga diperoleh dari sana.

p:170

p:171

Pelajaran XII

Kiamat Hari Penyingkapan Kebenaran(Al-Haq)

p:172

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Sebagaimana Al-Qur’an al-Karim telah memberi perhatian yang

cukup besar dalam masalah tauhid dan pengenalan tentang Sumber wujud

(mabda’ al-wujud) dan mamaparkan kajian-kajian argumentatif atas hal itu,

maka ia juga memberi perhatian yang sama terhadap tema Hari Kemudian

(al-ma’ad) dan akhir dari alam wujud. Terdapat cukup banyak ayat dalam

masalah penting ini yang membahas secara luas dan dari pelbagai dimensi.

Salah satu dampak yang menonjol dan indikasi penting dari Hari

Kiamat adalah penyingkapan kebenaran (zhuhurul haq). Hari itu adalah hari

kebenaran, tidak ada satu pun dari kebatilan yang akan mampu menerobos

di jalan hari itu. Tidak ada keyakinan apa pun tentang kebatilan; tidak ada

asumsi dan fantasi kebatilan; tidak ada pula pengamalan kebatilan, baik

di tingkat individu mapun kolektif, tidak juga di internal individu atau

di eksternal individu. Suatu alam di mana kebenaran di dalamnya akan

tersingkap secara sempurna, “Itulah hari yang benar” (Q.S. an-Naba’: 39)

dan tidak ada kebatilan, karena kebatilan tidak memiliki dasar (ashl), maka ia

rentan terhadap kehancuran, adapun karena kebenaran memiliki landasan,

maka ia kokoh dan tidak rentan terhadap kehancuran.

Al-Qur’an al-Karim telah mengenalkan Hari Kiamat sebagai hari

penyingkapan kebenaran dan tidak ada tempat bagi kebatilan di dalamnya,

yaitu bahwa akan terjadi proses desak-desakan (tazahum) dan persinggungan

(tashadum) di kawasan gerakan dan bidangnya. Manusia secara alami

(thabiah) dapat saja bergerak di jalan yang lurus dan dapat juga menyimpang

darinya. Oleh karena itu, dia harus diuji, sehingga sampai melalui proses

pengujian tersebut kepada kesempurnaan. Dan hal itu akan manampakkan

sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya.

Sesungguhnya gerakan di alam materi terjadi secara umum. Seluruh

wujud alam materi memiliki mobilitas tinggi (fi halah sailan). Maka,

persingunggannya, benturannya, tertimpa bahaya, dan kehancuran yang

dideritanya adalah suatu keharusan. Di jalan ini terdapat kebatilan, baik

sedikit maupun banyak. Ketika yang bergerak tidak mampu mencapai

tujuan karena benturannya dengan suatu penghalang, maka nanti dia akan

mandek. Dan agar manusia dapat diuji dengan benar, maka jalan peresapan

p:173

dibiarkan terbuka agar jelas dalam ujian tersebut siapa yang berada di jalan

yang lurus dan siapa yang tidak.

Atas dasar ini, maka kebenaran dan kebatilan bercampur aduk di

dalam gerakan (‘alam al-harakah) dan pada setiap tempat terdapat kaidah

(keyakinan) yang benar sekaligus terdapat akidah yang batil. Pada setiap

tempat terdapat asumsi dan bayangan kebenaran, tetapi fantasi dan bayangan

kebatilan juga terdapat. Pada setiap tempat tedapat perbuatan yang benar,

namun terdapat juga perbuatan yang batil. Pada setiap tempat, manusia yang

bergerak (al-mutaharrik) akan mencapai tujuannya dan akan memperoleh

apa yang diharapkannya dan apa yang dicarinya, namun terdapat juga

kegagalan dari apa yang diharapkannya. Kendati jumlah kegagalan lebih

sedikt ketimbang kesuksesan dan kehancuran serta keburukan lebih sedikit

daripada kemaslahatan dan kebaikan, namun ini semua (harus) ada di

kawasan alam materi, gerakan, dan alam fisik. Agar gerakan-gerakan ini

mencapai puncaknya, agar benda-benda yang bergerak ini menggapai

tujuan-tujuannya, dan usaha-usaha dan kerja keras ini juga bukan berarti

tidak membuahkan apa pun, maka harus ada suatu alam di mana kafilah

pergerakan (qafilah al-harakah) ketika berhasil mencapai alam itu, ia akan

menjadi kokoh(tenang) dengan perolehan tujuan itu.

Begitu juga, harus ada suatu alam yang dapat menjaga kafilah

pergerakan—ketika mencapai alam itu—dari bahaya takhalluf dan ikhtilaf

dan terjaga dari kesamaran antara hak dan batil. Dan hendaklah pada Hari

itu terdapat hukum yang adil sampai pada batas. Di dalamnya akhir segala

bentuk perbedaan (takhallufat) dan pertentangan (ikhtilafat) diputuskan

secara permanen.

Dan akan nampak jelas akidah yang benar di antara akidah-akidah lain,

dan harapan dan angan-angan yang benar di antara harapan-harapan yang

lain, dan bayangan dan asumsi yang benar di antara asumsi-asumsi yang lain,

dan perbuatan dan tindakan yang benar di antara perbuatan dan tindakan

yang lain. Dan akan diketahui masalah yang benar di antara masalah-masalah

yang berhubungan dengan masyarakat manusia, dan seterusnya. Oleh karena

itu, al-Qur’an al-Karim mengenalkan masalah Hari Kemudian sebagai hari

Kebenaran. Pada hari itu, Allah akan memanifestasi sebagai nama kebenaran

(ism al-haq) dengan suatu manifestasi tidak ada jalan bagi kesalahan di

dalamnya. Maka, kebenaran akan nampak jelas bagi setiap manusia,

sebagaimana kebenaran-Nya (Allah—Peny.) juga akan nampak jelas pada hari

itu serta akan menjadi kokoh, “Itulah hari yang benar” (Q.S. an-Naba’: 39).

p:174

Oleh karena perwujudan janji seperti ini harus dan telah ditetapkan,

maka Al-Qur’an berkata tentang Hari Kiamat bahwa di dalamnya tidak

terdapat sedikit pun keraguan—“Dan sesungguhya Hari Kiamat, tidak ada

keraguan di dalamnya” (Q.S. Al-Kahfi: 21). Tidak ada keraguan tentang

dasar terjadinya hari itu dan tidak ada keraguan juga tentang apa yang akan

terjadi pada Hari itu. Maka, tidak ada kesangsian tentang keberadaannya,

apakah ia ada atau tidak. Tidak ada pada Hari itu sedikit pun keraguan.

Keraguan tidak akan tersisa pada seseorang di hari itu, maka segala sesuatu

akan nampak jelas. Sesungguhnya terjadinya keraguan adalah karena

terdapat kebatilan dan kebenaran dan adanya hal yang diragukan di antara

keduanya, apakah ia temasuk bagian kebenaran ataukah termasuk bagian

kebatilan. Akan tetapi, ketika tidak ada jalan bagi kebatilan pada Hari itu,

maka dengan apa kebenaran akan menjadi samar?

Tidak ada orang asing sehingga manusia menjadi ragu karena orang

yang tidak dikenal itu. Kapan saja terdapat keraguan dan kesamaran, maka

harus ada dua hal yang berlawanan sebagai hal yang dianggap sama penting,

sehingga manusia menjadi ragu pada orang yang meragukan itu apakah ia

temasuk bagian dari ini atau bagian dari itu. Namun, apabila tidak terdapat

selain satu saja dan tidak ada sesuatu pun selainnya, dan hanya satu model

(mishdaq) dan tidak ada model lainnya, dan hanya satu dasar (ashl) dan tidak

ada dasar lainnya, maka juga tidak ada tempat bagi kesalahan dan keraguan.

Tidak akan terjadi kesamaran kecuali karena adanya seseorang yang

tidak dikenal yang diragukan, apakah dia temasuk bagian ini ataukah termasuk

bagian itu. Akan tetapi, ketika tidak terdapat dua bagian di hadapan kita,

maka tidak ada sesuatu pun yang meragukan. Ketika tidak ada kebatilan

di dalam itu, maka hal yang meragukan juga tidak ada wujudnya. Ketika

tidak ada perselisihan (khilaf ), maka kesalahan juga tidak ada. Ketika tidak

ada kebohongan, maka penentuan kesalahan antara yang benar dan yang

dusta juga tidak ada. Oleh karena itu, “Tidak ada keraguan di dalamnya”,

tidak ada dasar terjadinya keraguan di dalamnya dan tidak ada tempat bagi

keraguan pada Hari itu. Hari itu tidak ada tempat bergantung bagi keraguan

dan tidak ada tempat sedikitpun baginya. Hari penyingkapan kebenaran

Alam itu dinamakan al-yaum dan sebagian besar ayat-ayat yang disebutkan

Al-Qur’an dengan kata yaum dan hari itu (yaumaidzin) kembali ke Hari

Kiamat, kecuali di beberapa tempat (ayat) saja. Maka, kiamat adalah hari

yang tidak ada malam di dalamnya, dan (hari) penyingkapan yang tidak ada

keraguan di dalamnya, “Itulah hari yang benar”.

p:175

Atas dasar ini, jika alam itu adalah alam kebenaran, maka semua dasar,

sendi, dan garis di alam itu adalah sesuatu yang benar. Apabila terdapat

timbangan pada Hari Kiamat, sebagaimana yang mereka katakan, maka

kebenaran adalah timbanganya. Yakni bahwa pemikiran, keyakinan(akidah),

dan perbuatan ditimbang dengan kebenaran. Apabila dikatakan bahwa pada

Hari Kiamat terdapat jembatan (shirat) penyeberangan menuju surga, maka

jembatan itu adalah suatu kebenaran. Apabila dikatakan bahwa pada Hari

Kiamat terdapat hisab, maka hisab itu adalah suatu kebenaran.

Apabila dikatakan bahwa pada Hari Kiamat terdapat surga dan

neraka, maka surga dan neraka adalah suatu kebenaran. Dan kebatilan

tidak memiliki jalan(sedikit pun yang dapat mempengaruhi) salah satu

dari masalah-masalah yang berhubungan dengan kiamat ini. Ia merupakan

contoh-contoh kebenaran dan tempat berlalunya kebenaran dan pelbagai

manifestasi kebenaran. Apabila Allah telah berfirman “Dan timbangan dihari

itu adalah kebenaran” (Q.S. Al-A’raf: 8). Maka hal itu melihat ke makna ini,

bukan hanya di kiamat terdapat timbangan dan takaran. Namun, timbangan

kiamat berarti bahwa pembagian timbangan tersebut adalah sesuatu

yang benar, ditimbang dengan kebenaran, keyakinan ditimbang dengan

kebenaran, dan hakikat segala sesuatu ditimbang dengan kebenaran—“Dan

timbangan pada Hari itu adalah kebenaran”. Bukan “timbangan pada Hari itu

benar” bukan (hanya) terdapat timbangan dan takaran, namun kebenaran

(al-haq) dijadikan timbangan pada Hari itu. Dan bagian penimbangan pada

Hari itu memang benar.

Perbuatan dan amalan manusia ditimbang dengan kebenaran. Apabila

amal yang terwujud (al-mutahaqqaq) memiliki bobot kebenaran, maka ia

menjadi berat, dan apabila amal itu batil yang tidak berbobot, maka ia akan

menjadi ringan. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatakan bahwa setiap orang

yang timbangannya berat pada Hari Kiamat, maka ia termasuk kelompok

orang-orang yang bahagia, dan setiap orang yang timbanganmya ringan,

maka ia celaka dan tersiksa di neraka.

Timbangan pada Hari itu adalah kebenaran, yakni bahwa hakikat

manusia, keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya ditimbang dengan

kebenaran. Adapun orang kafir itu yang mana ruhnya sia-sia dan gelap

sehingga tidak ada akidah yang benar dan harapan kebenaran serta amal

yang benar pada setiap aspek dari aspek-aspek kehidupannya, maka ia tidak

dikenakan timbangan pada Hari Kiamat, timbangan tidak berlaku padanya,

ia tidak ditimbang begitu juga amalannya. Al-Qur’an berkata, “Kami tidak

akan memberlakukan penimbangan kepada mereka pada Hari Kiamat” (Q.S.

p:176

Al-Kahfi: 105). Bagian timbangan yang benar tidak akan diberlakukan

terhadap orang-orang kafir, karena orang kafir tidak memiliki sesuatu

yang dapat ditimbang. Barang yang kosong tidak akan ditimbang. Orang

kafir tidak mempunyai akidah, iman, dan amal saleh. Oleh karena itu, ia

dikatakan tidak memiliki apa pun yang dapat ditimbang bersama timbangan

yang berupa kebenaran.

Ketika manusia menimbang barang-barnag biasa, ia meletakkannya

di salah satu daun neraca dan meletakkan benda yang ditimbang tersebut

di daun neraca yang lain supaya jelas kadar timbangannya. Jika sesuatu

memang pada dasarnya tidak memiliki bobot, maka neraca timbagan tidak

akan diletakkan di daun neraca yang lain. Apabila Al-Qur’an mengatakan:

Sesungguhnya kami menghitung seluruh atom perbuatan dan kami akan

menimbangnya, yang demikian ini tertuju kepada manusia yang bertauhid

dan yang memperoleh petunjuk. Namun, orang kafir itu yang melawan

kebenaran dan yang tidak memiliki petunjuk, maka yang melawan

kebenaran dan yang tidak memiliki petunjuk, maka “hati mereka kosong”

(Q.S. Ibrahim: 43). Hati dan sanubari mereka kosong dan “Amalan-amalan

mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang

berangin kencang” (Q.S. Ibrahim: 18) juga “laksana fatamorgana di tanah

yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga” (Q.S. an-Nur:

39). Ilmunya bak fatamorgana dan hatinya juga kosong, maka fatamorgana

tidak akan ditimbang, begitu juga tempat yang kosong. Apabila mereka igin

menimbang bobot ruhnya, maka mereka akan mendapatkan hatinya kosong,

dan apabila mereka ingin menimbang timbangan yang berupa fatamorgana

juga untuk menimbang perbuatan-perbuatannya yang fatamorgana, karena

timbangan Hari Kiamat berupa kebenaran dan tidak ada fatamorgana. Oleh

karena itu, tidak perlu menimbang amal-amalnya yang fatamorgana.

Manusia tidak dapat menimbang fatamorgana dengan timbangan

air. Apabila kita mampu membandingkan volume air, tekanan air, kadar

air, derajat panas, dan dingin air, maka timbangan ini tidak memberi

manfaat bagi kita untuk menimbang fatamorgana karena fatamorgana tidak

mempunyai volume, kadar, panas, dingin, dan seterusnya. Apabila dalam

perumpamaan (tamsil) terdapat kadar, maka itu adalah kadar yang bersifat

fatamorgana. Oleh karena itu, fatamorgana tidak mempunyai timbangan.

Orang-orang kafir dan para penentang kebenaran pada Hari Kiamat tidak

mempunyai timbangan karena mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat

ditimbang. Al-Qur’an berkata: apabila amal dan perangai, meski sebesar biji

sawi, maka Allah akan menghisabnya. Adalah hal yang maklum bahwa itu

p:177

diberlakukan bagi orang yang mempunyai timbangan, yakni seorang yang

bertauhid.

Ya, dosa-dosa orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta lapisan

terbawah di neraka yang mereka duduki adalah sebagai konsekuensi dari

“hisab hitam” yang menjadikan orang munafik berada di jurang neraka

terbawah. Ini menandakan adanya hisab dan sistem yang khusus.

Ringkasnya, apabila manusia memanifestasi dalam kebenaran, maka

timbangannya menjadi berat, dan dia juga akan menjadi orang yang bahagia,

sebagaimana dia juga akan melewati jembatan (shirath) yang merupakan

shirath yang benar dengan mudah, karena orang yang telah memanifestasi

dalam kebenaran tersebut (al-mutahaqqiq) telah merasa tenteram bersama

kebenaran (al-haq). Oleh karena itu, dia akan menyeberang dengan mudah

ketika melalui jalan kebenaran. Apabila mereka dihisab, maka—sehubungan

dengan mereka—Allah adalah Penghisab tercepat (sari’ul hisab). Mereka tidak

diperlambat dalam proses penghi tungan. Apabila Hari Kiamat terhitung

lima puluh ribu tahun, maka mereka akan melalui masa ini dengan cepat.

Pada salah satu majelis khusus penutup para nabi dan rasul termulia

Saw. , dikemukakan ayat ini, “Malaikat-malaikat dan ruh (jibril) naik

(menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”

(Q.S. Al-Ma’arij: 4). Lalu salah seorang sahabatnya berkata dengan penuh

keheranan, “Alangkah panjangnya masa ini”. Nabi Saw. menjawab, “Demi

yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya ia bagi seorang

Mukmin senilai salat fardu”. Yakni, senilai salat wajib, dan salat wajib tidak

memakan waktu lebih dari beberapa menit saja. Maka, masa lima puluh ribu

tahun ini bagi seorang Mukmin sama dengan beberapa menit.

Dengan waktu singkat tersebut, ia telah melewati seluruh tingkatan

ini sebelumnya, ia telah lulus dalam ujian-ujian Ilahi yang mana orang-orang

lain menghabiskan puluhan tahun di dalamnya dan tidak berhasil.

Orang Mukmin tersebut telah melewati tempat-tempat ujian ini, yang mana

keterlambatan pada setiap tempat akan menghabiskan waktu cukup lama. Ia

telah melompat dan menang serta mendapatkan keselamatan.

Oleh karena hari kiamat adalah hari penyingkapan kebenaran, maka

tidak ada jalan bagi perselisihan pada tempat manapun dari tempat-tempatnya.

Tidak ada seorang pun di Jahanam akan menentang, begitu juga

di surga, tidak juga ditempat lainnya. Bukan hanya penghuni surga yang

tidak berselisih di antara mereka, namun penghuni neraka juga tidak akan

berselisih. Apabila ada sebagaimana orang yang berdusta dan mengingkari,

maka hal itu merupakan pembawaan (malakah) di dunia yang muncul di

p:178

sana bukan sebagai perbuatan yang dikehendaki (‘amal ikhtiari). Bukan

berarti mereka pada Hari kimat melakukan perbuatan yang dikehendaki

(amalan ikhtiariyan) atas nama kebohongan sebagaimana di dunia yang

akan berakibat kepada kemaksiatan. Tidak. Namun, apa yang telah mereka

lakukan di dunia akan nampak pada Hari Kiamat”, Itulah hari yang benar”

(Q.S. an-Naba’: 39). Dan karena kebenaran(al-haq) adalah sesuatu yang

berat, maka Allah mensifati Hari Kiamat sebagai hari yang berat, sebagaimana

Al-Qur’an, kitab yang benar adalah kitab yang berat, “Sesungguhnya Kami

akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (Q.S. Al-Muzammil: 5).

Al-Qur’an ini adalah sesuatu yang berat, dan kiamat juga merupakan

hari yang berat karena ia adalah sesuatu yang benar—“Sesungguhnya mereka

(orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mem pedulikan

kesudahan mereka, hari yang berat (Hari Kiamat)”(Q.S. Al-Insan: 27). Maka,

hari itu adalah hari yang berat karena ia merupakan hari penyingkapan

kebenaran, dan kebenaran juga sesuatu yang berat, ia merupakan sesuatu

yang berat sampai-sampai langit dan bumi pun tidak memiliki kekuatan

untuk memikul bobot Hari Kiamat, dan seluruh alam akan berguncang di

tengah-tengah munculnya Hari Kiamat—“kiamat itu amat berat bagi yang

di langit dan di bumi” (Q.S. Al-A’raf: 187).

Di tengah-tengah kemunculan kebenaran, maka dunia tidak mampu

memikul beban Hari Kiamat. Dan alam yang kebenaran dan kebatilan

bercampur di dalamnya tidak akan mampu memikul kemunculan kebenaran

mutlak (al-haq al-mahd). Alam yang kebenaran dan kebohongan

bercampur di dalamnya tidak akan mampu memikul kemunculan kebenaran

mutlak. Dan daerah yang perselisihan dan kesepakatan bercampur

di dalamnya tidak akan mampu menelan kesepakatan mutlak (al-wifaq almahd).

Oleh karena itu, langit dan bumi berguncang di saat munculnya

Kebenaran mutlak dan Ketulusan mutlak. Maka, Hari Kiamat itu berat dan

juga tidak mampu dipikul. Oleh karena itu, hamparan langit dilipat dan

bumi yang luas digenggam—“dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”

(Q.S. Az-Zumar: 67).

Hamparan langit dilipat dengan kekuasaan dan kemunculan kebenaran,

dan bumi yang luas juga dikumpulkan karena munculnya kebenaran “Bumi

seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat” (Q.S. Az-Zumar: 67).

Oleh karenanya “Langit digulung dengan tangan kanan-Nya” seba gaimana

laci yang terkumpul di dalamnya seluruh kitab dilipat, begitu juga sistem

tata surya dan planet-planet lain dikumpulkan pada Hari Kiamat, karena

Hari Kiamat adalah hari pengumpulan. Sebagaimana orang-orang

p:179

yang terdahulu (al-awwalun) dan orang-orang yang terakhir (al-akhirun)

akan dikumpulkan berdampingan pada Hari itu, maka begitu juga langit

yang lebar lagi luas dan bumi yang terbentang akan dikum pulkan.

Apabila Dia (Allah) berkata: Bumi di dunia luas, maka Dia juga berkata:

Demi kemunculan Hari Kiamat, Kami akan mengumpulkan bumi yang luas

ini satu sama lain, dan sebagai gantinya Kami akan membuat bumi baru.

Kami akan melipat langit ini satu sama lain supaya Kami membuat langit

yang lain. Kami akan mengganti bumi ini dengan bumi lain dan langit ini

dengan langit lain—(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi

yang lain dan (demikian pula) langit” (Q.S. Ibrahim: 48). Sistem ini akan

diubah dengan Sistem Kebenaran Mutlak (nidzam al-haq al-mahd) yang

tidak ada jalan bagi kebatilan di dalamnya, karena Allah tidak menginginkan

bagi alam itu adanya kebinasaan dan kehancuran serta tidak ada celah bagi

perselisihan dan perpecahan.

Apabila tidak terdapat kebenaran pada setiap dimensi alam dan

setiap sudutnya terdapat kebatilan, maka sudut kebatilan itu layak untuk

binasa, dan dimensi perselisihan itu juga layak untuk hancur. Dan sudut

kebohongan tersebut pantas untuk berubah. Apabila sesuatu tidak berupa

kebenaran mutlak, maka ia tidak akan menjadi abadi karena kebatilan tidak

sesuai dengan keabadian, dan Hari Kiamat yang merupakan keabadian tidak

akan ditembus oleh kebatilan dalam segala bentuknya karena kebatilan

adalah sesuatu yang bersifat sementara dan tidak abadi. Sebab permulaan

alam adalah berupa kebenaran karena ia azali. Jika terdapat dan terwujud

di sana kebatilan, perselisihan, kebodohan, kealpaan, dan lain-lain, maka ia

tidak menjadi azali, karena kebatilan bukanlah sesuatu yang azali, sedangkan

sesuatu yang azali adalah sesuatu yang benar, dan sesuatu yang abadi adalah

sesuatu yang benar dan sesuatu yang kekal(juga) sesuatu yang benar, sesuatu

yang azali (al-azalii) dan abadi (al-abd) saling berkaitan.

Atas dasar itulah, tauhid yang merupakan mabda’ tidak dapat

ditembus oleh kebatilan, dan pada Hari Kiamat yang merupakan ma’ad

(Hari Kemudian) juga tidak dapat diterobos(jalannya) oleh kebatilan,

karena kebatilan tidak sesuai dengan sesuatu yang azali dan abadi—“itulah

hari yang benar” (Q.S. An-Naba’: 39). Dapat saja manusia mencapai suatu

derajat yang mana haq (Allah—Peny.) meliputi derajat tersebut dengan

segala dimensi wujud-Nya, yakni bahwa manusia akan mencapai—karena

usaha mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub) dengan melaksanakan

kewajiban-kewajiban agama dan karena keberkahan pendekatan diri kepada-

Nya melalui amalan-amalan sunah—derajat di mana dia menjadi tempat

p:180

manifestasi untuk mengetahui Kebenaran Mutlak (mahal lan liidrâkilhaq

al-mahd) dan dia juga menjadi—karena cahaya taqarrub dengan amalan-amalan

fardhu—tempat manifestasi perbuatan Allah (mahallan li ‘amali

haq), “(kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah,

Dialah(Tuhan) yang baik” (Q.S. Al-Hajj: 62). Dan kata ganti “huwa” bersama

“alif lam at-ta’rif ” berarti pembatasan (al-hashr). Fungsi kata ganti terpisah

(dzamir al-fashl) di sini bermakna pembatasan—“Dan sesungguhnya apa

saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,

Dialah Yang Mahatinggi lagi Maha Besar” (Q.S. Al-Hajj: 62).

Demikianlah kandungan dua ayat yang salah satunya terdapat dalam

surah Al-Hajj dan yang lain terdapat dalam surah Luqman dengan sedikit

perbedaan. Siapa pun di antara manusia akan mampu mencapai—karena

keutamaan taqarrub dengan amalan-amalan sunah (nawafil)—suatu makam

di mana al-haq (Allah—Peny.) menjadi “telinga” dan “matanya”, dan Dia

sampai—melalui keberkahan taqarrub dengan aman-amalan wajib—ke

derajat di mana dia menjadi mata al-haq menjadi telinga dan matanya.

Maka, manusia yang telah memanifestasi dalam dirinya asma Allah (alinsan

al-mutahaqqiq) ini, akan menjadi manusia yang sempurna. Dan insan

mutahaqqiq yang sempurna ini menjadi berhubungan dengan tauhid; yang

mana dari sisi tauhid tidak ada sedikit pun keraguan di dalam ruh sucinya;

dan dia juga berhubungan dengan ma’ad sampai pada tingkatan di mana tidak

terdapat sedikitpun kesamaran bagi tempat Hari Kiamat yang luas di dalam

hati damai dan suci wali Allah ini. Orang itu adalah Amirul Mukminin Ali

bin Abi Thalib (nyawaku dan nyawa alam semesta menjadi tebusannya). Alhaq

telah muncul dalam seluruh dimensi wujudnya dan dia telah berbusana

Kebenaran (al-haq) sampai pada derajat di mana kebatilan tidak mempunyai

jalan untuk menembus wujud sucinya, baik pada keyakinannya, imannya,

amalnya, atau akidahnya, tidak pula dapat mempengaruhi akhlaknya dan

tindakan nyatanya. Maka, pilar ini(Ali bin Abi Thalib—Peny.) adalah pilar

kebenaran (‘amud al-haq), dan karena pilar ini adalah pilar kebenaran, maka

dia tidak berpikir selain al-haq dan tidak bertindak kecuali untuk al-haq

bahkan tidak membunuh kecuali untuk al-haq, karena itu beliau berkata;

Setiap orang yang aku bunuh pasti masuk ke dalam neraka—“Sungguh aku

akan memukulmu dengan pedangku yang tidak seorang pun yang aku pukul

dengannya kecuali dia akan masuk neraka”.(1) Kebenaranlah (al-haq) yang

akan membunuh kebatilan(al-batil), dan al-haq yang “menghancurkannya

(kebatilan), maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”(Q.S. Al-Anbiya’:

p:181


1- 26 Nahjul Balaghah, Faidh, hlm. 957.

18). Maka, ia (kebenaran) akan dan membantingnya dan mengirimnya

ke neraka. Wujud yang mengenakan pakaian al-haq ini merasa tenteram

(al-uns) dengan dasar segala wujud (Allah, al-mabda’) yang merupakan alhaq

sampai pada derajat yang tinggi di mana beliau mengatakan, “Tidak

mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak aku lihat”. Dan beliau berkata

tentang masa depan, yaitu Hari Kiamat, “Seandainya disingkapkan untukku

tabir kegaiban, niscaya hal itu tidak menambah keyakinanku”. Apabila

dihilangkan tabir dan penutup ibu jari dari wajah orang lain, maka hal itu

tidak ada bedanya bagiku. Bukan berarti bahwa terdapat tabir dan penutup

di atas wajahku dan saya melihat dari belakang tabir, keduanya ketika

dibuka atau ditutup kembali. Tidak demikian, penjelasan ini meniadakan

objek (al-maudu’). Yakni, tidak terdapat penutup bagiku dan tidak ada

(pula) tabir. Dan tabir kiamat ini telah dilepas dari wajah alam dunia yang

luas. Dan setiap orang yang(mampu) terbang dari alam materi yang mana

pemikirannya lebih tinggi daripada alam materi, maka tidak ada penutup

baginya. Simak Syair berikut:

Tidaklah keindahan memiliki tabir selain sifat kebesaran

Dan tidaklah di atas pipi ini ada penutup dan tidak pula di atas inti ini ada kulit

Dan barang siapa yang keakrabannya (uns) terjalin dengan Allah

(al-mabda’) sampai pada batas ini dan dengan suatu keadaan di mana dia

mengenakan pakaian al-haq dan menjadi hamba yang ikhlas (‘abdan khalisan)

terhadap Allah, maka tidak ada baginya tabir, penutup, dan hijab yang harus

dibuka, karena al-haq yang berupa al-ma’ad adalah esensi kebenaran (nafsul

haq) yang Dia adalah al-mabda’, yaitu Allah yang mempunyai penyingkapan

total (ad-dzuhur al-kamil) pada Hari Kiamat. Dia adalah Allah, di mana

“kita adalah milik-Nya” dan “Kepada-Nya kita kembali” (Q.S. Al-Baqarah:

156).

Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Seandainya disingkap kan

untukku tabir (kegaiban), niscaya hal itu tidak menambah keya kinanku”.

Yang demikian ini tidak berlaku bagi Ali, tetapi berlaku bagi orang-orang lain

yang mana boleh jadi keyakinan mereka tidak ada atau keyakinan mereka

lemah. Adapun orang-orang yang tidak memiliki keyakinan, maka mereka

sama sekali tidak akan melihat Hari Kiamat, sementara orang-orang yang

keyakinan mereka lemah, maka mereka melihat secara lemah dan ketika

salah satu dari mereka mati serta Hari Kiamat telah terjadi di hadapannya,

maka keyakinannya menjadi jelas sekali dan berbobot.

Dalam surah at-Takatsur, Al-Qur’an berkata, “Janganlah begitu, jika

kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar

p:182

akan melihat neraka jahanam” (Q.S. at-Taktsur: 56). Seandainya kalian

mengetahui Hari Kiamat dan al-haq tanpa menduga-duga, tetapi dengan

keyakinan yang pasti (‘ilmul yaqin), maka meskipun kalian berada di dunia

kalian akan dapat melihat Jahanam. Apabila seseorang mencapai maqâm

‘ilmu yaqin, maka dia akan dapat melihat Jahanam, dia akan melihat alam

itu, sementara dia masih ada di dunia.

“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahanam”. Al-Qur’an berkata

secara pasti dengan penjelasan yang tegas: Seandainya kalian mengetahui—

dengan ‘ilmu yaqin—al-mabda’ dan alma’ad, maka kalian akan melihat

Jahanam semenjak sekarang, “Kemudian sungguh kamu benar-benar akan

melihat dengan ’ainul yakin (mata kepala sendiri)”(Q.S. at-Takatsur: 7). Dan

setelah itu, keyakinan kalian akan tumbuh lebih besar, dan (selanjutnya),

kalian akan memperoleh ‘ainul yaqin (hakikat keyakinan) yang merupakan

maqâm yang lebih tinggi daripada ilmul yaqin. Mereka itu adalah murid-murid

Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Imam Ali a.s. sendiri telah melampaui

maqâm-maqâm ini. Seorang ‘ârif (ahli makrifat tentang Allah) yang tersohor

mengatakan dalam syair berikut.

Kehebatan (al-fannu) adalah Anda melihat api dengan mata sendiri

Bukan berargumentasi untuk menunjukkan (keberadaan)nya melalui asap.

Pernyataan tersebut merujuk ke bagian ini. Dia mengatakan: Kehebatan

bukanlah manusia mendapatkan asap setelah usaha keras dan jerih payah

yang cepat sehingga dia menemukan adanya api dan berkata; Karena ada

asap, maka berarti ada api. Akan tetapi, kehebatan adalah manusia yang

melihat api dengan kedua mata kepalanya sendiri, bukan dengan melihat

asap lalu dia berargumentasi dengan menggunakan argumentasi hushuli

(argumentasi yang berpijak di atas gambar sesuatu, bukan hakikat dari

sesuatu ini—Peny.) bahwa melalui keberadaan asap tersebut dapat dipastikan

adanya api, melainkan kehebatan adalah ketika manusia mampu melihat api

kiamat sementara dia masih di dunia. Bukan dengan berkata: Adanya asap

ini pasti sebagai tanda adanya api.

Apabila tanda-tanda api kiamat mendorong kita untuk meyakini

kiamat dan api kiamat, maka hal itu bukanlah suatu kehebatan. Orang

yang hebat (al-fannan) itu dapat melihat Jahanam sejak sekarang dan juga

sekaligus melihat surga. Dia tidak peduli(baca: tidak perlu meng gunakan—

Peny.) masalah-masalah yang berkaitan dengan ‘Ilmu hushuli (hadirnya

gambaran sesuatu pada seseorang—Peny.) dan berargumentasi melalui atsar

(pengaruh) dan muatsir (yang mempengaruhi), dan seterusnya. (seperti

p:183

adanya asap (atsar) dipengaruhi oleh adanya api (muatsir)—Peny.) Dan

“nilai seseorang(tergantung kepada) apa yang dianggapnya baik”.(1) Nilai

setiap manusia sesuai dengan kemampuannya (fannuh), dan sesuai dengan

kadar manifestasi al-haq dalam ruh manjadi di mana dia akan mempunyai

hubungan dengan esensi kadar manifestasi tersebut bersama Pencipta alam

(mabda’ al-‘alam), dan juga bersama Hari Kemudian.

Pada akhirnya, dia akan berkata ini dengan sesuatu yang azali dan

abadi. Dan pada puncaknya, dia akan menjadi manifestasi dari Allah yang

tidak akan mati selamanya. Dan kita supaya merasakan manifestasi

Allah (al-mabda’) secara lebih baik dan agar kita datang dengan cara yang

terbaik, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mengenakan pakaian

al-haq. Pertama-tama, kita mengenal kebenaran (al-haq), kemudian kita

menerimanya dan kita tidak melakukan perbuatan kecuali yang benar dan

kita tidak berbicara kecuali yang benar. Karena, pengenalan kebenaran

(ma’rifah al-haq) tidak terbina kecuali melalui pelaksanaan tugas-tugas yang

benar.

Hari kiamat adalah hari kebenaran, “Itulah hari yang benar” (Q.S.

an-Naba’: 39). Manusia yang mengenakan pakaian kebenaran akan mengetahui

hari kebenaran, orang-orang yang melakukan kebatilan tidak dapat

mendapatkan keakraban (al-uns) bersama Hari Kiamat dan tidak akan

mengetahuinya. Orang yang dalam dirinya tidak terdapat manifestasi alhaq

tidak akan mengetahui Hari Kiamat dan ma’ad, dia tidak memiliki alaalat

pengetahuan (adawat al-ma’rifah). Dia—dengan tolok ukur apa—dapat

menimbang kiamat? Oleh karena itulah, Allah Swt berkata kepada penutup

para nabi Saw. bahwa sesungguhnya pengetahuan terhadap hakikat-hakikat

ini tidaklah mudah bagi mereka, karena hati mereka tertutup darinya. Hal ini

disebabkan mereka telah menutup anugerah Ilahi (al-lathifah al-ilahiyyah)

itu dengan dosa-dosa dan tidak adanya keyakinan serta melakukan amalan-amalan

yang batil. Dan ketika anugerah Ilahi tersebut tetutup dengan

penutup tebal dari dosa-dosa, maka saat itu Anda tidak akan dapat melihat

manifestasi kebenaran (zhuhur al-haq).

p:184


1- 27 Diwan Imam Ali as, hlm. 7.

p:185

Pelajaran XIII

Barzakh, Ruh yang Immateri, dan Perubahan, serta Ketetapan

p:186

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Kiamat dalam pandangan Al-Qur’an al-Karim—sebagaimana

dijelaskan sebelumnya—adalah hari penyingkapan kebenaran—“Itulah

hari yang benar” (Q.S. an-Naba’: 39). Dan tempat yang di dalamnya alhaq

memanifestasi, tidak terdapat di sekitarnya perselisihan yang dibenarkan

(ikhtilaf shahih) sebagaimana tidak akan terjadi perselisihan seputar masalah-masalah

lain yang terjadi pada Hari itu, karena manifestasi kebenaran

sebagaimana tidak akan terjadi perselisihan seputar masalah-masalah lain

yang terjadi pada Hari itu, karena manifestasi kebenaran sebagaimana

meniadakan pengingkaran apa pun dan keraguan apa pun tentang dirinya,

maka ia juga meniadakan segala bentuk pengingkaran dan keraguan tentang

masalah lain yang terwujud di sana.

Oleh karena itu, Al-Qur’an mengungkapkan bahwa tidak ada keraguan

sedikit pun pada Hari Kiamat—“Tidak ada keraguan di dalamnya” (Q.S. Al-

Baqarah: 2). Tidak ada keraguan dalam bentuk apa pun, tidak mungkin

terdapat keraguan pada Hari Kiamat karena ia adalah hari kebenaran. Tidak

terdapat pengingkaran dan keraguan sama sekali tentang salah satu masalah

dari hari itu karena ia adalah hari penyingkapan kebenaran. Dari sisi inilah,

Al-Qur’an menamakan kiamat dalam surat an-Naba’ sebagai: Hari Kebenaran

(“Itulah hari yang benar’) dengan pengertian bahwa di sana terdapat kiamat

bukan dengan pengertian, bahwa Hari Kiamat adalah realitas yang benar

dan bukan dengan pengertian bahwa hari ini adalah hari yang benar, tetapi

dengan pengertian bahwa kiamat adalah hari penyingkapan kebenaran yang

sempurna atas al-haq.

Hakikat kiamat tidak dapat diragukan, situasi pada Hari Kiamat juga

tidak dapat diragukan, (keraguan itu dimungkinkan) pada salah satu hal

yang berkenaan dengannya. Pada Hari Kiamat segala bentuk peselisihan

akan berakhir, baik perselisihan tentang kiamat itu sendiri atau perselisihan

pada masalah-masalah lain. Inilah dunia dalam berita yang paling penting.

Al-Qur’an memperkenalkan kiamat sebagai Berita Besar (an-naba’ alazhim),

“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang

besar, yang mereka perselisihkan tentang ini” (Q.S. an-Naba’: 1—3). Sebagian

mereka yang memperselisihkan berita ini tidak menerima dasar adanya Hari

p:187

Kiamat, dan sebagian lagi mengingkari atau meragukan sebagian dimensinya

dan masalahnya.

Berita Besar ini adalah suatu kebenaran (haq), karena di dalamnya alhaq

menjelma, dan dengan penjelmaan-Nya segala bentuk perselisihan yang

kembali kepada diri-Nya akan selesai, begitu juga perselisihan yang kembali

kepada masalah-masalah lain. Apabila seseorang mau melalui jalan yang akan

mengantarkannya menuju al-Haq (Allah—Peny.), maka kesempatannya di

dunia ini cukup terbuka, “Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia

menempuh jalan kembali kepada Tuhannya” (Q.S. An-Naba’: 39). Oleh karena

di dunia tidak terdapat dua kebenaran. Argumentasi tauhid mengatakan: Di

dunia tidak terdapat dua kebenaran. Kebenaran itu sendiri hanya satu. Di

dunia tidak terdapat dua prinsip kebenaran atau dua hakikat kebenaran;

tidak ada dua kebenaran murni. Oleh karena itu, Hari Kemudian tidak lain

kecuali hari yang berkenaan dengan al-mabda’ (Allah—Peny.), dan manusia

berserta makhluk lainnya akan kembali hanya kepada Allah.

Kiamat tidak lain kecuali panampakkan total bagi Allah. Pada hari itu,

Allah mempunyai penampakan khusus; dan semua wujud dari langit, bumi,

dan manusia—meskipun hakikat-hakikat semuanya terjaga—dioperasikan

dengan sistem khusus di akhirat. Sebagaimana cahaya tidak menerima

pertentangan (ikhtilaf ) tentang dirinya dan apa yang dite ranginya; maka

dengan penampakan cahaya segala keraguan tentang dirinya dan apa yang

diteranginya akan sirna; begitu juga Hari Kiamat karena ia hari penyingkapan

kebenaran. Ini adalah Kebenaran Agung dan berita dunia yang signifikan

yang tentangnya manusia memperselisihkan.

Dengan penampakkannya, segala bentuk perselisihan akan berakhir;

baik perselisihan tentang Hari Kiamat itu sendiri, atau pada masalah-masalah

yang lain. Dan hal ini (kiamat—Peny.) terjadi secara langsung, tidak dengan

cara bertahap. Allah Swt tidak memandang Hari Kiamat sebagai hal yang

bertahap. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an: “Hari kiamat akan muncul

dengan tiba-tiba. Ia tidak muncul secara bertahap, tapi ia merupakan hal yang

spontan dan tidak berjenjang”.

Dalam surah Yusuf disampaikan kejadian-kejadian Hari Kiamat,

“Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka,

atau kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka

tidak menyadarinya”(Q.S. Yusuf: 107). Al-Qur’an berkata: Apakah mereka

merasa aman? Ah, keamanan yang bohong! Ah, keamanan yang menipu!

Akan datang azab Allah atau kiamat kepada mereka secara tiba-tiba, sedang

mereka tidak menyadarinya. Sesuatu yang bertahap akan membangkitkan

p:188

kesadaran dan menggugah manusia karena ia datang dengan pelan-pelan

dan secara berjenjang, karena itu masih ada kesempatan untuk sadar dan

bangun. Tetapi, kiamat akan muncul dengan mendadak tanpa bertahap.

Dinamika dunia (‘alam al-harakah) dan perahu besar memiliki alat-alat

dan perlengkapan-perlengkapan berlabuh; sebagaimana telah kami jelaskan”,

Bilakah ia (kiamat) akan berlabuh”(Q.S. Al-A’raf: 187). Yakni, kapankah

kiamat akan menjumpai pelabuhannya? Kapankah perahu dunia akan

menemui pelabuhannya? Kapankah topan ini akan tenang? Perahu lautan

alam yang berderu ini pada saat (mengalami) mobilitas tinggi (al-harakah

ad-daimiyyah) tidak akan pernah berlabuh, tetapi ia akan berlabuh ketika

mengalami stagnas (ketenangan). Dinamika dunia ini yang mengalami

penahapan tidak ada kiamat baginya; dunia dinamika selalu menuju suatu

tujuan dan ketika telah mencapai tujuan tersebut, maka ia akan berlabuh; dan

saat itu tidak ada topan dan tidak ada juga penahapan, namun ketenangan.

Oleh karena itu, Allah Swt menamakan Hari Kiamat sebagai masa

depan (mustaqbal) yang tidak ada keraguan di dalamnya—“Dan sesungguhnya

Hari Kiamat tidak ada keraguan di dalamnya” (Q.S. Al-Kahfi: 21). Akan

tetapi, ia (kiamat—Peny.) akan datang dengan tiba-tiba ketika penahapan

berakhir. Lalu, apakah penahapan yang telah bersudah itu akan mencapai

keadaan yang tiba-tiba (fuj’ah) yang mana ia berlawanan dengan penahapan (itu

sendiri) atau akan mencapai keadaan tetap (tsabat) yang berlawanan dengan

materi yang selalu berubah atau bergerak? Dan apakah dinamika alam ini

akan meriah tujuannya? Dan apakah tujuan yang tiba-tiba itu bertentangan

dengan penahapan? Ataukah ia adalah hal yang sekonyong-konyong yang

tidak akan meng alami penahapan dan tidak ada hubungan dengan sesuatu

yang berbau penahapan? Bagaimana bentuknya, kiamat akan muncul

dengan tiba-tiba—“Kiamat akan datang kepada mereka dengan tiba-taba”

(Q.S. Yusuf: 107).

Al-Qur’an al-Karim dalam ungkapan yang lain mengatakan: Kiamat

akan mendatangi manusia dengan tiba-tiba, dan mengatakan mereka. Ia tidak

datang dengan bertahap sehingga mereka dapat siap untuk menyambutnya,

namun ia datang dengan mendadak dan akan mencengang kan mereka.

Mereka akan melihatnya, lalu mereka akan berubah, dan mereka akan melihat

sistem yang tiba-tiba berubah menjadi sistem lain dan alam dunia menjadi

alam lain; segala bentuk dimensi kebatilan dan perselisihan akan tersingkap

dan akan tampak jelas apa yang mereka sembunyikan sebelumnya di dalam

hati mereka—“Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu

kejadian pun” (Q.S. an-Nisa’: 42).

p:189

Berita besar ini tidak terjadi dengan bertahap, tapi secara tiba-tiba dan

tetap (tidak berubah). Dan Rasulullah Saw. telah mengajak manusia kepada

al-haq (Allah—Peny.) Karena al-haq tidak lebih dari satu, yaitu Allah. Oleh

karena itu, beliau mengajak manusia ke Pencipta Alam (mabda’ al-‘alam)

dan mengajak mereka juga untuk meyakini ma’ad (Hari Kemudian). Oleh

karena Allah telah menciptakan alam yang luas ini dengan satu manifestasi

(zhuhur wahid) dan dengan manifestasi lain, alam luas ini akan dilalui, dan

sebagai gantinya akan diciptakan alam lain. Allah menciptakan langit dan

bumi dengan satu manifestasi “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi

tingkat” (Q.S. Insyqaq: 19) dan bumi diratakan “Dan bumi bagaimana

ia dihamparkan” (Q.S. Al-Ghasyiyah: 20) dan dengan manifestasi lain,

bentangan langit dan bumi dikumpulkan lalu diganti dengan langit dan

bumi lain. Hari ini memanifestasi dengan suatu nama, dan esok akan

memanifestasi dengan nama lain.

Rasulullah Saw. telah menyeru kafilah manusia kepada Penciptanya

dan kepada tempat kembalinya, “Hanya kepada-Nya aku seru(manusia)

dan hanya kepada-Nya aku kembali”(Q.S. ar-Ra’d: 36). Saya menyeru

manusia kepada Allah. Mengapa? Karena”Hanya kepada-Nya aku kembali”.

Tujuannya adalah kembali kepada-Nya, karena pulangnya dan kembalinya

kafilah hanya kepada-Nya. Oleh karena itu aku menyeru kepada-Nya,

“Aku menyeru (manusia) kepada Allah”. Tidak mungkin para nabi menyeru

manusia kepada sesuatu yang tidak memiliki peranan dalam perjalanan

kesempurnaan manusia dan menyimpangkan masyarakat manusia ke arah

lain yang menyesatkan, tetapi mereka hanya mengajak manusia kepada

sesuatu yang menentukan arah gerakan perjalanan masyarakat manusia; dan

ajakan(dakwah) ini berdasarkan hujah yang nyata (bashirah).

Rasulullah yang mulia Saw. telah dikhususkan dengan dua hal ini.

Ketika Al-Qur’an mengatakan “Aku dan orang-orang yang mengikutiku

mengajak (manusia) kepada Allah dengan hujah yang nyata”(Q.S. Yusuf:

108) ia (juga) mengatakan, “Kepada-Nya aku menyeru dan kepada-Nya

aku kembali”. Interprestasinya bukan beliau menyeru kepada dua esensi

kebenaran (Kami telah mengatakan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa

Kebenaran Mutlak hanya satu dan tidak berbilang). Nabi yang mulia Saw.

menyeru kepada kebenaran murni dan kebenaran murni itu hanya satu,

dan Yang Satu itu adalah Pencipta (mabda’) alam dan sekaligus tempat

kembalinya (ma’ad).

Apabila Hari Kiamat dikatakan sebagai hari kebenaran, maka segala

urusan yang berkenaan dengan hari itu adalah kebenaran; baik timbangan

p:190

nya, sinarnya, hisabnya, pembagian buku amalnya, surga dan neraka nya,

dan semua urusan lainnya juga merupakan kebenaran (haq). Jelas sekali pada

majelis terdahulu bahwa hari itu bersifat abadi dan tidak ada sesuatu yang

abadi kecuali kebenaran (al-haq) secara sempurna. Dan tidak ada tempat

selain kebenaran pada Hari itu, karena kebatilan tidak akan abadi.

Al-Qur’an al-karim memperkenalkan manusia sebagai wujud yang

abadi, dan ia (Al-Qur’an) berbicara kepada orang-orang yang meyangka

bahwa manusia akan binasa dengan kematian, dengan mengatakan:

Seseorang tidak akan pergi begitu saja setelah mati. Dan orang-orang yang

mengingkari kiamat, mereka tidak dapat mengemukakan satu dalil pun

untuk menafikannya. Orang-orang yang mengingkari kiamat–sebagaimana

komentar mereka dimuat dalam Al-Qur’an al-Karim, mengingkarinya dalam

kisaran keheranan dan menganggap jauh, bukan dalam kisaran argumentatif.

Sekarang, juga demikian; para pengingkar kiamat tidak memiliki dalil untuk

menampik kiamat dan keheranan mereka adalah apakah dapat mereka yang

telah mati untuk kembali hidup kedua kalinya? Mereka mengira bahwa

manusia akan binasa setelah mati.

Oleh karena itu, Al-Qur’an ketika menukil pembicaraan mereka,

menga takan: Pengingkaran mereka berdasarkan anggapan jauh dan hanya

takjub—“Dan kami sekali-kali tidak meyakininya”. Mereka tidak memiliki

keyakinan tentang tidak adanya Hari Kemudian. Pembicaraan mereka sangat

tidak meyakinkan dan tidak argumentatif, tetapi sekadar keheranan. Mereka

mengatakan: ini hal yang menakjubkan ketika orang-orang yang mati akan

kembali hidup kedua kalinya, mereka telah lupa bahwa manusia semula

juga tidak berupa apa-apa; Allah-lah yang memberi mereka kehidupan dan

keberadaan, “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,

sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut” (Q.S. Al-

Insan: 1). Yakni, bahwa pada suatu tahapan, manusia semula tidak berupa

apa-apa, dan pada tahapan yang lain, ia tidak berupa sesuatu yang layak

disebut, dan Allah-lah yang memberinya kehidupan dan keberadaan.

Maka, bagaimana mereka dapat berpikir dan mengira bahwa kiamat

ini adalah hal yang menakjubkan bagi Dia Yang Mahakuasa dan Yang

kekuasaan-Nya mutlak? Al-Qur’an berkata: Sesunguhnya kalian tidak akan

hilang begitu saja dengan kematian. Tentara-tentara Allah dan para malaikat

(rusulul maut) akan mematikan seluruh hakikat kalian, dan kematian

kalian bukanlah kefanaan namun hanya wafat. Yakni, para malaikat akan

mematikan semua hakikat kalian di saat kematian, kemu dian kalian akan

mati, tapi kalian tidak akan pergi begitu saja, dan sesuatu yang ada pada

p:191

kalian tidak akan sia-sia. Bukan berarti bahwa kalian ketika mati akan

menjadi fana, lalu Allah akan menghidupkan kalian kembali dari ketidak

adaan mutlak. Oleh karena itu, kalian sama sekali tidak akan binasa, namun

kalian akan berpindah dari satu tahapan ke tahapan berikutnya.

Apabila pada Hari Kiamat Allah Swt akan mengembalikan orang-orang

kepada kehidupan kedua kalinya, maka Dia Mahakuasa atas hal itu, namun

manusia tidak akan mengalami kefanaan selamanya, ia adalah abadi. Terdapat

beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa orang yang

syahid itu hidup dan ayat-ayat ini menjelaskan masalah ini, yaitu bahwa ruh

manusia tidak akan pernah hilang dan mati, hanya jasad yang akan hancur

sedangkan ruh tidak akan binasa dan hancur, Al-Qur’an al-Karim berkata

tentang orang syahid, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang

yang gugur di jalan Allah(bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya)

mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menya dari nya” (Q.S. Al-Baqarah: 154)

Janganlah kalian berkata tentang para syuhada bahwa mereka mati, tetapi

pada hakikatnya mereka itu hidup dan kalian tidak akan mengetahui hal

tersebut. Kalian tidak mengetahui tempat kekekalan ruh si syahid karena ia

lebih halus daripada rambut.

Al-Qur’an juga berkata ketika menceritakan kekekalan ruh

si syahid, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan

Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat

rezeki” (Q.S. Ali ‘Imran: 16). Terkadang si syahid memperoleh kesyahidan

melalui peristiwa terbakar dengan api, dan terkadang melalui tertembak

di tubuhnya dengan peluru yang menjadikannya meninggal dunia, dan

terkadang dengan menjadi umpan bagi ombak topan laut lalu ia mati

tenggelam, atau dengan sebab yang lain. Akan tetapi, dengan semua sebab itu

si syahid tetap hidup. Dan ayat-ayat tersebut sebagai dalil atas immaterinya

(tajarrud) ruh si syahid. Akan tetapi, kehidupan sesudah kematian apakah

hanya dikhususkan bagi para syuhada atau tidak? Para nabi dan para

imam a.s. yang maqâm mereka lebih tinggi daripada para syuhada, tentu

mereka juga hidup setelah mati dan akan memper oleh rezeki dari sisi Allah.

Dengan demikain, ruh para nabi dan syuhada juga hidup. Atas dasar

ini, para nabi, wali-wali Allah, dan para syuhada mereka semua hidup di

sisi Allah. Kemudian,, bagaimanakah keadaan orang-orang Mukmin yang

lain? Dan apakah kesyahidan menyebabkan immaterinya ruh? Apakah ruh

si syahid—pada saat sebelum dikaruniai kesyahidan—berupa materi dan

berubah setelah kesyahidan menjadi immateri sehingga dikatakan bahwa

orang yang syahid itu pada hakikatnya hidup sedangkan selainnya akan

p:192

binasa dengan kematian? Dan apakah dua orang yang pergi ke medan perang,

ruh salah satunya materi dan yang lain immateri? Atau ruh keduanya materi,

namun ruh si syahid itu yang non-materi? Atau ruh si syahid juga immateri

seperti ruh selainnya, tapi ruh materi ini mempunyai kehidupan sesudah

kematian? Dan apakah dua orang yang pergi ke medan perang, ruh salah

satunya materi dan yang lain immateri? Atau ruh keduanya materi, namun

ruh si syahid itu yang non-materi? Atau ruh si syahid juga materi seperti

ruh selainnya, tapi ruh materi ini mempunyai kehidupan sesudah kematian?

Masalah memang demikian, ataukah malah tidak ada satu pun dari beberapa

kemungkinan tersebut? Melainkan ruh semua manusia immateri?

Apabila manusia menjadi umpan bagi api yang membakar seperti kasus

orang-orang Mukmin yang membuat parit (ashab al-ukhdud) yang mana

mereka dibakar di dalam lubang dan mereka berubah menjadi abu, maka

apakah masih tersisa satu atom dari atom-atom badan mereka agar menjadi

hakikat mereka, dan agar atom ini hidup di sisi Allah dan dikaruniai rezeki

atau tidak? Dan badan ini yang semua atomnya telah terbakar tidak akan

mempengaruhi ruhnya dan ruhnya tetap hidup, dan ruh yang immateri ini

akan tetap hidup dan dikaruniai rezeki di sisi Allah? Misalnya, ruh si syahid

di dalam barzakh dan pada Hari Kiamat besar akan dikembalikan kedua

kalinya ke badan dan ia akan memperoleh kehidupan baru di dalam badan

manusia yang di dunia (nafsul badan ad-dunyawi), dan apakah ruh ini yang

hidup setelah kematian ini berbentuk materi dan berada di sisi Allah?

Jika memang demikian, maka konsekuensinya adalah bahwa terdapat

sesuatu yang materi pada haribaan Allah Swt, dan itu juga memiliki

konsekuensi bahwa Allah—kita berlindung kepada Allah dari hal itu—

adalah sesuatu yang berupa materi. Dan apabila Dia berupa materi, maka

sesuatu yang ada di sisi-Nya dan di dekat-Nya juga berupa materi. Ayat

tersebut mengatakan bahwa ruh di syahid hidup, yakni meskipun seluruh

atom badannya hancur, namun ruhnya tetap utuh dan tidak terkena sedikit

pun gangguan. Dan kapan pun seseorang gugur sebagai syahid dengan sebab

alam apa pun, seperti karena air atau api atau karena sebab-sebab kematian

yang lain, maka ruhnya tetap hidup, bahkan seandainya seluruh atom

badannya terbakar, maka ruh yang bersangkutan tetap hidup.

Ini tidak seperti problem yang memakan dan yang dimakan (syubhah

akil wal mam’kul) sehingga dapat dijadikan jawaban atasnya bahwa selsel

yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) dari badan setiap orang bukanlah bagian

dari sesuatu benda yang dimakan. Tidak, meskipun seluruh atom badannya

terbakar dan menjadi abu, maka tidak dapat dikatakan bahwa hakikat

p:193

manusia adalah rangkaian dari atom-atom yang tidak terbakar. Sesungguhnya

ini bertentangan dengan musyahadat (hal yang diketahui oleh hati), mahsusat

(hal yang dirasakan oleh panca indra), dan badihiyat (hal yang jelas). Ruh

si syahid tetap hidip walaupun seluruh atom badannya hancur terceraikan.

Kesimpulannya, ruhnya non-materi Kekekalan setelah kematian

ini tidak khusus berlaku untuk para syuhada, namun para nabi dan para

imam a.s. yang mana maqâm mereka lebih tinggi daripada maqâm para

syuhada juga memiliki ruh yang non-materi. Non-materinya ruh tidak

khusus berlaku untuk si syahid karena kesyahidan tidak menyebabkan non-materinya

ruh. Begitu juga, tidak dapat diterima pendapat yang mengatakan

bahwa ruh si syahid semula berupa materi lalu berubah menjadi non-materi

pada saat setelah kesyahidannya. Namun, manusia mempunyai ruh yang

non-materi. Manusia—dengan kematian—akan berada di salah satu taman

dari taman-taman surga atau berada di salah satu lubang dari lubang-lubang

neraka, adakalanya ruhnya di alam barzakh mendapatkan nikmat bersama

badan akhiratnya (al-badan al-barzakh) atau malah disiksa bersama badan

akhiratnya sehingga tiba hari kiamat besar di mana Allah akan menghidupkan

keadaan yang pertama itu.

Ketika orang kafir yang berperasangka buruk menjadi umpan bagi

topan laut lalu jasadnya menjadi dingin di jurang laut itu, maka ruhnya

berada di Jahanam. Dan api barzakh merupakan api yang dapat membakar di

dalam topan lautan, Allah berfirman tentang kaum Nabi Nuh, “Disebabkan

kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke

neraka” (Q.S. Nuh: 25). Kaum Nuh ditenggelamkan karena dosa mereka

yang lalu, dan setelah penenggelaman, mereka dibakar di dalam api. Urutan

dalam ayat tersebut menggunakan kata “fa” buka menggunakan kata

“tsumma”, yakni bahwa mereka langsung dibakar setelah ditenggelamkan.

Orang-orang kafir yang menjadi umpan kemarahan topan laut itu juga

menjadi umpan api setelah jasad mereka mendingin di dalam gelombang

topan yang mengerikan. Api barzakh (an-nar al-barzakhiyah) ini juga

terdapat di dalam lautan. Apabila seorang kafir yang berbuat dosa dan

beperasangka buruk mati di dalam laut, maka bukan berarti di sana tidak

ada lubang api (neraka—Peny.). Sebagaimana orang-orang Mukmin yang

membuat parit (ashab al-ukhdud) yang mana mereka dibakar di dalam parit

itu dan jasad mereka berubah menjadi salah satu taman dari taman-taman

surga, “Sesungguhnya kuburan itu adakalanya berupa taman dari taman-taman

surga atau berupa galian dari galian-galian Jahanam”.(1) Dan kuburan

p:194


1- 28 Al-Jami’ ash-Shaghir, juz 1 hlm. 63.

yang merupakan barzakh adakalanya berupa taman yang hijau atau lubang

dari lubang-lubang jahanam.

Dalam surah Nuh juga disebutkan tentang orang-orang yang

berdosa yang ditenggelamkan dengan topan, “Mereka ditenggelamkan

lalu dimasukkan ke neraka”. Begitu juga orang-orang Mukmin dari ashab

al-ukhdud yang mana mereka dibakar dengan api, tapi (alam) barzakh

(yang mereka alami) dan kuburan mereka adalah “taman dari taman-taman

surga”. Bukankah wujud manusia (hanya) berupa badan (fisik) yang

semua komponennya tunduk terhadap anatomi di ruang laboratorium,

atau badan yang atom-atomnya akan hilang ditelan bumi sehingga para

pengingkar Hari Kemudian mengatakan, “Apakah bila kami telah lenyap

(hancur) di dalam tanah, maka kami benar-benar akan dibangkitkan”, lalu

Allah menjawab mereka, “Katakanlah: malaikat maut yang diserahi untuk

(mencabut nyawamu) akan mematikan kamu” (Q.S. As-Sajdah: 11). Maka,

malaikat maut yang ditugaskan untuk mencabut ruh kalian akan mematikan

seluruh hakikat kalian. Kalian akan mati tetapi tidak akan binasa

(fana), di alam tidak terdapat kefanaan, malaikat yang mematikan kalian itu

akan mematikan semua hakikat kalian dan tidak akan menyisakan sedikit

pun sesuatu dari kalian, ”Ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan

malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya” (Q.S. Al-An’am:

61). Para malaikat maut akan mematikan hakikat si mayat yang mana mereka

tidak mengabaikan sesuatu pun darinya.

Dengan demikian, sesuai dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surah

Al-Baqarah dan Ali ‘Imran, ruh manusia itu benar-benar immateri. Yang

demikian ini tidak hanya khusus bagi si syahid; orang-orang yang memiliki

ruh yang lebih tinggi dari para syuhada atau lebih rendah atau sama

dengan mereka, maka ruh mereka juga immateri. Namun, ruh yang immateri

ini mempunyai bagian-bagian dan tingkatan-tingkatan . Manusia—

setelah kematian—adalah tamu bagi ‘ulas meja’ (baca: amal—Peny.)

yang dibawanya, yang kadangkala mengantarkannya kepada taman surga

meskipun dia menjadi syahid di tangan orang kafir dengan cara dimasukkan

dalam api dunia, atau berada di kubangan api meskipun dia mati di kebun

yang indah, atau berada di dalam jilatan api barzakh meskipun dia mati di

dasar lautan dan di dalam air. Ini menunjukan bahwa manusia bukan hanya

terdiri dari bentuk fisik ini yang tunduk kepada anatomi di laboratorium.

Al-Qur’an al-karim—untuk menetapkan bahwa manusia dengan

kematiannya akan melalui satu sisi dari sis-sisi alam dan dia akan mengetahui

dan mencapai sisi lain darinya dan akan memasukinya—menga takan,

p:195

“Dan di belakang mereka ada barzakh sampai mereka dibangkitkan” (Q.S. Al-

Mukminun: 100). Setelah kematian dan meninggalkan alam fisik (dunia), di

sana ada kehidupan pertengahan antara dunia dan kiamat besar, kiamat kecil

sampai Hari Kiamat dan kebangkitan umum (al-ba’ts al-‘am), dan itu masih

dalam batasan kehidupan barzakh.

Semua manusia hidup, dalam kondisi bagaimanapun mereka tetap

hidup, dan manusia selalu dalam keaadan berjalan dan bergerak. Kafilah

manusia yang bergerak tidak dapat dilenyapkan di tengah jalan. Kematian

bukan berarti penyisipan ketidak adaan (takhalul al-‘adam) antara yang

bergerak dan tujuan, sehingga kafilah ini binasa di tengah-tengah jalan dan

setelah ketidak adaan kepadanya maka keluar dari ketidak adaan, yakni

bahwa tidak ada pemisah ketiaadaan antara kafilah ini dan tujuannya,

sehingga kematian manusia terhenti di sudut ini dan menjadikan tujuan

berada di sudut kemacetan (mudayyiq) yang lain, tetapi kematian adalah

perjalanan kafilah ini ke arah tujuan.

Apabila dalam riwayat (hadis) disebutkan pernyataan ini “Sesungguhnya

kalian berpindah dari satu rumah menuju rumah yang lain”, maka dasar

Al-Qur’annya adalah, ”kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau”

(Q.S. Al-qiyamah: 3). Al-Qur’an berkata ketika menjelaskan proses kematian

manusia, “Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak)

sampai kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), ‘Siapakah yang dapat

menyembuhkan,’ dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan

(dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada

Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau” (Q.S. Al-Qiyamah: 26—30).

Yakin, bahwa ketika jiwa (ruh) sampai ke tenggorokan dan kedua betisnya

saling bertaut satu dengan yang lain, maka orang yang mendekati kematian

memahami bahwa “Kepada Tuhanmulah kamu dihalau”. Waktu kematian

dan hari perpindahan dari dunia ke barzakh, penggiringan kepada Allah dan

perjalanan menuju Allah sudah sangat dekat. Maka, tidak ada sedikitpun

kefanaan, namun hanya kematian.

Pada saat kematian dan kebebasan dari jasad, manusia digiring menuju

Allah, dan gerakan ini meneruskan perjalanan menuju rumah ketetapan

(dar al-qarar) menuju Allah—“Hanya kepada Tuhanmu pada hari itu tempat

kembali” (Q.S. Al-Qiyamah: 12). Ketetapan(tempat kembali) berada pada

haribaan Allah. Dan dunia adalah tempat berlalu dan tempat penyeberangan.

Dalam perkataan Ali bin Abi Thalib a.s. dikatakan bahwa dunia adalah

tempat berlalu dan jembatan penyeberangan, sedangkan akhirat adalah

tempat ketetapan, “Ambillah (bekal) dari tempat penye berangan kalian

p:196

untuk tempat menetap kalian”.(1)

Dunia adalah tempat penyeberangan,

sedangkan tempat ketenangan di sana (akhirat), dan setiap manusia akan

sampai di sana (akhriat) dan akan merasakan kete nangan di dalamnya.

Ungkapan bahwa ketetapan dan tempat menetap di sana, dan pada

saat kematian (manusia) digiring ke sana menunjukkan bahwa manusia

tidak akan mengalami kefanaan dan kematian bukan berarti kefanaan

dan pemisah antara kafilah manusia yang selalu dinamis dan tujuannya,

melainkan kafilah ini akan terus berjalan seperti ini. Dan nampak dengan

jelas bahwa kelanjutan perjalanan dan kelanjutan kehidupan tidak sesuai

kecuali dengan disertai immaterinya ruh manusia yang terbebaskan dengan

kematian dari badan duniawi, dan Allah Swt akan merahmatinya di dalam

barzakh fisik (al-barzkah al-badani) yang cocok dengan nya dan ia menjadi

tenang (al-hadi’), sehingga orang(yang bersangkutan) akan berhubungan

kedua kalinya dengan badannya pada Hari Kiamat besar dengan izin Allah.

Apabila hubungan ini tidak terpisah dengan apa pun dan terus-menerus,

maka hal itu tidak sesuai kecuali dengan immaterinya ruh.

Di dalam Al-Qur’an al-Karim terdapat dalil-dalil lain tentang

immaterinya ruh para nabi dan para wali. Ketika Ruh al-Amin (Jibril)

turun dengan membawa wahyu Ilahi, maka yang menjadi tempat penerimaan

wahyu Ilahi adalah hati suci Rasulullah, “Dia dibawa turun oleh ruh

al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah

seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (Q.S. asy-Syu’ara:

193—194). Hati Rasul yang mulia yang menjadi tempat turunnya para

malaikat ilmu tidak dapat berupa sesuatu yang bersifat materi. Dan hati

itu yang merupakan anugerah Ilahi adalah hakikat seluruh manusia yang

berhubungan dengannya.

Seseorang yang melakukan kesalahan, seseorang yang menyimpan

kepercayaan yang sesat, apabila dia menyembunyikan kesaksian yang benar

di mahkamah keadilan (di akhirat—Peny.), maka dia melakuan dosa, “Dan

barang siapa yang menyembunyikannya , maka sesungguhnya ia adalah orang

yang berdosa hatinya” (Q.S. Al-Baqarah: 283). Dosa bukanlah sesuatu yang

bersifat materi, dan hati pendosa tidak dapat menjadi sesuatu yang materi.

Perselisihan akidah, pemikiran, pencapai ilmu, dan perubahan jalan semua

masalah ini berkaitan dengan perbuatan-perbuatan pikiran, hati, dan akal

yang tidak mungkin berupa sesuatu yang materi.

Ringkasnya, Al-Qur’an al-Karim mengenalkan masalah-masalah ini

sebagai sesuatu yang tejadi di tengah jalan, maka tidak ada sesuatu yang

p:197


1- 29 Nahjul Balaghah, Subhi Sholeh, hlm. 493.

sia-sia (fana). Oleh karena tidak ada sesuatu yang fana, maka kekekalan ini

tidak sesuai dengan hakikat manusia yang materi. Kalau begitu, manusia

di samping badan materinya, ia juga memiliki ruh yang non-materi. Dan

persoalan-persoalan kerasionalan yang dikemukakan untuk menetapkan

non-materinya ruh dalam padangan Al-Qur’an al-Karim dan pendapat-pendapat

para imam Ahlulbait bukanlah pembahasan-pembahasan rasional

dan idiomatis (al-isthilahiyah) yang di dalamnya tersendiri (independen) dan

kajian tafsir tematis (at-tafsir al-maudhi’i) juga bersifat independen darinya.

Apabila pandangan Al-Qur’an al-Karim menyatakan bahwa setiap

manusia memiliki barzakh, apabila ia memberitahukan bahwa ruh para

syuhada hidup, apabila Al-Qur’an al-Karim menetapkan immaterinya ruh

para syuhada dan menyatakan hal yang sama bagi orang-orang yang lebih

tinggi maqâm mereka daripada para syuhada, yaitu para nabi dan para imam

Ahlulbait, dan apabila tidak rasional perkataan yang menga takan bahwa

kesyahidan menyebabkan non-materinya ruh sehingga ruh itu pada saat

sebelum kesyahidan berupa materi kemudian sesudahnya berubah menjadi

non-materi, dan seterusnya, maka semua ini menunjuk kan tentang non-materinya

ruh manusia. Dan ruh yang non-materi ini yang siapa saja yang

mengenalnya berarti mengenal Tuhan-Nya dengan pengenalan yang terbaik,

bukan sekadar “Siapa yang mengenal dirinya berarti mengenal Tuhannya”.(1)

Akan tetapi, “Yang paling mengenal Tuhannya di antara kalian adalah orang

yang paling mengenal dirinya”. Hal ini sesuai dengan argumentasi inni(2) dan

sekaligus argumentasi limmi, yakni bahwa barang siapa yang lebih mengenal

Tuhannya, maka dia berarti lebih mengenal dirinya. Atau sebaliknya, barang

siapa yang lebih mengenal dirinya, maka pasti dia lebih mengenal Tuhannya.

Dan semua ini sebagai petunjuk-petunjuk tentang kekekalan dan keabadian

ruh manusia, dan hal itu juga menunjukkan non-materinya ruh.

p:198


1- 30 Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim, juz 5 hlm. 194.
2- 31 Burhan inni adalah: Argumentasi yang langsung berangkat dari sebab(‘illah) menuju akibat(ma’lul), seperti: Allah adalah sebab keberadaan alam dan alam(yang dimaksud alam adalah segala sesuatu selain Allah, termasuk manusia) adalah akibat keberadaan Allah, sedangkan burhan inni adalah argumentasi yang berangkat dari akibat menuju sebab—pent.

p:199

Pelajaran XIV

Mengenal Jalan Makrifat dan Jalan Takwa

p:200

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Al-Qur’an al-Karim memandang bahwa pendidikan dan pelatihan ruh

manusia tergantung kepada makrifatnya. Manusia—sesuai dengan kadar

makrifat dan wawasannya—mampu mencapai kedewasaan (rusyd) dan sesuai

dengan kadar pengetahuan dan bashirah dan makrifat, maka dia tidak dapat

menyibak jalan dan tidak dapat juga mengindentifikasi tujuan. Dia harus

menyibak jalan dan menghindari halangan-halangan agar didapat berhijrah di

bawah pancaran cahaya makrifat-makrifat ini dalam rangka mencapai tujuan.

Kalau begitu, sebab yang paling penting dalam kematangan jiwa

manusia adalah ilmu dan makrifatnya, dan sebab yang paling berpengaruh

dalam kesempurnaannya adalah bashirah dan kesadarannya. Terkadang

ilmu dan makrifat ini diperoleh melalui belajar, mengkaji, bersekolah,

membaca, menulis, dan sebagainya. Terkadang juga, ia didapatkan melalui

pelatihan jiwa, ibadah, ketakwaan, penyucian ruh dari polusi alam, dan

sebagainya. Adakalanya ia diperoleh dari jalan dalam, dan adakalanya

diperoleh melalui jalan pendengaran dan penglihatan. Adakalanya melalui

jalan hati dan penyaksian, dan adakalanya juga melalui jalan belajar,

membahas, dan berpikir. Dan Al-Qur’an al-Karim telah menjelaskan dua

jalan dan mengidentifikasi tanda-tanda keduanya. Ia juga menerangkan

cara pengambilan manfaat dari keduanya, dan menunjukkan kekhususan-kekhususan

jalan hati.

Penggunaan jalan yang pertama, yaitu melalui jalan belajar, membahas,

mendengar, melihat, dan berpikir sangat bermanfaat dan berpengaruh.

Akan tetapi, ia dapat terkena pertentangan (takhalluf ). Adapun jalan

hati, pengaruhnya lebih besar dan tidak dapat terkena pertentangan, atau

seandainya terkena pertentangan, maka dalam batas yang sangat lemah.

Al-Qur’an telah mengemukakan di sebagian ayat-ayatnya kedua jalan

ini secara terpisah atau sendiri-sendiri, dan pada ayat-ayat yang lain ia

menunjukkan keduanya secara bersamaan. Hal ini dalam rangka merinci

dan mengidentifikasi satu jalan dan jalan yang lain dan menerangkan bahwa

keduanya sederhana (muyassarani) dan bahwa di antara keduanya juga

terdapat hubungan dan pertautan.

p:201

Al-Qur’an al-Karim menegaskan tentang jalan yang pertama yang

(diperoleh) melalui jalan belajar, membahas, mendengar, melihat, berpikir,

dan sebagainya karena ia lebih mudah daripada jalan yang kedua dan lebih

cepat serta lebih umum. Ia (Al-Qur’an) mengajak untuk men-tadaburkan

ayat-ayat Allah, merenung, dan berpikir. Ia juga menunjukkan nilai

dan pentingnya pendengaran dan penglihatan, serta mendorong dengan

memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu, belajar, dan mengajar.

Semua itu merupakan contoh yang menunjukkan bahwa betapa

seriusnya Al-Qur’an dalam memberikan perhatian terhadap jalan yang

pertama. Oleh karena itu, ia mengatakan: Mengapa kalian tidak memberikan

alam penciptaan? Mengapa kalian tidak men tadabur-kan bukti-bukti

kekuasan Allah di dalam? Mengapa kalian tidak memikirkan sistem yang

komprehensif(an-nizham al-kulli)? Mengapa kalian tidak merenungkan

dengan teliti masa lalu kalian dan masa kalian sekarang? Ayat-ayat seperti

ini mendorong manusia untuk berpikir. Dan setelah Allah memberi kita

alat-alat bepikir, baik berupa pendengaran, penglihatan, dan pikiran serta

mengenalkan kita dengan alat-alat ini, Dia berfirman, “Dia menjadikan

bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati” (Q.S. As-Sajdah: 9). Dia

menganugerahi kalian pendengaran dan penglihatan supaya makrifat-makrifat

mudah kalian peroleh melalui jalan membaca dan menulis serta

belajar dan mengkaji. Begitu juga Dia mengaruniai kalain hati agar kalian

dapat memikirkan dan mengingat-ingat makrifat itu.

Setelah dia menjelaskan pentingnya pendengaran, penglihatan,

dan hati, Dia mendorong manusia untuk menggunakan alat-alat ini dan

Dia bertanya-tanya tentang sebab tidak adanya pendayagunaan karunia

tersebut. Ayat-ayat semacam ini cukup banyak. Terkadang ia (Al-Qur’an)

berkata: Mengapa kalian tidak memikirkan diri kalian sendiri? Adakalanya ia

mengatakan: Mengapa kalian tidak memikirkan sistem eksternal (an-nizham

al-khariji)? Penelitian terhadap ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk

berpikir, menuntut ilmu, dan merenung merupakan bukti (dalil) akan

perhatian Al-Qur’an dengan jalan yang pertama.

Adapun jalan yang kedua, yaitu jalan yang diperoleh melalui hati

bukan melalui belajar dan membahas. Dengan kata lain, jalan yang diperoleh

melalui amal bukan melalui ilmu, jalan penyikapan bukan jalan perkataan

dan penulisan, jalan penyaksian (syuhud) bukan jalan pedengaran, penulisan,

pembacaan, dan lain sebagainya. Oleh karena ia jalan yang cukup sulit dan

sedikit sekali dari manusia yang mampu mencapainya, maka Al-Qur’an

al-Karim telah menjelaskan jalan ini kepada orang-orang yang istimewa

p:202

(alauhadi minal basyar) dan orang-orang khusus dari wali-wali Allah, dan

Dia telah mengingatkan tentang tingkat kesulitannya namun manfaatnya

banyak dan pertentangan (takhalluf ) di dalamnya sedikit.

Dalam surah Al-Anfal terdapat penjelasan tentang jalan ini, “Hai

orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia

akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu

dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia

yang Besar” (Q.S. Al-Anfal: 29). Dan sebaik-baik panggilan(khitab)

dari Allah kepada manusia dalam Al-Qur’an adalah, “Wahai

orang-orang yang beriman”, Allah memanggil mereka sebagai orang-orang

yang beriman. Dia memanggil dengan melihat keyakinan mereka kepada-

Nya. Wahai orang-orang yang beriman di dunia, wahai orang-orang yang

meyakini keberadaan Allah (al-mabda’) dan Hari Kemudian, wahai

orang-raong yang meyakini adanya Allah, Rasul-Nya, dan Hari Kiamat,

wahai orang-orang yang ruh kalian tecerahkan dengan keyakinan ini.

Apabila kalian mengetahui sesuai dengan keyakinan ini dan ketika

kalian menginjakkan kaki kalian di jalan akidah ini, dan jika kalian men jaga

ketakwaan ini, maka Allah Swt akan mengampuni kemaksiatan-kemaksiatan

kalian yang lalu dan kalian akan menjadi orang-orang yang berada di bawah

cucuran rahmat-Nya yang khusus, dan Dia akan memberi kalian cahaya

yang dengannya kalian dapat memisahkan antara yang hak dan yang batil,

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya

Dia akan memberikan kepadamu furqan”.

Apabila kalian bertakwa kepada Allah dan kalian berhasil menjaga

diri kalian dari sikap melanggar perintah-perintah Allah dan kalian dapat

meninggalkan dosa-dosa sebagai bentuk penghormatan kepada Allah atau

kalian meninggalkan hal-hal yang berlawanan dengan akal juga sebagai

bentuk penghormatan kepada kemuliaan Allah—“Jika kamu bertakwa

kepada Allah—apabila kalian melakukan perhitungan terhadap perbuatan

kalian agar dicintai oleh Allah dan kalian berusaha untuk taat kepada-Nya

dan meninggalkan kemaksiatan, dalam rangka menggapai rida

Allah, dan tidak ada tujuan lain di balik amalan-amalan kalian selain Allah,

maka Allah akan mengaruniai kalian berkat (al-barakah) ini, “Dia akan

memberikan kepadamu furqan”. Allah akan memberi kalian cahaya yang

dengannya kalian dapat memisahkan antara yang hak dan yang batil. Yakni,

apabila ada orang yang turut serta di dalam ‘madrasah takwa’ dan keluar dari

madrasah ini sebagai orang yang takwa dan orang yang jujur, maka sama

sekali dia tidak akan menjadi bingung dalam mengidentifikasi masalah apa

p:203

pun, dan tidak akan berlambat-lambat dalam menyelesaikan suatu persoalan

yang disebabkan kebingungan, ia tidak akan terkena kebingungan dalam

persoalan pemikiran, tidak juga dalam masalah-masalah ilmiah. Juga tidak

bimbang dalam menuntaskan masalah-masalah sosial. Maka, ia sama sekali

tidak bingung dalam masalah apa pun karena sikap bingung adalah dampak

dari kebodohan, dan orang yang bodoh adalah orang yang bingung. Orang

yang tidak mengetahui (alias bodoh—Peny.) akan berdiam diri, sedangkan

orang yang mengetahui (alias pandai) akan bergerak. Kebingungan dan

kebimbangan adalah pengaruh dari kebodohan. Dan orang yang tidak

mengetahui itu berlambat-lambat karena ia tidak mengetahui apa yang

membahayakannya dan apa yang memberinya manfaat dan apa yang

membahayakan masyarakat dan apa yang bermanfaat. Orang yang tidak

memahami kebaikan dan keburukan itu mengalami kemandekan.

Orang yang tidak dapat memisahkan antara yang hak dan yang batil

itu menjadi ragu. Namun, orang yang dapat membedakan antara yang hak

dan yang batil, antara yang baik dan yang buruk, antara yang manfaat dan

yang mudarat, dan antara kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak akan

berlambat-lambat. Kebingungan dan keraguan atau penarikan kem bali

(ruju’) suatu keputusan adalah akibat dari kebodohan di mana manusia yang

bersangkutan tidak mengetahui kebaikan dan keburukan.

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang jelek untuk menuruti

hawa nafsunya padahal dia mengetahui bahwa perbuatan ini baik dan

perbuatan itu buruk, maka pada hakikatnya dia itu bodoh ditinjau dari

dimensi yang lain, karena ilmunya ini tidak seratus persen sempurna. Ia

mengira bahwa kelezatan saat ini akan memendam kerugiannya di masa yang

akan datang, dan ia menyangka bahwa memikul penderitaan di masa yang

akan datang lebih baik demi mendapatkan kelezatan saat ini. Sebaliknya,

jika ia memahami makna (hakikat) yang akan datang di mana ia mengeta

hui bahwa masa depannya akan dipenuhi dengan penderitaan yang sulit

untuk dipikul, dan bahwa kesengsaraan masa depan tersebut didorong oleh

kelezatan yang berlangsung (saat ini), maka tangannya tidak akan melakulan

kerusakan (baca: kemaksiatan—Peny.) sama sekali, dan dalam contoh seperti

ini tidak terdapat ilmu pasti (‘ilm qath’i).

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: janganlah kamu jadikan

ilmumu suatu kejahilan, apabila Anda mengetahui maka amalkanlah. Yakni,

teruskanlah ilmumu ke derajat yakin (derajatul yaqin). Dengan demikian,

segala bentuk kebingungan dan penarikan kembali (ruju’) suatu sikap adalah

akibat dari kepandiran. Al-Qur’an al-Karim berkata: Manusia harus memilki

p:204

furqan (pembeda antara yang hak dan yang batil. Peny.) agar ia tidak menjadi

tawanan kebingungan dan kebimbangan antara menetap atau kembali ke

belakang dan agar mereka dapat meneruskan jalan kesempurnaan mereka.

Yakni, mereka memiliki cahaya yang dengannya mereka dapat memisahkan

antara yang hak dan yang batil dan antara yang baik dan yang buruk; dan

lampu cahaya ini menjadi terang dengan kunci ketakwaan.

Al-Qur’an berkata bahwa jika kalian memakai baju ketakwaan, maka

cahaya itu akan kalian peroleh. Jika kalian mengamalkan apa-apa yang

kalian ketahui, maka akan menjadi jelas bagi kalian apa-apa yang tidak

kalian ketahui. Apabila kalian pergi sesuai dengan kemampuan kalian, maka

kalian akan diberi kemampuan lain untuk pergi ke pelbagai jalan yang

cukup banyak tikungan dan kalian akan diberi kekuatan untuk melalui

peringatan yang sangat sulit. Kalian tidak akan tertinggal selamanya, “Jika

kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberikan kepadmau furqan”

(Q.S. Al-Anfal: 29). Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Maka, jalan

takwa tidak akan terkena ketertinggalan, karena boleh jadi pada jalan yang

pertama, yaitu jalan berpikir terdapat ketertinggalan sebab mungkin saja

sebagian orang belajar namun mereka tidak menjadi orang lain, dan boleh

jadi juga mereka menjadi ulama, namun mereka tidak berhasil menjaga ilmu

mereka dan mencapai derajat tertentu, “Supaya dia tidak mengetahui lagi

sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya” (Q.S. Al-Hajj: 5). Dia sampai

ke usia lanjut (ardzal al-‘umur) dan mengatakan: “Aku telah lupa kepada

semua yang aku baca”. Akan tetapi, buah ketakwaan adalah bahwa manusia

akan mengatakan, “Tidak ada dalam hatiku kecuali pembicaraan tentang

Sang Kekasih (al-habib) yang aku ulang-ulangi”.

Mengapa pembicaraan tentang Kekasih tidak pernah hilang dari

memori manusia? Karena, Dia (Allah) selalu hadir selamanya jalan takwa

bukan berarti jalan yang terkadang berada di sisi manusia yang bertakwa dan

terkadang tidak berada di sisinya. Ia tidak seperti proses belajar di sekolah

yang terkadang seorang pelajar mendapatkan ilmu dan wawasan, dan pada

kali lain tidak mendapatkannya. Ia tidak juga seperti kitab dan penulisan

yang terkadang memuat pemikiran yang benar dan terkadang tidak. Ia juga

tidak seperti proses pembahasan dan studi yang terkadang mendapatkan

pemikiran baru dan terkadang tidak mendapatkannya.

Jalan takwa adalah jalan yang hasilnya pasti dan keabadiannya juga

pasti. Tidak mungkin seorang yang bertakwa tidak mendapatkan hasil apa

pun, dan tidak mungkin juga apa yang diperolehnya dari jalan takwa akan

sirna—“jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberikan kepadamu

p:205

furqan—karena takwa adalah wajah ruh yang bersih dan cermin ruh yang

jernih. Apabila cermin ini sunyi dari karat, dan apabila permukaan cermin

hati jernih dan apabila wajah ruh tanpa topeng, maka rahasia-rahasia alam

akan tersingkap baginya (manusia yang takwa—Peny.). Alam gambar-gambar

yang beraneka ragam adalah milik Sang Pelukis Abadi itu (Allah—Peny.)

dan permukaan cermin hati juga tembus cahaya (syaffafah) dan menyimpan

gambar (laqitha). Pengajar itu (Allah—Peny.) selalu mengucurkan karunai

(daim al-faidh) dan plajar itu (manusia—Peny.) siap dan mampu menerima

karunia tesebut. Oleh karena itu, pancaran (fuyudh) jalan takwa yang menjadi

bagian dari hati adalah sesuatu yang pasti dan abadi (qath’iyyah wa daimiyyah).

Ayat ini tema mengandung pancaran yang pasti lagi khusus(al-faidh alqath’I

al-makhsus) begitu juga keabadiannya. Sebagaimana disebutkan dalam

surah ke-65 ketika menjelaskan tentang hasil takwa, “Barang siapa yang

bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan

keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (Q.S.

ath-Thalaq: 2—3). Yakni, barang siapa menjaga takwa kepada Allah, maka

dia sama sekali tidak pernah bingung dalam hidupnya, dan jalan keluar dari

setiap masalah yang pelik dan berat akan terbuka baginya. Manusia yang

bingung adalah orang yang berada di tempat putaran yang tertutup. Manusia

yang bingung menurut kacamata Al-Qur’an adalah orang yang terkena azab

yang pedih—“Dan mereka selalu bingung dalam keraguan mereka” (Q.S. at-

Taubah: 45). Manusia yang bingung adalah orang yang mondar-mandir

di tengah-tengah kebingungannya. Sedangkan seseorang yang yakin dan

bertakwa, maka dia akan meneruskan jalan kesempurnaannya, sementara

seseorang yang bingung, maka dia akan terkungkung di dalam tempat yang

tertutup dan setiap jalan yang ditujunya untuk keluar telah dibuntu, lalu dia

kembali mundur ke belakang.

Terkadang manusia melewati suatu jalan dan tidak kembali lagi

darinya, dan terkadang ia melalui suatu jalan yang buntu lalu ia kembali

lagi darinya dan memilih jalan lain lagi yang dilihatnya, namun lagi-lagi

jalan itu buntu sehingga ia kembali lagi dari sana. Kembali yang berulangkali

(ar-ruju’ al-mutakarrar) ini disebut dengan mondar-mandir (tardid). Al-

Qur’an al-Karim bekata: sesungguhnya mereka orang-orang yang tersesat

yang tidak diberi jalan hati, setiap mereka ingin keluar dari suatu jalan, maka

mereka mendapatinya tertutup di depan mereka se hingga mereka kembali

lagi, mereka terkungkung dalam lubang keraguan dan kebingungan—“Dan

mereka selalu bingung dalam keraguan mereka”. Orang-orang kafir dan orang-orang

munafik pada saat merasa kan keraguan internal mereka, mereka

p:206

mondar-mandir untuk mencari jalan keluar yang tidak akan pernah mereka

temukan dari lubang kera guan, namun bagi orang yang takwa jalan keluar

tersebut terbuka di depannya.

Oleh karena orang-orang yang bertakwa melihat tujuan dan juga

merasakan lezatnya perjalanan di dalamnya, maka jalan itu terbuka bagi

mereka dan tujuan juga jelas bagi mereka, mereka melihat jalan dan

sekaligus mengetahui tujuan. Oleh karena itu Al-Qur’an berkata, “Barang

siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia memberinya jalan keluar” Q.S.

ath-Thalaq: 2). Allah-lah yang menyiapkan baginya jalan keluar dari setiap

kerumitan dan ia tidak akan pernah merasakan kebingungan dan keraguan.

Ia tidak akan merasa lebih karena jalan yang dilaluinya bersifat abadi, baru,

dan menyenangkan. Ia tidak akan merasakan kebingungan karena jalan itu

cukup jelas dan tujuan akan menarik si pejalan untuk segera mencapainya,

dan sebab gaib (as-sabab al-ghaibi) itu yang mendatangkan daya tarik pada

batin si pejalan, dan sesuatu yang menyebabkan adanya usaha untuk meraih

tujuan dari si pejalan sebagaimana mendatangkan daya tarik dari arah tujuan

adalah takwa. Ia( Al-Qur’an—Peny.) berkata: Allah telah memberi kalian

furqan (pembeda) yang dengannya kalian dapat memisahkan antara yang

hak dan yang batil. Dan Dia (Allah) telah menjelaskan bagi kalian jalan

keluar dari setiap persoalan yang rumit.

Oleh karena itu, orang-orang yang ahli takwa pada saat mereka

melihat tujuan, mereka juga melihat jalan. Mereka akan menyibakkannya

dan akan mencapai dengan mudah. Apabila kalian ingin menjadi orang-orang

mukmin, maka naiklah ke atas, Sesungguhnya jalan itu ter buka lebar bagi

kalian, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik” (Q.S. Fathir:

10) Apabila kalian mau meneruskan perjalanan bersama kebenaran (masir

al-haq), maka jalan itu terbuka—“Dia memberinya jalan keluar”. Akan

tetapi, ketika orang-orang asing (al-ghuraba’) mau naik ke atas, maka mereka

seperti orang yang ingin terbang di udara—“Seolah-olah ia sedang mendaki

ke langit” (Q.S. Al-An’am: 125). Oleh karena itu, mereka tidak akan mampu

meneruskan jalan ini lalu mereka jatuh dengan ter paksa “Mereka menyimpang

dari sirath” (Q.S. Al-Mukminun: 74). Mereka menyimpang dari jalan—

“Dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku

menimpa. Dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya

binasalah ia” (Q.S. Thaha: 81).

Ia (Al-Qur’an—Peny.) berkata: janganlah kalian bemaksiat dan berbuat

kelaliman sehingga kalian terkena kemarahan Allah, dan setiap orang yang

terkena murka Allah akan terjatuh. Ia (orang yang terjungkal itu—Peny.)

p:207

telah menutup jalan atas dirinya sendiri, sebagaimana orang-orang yang

“Berlalu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras”

(Q.S. Al-Hadid: 16). Hati mereka mengeras karena jauhnya waktu jeda (alfashilah)

dari waktu wahyu dan amal saleh, dan ketika hati mengeras dan

jalannya telah tertutup maka tidak ada jalan keluar karena siapa yang ingin

bergerak maka ia harus bergerak dalam lintasan hati.

Tidak ada jalan lain bagi manusia pejalan ruhani kecuali hatinya. Dan

perjalanan ini bukanlah perjalanan ke langit atau ke bumi (safar samawi

au ardhi); perjalanan ini adalah perjalanan dalam tempat suci ruh yang di

dalamnya manusia bergerak melalui jalan hati. Dan setiap sifat baru yang

diperoleh manusia merupakan langkah baru yang akan mengantar kannya

menuju perjalanan kepada Allah. Oleh karena jalan kepada Allah adalah

melalui ruh manusia, dan sifat-sifat yang utama ini terdapat pada diri manusia

pejalan ruhani satu demi satu sehigga melaluinya ia dapat menyeberang

dan sampai ke puncak spiritual yang tinggi. Kalau tidak, maka negeri ini

bukanlah Mesir, bukan juga Irak atau Syiria, bukan juga jalan langit atau

bumi, perjalanan ini bukan perjalanan di bumi atau perjalanan di langit,

tetapi perjalanan di dalam hakikat ruh manusia (sair fi dzati ruhil insan),

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu” (Q.S. Al-Maidah: 105).

Manusia yang hidup di dunia secara individual, setelah kematian akan

menjadi suatu kafilah yang akan dikumpulkan bersamanya seluruh amalnya,

keyakinannya, akhlaknya, dan niatnya. Oleh karena itu, akan ada satu

kafilah yang bersamanya, dan ruh ini akan berjalan menuju Allah. Dengan

demikian, perjalanan (al-masar) merupakan derajat-derajat spiritual. Dan

jalan manusia pejalan ruhani adalah hakikat derajat-derajat spiritualnya.

Jalan merupakan kesempurnaan-kesempurnaan jiwa. Dan manusia yang

berjalan di jalan ini jika mengamalkan setiap yang diketahuinya maka

jalannya mudah teridentifikasi dan tujuan menjadi jelas, “Dan barang siapa

yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberinya jalan keluar” (Q.S. ath-

Thalaq: 2). Ia tidak akan tinggal di dalam selamanya. Dalam surah Al-An’am

dikatakan: sebagian mereka menjadi orang-orang yang bingung, “Dia

mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan

mengatakan): “Marilah ikuti kami” (Q.S. Al-An’am: 71). Dan orang-orang

lain juga memanggilnya, namun dia bingung. Maka manusia yang tidak

mengenali jalan ini dan tidak melihat jalan serta tidak dapat menimbang

tujuan, maka ia terkena suatu kebingungan yang tercela. Namun, ketika ia

berhasil menjaga ketakwaan dan mengamalkan apa-apa yang diketahuinya,

p:208

maka ia tidak dapat ditipu oleh dirinya. Begitu juga orang-orang lain tidak

dapat menipunya dan ia akan melalui jalan dengan ikhlas.

Setelah itu, perlintasan jalan yang tersisa dan penglihatan terhadap

perjalanan yang tersisa akan memjadi hal yang mudah baginya, dan begitu

juga ia dapat melihat para perampok jalan dan dapat mengusir mereka

dan ia mengetahui jalan petunjuk lalu mengikutinya dan ia akan melalui

jalan ini dengan mudah, dan ia akan menyeberangi sirath al-mustaqim

yang merupakan sesuatu yang lebih lembut daripada rambut dan lebih

tajam daripada pedang. Jika manusia mau menyoroti dirinya dan bersegera

berdasarkan cahaya keadilan, maka ia harus mengetahui bahwa jalan ini

sangat tipis sampai pada batas lebih halus daripada rambut dan sangat tajam

sampai pada batas lebih tajam daripada pedang.

Jalan (shirat) telah diumpamakan kepada kita dengan perumpamaan

ini dan telah dijelaskan kepada kita dengan penjelasan ini dan manusia yang

belum mencobanya tidak akan mengetahui betapa sulitnya melalui shirat itu

dan bagaimana ia lebih lembut daripada rambut dan lebih tajam daripada

pedang. Akan tetapi, selama ia belum menjadikan dirinya berada di tempat

percobaan Ilahi, maka ia belum mengetahui kebenaran (perumpamaan)

bahwa ia lebih lembut daripada rambut dan lebih tajam daripada

pedang, ketika ia bebas dari dirinya dan dari batasan materi maka ia akan

memahaminya, “Kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?” (Q.S.

at-Tabuah: 38). Ia tidak akan menjadi berat dan tidak ada kecenderungan

baginya ke tanah, ia menjadi lembut dan halus dan termasuk orang-orang

yang peka perasaannya (ahli syu’ur).

Orang-orang yang peka perasaannya melihat suatu permasalahan yang

halus seperti rambut dan mereka menyingkap jalan yang halus bagai rambut.

Ahlisyu’ur mampu—dengan ketelitian pandangan yang mereka miliki—

melihat jalan yang halus dan mereka tidak bingung dalam melihat jalan

tersebut. Dan mereka orang-orang yang takut kepada Allah, orang-orang

yang bertakwa, dan orang-orang yang naik dari bumi menuju langit.

Mereka telah selamat dari jembatan jahanam dunia yang tajam (jahanam

at-thabi’ahal-had), dan pedang tajam itu tidak akan dapat menyakiti mereka,

mereka akan menyeberangi sirath dengan cepat dan tidak akan pernah

tertinggal sama sekali, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya

Dia memberinya jalan keluar”. Mereka juga mempunyai pelita furqan yang

menerangi, dan jalan keluar dari perkara yang sulit juga terbuka. Mereka

memiliki cahaya juga memiliki jalan, mereka melihat sebagaimana jalan juga

terbuka di depan mereka. Jalan itu sangat luas dan cahaya sangat kuat juga.

p:209

Jika pejalan itu adalah ruh dan terdapat lampu yang bercahaya di dalam

ruh dan derajat-derajat jalan adalah hakikat ruh, maka saat itu perlintasan

jalan tersebut menjadi mudah, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-

Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang megambil pelajaran” (Q.S.

Al-Qamar: 17). Allah menjelaskan dalam bentuk perintah kepada Rasul-

Nya yang termulia Saw. dalam surah Al-Isra’, yang (perintah itu) berupa

doa sebagai berikut, “Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan

aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar

yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat

menolong(ku)” (Q.S. Al-Isrâ’), maka aku tidak bingung dalam meletakkan

kakinya atau mengangkatnya adalah disebabkan adanya furqan bersamanya

yang memisahkan antara yang hak dan yang batil, “Jika kamu bertakwa

kepada Allah, niscaya dia memberimu furqan” (Q.S. Al-Anfal: 29).

Apabila ia mempunyai kesalahan (taqshir) pada masa lalu, maka ia

akan melihat—melalui perantaraan cahaya ini—kesalahan ini lalu Allah

Swt memaafkannya dan apabila ia takut dari masa depan, maka rasa takut

ini akan berubah—melalui perantaraan cahaya ini—menjadi rasa aman

dan debu masa lalu akan tercuci dengan cahaya ini, dan inilah jalan hati

yang tidak akan terkena ketertinggalan (takhalluf ) dan tidak pula tertimpa

pertentangan (ikhtilaf ).

Jalan itu tidak akan meninggalkan manusia pada masa tuanya dan tidak

akan menghilang sepanjang usianya, ia tidak memberi dirinya dua bentuk,

ia tidak akan menghilang sehingga manusia terabaikan pada waktu tertentu,

dan tidak ada pertentangan baginya sehingga ia menemui manusia dengan

dua bentuk. Dan karena cahaya hanya mempunyai satu bentuk, maka

kebenaran dan keadilan hanya mempunyai satu bentuk. Oleh karena itu,

lisan para pelajar (ahli madrasah) mengatakan, ”Saya sudah lupa terhadap

semua yang pernah saya baca”. Boleh jadi jalan belajar tidak mampu

memberikan jawaban yang memuaskan di usia senja. Boleh jadi kitab itu

tidak mampu menjaga manusia usia lanjut yang dipenuhi dengan ilmu.

Akan tetapi, ketakwaan memiliki keistimewaan ini karena ia tidak

pernah sama sekali terpisahkan dari orang yang bertakwa dan seorang

abid, dan lisan ahli takwa mengatakan, “Tidak ada lain dalam hatiku selain

pembicaraan tentang Sang Kekasih yang kau ulang-ulangi. ”Dan manusia

tidak akan pernah melupakan pembicaraan tentang Sang Kekasih karena

ia selalu mengulang-ulanginya. Dan jalan kedua telah mendapat perhatian

serius dari Al-Qur’an. Dan ia (Al-Qur’an—Peny.) mengenalkan jalan

pertama sebagai mukadimah, ia mengenalkan belajar dan membahas sebagai

p:210

ala-alat beramal, dan mengenalkan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar

kan sebagai sarana-sarana yang akan mengantarkan manusia menuju

jalan hati dan bergerak di jalan takwa. Yakni, ia harus mengenalkan

apa yang diketahuinya dan hendaklah dalam beramal ia hanya mengharapkan

rida Allah, dan hendaklah ia menguji dirinya apakah ia merasakan

senang dan nikmat ketika orang-orang lain menyebut-nyebut amalnya.

Apabila demikian, maka hendaklah ia sadar bahwa amalnya tidak ikhlas

dan ketika ada orang lain melaksanakan amal ini lalu ia marah karena ia

belum mengamalkannya dan ia tidak disebut-sebut, lalu ia kesal mengapa

orang selainnya mengamalkan perbuatan ini dan nama orang lain disebut-sebut,

maka jelas bahwa ia tidak menginginkan rida Allah. Ujilah diri kalian

selamanya dan jangan sampai pernah lalai. Oleh karena kapan pun manusia

lalai dari dirinya, maka setan akan membuat was-was atasnya melalui jalan

kelalaian sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan majelis terdahulu,

“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat

yang kamu tidak dapat melihat mereka” (Q.S. Al-A’raf: 27). Yakni, bahwa

setan dengan gerombolan setan akan datang melalui jalan yang tidak kalian

lihat, mereka akan menyerang kalian dari arah yang kalian lalai darinya.

Jika kalian lalai maka kalian terkena panah waswas, “setiap orang yang lalai,

maka ia terkena panah”.

Demikianlah makna yang tersirat dari penyataan bahwa melihat

perempuan ajnabi adalah panah dari panah-paanah setan. Apabila seseorang

yang lalai melihat perempuan ajnabi. “Sesungguhnya pandangan kepada

perempuan ajnabi adalah panah dari panah-panah iblis”, maka pada saat

kelalaian itu ia akan terkena panah. Demikianlah rahasia apa yang dikatakan

bahwa penglihatan terhadap perempuan ajnabi adalah panah setan yang

beracun. Pada saat seseorang melihat perempuan itu dengan syahwat dan

lalai dari akalnya, maka ia akan terpanah, dan pada setiap dimensi (albu’d)

yang manusia memfokuskan dirinya kepada dimensi yang tidak

berhubungan dengan Allah itu, maka sesungguhnya ia adalah orang yang

lalai. Pemfokusan kepada diri dan pemalingan dari pencipta alam (mabda’

‘alamal-khilqah) adalah suatu kelalaian, dan pada saat seseorang lalai, maka

ia akan terpanah dengan panah setan.

Atas dasar ini, maka semua jalan pendengaran dan penglihatan,

belajar dan mengajar, membaca dan menulis, dsb, merupakan lahan untuk

memperoleh jalan ini yang dilalui dengan mudah oleh manusia yang

mempunyai maqâm tinggi (al-auhadimin al-basyar). Manusia yang tertarik

akan melalui segala rintangan, tikungan, dan tanjakan jalan ini dengan

p:211

gampang, “Tetapi (mengapa) dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi

sukar” (Q.S. Al-Balad: 11). Dalam ayat ini Al-Qur’an mendorong(manusia

dengan mengajukan pertanyaan), “Mengapa kalian tidak menempuh jalan

yang sukar (penuh rintangan) ini?” Dan rahasia penempuhan jalan yang

mendaki lagi sukar adalah bahwa kalian memiliki cahaya ketakwaan dan

kalian juga mempunyai keterangan dalam melintasi jalan tersebut.

“Jalanlah di atas kepala selama itu mudah bagimu dan di atas kaki

selama itu dapat mengantarkanmu”. Kalau memang jalan di atas kaki

lebih mudah, maka lakukanlah dan kalau jalan di atas kepala adalah suatu

keharusan maka mengapa tidak mencobanya. Manusia yang bertakwa tidak

akan tertinggal selamanya, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya

Dia memberinya jalan keluar” (Q.S. ath-Thalaq: 2). Manusia yang bertakwa

tidak akan terkena kebingungan dalam maslaah-masalah ilmiah atau tidak

ilmiah. Manusia yang bertakwa tidak akan bimbang karena janji Allah tidak

mungkin bertentangan (takhalluf ) dengan kenyataan. Ia (Al-Qur’an—

Peny.) berkata; Takwa adalah pemilikan cahaya yang kuat dan pengetahuan

tentang jalan keluar dari setiap perkara yang sulit. Dan berdiam diri di

tempat yang terkunci dan kehilangan jalan (tersesat) tidak sesuai dengan

takwa. Kemampuan untuk membedakan dan juga kemampuan untuk

pergi, pencapaian (makam spiritual) itu dan cita rasa ini (at-tadzawuq),

penglihatan itu, dan pemasukan (ihtiwa) ini, semua itu mudah. “Ia (orang

yang takwa—Peny.) berpindah maqâm-nya dari pengetahuan ke penyaksian

dan dari pendengar ke pemelukan (al-ihtidhan)”.

Manusia bergerak dengan dua sayap, sayap pemahaman dan sayap

kekuatan (al-qudrah). Dan orang yang tidak paham, maka ia tidak dapat

pergi, sedangkan orang yang tidak paham, maka ia tidak dapat pergi,

sedangkan orang yang paham namun ia tidak memiliki kekuatan untuk

terbang, maka ia tidak dapat membumbung di angkasa. Dan ketakwaan

memberi manusia sayap bashirah dan sayap kekuatan, juga memberi

manusia makrifat sekaligus kekuasaan. Ia (ketakwaan) menjadikan manusia

seorang ârif sekaligus pengamal ilmunya, ia memberinya makrifat sekaligus

kemampuan. Dan orang yang takwa adalah manifestasi dari Sang Maha

Mengetahui (al-‘alim) dan tempat aliran karunia Sang Maha mengetahui (al-

‘alim) dan tempat aliran karunia Sang Mahakuasa (majra’ al-faidh al-qadir),

ia menjadi manifestasi ilmu Allah dan kekuasaan Allah (qudrah al-haq),

“Hambaku, taatilah Aku, niscaya Aku jadikan kamu seperti-Ku”.(1) Apabila

ia menjadi menifestasi ilmu Allah—karena Allah memberinya furqan yang

p:212


1- 32 Hadis Qudsi.

dengannya ia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil—maka ia

juga menjadi manifestasi kekuasaan Allah, tentu ilmu dan kekuasaan yang

diperolehnya terbatas. Ia menjadi manifestasi ilmu Allah sesuai dengan kadar

wujudnya (bimiqdar sa’alti wujudih), dan ia menjadi manifestasi kekuasaan

Allah sesuai dengan kadar daerah wujudnya (bi miqdar mantiqa wujudih).

Ketika ilmu dan kekuasaan bertemu maka keduanya akan memberikan

kehidupan, dan kehidupan (al-hayat) adalah sudut (haitisiyah) pemberian

perpaduan antara kekuasaan dan ilmu. Dan wujud yang memahami sesuatu

lalu mengamalkannya, wujud yang ilmunya berperan dalam pencipta

amalnya, dan wujud yang amalnya diilhami oleh ilmunya, dan wujud yang

ilmunya disiapkan dalam sebuah program untuk amalnya, dan wujud yang

amalnya berdasarkan ilmunya, wujud itu adalah seperti yang disebut dalam

istilah hikmah (filsafat) wujud yang hidup (al-hayat). Dan yang hidup adalah

wujud yang mengetahui (al-‘alim) dan yang memiliki kekuasaan(al-qadir),

serta wujud yang aktif lagi mengetahui (wujud ‘alim fa’al). Dan manusia

yang menjadi golongan ahli takwa dan ia sampai pada maqâm sebagaimana

manifestasi ilmu Allah dan sebagai saluran furqan yang membedakan antara

yang hak dan yang batil dan ia sampai ke maqâm sebagai tempat berlalunya

kekuasaan Allah melalui jalan mengamalkan perbuatan-perbuatan yang saleh,

maka ia menjadi orang yang mengetahui (‘alim) sesuai dengan kadar dirinya

dan menjadi orang yang mempunyai kekuasaan (qadir) sesuai dengan kadar

dirinya juga. Dan pada kawasan ilmunya, kekuasaan akan mendapatkan

jalan, dan pada kawasan kekuasaannya ilmu juga akan mendapatkan jalan,

maka jadilah ilmu dan kekuasaan sebagai satu adonan sekaligus, maka pada

saat ini ia menjadi orang yang hidup (hayyan), dan manusia ini bersama

ketakwaan ia hidup karena ia telah menjadi manifestasi dari ”Yang Maha

hidup dan tidak mati”.

Manusia sampai ke suatu kehidupan yang tidak akan pernah mengalami

kematian dan sampai ke kehidupan abadi. Ia menjadi air kehidupan (maul

hayat) dan mata air kehidupan (‘ainul hayat). Oleh karena itu, ia tidak

mati(abadi) di surga. Allah Swt telah mengaruniainya kehidupan abadi

“Dari Dzat Yang Maha hidup ke yang hidup dan tidak mati karena percikan

karunia-Nya” (minal hay al-ladzi layamut bid zat ila hay al-ladzi la yamut

bil ‘irdh). Risalah Allah, yaitu yang berisi Dia Yang Maha Hidup dan tidak

mau sampai ke manusia sempurna ini yang hidup, yang juga tidak mati

karena pancaran karunai-Nya. Maka, takwa ini menjadi air kehidupan,

kalau tidak, maka air kehidupan itu hanya sebuah khurafat. Air kehidapan

bukanlah hujan yang turun dan bukan pula mata air yang memancar. Air

kehidupan adalah sesuatu yang dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Furqan,

p:213

Al-Anfal dan Al-Falaq. Dia(Allah—Peny.) berkata: jalan hati adalah sumber

air kehidupan dan manusia yang melalui jalan hati akan meminum dari

air kehidupan. Dan manusia yang menempuh jalan ini akan meneguk dari

gelas air kehidupan. Dan ini merupakan lahan subur(ardhiyah), “Dan Tuhan

memerlukan kepada mereka minuman yang bersih”(Q.S. Al-Insan: 21) dan

menurut penjelasan yang dinukil oleh Thibrisi(Ulama Islam yang dapat

dipercaya) dalam kitab Majma’ al-Bayan dari Imam keenam a.s. bahwa air

minum yang suci itu adalah air yang membersihkan mereka dari sesuatu

selain Allah. Ia(air itu—Peny.) akan mengantarkan manusia ke tujuannya

dan akan menyucikannya dari segala sesuatu selain Allah.

p:214

p:215

Pelajaran XV

Takwa adalah Dasar Pandangan Internal terhadap Dunia

p:216

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Al-Qur’an al-karim memandang bahwa dunia adalah faktor yang

paling dominan dalam memotong (menghentikan) jalan menuju Allah. Yang

dimaksud dunia di sini adalah segala hal selain Allah Swt yang menghalangi

manusia untuk mencapai jalan Allah. Al-Qur’an menilai bahwa dunia ini

dan kemanfaatannya sedikit, “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya

sebentar’” (Q.S. an-Nisa’: 77).

Dunia bukanlah sistem alam (an-izham ath-thabi’ah). Yang dimaksud

dunia bukanlah bumi dan langit, bukan juga laut dan sahara. Dunia

bukanlah tambang, tanaman, hewan, dan manusia; dunia bukanlah

gugusan bintang di langit atau burung di angkasa, karena semua ini adalah

tanda-tanda kebesaran Allah (ayat ilahiyyah), dan tanda-tanda kebesaran

Allah tidak layak untuk dicela. Yang dimaksud dunia adalah sistem yang

mendomiasi masyarakat manusia, peraturan-peraturan buatan (al-‘uhud

al-i’tibariyyah) dan segala bentuk kesenangan yang merusak sistem ini dan

menyebabkan kesibukan, pengabdian, dan kelalaian. Dan fenomena alam

(zhawahir alkhilqah) yang merupakan mani festasi kebenaran (al-haq) dan

tanda-tanda kekuasaan Allah (ayatulah) bukanlah sesuatu yang sia-sia dan

permainan belaka (lahwanwa la’iban).

Manfaat yang diperoleh manusia dari alam ini, kesenangan dan kelezatan

yang malalaikan dari zikir kepada Allah adalah dunia. Dan kenikmatan

dunia sedikit sekali dibandingkan dengan kejadian-kejadian pada Hari

Kiamat, “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar’,ia(dunia)

sedikit (tidak berarti) jika dibandingkan dengan akhirat dan “Kehidupan

dunia hanya kenikmatan sedikit) jika dibandingkan dengan kehidupan

akhirat” (Q.S. ar-Ra’d: 26). Ketika manusia membandingkan antara dunia

dan akhirat, maka ia akan menemukan bahwa dunia tidak lebih dari sekadar

kenikmatan dan kelezatan yang cepat berlalu, “Katakanlah, ‘Kesenangan di

dunia ini hanya sebentar’“.

Apabila manusia mengetahui hakikat dunia dan bahwa ia tidak lebih

dari sekadar kenikmatan sesaat, maka dia tidak akan menjadikan dirinya

yang merupakan barang abadi sebagai pengganti kenikmatan sedikit dan

kesenangan sesaat. Dia tidak takut kepadanya (dunia), tidak mau terbang

p:217

bersamanya, tidak mencintainya, hatinya tidak bergantung dengannya, dan

tidak mengambil bagian darinya. Tukar-menukar ruh manusia yang abadi

dengan kenikmatan sesaat tidak akan menjadi hati rela dan takut kepadanya.

Sebab utama yang menjadikan para nabi dan para wali (para kekasih

Allah—Peny.) mencapai maqâm spiritual tertinggi dan kematangan ruhani

mereka adalah kemampuan mereka memandang batin dunia dan hakikatnya

serta kenikmatannya yang sepele. Di samping itu juga kemampuan mereka

menyaksikan kehidupan akhirat yang merupakan akhir segala tujuan dan

rumah menetap, dan ruh manusia yang abadi dan tidak akan mengalami

kefanaan akan terbuka (berkembang) di dalamnya (Hari akhirat-penl.) serta

akan mendapat limpahan karunia Tuhan yang kekal (faidh al-abadi).

Tidak pantas manusia memilih manfaat dunia yang lekas berlalu di

hadapan alam yang abadi itu. Dan sebab utama tentang keterlambatan

orang-orang untuk bergabung bersama kafilah para pejalan ruhani adalah

ketidakmampuan mereka melihat batin dunia dan mereka mengira bahwa

dunia merupakan sesuatu yang abadi. Bagi mereka, kehidupan itu hanya di

sini (dunia) dan mereka menyangka bahwa dunia adalah tujuan. Mereka tidak

melihat batin dunia dan hakikatnya, maka mereka mengikuti dongengan

yang menyesatkan, dan karena mereka tidak melihat hakikat akhirat, maka

mereka cenderung kepada tanah, alam, dan dunia.

Kami telah menjelaskan dalam pelajaran yang lalu masalah ini dan kami

katakan bahwa Allah memberi orang yang bertakwa furqan yang dengannya

ia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, “Wahai orang-orang

yang beriman jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberi

furqan” (Q.S. Al-Anfal: 29). Maka, kalian tidak akan terkena keraguan dan

kebimbangan sama sekali dalam masalah apa pun. Penjelasan yang demikian

ini juga terdapat dalam perkataan Ali bin Abi Thalib a.s., “Aku tidak pernah

meragukan kebenaran semenjak aku melihatnya”.(1)

Karena beliau adalah al-faruq (pembeda antara yang hak dan yang batil—Peny.), Allah telah

memberinya furqan yang memisahkan antara yang hak dan yang batil. Allah

telah mengaruniainya cahaya yang dengannya terbedakan antara yang hak dan

yang batil dan antara yang baik dan yang buruk dan antara kebahagiaan dan

kesengsaraan dan yang jelek dan yang indah dan yang sedikit dan yang banyak.

Takwa menyebabkan seseorang mampu melihat batin dunia dan

akhirat. Ketika kita melihat kadar kelanjutan kenikmatan dunia dan kadar

kelanjutan kenikmatan akhirat, maka kita akan segera memilih alam yang

abadi itu daripada kenikmatan dunia yang bakal hilang ini. Ketika pasukan

p:218


1- 33 Nahjul Balaghah, Faidul Islam, hlm. 1171.

kafir bertemu dengan pasukan Islam dalam sebagian peperangan, Allah

memperlihatkan batin orang-orang kafir itu kepada pasukan Islam, tetapi

sebaliknya orang-orang kafir itu tidak diperlihatkan batin dan hakikat

pasukan Islam. Mereka (orang-orang kafir) tidak memiliki furqan sehingga

dapat melihat batin pasukan Islam yang banyak sekali.

Oleh karena itu, mereka mengira bahwa pasukan Islam sedikit.

Sedangkan orang-orang Mukmin memiliki cahaya Ilahi itu. Mereke (orangorang

mukmin) melihat batin orang-orang kafir di dunia ini dan mereka

mengerti bahwa mereka sedikit. Oleh karena itu, mereka tidak takut. Oleh

karena dunia pada hakikatnya sedikit, maka ia tidak dapat membangkitkan

ketakutan. Manusia tidak takut kepada dunia karena ia sedikit, dan ia tidak

takut kepada pasukan kafir, karena mereka adalah pecinta dunia(ahli dunya)

dan pada hakikatnya mereka sedikit. Dia (orang mukmin) tidak takut kepada

pasukan kafir karena mereka pasukan dunia dan dunia adalah sedikit, dan

manusia tidak akan takut kepada sesuatu yang sedikit.

Allah Swt telah menjelaskan makna tersebut dalam surah Ali ‘Imran

dan surah Al-Anfal. Dia berfirman dalam surah Ali ‘Imran, “Sesungguhnya

telah ada tanda (kebesaran Allah) bagi kamu pada dua golongan yang telah

bertempur” (Q.S. Ali ‘Imran: 13). Al-Qur’an berkata: Tanda-tanda kebesaran

dan kekuasaan Allah dapat Anda lihat ketika pasukan kafir berhadapan

dengan pasukan Islam, dan Anda dapat menyaksikan mukjizat Ilahi ini dari

dekat, “Sesungguhnya telah ada tanda (kebesaran Allah) bagi kamu pada

dua golongan”. Anda dapat melihat tanda kekua saan Allah dan mukjizat-

Nya di medan perang antara dua kelompok yang bertempur, “Segolongan

bertempur di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir”(Q.S. Ali ‘Imran:

13) Satu kelompok berperang tidak di jalan Allah; mereka mengingkari

kebenaran, menutupi kebenaran, dan mencaci kebenaran, “Yang dengan

mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslim dua kali jumlah

mereka”(Q.S.Ali ‘Imran: 13). Mereka (tentara kafir) melihat pasukan

Muslim seakan-akan dua kali jumlah mereka.

Apakah Allah Swt memperlihatkan kepada orang-orang Mukmin

pasukan kafir yang berlipat ganda daripada mereka menjadi seperti jumlah

pasukan mukmin, yakni bahwa Allah memperlihatkan pasukan kafir lebih

sedikit daripada yang sebenarnya karena batin mereka memang lebih sedikit?

Atau, jumlah orang-orang Mukmin sedikit, namun batin mereka banyak dan

hakikat mereka tetap dan kokoh, lalu Allah memperbanyak mereka di mata

orang-orang kafir menjadi dua kali lipat. Apakah Allah telah menerangkan

kepada orang-orang kafir bahwa batin orang-orang yang bentuk lahir

p:219

mereka sedikit pada hakikatnya bentuk batin mereka banyak? Ataukah, Dia

menjelaskan kepada orang-orang Mukmin bahwa orang-orang yang bentuk

lahiriah mereka banyak pada hakikatnya bentuk batin mereka sedikit?

Orang-orang kafir tidak mempunyai mata batin (‘ain bathiniyah)

sehingga dengannya mereka dapat melihat batin orang-orang mukmin,

sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Anfal, “Jika kamu bertakwa

kepada Allah, niscaya Dia memberimu furqan” (Q.S. Al-Anfal: 29).

Jika kalian termasuk golongan ahli takwa, maka Allah akan memberi

kalian furqan itu yang dapat memisahkan antara yang hak dan yang

batil; cahaya itu yang dapat membedakan antara yang banyak dan yang

sedikit, cahaya itu yang dengannya dapat dipilah antara yang baik dan

yang buruk. Hati Rasul termulia Saw. dan hati orang-orang Mukmin

disucikan dengan bashirah dan kesadaran (yaqzhah), sehingga mereka

dapat melihat orang-orang kafir dalam jumlah yang sedikit. Orang-orang

kafir itu bentuk lahir mereka banyak dan bentuk batin mereka sedikit.

Maka, batin dan hakikat orang-orang kafir yang sedikit begitu terkenal

di kalangan orang Mukmin yang mampu menembus batin mereka.

Oleh karena itu, Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang

Mukmin dalam surah Al-Anfal, “Ketika Allah menampakkan mereka

kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit, dan sekiranya Allah

memperlihatkan mereka kepada kamu (berjumlah) banyak tentu saja kamu

menjadi gentar dan tentu saja kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan

itu, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. Sesungg uhnya Allah Maha

Mengetahui segala isi hati”(Q.S. Al-Anfal: 43). Allah Swt memperlihatkan

kepada Rasul-Nya yang termulia Saw. di dalam mimpi batin orang-orang

kafir yang sedikit. Rasul Saw. melihat di dalam mimpi bahwa segolongan

kecil memeranginya dan menyerbunya. Tidak mungkin mimpi Rasul Saw.

bertentangan dengan realita karena beliau terjaga baik dalam keadaan tidur

atau bangun dan juga karena hati Rasul Saw. yang suci tidak pernah tidur.

Rasulullah Saw. ber sabda, “Kedua mataku tertidur sedangkan hatiku tidak

pernah tertidur”.(1)

Maka, setan tidak dapat menembus hati suci Nabi Saw. .

Rasul termulia Saw. terjaga baik dalam keadaan tidur atau bangun

dari gangguan waswas setan. Apa yang beliau lihat di dalam mimpi adalah

sesuatu yang benar, dan mimpi yang beliau lihat di saat bangun juga sesuatu

yang benar. Beliau melihat kebenaran dalam semua keadaannya, baik pada

saat tidur atau bangun. Allah Swt mengatakan: Kami perlihatkan kepada

Nabi di dalam mimpi jumlah orang-orang kafir yang sedikit. Tidak mungkin

Allah memperlihatkan beliau sesuatu yang bertentangan dengan realitas dan

p:220


1- 34 Al-Jami’ ash-Shaghir, juz 1, hlm. 133.

tidak mungkin juga Rasulullah melihat sesuatu yang bertentangan dengan

kenyataan. Dan apa yang Allah perlihatkan tentang jumlah orang-orang kafir

yang banyak menjadi sedikit bukan untuk menyembunyikan hakikat karena

Kebenaran Mutlak (al-haq al-mahd) tidak akan pernah menyembunyikan

kebenaran, “Kebenaran itu dari Tuhanmu” (Q.S. Ali ‘Imran: 60).

Kebenaran itu datangnya dari Allah, maka tidak mungkin Allah

melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran karena

tidak muncul dari kebenaran keculi kebenaran pula. Dan hati Rasul termulia

Saw. sampai ke maqâm ketakwaan tertinggi (al-maqâm al-wahidi), “Hati

tidak akan mendustakan apa yang dilihatnya” (Q.S. An-Najm: 11). Nabi

telah selamat dari jangkauan waswas setan dan bujukannya dan beliau telah

mencapai suatu maqâm yang tertinggi sehingga tidak mungkin dijamah oleh

waswas iblis, dan beliau juga tidak melihat selain kebenaran.

Apabila Allah telah memperlihatkan Rssul-Nya dalam mimpi jumlah

orang kafir yang sedikit, yakni bahwa Dia memperlihatkan batin orang-orang

kafir yang mereka itu adalah dunia ini dan hakikat orang-orang kafir

adalah sesuatu yang kosong lagi sedikit, maka Rasulullah Saw. menjadi

tenang sebab kelompok yang sedikit sedang bangkit memeranginya, karena

itu beliau berkata kepada umatnya: Kelompok yang kecil sedang memerangi

kita. Mengapa? Karena batin mereka telah nampak di alam mimpi, “Ketika

Allah menampakkan mereka kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah

sedikit) Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepada kamu

(berjumlah) banyak tentu saja kamu menjadi gentar dan tentu saja kamu

akan berbantah-bantahan dalam urusan itu” (Q.S. Al-Anfal: 43).

Seandainya Allah memperlihatkan bentuk lahir orang-orang kafir

kepada kalian dan tidak memperlihatkan batin mereka, niscaya kalian akan

merasa takut karena bentuk lahir mereka sangat atraktif dan mencengangkan,

sehingga hal ini akan menjadi sebab ketakutan kalian. Mereka berkata:

Siapakah orang-orang yang “Lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih

sedap dipandang mata” (Q.S. Maryam: 74). Mereka berkata: Sesungguhnya

fenomena kita sangat mengundang kekaguman bagi orang-orang lain

dan kita jauh lebih banyak daripada mereka dari sisi perlengkapan dan

kesempurnaan hidup. Logika dan slogan mereka adalah bahwa fenomena

kita sangat atraktif dan menawan. Seandainya orang-orang Mukmin melihat

bentuk lahir mereka yang banyak dan ornamen lahiriah mereka, maka

boleh jadi orang-orang Mukmin akan berpengaruh dengan hal itu. Allah

berkata: Ketika kalian melihat lahiriah mereka dan tidak mampu melihat

batin mereka, maka boleh jadi kalian akan terkena kelemahan dan rasa takut

p:221

sehingga kalian bercerai-berai dan saling bertengkar, sebagian kalian akan

mengatakan kita tidak akan berperang lalu kalian akan gagal, “Tentu saja

kamu menjadi gentar dan tentu saja kamu akan berbantah-bantahan dalam

urusan itu, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kamu”(Q.S. Al-Anfal:43).

Oleh karena itu, Allah Swt memutuskan perkara atas dasar agar

kalian tetap selamat dan agar agama juga tetap selamat, dan agar yang

menjadi pertimbangan kalian dalam menghadapi suatu persoalan dalam

pertimbangan batiniah dan supaya kalian melalui ujian ini dengan selamat

karena Allah telah berkata; Kami perlihatkan sesuatu yang sedikit menjadi

banyak dan sesuatu yang banyak menjadi sedikit. Maka bukan berarti itu

adalah bentuk sulap atau sihir mata dan sebagainya, sebab tukang sulap dapat

saja memperlihatkan sesuatu yang sedikit menjadi banyak dan sebaliknya.

Namun, Allah memperlihatkan hal yang batin, maka batin orang-orang kafir

itu memang sedikit meskipun lahiriah mereka flamboyan dan menakjubkan

karena batin mereka adalah dunia dan dunia adalah sesuatu yang sedikit.

Sedangkan batin orang-orang mukmin itu banyak meskipun mereka tidak

mempunyai bentuk lahir yang mengagumkan karena batin mereka adalah

akhirat dan akhirat adalah sesuatu yang abadi.

Oleh karena itu, Allah telah memperlihatkan batin orang-orang kafir

yang sedikit itu kepada Rasul-Nya dan Dia juga memberitahukan kepada

orang-orang Mukmin akan hal itu. Sementara itu, orang-orang kafir tidak

akan mengetahui batin orang-orang Mukmin yang banyak, seandainya

mereka mempunyai mata batin, niscaya mereka akan melihat batin orang-orang

Mukmin yang banyak, “Dan ketika Allah menampakkan mereka

kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah

sedikit pada penglihatan matamu”(Q.S. Al-Anfal: 44). Allah memperlihatkan

mereka di mata kalian sedikit, orang Mukmin melihat musuhnya yang kafir

itu sedikit, yakni bahwa mereka(Muslimin) mampu melihat batin orang-orang

kafir yang sedikit, “Dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit

pada penglihatan mata mereka”(Q.S. Al-Anfal: 44).

Sesungguhnya hakikat kalian banyak, namun Allah tidak memperlihatkan

kepada mereka (pasukan kafir) hakikat kalian, karena mereka

tidak memiliki mata yang dapat melihat kebenaran sehingga mereka tidak

dapat melihat batin kalian, “Karena Allah hendak melakukan suatu urusan

yang mesti dilaksanakan” (Q.S. Al-Anfal: 44). Ketika Allah berkehendak

untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, maka Dia memenuhi mukadimah-mukadimahnya

melalui jalan yang benar. Pengertian yang demikian ini

dinukil dari almarhum Kulaini—rahmat Allah atasnya—dalam kitabnya

p:222

yang berharga, al-Kafi, “Allah enggan untuk memutuskan suatu perkara

kecuali dengan (terpenuhinya) sebab-sebabnya”.

Ini adalah suatu penegakan tentang hukum sebab umum (qanum

al-‘illiyah al-‘am). Yaitu, bahwa Allah menetapkan suatu masalah melalui

sebab-sebabnya, karena Penyebab dari segala sebab (musabbib al-asbab) telah

menganugerahi segala sesuatu sebanyak sebab penciptaan (as-shun’u) dan

sebab pembakaran (al-ihtiraq) sekaligus, karena sebab ada di tangan-Nya.

Dialah yang memberikan sebab dan Dia juga yang mencabutnya, karena

segala perbuatan dan sebab ada di tangan-Nya. Dia adalah musabbibi alasbab,

dan di sini, ia (Al-Qur’an—Peny.) berkata: Allah berkehendak untuk

melaksanakan masalah ini dan menolong kalian. Dan sebaik-baik jalan

untuk membantu pasukan Islam adalah dengan cara memperlihatkan batin

pasukan kafir kepada orang-orang mukmin.

Hakikat orang-orang kafir adalah dunia karena mereka adalah ahli

dunia dan dunia adalah sedikit, karena ini mereka sedikit. Salah satu ucapan

Amirul Mukminin a.s. dalam Nahjul Balaghah, “Jadilah kalian anak-anak

akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia”.35 Orang kafir adalah putra

dunia dan dunia tidak lebih dari sekadar permainan dan kesia-siaan. Orang

kafir di dunia sibuk dengan permainan dan hal yang sia-sia, yang semua itu

tidak lebih dari air ludah. Maka, mereka benar-benar sedikit, dan sesuatu

yang sedikit selalu dinyatakan dengan hilang (zawal) dan rugi (khusran).

Oleh karena itu, Rasulullah Saw. tidak pernah sama sekali mengatakan bahwa

sesungguhnya orang-orang kafir banyak dan kita sedikit. Beliau tidak pernah

gelisah dengan banyaknya orang-orang kafir, karena beliau mampu melihat

batin mereka yang sedikit, dan beliau melihat batin pasukan Islam—yang

merupakan kebenaran—banyak, dan beliau melihat bahwa yang banyak ini

akan menang dari yang sedikit itu ”Karena Allah hendak melakukan suatu

urusan yang mesti dilaksankaan” (Q.S. Al-Anfal: 44).

Kalau begitu, ketika Allah berfirman dalam surah Ali ‘Imran, “Yang

dengan mata kepala melihat(seakan-akan) orang-orang Muslim dua kali

jumlah mereka” (Q.S. Ali ‘Imran: 13). Dan berfirman dalam surah Al-Anfal,

“Dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mata

mereka” (Q.S. Al-Anfal: 44). Maka, ini bukanlah perbuatan para penyihir

dan para tukang sulap. Maha Suci Allah dari mengerjakan perbuatan-perbuatan

semacam ini, dan Al-Qur’an yang suci tersucikan dari adanya

masalah-masalah ini di dalamnya. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah

juga tidak terdapat sihir, dan kemenangan-kemenangan yang gemilang bagi

35

p:223

pasukan Islam juga tidak ada kaitannya dengan permainan sulap.

Inti dari semua masalah ini, baik mimpi Rasul Saw. atau kemenangan

pasukan Islam adalah, bahwa orang-orang Mukmin melihat batin pasukan

kafir yang sedikit yang tidak membuat mereka merasa takut dan mereka

juga melihat batin mereka sendiri yang benar dan banyak, dan kebenaran

tidak mungkin kalah dari kebatilan. Tidak mungkin sesuatu yang banyak

dikalahkan oleh sesuatu yang sedikit. Allah memberikan jalan ini kepada

manusia yang bertakwa dalam firman-Nya, “Jika kamu bertakwa kepada

Allah, niscaya Dia memberimu furqan dan mengampuni darimu dosa-dosamu”(

Q.S. Al-Anfal: 29).

Jika kalian sudah dapat menjalankan ketakwaan, maka Allah akan

memberi kalian cahaya itu yang dengannya kalian dapat membedakan

antara yang hak dan yang batil, antara yang banyak dan yang sedikit, antara

yang baik dan yang buruk, antara kebahagiaan dan kesengsaraan, antara

kejujuran dan kebohongan, antara keadilan dan kelaliman dan sebagainya.

Kalian tidak lemah dalam masalah-masalah keyakinan dan kalian tidak akan

bingung dalam persoalan-persoalan ilmiah dan kalian tidak akan menjadi

orang-orang yang hina dalam kehidupan sosial kalian.

Ketika manusia berhasil melihat dunia sebagai sesuatu yang sedikit dan

menemukan bahwa batinnya sekadar kenikmatan yang segera berlalu dan

bahwa batin jiwanya adalah sesuatu yang abadi dan dia berjalan berdasarkan

perkataan Imam Ali bin Abi Thalib as, “Harga yang pas bagi jiwa(ruh) kalian

adalah surga”.(1) Apabila kalian menjual jiwa kalian dengan harga yang lebih

murah daripada surga, maka kalian akan terkena bahaya, bahkan sekalipun

kalian menukarkan kehidupan kalian dengan seluruh dunia, maka kalian

tetap terkena bahaya.

Beliau juga berkata, “Demi Allah, seandainya aku diberi tujuh kawasan

(strategis)”,(2) andai kata mereka memberiku tujuh kawasan, apa yang ada

di bawah bulan dan apa yang ada di bumi yang luas dengan konsekuensi

agar aku melakukan kelaliman, maka aku tidak akan pernah melakukannya.

Yakni, seandainya mereka memberiku dunia agar aku merusak ruhku,

niscaya tidak akan aku lakukan, karena ruh adalah wujud abadi, dan harga

sesuatu yang abadi hanyalah surga yang abadi (pula). Apabila kita menjual

ruh yang abadi ini dengan kenikmatan yang pada hakikatnya ia permainan

yang lekas selesai, maka kita akan tertimpa bahaya.

Imam Ali juga telah berkata kepada kita semua: Jika kalian menjual

p:224


1- 36 Ibid., hlm. 1295
2- 37 Ibid., hlm. 714

diri kalian yang nilainya menyamai surga dengan harga yang lebih murah

dari surga, maka kalian terkena bahaya. Apabila di antara orang-orang yang

beriman terdapat orang yang menjual dirinya dengan sesuatu selain surga

yang ”mengalir di bawahnya sungai-sungai” (Q.S. Al-Maidah: 12), maka

ia telah terkena mara bahaya, dan apabila di antara orang-orang yang ahli

iman terdapat orang yang menjual dirinya dengan harga yang lebih murah

daripada surga, maka ia tertimpa bencana.

Sejarah hidup para nabi tumbuh dari pandangan internal (ar ru’yah addakhiliyyah)

dan penglihatan batin (an-nazhrah al-bathiniyyah). Oleh karena

itu, ketika seorang nabi berhasil memperoleh—di saat kapan pun—kenikmatan

dari kenikmatan dunia, yakni, agar dia (Nabi itu) tidak menjadi tawanan dari

kenikmatan ini dan agar hatinya tidak bergantung kepadanya dan agar mata

batinnya tidak tertutup sehingga lahiriahnya menipu dan menakjubkan.

Di zaman Nabi Yusuf (salam Allah atasnya), kedudukan tertinggi adalah

kedudukan kementerian, dan ketika beliau berhasil meraih kedudukan duniawi

yang menakjubkan ini—setelah beliau melalui semua ujian Ilahi dengan

kesuksesan yang cemerlang—maka beliau mengharap kan kematian dari

Allah Swt agar kedudukan ini tidak mempenga ruhinya dan memalingkannya

dari perjalanan menuju Allah. Beliau berkata; Tuhanku, wafatkanlah aku.

Orang-orang yang dengan Allah (ar-rijalal-ilahiyyun) tidak mengharapkan

kematian pada saat menghadapi situasi-situasi sulit, mereka tidak

mengharapkan kematian pada saat mendapatkan ujian dan pasang-surut

kehidupan, dan Nabi Yusuf ash-Shidiq tidak memohon kematian kepada

Allah pada saat dilemparkan dalam sumur, masa-masa sulit dalam surut

tidak menyebabkannya meminta pergi ke akhirat (mati). Dan ketika beliau

dikeluarkan dari sumur lalu dijual dengan harga murah sebagai seorang

budak, “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu

beberapa dirham saja” (Q.S. Yusuf: 20), dan beliau memikul beban kehinaan

perbudakan sebagai ujian dari Allah, maka beliau saat itu tidak mengharapkan

kematian karena beliau menilai bahwa kebaikan dan keburukan serta

kebahagiaan dan kesedihan di dunia hanya sebentar. Beliau juga tidak

mengharapkan kematian pada saat menjadi pembantu yang sederhana,

tidak mengharapkan kematian pada saat dituduh, dan tidak mengharapkan

kematian pada saat dimasukkan ke dalam penjara. Beliau memikul

penderitaan di penjara, tetapi beliau memanggil dengan rintihan ini, “Yusuf

berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi

ajakan mereka kepadaku’”(Q.S. Yusuf: 33), dan tidak meminta kematian.

Namun, ketika beliau keluar dari penjara dan mencapai kedudukan

p:225

“Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf”

(Q.S. Yusuf: 100). Orang tuanya dan saudara-saudaranya merendahkan diri

padanya dan ketika penduduk kota (ahlu mishra) dan sekitarnya meng hormatinya

dan mengagungkannya karena jabatan dan kedudukannya, maka

saat itu—beliau yang berada di puncak kekuasaannya—meminta kematian

kepada Allah dengan berkata, “Ilahi, Engkaulah yang mengaruniai semua

nikmat ini, dan Engkau membimbing aku di masa ujian, dan Engkau

mengarahkanku di semua pasang-surut kehidupan ini. Ilahi, wafatkanlah aku

sekarang setelah aku menduduki jabatan duniawi yang tinggi itu”. “Dan ia

menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana”. Dan dia mendudukkan

kedua orang tuanya di atas singgasana, “Dan mereka merebahkan diri

seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: ”Wahai ayahku, inilah takbir

mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya

suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku,

ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara” (Q.S.Yusuf: 100).

Dalam pelajaran terdahulu telah dijelaskan bahwa beliau bersyukur

kepada Allah atas keadaan ini sembari mengatakan: Segala puji

bagi Allah yang telah mengeluarkanku dari penjara, dan tidak mengatakan:

Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari sumur. Padahal,

keselamatannya dari sumur jauh lebih penting daripada keluarnya dari

penjara. Di samping itu semua bahaya yang dihadapinya bermula dari sumur.

Beliau tidak menyebutkan nama sumur di hadapan saudara-saudaranya

sehingga mereka tidak tersinggung. Beliau memulai dari pertengahan sejarah

ujiannya, bukan dari permulaannya. Beliau berkata: Segala puji bagi Allah

yang telah mengeluarkanku dari penjara, dan tidak berkata: Segala pujian

bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari sumur. “Dan ketika membawa

kamu dari dusun padang pasir, setelah setan merusakkan (hubungan) antara

kau dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap

apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi

Maha bijaksana” (Q.S. Yusuf: 100).

Beliau juga tidak mencela saudara-saudaranya secara terang-terangan,

melainkan beliau mengatakan: Setanlah yang mendatangkan perselisihan

antara aku dan saudara-saudaraku. Dan setelah itu, beliau berkata dalam

bentuk doa, “Ya Tuhanku, sesungguhya Engkau telah menganugerahkan

kepadaku sebagian kerajaan” (Q.S. Yusuf: 101). Tuhanku, Engkaulah yang

memberiku kerajaan ini dan kekuasaan ini dan mengeluarkanku dari penjara

dan mendudukkanku di atas singgasana karena “Apa saja nikmat yang kalian

peroleh adalah dari Allah” (Q.S. an-Nahl: 53). Semua nikmat yang sampai

p:226

kepada kalian adalah dari Pemberi nikmat yang azali(al-mun’imal-azali),

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerah kan kepadaku

sebagian kerajaan”. Itu adalah nikmat lahir “Dan telah mengajarkan

kepadaku sebagian tabir kejadian-kejadian” (Q.S. Yusuf: 101). Engkau juga

mengajariku takwil kejadian-kejadian(ta’wilal-ahadist wa dhawahir). Itu

merupakan nikmat batiniah.

Ta’bir mimpi (ta’bir ar-ru’ya) bukanlah takwil kejadian (ta’wil alahadidits);

ta’wilal-ahadits adalah setiap fenomena dan kejadian mempunyai

tempat kembali (‘aud au ruju’), dan barang siapa mengetahui peristiwa-peristiwa

dunia sekarang dan mengetahui juga ke mana kem balinya

peristiwa-peristiwa tersebut, maka ia mengetahui akhir peristiwa ini dan

kemana tempat kembalinya. Ta’wil al-ahadist yang berhubungan dengan

kesaksian-kesaksian di saat sadar (musyhadat al-yaqdah) bukanlah ta’bir

ar-ru’ya, yaitu apa yang dilihat oleh manusia di saat tidur dan setelah itu

ia mampu berjalan dari gambar itu dan mencapai tujuan itu serta mampu

mengungkapkannya.

Walhasil, Yusuf ash-Shiddiq—salam Allah atasnya—mempunyai ilmu

ta’bir dan juga ilmu takwil kejadian, “Dan telah mengajarkan kepa da ku

sebagian takbir kejadian-kejadian, (Tuhan) Pencipta langit dan bumi”(Q.S.

Yusuf:101). Tuhanku, Engkaulah yang menciptakan langit dan bumi

dengan tanpa contoh sebelumnya dan Engkau menampakkan keduanya di

alam wujud. Ini adalah doa segenap para nabi. Ibrahim al-Khalil berkata,

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan

langit dan bumi” (Q.S. Al-An’am: 79). Dan Rasulullah ber kata, “Katakanlah,

‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan

langit dan bumi’” (Q.S. Al-An’am: 14). Dan Rasulullah juga menyifatkam

Pencipta (fathir) langit dan bumi kepada Allah, “Katakanlah, ‘Apakah akan

aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi’“.

Dialah yang menciptakan langit dan bumi, dan lafal fathir di atas

lafal khaliq (yang juga berarti Pencipta). Pemberi keberadaan pertama di

alam ciptaan adalah Allah, Pembikin sistem wujud adalah Allah. Allah

adalah Maha Pencipta (badi’, mubdi’ wa fathir). Yusuf ash-Shidiq berkata,

“Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat”.

Saya berada di bawah lindungan-Mu di dunia dan di akhirat, “Wafatkanlah

aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang

saleh” (Q.S.Yusuf: 101). Sampaikanlah aku ke tingkatan: Kau gabungkan

aku bersama orang-orang yang ruhnya saleh (as-shalihin bi dzat), dan

orang-orang saleh (as-shalihun) bukankah “Orang-orang yang beriman dan

p:227

beramal saleh” (Q.S. Al-Baqarah: 25).

Pada kajian yang lalu telah dijelaskan bahwa, as-shalihun. Di atas,

“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh”. Kesalehan orang-orang

yang mengerjakan amal saleh sebatas pada pekerjaan (fi maqâm al-fi’il),

tetapi kesalehan orang-orang saleh (as-shalihun) berada pada batas ruh (fi

ma’qam ruh wa dzat). Sebagian wali Allah di akhirat bergabung bersama

as-shalihun, “Dan sesungguhnya ia di akhirat bersama orang-orang saleh”

(Q.S. Al-Baqarah: 130). Dan di sini, Yusuf ash-Shidiq berkata, “Dan

gabungkanlah aku bersama orang-orang saleh” (Q.S.Yusuf: 101).

Maka, beliau mendambakan kematian pada saat menjadi menteri,

dan tidak meminta kematian pada saat berada di dasar sumur, dan tidak

berdoa kepada Allah agar mematikannya pada saat di penjara, karena dia

mengetahui bahwa sumur dan penjara merupakan ujian dunia yang sebentar,

dan dia mengetahui juga bahwa kementerian adalah kudukan duniawi yang

tinggi dan karenanya ia adalah kedudukan yang sedikit (kecil). Dia tidak

mau tercemari dengan ornamen-ornamen ini ketika beliau memasuki ruang

ujiannya. Dalam keadaan ini dia berkata: “Tuhanku, wafatkanlah aku”.

Interprestasi demikian ini terdapat dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah,

Karya salah seorang ‘ârif (ahli makrifat) sepuluh abad yang lalu. Namun,

Ustaz Allamah Thabathaba’i (rahmat Allah atasnya) tidak sependapat dengan

interprestasi ini. Beliau mengatakan dalam tafsirnya yang berharga, al-Mizan,

bahwa Yusuf ash-Shidiq tidak berkata: “Wafatkanlah aku dalam keadaan ini”,

tetapi dia berkata: “Ilahi anugerahilah aku taufik kematian (taufiqul maut)

sebagai seorang Muslim”. Ini tidak berarti meminta kematian. Tujuan dan

pokok utama dari doa ini adalah “Wafatkanlah aku sebagai orang Muslim”.

Yakni, bahwa berilah aku taufik agar aku mati sebagai orang Muslim. Jadi,

dia tidak meminta kematian.

Al-Qusyairi mengatakan bahwa Yusuf ash-Shidiq meminta kematian

ketika beliau menjadi seorang menteri. Sementara itu, Allamah Thabathaba’i

mengatakan bahwa ketika beliau menjadi menteri, beliau meminta kepada

Allah agar diberi taufik kematian dalam keadaan Islam. Maka, inti dan

fokus doa menurut Allamah Thabathaba’i adalah wafat besama Islam bukan

harapan akan kematian. Yakni, Yusuf ash-Shidiq berkata: Ilahi karunialiah

aku taufik kematian sebagai seorang Muslim, karena wasiat Ya’qubas adalah:

“Maka, janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam” (Q.S. Al-

Baqarah: 132). Wasiat Ya’qub untuk anak-anaknya yang direkam dalam Al-

Qur’an adalah: Berusahalah dengan sungguh-sungguh agar kalian mati dalam

keadaan Islam; bukan meminta kematian yang dekat atau yang jauh karena

p:228

kekekalan di alam materi adalah hal yang mustahil, maka kematian akan

terjadi baik cepat atau lambat, “Kami tidak menjadikan manusia sebelumnya

kekal” (Q.S. Al-Anbiya’: 34). Yang penting adalah kematian dalam

keadaan sebagai Muslim, serta mengetahui batin dunia dan batin akhirat.

p:229

p:230

Pelajaran XVI

Argumentasi Hari Kemudian dan Pentingnya Keyakinan tentangnya

p:231

p:232

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Al-Qur’an al-Karim menilai bahwa pendidikan dan pelatihan ruh

merupakan bagian terpenting dari programnya untuk menciptakan

kebahagiaan, dan ia juga mengemukakan sebab pemilihan program ini

dengan mengatakan: Sesungguhnya keyakinan tentang kiamat memiliki

pengaruh yang cukup efektif dalam terealisasinya program ini dan ia

merupakan sebab yang dominan dalam pelatihan dan pendidikan ruh.

Keimanan dengan Hari Kemudian merupakan jaminan terlaksananya dasar

ajaran samawi (al-ashl as-samawi) ini.

Manusia yang tidak mengimani Hari Kemudian tidak akan mampu

melatih ruhnya dan mendidiknya, sedangkan manusia yang meyakini

kiamat, maka keyakinan ini akan melindunginya dan berperan penting

dalam mendidik ruhnya. Oleh karena itu, orang-orang materialis dan para

pecinta dunia (ad-dunyawiyyun) sejak semula mengingkari Hari Kemudian.

Bahkan, orang-orang yang meyakini wujud Allah sebagai Pencipta Sistem

alam(khaliq an-nidzam al-maujud), berlambat-lambat dalam menerima

adanya Hari Kemudian dan pada akhirnya menging karinya seperti para

penyembah berhala di Hijaz (Mekah) dan para penyembah patung yang

lain. Mereka semua menentang adanya hari Kemudian dan bersikeras untuk

menolak adanya Hari Kiamat.

Keyakinan tentang Hari Kemudian akan mencegah manusia lari dari

tanggung jawab. Keyakinan tentang kiamat akan menentang segala ben tuk

kelaliman para thaghut dan mencegah para budak hawa nafsu dan syahwat

dari tindakan melampaui batas, dan juga dapat mengendalikan naluri

emosional dan segala perilaku yang menympang. Keyakinan ter sebut akan

menyeimbangkan naluri seksual, dan akan menghentikan bara dengki yang

diwujudkan dalam dendam kesumat, ia tidak membolehkan orang-orang

yang menjadi tawanan nafsu mereka untuk melakukan tindakan melampaui

batas, ia tidak membiarkan manusia disetir oleh hawa nafsu, ia mencegah

agar jangan sampai suatu persoalan tunduk kepada kecenderungan dan

keinginan hawa nafsu, tetapi ia mengatur suatu urusan di bawah perintah

akal, dan menyempurnakan akal di bawah bimbingan wahyu.

p:233

Jadi, keyakianan terhadap Hari Kiamat mempunyai peranan yang

efektif. Orang-orang yang membela mazhab materialisme, karena tidak

meyakini adanya Pencipta (mabda’) alam, secara otomatis mereka tidak

meyakini adanya Hari Kemudian dan mereka tidak mempercayai adanya

kesudahan tujuan bagi alam ini. Sedangkan orang-orang yang meyakini

adanya Allah (al-ilahiyyun) mengimani adanya Pencipta alam yang

bernama Allah. Namun, mereka mengingkari dan menentangnya. Sikap ini

disebabkan mereka ingin menjadi orang-orang yang bebas.

Al-Qur’an al-Karim telah memberitahukan manusia tentang

pentingnya masalah Hari Akhir dan mengatakan: Meskipun keyakinan

tentang Pencipta penting, tetapi jika tidak dibarengi dengan keyakinan Hari

Akhir, maka tidak ada jaminan untuk melaksanakan keutamaan-keutamaan

akhlak, dan tidak ada jaminan lahirnya sifat zuhud dan takwa dari hal itu.

Boleh jadi seseorang tidak mempercayai Hari Akhir lalu ia berusaha

untuk memperoleh keutamaan kemanusiaan dari sisi perasaan yang seimbang

(al-‘athifah al-mu’tadillah) tetapi merasa cukup dengan adanya perasaan

dan emosi yang terkendali bukanlah kesempurnaan yang tinggi bagi ruh

manusia. Maka, ruh harus mencapai maqâm yang lebih tinggi daripada ini

dan naik ke tempat yang lebih mulia daripada itu. Dan orang-orang yang

mengimani adanya Pencipta wujud dan mempercayai adanya Allah, apabila

makrifat mereka terhadap Allah sempurna dan benar, maka mereka pasti

akan mempercayai adanya Hari Akhir dan memgimani Hari Kiamat, karena

makrifat ketuhanan (al-uluhiyah) merupakan sifat-sifat agung dan asma Allah

yang agung (asmâ’ al-Husna). Maka, Allah Maha Bijaksana (hakim) dan

Mahaadil (‘adil). Dan karena Allah hakim, maka tidak ada perbuatan sia-sia

yang berasal dari hakim, dan karena haq. Dan karena Allah Mahaadil, maka

tidak ada perbuatan dari-Nya yang berlawan dengan keadilan. Al-Qur’an

menetapkan peristiwa-peristwa kiamat dengan cara mengemukakan penelitian

terhadap sifat-sifat agung (as-shifat al-‘aliyah) bagi Yang Maha Bena r(al-haq).

Al-Qur’an al-Karim telah menyebutkan beberapa argumentasi untuk

menetapkan perlunya Hari Kemudian dan al-had al-ausath. Bagi argumentasi

ini adalah sifat-sifat agung bagi Allah. Salah satu bentuk argumentasi ini,

menetapkan pentingnya Hari Akhir dari sisi bahwa Allah hakim, dan tidak

ada yang muncul dari hakim perbuatan yang sia-sia. Kalau begitu, Allah

tidak akan memunculkan perbuatan yang sia-sia. Apabila sistem ini tidak

mencapai tujuan akhirnya dan kesempurnaan yang diharapkan, yakni

mencapai kehidupan abadi dan seterusnya. Maka hal ini tidak ada lain

p:234

kecuali sesuatu yang sia-sia, dan sesuatu yang sia-sia tidak mungkin berasal

dari Allah, al-hakim.

Dengan demikian, dunia ini mempunyai tujuan yang bakal dica painya.

Dan argumentasi semacam ini harus dianalisis dan diterangkan dengan

semudah dan sesederhana ini.

Argumentasi kedua, dari jalan kebenaran Allah Swt, yaitu bahwa Allah

adalah haq (kebenaran), dan tidak ada yang keluar dari haq suatu perbuatan

yang batil. Ketika alam tidak berhasil mencapai tujuan dan hanya sekadar

pengulangan bagi kematian dan kehidupan, maka hal ini tidak ada lain

kecuali sesuatu yang sia-sia, dan tidak mungkin perbuatan yang sia-sia

muncul dari Kebenaran Mutlak (al-haq al-mahd). Maka, alam mempunyai

tujuan. Dan argumentasi kedua ini hendaklah diberikan analisis lebih

daripada porsi yang telah disebutkan.

Argumentasi ketiga, yaitu keberadaan Allah Swt sebagai Dzat Yang

Mahaadil, dan al-had al-ausath dari argumentasi ini adalah keadilan Allah.

Dan karena Allah Mahaadil, maka Dia harus menghisab orang-orang yang

baik dan orang-orang yang jahat. Orang-orang yang baik harus diberi

pahala dan orang-orang yang jahat harus disiksa. Di sana, harus ada hari

pembalasan, hari penerimaan pahala dan siksa agar kebaikan terpisahkan

dari keburukan dan agar si pendosa terpisahkan dari si abdi. Dan karena

Allah Mahaadil, maka semua manusia harus diperiksa. Kalau tidak, maka

Dia berlaku lalim kepada para hamba dan orang-orang lemah.

Apabila nilai para pendosa dan orang-orang yang taat sama, baik di

masa kehidupan atau kematian mereka dan setelah kematian tidak ada

hisab dan kedua kelompok ini tidak dipisahkan, maka itu adalah bentuk

kelaliman. Dan karena Allah Mahaadil dan tidak ada yang berasal dari Yang

Mahaadil kecuali sesuatu yang adil, maka haruslah ada hari perhitungan dan

hari penerimaan pahala dan siksa. Dan argumentasi ketiga ini, juga harus

dijelaskan lebih dari yang telah disebutkan.

Dan sekarang, kami akan menyebutkan indeks tema Hari Akhir dan

ringkasan pembahasan tentang kiamat bersama argumentasi-argumentasi

ini dan nanti—insya Allah—akan dikemukakan kajian-kajian yang rinci

seputar hal itu. Sebagai mukadimah kami jelaskan bahwa masalah Hari

Kemudian sangat penting di mana kaum materialis berusaha keras untuk

mengingkarinya, sedangkan para nabi bersikeras untuk menetapkan

peristiwa-peristiwanya melalui argumentasi gamblang dan rasional.

Para pengingkar Hari Akhir tidak cukup hanya menganggap mustahil

dan menentang adanya kiamat, tetapi meskipun mereka mempercayai

p:235

keberadaan Allah, mereka bersumpah atas nama Allah bahwa tidak ada hari

kebangkitan bagi mereka.

Mereka mengngkari Hari Akhir dengan sumpah yang berat karena

mereka mau mencapai syahwat dan kenikmatan yang diharamkan dan juga

melampiaskan kedengkian. Bagi mereka, keimanan dengan Hari Kemudian

dapat menjadi batu sandungan bagi pelampiasan kedengkian dan syahwat

itu. Ketika Allah Swt menceritakan pengingkaran keras kaum materialis

dalam surah an-Nahl, Dia berkata kepada orang-orang yang mengimani

Allah namun tidak mengimani hari pembalasan itu, “Dan sesungguhnya

kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),

‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut’” (Q.S. an-Nahl: 36). Kami

telah mengutus para rasul kepada seluruh umat, dan ajaran para nabi itu

terdiri dari dua tema: Pertama, pengusiran thaghut; dan kedua, keyakinan

terhadap tauhid. Semua nabi membawa kabar gembira tentang dua tujuan

ini:

Pertama: Ibadah kepada Allah (sembahlah Allah)

Kedua: Menjauhi thagut.

Pengesaan Allah dan ibadah kepada-Nya, dan menjauhi thagut, baik

thagut luar dan thagut dalam. Kelaliman dinamakan dengan Thagut. Yang

dimaksud dengan menjauhi thaghut adalah hendaklah dia (orang yang

takwa—Peny.) berada di suatu lembah dan thaghut berada di lembah yang

lain, yakni tidak mengikuti garis kebijakan thaghut dan mengambil sikap

yang berlawanan dengannya. Mengambil sikap konfrontasi dengan thagut

dinamakan dengan menjauihi thagut.

Yang dimaksud seorang Mukmin menjauhi dosa adalah dia berada di

satu sisi dan dosa berada di sisi yang lain. Tempat yang di situ ada dia (orang

mukmin) adalah tempat yang tidak ada dosa di dalamnya dan sebaliknya,

tempat yang di situ ada dosa adalah tempat yang tidak ada orang Mukmin

di dalamnya. Dan orang Mukmin tidak akan melakukan dosa dan dia tidak

mengizinkan orang-orang lain mengerjakan dosa di hadapannya.

Para nabi datang dengan membawa ajaran ini: sembahlah Allah,

jauhilah thagut. Manusia terbagi ke dalam dua kelompok di hadapan ajaran

para nabi. Ada kelompok yang menerima penyembahan kepada Allah dan

penjauhan thaghut, dan kelompok yang lain tidak menerima itu, “Sebagian

mereka mendapatkan petunjuk dari Allah” (Q.S. an-Nahl: 36). Dia memilih

jalan kebenaran lalu mendapatkan petunjuk Ilahi, ”Dan di antara mereka

ada orang yang ditetapkan atasnya kesesatan” (Q.S. an-Nahl: 36) dan sebagian

p:236

manusia melalui jalan kebatilan dengan sengaja, maka ditetapkan kesesatan

atas mereka. Mula-mula Allah tidak menyesatkan mereka, bahkan Allah

memberi bimbingan dan petunjuk melalui diutusnya para nabi, namun

karena mereka mengikuti hawa nafsu maka ditetapkan kesesatan atas

mereka. “Jalanlah di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang

yang mendustakan (ayat-ayat Allah)” (Q.S. an-Nahl: 36).

Al-Qur’an berkata: Janganlah kalian hanya membaca sejarah dan

membuka-buka lembaran sejarah, tetapi pergilah keliling di muka bumi

agar kalian dapat melihat sejarah nyata dunia dan apa yang Allah lakukan

terhadap para thaghut dan para pendosa, “Dan jika kamu (Muhammad)

sangat menginginkan agar mereka mendapat petunjuk, maka (ketahuilah)

bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat dan mereka

tidak memiliki penolong” (Q.S. an-Nahl: 37). Wahai Nabi, tidak ada gunanya

kamu berkemauan keras untuk memberi hidayah kepada orang-orang yang

sesat karena mereka sendiri telah menutup jalan (kebenaran) dengan sengaja

atas diri mereka, mereka membuntu jalan kebahagiaan atas diri mereka

sendiri dengan dosa-dosa mereka, dan mereka mengunci jalan surga atas

diri mereka sendiri dengan mengikuti hawa nafsu, mereka membuka jalan

jahanam dengan kedengkian mereka. Sesungguhnya mereka telah tersesat

dari jalan yang benar dengan sebab kesalahan langkah kaki mereka sendiri,

dan tidak ada jalan untuk memberikan petunjuk kepada mereka, baik dari

dalam maupun dari luar, merekalah orang-orang yang “bersumpah dengan

nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan

membangkitkan orang yang mati” (Q.S. an-Nahl: 38).

Mereka benar-benar bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang

berat, yaitu sumpah dengan tidak adanya Hari Kiamat. Mereka berkata:

Kami bersumpah atas nama Allah bahwa orang-orang yang mati tidak akan

pernah dibangkitkan, dan bahwa tidak mempunyai hari yang bernama Hari

Kemudian dan hari perhitungan yang bernama Hari Kiamat, yakni bahwa

orang yang mati itu akan binasa (fana) selamanya. Demikianlah sumpah

para pengingkar Hari Akhir yang notabene mereka mempercayai pada

Pencipta (al-mabda’). Untuk menjawab mereka, Allah berfirman, “(Tidak

demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji

yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak ada mengetahui”

(Q.S. an-Nahl: 38).

Ya, demikianlah kiamat yang hak akan terjadi dan sungguh bahwa

kehidupan sesudah kematian adalah hak. Dan mereka menyangka bahwa

kiamat itu batil dan khurafat, dan mereka bersumpah bahwa Allah tidak

p:237

akan menghidupkan kembali orang yang mati. Sungguh Allah akan

membangkitkan orang-orang yang telah mati agar segala bentuk perselisihan

terselesaikan dan agar setiap manusia memperoleh pahala atau siksa “Tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Argumentasi yang Allah jelaskan

dalam surah an-Nahl tentang perlunya Hari Kiamat sebagai berikut,

“Supaya Dia menjelaskan kepada mereka apa-apa yang mereka perselisihkan di

dalamnya” (Q.S. an-Nahl: 39). Yakni, harus ada suatu hari di mana kebenaran

akan muncul di dalamnya dan segala bentuk perselisihan dan kemunafikan

akan terbongkar. Dan argumentasi ini harus dianalisis secara lengkap dalam

pembahasan tentang perlunya Hari Kiamat. Dan sekarang, kami akan

membahas dalam mukadimah ini tentang pentingnya masalah Hari Kemudian.

Kalau demikian, sekelompok orang yang mempercayai Allah seperti

para penyembah berhala di Hijaz dan para penyembah patung yang lain,

bukan hanya meragukan Hari Ahir tetapi mereka bersumpah kepada

Allah dan bersikeras untuk menolaknya. Oleh karena itu, Allah Swt telah

memerintahkan Rasul-Nya Saw. untuk bersumpah juga bahwa Hari

Kemudian memang benar, dan tidak hanya mengemukakan dalil tentang

perlunya Hari Akhir dan tidak hanya menetapkan dengan beberapa

argumentasi bahwa kehidupan setelah kematian adalah hak, dan tidak hanya

menjelaskan dengan beberapa hujah bahwa manusia tidak akan mengalami

kefanaan setelah kematian karena ia hanya wafat dan ber pindah dari suatu

alam ke alam yang lain, namun Allah memerintahkan beliau agar bersumpah

tentang kepastian Hari Akhir.

Allah telah memerintah Rasul-Nya dalam surah Yunus, surah Saba’,

dan juga surah Taghabun: Sumpahlah (hai Muhammad) bahwa Hari

Kemudian sungguh sesuatu yang hak. Dia (Allah) berfirman, “Kemudian

dikatakan kepada orang-orang yang lalim” (Q.S.Yunus: 52). Yakni, ketika

kiamat terjadi dan perhitungan(hisab) selesai dan orang-orang yang benar

memperoleh balasan mereka dan dikatakan kepada orang-orang yang

bermaksiat, “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan

melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. Yunus: 52). Yakni,

kalian datang dengan membawa amal yang kalian lakukan yang hari ini

berwujud dalam bentuk siksaan yang pedih dan kalian ber hadapan langsung

dengan siksa yang pedih ini, maka saat itu. Dia berkata kepada Nabi-Nya,

“Dan mereka menanyakan kepadamu, ‘Benarkah (kiamat) itu?’ Katakanlah,

‘Ya, demi Tuhanku’” (Q.S. Yunus: 53). Mereka bertanya kepadamu: Apakah

kimat benar-benar terjadi? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Apakah

manusia akan dibangkitan dan amalnya akan dihisab? “Katakanlah, ‘Ya,

p:238

demi Tuhan-ku, sesungguhnya kiamat itu adalah benar dan kamu sekali-kali

tidak dapat luput (darinya)’” (Q.S. Yunus: 53). Dia berkata: Katakan (hai

Muhammad): Benar, aku bersumpah atas nama Allah bahwa Hari Kiamat

adalah hak dan kalian tidak akan mampu menghindar dari kekuasaan Allah

yang menghidupkan orang-orang mati dan menghidupkan kalian, dan

kalian tidak dapat lari dari genggaman Hari Kiamat. Kalian tidak mampu

menghindar dari masalah Ilahi ini, dan kalian juga tidak dapat lolos dari

keputusan abadi yang “Tidak ada keraguan di dalamnya. Dan kamu sekalikali

tidak dapat luput (darinya)”. Di sana ada hari yang menunggu-nunggu

kalian, yang orang lain berharap dapat menebus siksa hari itu dengan seluruh

materi dunia, jika ia seorang yang kaya, maka ia siap untuk memberikan

semua hartanya agar dapat terbebaskan dari siksa pedih yang tidak tertahan,

“Dan kalau setiap diri yang lalim itu mempunyai segala apa yang ada di bumi

ini”(Q.S. Yunus: 54).

Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya dalam surah Saba’: Saya

bersumpah bahwa Hari Kiamat haq “Dan orang-orang kafir berkata bah wa

kiamat tidak akan datang kepada mereka” (Q.S. Saba’: 3). Dan orang-orang

kafir bersumpah bahwa Hari Kiamat tidak ada, tetapi Allah berkata kepada

Nabi-Nya, “Katakanlah, ‘Ya, demi Tuhanku’” (Q.S. Saba’: 3). Katakanlah (hai

Muhammad) bahwa kiamat hak. Aku bersumpah dengan nama Tuhanku,

“Ia (kaimat) benar-benar mendatangi kalian”. Kiamat pasti datang. Allah

Maha Mengetahui ilmu gaib, “Tidak ada yang tesembunyi dari-Nya seberat

zarahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang

lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang

nyata” (Q.S. Saba’: 3).

Itulah Allah Yang Maha Mengetahui semua atom kehidupan, maka

tidak ada sesuatu yang luput dari pengetahuan Allah baik karena jauhnya

dan keterpisahannya atau karena kegelapan dan adanya penutup. Yang

menyebabkan orang lain tidak mengetahui adalah, boleh jadi karena jauhnya

suatu benda atau karena kecilnya atau karena adanya hijab dan kegelapan.

Ketika kita tidak mengetahui suatu benda, maka boleh jadi karena benda itu

jauh dari pandangan mata kita atau pandangan mata hati kita (bashirah) atau

karena benda itu ada di kegelapan, kebodohan, atau kegelapan zahir, atau

tersembunyi di bawah tabir kejahilan dan boleh jadi juga mata tidak dapat

melihatnya disebabkan kekecilannya dan kelembutannya atau disebabkan

kedalamannya dan kegelapannya. Ada empat perkara yang menghalangi

penglihatan mata biasa dan pandangan hati (bashirah), yakni: kejauhan,

kekecilan (ad-diqqah), kegelapan, dan tabir. Al-Qur’an secara implisit

p:239

berkata: Empat perkara ini tidak dapat menghalangi Allah dari pengetahuan

terhadap sesuatu; apabila atom-atom badanmu di dunia bercampur dengan

sesuatu dan di tempat mana pun ruhmu diletakkan ruhmu, maka ruhmu

dan badanmu berada di bawah kekuasaan ilmu Allah. Dan kekuasasan Allah

yang tidak terbatas tidak akan pernah sama sekali melemah.

Dengan demikian, Allah mengetahui dan berkuasa untuk mengumpulkan

bagian-bagain yang tercerai-berai. Dia berkata kepada Nabi-Nya:

Katakanlah, Aku bersumpah di hadapan kalian bahwa kiamat adalah haq,

“Katakanlah, ‘(Kiamat) pasti datang, demi Tuhanku’“. Dan Dalam surah

Taghabun masalah Hari Akhir juga dijelaskan bersama sumpah. Al-Qur’an

berkata, “Orang-orang kafir mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan

(setelah kematian)” (Q.S. at-Taghabun: 7).

Orang-orang kafir mengira bahwa kematian adalah kefanaan bagi

mereka karena ketika mereka mati, maka mereka akan mengalami kefa naan.

Oleh karena itu, selama mereka hidup, mereka harus menjadi orang-orang

yang bebas untuk melampiaskan syahwat, kemarahan, dan kedengkian.

Mereka berkata: Seseorang yang berakhir dengan kematian dan kefanaan

mengapa tidak dibiarkan hidup bebas sebagaimana yang diinginkannya.

Mereka menamakan hal ini sebagai suatu kebebasan. Mereka berkedok

di balik nama yang suci dan diberkahi “kebebasan” untuk melampiaskan

perilaku hewani yang paling keji dan paling buruk. Mereka menamakan

perilaku hewani ini dengan “kebebasan”. Allah Swt berkata kepada Nabi-

Nya: Katakanlah, aku bersumpah kepada Allah bahwa Hari Kiamat adalah

haq, “Katakanlah, ‘ya, demi Tuhanku, kalian akan dibangkitan’“. Tidak

mungkin manusia mengerjakan sesuatu yang disukaiNya, lalu dia dan

amalnya pergi begitu saja. Dia dan amalnya tidak akan fana. Dia tetap

berhubungan dengan amal itu. Manusia tetap hidup, amalnya hidup, dan

hubungannya dengan amal itu juga hidup, “Katakanlah, ‘Ya, demi Tuhanku,

kalian akan dibangkitkan’“. Kalian pasti akan dibangkitan, dia (Rasul—

Peny.) ber sumpah dengan membuang lam (hadfu lam) dan menegaskannya

dengan memasang nun taukid untuk menetapkan Hari Kemudian.

Dalam Al-Qur’an al-Karim, Hari Kiamat juga diungkapkan dengan

hari yang “tidak ada keraguan di dalamnya”, yakni hari yang tidak ada

sedikitpun kebimbangan di dalamnya. Jelas sekali, bahwa apa saja yang

terjadi pada Hari Kiamat tidak ada kesamaran, keraguan, dan kelalaiannya

di dalam. Tidak ada hal yang berhubungan dengan keraguan dan tidak ada

tempat bagi keraguan. Tidak ada keraguan pada Hari Kiamat. Tidak ada

keraguan tentang apakah kiamat itu ada atau tidak. Ketika kiamat tiba, tidak

p:240

ada keraguan apakah ia terjadi pada sesuatu atau seseorang atau masalah

tertentu karena Hari Akhir adalah hari Penyingkapan kebenaran, maka tidak

ada jalan bagi keraguan pada Hari penyingkapan kebenaran.

Hujah (burhan) yang berhubungan dengan kiamat mengatakan bahwa

kiamat tidak dapat diragukan. Tidak ada keraguan dalam segala bentuknya

tentang Hari Kiamat. Hari itu adalah hari penyingkapan kebenaran,

“Katakanlah, ‘Ya, demi Tuhan-ku, kalian akan dibang kit kan’“. Kalian pasti

akan dibangkitan “kemudian kalian akan diberitahu apa-apa yang telah

kalain lakukan” (Q.S. at-Taghabun: 7). Apa yang dilakukan manusia akan

diceritakan, meskipun sebetulnya manusia tidak perlu mendapatkan data

amalnya karena ia melihat dengan sendirinya (semua amalnya). Manusia

adalah satu di antara makhluk-makhluk yang tahu tentang amal mereka

sendiri pada Hari Kiamat, “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya

sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya” (Q.S. Al-Qiyamah:

14—15). Walaupun ia mengemukakan alasan apa pun, maka alasannya

tidak diterima karena ia mengetahui dirinya sendiri”, Pada hari itu

diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang telah

dilalaikannya” (Q.S. Al-Qiyamah: 13).

Dikatakan dalam surah Al-Qiyamah bahwa disodorkan kepada manusia

data amalnya pada Hari Kiamat. Kemudian ia berkata: Apakah masih perlu

data dan kutab (buku catatan amal) sedangkan manusia mengetahuinya

bahkan amalnya tergambar di hadapannya, bukan hanya dapat dilihatnya

bahkan anggota tubuhnya juga bersaksi atasnya. Apabila manusia datang dan

melihat bahwa dia hidup untuk selamannya dan amalnya juga akan abadi,

maka melalui amalnya dia akan melihat jiwanya dan akan membumbung

bersama ruhnya. Dia tidak akan mau tetap di bawah kekangan khayalan, dia

tidak mau dijerat oleh syahwat dan amarah, namun segala pemikirannya dan

kekuatannya berusaha untuk mengendalikan kedua tangannya, bukan untuk

mengikat kedua kakinya. Perbedaan antara orang yang buta dan orang yang

melihat adalah bahwa orang yang melihat berusaha melalui pemikirannya

dan pengamalan hidupnya membuat sesuatu yang dapat mengikat kedua

tangannya sedangkan orang yang buta melakukan suatu perbuatan yang

dengannya terikat kedua kakinya, semua usaha manusia yang menjadi budak

nafsu(syahwani) atau yang bertemparemen tinggi (al-ghadabi) sepanjang

siang dan malam tercurahkan untuk membuat belenggu bagi kedua kakinya.

Manusia yang sadar lagi melihat, berusaha untuk memenuhi sebabsebab

yang dengannya terikat kedua tangannya. Dan inilah perbedaan

antara manusia yang melihat dan yang buta, “Apakah sama antara orang yang

p:241

buta dan orang yang melihat” (Q.S. Al-An’ama: 50). Al-Qur’an berkata: Pada

hari itu kalian akan mengetahui amal kalian, dan janganlah mengira bahwa

itu sulit bagi Allah—“Dan itu bagi Allah sangat mudah”.

Terkadang Al-Qur’an mengatakan: Sesungguhnya menghidupkan

setelah kematian lebih mudah dari penghidupan yang pertama (al-ihya alibtida’).

Dan terkadang ia mengatakan: Sesungguhnya penghidupan orangorang

yang mati di sisi Allah lebih mudah daripada perbuatan yang dilakukan-

Nya sebelumnya, yaitu pemberian kehidupan kepada sesuatu yang tidak

ada sebelumnya. Manusia semula tidak berupa sesuatu apa pun, lalu Allah

memberinya kehidupan, dan ketika Dia ingin memberikan kehidupan dan

kedua kalinya maka itu lebih mudah bagi-Nya, “Dan itu lebih mudah bagi-

Nya” (Q.S. a-Rum: 27). Dan karena Allah Mahakuasa dan kekuasaan-Nya

mutlak, maka tidak benar jika kita mengandaikan bahwa ada sesuatu yang

mudah bagi-Nya dan ada sesuatu yang lain yang lebih mudah bagi-Nya.

Oleh karena itu setelah Dia mengatakan “Dan itu lebih mudah bagi-Nya”.

Dia segera berkata, “Dan bagi-Nya sifat yang Mahatinggi” (Q.S. ar-Rum:

27). Yakni, apa yang dikatakan itu adalah sesuai dengan tingkat pemahaman

kalian. Kalau tidak maka pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang mudah dan

yang lain lebih mudah bagi-Nya.

Semua pekerjaan di sisi-Nya sama dan ringan (remeh). Oleh karena

itu, dia berkata tentang Hari Kiamat besar, “Dan itu sangat mudah bagi

Allah”. Dan sumpah yang disebutkan oleh Al-Qur’an, baik yang disebutkan

oleh Allah atau yang diperintahkan-Nya untuk Nabi-Nya bukanlah seperti

sumpah yang disebutkan oleh orang-orang lain. Penjelasan yang disampaikan

oleh Ustaz Allamah Thabathaba’i (rida Allah atasnya) dalam tafsirnya yang

berharga, al-mizan, yaitu bahwa ketika Allah bersumpah atas suatu perkara

maka sumpah itu tidak seperti sumpah orang-orang lain, karena orang yang

kehilangan bukti dan tidak punya saksi biasanya memakai sumpah. Sumpah

manusia boleh jadi berlawanan dengan bukti, hujah, dan saksi. Akan tetapi,

ketika Allah menyebutkan sumpah maka tidak seperti itu, karena Dia tidak

menyebutkan sumpah yang berlawanan dengan dalil dan bukti, namun

Allah bersumpah dengan bukti dan saksi itu sendiri. apabila Allah mau

memberitahu kita tentang suatu bukti, maka Dia bersumpah dengannya dan

mengatakan: Aku bersumpah dengan si anu itu. Dan sumpah Allah dengan

memakai saksi, bukan bertentangan dengan saksi. Maka, Allah bersumpah

dengan menggunakan bukti, bukan berlawanan dengan bukti.

Kami akan menjelaskan pentingnya masalah Hari Kemudian menu rut

sudut pandang Al-Qur’an al-Karim, dan kami akan mengemukakan beberapa

p:242

argumentasi yang disebutkan oleh Al-Qur’an tentang perlunya Hari Akhir.

Apabila Allah memberi kami taufik ini, maka kami akan menyeb utkan hal

itu pada pertemuan yang akan datang.

Dalam sumpah ini, baik sumpah yang dilakukan oleh Allah atas yang

diperintahkan-Nya kepada Nabi-Nya, Dia (Allah) bersumpah dengan

menggunakan bukti, bukan sumpah yang berlawanan dengan bukti.

Misalnya, Allah ingin mengatakan bahwa orang-orang yang mengambil sikap

untuk menghadapi Rasul dan berseteru dengan beliau dalam perseteruan

yang sengit dan mereka tidak menerima ajaran wahyu samawi, mereka

berada dalam kesesatan yang jauh dan melalui jalan penyimpangan.

Allah menjelaskan masalah ini dengan menggunakan sumpah. Dia

bersumpah bahwa mereka berjalan dalam keadaan menyimpang, dan Dia

bersumpah dengan hidup Rasul termulia, “Demi hidupmu, mereka tersesat

dalam kemabukan mereka” (Q.S. Al-Hijr: 72). Sumpah dengan hidupmu

dan sumpah dengan sejarahmu, bahwa mereka menyimpang. Sungguh

mereka tidak melangkahkan langkah mereka dengan pertimbangan rasional,

mabuk dunia, mabuk di masa muda, rasio yang tercabut, mabuk jabatan,

serta mabuk kekayaan bukanlah sikap rasional. Mabuk karena masa muda

atau mabuk kekayaan, atau kedudukan, atau karena urusan duniawi lainnya.

Itu semua tidak sesuai dengan akal dan pikiran.

Al-Qur’an berkata: Sumpah demi hidupmu, sumpah dengan ruhmu,

sumpah dengan hidupmu yang penuh dengan pengabdian ilmu dan

keberkahan bahwa mereka adalah orang-orang yang mabuk yang meminta

air dari para pembeli air yang pada hakikatnya mereka tidak memiliki air.

Apabila mereka menginginkan kebahagiaan, maka kamulah tolok ukur dan

contoh kebahagiaan. Apabila mereka menginginkan nilai-nilai kema nusiaan

(insaniyyah), maka kamulah potret darinya; bilamana mereka mendambakan

kemuliaan dan kehormatan, maka kamulah contohnya; apabila mereka

menginginkan pengasuh (murabbi), maka kamulah sebagai panutan; jika

mereka menginginkan orang yang jujur (shadiq) dan abid, maka orang tua

adalah kamu; apabila mereka menginginkan kebebasan, maka kamulah

sebagai bukti darinya (syahid).

Dengan bukti ini semua, maka siapa pun yang berpisah darimu, maka

ia tersesat dari jalan, karena kamu adalah jalan itu sendiri, kamulah keadilan,

kamulah pejuang kebebasan, dan kebebasan berada di garismu. Sumpah

denganmu, wahai primadona orang orang yang bebas bahwa mereka adalah

para budak, sumpah denganmu, wahai manusia sempurna, sumpah bahwa

mereka orang-orang yang kurang kesempurnaan, sumpah denganmu, wahai

p:243

manusia yang sehat bahwa mereka adalah orang-orang yang sakit, sumpah

denganmu, wahai manusia yang suci bahwa mereka adalah orang-orang yang

tercemari, sumpah denganmu, wahai manusia yang mencurahkan sepenuh

jiwanya untuk membimbing ma nu sia bahwa mereka adalah orang-orang yang

sesat, Allah bersumpah dengan bukti dalam tiga surah, yaitu Yunus,

Saba’, dan Taghabun. Allah memerintahkan Rasul-Nya agar bersumpah

dengan nama Tuhan-Nya bahwa Hari Kemudian adalah hak, yakni makrifat

kepada Allah, iman kepada Allah, makrifat kepada Allah sebagai dalil pasti

(dalil qath’i) akan kebenaran Hari Akhir, apakah mungkin orang yang

mengenal keadilan Allah akan meragukan hari pembalasan dan hari hisab?

Apakah mungkin orang yang mengenal Allah sebagai Dzat Yang Maha

Bijaksana (al-haliim) akan percaya bahwa Dia telah menciptakan alam dengan

sia-sia dan tanpa tujuan dan kemanfaatan? Dan apakah mungkin orang yang

mengetahui Allah sebagai Dzat Yang Maha Benar (al-haq), tetapi ia tidak

melihat akhir dari (baca: kehancuran—Peny.) kebatilan dan tidak meyakini

adanya kiamat dalam akhir (cerita) alam. Kiamat akan terjadi di alam itu,

yaitu hari penyingkapan Kebenaran? Tidak demikian, dan tiga argumentasi

ini bersama al-had al-austah-insya Allah—pada majelis yang akan datang.

Dengan demikian, ketika Nabi termulia Saw. bersumpah atas nama

Tuhannya bahwa Hari Kemudian adalah hak, maka beliau seperti orang

yang berkata: Sekarang siang sudah nampak terang lalu dia bersumpah

dengan matahari dan mengatakan: Aku bersumpah dengan matahari ini

bahwa sekarang waktu siang. Orang ini bersumpah dengan menggunakan

dalil dan bukti (itu sendiri). Bukan seperti orang yang tidak mempunyai dali

l(bukti) lalu dia berlindung diri di balik sumpah, bukan seperti orang yang

tidak mempunyai saksi lalu dia bersandar kepada sumpah. Akan tetapi, ia

adalah seseorang yang mempunyai dalil dan saksi, yang “berdasarkan bukti

dari Tuhan-nya” (Q.S. Hud: 17). Dia bersumpah dengan bukti itu sendiri,

dia bersumpah dengan saksi itu sendiri dan dia bersumpah dengan dalil

itu sendiri, dan semua ini menunjukkan akan pentingnya Hari Akhir. Dan

Dia (Allah—Peny.) juga mengatakan dalam surah Shad bahwa siksa(yang

menimpa) orang-orang yang berdosa disebabkan lupa terhadap kiamat,

“Mereka mendapatkan siksaan yang pedih karena mereka telah melupakan

hari perhitungan” (Q.S. Shad: 26). Dan mustahil bagi orang yang mengingat

Hari Kiamat akan meneruskan dosanya dan kemaksiatannya. Dan ketika dia

pernah suatu saat tercemari kemaksiatan tertentu, maka dia akan berusaha

untuk membersihkan jiwanya dari noda. Dan tidak mungkin bagi seseorang

yang mengingat Hari Kiamat akan hidup dalam keadaan lalai, tetapi dia akan

p:244

berupaya untuk keluar dari kelalaiannya dan akan memperbaiki kesalahannya.

Zikir yang paling baik adalah zikir kepada Hari Kiamat di mana

Allah memberikan hadiah ini kepada orang-orang yang suci dan manusia.

Al-Qur’an berkata, “Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka (dengan

menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingat

kepada negeri akhirat” (Q.S. Shad: 46). Sesungguhnya Kami tuliskan Ibrahim

dan para nabi yang lain dalam mengingat kiamat dan kami jadikan mereka

termasuk golongan orang-orang yang ikhlas dan Kami masukkan mereka

dalam kelompok orang-orang yang ikhlas.

p:245

p:246

Pelajaran XVII

Kiamat Penutup Segala Bentuk Perselisihan dan Kebatilan

p:247

p:248

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Program para rasul utusan Allah yang paling penting adalah pen didikan

jiwa dan pelatihan ruh, dan faktor yang berpengaruh dalam pelatihan jiwa

adalah mengingat Hari Akhir, karena lupa terhadap kiamat dan lalai kepada

Hari Kemudian dan termasuk penghalang terbesar bagi pelatihan jiwa dan

kesempurnaan Ruhani. Oleh karena itulah Al-Qu’ran al-Karim memberikan

perhatian cukup besar kepada masalah Hari Akhir dan ia melihat bahwa

tindakan amoral merupakan akibat dari lupa terhadap kiamat, dan keterlibatan

seseorang dalam pelampiasan hawa nafsu dan dendam yang keji adalah juga

karena kelalaian dari kiamat. Orang-orang yang berlari di belakang tawanan

hawa nafsu dan orang-orang lalim, mengingkari kiamat agar mereka bebas

dari kekangan akal dan wahyu dengan mengatasnamakan “kebebasan suci”.

Bahkan, orang-orang yang beriman kepada Allah dan menerima

adanya Pencipta alam seperti para penyembah berhala dari Hijaz, bersikeras

untuk mengingkari kiamat dan bersumpah demi menaifkan kiamat, “Mereka

bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh, ‘Allah

tidak akan membangkitkan orang yang mati’” (Q.S. an-Nahl: 38).

Tema yang berkaitan dengan sumpah ini telah kami jelaskan

secara terperinci pada majelis terdahulu dan pada majelis ini kami akan

mengemukakan beberapa dalil yang disebutkan Allah Swt dalam Al-Qur’an

tentang pentingnya Hari Kemudian. Allah Swt menyebutkan Hari Akhir

dalam Al-Qur’an sebagai hari yang ‘tidak ada keraguan di dalamnya”. Yakni,

hari pembalasan yang harus terwujud (darurahat-tahaqquq). Tidak ada

keraguan pada Hari Kiamat karena kejadiannya sangat jelas dan pasti. Asal

kejadiannya tidak meragukan dan setelah kejadiannya juga tidak terdapat

kebimbangan tentang peristiwa-peristiwa yang bakal berlalu pada Hari itu.

Tidak ada keraguan tentang peristiwa Hari Kiamat, apabila ia terjadi, maka

di hari itu tidak ada keraguan apa pun. Manusia tidak akan meragukan apa

pun di sana. Segala bentuk peselisihan mereka akan berakhir di sana dan

kebenaran (al-haq) akan memanifestasi di hari itu, seluruh batin individu

akan nampak secara terang-terangan dan terbuka, segala penutup akan

tersingkap, maka tidak terdapat keraguan tentang apa pun pada Hari itu

karena hakikat segala sesuatu akan nampak di sana. Oleh karena itu, ia (Al

p:249

Qur’an—Peny.) berkata, “Tidak ada keraguan di dalamnya”. Yakni, tidak ada

kebimbangan pada Hari Kiamat, tidak ada keraguan dalam bentuk apa pun

yang berhubungan dengan Hari Kiamat.

Argumentasi yang disajikan Al-Qur’an al-Karim tentang perlunya Hari

Kemudian sangat beragam. Terkadang argumentasi tersebut al-had al-ausathnya

adalah kebijaksanaan Allah (hikmatullah)¸ yakni bahwa Allah adalah

Dzat Yang Maha Bijaksana (alhakim), dan al-hakim tidak akan melakukan

suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Apabila alam dunia

tidak akan mencapai suatu tujuan tertentu dan tidak ada lain kecuali hidup mati

yang berulang-ulang, seseorang dilahirkan dan yang lain mati (begitu

saja seterusnya), dan di alam tidak terdapat hisab dan (penerimaan) kitab

(catatan amal manusia—Peny.), dan kehidupannya seperti ini, maka itu

berarti sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna, dan sesuatu yang sia-sia dan

tidak bermafnaat tidak sesuai dengan kebijaksanaan (al-hikmah), dan Allah

adalah al-hakim yang sama sekali tidak pernah melakukan suatu perbuatan

yang sia-sia dan tidak berguna. Dengan demikian, dunia pasti mempunyai

tujuan yang akan dicapainya, “Dan Kami tidak ciptakan langit dan bumi

serta apa yang ada di antara keduanya dengan main-main (sia-sia)”(Q.S.

ad-Dukhan: 38). Dan argumentasi ini—yang al-had al-ausath-nya adalah

kebijaksanaan (al-hikmah)—harus dijelaskan secara tersendiri.

Argumentasi lain adalah jalan kebenaran (thariq al-haq), Allah adalah

Dzat Yang Maha Benar (al-haq), maka tidak berasal dari al-haq suatu perbutan

yang batil dan al-haq harus memanifestasi, dunia bukanlah tempat

penampakan Kebenaran Yang Sempurna (dzuhur al-haq al-kamil) karena

di dunia masih terdapat kebatilan dan di sana juga terdapat kesamaran

antara yang hak dan yang batil. Maka, harus terdapat suatu alam di mana

Kebenaran akan nampak di sana, dan di alam itu tidak ada tempat bagi

kebatilan dan kesamaran, dan ketika yang ada hanya al-haq, maka tidak ada

celah bagi kesamaran dan kebingungan di sana.

Keraguan dan kesamaran itu selalu terjadi ketika ada dua benda di luar,

dan ketika manusia sampai ke orang ketiga, dia tidak mengetahui apakah ia

termasuk dari bagian yang pertama atau bagian yang kedua karena di dunia

terdapat kebenaran dan kebatilan, dan boleh jadi terdapat sesuatu yang hak

dan setelah perjalanan waktu ia menjadi sesuatu yang batil. Oleh karena

itu, ada orang yang ragu dan tidak jelas antara memilih hak atau batil, Ada

juga keyakinan (akidah), akhlak, dan perbuatan-per buatan yang diragukan

apakah ia termasuk golongan hak atau golongan batil. Dan ketika pada Hari

Kiamat tidak ada sesuatu pun kecuali al-haq (kebenaran) dan tidak ada

p:250

tempat bagi kebatilan, maka tidak ada celah bagi kera guan dan kesamaran.

Dan had al-ausath dari argumentasi ini adalah penam pakan kebenaran dan

Hari Kiamat adalah hari penampakan kebenaran.

Keadilan adalah had al-ausath dari argumentasi ketiga. Allah adalah Dzat

Yang Mahaadil. Dan manusia di dunia terdiri dari dua macam: Kelom pok

orang bertakwa dan kelompok pendosa, sebagian berlaku adil dan sebagiaan

lagi berlaku lalim. Di dunia tidak terdapat pemisahan antara yang baik

dan yang buruk dan antara yang hak dan yang batil. Apabila tidak ada hari

pembalasan yang di dalamnya para pembela kebenaran akan mendapatkan

pahala dan para pembela kebatilan akan mendapatkan siksa, maka hal itu tidak

sesuai dengan keadilan Ilahi. Dan keadilan Ilahi adalah had al-ausath bagi

argumentasi ini, yakni karena Allah Mahaadil, maka terdapat hari pembalasan.

Demikianlah argumentasi yang beraneka ragam yang dikemukakan Al-

Qur’an al-Karim sehubungan dengan perlunya Hari Kemudian. Dan salah

satu argumentasi ini adalah masalah penampakan kebenaran, yakni haruslah

ada suatu hari di mana kebenaran akan tersingkap di dalamnya, dan hari itu

disebut dengan hari penampakan kebenaran. Simak syair berikut:

Besok, ketika Penguasa Kebenaran (sulthan al-haqiqah) mulai unjuk gigi

Kepada pejalan yang amalnya berdasarkan kepada jalan (kebenaran)

Selama di dunia ada manusia, maka pikiran dan pemikiran tetap ada.

Sebagaimana pikiran dan pemikiran tidak dapat lepas dari manusia, maka

begitu juga segala perselisihan dalam masalah akidah, mazhab pemikiran,

teorisme, dan segala pergulatan dalam ideologi dan penyebaran makar di

tengah-tengah masyarakat manusia tidak akan pernah berakhir. Manusia

tidak berdiri berdasarkan satu bentuk, sehingga semua meyakini satu

masalah dan akan mencapai satu tujuan. Kalau begitu, perbedaan pendapat

merupakan dasar pemikiran yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat

manusia, maka apakah akan terdapat suatu tempat yang di dalamnya segala

bentuk perselisihan pikiran dan mazhab ini akan terselesaikan? Ataukah

peperangan tujuh puluh dua kelompok akan terus abadi dan setiap kelompok

mengklaim bahwa ia adalah kelompok yang selamat dan kelompok yang lain

sesat? Atau, perselisihan itu akan sampai di suatu tempat yang peperangan

tujuh puluh dua kelompok umat akan berakhir dan kebenaran akan nampak

jelas di dalamnya? Apakah perselisihan ini abadi atau tidak?

Boleh jadi perbedaan pendapat itu benar atau perselisihan di antaranya

yang batil. Dan karena kebenaran tidak akan pernah berselisih (berbeda)

dengan kebenaran, dan kebatilanlah yang berselisih dengan kebenaran, dan

p:251

kebatilanlah yang tidak sesuai dengan keabadian, maka harus ada suatu hari

yang di dalamnya segala bentuk dan warna kebatilan akan berakhir dan

segala perbedaan pikiran secara paksa juga harus selesai. Dan hari itu adalah

hari penyingkapan kebenaran.

Jika perselisihan adalah hal yang batil maka tidak mungkin sesuatu

yang kekal akan menjadi tidak berguna, dan apabila teori yang bermacam-macam

sebagiannya benar dan sebagiannya batil, maka harus ada suatu hari

di mana segala perselisihan ini akan dipangkas dan ditunjukkan mana yang

hak dan mana yang batil. Dan segala bentuk perbedaan ini harus berakhir.

Terdapat bentuk lain dari perbedaan antara batin dan lahir orang-orang

yang berbuat riya, orang yang berpura-pura zuhud, orang-orang yang

mencari popularitasnya dan reputasi, para pemalsu serta kaum munafik

yang mempunyai dua wajah. Haruskah ada suatu tempat di suatu alam

yang segala perbedaan dan pergulatan antara yang batin dan yang lahir ini

akan berakhir? Tindakan hipokrisi ini adalah tindakan yang batil. Apakah

kebatilan ini harus ditiadakan dari alam? Apakah kebatilan dan kemunafikan

dapat menjadi abadi atau tidak?

Boleh jadi perbedaan pendapat itu benar atau perselisihan di antaranya

yang batil. Dan karena kebenaran tidak akan pernah berselisih (berbeda)

dengan kebenaran, dan kebatilanlah yang berselisih dengan kebenaran, dan

kebatilanlah yang tidak sesuai dengan keabadian, maka harus ada suatu hari

yang di dalamnya segala bentuk dan warna kebatilan akan berakhir dan

segala perbedaan pikiran secara paksa juga harus selesai, dan hari itu adalah

hari penyingkapan kebenaran.

Alam yang terdapat di dalamnya kemunafikan, kepura-puraan, riya,

tipu daya, dan pencarian reputasi akan diganti dengan sistem yang tidak

menerima reputasi, tidak ada jalan bagi riya, dan segala kemunafikan dan

itu pun tidak akan berlaku di dalamnya. Alam materi yang bercampur aduk

dengan kemunafikan haus mencapai suatu keadaan yang di dalamnya segala

perbedaan zahir dan batin akan dipupuskan.

Al-Qur’an menyampaikan dimensi kiamat ini dan mengatakan:

Allah adalah al-haq dan al-haq harus muncul. Dan Dunia tidak mampu

memikul kemunculan kebenaran, Al-Qur’an tidak melihat keserasian

dunia bagi kemunculan kebenaran. Pengalaman manusia mendukung dan

membenarkan bahwa dunia menjadikan layak untuk manifestasi kebenaran

dan tidak serasi untuk pengejawantahan dari Hakikat Murni dan Manifestasi

Sempurna dari Allah. Oleh karena itu, dunia ini cocok untuk tumbuhnya

perselisihan, perbedaan, dualisme, dan kemunafikan ini.

p:252

Meskipun para nabi datang dengan membawa Kitab samawi untuk

mengakhiri perselisihan lahir dan batin dan peredaan pendapat para pemikir

dan menghilangkan dualisme dari kaum intelektual, namun Al-Qur’an sendiri

berkata: semua usaha ini tidak dapat memperbaiki keadaan sampai pada

seratus persen, tapi hanya satu persen, “Dan sebagian besar manusia tidak akan

beriman walaupun kamu sangat mengingkannya” (Q.S. Yususf: 103). Dan Allah

Swt berkata kepada Rasul-Nya, “Apabila kamu menaati sebagian besar manusia

di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu” (Q.S. Al-An’am: 116).

Di sana ada kelompok manusia yang tidak terhitung, yang

menjadi tawanan hawa nafsu yang akan membentuk perselisihan dan

kemunafikan. Walaupun para nabi datang dan kitab-kitab samawi

diturunkan untuk memecahkan segala bentuk perbedaan, tetapi dalam

batas syairat (at-tasyri’i) dan dalam batasan pemilihan pahala dan dosa

tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan perbedaan itu satu berbanding

seratus (satu persen saja). Maka, perselisihan ini akan terus abadi di

tengah-tengah manusia sampai alam berubah dan sistem yang beraneka

ragam ini diganti dengan sistem lain yang tidak menerima kecuali

kebenaran dan diubah menjadi tempat yang hanya milik kebenaran.

Oleh karena dia tidak memiliki kemampuan untuk menjadi tempat

pen jel maan Kebenaran Yang Sempurna, maka kebenaran tidak menjelama

secara sempurna, dan ketika kebenaran tidak menjelma secara sempurna,

maka kekurangan dan kekosongan itu menjadi kebatilan, meskipun pada

hakikatnya kebatilan itu sesuatu yang tidak ada. Al-Qur’an berkata dalam

surah an-Nahl ketika menjelaskan kejadian-keja dian kiamat; Sesungguhnya

kiamat diadakan dalam rangka menye lesaikan segala perselisihan dan agar

dualisme itu menuju ke satu tujuan, “Agar Dia menjelaskan kepada mereka

apa-apa yang mereka perselisihkan di dalamnya”, yakni, bahwa adanya hari

kiamat adalah agar Allah menerangkan semua hakikat yang semula menjadi

ajang perselisihan, sehingga dapat diketahui siapa yang bersama kebenaran

dan siapa yang bersama rombongan kebatilan, “Mereka bersumpah

dengan nama Allah dengan sumpah yang sungguh-sugguh, ’Allah tdak akan

membangkitkan orang yang mati’. (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan

membang kitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi

keba nyakan manusia tidak mengetahui, agar Allah menjelaskan kepada mereka

apa yang mereka perselisihkan itu, dan agar orang-orang kafir itu mengetahui

bahwa mereka adalah orang-orang yang berdusta” (Q.S. an-Nahl: 38—39).

Kiamat terjadi untuk penyingkapan kebenaran, dan agar segala

perbedaan terselesaikan, dan agar orang-orang kafir mengetahui bahwa

p:253

mereka pembohong dan pengingkar kebenaran dan mereka mengatakan

sesuatu yang batil. Al-Qur’an berkata dalam surah Nur ketika mengemukakan

peristiwa kiamat: Akan tiba hari yang “Mulut mereka, tangan mereka, dan kaki

mereka akan bersaksi atas mereka terhadap segala yang mereka lakukan” (Q.S.

an-Nur: 24). Pada hari itu, mulut mereka sendiri akan bersaksi atas mereka.

Apabila manusia melakukan suatu kelakuan jahat, maka mulutnya akan

menjadi saksi di hadapan mahkamah Allah; begitu juga kedua tangannya dan

kedua kakinya. Dari ucapannya akan menjadi jelas bahwa mulutnya, kedua

tangannya, dan kedua kakinya akan bersaksi atasnya bahwa manusialah yang

melakukan dosa bukan mulutnya, tangannya, dan kakinya. Semua anggota

tubuh ini tidak ada lain hanya sekadar alat-alat bekerja, karena saksi bukanlah

tertuduh. Terkadang, tertuduh berbicara tentang kesalahan dirinya sendiri;

hal ini dikatakan sebagai pengakuan. Dan terkadang orang lain berbicara

tentang kejahatan tertuduh; hal ini dikatakan sebagai kesaksian. Maka,

kesaksian bukanlah pengakuan. Meskipun Al-Qur’an berkata: Mereka

bersaksi atas diri mereka sendiri, namun secara pemisahan (at-tajziah) dan

analis rasional dengan memperhatikan ketelitian secara nominal (ad-diqqah

al-‘itibariyah), seorang saksi bukanlah orang yang tertuduh, atau kesaksian di

sana memiliki makna pengakuan, dan ia mempunyai kesamaan penggunaan

dengan peradilan di dunia “Menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri

merela sendiri” (Q.S. an-Nisa’: 135).

Alhasil, tangan, kaki, dan mulut akan menceritakan perkataan dan

perbuatan yang dilakulan manusia dan akan menjadi saksi atasnya di

mahkamah Keadilan Ilahi, “Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan

yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang

Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)”

(Q.S. an-Nur: 25).

Pada hari itu Allah akan memperlihatkan agama yang benar dalam

batinnya yang sempurna dan akan menetapkannya, dan mereka akan

mengerti pada hari itu bahwa Allah adalah kebenaran yang jelas. Imam Ali

as, pemimpin kaum muwahhid (orang-orang yang bertauhid) berkata, “Dia

lebih benar dan lebih jelas daripada yang dilihat oleh mata”.(1) Tidak ada

sesuatu yang lebih terang dan lebih nyata daripada Allah. Allah jauh lebih

jelas dan lebih benar daripada apa saja yang dilihat oleh mata.

Pada hari itu, Allah akan memanifestasi dengan nama kebenaran (bismi

al-haq) dengan suatu manifestasi yang sempurna dan di sana tidak ada

sesuatu yang lain kecuali manifestasi kebenaran. Oleh karena itu, kebatilan

p:254


1- 38 Nahjul Balaghah, Faidh. Hlm. 483.

dan perselisihan akan hancur dan berakhir serta di sana tidak ada kesamaran.

Pada Hari itu, tidak ada kebatilan yang berdiri di samping kebenaran

sehingga terdapat kelompok manusia yang condong kepadanya, sedangkan

kelompok yang lain berpegang dengan kebenaran dan kelompok yang ketiga

ragu di antara keduanya.

Apabila terdapat kebatilan, maka manusia akan terbagi menjadi tiga

kelompok: Satu kelompok di samping kebenaran, satu kelompok lain di

samping kebatilan, dan satu kelompok lagi bingung di antara keduanya.

Namun, apabila tidak ada sesuatu kecuali kebenaran, maka kebatilan tidak

akan dapat menjadi ajang perselisihan dan tidak ada tempat bagi kesamaran.

Apabila tidak terdapat dua benda (berbeda) di suatu tempat, maka kita tidak

akan pernah ragu. Keraguan itu selalu terjadi ketika terdapat dua hal lalu

manusia menjadi ragu pada hal yang ketiga, apakah ia termasuk hal yang

pertama atau hal yang kedua. Apabila Allah memanifestasi dengan nama-

Nya Yang Mulia dan Maha Benar (al-ism al mubaraka al-haq) dan itu berupa

wujud yang khusus (alwujud al-khas), wujud penjelmaan kebenaran (wujud

dzuhur al-haqiqah), maka saat itu tidak akan terdapat perselisihan dan

kesamaran. Dan Allah telah mengungkapkan kiamat sebagai hari kebenaran.

Allah berkata: Hari itu hari kebenaran, yakni hari yang di dalamnya

al-haq akan memanifestasi secara sempurna. Makna ayat tersebut bukan:

Hari kiamat adalah hari yang benar, terkadang Al-Qur’an berkata “kiamat

adalah benar” yakni bahwa kiamat akan terjadi, dan pada kali lain ia berkata

“kiamat adalah hari kebenaran” yakni wadah manifestasi Kebenaran Mutlak,

bukan hanya Hari Kiamat akan terjadi, tetapi bahwa hari itu adalah hari

manifestasi al-haq.

Allah berkata: Hari itu hari kebenaran, yakni hari yang di dalamnya

al-haq akan memanifestasi secara sermpuna. Makna ayat tersebut bukan:

Hari Kiamat adalah hari yang benar, terkadang Al-Qur’an berkata “kiamat

adalah benar” yakni bahwa kiamat akan tejadi, dan pada kali lain ia berkata

“Kiamat adalah hari kebenaran” yakni wadah manifestasi Kebenaran Mutlak,

bukan hanya Hari Kiamat akan terjadi, tetapi bahwa hari itu adalah hari

manifestasi al-haq.

Allah berkata: Hari itu hari kebenaran, yakni hari yang di dalamnya al-haq

akan memanifestasi secara sermpurna. Makna ayat tersebut bukan: Hari kiamat

adalah hari yang benar, terkadang Al-Qur’an berkata “kiamat adalah benar”

yakni bahwa kiamat akan terjadi, dan pada kali lain ia berkata “kiamat adalah

hari kebenaran” yakni wadah manifestasi Kebenaran Mutlak, bukan hanya

Hari Kiamat akan terjadi, tetapi bahwa hari itu adalah hari manifestai al-haq.

p:255

Allah berkata bahwa kiamat adalah saat di mana al-haq mengejawantah

di dalamnya “Itulah hari kebenaran”. Itu adalah hari kebenaran, yakni bahwa

tidak ada tempat bagi kebatilan pada saat Hari Kiamat. Oleh karena itu, segala

perselisihan akan selesai pada Hari itu. Orang munafik yang hidup dengan

dua muka(dualisme) yang antara lahir dan batinnya selalu berlawanan akan

dipermalukan di hari itu. Orang yang riya yang lahirnya berbeda dengan

batinnya juga akan dipermalukan pada Hari itu, dan orang-orang yang

mencari popularitas dan yang menginginkan reputasi yang lahiriah mereka

berbeda dengan batin mereka menyesal di hari itu, ketika kebenaran muncul

dan tidak ada sesuatu pun yang dapat disembunyikan di sana, “Itulah hari

yang benar. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan

kembali kepada Tuhannya” (Q.S. an-Naba’: 39).

Setiap orang yang bergerak menuju al-haq, maka ia akan mendapatkan

taufik, yaitu dengan syarat hendaklah ia tidak menginginkan apa pun selain

al-haq, dan ia akan memperoleh karunia itu, yaitu dengan syarat hendaklah

ia tidak melakukan sesuatu pun selain kebenaran. Ia tidak menipu dirinya

sendiri dan tidak juga menipu orang lain, “Itulah hari yang benar. Maka

barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada

Tuhan-Nya”. Rasulullah juga mengatakan, “Kepada-Nya aku menyeru dan

kepada-Nya juga aku kembali” (Q.S. ar-Ra’d: 36). Aku mengatakan manusia

kepada Allah dan tempat kembaliku juga kepada Allah. Akan tetapi, dalam

surah an-Nahl dikatakan: Para nabi datang dengan membawa kitab-kitab

samawi agar perselisihan berakhir, namun jelas bahwa kelanjutan jalan para

nabi mempunyai pengaruh yang terbatas dalam membatasi perselisihan,

bukan dalam batas menghilangkan akar perselisihan (raf ’u ashli al-ikhtilaf ).

Al-Qur’an mengatakan, “Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur’an)

kepadamu kecuali agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka

perselisihkan dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”(Q.S.

an-Nahl: 64). Kami tidak mengirim Kitab ini kecuali untuk menyelesaikan

segala perselisihan dan sebagai rahmat dan petunjuk bagi alam semesta, tetapi

para rasul tidak dapat memberikan taufik kepada umat kecuali sekitar satu

persen “Dan sedikit di antara hamba-hambaku yang bersyukur”(Q.S.Saba’:

13). Kelompok yang istimewa adalah mereka yang menerima kebenaran.

Mereka tidak menimbulkan perselisihan, mereka tidak menampakkan

perbedaan antara lahir dan batin mereka, mereka tidak menipu diri mereka

sendiri, dan mereka juga tidak memperkenankan hal itu (sikap yang tidak

terpuji) terdapat pada orang lain.

p:256

Hari kiamat adalah hari penyingkapan kebenaran yang segala bentuk

hal yang tersembunyi akan tersingkap. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya

Allah benar-benar berkuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati)”

(Q.S. ath-Thariq: 8). Raj’i bermakna pengembalian (i’adah), dan ruju’ berarti

‘audah (kembali atau pulang), raj’ adalah kata yang berbentuk muta’addi

(transitif) sedangkan ruju’ sebaliknya. Allah akan mengembalikan dan

memulangkan kedua kalinya. Kapan? Pada hari yang segala bentuk rahasia,

kesamaran, dan batiniah akan Nampak di dalamnya sebagaimana apa yang

ada di dalam batin bumi akan muncul lahirnya, “Dan bumi mengeluarkan

beban-beban berat( yang dikandung)nya” (Q.S. az-Zilzalah: 2).

Akan nampak apa saja yang ada dalam batin manusia, “Pada hari

dinampakkan segala rahasia” (Q.S. ath-Thariq: 9). Rahasia-rahasia yang

tersembunyi di dalam salah satu sudut hati akan nampak pada Hari itu,

dan segala hal yang tersembunyi akan dikeluarkan di hari itu. Manusia

akan menampakkan pada hari itu semua yang disimpannya di dalam hati

dan tidak ada rahasia sedikit pun yang tersisa. Dan sebagian rahasia yang

tersembunyi itu terdapat dalam jiwa manusia, “Dan jika kamu mengeraskan

ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan (segala) yang lebih

tersembunyi” (Q.S. Thaha: 7). Allah tidak hanya mengetahui hal-hal yang

lahir, Dia tidak hanya mengetahui rahasia-rahasia anak-anak Adam (al-asrar

al-adamiyah) tetapi dia juga mengetahui apa yang tesembunyi dari rahasia

yang tertutup dalam jiwa manusia.

Boleh jadi manusia tidak mempunyai ilmu tentang suatu rahasia, atau

ia tersembnyi di alam lipatan-lipatan hati dengan suatu keadaan di mana

cinta diri (hub an-nafs) akan menghalangi manusia untuk memahami dan

mengetahui rahasia itu. Dan inilah rahasia yang tesembunyi dan Allah juga

mengetahui bentuk rahasia ini. Pada hari itu, semua yang disembunyikan

hati akan nampak—“pada hari dinampakkan segala rahasia”. Dalam surah

an-Nisa’ dikatakan; Para pendosa mengharapkan pada Hari itu agar mereka

disamaratakan dengan tanah—“Mereka ingin supaya disamaratakan dengan

tanah, dan mereka tidak dapat menyem bu nyikan (dari Allah) suatu ucapan

pun” (Q.S. an-Nisa’: 42). Semua yang ada di batin manusia akan nampak,

dan semua rahasia hati akan menjadi nyata. Mereka—di dunia—menjadikan

kebenaran hanya sebagai jembatan untuk memperoleh kepentingan-kepentingan

materi dan mereka meng injak-injak kebenaran agar mereka

mendapatkan ambisi-ambisi duniawi yang fana, “Sebagian besar pergulatan

akal (tunduk) di bawah kilauan ambisi (ketamakan)”.(1)

p:257


1- 39 Ibid., hlm. 1184

Pemimpin kaum muwwahid (Imam Ali bin Abi Thalib—Peny.) berkata:

Sering kali akal menjadi korban dari pedang ketamakan dan ambisi.

Manusia yang gila akan menyembelih akal di bawah kaki ketamakan, ia akan

mengorbankan akalnya untuk melampiaskan kerakusan, ia akan memenggal

leher akal dengan pedang ketamakan. Para nabi berkata, “Mengapa kalian

mencampur aduk antara yang hak dan yang batil” (Q.S. Ali ‘Imran: 71).

Mengapa kalian menyembunyikan kebenaran? Mengapa kalian menjadikan

kebatilan berbusana kebenaran? Mengapa kalian menampakkan sesuatu

yang buruk menjadi sesuatu yang indah? Mengapa kalian membayangkan

bahwa dosa itu sebagai pahala? “Mengapa kalian mencampur aduk antara

yang hak dan yang batil”. Mereka yang tersem bunyi di batin mereka ada

mereka yang tidak mampu menyembunyikan sesuatu pun karena mulut

mereka berada di bawah kendali al-Haq (Allah—Peny.), bukan di

bawah kendali ikhtiar dan kekuasaan mereka. Ketika kebenaran muncul,

maka manusia akan mengatakan kebenaran. Tangan dan kaki juga akan

mengatakan kebenaran. Ketika manusia mem bantah atas kesaksian

anggota tubuhnya, maka anggota tubuh tersebut akan berkata: Allah yang

menjadikan segala sesuatu mampu berbicara juga menjadikan kami mampu

berbicara—“Mereka (anggota tubuh) men jawab: Allah-lah yang menjadikan

kami mampu berbicara sebagaimana Dia menjadikan segala sesuatu berbicara”

(Q.S. Yunus: 32). Tempat yang di dalamnya kebenaran muncul, akan

menjadikan kebatilan mening galkan tempatnya. Tidak mungkin kebenaran

muncul dengan sempurna apabila di situ masih ada kebatilan. Tidak ada

tempat untuk kebatilan, untuk menyem bunyikan kebenaran, untuk berbuat

kemunafikan dan riya, tetapi semua masalah ini akan berakhir, “Dan mereka

tidak dapat menyem bunyikan (dari Allah) suatu ucapan pun”. Apabila memang

demikian, maka kebenaran (al-haq) harus memanifestasi, dan Allah adalah

al-haq, maka mustahil kebenaran tidak mewujud.

Atas dasar ini, maka kiamat adalah hari keyakinan (yaumul yaqin). Dasar

kemunculan kiamat adalah hal yang meyakinkan dan tidak ada sesuatu pun

yang menghalangi kemunculannya, baik dari dalam atau dari luar. Allah yang

merupakan al-Haq akan memanifestasi dengan nama yang mulia ini, dan

segala bentuk perselisihan ini harus di akhiri, dan tidak ada sesuatu pun yang

mencegah keharusan ini, karena kendati pun kebatilan mampu melakukan

perlawanan dan mengokohkan tempatnya, namun ketika kebenaran

muncul ia akan menghancurkan kebatilan. Alam akan berlanjut dengan

kemenangan kebenaran atas kebatilan sampai kebatilan akan tersembunyi

(hilang) sekaligus dan kebenaran akan mewu jud juga sekaligus, kebatilan

p:258

akan tersingkir ke sudut-sudut kelesuan. Kebatilan adalah kekurangan yang

ada pada saat kemunculan kebenaran. Ketika tidak ada kekurangan pada

saat kemunculan kebenaran dan kebenaran memanifestasi secara sempurna,

maka saat itu tidak ada tempat bagi kebatilan.

Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata: Sesungguhnya Kami menyiapkan

jalan penembusan kebenaran dan jalan kemenangan secara perlahan-lahan

sampai kebatilan akan hancur sedikit demi sedikit, “Sebenarnya Kami

melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya,

maka dengan serta merta yang batil itu lenyap” (Q.S. Al-Anbiya’:18).

Apabila Al-Qur’an berkata bahwa ketika kebenaran datang, maka kebatilan

akan hilang, maka kepergian kebatilan adalah dengam pengokohan

kebenaran. Allah berkata: Seungguhnya Kami akan mengunggulkan

kebenaran atas kebatilan sampai kebenaran menang. Kebenaran yang

menang akan menghancurkan kebatilan, maka kebatilan akan pergi dan

musnah, “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang

hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”.

Kebenaran akan menghancurkan kebatilan secara perlahan dan ia

(kebenaran) akan muncul tiba-tiba dan sekaligus. Demikianlah kiamat,

ia akan muncul sekaligus (tiba-tiba), Allah tidak memperkenalkan kiamat

sebagai sesuatu yang perlahan-lahan, tetapi Dia mengatakan bahwa kiamat

akan datang dengan sekonyong-konyong—“Ia(kiamat) akan mencengangkan

mereka” (Q.S. Al-Anbiya: 40). Oleh karena kebatilan akan berakhir dengan

sekaligus dan mendadak. Kebatilan akan hancur melalui kemunculan

kebenaran yang sempurna. Oleh karena itu, Allah tidak menyebut kiamat

sebagai sesuatu yang bertahap, tetapi Dia mengatakan bahwa ia akan

datang secara mendadak—“Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”.

Dan terkadang, Dia menyebutkan kiamat seperti, “Keja dian kiamat(di

sisi Allah) seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi)” (Q.S. an-Nahl: 77).

Masalah zaman (waktu) tidak diutarakan setelah itu, karena zaman dapat

dlihat dalam cahaya. Yakni, zaman adalah hasil dari gerakan, dan gerakan itu

telah mencapai tujuannya, dan zaman sesuai dengan gerakan sistem ini, dan

sistem ini diganti dengan sistem lain dan alam ini diubah dengan alam lain

dan zaman telah mencapai tujuannya. Zaman (al-mutazamin) dan gerakan

(al-mutaharrik) menang setelah mencapai maksudnya. Perahu alam akan

berlayar untuk mencapai pelabuhannya.

Pada kajian yang lalu telah dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. ditanya,

“Kapan ia (perahu itu) berlabuh”. Yakni, kapan perahu ini akan menemukan

pelabuhannya? Lafal irs’a (berlabuh) bermakna ilq’a al-mursah (penemuan

p:259

pelabuhan). Dia (Allah—Peny.) berfirman tentang bahtera Nuh, “Dengan

menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya” (Q.S. Hud: 41).

Yakni, bahwa pelayaran dan kekokohan perahu ini atas nama Allah. Dan

ungkapan Al-Qur’an yang indah tentang kiamat adalah bahwa mereka

bertanya tentang perahu alam kapan akan menemukan pelabuhanya? Dan

benda yang bergerak sebelum menenang ia berada pada tingkat kekuatan yang

tinggi (fi marhalah al-quwwah), tetapi begitu berhasil mencapai(maksud)

dari perbuatannya (al-fi’liyyah) ia menjadi tenang.

Sekarang, kiamat berada pada tingkat potensi (marhalah quwwah) dan

ia akan menjadi tenang ketika mencapai tingkat riil (marhalah fi’il). Dan

dunia adalah marhalah quwwah bagi alam akhirat yang merupakan marhalah

fi’il. Akhirat adalah alam akhir, alam ketetapan, dan alam kehidupan

mutlak—“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarya kehidupan” (Q.S.

Al-Ankabut: 64). Alam akhirat adalah alam sadar dan alam bangun karena

kebenaran itu hidup dan bangun, dan hari itu merupakan marhalah fi’il bagi

perahu yang berputar-putar ini. Perahu ini akan menemukan pelabuhannya

ketika ia sampai pada Hari Kiamat dan ia akan mencapai tujuannya secara

langsung. Sampainya perahu itu yang secara perlahan-lahan, tetapi perjalanan

menuju tujuan itu yang berlangsung secara bertahap.

Oleh karena itu Al-Qur’an berkata, “Kejadian kiamat (di sisi Allah)

seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi)”. Kiamat mempunyai langit lain,

bumi lain, dan sistem lain yang akan dihuni oleh manusia-manusia yang

sama, yang pernah hidup di dunia ini. Mereka akan hidup di dalam sistem

itu bersama seluruh hakikat masa lalu mereka dan masa kini mereka, tidak

ada sesuatu pun yang tertinggal darinya, dan dalam sistem itu terdapat hal-hal

yang diputuskan (mahkumin) sesuai dengan faktor-faktor kebenaran (al-

‘awamil al-haqiqiyyah) dari sistem itu. Oleh karena itu, tidak ada tempat

untuk menyembunyikan kebenaran. Dan ketika kebenaran mewujud, maka

tidak ada tempat bagi kebatilan karena kebatilan akan hancur—“Maka

dengan serta merta yang batil itu lenyap”. Kebatilan akan mati sekaligus

karena cahaya kebenaran akan muncul sekaligus. Ketika sorotan cahaya

akan muncul sekaligus, maka kegelapan akan hilang sekaligus, meskipun di

sana terdapat perbedaan antara contoh (mitsal) dan apa yang dicontohkan

(mumatsal lahu).

Dalam ayat tersebut telah diutarakan waktu (zaman) meskipun

dikatakan secara cepat, namun membayangkan waktu di sana sulit karena

waktu telah mencapai tujuannya sebagaimana sesuatu yang berhubungan

dengan waktu( al-mutazamin) telah sampai ke tujuannya atau gerakan telah

p:260

sampai ke maksudnya, begitu juga benda yang bergerak (al-mutaharrik)

telah mencapai tujuannya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat merintangi

perwujudan kebenaran, karena Dia (Allah—Peny.) berkata, “Dan

kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi”. Apabila ada sesuatu

yang menghalangi kemunculan kebenaran, maka sesuatu itu termasuk dari

makhluk dan makhluk (manusia, misalnya—Peny.) tunduk kepada irâdah

Allah yang tidak pernah dapat diganggu.

Oleh karena itu, Dia berkata dalam lanjutan ayat tersebut, “Dan

kepunyaan-Nya-lah segala yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat

yang di sisi-Nya, mereka tidak ada mempunyai rasa angkuh untuk

menyembah-Nya dan tidak ada (pula) merasa letih” (Q.S. Al-Anbiya’:

19). Tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah kemunculan kebenaran,

karena sesuatu yang menentang kebenaran adalah kebatilan dan kebatilan

akan binasa— “Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”. Maka,

kebenaran akan tetap mewujud dan ketika kebenaran mewujud pada Hari

itu, tidak ada faktor apa pun baik dari dalam maupun dari luar yang mampu

menghentikan kemunculan kebenaran. Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata,

“Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, sehingga

penglihatanmu pada hari itu amat tajam” (Q.S. Qaf: 22). Ketika kamu di

dunia, kamu sendiri yang memasang penutup(tabir) atas dirimu sehingga

kamu tidak melihat apa-apa, dan sekarang, penutup itu ditiadakan sehingga

kamu mampu melihat rahasia-rahasia dan kamu dapat melihat dirimu sendiri

secara lebih baik, dan kamu juga mampu melihat orang-orang lain secara

lebih baik. Sistem di dunia akan diganti juga dan gunung-gunung akan

dihancurkan, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka

katakanlah, Tuhanku akan menghancurkannya (pada Hari Kiamat) sehancur-hancurnya,

maka Dia akan menjadikan (bekas) gunung-gunung itu datar

sama sekali, tidak ada sedikit pun kamu lihat padanya tempat yang rendah dan

yang tinggi-tinggi” (Q.S.Thaha: 105—107). Halaman kiamat akan menjadi

bersih tanpa bukit dan gunung, di samping itu, tabir akan dihilangkan

sehingga pandangan mata jauh lebih tajam—“Sehingga penglihatanmu pada

hari itu amat tajam” (Q.S. Qaf: 22). Dan pada hari itu, kamu akan melihat

hari kemunculan kebenaran dengan mata lahiriah dan mata batiniah dengan

(pandangan) yang sangat tajam.

p:261

p:262

Pelajaran XVIII

Tujuan Penciptaan

p:263

p:264

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Dalam pembahasan tentang ma’ad (hari kebangkitan) dilihat dari sisi

pandang Al-Qur’an, secara gamblang dijelaskan bahwa keyakinan akan

Hari Kiamat berperan penting dalam pendidikan jiwa (tahdzib an-Nafs).

Artinya, mendidik ruh yang merupakan tujuan utama diutusnya para nabi,

akan menjadi mudah dibina apabila seseorang meyakini adanya hari kiamat.

Ketika seseorang meyakini dan mengimani adanya masa depan yang abadi,

maka kepercayaan tersebut memiliki dampak dan pengaruh positif pada jiwa.

Sebaliknya, melupakan atau tidak mempercayai adanya Hari Kiamat,

akan mempermudah terjadinya berbagai maksiat dan dosa. Banyak

hal tentang kiamat yang perlu dikaji. Di antaranya, pengaruh positif

keyakinan Hari Kiamat pada pendidikan jiwa. Secara sekilas hal ini telah

kita kaji. Bukti keberadaan hari kebangkitan ini juga sudah kita kaji pada

pembahasan sebelumnya. Masalah-masalah lain yang perlu dikaji adalah

berbagai persoalan (isykal) berkaitan dengan eksistensi hari kebangkitan,

sementara jawaban Al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut sudah

dibahas sebelumnya ketika menukil argumentasi tenang kepastian adanya

hari kebangkitan. Dalam hal ini, Al-Qur’an telah membuktikan berbagi

argumentasi tentang pentingnya ma’ad dan keharusan adanya Hari Kiamat.

Di antara argumentasi tersebut adalah argumentasi gerakan (burhan alharakah),

argumentasi hakikat (burhan al-hakikah), argumentasi hikmah

(burhan al-hikmat) argumentasi keadilan (burhan al-‘adalah), argumentasi

immaterial ruh (burhan tajarrudar-ruh), dan berbagai argumentasi lain yang

akan kita bahas satu demi satu, insya Allah.

Sistem argumentasi gerakan burhanal-harakah) adalah demikian;

Tidak ada gerakan yang tanpa tujuan, karena gerakan berarti keluarnya

suatu potensi menjadi sebuah kenyataan (“khurujminal quwwati ilal fi’li”)

dan ini tidak mungkn terjadi tanpa adanya suatu arah. Berarti, pada gerakan

harus ada tujuan. Tujuan alam semesta adalah satu kesatuan yang mengalir

bergerak menuju tujuannya. Dengan demikian, alam semesta yang mengalir

dan bergerak ini pasti memiliki tujuan, dan mencapai tujuan adalah suatu

keharusan juga. Dapat jadi suatu bergerak menuju tujuan namun tidak sama

karena faktor tertentu yang mengahalanginya. Dapat jadi suatu potensi tidak

p:265

dapat menjadi sebuah kenyataan karena adanya penghalang. Akan tetapi tidak

semua alam semesta yang merupakan rangkaian satu kesatuan yang mengalir

ini dapat terganggu oleh adanya penghalang, baik dari dalam maupun dari

luar. Tidak ada penghalang dari dalam karena alam adalah satu kesatuan

yang bergerak menuju tujuan. Maka, tidak ada gambaran bagi suatu wujud

kesatuan hakiki akan menutup jalannya sendiri. Sebab gambaran adanya

penghalang hanya terjadi pada gerakan-gerakan yang bersifat ragam. Benih

misalnya, ia selalu berusaha untuk menjadi buah. Dapat jadi akan terbentur

oleh hujan besar atau cuaca dingin, sehingga untuk proses menjadi buah

terhalang; dapat jadi sebuah pohon di saat berusaha tumbuh lalu terinjak oleh

para pejalan kaki dan kemudian mati; dapat jadi banjir menghantam binatang

yang sedang menuju proses kesempurnaan hingga terdampar di tengah laut.

Berbagai contoh kejadian ini hanya akan mengganggu gerakan-gerakan

yang bersifat kondisional. Dapat jadi sebuah gerakan tertentu tidak dapat

mencapai tujuan karena adanya gangguan yang menghalangingya. Akan

tetapi, apabila alam semesta ini merupakan satu kesatuan yang hakiki, dan

berusaha menuju pada tujuannya maka tidak akan ada apa pun yang dapat

menghalanginya. Berarti, penghalang-penghalang yang berasal dari dalam

alam itu sendiri tidak akan pernah ada. Sedangkan penghalang-penghalang

dari luar—karena semua yang dikatakan dari luar alam adalah karena

perintah Allah pengatur alam semesta ini—semata-mata demi kedewasaan

alam itu sendiri. Penghalang-penghalang tersebut berperan sebagai penuntun

kesatuan alam itu sendiri. Dengan demikian, penghalang tersebut tidak

dapat disebut sebagai penghalang gerakan menuju kedewasaan, karena ia

merupakan serangkaian sebab-sebab aktif karunia Tuhan.

Kesimpulannya, karena alam semesta merupakan satu kesatuan yang

mengalir bergerak, maka gerakan tersebut tidak mungkin terjadi tanpa

tujuan; berarti alam semesta harus punya tujuan. Dan karena tidak ada

bentuk penghalang dari dalam maupun dari luar yang dapat mengganggu

gerakannya, maka meraih tujuan tertentu pasti tercapai. Artinya, tujuan bagi

gerakan alam adalah suatu hal yang pasti. Maka mencapai tujuan tersebut juga

pasti. Oleh karena itu, untuk menjelaskan semua pengeta huan ini, Al-Qur’an

berkata; Alam semesta yang selalu bergerak ini akan mencapai suatu tempat,

yaitu suatu alam yang merupakan batas keber adaan alam semesta ini, yaitu

hari akhir dan tempat tenang, semua akan menjadi tenang dan itu pasti terjadi.

Tidak ada keraguan, artinya pasti terjadi dan Hari Kiamat adalah

sesuatu yang pasti. Seluruh peraturan langit dan bumi ada batasnya, dan

alam yang selalu bergerak ini, pada waktunya akan mencapai tujuannya.

p:266

Ungkapan-ungkapan seperti “kapan tenangnya?” “Kapan kapal alam

semesta menemukan pelabuhannya?” “Kapan desingannya?” Semuanya

mengisyaratkan bahwa kiamat ibarat pelabuhan kapal alam semesta. Ma’ad

adalah tempat berhentinya alam semesta. Dengan ini, selesai sudah bahasa

argumentasi gerakan ini secara rinci dengan berbagai bukti yang nyata.

Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas tentang argumentasi

hakikat (burhan al-hakiki) seperlunya, yaitu bahwa munculnya kebenaran

(al-haq) harus nyata. Hal itu karena di alam semesta ini, yang hak dan yang

batil keduanya sama-sama eksis. Berbagai perbedaan yang terjadi antara

para ilmuwan, pengikut mazhab, dan berbagai kepercayaan yang batil, tidak

dapat dianggap semua benar, karena satu sama lain saling kontradiktif, yang

satu benar dan yang lain pasti salah.

Dengan demikian, harus ada suatu hari dan tempat sebagai tempat

berakhirnya berbagai perselisihan ini, untuk diketahui mana di antara tujuh

puluh dua umat yang benar-benar melangkah di jalan yang hak. Siapakah

mereka yang tidak melihat hakikat dan melangkah di jalan yang batil,

pengikut mazhab siapakah mereka? Hari ini ibarat dalam penantian, semua

perselsihan yang dibangkitkan oleh api kemunafikan dan permusuhan,

pergolakan antara batin dan lahir harus berakhir. Akan datang suatu hari

yang manusia hanya memiliki satu wajah bukan dua wajah—lahir dan batin.

Semua akan menjadi jelas. Antara batin dan lahir akan menjadi satu, “Di

hari semua rahasia terbuka” (Q.S. ath-Thariq: 69). Semua rahasia terungkap

yang sebelumnya tertutup. Al-Qur’an mengatakan, “Mereka tidak ada

akan menutupi pembicaraan di hadapan Allah” (Q.S. an-Nisa’: 42). Semua

persengketaan antara batin dan lahir akan berakhir, perbedaan pendapat dan

mazhab akan berakhir pula, semua bentuk permusuhan batil akan berakhir

di hari munculnya kebenaran kelak. “Itulah hari kebenaran. Maka barang

siapa menghendakinya hendak nya menjadikan Tuhannya sebagai tempat

kembali” (Q.S. an-Naba’: 39) dan ini juga telah dibahas sebelumnya.

Argumen yang ketiga yaitu argumentasi hikmah. Bentuk logikanya

adalah demikan: oleh karena Allah Maha Bijak, dan yang Maha Bijak tidak

akan pernah melakukan perbuatan yang batil dan sia-sia, maka Allah tidak

akan pernah berbuat batil dan sia-sia. Alam ini adalah hasil perbuatan Allah,

tidak akan tercipta tanpa tujuan, alam ini punya arah dan selalu menuju

arahnya. Dalam argumentasi hikmah (filsafat) ini, dua pokok masalah perlu

dibedakan, yaitu bahwa Allah tidak membutuhkan sama sekali, tidak akan

melakukan suatu perbuatan demi tujuan tertentu, tetapi karena Allah Maha

Bijak, dan yang Maha Bijak tidak akan melakukan suatu perbuatan yang

p:267

sia-sia tanpa tujuan. Dalam penjelasan burhan hikmah, dua makna ini harus

dibedakan. Pertama, Allah tidak akan melakukan suatu perbuatan untuk

tujuan tertentu. Kedua, tidak mungkin Allah melakukan suatu perbuatan

tanpa tujuan, Artinya, sang pelaku tidak memiliki tujuan pribadi, akan

tetapi tujuan itu sesuatu yang harus ada pada suatu perbautan.

Adapun Allah tidak memiliki tujuan pribadi karena arti adanya tujuan

bagi-Nya berarti Sang pelaku tidak memiliki kesempurnaan lalu dengan

perbuatan itu Dia berusaha mencapai dan mendapat kesempurnaan-Nya.

Perbuatan adalah penghubung antara sang pelaku yang tidak memiliki

kesempurnaan lalu dengan perbuatan itu Dia berusaha mencapai dan

mendapat kesempurnaan-Nya. Perbuatan adalah penghubung antara sang

pelaku dengan tujuan (kepentingan). Sang pelaku melalui perbuatannya

akan mencapai tujuan itu dan meraih kesempurnaannya. Inilah yang

dimaksud ada tujuan bagi sang pelaku. Akan tetapi, jika sang pelaku itu

merupakan kesempurnaan mutlak tanpa batas, maka tidak dapat dipisahkan

antara kesempurnaan dengan sang pelaku, sehingga dapat disebut sang

pelaku tidak memiliki kesempurnaan, berarti tidak mungkin sang pelaku

(yang merupakan kesempurnaan mutlak) berbuat dan berkehendak

untuk mencapai kesempurnaan nya. Oleh karena itu, apabila sang pelaku

itu merupakan kesempurnaan mutlak, maka perbuatannya tidak dapat

terpisah dari tujuan, dan tujuan itu bukan untuk kepentingan pribadinya.

Ini merupakan prinsip yang diungkapkan oleh Al-Qur’an, ”Sesungguhnya

Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Q.S. Al-Ankabut: 6). Allah tidak

membutuhkan sesuatu apa pun dari alam semesta ini. Dia adalah kaya

raya semata. Jika Allah kaya-raya, berarti tidak membutuhkan sifat zat-

Nya. Dia tidak memiliki kekurangan sehingga Dia harus berbuat untuk

menyempurnakan kekurangan dan mencapai tujuan-Nya.

Adapun Dia sebagai Maha Bijaksana dan tidak akan melakukan

perbuatan tanpa tujuan, hal itu semata-mata karena kebijakan sebagai

sumber perbuatan-Nya. Apabila kebijakan itu sebagai sumber perbuatan,

maka perbuatan tesebut berdasarkan aturan dan tujuan khusus, sebab

perbuatan yang tidak teratur dan tidak bertujuan tidak disebut bijak. Tidak

akan keluar suatu perbuatan dari seorang bijak yang tanpa tujuan. Oleh

karenanya, Al-Qur’an berkata tentang prinsip kedua ini, ”Dan tidak Aku

ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk menyembah-Ku” (Q.S. az-

Zariyat: 56). Artinya, Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah

agar mereka mencapai kesempurnaan. Dua masalah ini perlu dibuktikan

dengan beberapa ayat Al-Qur’an: Allah sama sekali tidak membutuhkan dan

p:268

tidak berbuat untuk kepentingan diri-Nya sehingga Dia berambisi untuk

meraih kepentingan tersebut. Oleh karena Allah Maha Bijak, Allah tidak

akan berbuat tanpa tujuan sehingga alam semesta ini sia-sia.

Kita ambil kesimpulan ini dari Al-Qur’an al-Karim: Adapun Allah

Maha Bijak dan orang yang bijak tidak akan berbuat yang sia-sia. Al-

Qur’an mengatakan, “Dan kami tidak menciptakan antara langit dan

bumi bermain-main” (Q.S. Al-Anbiya’: 160). Kami tidak ciptakan alam

ini main-main, tidak Kami ciptakan alam ini tanpa tujuan. Artinya, alam

yang tanpa tujuan tidak akan diciptakan oleh Allah. Dalam beberapa surah,

Al-Qur’an mengisyaratkan hal itu. Di antaranya dalam surah Al-Anbiya

Allah berfirman, “Dan Kami tidak ciptakan langit dan bumi dan apa yang

ada di antara keduanya sia-sia” (Q.S. Al-Anbiya’: 16). Tidak kami ciptakan

langit dan bumi serta apa yang ada di dalam alam ini main-main dan sia-sia.

Artinya, alam ini bukan permainan, alam ini bukan untuk bermain dan

tanpa tujuan. Dalam ungkapan lain Al-Qur’an mengatakan: Kami tidak

ciptakan langit dan bumi sia-sia dan tidak Kami ciptakan langit dan bumi

tanpa tujuan.

Al-Qur’an juga berkata: Kami tidak ciptakan langit dan bumi kecuali

dengan kebenaran. Dalam surah Shad, Al-Qur’an berkata, “Dan Kami tidak

ciptakan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya sia-sia” (Q.S. Shad:

27). Aturan alam ini bukan tanpa tujuan, itu hanya sangkaan orang-orang

kafir ketika mereka berkata: Alam wujud adalah dunia ini semata, kehidupan

ini dan kedamaian akan berakhir. Manusia akan fana karena kematian,

alam semesta bergerak menuju kehancurannya (fana’). Ini adalah sangkaan

batil dari orang-orang yang tidak percaya akan hari ma’ad (kebangkitan),

“Demikain itu adalah sangkaan orang-orang kafir, dan celakalah bagi orang-orang

kafir dari api neraka” (Q.S. Shad: 27).

Berdasarkan pemikiran ini, maka Allah Maha Bijak, dan tidak

akan keluar perbuatan yang tanpa tujuan dari yang bijak. Apabila Allah

mengenalkan kehidupan dunia ini dalam Al-Qur’an sebagai permainan,

seperti, “Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu adalah mainan,

hiasan, dan kebanggaan antara kamu, dan memperbanyak dalam harta dan

anak” (Q.S. Al-Hadid: 20). Hal itu karena Allah membagi dunia dalam lima

peringkat, yakni permainan, kebanggaan terhadap kebatilan, memperbanyak

kekayaan dan anak. Sepanjang hidup manusia, sejak kecil sampai tua pasti

melalui lima peringkat ini.

Jika Allah berkata bahwa dunia sebuah permainan, karena dunia

bukanlah alam semesta. Dan apabila Allah mengenalkan dunia sebagai

p:269

permainan, bukan berarti bumi dan tambangnya sebagai permainan, tidak

berarti laut dan binatangnya sebagai permainan, bukan berarti manusia dan

pemikirannya yang realistis sebuah permainan, bukan berarti udara dan semua

wujud ruang angkasa sebuah permainan. Ini semua bukan dunia melainkan

tanda-tanda keagungan dan rahasia Ilahi. Dunia adalah keterikatan yang

bersifat relatif, khusus untuk mengatur masalah-masalah kehidupan. Siapa

yang menjadi pemimpin, siapa anggotanya, siapa pemegang jabatan, harta

ini milik siapa, bagaimana kita dapat menjadi pemiliknya, bagaimana kita

dapat memindahkan pemilikan, bagaimana kita dapat memanfaatkannya, ini

semua merupakan bentuk-bentuk dan tanda relativitas dunia. Berarti dunia

bukanlah bintang, laut, dan tumbuh-tumbuhan. Ini semua merupakan

tanda-tanda keagungan Allah dan cermin keindahan dan kebesaran Al-

Haq, tanda kasih sayang-Nya; itu adalah hikmah Allah dan semua bertasbih

kepada-Nya. Semua itu adalah cermin dari al-Haq; ini semua bukan dunia.

Dunia adalah keterikatan khusus untuk mengatur kehidupan. Manusia

tertipu oleh masalah-masalah relatif ini, kebanggaan dan kepemilikan, yang

semuanya merupakan khayalan tipuan belaka. Menurut Al-Qur’an, manusia

yang asyik dengan dunia disebut sebagai orang yang tertipu atau terpengaruh

dengan khayalan.

Ketertarikan yang bersifat relatif ini disebut dunia. Manusia, kadang-kadang

memiliki benih hubungan ini dengan baik, dan kadang menurun

dan lebih rendah (dunia adalah tanaman akhirat).(1) Dunialah sebagai

permainan, bukan bumi dan langit. Dunialah sebagai permainan, hiasan,

dan kebanggaan. Dunia tidak memiliki peran kecuali permainan dan

penipuan, bukan padang pasir dan lautnya. Darul ghurur bukanlah langit

dan bumi. Langit adalah gambaran Al-Haq, bumi adalah cermin Al-Haq,

lautan dan padang pasir adalah tanda-tanda keindahan dan keagungan

al-Haq. Manusia, malaikat, dan wujud-wujud lain adalah tanda-tanda

kekuasaan al-Haq. Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak akan keluar dari

Allah Yang Maha Bijak suatu perbuatan yang tanpa faedah. Manusia bukan

sia-sia, akan tetapi sangkaan batil merekalah yang sia-sia. Manusia bukan

sia-sia, akan tetapi kebanggaan mereka terhadap dunialah yang sia-sia.

Dalam surah Al-Qiyamah Allah menjelaskan tujuan manusia, “Apakah

manusia mengira dirinya dibiarkan sia-sia” (Q.S. Al-Qiyamah: 36). Apakah

manusia mengira bahwa dirinya liar tidak berguna? Sama sekali tidak. Allah

Maha Bijak tidak akan berbuat sesuatu yang sia-sia tanpa arti. Tidak akan

keluar dari-Nya suatu perbuatan tanpa tujuan semenjak sebagai Pencipta.

p:270


1- 40 Kunuz al-Haqaiq, juz 1, hlm. 133(Hadis Nabawi).

Berarti jika Allah berfirman, “Dan tidak aku ciptakan manusia dan jin

melainkan untuk menyembahKu” (Q.S. az-Zariyat: 56). Artinya, tidak ada

tujuan bagi penciptaan manusia melainkan untuk menyembah. Namun,

tidak berarti Aku punya tujuan agar Aku menjadi sesembahan. Pokok

utamanya adalah bahwa perbuatan Allah harus ada tujuan. Sedang pokok

kedua yaitu bahwa Allah tidak akan berbuat demi kepentingan tertentu

(untuk diri-Nya). Allah tidak akan berbuat agar mencapai tujuan tertentu,

karena Dia (Allah) sebagai tempat segala tujuan. Dia adalah Tunggal yang

telah mengarahkan kafilah wujud ini ke arah-Nya, Dia adalah tujuan bagi

semua. Dia-lah yang memenuhi kebutuhan setiap yang membutuhkan,

tidak ada tujuan bagi-Nya selain diri-Nya sendiri dan tidak akan pernah

punya tujuan selain diri-Nya, sehingga harus berbuat untuk meraih tujuan-

Nya.

Oleh karena itu, Allah menukil cerita Musa as, “Dan berkata Musa

jika kamu kafir, kamu dan semua orang yang di bumi maka sesungguhnya

Allah adalah Maha Kaya lagi terpuji” (Q.S. Ibrahim: 8). Dia berkata: Jika

kamu dan semua orang di bumi ini kafir, maka kekafiran itu tidak akan

meng ganggu sedikitpun karena Allah tidak pernah membutuhkan sama

sekali. Jika sekiranya manusia menjadi kafir dan meninggalkan ibadah,

maka mereka tidak akan mencapai pada tujuan, bukan Allah yang tidak

mencapai tujuan-Nya, karena Allah tidak membutuhkan sama sekali. Dan

yang tidak membutuhkan sama sekali, yang dituju adalah dirinya sendiri

bukan yang lain karena Dia adalah tujuan bagi semua dan tidak ada tujuan

selain Dia. Apabila semua manusia kafir, maka merekalah yang akan

gagal mencapai tujuan, bukan Allah (sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi

terpuji), semua nikmat adalah dari-Nya. Dialah yang Mahmud (terpuji).

Setiap pujian untuk-Nya, setiap kesempurnaan perlu pujian, maka itu dari

Allah. Tidak pernah ada gambaran bahwa Allah tidak mencapai tujuan-Nya,

karena tujuan semata-mata tidak untuk diri-Nya. Dalam ayat lain Allah

berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semua Alam” (Q.S. Al-

Ankabut: 6). Allah tidak saja kaya dari pengham baan manusia, tetapi juga

tidak membutuhkan pada semua yang ada di dalam penciptaan ini.

Allah Maha Kaya, maka tidak ada gambaran bahwa Dia membutuhkan.

Berdasarkan pemikiran ini maka burhan hikmah untuk membuk tikan Ma’ad

adalah sebagai berikut: Meksipun Allah tidak membutuhkan dan tidak

memiliki tujuan untuk dirinya–tidak akan keluar dari seorang yang bijak

suatu perbuatan tanpa tujuan, alam ini memiliki tujuan dan akan tenang

ketika sampai pada tujuannya. Tujuan manusia bukan di dunia. Alam yang

p:271

di dalamnya terjadi kematian dan kehidupan, campurnya kebatilan dan

kebenaran, baik dan buruk, sedih dan gembira, sehat dan sakit, tangis dan

tawa itu semua tidak dapat dijadikan sebagai tempat tujuan. Akan tetapi,

ada kehidupan tanpa kematian, kegembiraan tanpa kesedihan, keselamatan

tanpa sakit, kedamaian, kesucian yang tanpa kekeruhan, tanpa permusuhan

dan kedengkian. Di sana terdapat kebaikan dan keindahan semata dan

kejelekan tidak mampu menembusnya yaitu pada Hari kebangkitan dan

surga kebahagiaan. Manusia diciptakan agar mencapai tempat ini, diciptakan

agar melangkah menuju tempat ini.

Burhan hikmah ini, tidak hanya membuktikan kebangkitan alam yang

bersifat materi dan yang bergerak untuk membuktikan kebangkitan wujud

nonmateri, seperti kebangkitan malaikat dan ruh dengan menggunakan

argumentasi tersebut tidak benar, tetapi perlu argumentasi lain dari bentuk

argumen-argumen tersebut di atas. Dari satu pihak, membuktikan adanya

hari kebangkitan sampai pada peringkat pertemuan kepada Allah tidak dapat

dibuktikan dengan burhanal-harakah. Akan tetapi, untuk membuktikan alhasyr

(kebangkitan manusia), dalam arti pertemuannya dengan Allah, hanya

dapat dilakukan dengan mengguna kan burhanal-hakikah juga burhan al-

Hikmah.

Dari burhan hikmah dapat dipahami dua hal berikut: Allah tidak

membutuhkan dan tidak memiliki tujuan pribadi, akan tetapi keberadaan

arah dan tujuan bagi alam adalah sesuatu yang bersifat daruri. Dengan

demikian keberadaan tujuan dan kebangkitan alam adalah sesuatu yang

bersifat pasti juga. Berdasarkan pemikiran ini, karena Allah Maha Kaya,

maka Allah tidak akan berbuat sesuatu upaya meraih kepentingan, baik

kepentingan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.

Allah menciptakan alam tidak untuk kepentingan diri-Nya, begitu juga

tidak ada upaya agar menjadi dermawan. Berarti perbuatan Allah tidak

dapat menerima lam at-ta’lil. Dalam ilmu nahwu, lam sebagai huruf

nasab, ada yang disebut lam at-ta’lil yaitu lam yang memiliki makna

sebab, dalam Al-Qur’an misalnya, “Wama khalqtul jinna wal insa illa liya’budun”,

artinya, ketika Allah menciptakan manusia, ibadah bukan sebagai

penyebabnya. Tidak ada sebab lain yang mendorong Allah untuk berbuat

selain zat-Nya yang (Maha Sempurna—penj.) Tidak dapat dibayangkan

adanya kepentingan bagi Sang pelaku karena zat-Nya Maha Kaya.

Allah tidak menciptakan alam agar Dia dapat memanfatkannya, juga

tidak untuk menjadikan diri-Nya sebagai dermawan terhadap hamba-Nya,

sebab jika terdapat lam at-ta’ili berarti ada tujuan bagi sang pelaku. Artinya,

p:272

Allah melakukan ini agar Dia meraih tujuan fulan, ini artinya, bahwa apabila

Allah tidak berbuat derma terhadap hamba-Nya berarti Dia tidak sempurna,

dengan perbuatan tersebut Allah berharap kedermawanan-Nya sampai

kepada sang hamba sehingga dengan kebaikan itu Allah menjadi sempurna.

Ini seperti orang yang mampu membangun rumah atau rumah sakit, bukan

untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang yang membutuhkan agar

orang lain dapat memanfaatkannya. Orang ini tidak membangun

rumah agar dia mendapat manfaat melainkan agar dapat membantu

orang lain. Apabila orang ini tidak mem bangun rumah dan tidak berbuat

kebaikan kepada orang lain berarti dia tidak sempurna. Untuk menghindari

kekurangannya dia berbuat kebaikan sehingga ia mencapai kesempurnaan

yang disebut dermawan. Dengan per buatan tersebut dia hendak menutup

kekurangan dan mengulurkan tangannya yang pendek sampai pada tujuan.

Sebab apabila tidak menjadi dermawan, maka dia tidak sempurna. Dengan

kebaikan dan keder ma wanan, dia dapat meraih kesempurnaan dan tujuan.

Allah Yang Maha Kaya tidaklah demikian. Artinya, jika kebaikan dan

kedermawanan tidak sampai kepada hamba berarti Allah tidak sempurna,

dan akan sempurna jika mampu menyalurkan kedermawanan dan kebaikan-

Nya itu kepada hamba Allah seakan berkata; Saya tidak menciptakan

makhluk untuk kepentingan saya sendiri dan juga tidak untuk hamba karena

“Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Q.S. Al-Ankabut: 5). Akan tetapi

karena Allah Maha Bijak, maka Allah mencipta kan alam agar makhluk-Nya

mencapai tujuan. Seperti yang sudah dijelaskan pada burhan al-harakah

bahwa alam memiliki tujuan, alam merupakan satu kesatuan hakiki, yang

selalu bergerak dan tidak ada apa pun yang menghalangi gerakannya, maka

dapat dipastikan alam akan sampai pada tujuannya. Oleh karena itu, dapat

dipastikan akan adanya Hari Kiamat, yaitu hari yang “Tidak ada keraguan

di dalamnya”.

Dalam argumentasi filsafat terdapat dua masalah berikut: Alam keluar

dari Allah Yang Maha Bijak dan bukan tanpa tujuan. Baik ketika ia adanya

gerakan zat maupun tidak, karena batasan dalam argumentasi ini adalah

hikmah. Argumentasi ini juga dapat berlalu pada hal-hal yang tidak ada

gerakan. Seperti halnya argumentasi filsuf juga berlaku untuk membuktikan

perlunya kebangkitan hal-hal yang bersifat nonmateri. Alam ini keluar dari

Allah dan pasti punya tujuan dan tidak sia-sia. Tidak ada suatu apa pun

yang dapat menghalangi gerakan alam yang merupakan satu kesatuan, baik

gangguan dari dalam atau dari luar. Tidak ada penghalang dari dalam karena

dia adalah satu kesatuan hakiki yang bertujuan. Tidak ada penghalang dari

p:273

dalam karena tidak ada suatu apa pun di luar alam selain Allah pencipta

alam. Dan di balik tujuan itu ada tujuan lain, dan seterusnya, hingga

berakhir pada tujuan yang terakhir. Satu tujuan seperti ini adalah dari Allah

Yang Maha Bijak, dan tidak ada wujud selain alam ini kecuali Allah. Artinya,

tidak pernah terbayangkan adanya penghalang.

Berdasarkan pemikiran ini maka tidak akan ada penghalang apa pun

yang dapat menghalangi lajunya gerakan alam ini—yang keluar dari Sang

Maha Bijak dan Maha Pengatur berdasarkankan hikmah—menuju tujuan.

Melihat dua masalah ini, maka ungkapan Al-Qur’an bahwa Hari Kiamat

adalah “tidak ada keraguan di dalamnya” artinya, tidak sekadar mungkin Allah

menghidupkan yang sudah mati, tidak sekadar ada ma’ad bagi alam, tidak

sekadar mungkin akan, tetapi semua pasti. Hal itu disebabkan Allah telah

berjanji dan pasti menepati janji-Nya. Oleh karena itu, ma’ad adalah sesuatu

yang pasti; tidak ada keraguan di dalamnya; tidak ragu bahwa ma’ad adalah

hak dan kiamat adalah pasti, dan tidak alasan untuk meragukan kiamat.

Masalah penting ini juga sudah kita isyaratkan dalam burhan hakiqah

bahwa kiamat adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan kepastiannya.

Begitu juga hari itu bukan tempat ragu karena kebenaran nampak nyata,

karena keraguan tidak mungkin terjadi kecuali karena adanya dua maujud

yang satu benar dan yang lain batil, lalu meragukan adanya; apakah termasuk

yang benar atau yang salah. Apabila kebenaran itu tidak berada di tempat yang

batil maka tidak ada kata ragu, karena ragu terjadi ketika kita menganggap

penyerupa kebenaran sebagai kebenaran. Ketika kebenaran itu nampak

dan tidak ada tempat untuk kebatilan, maka tidak akan muncul ragu-ragu.

Oleh karena itu, Hari Kiamat tidak dapat diragukan. Cara penting upaya

mendidik jiwa adalah dengan mengingat Hari Kiamat. Pemimpin para ahli

tauhid, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib(aku korbankan ruhku dan ruh

seluruh alam untuknya) berkata: Telah pergi orang-orang yang ingat dan

tinggalah orang-orang yang lupa atau melupakan. (1)

Beliau berkata: Mereka orang-orang yang ingat kepada Allah dan Hari

Kiamat telah pergi—mereka yang ingatan ruhnya terhadap kiamat menyatu

dengan ma’ad—tinggalah mereka yang lupa zikir kepada Allah dan Hari

Kiamat, atau sengaja melupakan zikir kepada Allah dan Hari Kiamat. Di

antara sahabat Rasulullah Saw. terdapat orang-orang yang selalu mengingat

Hari Kiamat. Mereka telah pergi meninggalkan kita, tinggal kita sekarang ini

yang hidup bersama orang-orang yang lupa terhadap Hari Kiamat. Ketika

memuji Ibrahim al-Khalil dan seluruh nabi, Allah berfirman, “Sesungguhnya

p:274


1- 41 Nahjul Balaghah, Faidz hlm. 573.

Kami telah membebaskan mereka dengan keikhlasan meingingat kematian”(Q.S.

Shad: 46). Oleh karena mereka selalu mengingat Hari Kiamat, maka kami

jadikan mereka hamba-hamba yang mukhlis.

p:275

p:276

Pelajaran XIX

Ma’ad Berdasarkan Keadilan Ilahi

p:277

p:278

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Sebelumnya, pembahasan kita adalah tentang keharusan adanya Hari

Kiamat. Dalam mukadimah telah dijelaskan pengaruh keyakinan Hari

Kiamat dalam pembinaan jiwa dan peranannya dalam pendidikan ruh

serta dampak negatif melupakan Hari Kiamat terhadap kerusakan ruh.

Oleh karena itu, Al-Qur’an menjelaskan bahwa bahaya yang mengancam

kehancuran moral manusia adalah akibat dari melupakan Hari Kiamat. Al-

Qur’an mengatakan, “Karena mereka melupakan hari perhitungan” (Q.S.

Shad: 26). Oleh karena mereka telah meyakini kiamat dengan kriteria

khusus, maka kami jadikan mereka sebagai hamba-hamba yang ikhlas.

Beberapa bab telah memaparkan pembahasan ma’ad ini. Dalam

pertemuan sebelumnya, setelah memaparkan mukadimah secara rinci, yaitu

dalam bab “Peran aktif mengingat ma’ad dalam pendidikan jiwa”, akan

disusul bab khusus tentang dalil-dalil yang menunjukkan perlu adanya

ma’ad, kemudian disusul pasal lain tentang kekeliruan dan persoalan

tentang ma’ad serta jawaban-jawaban pastinya. Pembicaraan berkaitan

dengan sebagian masalah yang ada pada bab pertama, khsusnya tentang

dalil ma’ad, telah terulang kembali. Dalam hal ini dijelaskan beberapa dalil

tentang perlu adanya ma’ad; burhanal-harakah, burhanal-hakikah, burhan

al-hikmah dan burhan ar-rahmah. Empat burhan ini telah dijelaskan pada

pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kesimpulan dari setiap burhan adalah

sesuai dengan had al-ausath-nya (batas tengahnya). Dalam argumentasi

logis (burhan) ada istilah “Haddul Austh” batasan tengah. Misalnya, setiap

gerakan punya tumpuan, alam semesta selalu “bergerak”, dan setiap yang

”bergerak” pasti punya tujuan, (karena alam selalu bergerak maka alam pasti

punya tujuan—Penj.).

Dalam burhan haddul ausath-nya (batas tengahnya) disebutkan bahwa

setiap gerakan punya tujuan. Oleh karena alam semesta ini bergerak dan setiap

yang bergerak punya tujuan sebagai tempat peristirahatan ketika sampai,

berarti alam semesta yang selalu bergerak ini punya tempat perhentian. Burhan

harkah ini tidak dapat digunakan untuk membuktikan ma’ad berkaitan

dengan wujud yang keberadaannya lebih tinggi dari alam yang bergerak.

Untuk membuktikan kebangkitan wujud yang lebih tinggi diperlukan burhan

lain. Dalam pertemuan sebelumnya dalil tersebut sudah dijelaskan. Bentuk

p:279

argumentasi (burhan) al-haqiqah Allah adalah Haq. Dia harus menampakkan

kebenaran, kemunafikan, dan keterbe lakangan sebagai tempat berakhir.

Dalam burhan ini, had al-ausathnya (term tengahnya) adalah munculnya

kebenaran. Argumentasi ini meliputi alam fisik juga alam metafisik. Sesuai

istilah filsafat isyraq, argumen tersebut meliputi alam dunia dan alam akhirat,

alam materi maupun nonmateri semuanya berada dalam naungan-Nya.

Artinya, semua akan dibangkitkan menuju Allah dan kembali kepada-Nya.

Burhan yang ketiga adalah burhan al-hikmah yaitu, bahwa Allah tidak

melakukan perbuatan tanpa tujuan, karena Dia adalah kesempurnaan mutlak

dan tidak membutuhkan. Oleh karena Allah Maha Bijak, maka tidak akan

keluar dari Yang Maha Bijak perbuatan tanpa tujuan (perbedaan antara tujuan

pelaku dan tujuan perbuatan adalah bahwa karena sang pelaku Maha Kaya

maka tidak memiliki tujuan yang harus diraih, akan tetapi perbuatan, karena

keluar dari Yang Maha Bijak dan sangat bijak, pasti punya tujuan). Artinya,

terjadinya ma’ad dan adanya tujuan bagi alam penciptaan adalah daruri

(keharusan). Hal ini telah dijelaskan secara rinci pada pembahasan terdahulu.

Adapun burhan ar-rahmah yang batas tengah (had al-ausath)nya

adalah kasih sayang Allah. Artinya, rahmat Allah bukan bersifat perasaan,

“Tuhan kami, rahmat, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu” (Q.S. Ghafir:

7). Rahmat Allah(kasih sayang-Nya) tidak bersifat perasaan. Akan tetapi,

rahmat Allah adalah ibarat pemberian kesempurnaan pada setiap yang

berpotensi untuk sempurna. Setiap yang berpotensi untuk sempurna, Allah

akan memberi rahmat kepadanya, karena yang dimaksud rahmat Allah

adalah pelimpahan kesempurnaan-Nya. Oleh karena itu, dalam surah Al-

An’am ketika menjelaskan ma’ad, Allah berfirman, “Dia telah menetapkan

atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu

pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan terhadap nya” (Q.S. Al-An’am:

12).

Oleh karena Allah telah menetapakan atas diri-Nya kasih sayang,

maka pasti Allah akan meladeni manusia dengan kasih sayang-Nya. Artinya,

Allah akan memberi kesempurnaan kepada setiap yang memiliki potensi

dan siap menerimanya. Ruh manusia memiliki potensi untuk menerima

kesempurnaan yang abadi. Oleh karena itu, Allah akan memberi kesempurnaan

tersebut kepada manusia. Pembahasan ini telah dijelaskan

sebelumnya. Batas tengah argumentasi ini adalah rahmat Allah. Adapun

batasan tertentu yang harus dijelaskan dalam berbagai sisi pada pertemuan

kali ini adalah burhanul’adalah (argumentasi keadilan).

Allah Mahaadil. Oleh karena Allah adil, maka Ia tidak akan melakukan

p:280

kelaliman terhadap makhluk-Nya. Jika seseorang melakukan kelaliman

tertentu dan di dunia tidak mendapat ganjarannya, maka sikap demikian ini

adalah lalim. Adapun batasan tertentu yang harus dijelaskan dalam berbagai

sisi pada pertemuan kali ini adalah burhanul ‘adalah (argumentasi keadilan).

Jika antara keindahan dan kehinaan memiliki nilai sama, maka itu

berarti kelaliman. Jika antara jelek dan baik tidak ada beda, maka itu berarti

kelaliman. Ini semua tidak sesuai dengan keadilan Allah. Oleh karena

Allah adil, maka Allah memiliki tempat perhitungan yang berbeda dengan

perhitungan-perhitungan. Allah akan memberi pahala bagi yang berbuat

baik dan menghukum bagi yang melakukan perbuatan jelek dan hal ini perlu

dijelaskan. Al-Qur’an telah mengenalkan bahwa Allah adalah Mahaadil dan

menafikan kelaliman dari-Nya, “Dan Tuhanmu tidak melalimi seseorang”

(Q.S. Al-Kahfi: 49). “Dan Tuhanmu tidak pernah berbuat aniaya terhadap

hamba-hamba-Nya” (Q.S. Fushshilat: 46). Allah tidak melalimi seseorang

sama sekali, sebab sekiranya Allah hendak berbuat lalim sebesar atom saja,

maka ukuran yang kecil itu akan menjadi banyak karena atom yang tidak

teratur mampu memutus sendi keteraturan alam dan mencabik-cabik

semua batasan-batasannya. Oleh karena itu, sekiranya Allah melakukan

kelaliman—Nauzubillah—dalam sekejap saja atau sebesar atom berarti

Allah pelalim (tukang aniaya).

Allamah Thaba-thabai ra dalam tafsir Mizan mengatakan: Ketika Al-

Qur’an mengatakan Allah sekali-kali tidak berbuat aniaya, pengertiannya

bukan berarti Allah tidak banyak melakukan lalim, tetapi memang sama

sekali tidak berbuat lalim, baik sedikit ataupun banyak. Sekiranya Allah

berbuat aniaya sebesar atom saja, Dia disebut sebagai tukang aniaya.

Aniaya artinya berbuat melebihi batas. Apabila batasan sebagian yang ada

terganggu sekejap saja, maka gangguan itu akan mengalir ke seluruhnya.

Apabila salah satu sisi aturan alam ini terganggu, maka semuanya akan

terganggu. Allah sama sekali tidak berbuat aniaya. Oleh karenannya Allah

Mahaadil. Dialah yang menyeru manusia berbuat adil, “Katakan, Tuhanku

menyuruh berbuat adil’” (Q.S. Al-A’raf: 29). Allah berkata kepada Nabi-

Nya: Katakan sesungguhnya Tuhanku menyeru untuk berbuat adil. Dialah

Allah yang mengenalkan ajaran nabi untuk menegakkan keadilan di antara

manusia—“Agar manusia mendirikan keadilan” (Q.S. Al-Hadid: 25) dan Dia

tidak berbuat aniaya sama sekali. Jika kita memperhatikan alam semesta,

kita akan menyaksikan adanya dua macam manusia. Manusia yang adil dan

manu sia yang lalim. Padahal, para nabi telah berkorban dan mengutamakan

orang lain. Mereka adalah orang-orang yang jujur dan jeli, sehingga sebagian

p:281

mencapai kemuliaan akhlak yang sangat tinggi; hidup mereka senantiasa

dibarengi dengan ilmu dan keadilan.

Sayangnya, terdapat sekelompok manusia yang memusuhi para

nabi, membabi buta dan tidak peduli terhadap ucapan para nabi. Mereka

bangkit memerangi para nabi hingga sampai pada peringkat, “Dan mereka

membunuh para nabi tanpa alasan yang benar” (Q.S. Al-Baqarah: 61). Mereka

mengayunkan tangan membunuh para nabi dengan penuh kekejian. Berarti,

manusia dalam menanggapi ajaran para nabi terbagi dalam dua kelompok

seperti Al-Qur’an membaginya. Apabila tidak ada hari perhitungan, pahala,

dan siksaan, apabila tidak ada hari perhitungan dan penelitian, apabila orang-orang

yang saleh binasa karena kematian dan orang-orang yang fasik juga

binasa karena kematian tanpa hari perhitungan, apabila tidak ada catatan

pahala dan siksaan, tidak ragu bahwa yang demikian itu adalah kelaliman.

Sebab, tidak rasional jika orang yang terbunuh di jalan keadilan dan orang

yang melumuri tangannya dengan darah para nabi dan pengikutnya,

memiliki nasib sama. Berarti, harus ada pemisah di antara mereka. Hal

ini adalah prinsip pertama. Prinsip kedua, di manakah perbedaan dan

kelebihan antara orang yang bertakwa dengan orang yang ahli maksiat? Di

mana letak perbedaan orang alim yang baik dengan orang alim yang jahat

jika ternyata dihisab sama? Tidakkah di dunia ini ditemukan kebenaran

melawan kebatilan, kejahatan dan kebaikan, takwa dan kemunafikan?

Tidakkah dunia adalah tempat ber amal dan bukan tempat pembalasan. Di

sini adalah tempat ujian dan bukan tempat keputusan. Di sini adalah tempat

ujian bukan tempat pembalasan? Kadang-kadang kita menyaksikan di

dunia ini bentuk pe mbalasan, pahala, dan siksaan, akan tetapi dunia bukan

tempat pem balasan. Sebab dapat saja di dunia ini ditemukan kecurangan,

penye lewengan, dan berbagai bentuk kebohongan lain, karena alam ini

adalah alam imkan(serba mungkin), alam gerak, dan alam taklif(tugas).

Dunia tidak akan pernah menjadi tempat pembalasan. Tempat pembalasan

bukanlah dunia ini. Berdasarkan prinsip ini, maka tempat pembalasan tidak

akan dapat diketahui sebelum kematian. Kedudukan pembalasan setelah

kematian tidak dapat diketahui di dunia ini dengan bentuk reinkarnasi.

Dunia tidak dapat dijadikan sebagai tempat pembalasan karena dunia adalah

tempat ujian; semua manusia menghadapi setiap gangguan dengan reaksi

yang sama. Dunia bukan tempat pembalasan.

Sesuai prinsip-prinsip ini, maka harus ada perbedaan antara orang-orang

saleh dan orang-orang fasik. Keharusan diterimanya pahala bagi

orang-orang yang baik dan siksaan bagi orang-orang yang jahat, dari sisi

p:282

lain, dunia tidak dapat dijadikan sebagai tempat pembalasan, sementara itu

reinkarenasi mustahil adanya. Berarti harus ada alam di mana hisab amal

setiap manusia dapat diterima masing-masing. Tidak ada sesuatu pun yang

tertutup pada hari itu. Hari itu bukan tempat lupa, tetapi hari itu adalah hari

munculnya kebenaran dan keadilan. Setiap amal ditimbang dengan benar

sehingga orang-orang yang baik menerima pahala kebaikannya dan orang-orang

jahat merasakan siksaannya. Allah menyebut hakikat ini sebagai suatu

keharusan. Oleh karena keadilan AIlah, maka Ma’ad harus ada. Oleh karena

Allah Mahaadil, maka kiamat pasti ada.

Prinsip kiamat sesuai aturan alam yang universal ini adalah suatu

keharusan. Hari perhitungan, pahala, dan siksaan harus terjadi, sebab tidak

ada yang menghalanginya, baik dari luar alam maupun dari dalamnya. Tidak

ada yang dapat menghalangi keadilan Ilahi di dunia ini. Masyarakat yang

harus hadir dalam pengadiilan-Nya tidak dapat menghalangi keadilan Ilahi.

Tidak ada kesempatan bagi wujud lain selain manusia mampu menghalangi

munculnya keadilan Ilahi. Oleh karena Allah Maha Kaya dan tidak

membutuhkan seluruh alam, maka Dia juga tidak membutuhkan orang lain

untuk melaksanakan keadilan-Nya. Oleh karena Allah Maha Satu dan Maha

Kuat, maka tidak satu pun yang mampu menolak kehendak Ilahi. Allah

tidak membutuhkan seseorang dalam melaksanakan keadilan, dan orang lain

tidak akan mampu menghalangi tindakan-Nya. Tidak ada sesuatu di dalam

semesta ini selain Allah dan nama-nama agung-Nya serta perbuatan-Nya.

Tanda-tanda keagungan-Nya tunduk di hadapan-Nya. “Dan semua mereka

datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri” (Q.S. An-Naml: 87).

Berdasarkan dua makna dan dua hal ini, maka Al-Qur’an mengungkapkan

tentang kiamat ini dengan indah, “Dan sesungguhnya Hari Kiamat itu

pastilah datang, tidak ada keraguan padanya” (Q.S. Al-Hajj: 7). Sebagaimana

tidak ada keraguan akan keberadaan Allah dan wahyu-Nya—“Kitab ini tidak

ada keraguan padanya” (Q.S. Al-Baqarah: 2). Maka, tidak ada keraguan lupa

pada kiamat. Kiamat adalah haq dan hari kebangkitan adalah pasti.

Dalam burhanul ‘adalah ini, batas tengahnya adalah keadilan Ilahi. Surah

Az-Zumar dan Shad telah mengisyaratkan hal itu, “Apakah Kami menjadikan

orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh seperti orang-orang yang

berbuat kerusakan di bumi ini ataukah menjadikan kedudukan orang-orang

yang bertakwa sama seperti keduduan orang-orang yang lalim” (Q.S. Shad:

28). Apakah mungkin orang-orang yang meyakini keyakinan yang benar

dan melakukan amal saleh kita samakan kedudukannya dengan orang-orang

yang berbuat kerusakan di bumi? Artinya, apakah orang-orang yang berbuat

p:283

kerusakan di bumi ini akan mati dan binasa, begitu juga orang-orang saleh

dan Mukmin tanpa hisab dan pengadilan setelah kematian mereka? Apakah

Allah yang Mahaadil mengatur alam semesta begitu saja, orang-orang saleh

dan orang-orang jahat mati dan binasa tanpa hisab dan tanpa balasan atas

kebaikan dan kerusakan, “Apakah Kami akan menjadikan kedudukan orang-orang

yang bertakwa sama seperti kedudukan orang-orang yang lalim”.

Apakah Allah akan menyamakan kedudukan antara orang-orang bertakwa

dan orang-orang alim dalam kematiannya tanpa memperhitungkan kebaikan

atau kela liman yang mereka lakukan? Apakah Allah yang mengilhami

jiwa manu sia dengan ketakwaan dan kefasikannya dengan bersamaan,

“Dan(demi) jiwa setiap penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya”(Q.S. asy-Syams: 7—8).

Allah menjelaskan jalan keadilan dan kelaliman, mengilhami manusia

jalan kebaikan dan kejelekan. Di antara mereka ada yang mengindahkan

ilham ini dan menuju jalan kebenaran, sebagian lain menutup mata. Mereka

justru menjawab seruan para nabi dengan olokan dan ejekan, “Alangkah

besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tidak ada datang seorang

rasul pun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokannya”

(Q.S.Yasin: 30). Kemudian apakah Allah akan meladeni mereka dengan

cara sama? Apakah posisi orang yang mengikuti seruan para nabi sama

dengan posisi orang yang mengejek dan mengolok-olokan? ”Apakah Kami

menjadikan kedudukan orang-orang yang bertakwa sama seperti kedudukan

orang-orang yang fasik”. Apakah kita menyetarakan kedudukan orang-orang

yang bertakwa dengan orang-orang yang fasik? Sungguh keadilan AIlah tidak

akan memberikan kesempatan untuk mendudukan orang-orang yang takwa

sama dengan kedudukan orang-orang fasik sama sekali. Surah Al-Jatsiyah

juga telah menjelaskan perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, antara

orang-orang bertakwa dan orang-orang yang fasik.

Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa

Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan

mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian

mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan

langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri

terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan (Q.S.

Al-Jatsiyah: 21—22).

Apakah para pendosa yang melakukan kejahatan mengira bahwa

Kami akan menjadikan kedudukan mereka sama dengan orang-orang yang

beriman? Apakah orang yang menghabiskan usianya dengan tenggelam

p:284

dalam satu dosa ke dosa yang lain, sama kedudukannya dengan orang-orang

yang hidup dengan penuh iman dan amal saleh? Tidakkah kelak ada

sebuah pengadilan yang akan menghisab mereka? Tidak adakah kelak hari

pengadilan sehingga pahala dan siksaan masing-masing diteirma pelakunya?

Apakah kematian dan kehidupan mereka sama?

Dapat jadi kehidupan mereka di dunia sama, tetapi apakah setelah

kematian, mereka memiliki kedudukan sama tanpa ada ada hari perhitungan

(hisab)? “Sungguh jelek keputusan mereka”. Jika memang demikian perkiraan

mereka, maka itu perkiraan yang salah. Keputusan seperti ini adalah

keputusan yang salah. Lalu bagaimana hukum(keputusan) yang benar?

Hukum dan keputusan yang benar adalah “Allah ciptakan langit dan

bumi karena benar”. Allah menciptakan aturan alam ini dibarengi dengan

kebenaran. Kebenaran adalah ukuran dan tulang punggung terciptanya

alam semesta, ibarat bangunan atas dan bangunan bawah, semua yang ada di

alam semesta ini adalah benar. Ada potensi untuk sia-sia dalam penciptaan

alam ini. Kebatilan pada dasarnya adalah karena penilaian manusia dan

sosial. Sekiranya bukan karena itu maka dalam aturan penciptaan ini tidak

ada kesia-siaan—“Ya Tuhan kami sungguh tidak Engkau ciptakan ini sia-sia”

(Q.S. Ali ‘Imran: 191). Alam ini tidak lain kecuali satu kesatuan.

Oleh karena itu, Al-Qur’an menggunakan kalimat tunggal dan satu

kesatuan, ini pun juga benar (Haq). Ketika memuji para intelektual, Allah

mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang berpikir tentang langit dan

bumi. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami sungguh tidak Engkau ciptakan ini

sia-sia”. Ya Tuhan kami, ini bukan sia-sia. Al-Qur’an tidak menggunakan kata

jamak untuk menggantikan kata “hadza” (ini), hal itu karena dalam ciptaan

bukan satu. Tanda kesatuan alam ini adalah adanya kebenaran (pantulan

cahaya pipi pemberi minum jatuh ke dalam gelas) tidak bilangan di antara

keduanya. Sebenarnnya hanya manusia biasalah yang melihat bahwa alam

ini banyak. Padahal, semuanya terbentuk satu kesatuan dan keluar dari Allah

Yang Maha Satu dan Tunggal; semuanya menuju dan bertasbih kepada-Nya.

Dengan demikian, apa yang pada alam semesta ini tidak ada kesia-siaan.

Sekiranya dipandang ada kesia-siaan dalam penciptaan, itu sematamata

karena pandangan sosial. Terdapat tangan-tangan kotor yang

mempengaruhi khayalan dan angan-angan. Di sanalah kadang-kadang dia

menemukan kesia-siaan. Artinya, ada orang-orang yang tidak dapat melihat

kebenaran. Dengan ketidakmampuan melihat kebenaran, maka sesuatu

tersebut menjadi sia-sia. Aturan penciptaan ini menyertai dan disertai,

serta bersama-sama dengan kebenaran—“Dan Allah ciptakan langit dan

p:285

bumi dengan kesungguh-sungguhan”. Penciptaan ini benar dan serius karena

beberapa pokok; pertama, “Agar setiap jiwa mendapat balasan apa yang

dilakukan” (Q.S. Al-Jatisiyah: 22). Setiap manusia akan melihat balasan

amalnya, mereka akan menerima balasan setiap sikapnya. Manusia tidak

akan berbuat kebaikan kecuali akan menemukan balasannya. Amal baik

seseorang tidak akan tercatat dalam hisab orang lain, pada Hari keadilan

tidak ada ada lagi kelaliman—“Mereka tidak akan dilalimi”. Manusia tidak

akan lagi dilalimi.

Berarti, hari keadilan pasti ada, dan kiamat adalah hari munculnya

keadilan seutuhnya. Artinya, di hari itu semua adalah keadilan. Masalah ini

telah dijelaskan secara rinci dalam burhanal-hakikah yang batasan tengahnya

adalah munculnya kebenaran dan hakikat. Allah telah mengenalkan

bahwa Hari Kiamat adalah hari yang pasti adanya—“Itulah hari yang pasti

terjadi, maka barang siapa menghendaki, ia akan menempuh jalan kembali

kepada Tuhannya” (Q.S. an-Naba’: 39). Dengan pengertian ini, maka halhal

kecil yang berkaitan dengan Hari Kiamat pun juga benar, artinya,

neraca (timbangan) adalah benar dan semua amal akan ditimbang dengan

benar. Amal yang benar timbangannya sangat berat, dan amal yang sia-sia

timbangannya akan sangat ringan. Orang yang melakukan kebenaran,

timbangnnya sangat berat: dan orang yang melakukan kebatilan, timbanganya

sangat ringan, “Dan hati mereka kosong” (Q.S. Ibrahim: 43). Hati mereka

kosong karena dipenuhi dengan pemikiran yang sia-sia, sementara di akhirat

tidak ada tempat kosong. Semua kebatilan kelak akan disimpan pada

tempatnya. Orang-orang yang benar sangat ingin menyaksikannya, namun

mereka tidak mampu melihat. Dalam burhan hakikat, masalah ini sangat

jelas dan argumentasinya akan dibahas secara rinci.

Jika kiamat merupakan hari munculnya keadilan secara sempurna,

maka bagian dari hari itu adalah keadilan. Melakukan keadilan adalah

masalah yang sulit dan menerapkannya dalam kehidupan sungguh sangat

sulit. Seperti halnya berjalan di atas jembatan setebal rambut dan setajam

pedang adalah sesuatu yang sulit. Maka, untuk menjadi manusia yang adil

adalah sulit juga. Bahkan, untuk bersikap adil, harus menghendaki apa yang

dikehendaki orang lain, membenci apa yang mereka benci, mencintai untuk

merasa seperti mencintai yang dia cintai sendiri. Harus mampu memandang

orang lain dan dirinya sendiri dengan kaca mata yang sama. Jangan sampai

bersikap egois karena sikap tersebut memberi pengaruh negatif dalam

keputusan. Sungguh menyeberangi jalan ini tidaklah mudah.

p:286

Timbangan pada Hari Kiamat adalah benar; di sana tidak akan ada

yang disebut batil (sia-sia). Di sana tidak ada kelaliman; tidak seorang pun di

tempat itu dapat melalimi orang lain karena hari itu adalah hari munculnya

keadilan AIlah. Pada Hari itu Allah akan menampakkan keadilan-Nya

sepenuhnya. Hari Kiamat adalah hari terjelmanya keadilan Allah. Pada

Hari itu tidak ada jalan untuk kelaliman. Api kiamat tidak akan membakar

seseorang melebihi apa yang diperintahkan. Tekanan Hari Kiamat tidak

akan melebihi batas maksimalnya. Hari kiamat adalah hari kebangkitan dan

kesadaran kembali—“Maka dengan serta merta mereka hidup kembali” (Q.S.

an-Naziat: 14). Alam akhirat adalah alam kehidupan—“Dan sesungguhnya

akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan” (Q.S. Al-Ankabut: 64). Alam

akhirat adalah alam kehidupan—“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang

sebenarnya kehidupan”(Q.S. Al-Ankabut: 64), sedangkan dunia tidak lebih

dari kelezatan sementara. Maka, kehidupan yang nyata adalah alam akhirat.

Kehidupan hari itu adalah kehidupan yang benar dan adil, tidak ada kesia-siaan,

dan tidak mengandung nilai kelaliman—“Dan agar setiap jiwa mendapat

balasan apa yang dia perbuat dan mereka tidak dilalimi” (Q.S. Al-Jatsiyah: 22).

Pada Hari Kiamat tidak pernah terbayangkan terjadi kelaliman terhadap

siapa pun sama sekali. Dengan argumentasi keadilan ma’ad dapat dibuktikan

atas dasar keharusan adanya Hari Kiamat. Akan tetapi, orientasi pelaksanaan

argumentasi keadilan ini sangat tebatas. Untuk membuktikan kebangkitan

malaikat dan semua wujud nonmaterial tidak dapat menggunakan argumentasi

ini karena batasan tengahnya adalah berbentuk perintah, larangan, taklif,

dan ketentuan amal atas nama agama. Sebagian orang taat dan sebagian yang

lain ahli maksiat. Oleh karena itu, perlu penyaringan dalam hisab mereka.

Artinya, tempat yang di dalamnya tidak terdapat taklif, tidak terdapat

perintah dan larangan syariat, tidak ada ketaatan dan tidak ada kemaksiatan,

yang ada hanya ketundukan secara penciptaan (takwini), maka tidak ada

hukum penolakan atas maksiat. Begitu juga halnya tempat yang di dalamnya

nampak jelas tanpa kegaiban, kesadaran tanpa kelalaian. Kesimpulannya, di

tempat yang di dalamnya terdapat keadilan tidak akan ada kelaliman sama

sekali. Tempat itu adalah tempat hisab, tempat dipisahkannya antara kebenaran

dan kebatilan, kejelekan dan keindahan, yang memiliki taklif sama seperti

manusia. Ketentuan, perintah dan larangan, pahala dan hukuman, berita

gembira dan ancaman pujian dan cacian, yang kemudian melakukan keadilan

dan kelaliman, harus ada hari bagi mereka untuk memisahkan satu dari yang

lain. Oleh karena itu, Allah mengenalkan Hari Kiamat sebagai hari kepastian.

p:287

Ada bentuk argumentasi lain untuk membuktikan kebangkitan setiap

wujud nonmateri. Akan tetapi, Allah telah menentukan apa yang akan membedakan

antara orang-orang baik dan orang-orang jahat. Al-Qur’an me namakan

hari itu sebagai hari kepastian. Artinya, hari terpisahnya orang-orang

baik dari orang-orang jahat. Terpisah dari keluarga, kerabat, dan orang-orang

yang digaulinya serta yang dicintainya. Mereka ini pada Hari Kiamat akan

terpisah, “Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia)”(Q.S. Al-

Ma’arij: 13). Hal itu karena kehidupan akhirat adalah kehidupan individual

bukan kehidupan sosial. Semua orang akan terpisah dari keluarganya dan ini

memerlukan kalian tersendiri.

Setelah membuktikan perlunya Hari Kiamat dan kepastian hari

kebangkitan serta cara hidup manusia pada Hari Kiamat, maka apakah

kehidupan di sana sama seperti kehidupan dunia, yang menganggap

kerjasama dan hidup bersosial sesuatu yang penting? Ataukah kehidupan di

sana bersifat individual dan setiap orang adalah tamu pemikiran, akhlak, dan

amalnya di dunia? Di dunia, setiap yang diinginkan dapat dicapai dan dapat

dilakukan. Apakah seperti itu juga yang dikehendaki di sana? Berdasarkan

ini, maka di sana tidak ada kerjasama. Dan ini pun juga perlu kajian tersendiri

”Dan kamu semua mendatangi kami dengan seorang diri” (Q.S. Al-An’am: 94).

Pada Hari Kiamat setiap manusia akan hidup sendiri-sendiri dan

tidak ada kehidupan sosial. Pada Hari itu semua keluarga terpisah. Artinya,

hubungan di sana akan berubah, kecuali penduduk surga, mereka hidup

penuh kedamaian, “Mereka bersenang-senang dalam kesibukan” (Q.S.Yasin:

55). Yang demikian itu pun bukan hidup bersama-sama dan bersosial,

tidak ada kerjasama dan saling membantu, sehingga orang yang melakukan

pekerjaan tertentu dapat digantikan oleh orang lain untuk melanjutkannya.

Oleh karena kiamat adalah hari pemisah antara kejelekan dan kebaikan,

hari binasanya setiap kejahatanan dan terjaganya kebaikan, maka Al-Qur’an

berkata kepada para pendosa, “Dan berpisahlah kamu (dari orang-orang

mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat” (Q.S. Yasin: 59).

Kalian di dunia dapat hidup bersama dengan orang-orang Mukmin dalam

satu tempat, hati kalian tidak pernah diketahui, kejahatan kalian tidak

terpisahkan dengan kebaikan orang lain, tetapi hari ini adalah hari pemisah,

hari keadilan, hari terpisahnya barisan. (Dan berpisahlah kamu hari ini hai

orang-orang yang berbuat jahat).

Seruan ini akan sangat berpengaruh, sehingga barisan mereka berpisah

dari barisan orang-orang yang beriman. Ini adalah prinsip utama argumentasi

keadilan, yaitu membuktikan keharusan adanya kiamat. Tidak seorang pun

p:288

dapat menghalangi munculnya keadilan Allah yang sempurna ini. Hasilnya,

kelak pasti seperti yang dijelaskan pada argumentasi keadilan tersebut.

Keadilan adalah termasuk bagian sifat Ilahiyah, seperti halnya rahmat,

hikmah, dan sifat-sifat serupa lainnya, yang dengannya ma’ad menjadi jelas.

Pada dasarnya kita telah membuktikan adanya Hari Kiamat dengan

menggunakan sifat-sifat Allah. Artinya, asmaulhusna dan sifat Allah lainnya

telah kita jelmakan dan kita jadikan sebagai batas tengah untuk membuktikan

ma’ad. Berarti kita telah menjelaskan ma’ad ini melalui cara mengenal Allah.

Dan ini juga merupakan cara lain. Artinya, apabila manusia menghela

sifat-sifat Allah, maka dia akan meyakini adanya hari kebangkitan. Orang

yang mengingkari hari kebangkitan terbagi dalam dua bagian: kelompok

yang tidak mengimani keberadaan Allah sama sekali dan kelompok yang

mengimani adanya Allah tetapi tidak mengenali dengan benar.

Kelompok materialis yang tidak mengenal manusia kecuali kelahiran

dan kematian, mereka berpendapat: Manusia adalah mereka yang datang ke

dunia dan pada suatu hari akan meninggalkannya, dan di balik kematian

itu tidak ada apa-apa. Mereka tidak mempercayai adanya pencipta alam

dan yang mengakhirinya. Mereka mengatakan, “Kehidupan ini tidak lain

hanyalah kehidupan dunia, kita mati dan kita hidup” (Q.S. Al-Jatisyah: 24) dan

tidak ada kiamat. Inilah pengingkaran terhadap ma’ad, “Dan tidak ada yang

membinasakan kita selain masa” (Q.S. Al-Jatsiyah: 24). Yang menghancurkan

kita adalah alam dan waktu, secara bertahap kita dibinasakan. Ini adalah

pengingkaran adanya Allah.

Al-Qur’an menukil logika kelompok materialisme ini dengan ungkapan,

“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia, kita mati dan

kita hidup”. Sebagian mati dan sebagian yang lain lahir. Di balik itu tidak

ada kiamat, tidak ada pemula dan pencipta. Demikianlah kepercayaan

Marxisme. Dugaan materialisme juga demikian, mereka berkata, “Tidak

ada yang membinasakan kita selain masa”. Waktulah yang mencabik-cabik

keadaan lalu lenyap dari keberadaan. Dengan ini mereka telah mengingkari

keberadaan pencipta sekaligus mengingkari kebangkitan.

Adapun kelompok lain, seperti penyembah berhala yang mengakui

adanya Pencipta, mereka mengakui adanya Allah. Hanya saja mereka

tidak menghela-Nya dan tidak sampai pada sifat-sfiat Allah, sehingga

mereka harus meyakini masalah ma’ad. Akibatnya, mereka mengingkari

adanya ma’ad dan berkata, “Dan kami tidak akan dibangkitkan” (Q.S. Al-

An’am: 29). Al-Qur’an menukil logika orang-orang yang mengingkari hari

kebangkitan dengan ungkapan ini, seperti yang mereka katakan, “Akhir dari

p:289

kehidupan setiap orang adalah kematian dan di balik kematian tidak ada

apa-apa”. Apabila seseorang berpikir tentang Allah dengan benar, beriman,

dan mengenal sifat-sifat-Nya, maka pasti dia akan mempercayai hari ma’ad.

Terjadinya pengingkaran pada ma’ad lebih disebabkan ketidaktahuan

mereka tentang pencipta. Pengingkaran terhadap wahyu dan kenabian itu

juga karena ketidaktahuan mereka tentang prinsip tersebut. Al-Qur’an

memaparkan tiga hal ini dalam tiga bagian: mereka yang megingkari

ma’ad, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang

semestinya” (Q.S. Al-An’am: 91). Mereka yang tidak mengenal Allah

sebagaimana mestinya, mereka itulah orang-orang yang mengingkari wahyu

dan kenabian, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan

semestinya di kala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun

kepada manusia’” (Q.S. Al-An’am: 91). Artinya, apabila mereka mengenal

Allah dengan sebenar pengertian, tentu mereka akan beriman dengan adanya

wahyu dan kenabian. Begitu juga mereka yang mengingkari keesaan Allah.

Mereka sebenarnya telah mengakui adanya sang pencipta, akan tetapi mereka

tidak menerima tauhid dan tidak mempercayainya. Allah menceritakan

perihal mereka ini dengan firman-Nya, “Dan mereka tidak menghormati

Allah dengan sebanar-benar penghormatan”. Perlu dijelaskan kepada tiga

kelompok ini, yaitu apabila seseorang mengenal Allah, bagaimana mungkin

mengenal Tuhan sedemikian rupa sementara keyakinannya tentang keesaan

Allah demikian berbeda. Apabila seseorang mengenal Allah dengan benar,

bagaimana mungkin tidak mempercayai adanya wahyu dan kenabian. Dan

apabila sudah mengenal Allah dengan benar, bagaimana mungkin tidak

mengimani adanya Hari Kiamat dan adanya ma’ad.

p:290

p:291

Pelajaran XX

Perlunya Ma’ad dari Sisi Pandang Gerakan Kesempurnaan Alam

p:292

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Al-Qur’an menganggap kiamat dan masalah ma’ad merupakan masalah

penting. Hal itu sebagai upaya merealisasikan tujuan risalah ini, yaitu

mendidik jiwa manusia. Al-Qur’an menilai bahwa melupakan keberadaan

Hari Kiamat merupakan faktor utama terjadinya perbuatan dosa. Sebaliknya,

mengingat kiamat merupakan faktor terbaik untuk meraih kesempurnaan

dan kebahagiaan. Mengingat kiamat memiliki peran aktif dalam mendidik

jiwa dan melupakannya dapat merusak ruh. Oleh sebab itu, Al-Qur’an

memaparkan berbagai argumentaasi untuk membuktikan adanya kiamat

dan perlunya hari kebangkitan.

Oleh karena kiamat dan ma’ad memiliki berbagai tingkatan, maka

argumentasi yang dipaparkan Al-Qur’an pun sangat beragam. Setiap

argumentasi akan memberikan kesimpulan sesuai batas tengahnya. Setiap

argumentasi memiliki batas tengah yang sesuai dengan tingkatan ma’ad-nya;

begitu juga setiap argumentasi tersebut akan menyimpulkan sesuai tingkatan

kiamatnya. Oleh karena itu, argumentasi kiamat sangat beragam, seperti

beragamnya tingkatan kiamat. Hal itu lebih disebabkan karena tingkatan

manusia tidak sama. Al-Qur’an berkata bahwa keberadaan manusia memiliki

berbagai peringkat. Derajat-derajat manusia ini tidak saja tambahan atas

jiwa mereka, “Mereka akan memperoleh beberapa derajat di sisi Allah”

(Q.S. Al-Anfal: 4). Bahkan, keberadaan manusia itu sendiri merupakan

derajat yang memperkuat keberadaan jiwa mereka, “Kedudukan mereka

bertingkat-tingkat di sisi Allah” (Q.S. Ali ‘Imran: 163). Artinya, bukan

saja manusia yang akan mendapat derajat pada Hari Kiamat kelak, tetapi

setiap pribadi manusia dengan segala perannya merupakan tingkatan dari

tingkatan-tingkatan eksistensi alam ini.

Ketika manusia menyatu bersama kesempurnaan dan kebahagiaan,

dirinya akan menjadi hakikat derajat itu sendiri. Sebelum kesempurnaan

itu menyatu dengan manusia, maka manusia memiliki satu derajat, “Mereka

akan memperoleh beberapa derajat”, dan ketika kesempurnaan itu menyatu

dengan jiwa manusia, maka manusia itu sendiri menjadi satu derajat,

“Kedudukan mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah”. Oleh karena itu, Al

p:293

Qur’an menggunakan kata lahum darajaat (mereka memperoleh berbagai

derajat) dan juga wahum darajaat (dan mereka itu adalah berbagai derajat).

Sesudah menjelaskan dua masalah (kiamat dan ma’ad) dan pengaruhnya

pada pendidikan jiwa serta penyempurnaan ruhnya, setelah menjelaskan

berbagai argumentasi yang dilakukan Al-Qur’an tentang keharusan ma’ad

yang ternyata tidak sama, dan ketidaksamaan ini lebih disebabkan adanya

berbagai tingkatan nilai kemanusiaan, dan hal itu dalil-dalilnya telah

dijelaskan oleh Al-Qur’an. Sebab, beberapa dalil telah dibahas dalam

pembahasan sebelumnya. Sekarang kita hanya menying gung secara sekilas

atau penyempurna sebagian argumentasi yang belum disebutkan. Pertama,

jika seseorang mengenal Allah dengan benar, maka dia tidak akan meragukan

terjadinya ma’ad, sebab dasar pengetahuan agama adalah makrifat kepada Allah.

Jika seseorang megenal Allah—Tuhan pencipta alam—dengan baik,

maka dia tidak akan meragukan tauhid, tidak bimbang pada kiamat dan

ma’ad, yaitu tempat kembali kepada Allah. Dia tidak akan meragukan adanya

wahyu dan para nabi. Sebab tiga pokok agama; tauhid, ma’ad, dan kenabian

semua hanya dapat diselesaikan dengan mengenal Allah. Jika terdapat

keraguan atau ditemukan ketidakjelasan dalam tiga pokok tersebut, hal itu

lebih disebabkan ketidaktahuannya tentang pencipta alam. Tidak seorang

pun yang mengenal Allah dengan baik, lalu dirinya masih meragukan

tauhid, ma’ad, wahyu, kenabian, atau risalah. Oleh karena itu, Al-Qur’an

menceritakan mereka yang meragukan risalah dan wahyu atau meragukan

keberadaan Hari Kiamat atau ma’ad: “Mereka adalah orang-orang yang

tidak mengenal Allah dengan baik, tidak memahami (Tuhan semesta Alam)

dengan benar. Sekiranya mengenal (pencipta semesta Alam) dengan benar,

dia tidak akan meragukan tiga pokok ini sedikit pun.

Sebelum mengkaji argumentasi Al-Qur’an tentang ma’ad secara rinci,

kita harus mengenal tiga pokok ini secara menyeluruh. Dan mengenal Allah

(ma’rifatullah) adalah pangkal semua masalah tersebut. Jika ditemukan

keraguan pada salah satu dari tiga pokok tersebut, hal itu disebabkan tidak

mengenal Allah secara sempurna dan benar. Dalam surah Al-Haj, Al-Qur’an

menilai kemusyrikan dari kaca mata ini, dan dikatakan bahwa kemusyrikan

tidak sesuai dengan ma’rifatullah. Mereka yang tercemar dengan noda

kemusyrikan disebabkan mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya

pengenalan. Sekiranya mereka mengenal Allah dengan sebenarnya,

mereka tidak akan ternoda dengan kemusyrikan sama sekali. Mereka pasti

dapat menikmati keagungan bertauhid. Pada akhir surah Al-Haj, untuk

p:294

mematahkan kemusyrikan ini, Al-Qur’an mengatakan: “Mereka tidak

menghormati Allah dengan sebenar-benar penghormatan” (Q.S. Al-Hajj: 74).

Mereka yang menyekutukan Allah dan menisbatkan sebagian kejadian

alam selain kepada Allah, mereka yang tunduk kepada selain Allah, mereka

yang merendahkan diri dan mengagungkan berhala serta menyembah selain

Allah, menganggap selain Allah berpengaruh dalam kehidupan, maka

mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan benar.

Sekiranya mereka mengenal Allah sebagai hakikat semata, sebagai eksistensi

murni, sumber segala kesempurnaan dan kebaikan, dan apabila meyakini

bahwa Allah adalah pencipta dan yang mengatur alam (pencipta alam

semesta), maka tidak ada alasan baginya untuk meyakini adanya pengatur

selain Allah yang berhak mendapat predikat Rububiyah. Kesimpulannya,

seorang hamba yang meyakini adanya kekuatan yang mempengaruhi aturan

alam selain Allah berarti dia telah menyembah selain-Nya.

Dengan demikian, orang yang meminta sesuatu kepada selain

Allah, atau menganggap selain Allah sebagai sebab mandiri yang berpengaruh

dalam berbagai urusan, pada hakikatnya mereka tidak mengenal

Allah dengan benar—“Mereka tidak menghormati Allah dengan sebenar-benar

penghormatan” (Q.S. Al-Hajj: 74). Berdasarkan pemikiran ini, maka

mestinya tidak ada alasan bagi seseorang menjadi musyrik. Jika seseorang

mengenal Allah dengan pengertian sebenarnya, maka pengertian itu adalah

keya kinan akan keesaan Allah (Wahdaniyatullah) yang dikenal dengan

nama tauhid. Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam

Nahjul Balaghah, khotbah pertama, mengatakan: “Kesempurnaan penge nalan

kepada-Nya adalah meyakini-Nya, dan kesempurnaan keyakinan kepada-Nya

adalah mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya)”.

Apabila makrifat kepada Allah sempurna, maka dia akan sampai pada

peringkat tauhid. Mereka yang menganggap adanya peran selain Allah, maka

mereka tidak mengenal Allah. Apa yang dinamakan wastani (penyembah

berhala), tsanawi (duailsme), atau riya. Riya adalah syirk khafi (syirik

tersembunyi). Penyebabnya adalah karena tidak mengenal Allah. Orang

yang mengenal Allah dengan benar, tidak akan berbuat riya atau menonjol-nonjolkan

amalnya, tidak akan melangkahkan kakinya untuk riya, dan tidak

berusaha untuk mencari nama. Tidak akan berbuat agar dikenal orang

lain, agar didengar orang lain. Dia adalah simbol orang bertauhid

yang melakukan amalnya semata untuk Allah, karena Allah melihatnya. Dia

berbuat semata agar didengar oleh Allah, karena Allah Maha Mendengar.

Orang yang riya adalah orang yang tidak mengenal Tuhan dengan baik. Oleh

p:295

karenanya, berbuat riya sungguh bertolak belakang dengan ma’rifatullah;

begitu juga halnya syirik.

Berkaitan dengan wahyu dan ajaran nabi, Al-Qur’an mengatakan:

Mereka yang mengingkari adanya kenabian dan ajaran para nabi secara

umum, atau mengingkari kenabian dan ajaranya secara khusus, mereka tidak

mengenal Allah dengan baik. Sekiranya mereka mengenal Allah dengan baik,

tentu mereka tidak akan mengatakan bahwa Allah tidak menu runkan wahyu

kepada manusia sama sekali, “Mereka tidak menghormati Allah sebenar-benar

penghormatan di kala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu apa

pun kepada manusia’” (Q.S. Al-An’am: 91). Mereka yang tidak beriman

pada kenabian, mereka yang berkata bahwa hukum alamlah yang mengatur

kehidupan manusia, mereka yang mengatakan bahwa yang mengatur

kehidupan manusia adalah para ilmu wan, mereka adalah manusia-manusia

yang tidak mengenal Allah, Tuhan alam semesta yang menciptakan manusia.

Maka, Dia pula harus menjadi pembim bingnya (Rab-nya). Pengaturan

manusia tidak dapat diatur oleh pemi kirannya, tetapi pemikiran adalah

bagian dari rahasia penciptaan. Alam dengan segala rahasia penciptaan

dan pengaturannya, maka pen ciptanyalah yang harus membimbing

mereka. Allah sebagai pembimbing manusia, dan ketika mengutus para

nabi, menyampaikan aturan-aturan langit kepada manusia melalui wahyu,

tujuan utamanya adalah agar manusia meraih kebahagiaannya. Orang yang

mengingkari kenabian dan wahyu berarti tidak mengenal Allah dengan

sebenar-benar pengertian, “Mereka tidak menghormati Allah dengan sebenar-benar

penghormatan, tatkala mereka berkata; Allah tidak menurunkan suatu

apa pun kepada manusia”. Mengenal Allah memiliki peran positif pada

kepercayaan kiamat dan ma’ad.

Pada bagian ini, seperti halnya bagian-bagian lain dalam tauhid dan

kenabian, Al-Qur’an mengungkapkan, “Apabila mereka mengenal Allah

dengan benar, maka mereka akan menjadi manusia yang “muwahhid” (ahli

tauhid) dan juga meyakini adanya Hari Kiamat”.

Kedua: Allah sebagai eksistensi murni, pasti akan menyampaikan setiap

wujud pada kesempurnaannya. Ketika manusia meraih kesempurnaannya,

ia akan mendapat kedudukan tinggi setelah kematiannya. Oleh karena itu,

Al-Qur’an mengatakan, “Akan tetapi sembahlah Allah dan jadilah kamu

orang yang bersyukur” (Q.S. Az-Zumar: 66). Hanya Allah sajalah yang harus

kamu sembah dan bersyukurlah kepada-Nya karena ibadah adalah bagian

dari Rububiyah. Tuhan alam semesta adalah Allah yang harus disyukuri

atas nikmat yang dilimpahkan-Nya. Pemberi nikmat yang sebenarnya (al

p:296

Hakiki) adalah Allah, “Dan apa saja yang ada padaku dari nikmat, maka

datangnya dari Allah” (Q.S. An-Nahl: 53).

Manusia harus tahu bahwa semua sebab yang ada adalah perantara

sebagai karunia al-Haq, tidak boleh mengingkari hukum sebab akibat ini

dan juga jangan menganggapnya sebagai sebab mustaqil (sebab mandiri lepas

dari Allah). Dalam pepatah dikatakan: “Barang siapa tidak berterima kasih

kepada sesama makhluk maka dia tidak akan berterima kasih kepada Sang

Khalik.(1) Artinya, orang yang tidak melalui sebab-sebab perantara ini, dia tidak

akan sampai pada mabda’ (Allah). Apabila dia bersyukur kepada perantara-perantara

tersebut, pada dasarnya dia bersyukur kepada pemberi nikmat ini.

Apabila seseorang menghargai orang yang memberi nikmat, pada hakikatnya

dia bersyukur kepada pemberi nikmat yang hakiki. Pemberi nikmat yang

tampak merupakan jelmaan dari karunia Allah “Apa saja yang ada pada kamu

berupa nikmat, maka datangnya dari Allah”. Imam Yang kedelapan (Imam

Ali ar-Ridha) berkata, “Ya Tuhanku, apa pun nikmat yang ada padaku

itu adalah dari kebaikan-Mu, dan apa pun kejelekan yang ada padaku itu

adalah dari diriku. Tidak ada kekuatan untukku dan selainku mengubah

kebaikan-Mu dan tidak ada alasan bagiku untuk berbuat jelek kepada-Mu”.

Artinya, Ya Tuhanku, semua nikmat yang aku terima adalah dari

kebaikan-Mu. Kamu berikan kepadaku yang aku tidak berhak menerimannya.

Tidak ada sebab dariku atau dari selainku untuk mendapatkannya.

Tidak ada satu pun yang berperan untuk mendatangkannya untukku karena

mereka tidak lebih hanya karunia darimu. Dan semua kemelaratan yang ada

padaku, itu semata-mata karena kejelekanku dan kesalahanku. Tidak ada

alasan bagiku untuk berbuat kejelekan ini. Setiap nikmat berasal dari-Mu

dan setiap kemelaratan yang menimpa diriku adalah karena kejelekanku.

“Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu

termasuk orang-orang yang bersyukur. Dan mereka tidak menghormati Allah

yang semestinya, padahal bumi seluruhnya berada dalam genggaman-Nya pada

Hari Kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan

Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” (Q.S. Az-Zumar: 66—67).

Orang-orang musyrik dan mereka yang mengingkari hari kebangkitan,

menisbatkan pengaturan alam ini kepada selain Allah. Mereka mengira

bahwa manusia kelak akan binasa dan lenyap dengan kematiannya. Mereka

tidak meyakini hari kemudian bagi manusia. Mereka tidak mengakui bahwa

pengaturan alam secara umum ini hanya ada pada Allah. Mereka tidak

mengakui Allah sebagai Tuhannya yang mutlak. Mereka tidak mengakui

p:297


1- 42 Jami’ ash-Shaghir, juz 2, hlm. 181.

adanya kiamat dan hari kebangkitan. Mereka adalah orang-orang yang

tidak mengenal Allah sama sekali. Sebab, seperti yang sudah diisyaratkan

sebelumnya, pertama, Allah adalah eksistensi murni (wujud mutlak) yang

tidak ada sekutu bagi-Nya. Kedua, Allah-lah yang membina seluruh wujud

mencapai kesempur naannya.

Manusia akan mencapai kesempurnaannya ketika ma’ad tiba. Oleh

karena itu, apabila seseorang mengenal Allah seditkit saja dengan cara yang

benar, maka dia tidak akan ragu sedikitpun tentang tiga pokok agama

tersebut. Tidak mungkin seseorang mengenal Allah dengan haki kat-Nya

kecuali seperti diungkapkan oleh Imam dengan menggunakan kalimat yang

populer berikut ini, “Kami tidak mengenalmu sebenar-benar pengertian”.

(1)

Artinya, Ya Tuhanku, kami telah mengenal-Mu dengan sebenar-benar

pengertian sesuai kemampuan manusia, selain ini sulit bagi mereka. Sebab,

mengenal Allah sekaligus pengakuan ketidakmampuan (mengenali-Nya)

adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pengakuan ketidakmampuan

mengenali-Nya ini merupakan pengenalan itu sendiri. Sedikitpun kita tidak

ragu akan keesaan Allah sama sekali “tidak ada sekutu bagi-Nya”. Sedikit

pun kita tidak ragu atas diutusnya para nabi, keberadaan hari kebangkitan,

dan kiamat. Sedang mereka meragukan masalah-masalah ini karena mereka

tidak mengenal Pencipta alam dengan benar. Oleh karena itu, salah satu

argumentasi yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk keberadaan ma’ad adalah

tauhid kepada Allah. Oleh karena Allah Maha Satu, maka kiamat pasti ada,

“Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan

kamu pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan padanya”(Q.S. an-Nisa’:

87). Untuk membuktikan ma’ad, Al-Qur’an menggunakan beberapa ayat

tentang tauhid. Artinya, Allah Maha Satu dan telah menentukan kepada

manusia suatu hari yang dinamakan hari penghisaban (yaumul hisab).

Sungguh tidak masuk akal apabila Allah yang Maha Satu tidak menciptakan

suatu hari sebagai penyaringan semua amal manusia. Sungguh mustahil

Allah yang Maha Satu membiarkan manusia bebas (tanpa hisab), sebab

tauhid kepada Allah adalah dalil kuat atas terjadinya ma’ad; persis seperti

halnya keberadaan Allah adalah dalil akan keesaan-Nya.

Berarti keberadaan Allah adalah dalil akan keberadaan ma’ad dan

juga tauhid. Makna ini telah terungkap dalam surah Ali Imran, “Allah

menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan

keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu(juga mengatakan

demikian)” (Q.S. Ali ‘Imran: 18). Artinya, ketuhanan adalah bukti

p:298


1- 43 Yanbu’ al-Asrar fi Nashaih al-Abrar, hlm. 37.

keesaan, dan keyakinan akan keberadaan Allah tidak sesuai dengan konsep

politeisme(kemusyrikan). Kepercayaan akan keberadaan Allah tidak sesuai

dengan pengakuan adanya sekutu bagi-Nya. Sebuah hakikat yang tanpa

batas tidak akan memberi kesempatan kepada yang lain sebagai sekutunya.

Konsep dualisme (tsunaiyah) tidak sesuai dengan konsep hakikat tanpa batas.

Seperti ungapan seorang filsuf Ilahiyah al-Farabi, “Sesuatu yang semata-mata

tunggal, tidak dua dan tidak terulang”. Argumentasi ini juga dipakai oleh

para ahli filsafat dari mazhab Ahlulbait yang suci. Barangkali kami telah

menukil argumentasi ini dari Hisyam dalam berbagai pembahasan tauhid.

Almarhum Ibn Babawaih al-Qummi dalam kitabnya, at-Tauhid,

menukil bahwa Hisyam bin Salim—(dalam riwayat lain Hisyam bin

Hakam—penj.) yang merupakan salah satu murid khusus Imam Ja’far

Shadiq, pada suatu hari hadir di rumah Imam Ja‘far. Imam bertanya

kepadanya tentang sifat-sifat Allah dan asma’ al-Husna, “Apakah kamu

menyifati Allah?” Hisyam menjawab, “Ya”. Imam berkata lagi, “Katakan!”

Hisyam pun menjawabnya. Lalu Imam mematahkan semua jawabannya.

Nampaknya Hisyam baru paham bahwa dia harus mendengar jawaban dari

gurunya sebagai hujjatullah itu. Oleh karena itu, beliau bertanya kepada

Imam Shadiq, “Bagaimana engkau mensifati Allah?” Imam menjawab, “Dia

adalah cahaya yang tidak ada kegelapan bagi-Nya; Dia adalah kehidupan

yang tidak ada kematian bagi-Nya; dia adalah ilmu yang tidak ada kebodohan

bagi-Nya”.(1) Artinya, Allah adalah cahaya dan kehidupan semata, ilmu dan

kekuatan semata. Sedangkan ilmu semata, cahaya dan kehidupan semata,

sama sekali tidak berpotensi menerima sekutu, begitu juga ilmu semata.

Pembahasan yang sangat tinggi ini disampaikan oleh Imam Shadiq

kepada murid khususnya, yang menjadikan Hisyam berkomentar, “Aku

keluar dari rumahnya dalam keadaan aku telah menjadi orang yang paling

alim tentang ilmu tauhid”. Dapat jadi seseorang lebih tahu tentang filsafat

teoretis, dan begitu juga sebaliknya. Hisyam berkata, “Saya salah satu dari

murid Imam keenam, lebih alim dari yang lain dalam filsafat teoretis dan

kepercayaan tentang tauhid kepada Allah”. Sumber pandangan tauhid ini

adalah argumentsi “Sharfah” tersebut. Sharfa’ adalah sesuatu yang bersifat

murni, tunggal yang tidak dapat dibagi-bagi. Dalam istilah filsafat dikatakan

“as-Sharfatu Laa Yatastanna Wala Yatakarrar” (sesuatu yang murni tidak ada

duanya dan tidak akan terulang kembali—Penj.).

Cahaya semata-mata cahaya tidak akan terulang, kehidupan semata-mata

kehidupan tidak dapat menjadi banyak, semata-mata ilmu tidak ada

p:299


1- 44 Kitab at-Tauhid, hlm. 146.

pesaingnya, dan semata-mata wujud (eksistensi murni) tidak ada bilangannya.

Apa yang dikatakan Allah dalam surah Ali Imran: Ketuhanan Allah adalah

bukti atas keesan-Nya, bukan karena saksi dan pengakuan keesaannya. Artinya,

Allah mengaku Maha Esa dan Dia pula sebagai saksinya. Akan tetapi, cahaya

yang murni ini adalah bukti tidak adanya bilangan karena Dia cahaya (yang

bersifat mutlak). Sedangkan Uluhiyah adalah bukti akan keesaan, sedangkan

kemusyrikan adalah pengakuan tanpa dalil dan burhan. Oleh karena itu,

Al-Qur’an mengata kan, “Dan barang siapa menyembah Tuhan yang lain di

samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka

sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya” (Q.S. Al-Mukminun: 117).

Setiap yang menyatakan adanya penciptaan selain Allah, maka itu

pengakuan tanpa dalil dan hisabnya berada di sisi Allah. Berarti mengenal

Allah secara sempurna, konsekuensinya adalah mentauhidkan-Nya,

sedangkan mentauhidkan Allah konsekuensinya adalah mengaku adanya

Hari Kiamat. Oleh karena itu Al-Qur’an mengatakan, “Allah menyatakan

bahwasannya tidak ada Tuhan selain Dia” (Q.S. Ali ‘Imran: 18). Artinya,

ketuhanan Allah adalah bukti akan keesaan-Nya. Dalam ayat lain Al-Qur’an

mengata kan, “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya Dia akan

mengumpulkan kamu pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan padanya”

(Q.S. an-Nisa’: 87).

Keesaan Allah mengharuskan adanya ma’ad dan kiamat. Apabila Al-

Qur’an memaparkan berbagai argumentasi tentang keharusan adanya ma’ad,

yaitu kelanjutan argumentasi ini yang mengatakan; bahwa mengenal mabda

(sumber penciptaan) adalah bukti nyata adanya ma’ad sebagaimana hal itu

juga merupakan bukti nyata adanya wahyu, risalah, dan kenabian.

Adapun cara lain yang dipaparkan al-Qur’an untuk membuktikan

adanya kalimat dan ma’ad adalah burhan al-harakah, burhan al-hikmah,

burhan al-hakikah, burhan al-adalah, burhan tajarrud rudh dan burhan

hubbul baqa (cinta keabadian) yang semuanya telah diambil dari berbagai

ayat Al-Qur’an. Kesimpulan dari burhanal-harakah adalah bahwa alam

semesta ini dengan segala bagian-bagiannya adalah satu, saling terkait, dan

serasi. Seperti yang telah dibahas dalam tauhid, alam yang bergerak karena

keserasian dan keterikatan ini tidak lebih dari satu, sebab alam dalam

gerakannya dan perubahannya terkait dengan hukum dan aturan umum.

Dalam gerakannya, yang paling penting adalah keluarnya dari potensi

menjadi realitas(al-khuruj minal quwwah Ilal fi’liyah)—dalam filsafat ada

istilah al-quwwat dan al-fi’li. Menurut saya, al-Quwwatu berarti potensi

sedangkan al-Fi’li berarti kenyataan di luar, misalnya sperma adalah manusia

p:300

bil Quwwati, artinya berpotensi untuk menjadi manusia. Ketika menjadi

manusia kita katakan manusia bil Fi’li; artinya, benar-benar jadi manusia

(Wallahu a’lam—Penj.) dari kekurangan menuju kesempurnaan, dari lemah

menjadi kuat.

Gerakan adalah sesuatu yang bersifat eksis. Kadang ditemukan suatu

keberadaan kehilangan kesempurnaannya dan bergerak menuju arah

kekurangan, semisal apel yang busuk, atau bergerak dari kesempurnaan

menuju ke kesempurnaan lain yang sama dan meninggalkan kesempurnaan

yang dulu. Gerakan yang demikian ini bukan gerakan yang bersifat dzati

dan hakiki. Sebab ketidakadaan bukan sebuah kesempurnaan. Gerakan

yang menuju kekurangan bukanlah sebagai kesempurnaan dan tidak

berwujud. Gerakan adalah sesuatu yang bersifat eksistensial. Seperti yang

kita saksikan pada apel busuk, bukan berarti dia sempurna bergerak menuju

ketidaksempurnaan dengan gerakan dzati. Akan tetapi busuknya apel dan

keringnya pohon adalah gerakan karena faktor lain bersifat ‘aradhi.

Faktor luar itu, misalnya kebinasaan aslinya bergerak menuju kedewasaan,

sedangkan apel tersebut busuk karena sebab luar. Busuk artinya

hilangnya kesempurnaan dan kemuliaan, semuanya merupakan masalah

yang bersifat ‘adami (tidak ada), padahal gerakan sesuatu bersifat wujudi

(eksistensialis). Berarti, kebusukan dan kerusakan bukan gerakan yang

bersifat hakiki. Tidak ada ada sesuatu yang sempurna bergerak menuju kekurangan

dangan gerakan tersebut disebut sebagai gerakan hakiki. Akan tetapi,

faktor luar yang menghalangi hingga kemudian menjadi busuk. Semisal ini

adalah kejelekan, seluruh masalah bergerak proses menuju kebaikannya,

tetapi kejelekan justru menuju pada hilangnya kesem purnaan. Insya Allah

hal ini akan kami jelaskan pada kajian gerakan secara rinci.

Gerakan adalah keluar dari sebuah potensi menuju pada realitasnya.

Dua masalah ini (potensi dan realitas) tidak terpisahkan dari tujuan gerakan.

Gerakan berusaha meninggalkan ketidaksempurnaan potensi menuju pada

kesempurnaan realitas. Sesuai ungkapan filsuf Mulla Sadra ra, gerakan

memiliki cara. Pertama, adanya sifat kuat dan lemah. Kedua, kekuatan yang

menggerakkan gerakan. Apabila gerakan itu sifatnya sama, apabila seluruh

wujud alam ini dan alam wujud ini sama, jika tidak terdapat kuat dan lemah,

maka alam ini tidak mungkin dapat bergerak. Apabila alam wujud ini

menerima kepastian arah dan memiliki peningkatan, akan tetapi tidak dapat

menerima kecepatan gerak, apabila gerakan itu dari keras menuju pada yang

lebih keras, atau perpindahan dari lemah kepada yang lebih keras itu sulit,

maka tidak akan terjadi gerakan (tidak ada gerakan). Gerakan artinya dari

p:301

sebuah potensi menuju realitasnya. Perjalanan ini syaratnya harus ada daya

tarik, kuat dan lemah.

Adapun seperti yang dikatakan bahwa gerakan memiliki mabda’

(pemula) dan akhir, tidak berarti memiliki awalan dan akhiran. Sebab

gerakan tidak memiliki awal dan akhir, gerakan yang bersifat satu tidak

memiliki bagian-bagian. Akibatnya, sesuatu yang kita anggap sebagai bagian,

maka bagian tersebut dapat dibagi, dan bagian yang dibagi itu juga dapat

dibagi lagi dan seterusnya, karena sesuatu yang merupakan bagian pasti

dapat dibagi lagi. Berarti gerakan tidak memiliki bagian pertama dan bagian

akhir. Apa yang dikataan bahwa gerakan memiliki mabda dan muntahah

tidak berarti dia memiliki awalan dan akhiran, tetapi memiliki potensi dan

realitas.

Dengan demikian, gerakan berarti melewati batas potensi hingga batas

realitas, sedangkan alam semesta mulai bergerak dari potensi dan harus

mencapai pada realitasnya dan abadi. Oleh karena gerakan memiliki arah,

berarti harus memiliki tujuan, sehingga ia mencapai tujuannya. Mencapai

tujuan itulah yang dikehendaki, bukan pasif. Hal itu disebabkan alam selalu

dalam usaha dan bergejolak. Baru ketika mencapai tujuan, alam akan tetap

dan tenang, bukan sakin (pasif ) tapi tsubut (tetap) dan itulah yang disebut

Al-Qur’an sebagai “Darul Qarar”. Artinya, terdapat sebuah alam untuk diam

dan itu berarti tempat akhir. Dalam surah Al-Ghafir, Al-Qur’an menjelaskan

tempat tersebut dengan firman-Nya, “Dan berkata orang yang beriman;

Wahai kaum ikutilah aku, aku akan memberi petunjuk kamu pada jalan yang

benar, Wahai kaum sesungguhnya kehidupan dunia adalah barang mainan dan

sesungguhnya akhirat adalah tempat ketenangan” (Q.S. Ghafir: 38—39).

Seorang ahli tauhid menyeru: Hai kaumku, ketahuilah bahwa dunia

ini tidak lebih hanya kelezatan sementara dan bukan tempat tinggal (dan

sesungguhnya akhirat adalah tempat tinggal). Dunia bagaikan jalan dan jalan

pasti ada batasnya. Dunia selalu bergejolak, berubah-berubah. Dunia, yang

ia merupakan jalan, selalu bergerak menuju ke tempat tinggal, yaitu sebagai

tujuannya, yaitu akhirat. Kehidupan dunia adalah kelezatan sementara

(sesungguhnya kehidupan dunia adalah barang mainan dan sesungguhnya

akhirat adalah tempat tinggal).

Dalam surah Al-A’raf, Al-Qur’an menamakan kiamat sebagai pelabuhan

kapal alam semesta; “Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,

kapankah terjadinya?” (Q.S. Al-A’raf: 187). Mereka bertanya kepadamu

tentang kiamat; kapan munculnya? Kapan kapal alam semesta ini sampai

pada pelabuhannya? Tentang kapal Nuh Allah berfirman: “Dengan nama

p:302

Allah di waktu berlayar dan di waktu berlabuhnya” (Q.S.Hud: 41). Kapal

ini bergerak dengan nama Allah, dan akan berlabuh dengan nama Allah

pula. Baik berlayar maupun berlabuhnya dengan nama Allah. Kalian

bergerak dengan kekuatan gaib, sebab para wali Allah berbuat suatu yang

baik untuk alam ini dengan nama Allah. Di sinikah mereka bertanya kepada

Rasulullah: Kapankah kapal alam semesta ini sampai pada pela buhan nya

untuk menurunkan para penumpang? Kapankah rombongan ini sampai pada

tujuannya. Kapan rombongan ini sampai pada tempat tinggalnya? Kapan

beristirahat dari jalan yang bergejolak ini? “Kapan berlabuhnya” adalah

sebuah ungkapan indah sekali, yaitu berarti kapan alam ini menjadi tenang?

Dalam kalimat hikmah Ali bin Abi Thalib yang merupakan quran nathiq

dikatakan, “Dunia adalah tempat lewat dan akhirat adalah tempat tinggal”.

Kata “Mamar” berarti tempat menye be rang, sedangkan akhirat adalah tempat

tenang dan tempat kebenaran. Kesimpulan yang kita capai dari burhan al-harakah

ini adalah bahwa sesuatu yang bergerak harus mencapai tujuannya.

Oleh karena itu, Kiamat adalah sesuatu yang bersifat harus adanya. Dan ini

sama seperti diungkapkan Al-Qur’an ketika berbicara: “Hari kiamat adalah

hari yang tidak ada keraguannya”.

p:303

p:304

Pelajaran XXI

Pentingnya Ma’ad dari Sisi Hikmah Pemikiran

p:305

p:306

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Dalam pertemuan sebelumnya, topik pembahasan kita adalah keharusan

adanya ma’ad dilihat dari sisi pandang Al-Qur’an al-Karim. Sedangkan

pembahasan ma’ad dari sisi hikmah nadhariyah (hikmah pemikiran) telah

lewat dengan berbagai argumentasinya. Dilihat dari sisi hikmah nadhariyah,

secara teoretis pembahasan itu telah membuka beberapa kesimpulan dan

keuntungan, sebab hal tersebut juga dapat mengembangkan teori praktis

karena Al-Qur’an menganggap bahwa keyakinan akan keberadaan Hari

Kiamat merupakan faktor utama pendidikan jiwa dan penyucian ruh.

Begitu juga sebaliknya, melupakan Hari Kiamat merupakan faktor utama

kehancuran ruh dan timbulnya berbagai kejahatan.

Oleh karena kiamat dan ma’ad memilki tingkatan(hal itu lebih

disebabkan oleh faktor tingkat ketinggian manusia dan juga tingkat

kerendahannya), argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Qur’an pun tidak

sama. Setiap dalil memiliki kesimpulan berdasarkan batas tengahnya (haddul

ausath). Setiap batas tengah dari setiap bentuk argumen disesuaikan dengan

tingkatan ma’ad. Dalil yang dikemukakan pada pertemuan sebelumnya

adalah burhan al-harakah (argumentasi gerakan), yaitu bahwa alam ini

memiliki gerakan dan alam semesta yang merupakan satu kesatuan ini

memiliki tujuan, sehingga dengan gerakannya ia dapat dari tahap potensi

menuju tahap realitas yang pada gilirannya alam ini akan tenang dan tetap.

Mustahil ada gerakan tanpa tujuan. Mustahil pula alam yang saling terikat

ini tidak mencapai tujuan, sebab sekiranya terdapat suatu wujud yang tidak

dapat mencapai tujuan karena gangguan, maka itu berarti alam ini telah

kehilangan usahanya. Akan tetapi, perumpamaan seperti ini tidak dapat

diterapkan pada semua alam karena tidak ada penghalang dari luar alam

yang mengganggu arahnya. Pembinannya adalah Tuhan pemelihara alam

semesta ini. Tidak ada sesuatu yang menghalangi aturan Allah.

Berdasarkan ini, maka ma’ad bagi alam—yang manusia merupakan

bagian darinya—adalah sesuatu yang bersifat keharusan. Artinya, harus

ada tujuan yang dicapainya. Sesuai pandangan Al-Qur’an, ma’ad adalah

sesuatu yang pasti. Sesuai istilah filsafat, ma’ad adalah sesuatu yang harus

adanya (dharuriy al-wujud). Sesuai ungkapan agama samawi, ma’ad adalah

p:307

sesuatu yang tidak diragukan. Kesimpulannya adalah burhanal-harakah

dapat membuktikan keberadaan ma’ad sesuai batas tengah argumentasi nya.

Burhan al-harakah tidak dapat difungsikan untuk membuktikan ma’ad pada

eksistensi yang lebih tinggi daripada eksistensi setiap bergerak. Ia memiliki

ma’ad tetapi tidak dapat dibuktikan dengan argumentasi gerakan. Kita juga

tidak dapat membuktikan kebangkitan orang-orang mulia seperti para wali

Allah dan ruh-ruh suci yang telah mencapai peringkat pertemuan dengan

Allah dengan menggunakan argumentasi al-harakah. Peringkat ma’ad

mereka adalah pertemuan mereka dengan Allah. Dalam burhanal-harakah

dikatakan: Sesuatu yang bergerak berawal dari suatu potensi menuju

realitas, sehingga mencapai peringkat keter pautan material. Ketika mencapai

peringkat tersebut, tidak ada lagi gerakan baginya. Sedangkan peringkat

keterpautan dan ketenangan ada beberapa peringkatnya. Apabila mencapai

peringkat tersebut, maka tidak ada gerakan setelahnya. Argumen ini tidak

dapat difungsikan untuk menetapkan kebangkitan sesuatu yang lebih tinggi

yang disebut dengan kebangkitan khusus, yaitu kebangkitan jiwa yang

tenang (nafsul muthmainnah) yang disebut dengan pertemuan dengan Allah

atau surga pertemuan.

Meskipun burhanal-harakah dapat dipakai untuk membuktikan

keberadaan sang pencipta, cakupan argumen tesebut sangat terbatas. Artinya,

apabila kita hendak membuktikan keberadaan pencipta alam dengan

burhanal-harakah, kita hanya memfungsikan pada hal-hal yang bergerak

yang berarti ada penggeraknya. Untuk membuktikan pencipta alam adalah

sesuatu yang sulit karena di luar kapasitas gerakan. Kesimpulannya, kapasitas

burhanal-harakah hanya sampai pada maqâm pertemuan Allah dan tidak

mampu membuktikan adanya Tuhan yang azali. Ia hanya bermanfaat pada

pembuktian adanya Penggerak yang immaterial dan tujuan immaterial yang

tetap, tidak dapat untuk membuktikan wujud azali juga surga pertemuan.

Kelebihan yang ada pada burhan ini dibanding burhan al-Hudus,

menurut Al-Qur’an bahwa burhan hudus ini dapat membuktikan adanya

pencipta yang bersifat qadim, tetapi bukan wajib al-wujud yang azali, sebab

sesuatu yang hadis pasti membutuhkan keberadaan wujud yang qadim.

Burhan hudus tidak mampu membuktikan adanya ma’ad. Sedangkan

burhan hudus tidak mampu membuktikan adanya ma’ad. Sedangkan burhan

al-harakah dapat membuktikan keduanya. Hanya saja burhan ini tidak

dapat membuktikan keberadaan yang bersifat eksistensi murni. Demikian

kesimpulan dari burhan al-harakah yang dipaparkan pada pertemuan

sebelumnya.

p:308

Burhan lain yang dipaparkan Al-Qur’an adalah burhanal-hikmah(filsafat

akhlak). Ini juga telah dijelaskan pada pertemuan yang lalu. Dalam burhan ini

dikatakan: Karena Allah Maha Bijak, maka tidak akan keluar dari-Nya suatu

tindakan tanpa tujuan. Sekalipun Allah sendiri tidak memerlukan tujuan

tersebut karena Dia Maha Kaya. Akan tetapi, karena Maha Bijak maka tidak

akan keluar dari-Nya tindakan tanpa tujuan. Al-Qur’an memisahkan dua

masalah ini dengan penjelasannya yang sangat dalam. Pertama: Allah tidak

punya tujuan karena Maha Kaya tidak membutuhkan sama sekali. Allah

tidak melakukan satu tindakan demi kepentingan tertentu sehingga dengan

tindakan tersebut Dia mendapat apa yang dikehendaki. Artinya apabila tidak

melakukan tindakan tersebut, Allah tidak akan mencapai tujuan. Apabila

tidak mencapai tujuan berarti Allah tidak sempurna. Ini bertentangan

dengan sifat-Nya yang Maha Kaya. Allah Maha Kaya tidak membutuhkan

seluruh alam, tidak berbuat sesuatu agar mencapai tujuan-Nya. Berarti Sang

pelaku tidak memiliki tujuan (misi pribadi) sama sekali. Akan tetapi, karena

Dia Maha Bijak maka tidak akan keluar dari-Nya tindakan tanpa tujuan.

Artinya, tindakan itu ada tujuannya. Akan tetapi, bukan untuk sang pelaku

yang harus diraihnya karena Dia sendiri merupakan tujuan akhir. Oleh

karena Dia(Allah) sebagai pelaku, maka tidak ada pelaku lain selain Dia.

Ada dua hal pokok; pertama, Allah tidak memiliki tujuan, dan kedua,

alam ini memiliki tujuan. Allah tidak memiliki tujuan karena Dia ”Maha

Kaya dari semua alam” (Q.S. Al-Ankabut: 6). Ia tidak membutuhkan semua

alam; tidak melukukan tindakan agar mencapai sesuatu tertentu; tidak

menciptakan alam untuk kepentingan diri-Nya; tidak menciptakan alam

agar menjadi dermawan. Hal itu karena ingin meraih keuntungan yang

bersifat kekurangan. Begitu juga derma bukan tujuan. Apabila derma dan

pemberian sebagai tujuan, berarti Dia melakukannya agar menjadi dermawan.

Jika itu tidak terjadi berarti Dia bukan dermawan, dan tidak mencapai

kesempurnaan derma berarti tidak sempurna. Pelaku seperti ini tidak akan

dapat disebut Maha kaya. Berarti Allah menciptakan alam bukan untuk

kepentingan diri-Nya, tidak menciptakan alam agar menjadi dermawan.

Fi’lullah (tindakan Allah) tidak dapat menerima lam (yang artinya

supaya atau demi) dan tidak menerima hatta (sehingga) karena sesungguhnya

Allah Maha Kaya dari semua alam. Akan tetapi karena Allah Maha Bijak

maka Dia menciptakan sesuatu pada tempatnya. Membuat setiap wujud

pada tempatnya masing-masing dengan aturan khusus menuju arah tertentu

yang membuktikan bahwa tindakan itu bertujuan. Artinya, alam semesta ini

ada tujuan, sekalipun Penciptanya tidak memiliki tujuan. Inilah dua pokok

p:309

masalah; yang pertama, tentang Maha Kaya-nya Wajibil Wujud (Allah)

dan kedua, tentang kebijakan-Nya. Dua hal tersebut memiliki kesimpulan

masing-masing. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatakan adanya perbedaan

antara dua masalah tersebut dan kedua-duanya terpisah dari yang lain.

Pada kesempatan lain dikatakan: Aku tidak ciptakan manusia kecuali

untuk menyembah-Ku. Pada kesempatan lainnya Al-Qur’an mengatakan:

Apabila semua yang ada di atas bumi ini menjadi kafir, maka Allah Maha

Kaya dari semua alam, tidak terganggu sedikitpun. Firman-Nya, “Dan

tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku” (Q.S.

adz-Dzariyat: 56). Apabila Al-Qur’an menjelaskan tujuan pencip taan jin

dan manusia, itu karena hendak menjelaskan tujuan penciptaan. Artinya,

tujuan penciptaan jin dan manusia adalah ibadah yang berarti mereka harus

mencapai tingkat ibadah dan makrifat. Dan tujuan jin dan manusia bukan

tujuan Allah. Apabila manusia tidak menjadi penyembah Tuhan berarti

tidak mencapai tujuannya. Oleh karena itu, Al-Qur’an menjelaskan melalui

lisan Musa kalimullah a.s., “Jika kamu menjadi kafir dan orang-orang yang

di atas bumi semuanya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha

Terpuji” (Q.S.Ibrahim: 8). Apabila kemudian orang-orang yang di bumi ini

semua menjadi kafir, maka sama sekali tidak akan mengganggu siapa pun

karena Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Dzatnya terpuji, Allah tidak

membutuhkan yang lain sama sekali. Allah menciptakan kalian bukan

supaya diri-Nya menjadi ma’bud (sesembahan), akan tetapi menciptakan

kalian agar kalian menjadi para penyembah. Pengetahuan dan penyembahan

adalah tujuan perbuatan bukan tujuan pelakunya.

Dikatakan: Apabila semua menjadi kafir, maka Allah tidak terganggu

sedikitpun karena Dia tidak mebutuhkan (sesungguhnya Allah Maha Kaya

dan Maha Terpuji). Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an menjelaskan bahwa

Allah tidak membutuhkan. Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya Dia

Maha Kaya dari semua alam” (Q.S. Al-Ankabut: 6). Maha Kaya dari alam

wujud dan alam penciptaan. Dia hanya bergantung pada zat-Nya yang

merupakan eksistensi murni, sedangkan semua wujud bergantung pada-

Nya. Oleh karena Allah Maha Kaya, maka Dia tidak berbuat sesuatu demi

meraih tujuan tersebut, karena Dia adalah sebagai tujuannya.

Ibn Sina seorang filsuf theisme tekenal dalam ungkapannya menga takan:

“Setiap pelaku melakukan sesuatu demi meraih kesempurnaan. Akan

tetapi apabila kesempurnaan itu sendiri melakukan perbuatan, apakah

dengan perbuatannya itu hendak meraih kesempurnaan?” Allah adalah

kesempurnaan mutlak, apakah Dia melakukan tindakan hendak meraih

p:310

sesuatu? Sama sekali tidak. Akan tetapi, karena Dia sempurna yang tanpa

batas, maka pilihan dan kehendak, ilmu dan kekuatan berasal dari-Nya.

Alam yang punya tujuan ini berasal dari kesempurnaan-Nya yang tidak

terbatas, yaitu ilmu, kekuatan, dan masyiah, serta kehidupan semata. Al-

Qur’an mengatakan, “Dan Kami tidak ciptakan langit dan bumi dan apa

yang ada di antara keduanya sia-sia, itu hanyalah dugaan orang-orang yang

kafir” (Q.S. Shad: 27).

Orang kafir yang mengingkari ma’ad beranggapan bahwa alam ini

tercipta tanpa tujuan. Berbagai manusia datang dan pergi serta berubahubah

tanpa tujuan, berbagai gerakan dan upaya tidak bermakna. Inilah

dugaan orang-orang kafir yang menafikan keberadaan Hari Kiamat. Padahal

alam bergerak menuju arah tujuannya, “Maka celaka bagi orang-orang kafir

yang berada dalam api neraka” (Q.S. Shad: 27). Sebagian orang kafir pada

Hari Kiamat akan menjadi bahan bakar jahanam. Pengertian yang demikian

ini telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan juga oleh Ali bin Abi Thalib a.s.

sebagai qur’an nathiq (Qur’an yang berbicara). Al-Qur’an mengatakan,

“Adapun mereka orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka

menjadi kayu bakar bagi neraka Jahanam” (Q.S. Al-Jin: 15). Mereka orang-orang

yang menyimpang, lalim, dan kejam adalah sebagai kayu bakar

Jahanam. Dalam Nahjul Balaghah, berkaitan dengan ilmu gaibnya Allah, Ali

bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Allah mengetahui semua yang gaib

dan bahkan mengetahui siapa yang akan menjadi bahan bakar api neraka”.

(1)

Siapakah yang akan menjadi kayu bakar api neraka pada Hari Kiamat nanti?

Dalam surah Al-Jatsiah, Al-Qur’an menjelaskan hikmah Ilahiyah

ini dengan mengatakan: Sesungguhnya alam tidak sia-sia, Allah tidak

menciptakan alam ini sia-sia, “Dan Allah ciptakan langit dan bumi ini

dengan sungguh-sungguh“ (Q.S. Al-Jatisyah: 22). Langit dan bumi senantiasa

bersama al-Haq dan tidak lepas dari hakikat. Sesuatu yang bersama al-Haq

dan hakikat tidak mungkin tidak berguna atau tanpa tujuan. Alam ini tidak

seperti yang diduga oleh kaum materialis yang menyatakan, “Kehidupan kita

tidak lain hanyalah mati dan hidup dan tidak ada yang menghancurkan kita

kecuali masa” (Q.S. Al-Jatisyah: 24). Allah menjelaskan pernyataan kelompok

materialis: Mereka mengira bahwa manusia hidup dan sebagian mati, tidak

ada kiamat juga tidak ada Tuhan. Yang merobek-robek kita adalah waktu,

sebagian manusia menjadi debu dan sebagian yang lain bangkit kembali;

tidak ada Tuhan dan tidak ada kiamat. Demikian pernyataan kaum materialis.

p:311


1- 45 Nahjul Balaghah karya Shubhi Shaleh, hlm. 186.

Al-Qur’an menyatakan: mereka adalah orang-orang yang tidak

mengenal diri sendiri, tidak mengenal alam, dan tidak pula mengenal pencipta

alam. Al-Qur’an menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan dengan benar.

Sesuatu yang batil dan tanpa tujuan adalah sia-sia. Alam semesta adalah benar

dan pasti berguna. Dalam bagian lain Al-Qur’an mengatakan, “Kami tidak

menciptakan langit dan bumi sia-sia ‘dan apa yang ada di antara keduanya

bukan sia-sia’” (Q.S. Al-Anbiya’: 16). Allah tidak main-main. Dalam

pertemuan sebelumnya telah kami jelaskan perbedaan antara dunia dan alam

semesta. Apa itu dunia dan apa itu langit dan bumi. Apakah dunia itu berarti

langit dan bumi, tumbuh-tumbuhan, tambang, ruang angkasa, lautan dan

gunung? Ataukah dunia merupakan aturan khusus yang diciptakan untuk

manusia sebagai mengatur stabilitas kehidupan? Dalam hal ini, Allah

mengatakan: Karena alam diciptakan oleh sumber hikmat, maka pasti ada

tujuan, alam tidak akan sia-sia. Oleh karena Allah Maha Kaya, maka manfaat

tujuan tersebut kembali kepada perbuatan-Nya, bukan kepada pelaku.

Oleh karena alam berjalan menuju Allah, maka Allah adalah tujuan yang

dituju. Apabila Allah sebagai pencipta (mabda), berarti Allah adalah tujuan

utama dan akhir, “Dialah yang pertama dan yang akhir” (Q.S. Al-Hadid: 3).

Oleh karena alam bergerak menuju Allah, berarti Allah adalah tujuan

bukan pemilik tujuan. Oleh karena alam keluar dari Allah, berarti Allah

adalah yang pertama dan tidak ada pencipta bagi Tuhan. Dia Maha Kaya,

tidak membutuhkan pelaku dan tidak pula membutuhkan tujuan. Alam

semesta keluar dari yang Maha Kaya dan bergerak menuju Yang Maha Kaya,

Ketika Al-Qur’an mengenalkan alam kepada orang-orang berakal, Al-Qur’an

mengatakan, “Dan mereka berpikir tentang penciptan langit dan bumi” (Q.S.

Ali ‘Imran: 191). Mereka menjawab, “Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan

ini sia-sia” (Q.S. Ali ‘Imran: 191). “Sesungguhnya dalam penciptaan langit

dan bumi, pergantian malam dan siang, ada tanda-tanda bagi orang-orang

yang berakal” (Q.S. Ali ‘Imran: 190). Mereka adalah orang-orang

yang berakal. Al-Qur’an mengartikan orang-orang yang berpikir ini sebagai

“orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri dan duduk dan

ketika mereka tidur” (Q.S.Ali ‘Imran: 191). Mereka selalu berzikir kepada

Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, dan tidur. Mereka yang apabila

tidak mampu salat berdiri, mereka melaku kannya dengan duduk; apabila

mereka tidak mampu dengan duduk, mereka melakukakannya dengan

berbaring di atas tempat tidur. “Mereka berpikir tentang penciptaan langit

dan bumi”, berpikir tentang aturan alam dan berkata, “Tuhan kami, tidak

Engkau ciptakan ini sia-sia” (Q.S. Ali Imran: 191). Tuhan kami, penciptaan

p:312

ini bukan tanpa tujuan, sehingga manusia lahir dan hidup beberapa waktu,

lalu mati dan di balik kematian tidak ada apa-apa.

Kematian menurut ajaran Al-Qur’an tidak seperti keringnya pohon.

Manusia ketika mati tidak seperti pohon yang kering kemudian terlepas

semua (cabang dan rantingnya). Kematian adalah seperti burung terbang

dari sangkar materi, berpindah dari dunia menuju alam akhirat. Kematian

ibarat matangnya buah yang dipetik oleh petani, bukan ibarat keringnya

pohon, lalu buahnya menjadi busuk. Materialisme menyangka bahwa

manusia ketika mati ibarat buah yang busuk pada pohon yang kering lalu

berjatuhan ke tanah dan menjadi debu. Padahal, menurut ajaran Al-Qur’an

kematian tidaklah demikian. Kematian ibarat buah yang matang dari sebuah

pohon, penuh dengan air dan terasa manis. Dengan hati-hati, sang petani

memetik buah tersebut hingga jatuh ke tangan bukan ke tanah.

Ketika kelompok kafir Hijaz berkata kepada Rasulullah, bahwa

kematian ibarat lenyap ditelan bumi, mereka berkata, “Apakah kita yang

telah hilang ditelan bumi akan hidup kembali”—“Apakah kita yang telah

hilang ditelan bumi akan kembali hidup baru” (Q.S. As-Sajdah: 10).

Apabila kita mati, dikebumikan, hancur ditelan bumi, bercampur dengan

debu hingga tidak sedikit pun bekas yang tertinggal, apakah kita akan

dibangkitkan kembali? Seperti yang dijelaskan oleh ustaz al-Allamah Thabathabai

ra, beliau mengatakan: Kalian tidak lenyap ditelan bumi akan tetapi

kalian akan dimatikan, “Katakan kalian dimatikan oleh Malaikat Maut yang

telah diwakilkan kepada kamu semua” (Q.S. As-Sajdah: 1).

Mereka adalah ibarat petani yang menunggu masaknya buah.

Kematangan adalah berakhirnya perang kehidupan manusia. Ketika

manusia mencapai kesempurnaan atau berada di jalan yang mengantarnya

pada kesempurnaan, maka dia akan menjadi ibarat apel dan kimtsari, buah

yang penuh air dan manis, atau ibarat buah hanzhal yang penuh dengan air

dan terasa amat pahit. Seperti dua keadaan ini para petani akan memetik

buahnya dengan tangan mereka sendiri.

Al-Qur’an mengatakan: Tidak seorang pun lenyap karena kematian

dan bukan pula tenggelam dalam perut bumi. Akan tetapi kalian dimatikan

oleh malaikat pencabut nyawa, kalian dimatikan bukan dilenyapkan. Kalian

berubah menjadi mati bukan fana. Kita semua akan dimatikan oleh malaikat

pencabut nyawa, “Telah dimatikan oleh utusan Kami” (Q.S. Al-An’am: 61).

Malaikat pencabut nyawa ibarat tukang kebun yang akan memetik buah yang

sudah matang untuk disimpan dan ditaruh di tempatnya, “Tuhan kami tidak

Engkau ciptakan ini semua sia-sia” (Q.S.Ali ‘Imran: 191). Semua ini bukan

p:313

sia-sia tanpa tujuan. Dalam gerakan alam dan bagian-bagiannya, ketika

dalam proses menuju kesempurnaan dapat jadi terhalang sehingga tidak

berhasil meraih tujuan. Dapat jadi gerakan tesebut gagal tidak mencapai

tujuan. Akan tetapi, apakah ini dapat terjadi pada aturan yang bersifat

universal? Apakah seseorang dapat berkata bahwa alam yang memiliki

tujuan namun tidak tercapai? Apakah seseorang dapat berkata bahwa Allah

Yang Maha Bijak dan tidak akan keluar dari-Nya tindakan tanpa tujuan,

namun tindakan tersebut tidak dapat meraih tujuannya? Sekalipun kiamat

merupakan tujuan akhir dari alam semesta ini, namun dapat jadi tidak

tercapai. Dengan demikian, maka ma’ad bukan sesuatu yang pasti.

Pandangan yang demikian itu menurut Al-Qur’an adalah tidak benar

karena alam merupakan satu kesatuan yang bergerak menuju satu arah dan

tidak ada penghalang yang menghalangi gerakannya. Kita tidak berbicara

tentang gerakan yang bersifat individual, akan tetapi satu kesatuan yang

semua bagian-bagian menuju satu tujuan sehingga dengan demikian tidak

pernah terbayang adanya penghalang dari luar yang menghalangi Sang

Pencipta (Tuhan semesta alam). Berdasarkan burhan tauhid, maka tidak ada

suatu eksistensi apa pun di dalam semesta ini yang berpengaruh selain Tuhan

semesta alam yang menjadi Raja pada Hari Kiamat (Q.S. Al-Fatihah: 1—3).

Raja pada Hari pembalasan adalah Dia (Tuhan semesta alam). Semua alam

berada di bawah kekuasaan Allah karena Allah Maha Kasih Sayang, maka Dia

akan mengantar setiap yang berpotensi untuk sempurna sesuai keadaannya.

Berdasarkan burhan ar-rahman (yang Insya Allah akan

dibahas), Allah adalah satu-satunya raja pada Hari Kiamat. Maka, tidak

seorang pun memiliki kekuasaan pada hari itu selain Dia. Artinya, tidak

seorangpun dapat menghalangi terjadinya hari itu. Alam selalu bergerak

menuju ke tujuannya dan Allah akan mengantarkannya pada tujuan tersebut.

Tidak ada penghalang dari dalam karena alam merupakan satu kesatuan,

tidak ada penghalang dari luar karena tidak ada yang menguasai kiamat

selain Allah. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka kiamat bukan saja

mungkin terjadi akan tetapi pasti terjadi. Bukan hanya dapat terjadi akan

tetapi harus terjadi. Sesuai ungkapan Al-Qur’an, kiamat adalah hari “tidak

ada keraguan adanya” tidak ada jalan untuk meragukan keberadaannya,

karena kiamat pasti akan terjadi seratus persen.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (atasnya dan keluarganya beriburibu

tahiat dan salam) yang merupakan Al-Qur’an yang bergerak mengatakan:

Jangan jadikan keyakinanmu menjadi keraguan karena keberadaan kiamat

tidak dapat diragukan. Yakinlah dengan adanya kiamat dan jangan jadikan

p:314

keyakinan kalian ini keraguan. Jangan jadikan pengetahuan kalian sebagai

kebodohan. “Jangan kamu jadikan ilmu kamu sebagai kebodohan dan

keyakinan kamu sebagai keraguan. Apabila kamu tahu maka amalkanlah”.

(1)

Ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi hijab baginya. Ilmu yang tidak ada

nilai amalnya akan menjadi tabir tebal. Simak Syair berikut:

Tidak ada tabir dan dinding menutupi keindahan sang kekasih

Akan tetapi tebalnya debu jalanan yang menghalangi penglihatan

Ilmu tanpa amal ibarat debu dan hijab tebal di sekitar jalan

Amirul Mukminin mengatakan: “Jika kamu punya keyakinan jangan

kamu jadikan keyakinanmu itu keraguan”. Al-Qur’an al-Karim telah

membuktikan peran keyakinan ma’ad dan Hari Kiamat ini dalam revolusi

Islam berkaitan dengan masalah jihad. Dalam beberapa kondisi yang sangat

gawat, Al-Qur’an mengatakan: “Mengingat kiamat mendorong manusia

menuju medan perang”. Yang membuat manusia tidak takut mati adalah

keyakinannya akan adanya hari kebangkitan.Yang mendorong manusia siap

membela kebenaran adalah kerinduan mereka kepada alam malâkut. Hal itu

disebabkan Allah sangat mencintai orang-orang yang berperang di jalan Allah

dengan berbaris bagaikan bangunan yang kuat. Sebagian orang menolak

ber perang di musim kemarau karena takut panasnya terik matahari. Mereka

berkata kepada yang lainnya: “Janganlah kalian pergi ke medan perang di

musim panas yang menyengat karena hal itu sangat menyusahkan”—“Dan

mereka berkata; janganlah kamu perg i(ke medan perang) di musim panas”

(Q.S. at-Taubah: 81). Musuh-musuh revolusi, para pembangkang yang

menolak jihad, para penipu yang tidak mau menjaga Islam, mengatakan:

“Janganlah kalian pergi ke medan perang di musim panas yang membakar”.

Kemudian Allah berkata kepada Nabi-Nya, “Katakan (wahai Muhammad)

neraka jahanam jauh lebih panas” (Q.S. at-Taubah: 81). Apabila kalian takut

panasnya terik matahari yang hanya sementara, maka ketahuilah bahwa

jahanam jauh lebih panas.

Masalah ini telah dijelaskan Al-Qur’an dalam surah at-Taubah

secara rinci. Kesimpulannya, yang dapat mendorong manusia menuju

medan perang adalah keyakinannya tentang hari kebangkitan dan

kiamat serta hisab-hisab yang akan terjadi pada hari itu. Allah berkata:

Apabila mereka berkata, “Janganlah kamu pergi berperang di musim

panas”. Katakan kepada mereka: “Perkataan ini disebabkan oleh karena

kalian merupakan Hari Kiamat”. Orang yang merupakan panasnya api

Jahanam, pikirannya akan disibukkan dengan panasnya kemarau dunia.

p:315


1- 46 Ibid., Faidl, hlm. 122.

Orang yang melupakan Hari Kiamat selalu berpikir akan kerusakan

tubuhnya. Akan tetapi, bagi yang selalu ingat pada hari kebangkitan,

perkataan semacam ini tidak mungkin terucap—“Katakan, neraka

Jahanam jauh lebih panas jika mereka memahaminya” (Q.S. at-Taubah: 81).

Kesimpulannya, burhanal-hikmah mengatakan bahwa alam adalah

perbuatan dari seorang yang bijak, dan perbuatan orang yang bijak tidak

mungkin tanpa tujuan. Dalam burhanal-Ghina dikatakan Allah tidak

membutuhkan sama sekali karena Allah adalah tujuan. Artinya, karena

Allah Maha Sempurna, maka tidak ada tujuan bagi diri-Nya, dan karena

kesempurnaan yang tanpa batas adalah sebagai tujuan, maka tidak ada tujuan

selain diri-Nya. Kesimpulannya, tidak ada tujuan bagi sang pelaku. Padahal,

dari sisi lain, tidak ada suatu perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan, dan

dari perbuatan tersebut, tujuan harus tercapai, sebab tidak pernah terbayang

adanya penghalang yang menghalangi gerakannya, baik dari dalam maupun

dari luar. Berarti kiamat harus ada. Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata

tentang kiamat, “Tidak ada keraguan padanya”.

Berkaitan dengan peran ma’ad pada kehidupan dan pendidikan nafsu,

Al-Qur’an berkata: Karena mereka melupakan akhirat, maka mereka tidak

bersedia berkorban di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Sekiranya

mereka tidak melupakan akhirat, tentu mereka tidak akan pernah berucap

demikian itu. Setiap pengorbanan, harta maupun jiwa, adalah karena

ingatannya akan Hari Kiamat. Oleh karena itu, Al-Qur’an memuji mereka

yang berkorban. Ali Bin Abi Thalib berkata, “Telah pergi orang-orang yang

selalu ingat, dan tetaplah orang-orang yang lupa atau melupakan”.(1)

Telah pergi mereka orang-orang yang selalu ingat Allah dan Hari Kiamat, mereka

adalah para sahabat Rasulullah yang khusus. Sedangkan yang tetap tinggal

hanya orang-orang yang lupa atau melupakan kiamat atau mereka yang

tidak siap mengingat kiamat. Artinya kematian adalah awal pintu menuju

kiamat. Kematian adalah jembatan masuk alam akhirat.

Dipandang dari sisi filsafat, Al-Qur’an telah memberi nilai tersendiri

terhadap kiamat ini. Dari sisi akhlak, Al-Qur’an juga telah menjelaskan

peran aktif keyakinan Hari Kiamat ini. Ketika mengenalkan keagungan

masyarakat, Al-Qur’an mengatakan: Mereka telah mencapai kedudukan

tertentu oleh sebab mereka selalu mengingat kiamat. Kiamat adalah medan

perhitungan yang dapat menjaga manusia dari segala bentuk maksiat dan

dosa. Melupakan kiamat adalah penyebab terjadinya segala bentuk maksiat

dan dosa. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatakan: Mereka akan disiksa

p:316


1- 47 Ibid., hlm. 573.

dengan siksaan yang pedih “Karena mereka melupakan hari perhitungan”(Q.S.

Shad: 26). Nikmat yang paling agung adalah mengingat kiamat. Dalam

pertemuan sebelumnya telah disebut bahwa mengingat Allah tidak lepas

dari mengingat kiamat. Apabila seseorang mengingat Allah dengan baik

pasti akan mengingat ma‘ad.

p:317

p:318

Pelajaran XXII

Para Nabi adalah Saksi Perbuatan Setiap Umat

p:319

p:320

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Al-Qur’an al-karim menjadikan Rasulullah Saw. sebagai suri teladan,

pemimpin, dan panutan pendidikan, serta pemberi petunjuk bagi manusia.

Setiap yang diucapkan oleh wahyu langit ada pada diri Rasulullah Saw..

Setiap perbuatan Rasulullah adalah manifestasi wahyu; beliau adalah jelmaan

wahyu. Manusia wajib mengikuti manusia sempurna agar mereka mampu

mencapai kesempurnaan yang terakhir. Batasan untuk mengikuti manusia

sempurna akan menjadi jelas ketika batas tersebut dipaparkan.

Allah Ta’ala telah mengibaratkan Rasulullah sebagai garis-garis

kesempurnaan secara universal. Setiap garis kesempurnaan ini dapat

dijadikan sebagai penghubung manusia dengan pribadi Rasulullah. Setiap

orang dapat mencapai kepribadian Rasulullah Saw. dari salah satu sisinya.

Dan setiap manusia yang mampu mencapai pada kepribadian Rasulullah

Saw. dari semua sisi, maka dia menjadi manusia paling sempurna di antara

yang lain. Di antara mereka ada yang menjadi persis seperti Rasulullah.

Dialah Amirul Mukminin Ali as. Sedang para imam lainnya kedudukan nya

ibarat ruh suci Rasulullah Saw. .

Dalam ayat mubahalah, kedudukan Amirul Mukminin disetarakan

dengan diri Rasulullah Saw. Tsiqatul Islam al-Kulaini ra dalam kitabnya

yang berharga, al-Kafi, menukil dari Imam Maksum: (Rasululalh Saw.

tidak pernah berbicara kepada seorang hamba dengan hakikat akalnya sama

sekali). Artinya, Khatamul Anbiya tidak pernah berbicara kepada seorang

pun dengan kedalaman pemikirannya, karena beliau diutus agar berbicara

sesuai kemampuan lawan bicaranya. Sebab apabila beliau berbicara kepada

orang lain berdasarkan kadar kemampuan akalnya, lawan bicaranya tidak

akan dapat memahaminya. Oleh karena itu, beliau tidak pernah berbicara

melainkan sesuai kadar kemampuan lawan bicaranya.

Pensyarah Ushul al-Kafi, seperti Sadrul Mutaallihin dan pensyarah

lainnya yang memperdalam ilmu-ilmu ini mengomentari ahlul bait a.s.

dengan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah mengajak bicara Ali

dan keluarganya dengan kedalaman akalnya, dan Amirul Muminin dapat

memahaminya juga”. Hal itu karena Ali memiliki kedudukan seperti diri

Rasulullah Saw. . Sebab beliau telah mengenali garis-garis kesempurnaan

p:321

dan mengikuti semua caranya, sehingga beliau mencapai peringkat di mana

terdapat kedudukan gurunya. Salah satu garis kesempurnaan Rasulullah

yang menonjol adalah (maqâm syahadat) saksi. Beliau adalah saksi bagi

umat, saksi bagi semua umat dan para nabi, bukan saja saksi bagi manusia

yang hidup bersamanya, atau semua umatnya hingga Hari Kiamat, bukan

saja sebagai saksi bagi umat terdahulu, akan tetapi beliau juga saksi bagi

semua nabi dan juga para wali Allah. Artinya, beliau adalah saksi bagi setiap

manusia, baik umatnya maupun para nabi.

Dengan izin Allah, semua berada di hadapan Rasulullah. Beliau

memiliki kemampuan untuk mengetahui semua perbuatan orang-orang

terdahulu maupun sekarang. Beliau juga memiliki kemampuan untuk

mengetahui semua perbuatan para nabi. Beliau adalah saksi bagi perbuatan

semua umat dan semua para nabi. Saksi bagi setiap perjalanan sejarah, yang

berlalu maupun yang akan datang. Saksi bagi setiap perbuatan manusia,

yang sudah dilakukan atau yang sedang dan yang akan dilakukan. Saksi bagi

semua akhlak (etika) yang dilakukan atau maksiat yang sedang dilakukan.

Saksi bagi semua keyakinan (akidah) yang ada pada umat terdahulu atau yang

akan diyakini oleh generasi akan datang. Artinya, semua yang terjadi pada

umat terdahulu dan akan datang berada di bawah kesaksian Rasulullah Saw.

, dan beliau pada Hari Kiamat berada di tengah-tengah mereka, “Katakanlah

bahwa orang-orang terdahulu dan yang akan datang, mereka akan dikumpulkan

pada Hari yang telah ditentukan” (Q.S. Al-Waqi’ah: 49—50). Belaiu sebagai

saksi bagi setiap manusia dan setiap kejadian. Rasulullah adalah satu-satunya

saksi dalam pengadilan Allah dan karena beliau mengetahui semua medan.

Al-Qur’an al-Karim menilai bahwa kedudukan tinggi ini merupakan

salah satu garis kesempurnaan Rasulullah yang paling menonjol. Ketika

manusia sempurna mencapai peringkat ini, tidak ada hijab antara dia dan

Tuhannya. Tidak ada hijab kegelapan (dulmani) atau hijab cahaya (nurani).

Tidak ada hijab baginya karena beliau telah mencapai peringkat syuhudi

(penyaksian). Semua masalah berada di bawah penglihatannya. Tidak ada

dosa baginya, bahkan dosa penglihatan wujud sekalipun, “Keberadaanmu

adalah sebuah dosa yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa lain”. Ketika

itu dia tidak melihat dirinya tertutupi oleh hijab ananiyah (tabir egoisme).

Perjalanan ini adalah sisi lain dari derajat tinggi yang ada di “Sidratul

Muntaha”. Hal itu dapat dicapai oleh orang yang bergerak mengikuti

jejak saksi yang mutlak ini dan melangkah di jalan ini sesuai kemampuan

penglihatannya sehingga dapat menikmati ilmu (terbukanya tabir).

p:322

Di beberapa tempat, Al-Qur’an telah memaparkan masalah ini, yaitu

bahwa Rasulullah adalah saksi bagi perbuatan manusia dan manusia berada

di hadapan Nabi. Pertama, Al-Qur’an memaparkan tentang pertanyaan,

dan bahwasanya kiamat adalah hari pertanyaan umum dan tidak seorang

pun bebas dari pertanyaan hari itu. Pada Hari Kiamat semua ditanya karena

kiamat sebagai tempat pertanyaan, “Maka Kami akan tanyakan kepada

mereka yang telah dikirim utusan kepada mereka dan kami akan bertanya

kepada para utusan”( Q.S. Al-A’raf: 6). Pada Hari Kiamat semua ditanya,

para nabi pun ditanya tentang pelaksanaan tugas risalahnya. Umat-umat

terdahulu ditanya. Apakah mereka mengikuti langkah-langkah para nabi

atau tidak. Sebab “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan

ditanya tentang kepemimpinannya”.(1)

Pada hari itu sebagian orang ada yang

menjawab dan ada yang meminta uzur serta sebagian lainnya tidak diberi

izin untuk meminta uzur—“Dan tidak diizinkan kepada mereka minta uzur

sehingga mereka dapat minta uzur”(Q.S. Al-Mursalat: 36). Rasulullah adalah

saksi bagi semua pada Hari kiamat, hari pertanyaan, dan pembuktian, hari

munculnya keputusan yang benar bagi orang yang tahu tugasnya, bagi yang

melaksanakan tugasnya atau yang tidak.

Dalam surah an-Nisa’, Allah mengenalkan Nabi-Nya sebagai syahid

(saksi) ketika berfirman, “Maka, bagaimanakah apabila Kami mendatangkan

seseorang saksi dari tiap tiap umat dan Kami mendatangkan kamu(Muhammad)

sebagai saksi atas mereka itu” (Q.S. an-Nisa’: 41). Bagaimana pada Hari itu

sebagai saksinya para saksi. Kamu adalah saksi tanpa perantara dan sekaligus

saksi dengan perantara. Kamu mengetahui apa yang dilakukan manusia dan

mengetahui pula apa yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu dan juga

mengetahui apa yang dilakukan oleh para nabi. “Maka, bagaimana apabila

Kami mendatangkan seseorang saksi dari setiap umat”, lalu mereka memberi

kesaksiannya terhadap berbagai kepu tusan umat, “Dan Kami mendatangkan

kamu sebagai saksi atas mereka”, dan Kami datangkan kamu sebagai saksi bagi

semua, saksi bagi para nabi, dan juga saksi bagi semua umat. Kamu akan

lakukan kesaksian itu dengan tetap menghormati para nabi atas tugas-tugas

penyampaian risalah dan amal-amal mereka. Kamu juga akan memberikan

kesaksianmu atas sikap semua umat terhadap risalah nabi-nabi mereka.

Dalam surah Al-Baqarah, Allah juga mengenalkan Rasulullah sebagai

saksi bagi semua, “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu, umat

yang adil agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul

menjadi saksi perbuatan kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Firman-Nya, “Kami

p:323


1- 48 Nahjul Balaghah, Fashahah 457.

jadikan kamu umat yang adil”. Dalam ayat ini terdapat dua makna; pertama,

kesaksian kamu semua (umat Islam) atas manusia; kedua, kesaksian Rasulullah

atas kamu (umat Islam) atas manusia; karena orang mutawasith (orang yang

berada pada posisi tengah-tengah) dalam kesempurnaan, dan orang yang

berada dalam batas tengah dari tahap kesempurnaan adalah orang yang telah

meraih kelebihan yang tinggi, sehingga dia dapat memberi kesempurnaan

pada orang yang di bawahnya. Dan umat dapat dijadikan sebagai saksi atas

yang lain ketika umat tersebut memiliki kelebihan eksistensinya. Apabila

keberadaannya tidak lebih tinggi daripada yang lain, pada Hari Kiamat

nanti umat tersebut tidak dapat menjadi saksi atas perbuatan orang lain.

Apabila keberadaannya lebih mulia daripada yang lain, umat tersebut dapat

menjadi saksi atas akidah, akhlak, dan perbuatan umat lainnya. Oleh karena

dapat menyaksikan perbuatan, akhlak, dan akidah mereka di dunia, maka

pada Hari Kiamat pun dapat menjadi saksi atas mereka. Yang dimaksud

umat Islam sebagai “ummatan wasathan” bukan sebagai penengah antara

ekstrem kanan dan ekstrem kiri, melainkan sebagai penengah antara rendah

dan tinggi, antara mulia dan hina.

Kesimpulannya, umat yang terhormat adalah umat yang memiliki

kelebihan atas perbuatan umat yang lain. Yang dimaksud saksi adalah orang

yang mengetahui akhlak dan akidah serta perbuatan orang lain di dunia.

Kesaksian orang yang demikian ini, pada Hari Kiamat akan terjadi karena

dia melihat. Dan ini merupakan bagian dari peringkat kesempur naan ilmu.

Sedangkan kesaksian atas perbuatan adalah kesaksian dengan bentuk ilmu

khusus, yaitu ilmu huduri (ilmu huduri adalah ilmu yang didapat bukan

dari rangkaian gambaran dan kalimat melainkan kesaksian atau kehadiran

sebab makna). Berbeda dengan ilmu husuli yang jauh berbeda dengan

kesaksian-kesaksian di pengadilan dunia yang merupakan bagian dari ilmu

hissi (empiris) dan ilmu “husuli” (ilmu husuli adalah ilmu yang didapat dari

pemahaman kiamat atau penyaksian indriawi). Sesuatu yang dilihat manusia

dengan indranya atau bersifat indriawi, kemampuan itu tidak lebih dari

batas jendela ilmu husuli.

Apabila hasil pengetahuan tersebut berdasarkan kesaksian atau

musyahadah (dalam irfan, istilah musyhadah dan huduri adalah dua kalimat

yang maknanya sama), maka itu adalah hasil proses pemikiran dan analisis

rasional, sehingga hasilnya tidak berbentuk indriawi sekalipun asal muasalnya

bersifat indriawi. Sesuatu yang dipahami orang dengan cara indriawi adalah

tidak lebih hanya beberapa perbendaharaan ilmu yang dalam otak. Sedangkan

tashdiq bukan hasil indriawi akan tetap hasil dari keputusan akal. Berarti

p:324

keputusan tersebut sebagai ilmu hushuli , seperti halnya perbendaharan ilmu

dan gambaran-gambaran yang ada pada otak yang dihasilkan dari indra juga

disebut ilmu hushuli. Batas ilmu hushuli adalah tindakan hasil (tashawur)

gambaran yang ada dalam otak dan berisfat lahir. Tidak seorangpun dengan

menggunakan ilmu hushuli-nya dapat mengetahui apa yang ada dalam

diri seseorang. Mata, telinga, dan pikiran yang bersifat lahiriah tidak dapat

melihat rahasia-rahasia dalam. Sedangkan mengetahui batin orang lain

dengan cara perhitungan akal adalah sesuatu yang sulit atau bahkan mustahil.

Kesaksian mereka bukan hanya pada perbuatan akan tetapi juga akidah dan

akhlak. Ruhnya amal adalah akhlak dan ruhnya akhlak adalah akidah yang

merupakan sumber munculnya akhlak itu sendiri. Akhlak adalah suatu

hamparan luas yang membentuk perbuatan-perbuatan. Sedangkan akidah

adalah ilmu yang menyatu dengan ruh. Akidah bukan sesuatu yang bersifat

hushuli atau sebuah makna melainkan wujudun kharijun khash (eksistensi

luar yang bersifat (gambar) atau mafhum (makna). Akhlak seseorang yang

merupakan rangkaian hakikat luar tidak dapat dipahami dengan ilmu

hushuli. Sungguh seseorang tidak akan dapat mengetahui akidah orang lain

yang merupakan eksistensi khusus dan berkaitan dengan ruh mereka—

dengan menggunakan ilmu husuli. Lalu kapan manusia dapat mengetahui

akhlak dan akidah orang lain serta menyaksikan dan memberi kesaksiannya

pada Hari Kiamat nanti?

Kapan seseorang menemukan jalan menerobos batinnya orang lain

dan mengetahui akidah-akidah mereka? Kapan mampu mengetahui ruh-ruh

orang lain dan menghadirkan di hadapan dirinya? Kesimpulannya, kapan

manusia meraih ilmu gaib? Semua hal tersebut adalah masalah ilmu gaib dan

tidak seorangpun mampu menerobosnya melalui pemikiran dan ilmu husuli.

Hal itu karena masalah-masalah tersebut merupakan asal (matan) keberadaan

luar, dan dia gaib dari pandangan lahiriah manusia. Kapan manusia mampu

mengintip jiwa orang lain dan mengetahui akhlak dan kepercayaan batin

mereka? Sesungguhnya hal itu dapat dicapai ketika jiwa seseorang dapat

menikmati keleluasaan keberadaan dan berada dalam jalur dari keberadaan

orang lain. Ruh dan hatinya berada dalam tingkatan lebih tinggi dari ruh

dan hati mereka, hingga mampu men jadikan ruh dan hati mereka tersebut

di bawah kekuasaan keberadaannya dan hadir di hadapannya. Kala itu dia

menjadi saksi atas mereka. Kesak sian tidak sesuai dengan kegaiban. Ilmu

tidak sesuai dengan kegaiban karena ilmu bersifat lahir (nyata) dan tidak ada

hubungannya dengan kegaiban sama sekali. Yang dimaksud dengan ilmu

gaib adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain dan bukan untuk

p:325

orang yang tahu, sekalipun gaib bagi orang lain namun tidak gaib bagi orang

yang tahu. Berdasarkan pemikiran ini, maka manusia akan menjadi saksi

ketika keberadaannya berada dalam posisi yang lebih tinggi dari keberadaan

yang lain. Ruhnya lebih tinggi dari ruh yang lain, mampu menghadirkan ruh

mereka sehingga dapat mengetahui batin dan hati serta hati kecil mereka.

Inilah yang dimaksud dengan syahdah (kesaksian). Dan apa yang difirmankan

Allah untuk Rasul-Nya sebagai kesaksian secara umum, atau firman-Nya,

“Dan begitu juga Kami jadikan Kamu umat yang adil agar menjadi saksi-saksi

atas manusia” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Artinya, dari sisi keberadaan, kamu

mencapai peringkat keberadaan ilmu, sehingga kamu mampu mengetahui

ruh, akidah, akhlak, dan perbuatan-perbuatan orang lain. Ketika itu Rasul

menjadi saksi atas kamu semua—“Dan Rasul sebagai saksi atas kamu semua”

(Q.S. Al-Baqarah: 143). Rasulullah mengetahui dan menyaksikan kalian,

dan kalian saksi atas orang lain. Apabila Rasulullah sebagai saksi atas umat,

dan umat sebagai saksi atas orang lain, maka berarti Rasulullah adalah saksi

atas orang lain. Ini adalah argumentasi bentuk analogi (qiyas al-musawat)

yang mukadimah luarnya merupakan premis yang benar, sebab saksinya

saksi adalah saksi (syahidus syahidi syahidun) tetapi dalam ilmu husuli

(Syahidus Syahidi Laisa Syahidan) saksinya saksi bukan saksi. Sebagai contoh,

seseorang melihat kejadian dan diingat dalam otaknya lalu dalam pengadilan

ia memberi kesaksian. Orang lain menyaksikan kesaksian tersebut namun

dia tidak dapat menjadi saksi atas kejadian tersebut. Dia menyaksikan atas

kesaksian saksi akan tetapi dia bukan saksi atas kejadiannya.

Adapun dalam ilmu hudhuri, seorang saksi atas orang yang menyaksikan

kejadian dapat menjadi saksi atas kejadian tersebut. Artinya, apabila seseorang

dijadikan sebagai penengah dan hadir dalam kejadian, dan mengetahui

keberadaan hal tersebut, maka orang yang lebih tinggi keberadaannya dapat

menjadi saksi atas orang tersebut, juga saksi akar kejadiannya. Sebab dia

mengetahui saksi dan yang disaksikan oleh saksi. Artinya, dia saksi atas orang

tersebut dan juga saksi atas kejadiannya juga. Oleh karena itu, Rasulullah

sebagai saksi atas umat dan juga saksi atas para nabi. Beliau mengetahui apa

yang sudah dilakukan manusia dan apa yang akan mereka lakukan. Beliau

juga mengetahui apa yang sudah dilakukan para nabi dan apa yang mereka

ucapkan. Inilah makna umatan wasathan sesuai dengan ayat-ayat lain. Ada

penjelasan lain tentang umatan wasthan dengan makna yang sangat dalam

dan makna itu juga benar.

Seperti yang dikatakan Allamah Thaba-thabai ra: Pengambilan makna

ayat tersebut seperti itu, sungguh sangat sulit dan tidak sesuai dengan ayat Para

p:326

ayat lain yang membahas kesaksian “Dan Kami jadikan kamu umat yang

adil agar kamu menjadi saksi atas manusia” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Beliau

berkomentar: “Yang dimaksud bahwa kamu sebagai saksi atas manusia

adalah bahwa agama ini memiliki kekuatan untuk mendidik para saksi.

Agama mampu mendidik setiap individu untuk dapat mengetahui orang lain

dan menghadirkan apa yang ada dalam hati kecil mereka; mendidik setiap

individu untuk menjadi saksi-saksi di dunia dan juga di akhirat. Tidak berarti

setiap individu dari umat ini mampu mencapai maqâm tersebut. Sama sekali

tidak. Pada hakikatnya hal tersebut merupakan sifat kesempurnaan bagi

agama. Tidak setiap yang beragama mampu mencapai maqâm yang tinggi ini.

Sebab, kadang-kadang kita temukan seseorang tidak memiliki nilai agama

selamanya saja, ada kalanya kita temukan seorang Muslim mengkritik agama

dan mazhabnya, baik secara jasmani atau ruhani. Dan apa yang difirmankan,

“Dan begitu juga Kami jadikan kamu umat yang adil”. Artinya, agama kamu

adalah agama yang mendidik manusia menjadi para saksi. Dan ketika Allah

berbicara tentang Bani Israil, “Dan Kami muliakan mereka atas seluruh alam”

(Q.S. Al-Jatsiyah: 16). Artinya, bukan berarti setiap Bani Israel memiliki

kelebihan atas seluruh alam. Akan tetapi, agama yang diberikan kepada Bani

Israil melalui Nabi Musa as adalah agama yang dapat mendidik orang-orang

menjadi mulia, sehingga memiliki kelebihan, ketinggian, kesempurnaan

derajat, dan lebih utama dari yang lain—“Dan Kami muliakan mereka atas

seluruh alam”. Artinya, agama ini dapat membina kemuliaan dan membuat

manusia menjadi mulia. Berdasarkan agama ini, dengan mengikuti orang-orang

yang jujur, mereka dapat menikmati kemuliaan maknawi.

Dalam ayat ini, Thabathaba’i juga berkomentar: Pengikut-pengikut

Islam adalah saksi atas perbuatan manusia. Para imam adalah saksi atas

perbuatan manusia. Apa yang dilakukan oleh orang lain diketahui oleh

para imam maksum. Apa yang dilakukan orang sekarang ini, diketahui oleh

para wali Allah yang agung, yaitu Imam Zaman (Al-Mahdi)—jiwaku dan

jiwa seluruh alam semesta dikorbankan untuknya. Beliau adalah contoh

manusia sempurna. Beliau adalah simbol penciptaan. Beliau menyaksikan

ruh-ruh manusia. Beliau adalah saksi atas kalbu setiap insan. Beliau adalah

jelmaan kesempurnaan dari “Agar kamu menjadi saksi atas manusia” (Q.S.

Al-Baqarah: 143). Begitu juga Rasulullah saksi bagi mereka—“Dan Rasul

saksi atas kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Ketika itu manusia menjadi saksi

atas yang lain di bawah pengawasan Nabi. Manusia mengetahui apa yang

dilakukan orang lain, dan juga sadar bahwa Rasulullah menyaksikan dirinya.

Manusia tersebut menjadi pengawas dan semua perbuatan manusia di bawah

p:327

pengawasan Rasulullah. Melihat apa yang dilakukan orang lain dan berada

di bawah kekuasan dan di hadapan nabi.

Agama ini mendidik manusia menuju derajat yang lebih tinggi. Apabila

manusia hendak mencapai tujuan tersebut, apakah dia mengizinkan dirinya

melakukan perbuatan yang bertentangan dan berbuat dosa? Dalam beberapa

riwayat yang ada pada kita, dijelaskan bahwa ketika seseorang melakukan

perbuatan dosa, dia tidak lagi menjadi Mukmin sama sekali. Dan orang yang

disibukkan oleh perbuatan dosa, pada saat itu dia bukan seorang mukmin.

Oleh karena itu, iman senantiasa mengiringi kesaksian dan kehadiran.

Apakah mungkin seseorang berada di hadapan Rasulullah dapat melakukan

perbuatan dosa sedangkan dia sadar bahwa dirinya adalah seorang mukmin?

Mungkinkah seseorang ketika mencapai peringkat di mana dia dapat

menyaksikan perbuatan orang lain lalu mengulurkan tangannya pada kotoran

dan merendam kakinya dalam kehinaan? “Dan Rasul sebagai saksi atas kamu”.

Al-Qur’an al-Karim mengenalkan Isa a.s. sebagai saksi umat, “Aku tidak

berkata kepada mereka kecuali yang Kamu perintahkan kepadaku” (Q.S. Al-

Maidah: 117). Aku tidak berkata sesuatu kepada manusia kecuali yang telah

Kamu perintahkan kepadaku. Telah kupenuhi penyampaian risalah, dan aku

tidak berkata selain yang diwahyukan kepadaku. Aku tidak berkata sesuatu di

luar wahyu, “Aku tidak berkata kepada mereka kecuali yang Kamu perintahkan

kepadaku hendaknya mereka menyembah Allah Tuhanku” (Q.S. Al-Maidah:

117). Aku katakan kepada mereka: “Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan

kalian semua”. Setiap yang diperintahkan kepadaku adalah risalah tauhid.

Setiap yang aku sampaikan adalah dakwah tauhid—“Hendaknya mereka

menyembah Allah Tuhanku dan Tuhan kamu dan aku sebagai saksi selama

aku berada bersama mereka” (Q.S. Al-Maidah: 117). Selama aku berada di

tengah umat, akulah sebagai saksi atas perbuatan mereka—“Ketika Kamu

matikan aku” (Q.S. Al-Maidah: 117). Ketika kamu ambil aku dan kamu

matikan, “Kamulah sebagai pengawas atas mereka” (Q.S. Al-Maidah: 117).

Kamulah sebagai pengawas mereka, begitu juga sebelumnya, karena Allah

adalah pengawas yang abadi, “Sesungguhnya Tuhanmu adalah pengawas”

(Q.S. Al-Fajr: 14). Dia selamanya adalah pegawas dan pengamat karena Dia

“Dan Kamu saksi atas segala sesuatu” (Q.S. Al-Maidah: 117). Aku adalah

saksi mereka selama kamu berada di antara mereka. Aku mengetahui iman

dan kekafiran mereka. Aku mengetahui batin mereka dan saksi atas akidah,

akhlak, dan amal mereka, sedangkan sekarang hanya Kamulah satu-satunya

pengawas mereka karena Kamu “saksi atas segala sesuatu”.

Isa a.s. adalah saksi; saksi atas perbuatan manusia dan saksi atas akhlak

p:328

dan akidah umatnya. Sedangkan Rasulullah juga sebagai saksinya, karena

sesuai dengan ayat ini “Maka bagaimana apabila Kami datangkan dari masing-masing

umat seorang saksi dan Kami datangkan kamu saksi atas mereka” (Q.S.

an-Nisa’: 41). Kamu adalah saksi atas mereka, bukan saja saksi atas umatmu

dan umat-umat lainnya, akan tetapi kamu juga saksi para nabi. Kelak pada

Hari Kiamat, pada Hari pengadilan Ilahi mereka datang dengan saksi-saksi.

Al-Qur’an menyebut mereka sebagai para saksi—“Dan pada Hari Kami

mengutus dari masing-masing umat seorang saksi” (Q.S. an-Nahl: 84). Pada Hari

Kiamat mereka harus melakukan kesaksian. Seorang saksi dalam kesaksiannya

harus melalui dua peringkat: pertama, saksi ketika kejadian terjadi; kedua,

ketika pelaksanaan kesaksian. Seorang saksi memi liki dua kedudukan:

pertama, menahan (tahammul); kedua, melaksana kan(kesaksiannya).

Dalam berbagai kesaksian yang bersifat husuli, seorang saksi ketika berada

dalam mahkamah biasa atau syar’i akan memberikan kesaksiannya dengan

pengetahan husuli-nya, dengan syarat ketika kejadian terjadi dia hadir, dia

melihat kejadian tersebut dengan indranya. Apa yang dikatakan Rasulullah,

“Ketahuilah, seperti ini maka berikan kesaksianmu atau tinggalkan”,(1)

Artinya, apabila kamu menyaksikan kejadian di saat terjadi, seperti halnya

kamu melihat matahari maka jadilah kamu sebagai saksi di mahkamah.

Apabila seseorang tidak hadir dalam kejadian dan tidak menanggung

apa-apa, maka dia tidak punya hak untuk melaksanakan kesaksiannya.

Ketika dia hadir ke mahkamah, maka dia akan memberikan kesaksian

sesuai apa yang disaksikan dan yang diketahui, menjelaskannya di hadapan

sang hakim. Dengan cara ini berarti dia telah melakukan kesaksian, dan

kehadirannya adalah tanggungan untuk memberi kesaksian. Apakah di

mahkamah Hari Kiamat persoalannya seperti ini, yang hanya dilakukan

berdasarkan masalah ilmu husuli dan kesaksian indriawi, ataukah kesaksian

kelak dilakukan berdasarkan kesaksian mati, sehingga tangan, kaki, dan

anggota badan manusia dapat memberi kesaksian kepada anggota yang lain.

Tempat kejadian adalah saksi dan berhak memberi kesaksian, apa saja yang

ada pada kejadian dapat memberi kesaksiannya. Apakah mahkamah Hari

Kiamat seperti ini sehingga Allah meminta kesaksian, kemudian sebagian

lain memberikan kesaksiannya dengan kesaksian tashawur dan tashdiq dan

penjelasannya? Ataukah kesaksian Hari Kiamat adalah kesaksian huduri.

Dan pada hari itu Allah menghadirkan para nabi dan para saksi lain, “Dan

terang benderanglah bumi dengan cahaya Tuhannya, dan diberikan buku,

didatangkanlah para nabi dan saki-saksi dan diberi keputusan di antara mereka

dengan adil, sedangkan mereka tidak dirugikan”(Q.S. Az-Zumar. 69).

p:329


1- 49 Kitab asy-Syara’i, Bab al-Qadla.

Hari itu adalah hari di mana bumi gelap gulita, tidak ada suatu

bintangpun yang memancarkan cahaya. Bintang dan bermacam planet

telah digulung, bumi dan langit telah diubah. Bumi hanya bercahaya

dengan cahaya Tuhannya, buku catatan amal orang-orang terdahulu dan

sekarang diberikan. Para nabi dan para saksi dihadirkan untuk menyaksikan

keputusan yang benar. Kesaksian bagaimana yang dipaparkan pada Hari

itu? hari itu adalah hari ”Lisan-lisan mereka memberi kesaksian” (Q.S. an-

Nur: 24). Lisan-lisan memberi kesaksian padahal semua mulut pada hari

itu tertutup—“Hari ini kami menutup lisan-lisan mereka, dan tangan-tangan

mereka berbicara kepada Kami dan kaki-kaki mereka memberikan kesaksian”

(Q.S.Yasin: 65).

Pada tempat yang lain dikatakan: lisan bersaksi karena lisan bukanlah

mulut. Hari ini di mana lisan-lisan memberi kesaksiannya padahal semua

mulut tertutup(terkunci). Hari itu adalah hari di mana tangan dan kaki

memberikan kesaksiannya. Hari itu adalah hari di mana manusia memprotes

tangan dan kakinya; mengapa kalian memberi kesaksian atas kami? Mereka

berkata kepada kulit-kulit mereka, “Mengapa kamu memberikan kesaksian

terhadap kami” (Q.S. Fushshilat: 21). Kulit-kulit tersebut menjawab, “Allahlah

yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami

pandai berkata” (Q.S. Fushshilat: 21). Apakah kesaksian pada Hari itu

adalah kesaksian husuli dengan proses tashawur dan tashdiq, sehingga dapat

disebut memberi kesaksian tashwur sekaligus tashdiq, ataukah kesaksian

tersebut kesaksian huduri? Di sana terdapat kejelasan, semua amal nampak

dan hadir. Semua kejadian diulang kembali sehingga pada hari itu semua

orang memahami seperti yang terjadi di dunia dan tidak seorangpun dapat

mengingkarinya. Pada Hari itu Allah mengenalkan Rasul-Nya sebagai

saksi bagi orang-orang terdahulu dan yang terkemudian. Inilah garis

kesempurnaan Rasulullah yang paling menonjol. Beliau mencapai tingkat di

mana seluruh amal orang-orang terdahulu dan orang-orang sekarang berada

di bawah pantauannya.

p:330

p:331

Pelajaran XXIII

Jalan Menuju Kesaksian Amal

p:332

Dengan nama AllahYang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kita kepada jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya

kalau Allah tidak memerikis petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kapada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad dan keluarganya yang suci.

Al-Qur’an al-Karim menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan

dan dan panutan dalam upaya mendidik manusia pada jalan yang benar.

Al-Qur’an telah menjelaskan garis-garis kesempurnaan sang pemimpin

serta menjelaskan cara untuk mencapai kesempurnaan ketika meng ikutinya.

Al-Qur’an mengenalkan kepada para pencari jalan ini, menjelaskan

kepada mereka hasil yang akan diraih oleh yang mengikutinya, dan juga

berbicara tentang bahaya yang mengancam orang yang menolaknya. Garis

kesempurnaan yang paling menonjol bagi Rasulullah adalah kesaksiannya.

Yaitu, menyaksikan kaidah, akhlak, dan amal-amal manusia. Artinya,

Rasulullah telah mencapai sebuah maqâm di mana dengan izin Allah beliau

dapat melihat semua akidah, akhlak dan seluruh amal manusia, serta saksi

bagi perbuatan mereka pada Hari Kiamat. Orang yang mengikuti langkah

seorang saksi, dan akan menjadi saksi yang sama. Hal itu seperti orang yang

mengikuti langkah orang yang dicintai orang lain (al-mahbub), dia akan

dikasihi orang lain.

Apabila Allah telah mengenalkan Rasul-Nya sebagai kekasih-Nya

karena Allah telah menjadikan jalan kekasih-Nya sebagai jalan orang yang

disayangi-Nya, artinya Allah adalah kekasih dan mengikuti sang kekasih

membuat manusia dicintai. “Katakan, apabila kamu mencintai Allah, maka

ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kamu” (Q.S.Ali ‘Imran: 31). Apabila

kamu mencintai Allah ikutilah Rasul-Nya agar kamu menjadi kekasih Allah,

karena jalan Allah adalah jalan kecintaan, dan manusia yang mengikuti jalan

cinta pasti akan dicintai.

Apabila Allah mengenalkan Rasul-Nya sebagai saksi untuk semua,

seperti dalam firman-Nya, “Dan bagaimana apabila Kami datangkan dari

tiap-tiap umat seorang saksi dan Kami datangkan saksi atas mereka” (Q.S. an-

Nisa’: 41), bagaimana keadaan hari itu di mana seluruh nabi dan umat hadir

di dalamnya dan Kami hadirkan tiap-tiap umat seorang saksi dan kamu

(Muhammad) sebagai saksi untuk semua—“Dan begitu juga Kami jadikan

kamu umat yang adil agar kamu menjadi saksi-saksi atas manusia dan Rasul

menjadi saksi atas kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Artinya, umat ini adalah

saksi atas amal-amal umat lain sedangkan Rasulullah menjadi saksi terhadap

p:333

semua saksi. Dengan demikian, jalur yang dilalui Rasulullah adalah jalan

kesaksian. Dalam pembahasan sebelumnya kami telah menjelaskan garisgaris

universal tentang kesaksian ini.

Saksi adalah orang yang mendapat penghormatan untuk mengetahui

jiwa orang lain, akidah, akhlak, dan amal-amal mereka pada Hari Kiamat

dengan izin Allah. Kelak dia akan hadir untuk melakukan kesaksiannya.

Apabila Allah telah mengenalkan Rasul-nya sebagai suri teladan, berarti

umat ini punya tugas untuk mengikuti nabinya.

Yang paling menonjol garis seorang teladan ini adalah kesaksiannya.

Artinya, Rasulullah Saw. mencapai pada derajat di mana beliau mampu

melihat dalam dan luarnya jiwa manusia. Berarti, dengan mengikuti

nabinya, umat akan mampu mencapai derajat di mana dengan

izin Allah mampu melihat batin dan lahirnya orang atau umat lain. Maqâm

ini adalah maqâm yang dinanti-nantikan seluruh umat Rasulullah Saw. .

Islam mampu mendidik setiap individu untuk mencapai peringkat di mana

mereka mampu mengetahui batin dan lahirnya orang lain. Ruh mereka

telah terbuka sampai pada derajat yang tidak ada sesuatu apa pun dapat

menghalangi mereka, sebab:

Tidak ada tabir tidak ada hijab bagi keindahan sang kekasih,

Akan tetapi tebalnya debu jalanan menghalangi penglihatan

Apabila ruh manusia tidak gelap, berarti terang. Apabila ruh manusia

terang, maka dia dapat melihat ke dalam batin orang lain, sedangkan yang

menghalangi manusia kepada kesempurnaan adalah kegelapan tersebut.

Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin as, “Sungguh aku tidak dapat

melakukan salat malam”. Amirul Mukminin berkata, “Sesungguhnya kamu

adalah orang yang telah terikat dengan dosa-dosamu dan kamu bukanlah

orang yang merdeka”.(1)

Dosa di siang hari adalah hijab yang gelap di malam

hari. Orang yang telah tecemar dengan berbagai dosa di siang harinya, dia

tidak akan berhasil melakukan salat malam. Ibn Babawaih al-Qummi ra,

dalam kitabnya yang berharga, at-Tauhid, menukil dari Imam kedelapan:

mengapa Allah terhijab, Imam Ali Ridha menjawab: Banyakanya dosa

menghalangi penglihatan batin.(2)

Orang yang batinnya bersih, ruhnya tidak

ternoda, maka dia dapat meraih kesaksian dan dia akan menjadi saksi serta

kelak pada Hari Kiamat dibangkitkan bersama para nabi “Dan didatangkan

dengan para nabi dan para syahid” (Q.S. Az-Zumar; 65). Pada Hari Kiamat,

dia akan bertemu para syahid di hadapan Allah.

p:334


1- 50 Tauhid ash-Shaduq, hlm. 97.
2- 51 Ibid., hlm. 252.

Syahid dalam pembahasan di sini bukan orang yang terbunuh dalam

medan perang, itu adalah syahid fiqhi (dalam bidang ilmu fiqih), ini juga

merupakan salah satu peringkat kesempurnaan dan suatu keutamaan manusia

yang terbaik. Sebuah riwayat dinukil dari Rasulullah Saw. dalam sabdanya

mengatakan, “Tahap kesempurnaan dapat dicapai manusia satu demi satu

hingga dia terbunuh di jalan Allah, setelah itu tidak ada lagi kesempurnaan”.

Adapun makna lain adalah bahwa manusia dengan mengikut jalan syahadah

dan jalan hudhur dia dapat mencapai derajat di mana dia dapat melihat

batinnya orang lain. “Hati-hatilah dengan firasatnya orang Mukmin karena

sesungguhnya orang Mukmin melihat dengan cahaya Allah”.

Apabila manusia sempurna melihat dengan cahaya Allah, dan cahaya

Allah menerangi setiap tempat, sesuai potensi eksistensinya, orang tersebut

dapat mengetahui setiap tempat. Sedangkan masalah kesaksian pada

akidah, akhlak, dan amal orang lain, bahwa manusia dilihat dari ketinggian

eksistensinya hingga lebih mulia dari keberadaan orang lain dan menguasai

jiwa-jiwa mereka. Artinya, secara eksistensial dia memiliki kekuasaan dan

mengetahui apa yang lewat dalam jiwa dan hati mereka. Sebab masalah

utama adalah pembenahan hati, sedangkan Allah meladeni orang karena

hatinya. Seorang saksi harus mengenal apa yang lewat dalam hati orang

lain hingga kelak pada Hari Kiamat dapat melakukan kesaksiannya atas

apa yang pernah terjadi dalam hati mereka. Seorang saksi harus mengetahui

apa yang ada pada jiwa orang lain sehingga pada Hari Kiamat dia dapat

memberi kesaksiannya atas apa yang terjadi dalam jiwa mereka. Seperti yang

dikatakan Allah bahwa hati adalah ukuran kebaikan dan kerusakan. Maka

yang menjadi ukuran adalah kedudukan hatinya dan itu tidak diragukan.

Dalam surah Al-Baqarah Allah berfimran: “Állah tidak menghukum kamu

disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud untuk ber sumpah, akan tetapi

Allah menghukum kamu sebab sumpahmu yang dise ngaja dalam hatimu”

(Q.S. Al-Baqarah: 225). Hal itu karena apa yang ada pada hati kamu adalah

bekal yang harus dihukum. Berarti ukuran dosa dan tidaknya sebuah amal

adalah niatnya, dan semua amal akan dihisab berdasarkan niatnya. Berkaitan

dengan penyembunyian kesakaian berda sarkan ilmu husuli, Allah berfirman,

“Barang siapa menyembunyikannya maka sesungguhnya hatinya berdosa” (Q.S.

Al-Baqarah: 283).

Orang yang tahu persoalan dan tidak hadir dalam pengadilan Islam

untuk memberi kesaksian, maka hatinya telah berdosa dan disebut sebagai

pendosa. Hati-lah yang bermaksiat, sedangkan anggota tubuh hanyalah

sekadar alat. Ruh manusialah yang melakukan dosa sedangkan tangan dan

p:335

kaki adalah alat bagi ruh. Pendosa yang hakiki adalah hakikat manusianya,

sedangkan anggota tubuh hanya sebagai alat untuk berbuat. Oleh karena itu,

pada Hari Kiamat ketika anggota tubuh berbicara, pembicaraan itu disebut

sebagai kesaksian, dan anggota tubuh disebut sebagai saksi. Pada waktu

itu manusia berkata kepada anggota tubuh dan kulitnya, “Mengapa kamu

bersaksi atas kami” (Q.S. Fushshilat: 21). Maka, diketahui bahwa hakikat

manusialah yang pendosa, sedangkan tangan dan kaki bukankah hakikat

manusia. Seandainya tangan yang berdosa lalu pada hati itu berbicara,

maka pembicaraan itu disebut pengakuan bukan kesaksian. Perbedaan

antara pengakuan dan kesaksian adalah apabila seorang tertuduh berbicara

menerima kejadian secara benar maka hal itu disebut pengakuan, tetapi

apabila orang lain yang menjelaskan kejadian itu, maka hal itu disebut

kesaksian. Tangan dan kaki bukan mengakui kesalahan melainkan melakukan

kesaksian. Dengan demikian bahwa yang berdosa dan yang bertanggung

jawab adalah yang lain. Jiwalah yang berdosa, hatilah yang berdosa, ruhlah

yang bermaksiat, bukan anggota tubuh—“Barang siapa menyembunyikan

kesaksiannya, maka berdosalah hatinya” (Q.S. Al-Baqarah: 225). Ruh

manusialah yang bermaksiat, sedangkan tangan dan kaki hanya sekadar alat

untuk berbuat. Alat-alat ini pada Hari Kiamat memberi kesaksian terhadap

tertuduh sedangkan ruhlah yang mengakuinya—“Mereka mengakui dosa-dosa

mereka, maka celakalah bagi penduduk neraka” (Q.S. Al-Mulk: 11).

Meskipun dalam sebagian riwayat disebutkan ruh yang memberi saksi

atas mereka, yang dimaksud dengan kesaksian ruh adalah kesakaian huduri.

Ruh itu datang dengan bentuk saksi, seperti “Saksi-saksi atas jiwa mereka

masing-masing dengan kekafirannya” (Q.S. at-Taubah: 17). Sesuai ungkapan

para ahli filsafat Ilahiyah: Apabila di akhirat kelak jiwa manusia datang

dengan jiwa orang lain dalam bentuk lain, misalnya bentuk binatang, maka

itu adalah sebuah kesaksian. Pembahasan ini membutuhkan kajian khusus.

Apabila ukuran kehancuran manusia ter simpan dalam jiwanya (ruhnya).

Apabila Imam Ali a.s. dan Nabi Saw. sebagai saksi atas kejadian, apabila

nabi pada Hari Kiamat sebagai saksi peradilan, berarti di dunia mereka

adalah orang-orang yang menyaksikan batin-batin orang lain, dan mampu

menghadirkan jiwa mereka. Apapun yang terjadi pada setiap ruh manusia,

maka Imam Zaman menyaksikan nya. Setiap apa pun yang ada dalam benak

seseorang, maka pasti Allah melihatnya, dan itu adalah bentuk dari kesaksian

amal—“Dan katakan: berbuatlah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta

orang-orang beriman akan menyaksikan amal kamu” (Q.S. at-Taubah: 105).

p:336

Para imam dan orang-orang Mukmin yang suci dan ikhlas, yang

mereka telah mencapai jalan kesaksian amal, mereka pun mengetahui pula

amal-amal orang lain sesuai kesucian batin mereka masing-masing. Manusia

hendaknya mencapai derajat di mana dia dapat menyaksikan batin, atau

paling tidak mencapai batas di mana dia dapat menyaksikan kehadiran

orang yang dapat melihat batin, atau dia harus mencapai pada maqâm di

mana bukan saja melihat dirinya sendiri tapi juga jiwa dan batin orang lain.

Dengan demikian, dia berhak menjadi seorang saksi. Atau paling tidak

menjadi orang yang berada pada jalan kesaksian hingga mampu melihat

dirinya kalau dirinya berada di hadapan para saksi. Mampu melihat riya

berada di hadapan Imam Zaman, menyaksikan semua keadaan, gerakan,

akhlak, dan akidahnya sendiri di hadapan wali Allah. Saksi adalah orang

yang mengetahui pusat kerusakan atau kebaikan amal, yaitu hati. Orang

dapat mencapai tingkatan ini, yaitu orang yang berada dalam kekuasaan

perubahan hati. Sehingga, ketika ruhnya mampu menguasai ruh orang lain,

maka hati mereka berada di hadapannya. Rasulullah Saw. dan para imam

maksum adalah orang-orang yang telah mencapai tingkatan ini. Begitu juga

Isa al-Masih a.s. seperti yang telah dijelaskan sebagian dalam pertemuan

sebelumnya.

Berkenaan dengan Isa al-Masih as, Allah berkata: Isa al-Masih kelak

pada Hari Kiamat sebagai saksi atas orang lain, “Tidak ada seorangpun dari

Ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya, dan

pada Hari Kiamat Isa akan menjadi saksi terhadap mereka” (Q.S. An-Nisa’:

159). Isa al-Masih a.s. pada Hari Kiamat menjadi saksi atas perbuatan

umatnya. Apa yang ada di dalam jiwa pengikutnya, Isa a.s. mengetahuinya,

apa yang ada semenjak pengikut Isa ada, maka Isa al-Masih mengetahuinya.

Isa a.s. melihat keyakinan-keyakinan para pendeta dan akhlak orang-orang

Nasrani serta perbuatan mereka. Dikatakan: Isa pada Hari Kiamat adalah

saksi terhadap mereka. Dan orang yang tidak melihat kejadian maka

pada Hari Kiamat tidak akan dapat melakukan kesaksiannya. Kesaksian

akan menjadi jelas ketika memiliki peringkat pengetahuan dan peringkat

pelaksanaan. Sekiranya Ruhullah Isa tidak melihat saat perbuatan dilakukan,

lalu bagaimana beliau dapat memberikan kesaksiannya di pengadilan

Ilahi?—“Dan pada Hari Kiamat dia menjadi saksi terhadap mereka” (Q.S. an-

Nisa’: 159). Apakah kesaksian kelak bercampur dengan kebatilan, ataukah

sama sekali murni tidak tercampur sedikit pun?

Akan terjadi kesalahan dan kekeliruan apabila kesaksian itu berupa

kesaksian hushuli yang didapat dari bayangan (tashawur) dan tasdiq. Sebab,

p:337

dapat jadi perbendaharaan pengetahuan yang dia transfer ke dalam otak tidak

benar dan keyakinan itu bukan pada tempatnya. Meskipun dalam bayangan

(tashawur) tidak salah, tetapi sering kali terjadi kesalahan pada tasdiq

(keputusan). Kesalahan itu hanya terjadi pada ilmu hushuli (bukan hudhuri).

Seadil apa pun seorang saksi dan terjaga dari kesalahan yang disengaja, potensi

lupa dan salah ada pada dirinya. Akan tetapi apabila seseorang mencapai

tingkat kesaksian yang bersifat hudhuri dan melihat amal secara nyata,

maka dia tidak akan terjerumus dalam kesalahan atau dosa secara sengaja.

Adapun alasan dia tidak dapat salah adalah karena kenyataan berada

di hadapannya. Kesalahan itu hanya terjadi dalam hal apabila bayangan

yang ada dalam otak tidak sesuai dengan gambar yang di luar, sehingga

terjadi perbedaan. Akan tetapi kenyataan yang di luar tidak mungkin dapat

salah. Ketetapan sesuatu untuk dirinya sendiri adalah daruri. Akan terjadi

kesalahan ketika bayangan dalam otak tidak sesuai dengan kenyataan di

luar, akan tetapi eksistensi yang di luar adalah sesuai dengan zatnya sendiri.

Ungkapan kata “sesuai“ adalah penggunan yang bersifat toleran dan yang

datang di hadapan saksi adalah hakikat amal bukan gambarnya. Berarti,

dalam kedudukan seperti itu, tidak ada alasan untuk salah dan dosa. Sebab

dosa itu hanya dapat terjadi pada aturan-aturan dan ketentuan yang bersifat

i’tibari(relatif). Masalah wajib atau tidak wajib tidak ada hubungannya

dengan penguasaan(lingkup) eksistensial. Tidak ada kata wajib atau tidak

wajib dalam hal penguasaan eksistensi.

Kesimpulannya, tidak ada alasan untuk bermaksiat. Kesaksian seperti

ini tidak ada kesalahan sama sekali. Tidak ada pertentangan dalam

hal itu. Allah mengenalkan kesaksian seperti ini dengan kesaksian yang

tidak terlepas dari kebenaran. Dikatakan: Yang berhak memberi syafaat

pada Hari Kiamat adalah orang yang menjadi saksi dengan benar—“Dan

sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi

syafaat akan tetapi orang yang mengakui yang hak” (Q.S. az-Zukhruf: 86).

Apa yang dikenal orang lain sebagai pemberi syafaat lalu mereka sembah,

mereka berkata bahwa dia pantas disembah adalah tidak punya hak untuk

memberi syafaat. Seperti yang dikatakan orang-orang musyrik tentang

berhala yang mereka sembah—“Mereka itu adalah yang memberi syafaat kita”

(Q.S. Yunus: 18). Orang yang punya hak memberi syafaat pada Hari Kiamat

hanya seorang saksi yang mengetahui yang benar. Dalam kesaksiannya,

tidak ada kesalahan dan tidak ada kegaiban dalam penglihatannya. Ada

kesaksian dalam ketidaktahuan tetapi bukan kesaksian dalam pembagian,

atau kesaksian dalam pernyataan, atau kesaksian bentuk lain yang berlaku

p:338

dalam hukum pengadilan. Di sana (di pengadilan biasa) adalah kesaksian

dalam ketidaktahuan, sedangkan di sini (akhirat) adalah kesaksian dan

pengetahuan, karena pengetahuannya adalah realistis dan nyata. Oleh

karenanya, kesaksian tersebut tidak lepas dari kebenaran—“Akan tetapi(orang

yang mengakui dengan benar dan mereka mengetahui” (Q.S. az-Zukhruf: 86).

Tentang Isa al-Masih, Allah berkata: Sesungguhnya Isa pada Hari

Kiamat adalah saksi, Kami akan mendatangkan dari tiap-tiap umat seorang

saksi dan Kami akan mendatangkan Rasulullah sebagai saksi atas mereka—

“Dan Kami datangkan kamu sebagai saksi atas mereka” (Q.S. an-Nisa’: 41).

Yang lain pun ikut hadir, namun kehadiran mereka berada di hadapan Nabi.

Adakah kedudukan lebih tinggi dari itu yang (Allah katakan), “Maka Kami

bertanya kepada mereka yang diutus kepada mereka dan Kami tanyai para

utusan” (Q.S. Al-A’raf: 6). Artinya, seluruh nabi dan umat akan ditanya,

dan Rasulullah di hari itu sebagai saksi bagi semua, “Sesungguhnya Kami

mengutus kamu sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi

peringatan, dan sebagai penyeru kepada Allah dengan izin-Nya serta sebagai

cahaya yang menerangi” (Q.S. Al-Ahzab: 45—46). Beliau adalah saksi bagi

semua. Artinya, Rasulullah melihat apa yang telah terjadi ketika berada di

dunia dan apa yang akan terjadi.

Inilah garis menonjol bagi seorang teladan serta betapa sempurnanya

garis Rasulullah, sehingga Allah mengenalkannya sebagai suri teladan dan

panutan. Al-Qur’an bukanlah kitab untuk memuji, akan tetapi merupakan

kitab pendidikan dan petunjuk. Apabila Allah dalam kitab Al-Qur’an

menyebut Rasulullah sebagai suri teladan dan mengenalkannya sebagai saksi

semata, maksudnya yaitu; ikutilah jalan seorang saksi agar kamu semua dapat

menjadi saksi. Al-Qur’an berkata kepada manusia; Sampai kapankah kamu

gaib? Sampai kapankah kamu tenggelam dalam kebodohan mengenai diri

kamu sendiri dan diri orang lain? Sampai kapankah kamu bersembunyi dan

tertutup? Sampai kapankah kamu tenggelam dalam kebodohan mengenai

diri kamu sendiri dan diri orang lain? Sampai kapan kamu berada dalam

hijab diri kamu (Kamu sendiri adalah hijab bagi dirimu sendiri, maka

bangkitlah kamu dari tidur nyenyakmu). Sekalipun kamu sudah menjadi

seorang saksi, kamu harus bangkit dari hijab dirimu, robeklah tabir jiwamu

dengan dirimu sendiri agar kamu menjadi saksi dan dan melihat. Tidak ada

tabir bagi rahasia alam, jika sekiranya terdapat sebuah tabir yang menutup

rahasia alam, maka hal itu karena wajah-wajah para pendosa, “Dan Kami

singkapkan tutup yang menutupi matamu, maka matamu pada hari itu

menjadi tajam” (Q.S. Qaf: 22).

p:339

Pada Hari Kiamat kelak dikatakan: kami telah merobek tabir yang

menutupi (mata). Maknanya bukan berarti Kami telah menaruh tabir

menutup rahasia alam, melainkan Kami robek tabir yang menutupi matamu.

Allah berfriman, “Mata-mata mereka berada dalam tutup” (Q.S. Al-Kahfi:

101). Artinya, maka mereka berada dalam hijab dan terbungkus oleh dosa.

Sebab, sekiranya tanda-tanda keagungan Allah itu tertutup dan tidak jelas,

maka namanya bukan tanda. Seandainya hal-hal yang bersifat mungkin itu

tertutupi, maka dia bukanlah tanda. Sesuatu yang tertutupi bukanlah tanda

bagi seorang saksi. Sesuatu yang tersembunyi bukanlah tanda atas sesuatu

yang tidak terlihat. Apabila semua alam adalah tanda-tanda keagungan Allah,

apabila di dalam alam terdapat banyak tanda, berarti alam ini tidak terdapat

tabir dan tidak ada kegaiban. Manusialah yang jauh, manusialah yang tertutup.

Al-Qur’an mengungkapkan sebagian orang yang tertutup, akan

tetapi tutup ini tidak dapat dilihat, “Apabila kamu membaca Al-Qur’an,

kami jadikan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman dengan hari

akhir hijab yang menutupi” (Q.S. Al-Isra’: 45). Ada dua hijab yang dapat

menghalangi manusia. Pertama, hijab yang tersembunyi. Kedua, hijab yang

nampak. Tabir jasmani adalah hijab yang bersifat lahir dan nampak. Artinya,

kita tahu bahwa tabir ini bersifat materi, atau tembok yang ada di luar itu

adalah hijab, akan tetapi hijab yang nampak. Sedangkan dosa dan kesalahan

adalah hijab, pergaulan yang jelek adalah hijab, hanya saja ia adalah hijab,

pergaulan yang jelek adalah hijab, hanya saja ia merupa kan hijab yang

tersembunyi (tidak nampak). Tanda yang tersembunyi bukan berarti sebagai

tabir, akan tetapi karena dirinya sendiri tidak dapat melihat. Banyak orang

tidak mengetahui bahwa kelalaian dan dosa meru pa kan hijab, khayalan yang

jelek, pengkhianatan mata, dan pengkhianatan hati. Semuanya merupakan

hijab yang tidak akan membiarkan manusia keluar ke halaman dan bebas

melihat. Berdasarkan pemikiran ini, maka orang yang berada di balik tabir,

dia berada di luar garis (jalan) kesaksian Nabi. Dan orang yang tertutupi

bagaimana mungkin dapat berada di jalan Rasulullah Saw. ?—“Kecuali orang

yang menyatakan dengan benar dan mereka mengetahui” (Q.S. az-Zukhruf: 86).

Salah satu cara penting agar manusia tidak terbius dalam tabir yang

menutupi mata batinnya, hendaknya dia memperhatikan pertemuan-pertemuannya;

hendaknya jangan ikut bergabung dalam tempat di mana

di dalamnya tidak terdapat pembicaraan tentang Allah, Hari Kiamat, hari

kebangkitan, wahyu, dan agama. Hendaknya jangan menghadiri tempat

yang di dalamnya mempermainkan agama; jangan berbicara yang membuat

Allah tidak rida, jangan mendengarkan kalimat-kalimat yang tidak sejalan

p:340

dengan wahyu Ilahi. Manusia tidak punya hak untuk mengucapkan setiap

yang dia sukai, tidak diizinkan pergi ke setiap tempat yang diinginkan dan

diam di sana. Manusia harus mampu menguasai diri dalam setap pertemuan

dan harus sibuk berusaha menghilangkan tabir atau belajar mengkaji dan

berpikir, atau berupaya mendidik jiwanya, membersihkan, melihat batin,

riyadlah yang benar serta melakukan jihad akbar (jihad an-nafs).

Dalam syarh al-Kafi, Mulla Sadra menggunakan ungkapan yang sangat

tinggi dan indah: “Terdapat tabir tipis yang terbentang di hadapan mata

manusia yang menutupi penglihatannya; selama tabir ini tidak dibuang,

maka (hakikat) tidak akan pernah nampak dan tidak dapat melihat apa yang

di balik tabir tersebut”. Ada dua cara untuk menyingkirkan tabir ini sekaligus

menghilangkan penghalangnya, bahkan dua-duanya dapat digabung.

Manusia harus berusaha bangkit dan menggerakkan kaki dan tangannya

pergi mendekati tabir dan membuangnya dengan tangannya sendiri,

sehingga mampu melihat apa yang ada di balik tabir. Atau karena Ilahi,

sedikit demi sedikit tabir tersebut terangkat tanpa manusia menggerakan

tangan atau melangkahkan kakinya, yang kemudian semua menjadi terang

baginya. Atau dengan cara belajar dan makrifat, baik dengan cara hushuli atau

hudhuri. Dengan cara belajar hasilnya sangat kecil, sedangkan dengan cara

makrifat sangat berat. Akan tetapi manusia hendaknya jangan menghindar

dari mencari ilmu dengan alasan hasilnya yang sedikit, atau membiarkan

nafsu dengan alasan karena sulit meraihnya.

Apabila seseorang mampu belajar makrifat di sekolah, mampu

mengombinasikan ilmu hushuli dengan ilmu hudhuri, mengombinasikan

kesaksian dengan pembicaraan dan pendengaran, alangkah bahagianya

dia. Sebab, apa yang dapat diraih dengan cara penyaksian dapat pula diraih

dengan ilmu hushuli. Apabila tidak mampu menggunakan dua cara tersebut,

maka pilihlah salah satu. Ia harus membuang tabir kelalaian dan membuang

hijab dengan usaha keras sambil melihat rahasia alam karena semuanya

merupakan tanda-tanda keagungan Ilahi, atau berusaha menghadang

karunai Ilahi(“Ketahuilah bahwa dalam sepanjang waktu memiliki

pemberian karunia (nafahat) maka hadanglah dan jangan menghindar. Atau

harus menghadang arah angin hembusan karunia sehingga mengetahui dari

arah mana angin karunia datang dan kapan waktunya: dengan demikian dia

dapat menghadangnya. Dia akan terhibur oleh hembusan angin tersebut dan

terbukalah tabir yang menghilangkan penglihatannya dan mengetahui apa

yang ada di balik tabir. Dia melihat seluruh alam sibuk memuji Allah. Dia

dapat mendengar bahwa semua sibuk dalam ketauhidan dan keesaan Allah

p:341

dan bukan hanya manusia saja. Dia akan mendengar, “Dan sesungguhnya

tidak ada segala sesuatu selain bertasbih dengan memuji-Nya” (Q.S. Israil ; 44).

Mendengar “Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah” (Q.S.

Al-Jumu’ah: 1). Ketika tabir tersingkap dan hilang dibawa oleh sepoi angin

kebahagiaan Ilahi, pada waktu itu tidak perlu lagi menggerakkan tangan dan

kakinya. Simak syair berikut:

Mengapa aku harus mengulurkan tangan

dan membuat kakiku lelah

Sedang tuanku selalu rida (puasa) denganku tanpa aku harus berbuat

Apabila kedudukan yang tinggi dan kebahagiaan yang sempurna sulit

diraih, paling tidak mampu mengikuti pola pikir dan belajar serta mencari

dengan menggunakan ilmu husuli. Menggerakkan kaki dan mengulurkan

tangan yang pada gilirannya mendekati tabir lalu merobeknya, melihat dari

balik tabir yang kemudian mengetahui rahasia alam. Suaranya menyatu

dengan suara alam dan berkata: “Tuhan kami sungguh apa yang Engkau

ciptakan tidaklah sia-sia, Maha Suci Engkau maka selamatkanlah kami dari

siksa neraka” (Q.S. Ali ‘Imran: 191).

Rasulullah Saw. telah mengikuti cara ini dan beliau melatih semua

alam sekaligus melihat seluruh manusia. Seluruh rahasia alam baginya

adalah nampak jelas, tidak ada kegaiban baginya karena semua berada di

hadapannya. Tidak ada yang terlupakan karena beliau sebagai saksi; tidak

ada hijab baginya karena beliau melatihnya. Tidak ada tabir dalam penglihatan

nya, tidak ada kelalaian baginya karena semua hadir di hadapannya,

tidak ada kegaiban baginya karena beliau sebagai saksi, “Sesungguhnya Kami

datangkan kamu sebagai saksi atas mereka” (Q.S. an-Nisa’: 41).

Ada beberapa cara untuk mencapai peringkat kesaksian nabi. Salah

satunya adalah selalu menjaga diri dalam setiap pertemuan. Allah telah

memberi beberapa perintah agar dapat mencapai tingkat kesaksian ini

sehingga para salik (pelaku) dapat melalui jalan tersebut. Untuk meraih jalan

ini, paling tidak mereka harus melihat batin mereka sendiri sehingga sedikit

demi sedikit menemukan jalan untuk mengetahui batin orang lain dan

mengetahui apa yang dilakukan orang lain. Allah berkata kepada Rasul-Nya

Saw. , “Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolokkan ayat-ayat

Kami, maka tinggalkan mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan

yang lain. Dan jiwa setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu

duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat” (Q.S. Al-An’am:

68). Apabila kamu melihat sekelompok manusia sibuk merusak ayat-ayat

p:342

Allah dalam berbagai pertemuan yang tidak identik dengan mazhab samawi,

berbicara yang menghina wahyu Ilahi, tidak mengakui aturan-aturan samawi,

menghina aturan Ilahi, maka janganlah kamu duduk dan jangan ikut dalam

pertemuan mereka. Tinggalkan mereka sehingga mereka membicarakan hal

lain. Apabila kamu lupa sekali, lalu bergabung bersama mereka maka ketika

kamu ingat janganlah kamu duduk bersama mereka karena mereka adalah

kaum yang lalim. “Bersama kaum yang lalim”, duduk bersama orang-orang

yang lalim adalah hijab yang sangat tebal karena “Dan Allah tidak memberi

petunjuk kaum yang lalim” (Q.S. Ali ‘Imran: 86) karena orang yang lalim

dalam hijab—“Hati-hati kami dalam peti”. Maka, antara kamu dan mereka

terdapat hijab yang tidak terlihat.

Sekalipun pembicaraan ini mengarah kepada Rasululuah Saw. , namun

perintah tersebut kembali kepada umat, sebab Rasulullah tidak pernah ikut

bergabung dalam pertemuan seperti ini. Allah berfirman, “Janganlah kamu

duduk setelah kamu ingat”. Dan apa yang dibicarakan (tentang kaidah Islam)

yaitu larangan bergabung dalam pertemuan seperti itu, pokok pangkalnya

berada dalam surah an-Nisa’ yang pembicaraannya diarahkan kepada semua

manusia. Demikian bentuk pembicaraannya: Janganlah kamu semua

bergabung dalam pertemuan-pertemuan mereka sama sekali, apabila orang-orang

jahiliah dan orang lain meremehkan ayat-ayat Allah, kamu semua tidak

punya hak untuk hadir dalam pertemuan mereka—“Dan sungguh Allah telah

menurunkan kepada kamu dalam Al-Fqur’an bahwa apabila kamu mendengar

ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk

bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain” (Q.S. an-

Nisa’: 140). Telah kami katakan sebelumnya, janganlah kamu bergabung

dalam pertemuan seperti ini. Allah sebelumnya telah memberitahukan

kepada Rasul-Nya dan bukan untuk semua manusia.

Ustaz Allamah Thabathaba’i ra memiliki penjelasan yang lebih dalam:

Apabila dua ayat ini kita gabung satu sama lain, maka akan memberi makna

demikian: Bahwa setiap kali perbendaharaan diarahkan kepada Rasulullah

Saw. , maka umat juga tekandung di dalamnya sebagaimana di dalam surah

an-Nisa’, Allah berfirman, “Sudah Kami katakan sebelumnya janganlah

bergabung dalam berbagai majelis yang batil”. Di samping itu terdapat ayat

lain dalam surah Al-An’am yang melarang bergabung dalam pertemuan-pertemuan

yang menghina ayat-ayat Allah. Berarti, ayat yang ada dalam

surah Al-An’am yang pembicaraannya diarahkan kepada Rasulullah Saw.

untuk tidak bergabung dalam pertemuan-pertemuan batil, sebenarnya

karena melihat umat. Sebab Allah sudah menjelaskan dalam surah an

p:343

Nisa’, “Janganlah kamu bergabung dalam majelis maksiat” dan berkata pula,

“Apabila kamu hadir dalam majelis yang ternoda dengan mengejek ayat-ayat

Allah dan meremehkannya serta mengingkari wahyu Ilahi, dan apabila kamu

bergabung bersama mereka, maka ‘Sesungguhnya kamu adalah seperti mereka’”

(Q.S. an-Nisa’: 140). Allah akan mengelompokkan semua yang bergabung

dalam dua bentuk mejelis tersebut karena Allah berupaya menggabungkan

orang munafik dengan orang kafir dalam satu tempat. “Sesungguhnya Allah

mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir dalam neraka

Jahanam” (Q.S. an-Nisa’: 140).

p:344

p:345

Pelajaran XXIV

Kelebihan-Kelebihan Nabi yang Termulia

p:346

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Kelahiran Khatamul Anbiya Saw. yang kemudian diutus sebagai Nabi

Allah merupakan suatu nikmat Ilahi yang sangat agung. Al-Qur’an yang

merupakan kalam Allah harus menjelaskan kedudukan tinggi Rasulullah

Saw. , atau seorang wali Allah yang memiliki kedudukan seperti pribadi

Rasulullah Saw. harus menjelaskan tentang kedudukan risalah yang beliau

bawa. Tidak satu pun selain Al-Qur’an atau orang yang maksum mampu

mengung kapkan kedudukan risalah Nabi yang sempurna. Ketika Allah menjelaskan

tentang diutusnya Rasulullah Saw. , kedudukan tersebut dinamakan

sebagai minnah (karunia). “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia

kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka

seorang rasul dari golongan mereka sendiri” (Q.S. at-Taubah: 164).

“Minnah” adalah sebuah nikmat agung yang tidak ada tara. Nikmat

yang berbentuk materi, Allah tidak pernah menyebutnya sebagai minnah.

Diutuskan Nabi Saw. dinamakan karunia bagi orang-orang yang beriman,

sebab orang-orang Mukmin menerima risalah Rasulullah berdasarkan kadar

iman mereka masing-masing—“Mereka memiliki beberapa derajat” (Q.S.

Al-Anfal: 4). Mereka memanfaatkan nikmat yang tidak terbatas ini karena

masing-masing manusia memiliki derajatnya. Al-Qur’an telah mengatur

tingkatan orang-orang Mukmin ini, “Mereka memiliki beberapa derajat di sisi

Allah”. Mereka yang beriman memiliki beberapa tingkatan di sisi Tuhannya

sesuai kedekatan mereka. Dalam surah Ali ‘Imran, Al-Qur’an mengatakan

“Mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah” (Q.S. Ali ‘Imran: 163). Artinya,

tiap-tiap orang Mukmin memiliki derajat dari derajat kesempurnaan

eksistensi. Orang-orang beriman mampu mencapai kedudukkan yang

dirinya sendiri merupakan derajat. Derajat bukanlah maqâm yang bersifat

relatif yang diberikan kepada orang beriman. Akan tetapi, derajat eksistensi

dan kesempurnaan merupakan rangkaian hakikat orang beriman yang dapat

meraihnya melalui beberapa tahapan, yang akhirnya dirinya menjadi derajat.

Dalam ayat-ayat seperti ini tidak perlu membuang huruf lam (yang ada

pada kalimat lil mu’minin darajat-Peny.) Maka dapat kami katakan bahwa

yang dimaksud lilmu’minin darajat adalah jiwa orang Mukmin itu sendiri

yang merupakan manifestasi nama dan nama-nama Allah yang agung,

p:347

sehingga mencapai derajat tertinggi dan maqâm yang diduduki Khatamul

Anbiya Saw. . Apabila seseorang berada dalam derajat tengah-tengah, maka

Rasulullah Saw. memiliki derajat tertinggi yang ada pada alam dunia ini.

Artinya, dirinya adalah manifestasi dari ismul a’zham (nama Allah Yang

Agung). Ismul a’zham bukanlah sebuah lafal, sehingga seseorang dapat

menganbilnya lalu merangkainya dengan huruf dan kalimat lain, kemudian

berpengaruh pada aturan alam. Menurut istilah Allamah Thabathaba’i

ra, alam wujud ini telah diatur berdasarkan sebab akibat, maka tidak

seorangpun mampu mempengaruhinya dengan menggunaan huruf, atau

kalimat, atau makna-makna yang bersifat relatif, sehingga kalimat-kalimat

tersebut dapat memberi mukjizat untuk menghidupkan orang yang mati,

menyingkap hal-hal yang gaib, dan mengetahui batin orang lain.

Dalam epistimologi, lafal dan kalimat tidak disebut sebagai nama,

baik itu simul a’zham atau isim selain a’zham. Akan tetapi, lafal dan kalimat

adalah nama dari sebuah nama (ismul ismi). Nama-nama seperti ini bersifat

kondisional dan buatan sedangkan asma’ al Husna bersifat takwiniyah dan

bukan buatan. Ismul a’zham adalah maqâm tertinggi alam dunia yang

telah diraih oleh Rasulullah Saw.. Ismul a’zham bukanlah sebuah huruf,

kalimat, atau beberapa kalimat yang ketika diucapkan dan disusun dapat

memunculkan mukjizat atau dapat menciptakan sesuatu sehingga menjadi

penyebab terjadinya suatu wujud yang bersifat takwini. Hukum sebab dan

akibat jauh lebih tinggi pengaruhnya pada hakikat di luar ketimbang sekadar

pengaruh pembicaraan atau kalimat yang disusun. Yang berpengaruh dan

penyebab munculnya sebuah kenyataan adalah sesuatu yang bersifat eksis.

Ruh wali Allah dan ruh Rasulullah yang tinggi, yang dengan sendirinya

sebagai derajat adalah bersifat eksis dalam alam penciptaan—“Mereka itu

bertingkat-tingkat”. Beliau adalah nama dari nama Allah yang baik. Bahkan

beliau adalah ismul a’zham yang meru pakan sumber dari segala penciptaan

dan manifestasi zat Allah Yang Maha Suci. Hal itu karena seluruh nama

Allah yang bersifat fi’li (sifat Allah dalam bentuk perbuatan—Peny.) kembali

kepada sifat zat-Nya. Artinya, Rasulullah Saw. adalah ismul a’zham yang

maqâm-nya paling tinggi.

Oleh karena asma’ Allah yang paling agung adalah kedudukan yang

diraih Rasulullah, maka orang lain tidak akan mampu memikul kedudukan

tersebut. Oleh karena itu, nikmat keberadaan wahyu dan risalah disebut

minnah. Setiap Mukmin memanfaatkan kedudukan tersebut sesuai dengan

kadar tingkatan eksistensi mereka, dan sebab maqâm tersebut mereka

mendapatkan makrifat dan iman, “Sesungguhnya Allah telah memberi

p:348

karunia kepada orang-orang yang beriman ketika mengutus seorang rasul di

antara mereka dari golongan mereka sendiri” (Q.S. Ali ‘Imran: 164).

Apabila Allah menyebut nabi-nabi lain dengan menyebut kata

“saudara”—Telah Kami utus kepada kamu saudaramu seorang nabi—

sementara Allah berbicara tentang Rasulullah Saw. dengan ungkapan kata

nafs, min anfusihim (dari golongan mereka sendiri); sebagian membaca min

anfasihim (dari yang paling mulia di antara mereka). Artinya, Kami telah utus

seorang rasul dari manuisa yang paling berharga dan paling mulia. Apa pun

keadaannya, yang jelas Rasulullah Saw. adalah manusia yang paling mulia, sebab

ungkapan kata anfusihim (dari golongan mereka) jauh lebih tinggi daripada

kata akhahum (saudara mereka) seperti ketika berbicara tentang nabi-nabi lain.

“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah” (Q.S. Ali ‘Imran:

164). Tugas Rasullullah Saw. adalah membacakan ayat-ayat Allah kepada

manusia dan kepada orang-orang yang beriman, menyucikan mereka dalam

naungan ayat-ayat tersebut, “Dan menyucikan mereka” (Q.S. Ali ‘Imran: 164).

Meningkatkan dan mendewasakan mereka sehingga terbuka bagi mereka

seluruh alam materi. Membebaskan mereka dari berbagai bentuk pengabdian

kepada berhala, menyadarkan mereka dari tidur, sehingga mereka menjadi

lebih mulia daripada langit dan bumi—“Mengajarkan kepada mereka al-Kitab

dan hikmah” (Q.S.Ali ‘Imran: 164). Rasulullah mengajarkan kepada manusia

Kitab Ilahi yang merupakan kumpulan dari berbagai aturan langit, yang

aturan-aturan tersebut sangat kuat. Di dalamnya terkandung hikmah yang

harus diajarkan kepada manusia bahwa “pusat hikmah adalah takut kepada

Allah”. Baik hikmah amaliyah (akhlak), atau hikmah nazhariyyah (filsafat).

Mengaitkan pemikiran dan penglihatan yang lemah atau menguatkan amal,

“Walaupun sebelumnya mereka dalam kesesatan yang jelas” (Q.S. Ali ‘Imran:

164). Berarti, pertama, ketika Allah mengungkapkan risalah nabi dengan

kata minnah, maksudnya adalah bahwa nikmat pengangkatan sebagai

rasul, orang lain tidak akan mampu memikulnya. Kedua, tiap-tiap manusia

berusaha maju mendekati maqâm ini dan mengikutinya sesuai kadar tingkat

eksistensinya. Ketiga, selain Rasulullah, tidak mampu untuk memikul

hakikat risalah, sedangkan kemampuan mengenali risalah secara sempurna

hanya dimiliki oleh orang yang berjiwa seperti Rasulullah Saw.. Al-Qur’an

telah merinci garis-garis universal tentang risalah Khatamul Anbiya’ Saw.

dan berkata, “Wahai Nabi” (Q.S. Al-Ahzab: 45).

Perlu diperhatikan secara jelas bahwa pembicaraan Al-Qur’an yang

Allah arahkan kepada Rasulullah tidak pernah menyebut nama aslinya

sama sekali, sementara di lain pihak, Allah mengajak bicara para nabi-Nya

p:349

yang lain dengan menyebut nama mereka, seperti ”Wahai Dawud”, “Wahai

Musa”, “Wahai Isa” dan sebagainya. Akan tetapi, ketika mengajak bicara

Rasulullah Saw. , Allah menggunakan kata “Wahai Nabi”, “Wahai Rasul”—

“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah mengutus kamu sebagai saksi, pembawa

berita, dan pemberi ancaman. Menyeru kepada Allah dengan izin-Nya dan

cahaya yang menerangi” (Q.S. Al-Ahzab: 45—46). Wahai nabi Kami telah

mengutus kamu sebagai saksi. Allah berfirman: Kami telah mengutusmu

kepada suluruh manusia, “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali untuk

semua manusia” (Q.S. Saba’: 28) atau “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali

memberi rahmat bagi seluruh alam” (Q.S. Al-Anbiya: 107). Telah dijelaskan

tentang universalitas risalah dan pengutusan Rasulullah dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya kamu diutus untuk semua lapisan masyarakat dari awal hingga

akhir zaman (hingga akhir kiamat)” (Q.S. an-Nisa’: 87). Tidak ada manusia

yang berada di luar lingkup risalahmu dan di luar batas kekuasaanmu. Tidak

ada suatu zaman yang berada di luar liputan risalah dan kekuasaanmu. Kamu

diutus untuk semua alam, kamu diutus untuk seluruh masyarakat sepanjang

masa dan kamu akan menjadi saksi penuntut umum.

Nabi adalah contoh dan teladan. Beliau melihat seluruh akidah, akhlak,

dan amal seluruh manusia, sehingga pada Hari Kiamat kelak beliau sebagai

saksi atas mereka. Beliau akan melaksanakan kesaksiannya sesuai dengan

keadaan yang beliau saksikan. Bagaimana Rasulullah mampu mengetahui

apa yang ada di dalam hati manusia? Bagaimana manusia mencapai derajat

di mana dia mampu memahami apa yang ada dalam otak dan jiwa orang

lain? Bagaimana seseorang mengetahui batin seluruh manusia sepenjang

zaman, sehingga pada Hari Kiamat dapat menjadi saksi atas semua kejadian

dan saksi atas semua jiwa?

Seperti ungkapan Ali bin Abi Thalib a.s. yang telah memiliki jiwa

seperti jiwa Rasulullah, “Dan diri kita dan diri kamu”. Begitu juga berkaitan

dengan diri Nabi: Rasulullah adalah saksi di mahkamah Hari Kiamat—

“Saksimu pada Hari Kiamat”.(1)

pada Hari Kiamat Rasulullah menyaksikan

semua amal seluruh manusia. Apabila sekarang tidak melihat akidah, akhlak,

dan amal seluruh manusia dan tidak mengetahuinya, bagaimana mungkin

besok dapat menjadi saksi? Kalau hari ini tidak melihat, bagaimana beliau

akan menjadi saksi besok di pengadilan Ilahi? Melakukan kesaksian harus

didahului oleh penyaksian kejadian.

Allah tidak saja menyebut Rasul-Nya sebagai teladan, contoh, dan

panutan serta akan hadir dalam mahkamah Ilahiyah, akan tetapi disebut

p:350


1- 52 Nahjul Balaghah, Subhi Shaleh, hlm. 151 dan 153.

pula sebagai saksi atas seluruh masyarakat, “Sesungguhnya Kami mengutus

kamu sebagai saksi dan pembawa berita dan pemberi peringatan” (Q.S. Al-

Ahazab: 45). Sebagai pembawa berita untuk mereka yang beriman kepada

risalah yang beliau bawa dan bergerak mengikuti jejaknya. Sebagai pembawa

perintah bagi sekelompok manusia yang mengingkari risalah dan tidak

mengikuti jalannya, penyeru manusia kepada Allah—“Dan penyeru kepada

Allah dengan izin-Nya” (Q.S. Al-Ahzab: 46). Semua ini adalah nikmat.

Orang yang mengajak manusia kepada kebenaran dengan

izin Allah adalah orang yang diutus-Nya. Al-Qur’an melalui lisan Nabi-

Nya mengatakan, “Serulah kepada Allah atas dengan jelas dan orang yang

meng ikuti aku”. Saya menyeru manusia kepada Allah dengan jelas, dan

inilah jalan yang lurus yang Rasul sendiri berada di dalamnya, yaitu jalan

dakwah kepada Allah, “Yasin, Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya

kamu salah satu dari rasul-rasul, berada di atas jalan yang lurus” (Q.S.

Yasin: 1—4). Sesuatu yang disebut Allah adalah sesuatu yang pasti. Oleh

karenanya, Allah berkata: Sesungguhnya dengan penuh keyakinan, kamu

berada di atas jalan yang lurus, padahal jalan yang lurus itu jauh lebih kecil

daripada rambut, dan sungguh sedikit mereka yang dapat melewatinya. Jauh

lebih tajam daripada pedang dan sungguh sedikit para pahlawan pemberani

yang dapat bertahan. Barang siapa melewati jalan tersebut dengan cara yang

benar dan mampu menahan ketajamannya, maka dia adalah manusia yang

paling berani. Laki-laki yang paling berani adalah yang dapat mengalahkan

hawa nafsunya ketika berada di medan perang yang benar (al-jihad al-akbar).

Berarti dia akan mampu menyeberangi tajamnya jalan yang lurus tersebut.

Orang yang berakal dan jeli adalah orang yang mampu memecahkan

masalah ini seperti membelah rambut yang kecil. Hanya orang yang

memiliki rasa, pemikiran, dan kepandaian yang jeli saja yang akan mampu

memahami apa itu jalan yang lurus. Oleh karenanya, keberadaan akal

rasional adalah keharusan agar manusia mampu memahami dengan jeli.

Sedangkan tindakan rasional juga perlu ada agar manusia dapat meraih

tingkat keberanian, sehingga tidak takut akan tajamnya pedang. Di dalam

menyeberangi jalan yang sangat tajam tidak didapatkan rasa takut sedikit

pun, “Dan menyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya” (Q.S. Al-Ahzab:

46). Rasulullah itu sendiri merupakan shirath mustaqim (jalan yang lurus).

Kalau Rasulullah menyebut Ali bin Abi Thalib sebagai shirath yang

jelas, itu karena Rasulullah berada di atas jalan yang lurus, sehingga Ali pun

berada di jalan yang sama. Jalan ini bukanlah berbentuk tempat, sehingga

orang lain dapat melewati selain jalan itu—“Wahai orang-orang yang beriman

p:351

jagalah dirimu” (Q.S. Al-Maidah: 105). Jalan itu bukan jalan langit atau

darat, sehingga orang dapat memilih selainnya. Jalan ini bukan jalan darat

sehingga orang dapat memilih selainnya, akan tetapi jalan ini adalah jalan

dalam dan tidak lain adalah nafs. Sang pejalan adalah jalan itu sendiri, dan

pemilik derajat adalah derajat itu sendiri hum darajat (Q.S. Al ‘Imran: 163).

Apabila seseorang mengikuti ajaran-ajaran Allah, maka dia akan

menjadi shirath mustaqim; dirinya akan menjadi timbangan amal. Begitu

juga halnya para nabi dan para washi. “Sesungguhnya kamu di atas jalan yang

lurus” (Q.S.Yasin: 3—4). Oleh karena itu, Allah berkata: Kami mengutus

utusan sebagai penyeru kepada Allah. Kalau saja Al-Qur’an telah menyuruh

semua manusia mendengar pandangan berbagai mazhab dan risalah para

rasul serta mengikuti yang terbaik, maka risalah Rasulullah adalah yang

terbaik. Al-Qur’an berkata, “Sampaikan kabar gembira kepada hamba-hambaku

yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik

di antaranya” (Q.S. Az-Zumar: 17—18). Perkataan yang paling baik adalah

pembicaraan orang yang menyeru kepada Allah—“Siapakah yang lebih baik

perkataannya dibandingkan orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan

amal saleh, dan bekata; ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang

berserah diri?’” (Q.S. Fushshilat: 33).

Perkataan yang paling utama adalah perkataan orang yang menyeru

manusia kepada Allah dan dia beriman serta mempraktikkan

perka taan-perkataan tersebut. Orang itu adalah manusia sempurna.

Dialah Rasulullah, “Dan penyeru kepada Allah dengan izin-Nya dan cahaya

yang menyinari”(Q.S. Al-Ahzab: 46). Allah berfirman: Kami telah mengutusmu

sebagai cahaya yang menyinari untuk semua, menyinari hati

orang lain, menyelamatkan manusia dari kegelapan. Kamu adalah cahaya

yang bersinar menerobos setiap jiwa manusia. Kamu adalah pembawa

berita—“Dan berilah berita kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka

mendapat karunia dari Allah yang sangat besar” (Q.S. Al-Ahzab: 47).

Oleh karena Rasulullah sebagai sirath al-msutaqim dan menyeru manusia

kepada Allah, apabila Rasulullah adalah saksi, pembawa berita, pemberi

peringatan, dan cahaya yang bersinar, maka tanggung jawab atas nikmat

ini bukanlah mudah bagi orang Mukmin biasa. Untuk menanggung

nikmat ini memerlukan kekuatan yang sangat besar. Oleh karena itu, Al-

Qur’an menyebutnya sebagai minnah (karunia), “Allah telah memberi

karunia kepada orang-orang yang beriman” (Q.S. Ali ‘Imran: 164).

Apakah manusia dapat memandang setiap cahaya lampu selain

orang yang mampu melihat setiap cahaya? Apakah setiap orang mampu

p:352

mendengar setiap suara dan omongan? Apakah setiap ruh merupakan

wadah setiap masalah? “Sesungguhnya hati-hati ini adalah wadah, maka

yang terbaik adalah yang paling sadar”. Rasulullah Saw. telah men capai

kedudukan tinggi, sehingga ketika Allah hendak mengirim salam kepada nya,

disertai pula salam seluruh malaikat dan Rasulullah menyak sikan mereka

yang ikut memberi salam kepadanya. Ketika Allah hendak meng agungkan

kedudukan Rasul-Nya, Allah berkata: Bukan Aku saja yang mengirim

salawat dan rahmat kepada utusan-Ku, akan tetapi seluruh malaikat pun

ikut melakukannya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya menyampaikan

salawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, sampaikan salawat dan

salam kepadanya salam yang sebenarnya” (Q.S. Al-Ahzab: 56).

Allah mengenalkan Rasul-Nya kepada kita dengan sedemikan agungnya,

sehingga Allah dan seluruh malaikat dan hamba-Nya yang ikhlas

ikut bersama menyampaikan salawat dan rahmat kepadanya. Alalh berkata;

Sesungguhnya Allah dan para malaikat memberi salam atas ruh suci

Rasulullah, dan kamu wahai segenap manusia jagalah tata cara ini dan

berilah salam kepadanya. Kita sampaikan juga salawat dan salam kepada ruh

suci Khatamul Anbiya dan keluarganya yang mulia.

Ketika Allah hendak mengenalkan Rasul-Nya yang mulia, Allah

berkata tentangnya bahwa utusan-Nya bukan seorang yang pernah

belajar di sebuah sekolah atau belajar kepada seorang guru. Tidak seorang

pun mengajari Rasulullah sama sekali. Beliau hanya diajari oleh Allah

sendiri. Apa yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya, tidak diajari melalui

mata atau telinga kanan tetapi diajari melalui ruh dan hati. Dalam ilmu

hushuli, yang merupakan modal utama pola pikir manusia, mula-mula

melalui pendengaran telinga kemudian pikirannya memahami makna

yang terkandung. Atau mata melihat lembaran kitab dan ketika itu pikiran

memahami makna yang terkandung. Akan tetapi, yang didapat Rasulullah

Saw. mula-mula adalah kesaksian ruh kemudian mata melihat dan telinga

mendengar—“Dia dibawa turun oleh ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu”

(Q.S. asy-Syu’ara: 193—194).

Apabila malaikat pembawa wahyu menurunkan risalah Ilahiyah yang

berupa Al-Qur’an ke dalam hati suci Rasulullah Saw., maka pertama-tama

yang beliau lihat adalah hakikat Al-Qur’an dengan penglihatan ruhani,

kemudian telinga mendengar lafal-lafal Al-Qur’an yang merupakan mukjizat

Ilahiyah. Lafal-lafal Al-Qur’an adalah dari alam gaib, bukan produk

alam nyata; kandungan maknanya bukan produk malâkut. Nabi menerima

ilham tentang kandungan Al-Qur’an kemudian beliau mendengar lafal

p:353

lafalnya dan menyaksikan wahyu “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah

dia lihat” (Q.S. An-Najm: 11). Pertemuan pertama dengan penglihatan hati,

kemudian penglihatan mata, dan pendengaran telinga, “Penglihatannya tidak

berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak melampauinya” (Q.S. an-Najm:

17). Dalam surah an-Najm dijelaskan secara rinci cara Rasulullah menerima

wahyu. Di dalamnya juga terdapat penjelasan sebagaimana mi’raj, “Maka

jadilah dia dekat sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi” (Q.S.

an-Najm: 9). Kedekatan bagaimana yang dicapai Rasulullah Saw.? Simak

syair berikut:

Telah pergi dengan segala bentuknya begitu juga kembali,

sesuatu yang tidak dapat dibayangkan oleh otak seseorang.

Bagaimana beliau pergi dan bagaimana beliau datang? Hanya dia

yang tahu dan Ali bin Abi Thalib ikut juga mengetahui. Al-Qur’an secara

rinci telah menjelaskan perjalanan ini, “Kemudian dia mendekat, dan bertambah

dekat lagi, maka jadilah dia dekat sejarak ujung busur atau lebih

de kat lagi, lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah

wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Apakah

kamu hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan

sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu pada waktu yang lain, yaitu

di Sidratul Muntaha, di dekatanya ada surga tempat tinggal, ketika Sidratul

Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan Muhammad

tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak pula melampauinya” (Q.S.

an-Najam: 8—17). Artinya, Kami mengirim wahyu kepda ruh suci Rasul

yang mulia tanpa dapat diceritakan, tidak ada tempat di sana untuk sebuah

kondisi. Apabila kedudukan itu bukan sebuah kondisi, maka ilmunya

adalah ladunni, sedangkan ilmu ladunni tidak sama dengan ilmu lain yang

harus ada hukum dan premisnya. Ketika ilmu itu diambil dari sisi Allah,

maka ilmu itu menjadi ilmu ladunni, sehingga tidak ada kesempatan untuk

membicarakan tentang lafal. Di sana tidak ada kain pembungkus kalimat

dan tidak ada baju yang menutupi ucapan, kalimat, dan akad; bukan bahasa

Arab dan bukan pula Persia. Tempat pembungkus lafal adalah tempat yang

sangat rendah dari ilmu ladun, tempat bahasa Arab diturunkan dari ladun,

sebab maqâm itu bukan maqâm lafal. “Hatinya tidak mendustkaan apa yang

telah dilihatnya”. Apa yang dilihat hati bukan sebuah kebohongan dan tidak

akan berkata bohong, akan teapi melihat kenyataan. Al-Qur’an menyebut

penang kapan hudhuri dan penyaksian itu dengan ru’yah (penglihatan).

Tentang Ibrahim al-Kahlil, Allah berfirman: “Dan begitu juga Kami

memperlihatkan kepada Ibrahim tentang malâkut-malâkut langit dan bumi”

p:354

(Q.S. Al-An’am: 75). Kami telah memperlihatkan kepada Ibrahim Ruh alam

dan hubungan alam dengan Allah yang disebut dengan alam kerajaan(alam

malâkut). Ketika itu Ibrahim mendapat pengetahuan-pengetahuan gaib

denga cara peglihatan batin. Sesuai ungkapan Al-Qur’an, pemahaman nitu

disebut pemahaman hudhuri. Dan pemahaman khusus itu disebut juga

ru’yah (penglihatan). Rasulullah di sana telah melihat hakikat wahyu Ibrahim

al-Khalil telah menyaksikan Malâkut langit dan bumi.

Orang yang tidak memiliki penglihatan batin dan tidak dapat

mendapatkannya tidak akan dapat melihat masalah-masalah semacam ini,

dia adalah buta. Al-Qur’an telah menamakan sejumlah orang sebagai orang-orang

yang buta. Al-Qur’an mengatakan, “Sesungguhnya bukan mata itu

yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada dalam dada”(Q.S. Al-Hajj:

46). Mata lahir mereka tidak buta tetapi yang buta adalah mati hati mereka.

Mata lahir harus melihat sesuatu yang bersifat lahir. Mata hati yang harus

mendidih kadang menjadi tertutup, karena “Allah telah menutup hati-hati

mereka” (Q.S. Al-Baqarah: 7). Mata hati yang tertutup tidak dapat mendidih,

tannur (dapur tempat memasak roti) yang mulutnya tertutup tidak akan

menyala apinya. Tumbuh-tumbuhan yang terpendam dalam tanah tidak

akan dapat menjadi kayu, “Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”

(Q.S. asy-Syams: 10). Artinya, sungguh merugi orang yang memendam

dirinya dan tidak membiarkannya terbuka dan berkembang.

Rasulullah telah melihat wahyu itu dengan mata hatinya yang tidak

dapat diungkapkan melalui lisan. Hakikat itu tidak mungkin dapat dilukiskan

oleh pena. Jari jemari dan keterangan tidak mampu mengomentari;

kata dan tulisan serta pikiran tidak mampu menjelaskannya—“Lalu

dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah diwahyukan Allah,

sungguh hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya” (Q.S. an-Najm:

10—11). Semua yang beliau lihat adalah sesuatu yang benar. Oleh karena

beliau benar, maka dia melihat yang benar pula. Rasulullah adalah shirath

musta qim(jalan yag lurus). Di jalan yang lurus tidak terdapat tikungan dan

belokan. Inlah jalan yang dilewati dan ini pula yang menyampaikan beliau

pada tujuan. Hubungan dengan tujuan itulah yang dinamakan shirath

(jalan), dan hubungan dengan Allah sendiri itu adalah kerajaan (malâkut).

“Sungguh hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya”. Setelah beberapa

ayat, Allah berfirman, “penglihatan Muhammad tidak berpaling dari apa yang

dilihatnya dan tidak pula melampauinya” (Q.S. an-Najm: 17).

Apa yang dilihat oleh mata setelah melihat dengan hatinya, penglihatan

itu tidak akan salah dan tidak akan keliru. Matanya yang melihat

p:355

apabila tidak sehat dan tidak sempurna barangkali dapat salah atau berlebihan.

Penglihatan mata manusia yang tidak sehat ketika melihat hanya

menggunakan kekuatan separuh matanya atau terlalu terang warnanya atau

menyimpang. Bahkan, barangkali tidak melihat sesuatu sama sekali, yang

dilihat justru benda lain. Yang seharusnya melihat sesuatu tersebut malah

melihat yang lain. Yang pertama disebut zaigh (berpaling), yang kedua

disebut thughyan (melampaui/berlebihan). Barangkali kedua mata manusia

sehat, sehingga dapat melihat dan menge tahui sasaran dengan baik. Dia tahu

apa yang dia lihat dan ke mana harus memandang. Dia melihat apa yahg

harus dilihat dan dapat melihat dengan baik. Penglihatan yang demikian

ini adalah penglihatan yang tidak melampaui batas atau tidak menyimpang.

Barangkali mata dapat melihat tetapi penglihatannya menyimpang karena

matanya sakit. Arti nya, ada bagian yang tidak dilihat dengan sempurna;

melihat warna terlalu terang atau gelap, atau hanya melihat sedikit dan

tidak sepenuhnya atau salah lihat dan mengira yang nampak itu adalah

sa saran. Sesuai ungkapan Allamah Thabathaba’i—muda-mudahan Allah

membangkitkan ruhnya bersama Rasululkah Saw. dan Imam Shadiq,

karena hari-hari ini adalah hari kelahiran Rasulullah dan kelahiran bintang

keenam yang senantiasa memancarkan cahayanya di langit imamah dan

ismah—mengatakan, “Zaigh adalah orang yang melihat sesuatu yang tidak

sesuai kondisi dan keadaan semestinya, sedangkan thughyan yaitu manusia

melihat sesuatu yang tidak ada hakikatnya”.

Kesimpulan, tidak ada berpaling (zaigh) dan tiada melampaui

(thuqhyan) dalam penglihatan Rasulullah Saw. Beliau melihat sasaran

pastinya karena beliau adalah jalan yang lurus, karena beliau adalah jalan

yang kuat, sedangkan berpaling dan melampui adalah jauh dari jalan

yang lurus. Tidak pernah terbayang kata melampaui di dalam jalan Allah.

“Penglihatan Muhammad tidak berpaling dari apa yang dia lihat dan tidak

pula melampaui, dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang

Agung” (Q.S. an-Najm: 17—18). Mengapa Nabi mulia sebagai jalan yang

lurus? Karena dari sisi penglihatan, beliau telah mencapai peringkat al-‘aqlul

al-awwal (akal pertama) “Rasulullah tidak pernah berbicara kepada hamba

Allah dengan hakikat akalnya”. Dari sisi keberanian, beliau telah sampai

pada peringkat di mana tidak ada alasan untuk takut sama sekali. Bukan

karena takut lalu bersabar, bukan karena takut lalu bertahan, tetapi sama

sekali tidak punya sedikit pun rasa takut. Seperti yang dikatakan Ali bin Abi

Thalib as, “Seandainya orang-orang Arab bekerja sama untuk membunuhku,

maka aku tidak akan berpaling darinya”.

p:356

Dalam kitabnya yang terkenal, Thaharat al-A’raq, Ibn Maskawaih

mengatakan: Ali bin Abi Thalib bukan saja seorang pemberani melainkan dia

adalah hakikat keberanian. Hakikat keberanian ini nyata pada diri Rasulullah

Saw. yang beliau sendiri merupakan keberanian. Amirul Mukminin berkata,

“Apabila kekuatan kita mulai merah maka kita berlindug kepada Rasulullah

Saw. ”. Dalam hati suci Rasulullah tidak ada rasa takut karena beliau adalah

jalan yang berhubungan dengan Allah. Allah telah berfimran kepadanya,

“Maka berperanglah di jalan Allah dan tidaklah kamu dibebani melainkan

dengan kewajiban kamu sendiri” (Q.S. an-Nisa’: 84). Apabila tidak ada

yang membantumu, maka berperanglah di jalan Allah sendirian. Sekiranya

semua menjadi musuhmu, maka lawanlah sendiri di medan perang. Apabila

kekuatan bersenjata musuh berbaris mengarahkan senjatanya kepadamu,

maka bertahanlah sendirian. Apabila tidak seorang pun menjawab seruanmu,

maka jangan kamu tinggalkan medan perang. Apabila tidak seorang pun

menjawab panggilanmu, artinya seorang tentara, jangan kamu tinggalkan

medan perang—“Maka berperanglah di jalan Allah dan tidaklah kamu

dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri” (Q.S. an-Nisa’: 84). Hal

ini adalah hakikat keberanian dan keberanian tidak pernah menerima rasa

takut. Dapat jadi rasa takut memasuki jiwa seorang pemberani, tetapi rasa

takut itu tidak akan pernah berkumpul dengan hakikat keberanian. Dapat

jadi seorang pemberani merasakan takut karena keberanian bukan miliknya

hingga pada tingkatan tertentu, bukan sebagai manifestasi ismul a’zham dan

manifestasi kekuatan Allah Yang Maha kuasa. Apabila seseorang merupakan

manifestasi ismul a’zham dan manifestasi kekuatan Allah Yang Maha Kuasa

hingga dia menjadi “Maha Tahu atas segala sesuatu”, maka dia akan menjadi

saksi. Dia akan menjadi saksi umum di atas bumi ini dan menjadi manifestasi

bagi yang Maha Kuasa pada setiap waktu. Manifestasi Maha Kuasa tidak akan

menampakkan kelemahan. Kekuatannya tidak pernah merasa lemah. Dapat

jadi seorang pemberani dapat merasakan takut, tetapi rasa takut itu tidak akan

bergerak mendekati keagungan wujud Rasululah Saw. yang merupakan hakikat

keberanian. Ketika itu Allah berkata: Kobarkanlah semangat orang-orang

Mukmin untuk merealisasikan tujuan Islam—“Dan kobarkanlah semangat

orang-orang mukmin” (Q.S. an-Nisa’: 84) ketika itu—“Mudah-mudahan

Allah menolak serangan orang-orang kafir, kekuatan Allah amat besar dan

siksaan-Nya amat keras” (Q.S. an-Nisa” 84), karena “harapan” Allah memberi

batas keberadaan musuh dan mengehentikan kelaliman para penguasa.

p:357

Apabila Barat dan Timur, Rum dan Iran, serta kaum musyrik,

penyembah berhala Hijaz, dan orang-orang munafik saling bekerja sama

memerangi kamu, maka berdiri tegaklah kamu sendirian. Apakah ilmumu

dapat menjangkau keberadaan seorang manusia, menurut pandangan akal

praktis, yang mencapai tingkatan keberanian hingga memerangi seluruh

dunia? Dari sisi pandangan akal teoretis, di mana akan ditemukan sebuah

berita tentang manusia yang menjadi saksi batinnya bumi dan awalnya

zaman?—“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi” (Q.S. Al-Ahzab:

45); “Dan tidak Kami utus kamu melainkan sebagai rahmat untuk seluruh

alam” (Q.S. Al-Anbiya’: 107). Beliau (Nabi) memiliki keberanian yang sangat

kuat sehingga “Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu

sendiri”. Ketika Rasulullah pergi ke medan perang, seluruh yang bersamanya

merasa aman. Ali bin Abi Thlaib telah belajar pengalaman dari Rasulullah

Saw. Oleh karena itu, dia berkata, “Beliau adalah penutup bagi yang

terdahulu, pembuka sesuatu yang tertutup, memperjelas kebenaran dengan

kebenaran”.(1)

Rasulullah adalah penutup semua yang telah lalu. Beliau adalah

penutup kenabian dan mengantarkan risalah pada tingkatannya yang

tekrahir, mengangkat derajat manusia hingga pada ismul a’zham. Membuka

dan mempermudah setiap masalah yang tertutup dan sulit, dan tidak ada

maqâm lebih besar dari maqâm Rasulullah Saw. , jika tidak tentu akan datang

nabi lain. Tidak ada tujuan lebih mulia daripada tujuan Khatamul Anbiya,

“Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu” (Q.S. an-

Najm: 42). Shadruddin al-Qunawi dalam kitab an-Nushuhsh(2)

berkomentar berkaitan dengan tafsir ayat “dan bahwasannya kepada Tuhanmulah

kesudahan segala sesuatu”. Rasulullah kelak dibangkitkan bersama dengan

kedudukan tingginya yang beliau capai. Beliau dibangkitkan berbeda dengan

kebangkitan orang lain. Apa pun keadaannya, beliau adalah penyempurna

terakhir, pembuka jalan untuk menyelesaikan seluruh masalah masa depan.

Dan tidak ada problem teori apa pun yang tidak diselesaikan oleh kemampuan

akal Rasulullah Saw.. Tidak ada problem amaliah apa pun yang tidak terbuka

ketika berada di bawah naungan hikmah amaliahnya. Beliau penyempurna

amal orang-orang terdahulu dan pembuka jalan untuk orang lain.

p:358


1- 53 Ibid., hlm. 101.
2- 54 An-Nushush, hlm. 15.

p:359

Pelajaran XXV

Keislaman Nabi Menurut Pandangan Teoretis dan Praktis

p:360

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan

yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau

Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga

tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan

yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.

Hari yang mulia ini adalah hari peringatan lahirnya Rasulullah yang

mulia Saw. dan lahirnya Imam keenam, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq.

Kepada mereka berdua ribuan penghormatan dan pujian kami haturkan.

Pada hakikatnya, tidak ada nikmat paling agung melebihi nikmat berwilayah.

Wilayah adalah batinnya kenabian dan risalah yang tidak terpisahkan

dari imamah (kepemimpinan) dan khilafah. Mengenali seorang nabi dan

imam akan menjadi jelas dengan mengenal wilayah. Orang yang berada di

bawah pengawasan dan pengaturan Allah secara langsung, dapat menikmati

kedudukan sebagai saksi di dunia dan saksi di akhirat, terjaga dari kesalahan

pemikrian dan perbuatan maksiat (ma’shum). Seperti dalam pembahasan

sebelumnya, dia akan menjadi ismul a’zhamnya Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an,

Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai wali yang spesifik (al-Waliyy al-khash).

Dalam Al-Qur’an al-Karim Rasulullah berkata, “Sesungguhnya waliku

(pemimpinku) adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab dan Dia

memimpin orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-A’raf: 196). Saya berada di bawah

kepemimpinan Allah. Pemimpin saya secara langsung adalah Allah yang telah

menurunkan Al-Qur’an. Dia adalah pemimpin orang-orang saleh. Ketika

manusia sampai pada tingkat berada di bawah kepemimpnan Allah, maka

sang tuanlah (pemimpinlah) yang akan mengatur seluruh urusan budaknya.

Setiap apa yang dilihat, didengar, dan yang dilakukan oleh manusia

sempurna, maka dia berada di hadapan Allah dan di bawah pengaturannya.

Dengan demikian, maka dia tidak akan melakukan kesalahan, terjaga

baik pola pikirnya maupun tindakannya. Logika dan amalnya tidak

mungkin salah. Hal itu karena Allah “Yang Maha Mengetahui segala sesuatu”

sebagai pemimpinnya. Rasulullah Saw. berada di bawah kepemimpinan

Allah Swt secara langsung, maka setiap yang dipahami adalah benar karena

beliau berada dalam pengawasan Pencipta Alam, “Dan Tuhanmu tidak akan

lupa” (Q.S. Maryam: 64). Allah-lah yang mengatur urusan Rasulllah Saw.

. Tidak ada kebodohan dan tidak ada lupa dalam ilmu Allah. Allah-lah

yang mengetahui semestinya. Dia adalah pemimpin dan pengatur urusan

utusan-Nya. Dengan demikian, tidak ada kebodohan dan kelalaian bagi

Rasulullah. Setiap yang dipahami Rasulullah adalah pemahaman yang

p:361

benar; setiap yang dipahami dan dihapal dijaga dengan benar. Oleh karena

Allah Mahakuasa, maka tidak ada kelemahan bagi kekuasaan-Nya. Allah Swt

Yang Mahakuasa yang mengatur urusan Rasulullah Saw., maka Rasulullah

mampu melakukan apa saja dan tidak bertentangan atau melakukan yang

haram. Setiap yang dipahami sungguh dipahami dengan benar. Setiap yang

dilakukan pasti benar karena ilmunya adalah contoh sempurna dari ilmu

Allah. Dari sisi keilmuan, Rasulullah adalah tanda-tanda keagungan Allah

yang paling mulia; begitu juga dari sisi pandang amal. Dinukil dari Ali bin

Abi Thalib bahwa dalam sabdanya beliau mengatakan, “Aku adalah tanda

keaguangan Allah yang paling besar”. Setiap yang dimiliki Rasulullah adalah

dari kekayaan AlQur’an, karena tidak ada tanda yang lebih agung daripada

Rasulullah Saw. dan Allah tidak menciptakan seseorang yang lebih mulia

dibandingkan Rasul-Nya Saw. .

Kemudian dikatakan: Sesungguhnya Allah adalah pemimpin orang-orang

yang saleh. Dalam Al-Qur’an, sifat dijadikan sebagai lawan dari

perbuatan. Al-Qur’an membedakan antara orang-orang Mukmin dengan

mereka yang beriman, antara orang-orang musyrik dan mereka yang

melakukan kemusyrikan. Al-Qur’an juga membedakan antara orang-orang

saleh (ash-shalihin) dan mereka yang melakukan amal saleh. Sifat bukanlah

perbuatan. Setiap orang yang dalam hatinya terdapat iman dan keyakian

dengan pengetahuan-pengetahuan agama maka dia adalah mukmin. Kadang-kadang

iman itu tidak sampai pada derajat pemilikan (tidak meresap kuat

dalam hati). Orang yang demikian ini baru termasuk mereka yang beriman.

Begitu juga halnya dengan amal saleh; kadang manusia termasuk yang

melakukan amal saleh dan kadang dia menjadi orang yang saleh. Apabila

amalnya yang saleh, maka dia termasuk kategori “orang-orang yang beriman

dan melakukan amal saleh”, dan apabila dirinya yang telah mencapai

peringkat kesalehan maka dia termasuk orang-orang yang saleh. Sebagian

wali kelak di akhirat bersama orang-orang yang saleh—“Sesungguhnya dia

di akhirat tergolong orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-Baqarah: 3). Rasulullah

berkata: Sesungguhnya pemimpinku adalah Allah dan Dia memimpin

orang-orang yang saleh. Saya berada di bawah kekuasaan Allah

secara langsung. Rasulullah berada di bawah kekuasaan Allah secara

langsung karena beliau telah mencapai maqâm kesalehan dan itu juga karena

kesalehan yang Allah anugerahkan—“Sesungguhnya pemimpinku adalah

Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dan Dia memimpin orang-orang

yang saleh” (Q.S. Al-A’raf: 196). Oleh karena itu, kekasih ini yang tidak

pernah belajar di madrasah mana pun, telah meajdi guru bagi ratusan guru.

p:362

Simak syair berikut:

Kekasihku tidak pernah belajar di sekolah sama sekali,

Tidak pernah menulis satu huruf pun,

namun kini telah menjadi guru bagi ratusan guru.

Rasulullah tidak pernah membaca, tidak pernah belajar dari pikiran

manusia, tidak pernah memanfaatkan kitab atau tulisan, dan tidak pernah

meminta tolong pada seorang penulis atau orator. Ternyata beliau mencapai

kedudukan sebagai saksi mutlak, mengetahui semua rahasia alam semesta.

Semua itu karena Allah. Itulah komentar Mulla Sadra dalam kitab Mafatih

al-Ghaib (1)

yang lebih banyak membahas kenabian, risalah, wilayah, dan

karamah dengan panjang lebar. Menjelaskan perbedaan antara penglihatan

dan irfan (penglihatan batin), membedakan antara wali, nabi, dan imam,

antara hakim (orang bijak) dan ‘ârif (tahu). Dalam kitab itu Mulla Sadra

menjelaskan apa yang telah didapat Rasulullah Saw. adalah dengan cara

pemberian Ilahi dengan komentar sebagai berikut: Berkata lisan bagi para ârif,

penyair bagi para wali(yang dimaksud adalah Hafizh). Simak syair berikut:

Kemuliaan dan kedudukan itulah kenikmatan yang didapat tanpa usaha

getaran jantung. Jika tidak, maka semua kenikmatan surga hanya didapat

dengan usaha dan amal.

Kemudian menukil sebuah hadis Rasulullah yang terkenal, “Saya

adalah pemimpin semua anak Adam dan kuucapkan bukan karena bangga”.

Sebab kebanggaan itu karena usaha, bukan karena pemberian yang tidak

diusahakan, dan ini di luar pembahasan kita.

Oleh karena Rasulullah berada di bawah kekuasaan Allah, maka ilmu

dan amalnya pasti terjaga. Al-Qur’an telah menjelaskan hal itu dengan

berbagai bukti nyata atas ke-ismah-an Rasulullah dari semua kekurangan

dan kesalahan atau maksiat. Dalam surah Al-Jin dikatakan: Wahyu yang

turun dari Allah ke dalam hati Rasulullah untuk disampaikan kepada

seluruh manusia, adalah terjaga dari godaan setan. Ketika membicarakan

tentang kejadian kiamat, Al-Qur’an mengatakan, “Katakan, jika aku tahu

apakah sudah dekat apa yang dijanjikan kepada kamu ataukah Tuhanku

menjadikannya waktu” (Q.S. Al-Jin: 25). Kiamat tidak diketahui kapan akan

datang. Al-Qur’an mengatakan “Alam gaib maka tidak seorang pun tahu akan

kegaibannya, selain orang yang telah diridai dari utusan-Nya” (Q.S. Al-Jin:

26—27). Artinya, selain orang yang diterima Allah dan diridainya dari

para nabi, dan Rasulullah adalah orang yang diridai Allah. Dengan dalil

p:363


1- 55 Mafatih al-Ghaib, hlm. 470.

ini berarti Rasulullah mengetahui yang gaib tersebut. “Maka sesungguhnya

Dai mengadakan penjaga-penjaga di depan dan di belakangnya. Supaya dia

mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah

Tuhannya, sedangkan ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka,

dan Dia menghitung segala sesuatu satu demi satu” (Q.S. Al-Jin: 27—28).

Allah telah memberi penjaga benteng khusus dari malaikat untuk

menjaga jalannya wahyu, lalu mereka menjaga wahyu dari arah depan dan

belakang sehingga tidak terpengaruh oleh masukan atau peman faatan lain.

Dan juga karena kalbu Rasulullah dijaga oleh Allah. “Turun dengannya Ruhul

Amin ke dalam hatimu” (Q.S. asy-Syu’ara: 163—164). Rasulullah adalah

penjaga wahyu. Beliau mengambil wahyu dengan benar dan disampaikan

kepada manusia dengan benar pula serta tidak bakhil dalam penyampaian

dan penjelasan. Rasulullah tidak bakhil dalam mengamalkannya, tidak

salah dan tidak pula bodoh. Allah telah menjadikan untuk dirinya

penjaga—“supaya mengetahui bahwa mereka telah menyampaikan risalah

Tuhan mereka” dan menjelaskannya kepada manusia. Artinya, wahyu Allah

terjaga, sehingga sampai pada pendengaran manusia sebagai hujah(bukti)

nyata. Wahyu Ilahi sejak awal telah terjga hingga disampaikan. Akan tetapi,

ketika wahyu ini sampai pada pendengaran manusia dan diambil dengan

cara yang benar dan diamalkannya, atau barangkali mereka mengambilnya

dengan cara tidak benar dan meng amalkannya dengan bentuk yang sudah

dihias. Sebab wahyu senantiasa terjaga sejak turun hingga disampaikan

kepada manusia, “dan telah menghitung segala sesuatu dengan satu demi satu”.

Allah telah mengenalkan maqâm Risalah ini dalam beberapa tahap. Sesuai

ungkapan Allamah Thabathaba’i ra bahwa Rasulullah Saw. maksum dalam

penyampaian risalah dalam tiga dimensi:

1. Maksum di saat menerima wahyu dan mengambilnya dengan benar.

2. Maksum dalam pengambilan wahyu dan maksum di saat menjaganya.

3. Maksum di saat menyampaikan dan mendikte wahyu yang diambilnya

dan disampaikannya kepada manusia.

Adapun dimensi pertama, maka semua yang diambilnya adalah dengan

cara benar. Oleh karena itu, tidak mungkin salah di saat meng ambil wahyu.

Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kamu menerima Al-Qur’an dari sisi Yang

Maha Bijak dan Maha Tahu” (Q.S. An-Naml: 6). Ruhmu bertemu dengan

wahyu dan kamu menerima ilmu Allah dengan hadirnya Sang Maha Bijak

dan Maha Tahu. Apabila manusia tidak mema hami wahyu dengan benar,

maka dia tidak akan dapat menerima wahyu, sedangkan di sisi Allah tidak

p:364

ada godaan setan. Tidak ada kemungkinan salah. Semua yang ada pada Allah

adalah benar. Kemungkinan salah akan terjadi apabila berada di tempat yang

dapat salah dan benar. Oleh karena itu, ada yang disebut meragukan karena

berada pada tempat yang mung kin salah. Tempat yang terdapat kebohongan

dan kejujuran akan ada sesuatu yang meragukan yang itu kemungkinan

jujur dan kemungkinan bohong.

Pada suatu tempat yang tidak ditemukan kesalahan, maka kemungkinan

salah pun tidak akan ada. Kesalahan, penyimpangan, kesesatan,

dan penipuan, semuanya berasal dari godaan setan. Dan kalau saja tidak

ada jalan bagi setan mengganggu wahyu dan secara langsung setan telah

mengakui bahwa tidak ada jalan baginya mendekati orang-orang yang

ikhlas, dan apabila setan terkutuk dan telah dikutuk dan diusir, maka tidak

ada jalan bagi setan untuk mendekat kepada Allah. Apabila “di sisi raja yang

Mahakuasa” (Q.S. Al-Qomar: 55) tidak ada jalan bagi setan, apabila tidak

ada jalan untuk menggoda Allah, dan apabila jalan untuk menipu Allah

tidak ada, maka sesungguhnya daerah operasi setan hanya berada di alam

materi dan khayali. Setan yang batas keberadaannya hanya pada tingkatan

kahyali, tidak ada jalan baginya untuk merusak keamanan akal semata.

Apabila tangan yang terulur kembali ke dada manusia yang tidak terjaga,

dan apabila setan tidak mampu merusak keamanan kebe naran, maka di sana

tidak ada kesalahan.

Jika kemungkinan salah tidak ada, maka kemungkinan keliru juga

tidak ada. Sebab hanya ada satu jalan, yaitu jalan benar; dan apabila hanya

ada jalan benar, maka tidak ada jalan lain yang diragukan. Apabila Amirul

Mukminin a.s. yang merupakan jiwa (nafs) Rasulullah, dalam Nahjul

Balghah berkata, “Aku tidak meragukan kebenaran sejak aku melihatnya”.(1)

Hal itu karena ketika berada di bawah kekuasaan Allah, di daerah kenabian

dan imamah, tidak ada jalan bagi setan dan tidak ada tempat untuk salah.

Kalau tidak ada kesesatan, kebodohan, dan kesalahan, maka berarti tidak ada

juga keraguan. Ragu itu didapatkan oleh manusia karena ketidaktahuannya

mengenai orang ketiga, apakah termasuk kelompok benar atau kelompok

batil. Jika tidak ada selain kebenaran, maka tidak akan ada wujud ketiga

yang diragukan. Berdasarkan ini, maka pada maqâm pengambilan wahyu

dan karena wahyu itu adalah “amin” “turun dibawa oleh Ruhul Amin”

(Q.S. asy-Syu’ara: 193), maka Rasulullah Saw. adalah maksum. Dia pergi

menemui wahyu dan bertemu dengannya, “Dan sesungguhnya kamu telah

menerima Al-Qur’an dari yang Maha Bijak dan Maha Tahu” (Q.S. An-Naml:

p:365


1- 56 Nahjul Balaghah, Subhi Shaleh, hlm. 51.

6) dan apa pun yang dibawa Ruhul Amin semua diambil Rasulullah Saw. .

Adapun dimensi kedua, yaitu bahwa setiap yang dipahami Rasulullah

Saw. , beliau akan menghapalnya (menjaganya) dengan benar. Oleh karena

tempat ilmu Rasulullah Saw. jauh dari godaan setan, maka tidak mungkin

setan datang menghapus suatu masalah dan menggantikan dengan masa lah

lain. Tidak ada khayalan yang merasuki kesucian akal Rasulullah sehingga

dapat menambah atau mengurangi suatu masalah atau menggantikannya

dengan yang lain. Tidak ada angan-angan yang dapat merasuki kesucian

wahyu, sehingga dapat mengurangi, menambah, atau menggantikannya.

Pengubahan dalam wahyu bukan hal yang mudah karena tidak ada

jalan bagi setan dan iblis untuk datang mengurangi, menambah, atau mengubahnya.

Pengurangan, penambahan, dan pengubahan adalah tindakan

khayali yang berasal dari dalam yang merupakan sebab terdekat atau iblis

dari luar yang merupakan sebab dari jauh. Dua musuh luar dan dalam ini,

baik keduanya melakukan rekayasa dari dalam atau yang satu dari dalam

dan yang lain dari luar, tidak ada jalan bagi keduanya untuk mendekati

kesucian wahyu masuk ke dalam tempat ilmu Rasulullah Saw. dan merusak

atau mengubahnya. Al-Qur’an al-Karim mengatakan, “Akan Kami bacakan

kepadamu maka kamu tidak akan lupa” (Q.S. Al-A’la: 6). Sesungguhnya

kamu(Muhammad) bukan orang pelupa. Dan kalimat “Illa ma sya Allah”

(kecuali Allah menghendaki) adalah sebuah penekanan yang bersifat

pengecualian, bukan berarti pengecualian tersebut sama denga kalimat “Illa

ma sya rabbuka”(kecuali apa yang dkehendaki Tuhanmu) yang terdapat

dalam ayat, “Mereka berada di dalamnya selamanya selama langit dan bumi

ada kecuali apa yang dikehendaki Tuhanmu” (Q.S. Hud: 107).

Pengecualian ini sebuah penekanan saja. Artinya, apa yang ada adalah

karena kehendak kekuasaan Allah, tidak ada penyerahan (tafwidz) sehingga

dapat keluar dari kehendak Allah. Peringkat ini dinamakan sebagai peringkat

penjagaan wahyu Ilahi. Dalam kitab Nahjul Balaghah, Amirul Mukminin

a.s. memuji Rasulullah Saw. dengan ucapannya, “Tempat ilmu-Mu sungguh

sangat terjaga”. Ilmu-Mu tersimpan pada diri Rasulullah Saw. . Kunci-kunci

ilmu gaib ada pada Allah—“Dan terdapat pada-Nya kunci-kunci gaib” (Q.S.

Al-An’am: 59). Apabila Rasulullah berada di sisi Allah bertemu dengan

wahyu, berada di sisi Raja yang Mahakuasa, berarti kunci-kunci ilmu gaib

diketahui oleh wali Allah, karena beliau sendiri adalah kunci ilmu gaib. Hal

yang gaib adalah bagian dari alam serba mungkin, kunci alam gaib juga

bagian dari alam tersebut. Berarti, alam semesta adalah bagian dari alam

imkan itu sendiri. Dan apabila Rasulullah berada di sisi Allah, berarti beliau

p:366

mengetahui kunci-kunci ilmu gaib yang diketahui oleh wali Allah, karena

beliau sendiri adalah kunci ilmu gaib. Hal yang gaib adalah bagian dari alam

serba mungkin. Kunci alam gaib juga bagian dari alam tersebut. Berarti, alam

semesta adalah bagian dari alam imkan itu sendiri. Dan apabila Rasulullah

berada di sisi Allah, berarti beliau mengetahui kunci-kunci alam gaib dan

mengetahui sebab-sebab kegaiban. Hal itu karena “sebab” adalah kunci

semua sebab. “Sebab” adalah kunci dari akibat. Penyebab pertama adalah

kunci penyebab kedua. Semua itu berada di sisi Allah sedangkan Rasulullah

berada di sisi-Nya. Oleh karena itu, tidak ada jalan bagi Rasulullah untuk

berbuat salah atau lupa pada ilmunya—“Kami akan membacakan kepadamu

maka kamu tidak akan pernah lupa”.

Dimensi ketiga adalah peringkat penyampaian wahyu dengan cara

dikte dan tabligh, dan lain-lain. Setiap yang diucapkan oleh lisan Rasulullah

atau yang keluar dari mulutunya yang penuh berkah adalah kelanjutan dari

wahyu—“Dan dia tidak berkata karena hawa nafsu, melainkan itu karena

wahyu yang diwahyukan” (Q.S. an-Najm: 3—4). Setiap yang diucapkan

Rasulullah adalah wahyu, baik dalam bentuk Al-Qur’an atau dalam bentuk

hadis atau dalam bentuk hadis qudsi. Beliau adalah pelaksana apa yang

difirmankan Allah karena Allah sebagai pemimpinnya—“Sesungguhnya

pemimpinku (pelindungku) adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab Al-

Qur’an”.

Pengikatan sebuah hukum karena adanya sebab—“Dan Dia melindungi

orang-orang saleh”. Berarti perlindungan urusan Rasulullah Saw. berada di

tangan Allah dengan cara menurunkan wahyu. Dengan cara ini

Allah berkata, “Lakukan demikian”. Dengan cara itu pula Allah mengatakan,

“Jangan kamu lakukan demikain”—“Jangan kamu gerakkan lisanmu

untuk membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya” (Q.S.

Al-Qiyamah: 16). Jangan kamu gerakkan lisanmu, jangan tergesa-gesa kamu

berucap sebelum kamu menerimannya melalui wahyu. Biarkan wahyu Ilahi

itu berjalan hingga sampai kepadamu. Ruh, akal, dan ucapanmu adalah

jembatan penyeberangan wahyu. Artinya, jadilah kamu sebagai reporter

wahyu(wakil). Apabila kamu menjadi reporter wahyu, maka kamu akan

menjadi saksi dan cahaya yang menyinari—“Pembawa berita dan pemberi

peringatan, yang menyeru kepada Allah (Q.S. Al-Ahzab: 45—46). Tiga tahap

ini dan kemaksuman Rasulullah Saw. yang telah disaksikan Allah, Allah

berkata: Sadarilah lisan Rasulullah dengan kesadaran yang maksum dan

tempat hapalan beliau adalah maksum.

Akal Rasulullah Saw. adalah maksum dalam menerima wahyu, yang

p:367

merupakan nikmat paling utama. Setiap ilmu yang ditangkap oleh akal

Rasulullah didapatkannya dengan cara yang benar. Akan tetapi, praktiknya

harus diketahui, apakah setiap yang beliau dapatkan dikatakan atau tidak,

apakah seluruh yang didapatkan itu diucapkan atau tidak. Hingga sekarang

terbukti bahwa setiap yang diucapkannya adalah benar. Apakah setiap yang

beliau dapatkan disampaikan atau tidak? Dalam surah Takwir dikatakan:

Rasulullah bukanlah seorang penebak atau khayali, sehingga sebagian yang

diwahyukan kepadanya tidak dikatakan. Setiap orang akan mendapatkan

bagiannya dari Rasulullah sesuai kemampuan masing-masing. “Kami para nabi

diperintahkan berbicara kepada manusia sesuai kemampuan akal mereka”.

(1)

Beliau tidak pernah berbicara kepada orang lain dengan ukuran pikiran dan

akal beliau kecuali kepada Ahlulbait yang maksum dan suci, “Rasulullah

tidak pernah berbicara kepada hamba dengan hakikat akalnya sama sekali”.(2)

Pensyarah Ushul al-Kafi seperti Mulla Sadra, memberi pengecualian

terhadap Ahlulbait as. Nikmat yang paling agung adalah nikmat keberadaan

wahyu. Allah berfirman: “Dan dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil

untuk menerangkan yang gaib”. Pengetahuan ini adalah nikmat yang paling

mahal yang pernah disampaikan kepada manusia. Rasulullah bersabda,

“Yang paling pemurah adalah Allah Jalla Jallaluhu dan aku adalah yang

paling pemurah di antara anak Adam”. Allah Maha Pemurah dari setiap yang

pemurah dan tidak ada yang paling dermawan di alam ini selain aku. Rasulullah

Saw. adalah manusia yang paling pemurah di antara manusia pemurah.

Pada pertemuan sebelumnya telah kami utarakan bahwa Rasulullah Saw.

bukan saja sebagai pemberani akan tetapi—sesuai ungkapan Maskawaih—

beliau adalah hakikat keberanian. Di sini perlu dikemukakan bahwa

Rasulullah bukan saja seorang pemurah akan tetapi beliau adalah jelmaan

dan hakikat dari kemurahan itu sendiri, bukan saja sebagai cahaya yang

menerangi ilmu akan tetapi beliau adalah pemurah dalam amal. Pemurah

yang tidak boros dan menghamburkan. Oleh karena orang yang

pemurah adalah orang yang memberi pada tempatnya, dan karena seluruh

amal Rasulullah Saw. maksum dan terjaga dari kesalahan, maka pemberian

beliau adalah kedermawanan pula. Oleh karena beliau telah menyebar

benih-benih ilmu di alam ini, karena beliau telah memberi materi dan itu

dilakukan pada tempatnya, maka beliau adalah seorang dermawan.

Pemborosan dan kikir merupakan dua sifat yang berlebihan. Keduanya

merupakan sifat yang tidak tepat untuk orang yang dermawan. Orang

p:368


1- 57 Ushul al-Kafi: Kitab al-Aqlu wa al-Jahlu, juz 15.
2- 58 Ibid., juz 15.

yang menyebar benih yang bukan pada tempatnya disebut berlebihan, dan

pelakuanya disebut mubazir (pemboros). Benih itu tidak akan tumbuh besar

dan tidak akan memberi buah karena berlebih-lebihan. Artinya, mubazir

adalah orang yang menyebar benih bukan pada tempatnya, sedangkan

pemurah adalah orang yang menyebarnya pada tempatnya. Rasulullah

berkata, “Di seluruh lapisan masyarakat bahkan di alam semesta ini tidak

ada orang yang memiliki kedermawanan seprti kedermawananku karena

aku telah datang kepada manusia dengan membawa nikmat yang paling

utama—“Dermawan yang paling derma adalah aku”. Meksipun demikian

dilihat dari sudut kedermawanan secara lahir, beliau telah sampai pada

tingkat pengorbanan kepada umatnya dengan beberapa unta ketika berada

di Manasik Mina. Beliau bukan saja sebagai dermawan dalam bidang ilmu

tetapi juga materi. Beliau tidak pernah mengucapkan kata “tidak”. Imam

Sajjad juga tidak pernah mengucapkan kata “tidak”:

Tidak pernah berkata “tidak” kecuali dalam tasyahhud.

sekiranya bukan karena tasyahhud maka kata “tidak” nya adalah “ya”.

Apabila orang-orang maksum a.s. memiliki kedermawanan, maka

kedermawanan mereka itu berasal dari kedermawanan Rasulullah Saw. .

Apabila mereka memiliki ilmu dan kemaksuman, maka keduanya sangat erat

hubungannya dengan ilmu dan kemaksumannya Saw. . Ini adalah berkah

berwilayah, yaitu wilayah yang kadang berbentuk kenabian, dan kadang

berbentuk khilafah. Wilayah ini berupa imamah. Oleh karena itu, beliau

adalah pemimpin bagi orang-orang yang takwa. Mengapa? Karena beliau

sendiri telah menjelma dalam perjalanan takwa dan menjadi panutan orang-orang

yang bertakwa. Beliau pula yang mengajari takwa, beliaulah yang

membina orang-orang yang bertakwa. Beliau yang menerangkan ketakwaan

dan orang-orang yang ber takwa berada di bawah perlindunganya—“Dan

dia(Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang

gaib” (Q.S. at-Takwir: 24). Rasulullah juga menjelaskan masalah-maslaah

metafisik.

Allah menganggap bahwa nikmat risalah adalah mencakup setiap alam.

Allah juga menjanjikan bahwa agama ini, dari sisi ketinggian, ujungnya

sampai pada Sidratul Muntaha. Dan karena luasnya, agama ini akan abadi

hinga Hari Kiamat. Dari sisi derajat, “Mendekat dan terus mendekat, hingga

sebatas dua anak busur atau kurang”, sampai pada maqâm tertinggi yang tidak

dapat dibayangkan. Dilihat dari waktu, agama ini sampai pada derajat sebagai

agama yang universal mencakup semua alam. Dalam beberapa tempat, Al-

Qur’an menjelaskan tentang cakupan Al-Qur’an dan wahyu Rasulullah Saw.

p:369

terhadap semua alam—“Dialah yang mengutus utusan-Nya dengan membawa

petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama

walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya” (Q.S. at-Taubah: 33

dan Q.S. ash-Shaf: 9); “dan cukup Allah sebagai saksi” (Q.S. Al-Fath: 28).

Apapun upaya yang dilakukan oleh orang-orang kafir dengan berbagai

pemikiran untuk membentengi diri melawan Islam, apa pun pertahanan

orang-orang muysrik, maka mereka tetap tidak akan mampu mengahalangi

kekuatan Islam dan tersebarnya risalah Islam ke seluruh dunia. Mengapa?

Karena saksi kekuatan dan tersebar luasnya ke seluruh dunia adalah Allah.

Allah mengatakan: Para utusan yang membawa wahyu kepadamu adalah

saksi atas risalah yang kamu bawa, sedangkan wahyu adalah saksi atas

kebenaran pengaku kenabian—“Dan berkata orang-orang yang kafir: ‘Kamu

bukanlah utusan’” (Q.S. ar-Ra’d: 43). Rasulullah berkata kepada mereka:

Aku adalah utusan Allah kepadamu, dan saksi atas pengakuan ini adalah

Allah. Allah-lah saksi atas kebenaran pengakuan risalahnya—“Katakanlah,

‘Cukup Allah saksi antara aku dan kamu’“. Artinya, katakan bahwa Allah-lah

yang menjadi saksi, dan sanad (sandaran kekuatan) kesaksian Allah adalah

wahyu-Nya. Al-Qur’an yang ada pada saya adalah kalam Allah. Apabila

kamu meragukannya, maka bawakanlah satu surah kecil yang sama. Allah

telah menjadi saksi bahwa aku adalah utusan-Nya. Hal itu karena kitab-Nya

ada pada saya dan sebagai mukjizat.

Apabila mukjizat para nabi sangat terbatas dan bersifat kondisional,

maka mukjzat Rasulullah Saw. bersifat umum dan luas. Bercakap (takallum)

dan percakapan (taklim) bagi sebagian nabi tekadang sebagai mukjizat, akan

tetapi bagi Rasulullah bercakap (takallum), percakapan (taklim) dan kalam

adalah mukjizat. Nabi Isa a.s. pada usia kecil sudah dapat berbicara di

mana orang seusia dia tidak akan mampu melakukannya—“Mereka berkata,

‘Bagimana kami dapat berbicara dengan orang yang masih kecil berada di

ayunan’” (Q.S. Maryam: 29). Pada usia kecil seseorang sulit berbicara, tetapi

Ruhullah Masihullah telah mampu berbicara pada usia kecil, dan itu sebagai

mukjizat, “Dia berkata, aku adalah hamba Allah, telah dibe rikan kepadaku

kitab dan menjadikan aku seorang nabi” (Q.S. Maryam: 30). Musa al-Kalim

a.s. dapat mendengar percakapan Allah—“Dan Allah telah berbicara keapda

Musa dengan pembicaraan yang sebenarnya”. Diajak ber bicara dan mendengar

percakapan Allah adalah sebuah mukjizat. Allah berbicara dengannya dan dia

mendengar percakapan Allah. Sementara orang lain tidak mampu mendengar

pembicaraan Allah, sedangkan Musa mampu melakukan hal tersebut.

p:370

Rasulullah memiliki mukjizat yang dinamakan berbicara(bercakap).

Karena, seorang yang buta huruf yang tidak dapat membaca, ketika

berbicara dengan wahyu maka pembicaraan tersebut adalah mukjizat.

Apabila manusia yang masih berusia muda berbicara dengan pembicaraan

yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain, hal itu adalah mukjizat. Seorang

yang berbicara pada waktu yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain, maka

itu adalah mukjizat. Apabila seorang buta huruf yang tidak kenal baca dan

tulis lalu membaca, maka itu adalah mukjizat. Seorang buta huruf berbicara

di luar kebiasaan manusia biasa itu adalah mukjizat. Bukan saja Allah

berbicara dengan Rasulullah pada waktu mi’raj tetapi juga pada selain mi’raj

pun dilakukannya. Adapun yang berkaitan dengan mi’raj jelas itu sebuah

mukjizat yang tidak dapat diingkari. Dalam mi’raj terdapat dua pembicaraan

yang dikutip pada akhir surah Al-Baqarah, “Rasulullah beriman dengan

apa yang telah diturunkan kepa da nya dari Tuhan nya dan orang-orang yang

beriman mengatakan semua beriman kepada Allah”. Rasulullah mendengarkan

pembicaraan Allah tanpa menggunakan perantara. Inilah yang dinamakan

taklimu Allah. Akan tetapi, Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah adalah

sebuah mukjizat. Sebab tidak seorang pun mampu berbicara seperti Al-

Qur’an. Mukjizat Rasulullah bukan hanya berada pada planet langit dan

lain-lain. Simak syair berikut:

Engkaulah yang menunjuk dengan ujung jarimu,

lalu bulan melem par kan gugusannya dari langit berkeping-keping.

Berbagai mukjizat ilmiah yang merupakan mukjizat terbesar ada pada

Rasulullah Saw. . Oleh karena itu, Allah berfirman, “Dan cukuplah Allah

sebagai saksi”. Allah telah bersaksi bahwa Al-Qur’an ini adalah kalam-Nya.

Apa pun sikap orang-orang musyrik, kafir, dan orang-orang munafik untuk

melawan Islam, maka Islam tetap akan mengalahkan mereka—“Cukuplah

Allah sebagai saksi”, dan ketika Allah megenalkan Rasul-Nya dengan

sifat-sifat mulia tersebut, Allah mengatakan: Jagalah sikap baik kalian

terhadap Rasulullah. Perlakuan baik sesuai kondisi disebut “adab”. Ketika

Ibn Abbas ditanya, “Apakah kamu lebih tua atau Rasulullah?” Ibn Abbas

menjawab, “Beliau lebih besar dan aku lebih berumur”. Sikap lembut dalam

pembicaraan semacam ini disebut “kecerdasan adab”. Menurut ungkapan

Alamah ra: Adab seorang Mukmin adalah munculnya sikap bertauhid pada

seluruh akidah, akhlak, dan tindakannya. Sikap lembut dan manis disebut

pula “adab”. Rasulullah adalah manusia yang beradab dengan adab Ilahi.

Kepada kita Allah berpesan: Bersikaplah kalian pada Rasulullah dengan adab

yang baik, jangan kamu panggil namanya dengan biasa, jangan kamu panggil

p:371

dengan suara keras, jangan kalian mendahuli berbicara, jangan jadikan suara

kalian di atas suara Nabi Saw. . Sekarang juga, ketika kamu pergi berziarah

ke makam Rasulullah Saw. janganlah kamu berziarah dengan suara keras,

dan yang demikian ini adalah adab Al-Qur’an. Dalam surah Al-Hujarat

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului

Allah dan Rasul-Nya”, dan juga seperti, “Hendaknya mereka tidak

mendahului berbicara sedangkan mereka harus melakukan perintahnya”.

Para malaikat Allah tidak berani mendahului Rasulullah dalam

berbicara. Mereka mengikuti perintah-perintah Ilahi. Dan kamu malaikat

biasa jangan sekali-kali mendahului Allah dan Nabi-Nya berbicara.

Jadikanlah pikiran, akhlak, dan amal kalian selalu mengikuti perintah

Allah dan Nabi-Nya; berjalanlah kalian di belakang mereka, “Jangan kamu

mendahului Allah dan Rasul-Nya dan takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Dalam ayat sesudahnya

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu

mengangkat suara kamu di atas suara Nabi”. Pada zaman Jahiliyah, ketika para

raja hendak menggantikan tahun Hijriyah dengan tahun mereka, mereka

sengaja mendahului Rasulullah—Al-Qur’an mengatakan; janganlah kamu

menjadikan suara kamu di atas suara Nabi, jangan kamu mengutamakan

sejarah masa lalumu dan nasionalisme di atas agama Allah. Singkirkan

itu semua. Jadikanlah Rasulullah sebagai panutan kalian.

* * * *

p:372

Indeks

A

Akhirat 260

Akhlak 157, 159, 325

Alam x, 22, 139, 151, 154, 175, 179,

190, 206, 252, 258, 260, 266,

267, 269, 271, 273, 285, 287,

291, 294, 296, 311, 312, 314,

361, 363

Amal 22, 104, 286, 331

B

Barzakh 185

D

Dermawan 369

Dunia 17, 58, 59, 197, 215, 217, 252,

270, 282, 302, 303

H

Haq 86, 171, 188, 258, 270, 280, 285,

297, 311

Hari perhitungan 283

Hijaz 26, 233, 238, 249, 313, 358

Hikmah 15, 272, 305

I

Iblis 109

J

Jahanam 167, 178, 183, 194, 311,

315, 316, 344

K

Kehidupan 80, 83, 85, 88, 217, 287,

289, 302, 311

p:373

Kematian 83, 85, 89, 94, 196, 313,

316

Kesaksian 324, 325, 330, 331, 337,

338

Kiamat 23, 24, 26, 27, 63, 71, 73, 74,

75, 79, 80, 81, 105, 118, 120,

122, 148, 151, 171, 173, 175,

176, 177, 178, 179, 180, 181,

182, 183, 184, 187, 188, 189,

190, 192, 193, 196, 197, 203,

217, 233, 234, 237, 238, 239,

240, 241, 242, 244, 245, 247,

249, 250, 251, 253, 255, 256,

260, 261, 265, 266, 273, 274,

275, 279, 280, 283, 286, 287,

288, 289, 290, 293, 294, 296,

297, 298, 300, 303, 307, 311,

314, 315, 316, 322, 323, 324,

325, 329, 333, 334, 335, 336,

337, 338, 339, 340, 350, 363,

369

M

Ma’ad vi, 267, 271, 277, 283, 291,

305

Mabda’ 1

Makrifat 33, 199

Maksum 321, 364

Malaikat 178, 313

Mukjizat 90, 371

Mukmin 13, 14, 15, 38, 39, 41, 52,

53, 57, 80, 97, 178, 192, 193,

194, 195, 219, 220, 221, 222,

224, 236, 284, 288, 328, 335,

337, 347, 348, 352, 357, 362,

371

N

374 Makna Hari Kiamat dalam Al-Qur’an

Nabi 19, 21, 42, 45, 46, 52, 53, 54,

63, 71, 72, 97, 106, 144, 169,

178, 190, 194, 220, 221, 225,

237, 238, 239, 240, 242, 243,

244, 281, 315, 319, 323, 327,

336, 339, 340, 345, 347, 349,

350, 351, 353, 356, 358, 359,

370, 372

P

Pencipta 22, 40, 73, 79, 86, 90, 91,

93, 132, 133, 134, 140, 145,

146, 152, 153, 155, 168, 184,

190, 227, 233, 234, 237, 249,

270, 289, 298, 314, 361

R

Rasul 20, 21, 26, 30, 31, 39, 41, 43,

44, 46, 53, 58, 62, 64, 70, 72,

89, 91, 102, 115, 120, 124, 164,

165, 197, 203, 210, 220, 221,

222, 224, 238, 239, 240, 243,

244, 253, 323, 326, 327, 328,

330, 333, 334, 336, 342, 343,

350, 351, 353, 354, 361, 362,

371, 372

Ruh 185, 194, 197, 280, 325, 334,

335, 336, 348, 355, 367

S

Saksi 166, 319, 322, 334, 336, 337

Saleh 113

Samawi 17, 160

Setan 71, 108, 109, 117, 118, 123,

365

Surga 169

Syahid 335

T

Tabarri 33, 99

Tabir 340

Takwa 40, 199, 212, 215, 218

Tauhid 4, 23, 83, 299, 334

Tawalli 33, 36, 99

Thagut 236

Tuhan x, 3, 6, 8, 20, 22, 23, 31, 47,

70, 71, 73, 75, 85, 86, 87, 91,

101, 102, 115, 116, 119, 135,

136, 144, 145, 146, 147, 148,

153, 154, 155, 166, 170, 178,

180, 181, 182, 198, 214, 218,

227, 239, 240, 241, 244, 256,

266, 280, 285, 290, 294, 295,

296, 298, 300, 307, 308, 310,

311, 312, 313, 314, 328, 342,

364

U

Umat 102, 319, 323

W

Wahyu 17, 363, 364

Wali 41, 102, 104, 105, 115

p:374

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109