سرشناسه : جوادی آملی، عبدالله، 1312 -
عنوان و نام پدیدآور : Makna Hari Kiamat Dalam Al-Qu’ran: perspektif agama, falsafah, dan irfan/ Jawadi Amuli; penterjemah Muhammad Abdul Qadir Alkaf, Miqdad Turkan.
مشخصات نشر : Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.
مشخصات ظاهری : 374ص.؛ 5/14×5/21 س م.
فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/259/166. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 5.
شابک : 175000ریال 978-964-195-029-5 :
وضعیت فهرست نویسی : فاپا
یادداشت : اندونزیایی.
یادداشت : این کتاب ترجمه جلد4 و 5 به نام معاد در قرآن از کتاب تفسیر موضوعی قرآن کریم است.
موضوع : معاد -- جنبه های قرآنی
شناسه افزوده : الکاف، محمد، مترجم
شناسه افزوده : Alkaff, Muhammad
شناسه افزوده : ترکان، مقداد، مترجم
شناسه افزوده : Turkan, Miqdad
رده بندی کنگره : BP104 /م57 ج9 1393
رده بندی دیویی : 297/159
شماره کتابشناسی ملی : 3649485
p:1
p:2
Ayatullah Jawadi Amuli
pusat penerbitan dan
penerjemahan internasional al Musthafa
penerjemah:
Muhammad Abdul Qadir Alkaf
Miqdad Turkan
Makna Hari Kiamat Dalam Al-Qu’ran
perspektif agama, falsafah, dan irfan
Makna Hari Kiamat Dalam Al-Qur’an Perspektif Agama, Falsafah, Dan
Irfan
penulis: Ayatullah Jawadi Amuli
penerjemah: Muhammad Abdul Qadir Alkaf, Miqdad Turkan
cetakan: pertama, 1393 sh / 2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-029-5
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
p:3
Stores:
IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
مؤلف: آیت الله عبدالله جوادی آملی
مترجم: محمد عبدالغدیر الکاف، مقداد ترکان
چاپ اول: 13 93 ش / 2014 م
چاپخانه: نارنجستان
ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم
تیراژ: 300
قیمت: 175000 ریال
معاد در قرآن
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
p:4
p:5
p:6
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Al-Allamah asy-Syaikh Abdul Jawadi Amuli termasuk salah seorang
ustaz Hauzah ‘Ilmiyah yang paling menonjol di bidang tafsir, falsafah, dan
‘irfan di Qum. Beliau mengajar ilmu-ilmu ini sejak beberapa tahun dan
majelis taklimnya diikuti oleh banyak pelajar. Banyak sekali kitab-kitabnya
yang telah dicetak yang bertemakan Al-Qur’an, falsafah, atau pemikiran
umum. Sebagian besar kitab-kitab tersebut berkaitan dengan ceramahceramah
yang disampaikannya kepada murid-muridnya atau dalam
kesempatan-kesempatan umum. Sebagian lainnya adalah karya tulisnya
sendiri. Salah satu kitab itu berisi pelbagai topik Al-Qur’an yang terdiri atas
lebih dari sepuluh juz yang disampaikannya pada saat ceramah di televisi,
yang kemudian dicetak menjadi kitab.
Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan salah satu bagian
dari ceramah-ceramah tersebut yang terdiri atas dua puluh lima ceramah.
Sebagian besar berfokus pada masalah Hari Kemudian (Ma‘ad), di
samping ada cuplikan-cuplikan beberapa masalah yang lain. Kami telah
menerjemahkannya ke bahasa Arab dari cetakan bahasa Persia. Kami sama
sekali tidak membuang salah satu paragrafnya yang masih berhubungan
dengan tema yang ditampilkan. Bahkan, kurang lebih kami tetap
membiarkan teks sesuai dengan bentuk harfiahnya dan urutannya secara
utuh. Usaha kami ini dalam rangka menonjolkan makna dengan pengertian
yang sebenarnya tanpa melen ceng atau melanggar metode kitab dan lafallafalnya.
Harapan kami, mudah-mudahan kami tepat dalam menghadirkan teks
p:viii
p:7
ini ke hadapan pembaca yang menguasai bahasa Arab, sehingga mampu
memanfaatkannya untuk mengenal topik-topik yang tersaji di dalamnya
dan pemikiran pengarang serta jalannya.
Segala puji bagi Allah, Tuhan Pengatur Alam Semesta.
Dar ash-Shafwah
p:ix
p:8
Pengantar Penerbit ix
Pelajaran I
Keyakinan terhadap Asal-Muasal(Mabda’), Hari Kemudian, dan
Argumentasinya 1
Derajat-derajat Tauhid 4
Tauhid ‘ibadi dan Argumentasi Gerakan (Burhanul Harakah) 4
Bagian-bagian Gerakan 5
Gerakan dalam jiwa manusia 15
Pelajaran I I
Wahyu Samawi dan Jalan-jalan Pemikiran dalam Pandangan Falsafah
Dunia 17
Pelajaran I I I
Ilmu dan Makrifat adalah Lahan Kecintaan (Tawalli) dan
Kebencian(Tabarri) 33
Pelajaran IV
Cinta, Jalan Allah, dan Caranya 49
Pelajaran V
Pelbagai Jalan Untuk Mengenal Allah dalam Pandangan Al-Qur’an 67
p:x
p:9
Pelajaran VI
Kehidupan dan Kematian adalah Salah Satu Dalil Tauhid 83
Pelajaran VII
Al-Qur’an Al-Karim sebagai Sebab Tawalli Dan Tabarri yang Terpenting
99
Pelajaran VIII
Al-Qur’an adalah Sarana Satu-satunya untuk Mencapai Maqâm Orangorang
Saleh 113
Pelajaran IX
Allah adalah Sebab Utama dari Seluruh Wujud 127
Pelajaran X
Allah SWT Pembimbing Setiap Gerakan 141
Pelajaran XI
Mengenal Tolok Ukur Akhlak 157
Pelajaran XII
Kiamat Hari Penyingkapan Kebenaran(Al-Haq) 171
Pelajaran XI I I
Barzakh, Ruh yang Immateri, dan Perubahan, serta Ketetapan 185
Pelajaran XIV
Mengenal Jalan Makrifat dan Jalan Takwa 199
Pelajaran XV
Takwa adalah Dasar Pandangan Internal terhadap Dunia 215
Pelajaran XVI
Argumentasi Hari Kemudian dan Pentingnya Keyakinan tentangnya 231
Pelajaran XVI I
Kiamat Penutup Segala Bentuk Perselisihan dan Kebatilan 247
Pelajaran XVI I I
Tujuan Penciptaan 263
p:xi
p:10
Pelajaran XIX
Ma’ad Berdasarkan Keadilan Ilahi 277
Pelajaran XX
Perlunya Ma’ad dari Sisi Pandang Gerakan Kesempurnaan Alam 291
Pelajaran XXI
Pentingnya Ma’ad dari Sisi Hikmah Pemikiran 305
Pelajaran XXI I
Para Nabi adalah Saksi Perbuatan Setiap Umat 319
Pelajaran XXI I I
Jalan Menuju Kesaksian Amal 331
Pelajaran XXIV
Kelebihan-Kelebihan Nabi yang Termulia 345
Pelajaran XXV
Keislaman Nabi Menurut Pandangan Teoretis dan Praktis 359
Indeks 373
p:xii
p:11
p:12
Asal-Muasal(Mabda’),
Hari Kemudian, dan
Argumentasinya
p:1
p:2
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Dari pelajaran terdahulu jelaslah bahwa tidak ada nikmat yang lebih
tinggi daripada yakin, dan tidak ada juga sesuatu yang lebih rendah daripada
yakin. Yakin adalah kepastian yang sesuai dengan realitas yang tidak dapat
salah. Barang siapa mencapai maqam (tingkat) yakin dalam tauhid, maka
dia merasakan suatu kenikmatan yang tidak dibarengi dengan segala bentuk
kesedihan dan ketakutan. Dia tidak merasa sedih atas apa yang telah lalu dan
tidak merasa takut kepada sesuatu yang akan datang.
Al-Qur’an al-Karim sebagai kitab cahaya dan hidayah—“Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Yunus: 57)—yang mengatasi semua
duka dan nestapa dalam hati. Tidak ada kesedihan dan penderitaan hati
yang lebih buruk daripada kegelisahan, kebingungan, keguncangan, dan
ketakutan. Oleh karena itu, Al-Qur’an al-Karim berusaha menjadikan
ruh senantiasa tenang dan tenteram. Cahaya yakin-lah yang menjamin
ketenangan dan kedamaian ruh. Yakin harus berhubungan dengan
suatu prinsip asal muasal (mabda’) yang meyakinkan agar mendapatkan
keistimewaan-keistimewaan ini, yaitu menjadi dasar ketenangan ruh, obat
penyakit-penyakit yang membawa kesembuhan bagi ruh, mencabut akar-akar
kesedihan, kegelisahan dan ketakutan, serta menjaga ketenteraman ruh
dan keselamatan jiwa.
Oleh karena yakin termasuk nikmat Allah Swt yang paling utama dan
dasar ketenteraman (sebab ini merupakan sifat-sifat orang yakin bukan yakin
itu sendiri), maka Al-Qur’an al-Karim berusaha agar manusia mencapai
tingkat yakin terhadap mabda’ dan ma’ad (Hari Kemudian), sehingga
manusia yang yakin tersebut mendapatkan bahwa Allah Swt adalah Tuhan
alam semesta Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihi dan Dia Maha
Mengetahui terhadap segala sesuatu dan Maha kuasa atas segala sesuatu, serta
tidak ada batas bagi rahmat-Nya. Al-Qur’an al-Karim telah mengemukakan
dalil-dalil agar manusia sampai ke maqam yakin dan tauhid yang sempurna.
Sebagaimana dalil-dalil (argumentasi) memiliki bagian-bagian dan
tingkatan-tingkatan, tauhid juga memiliki tingkatan-tingkatan.
p:3
Derajat-derajat tauhid sebagai berikut.
1 Tauhid al-wujud
2 Tauhid al-wajib
3 Tauhid al-khaliq
4 Tauhid ar-rabb
5 Tauhid al-ma‘bud
Jika kita mulai secara tertib dari bawah ke atas, maka derajat tauhid
sebagai berikut: tauhid ‘ibadi, tauhid rububi, tauhid al-khaliq, tahuid alwajib,
dan tauhid al-wujud. Bagian terakhir berada di luar pembahasan
kita. Yang menjadi ruang lingkup pembahasan kita adalah tauhid al-wajib
sampai dengan tauhid al-ma‘bud. Jalan-jalan yang disiapkan dan dibangun
oleh Al-Qur’an untuk manusia beraneka ragam karena Al-Qur’an adalah
meja makan(jamuan) Allah yang sudah siap. Semua manusia, dari para nabi
dan para wali sampai dengan orang-orang biasa, telah duduk di samping
makanan yang siap santap ini. Para nabi dan para wali menikmati hakikat-hakikat
dan rahasia-rahasia Al-Qur’an. Begitu juga murid-murid mereka dan
orang-orang yang beriman dengan mereka serta manusia pada umumnya.
Setiap orang mengambil manfaat dari makanan yang siap santap ini sesuai
dengan kesiapannya.
Al-Qur’an al-Karim memaparkan argumentasi gerakan untuk
menjelaskan tauhid ‘ibadi dan tauhid rububi secara luas dan lebih mudah
dibandingkan dengan argumentasi-argumentasi yang lain.
Al-Qur’an memandang bahwa seluruh gerakan ke arah kesempurnaan
sebenarnnya berjalan menuju Allah dan dasar pertamanya juga Allah Swt.
Dan Al-Qur’an menisbatkan segala kesempurnaan ini kepada
Allah. Jika terdapat kekurangan, aib, kerusakan, dan lain sebagainya, maka
itu semua timbul dari ketidakmampuan (keteledoran—Peny.) asal dan
tempat(yang bergerak menuju kesempurnaan—Peny.) itu. Jika tidak, maka
tidak datang kebaikan murni (dari Allah kepada kita) kecuali keindahan.
Sesungguhnya anugerah (faidh) Allah senantiasa tercurahkan dan Dia selalu
menebarkan anugerah (da’im al-faidh) dan memberikan keutamaan (da’im
al-fadhl) kepada manusia. Namun, manusia yang mengambil anugerah
p:4
tersebut berbeda-beda. Sebagian manusia mengambil dan sebagian yang lain
tidak mengambil, dan terkadang mereka mengambil secukupnya atau tidak
mengambil secukupnya.
Al-Qur’an menghitung ada lima macam gerakan. Ia menjelaskan
bahwa gerakan-gerakan ini bergantung kepada irâdah Allah. Allah-lah yang
menggerakkan, yang mengubah, dan yang mengatur gerakan-gerakan ini.
Perubahan-perubahan ini dan pergantian-pergantian yang berjalan menuju
ke kesempurnaan, dalam pengertian Al-Qur’an, adalah dengan perantaraan
(washitah) Allah Tabaraka Wata‘ala sebagai sumber kesempurnaan. Lima
gerakan itu sebagai berikut.
Gerakan Pertama, gerakan benda-benda yang Allah letakkan di langit,
yaitu gerakan bintang-bintang, planet-planet, dan perjalanan tata surya.
Allah Tabaraka Wata‘ala menisbatkan gerakan itu kepada diri-Nya.
Gerakan Kedua, gerakan yang turun dari langit ke bumi, seperti hujan.
Allah juga menisbatkanya kepada diri-Nya.
Gerakan Ketiga, gerakan yang keluar dari bumi, seperti rumput dan
pohon juga dinisbatkan kepada Allah Swt.
Gerakan Keempat, gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan yang
ada dalam perut bumi, seperti mata air dan air yang mengalir di bawah bumi
juga dinisbatkan kepada Allah.
Gerakan Kelima, gerakan yang terjadi pada ruh manusia, berupa
perubahan-perubahan dalam mengenal jiwa (ma‘rifah an-nafs). Al-Qur’an
menisbatkannya kepada Allah.
Lima gerakan tersebut telah disebutkan sebagianya dalam surah Al-
An’am dan bagian-bagian lainnya dijelaskan dalam seluruh surah Al-Qur’an.
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji
buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah,
maka mengapa kamu masih berpaling?”(Q.S. Al-An’am: 95).
Penyebab (al-musabbib) butir tumbuhan dan biji buah-buahan terbelah
adalah Allah. Dan Allah adalah dasar atau asal muasal (al-mabda’) yang
membelah butir tumbuh-tumbuhan dan menumbuhkan biji-bijian yang
sebagainya menjalar ke dalam bumi, yang dinamakan akar, dan sebagian
yang lain keluar dari bumi, yang dinamakan batang. Al-Qur’an yang mulia
p:5
menisbatkan semua bentuk pembelahan biji buah-buahan, penjalaran
akarnya ke dalam perut bumi, dan pertum buhan batang-batangnya,
serta dahan-dahannya keluar bumi kepada Allah Tabaraka Wata‘ala.
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji
buah-buahan”. Biji buah-buahan ini tidak akan pernah terbelah dengan
sendirinya, dan butir tumbuhan ini tidak akan pernah terpecah dengan
sendirinya. Ia tidak mengetahui bagaimana dapat terbelah. Ia tidak dapat
membelah sendiri, tetapi ia hanya menerima pembelahan. Biji hanya
menerima pembelahan, bukan ia yang membuatnya dan butir-butir
tumbuhan pengambil bukan pemberi. Ia dapat membelah, tetapi butuh
kepada Pembelah (Allah—Peny.). Ia tidak memiliki pembelahan ini, tetapi
hanya mengambilnya. Ia membutuhkan Pemberi. Ia tidak memiliki akar dan
tidak memiliki dahan, sehingga ia butuh kepada Pemberi (Wâhib). Ia tidak
memiliki sifat ini, maka bagaimana ia dapat memberi sesuatu yang tidak ada
pada dirinya? Baik ia mengambil atau menerima itu karena ia membutuhkan.
Seandainya ia memiliki sesuatu yang dibutuhkannya, seperti apabila ia
mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menerimannya, maka mau jud
menerima sesuatu yang tidak dimilikinya tetapi ia menerima sesuatu yang
dibutuhkannya. Jika ia memiliki apa yang dibutuhkannya, niscaya ia tidak
akan menerima pemberian dari selainnya, karena yang membutuhkan adalah
yang menerima. Ia sendiri tidak dapat memberi karena masih membutuhkan.
Tidak mungkin sesuatu itu pada saat yang sama menerima dan memberi. Dan
setiap pembelahan yang terjadi di biji buah-buahan dan butiran tanaman
disebabkan oleh Penggerak—yang bernama Allah. Setiap pembelahan yang
terdapat di ufuk terjadi dengan perantara (washilah) Allah. Allah-lah yang
membelah kegelapan dengan terbitnya bintang yang terang di tengah langit.
Di mana pun terdapat pembelahan, pertumbuhan, gerakan, dan pembelahan
biji-bijian, maka Allah-lah Pengaturnya (Rabbuha) dan Penciptanya.
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”
(Q.S. al-Falaq: 1).
Dialah juga yang menyingsingkan subuh (pagi) dan ini merupakan
masalah yang berhubungan dengan langit dan bintang. Dia juga yang
membelah biji buah dan butir tanaman dan ini merupakan masalah
tanaman. “Sesungguhnya Allah-lah yang membelah biji buah dan butir
tanaman”. Agar tidak seorang pun menganggap bahwa ia yang menjadikan
biji menjadi buah atau benih dan menjadikannya kebun, maka Allah Swt
telah menjelaskan secara terperinci hal itu dalam surah al-Waqi’ah. Dia
berkata bahwa pertumbuhan biji dan benih bukan melalui manusia.
p:6
Maka tidakkah kamu melihat tentang apa yang kamu bajak(tanam)?
Kamu-kah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?
(Q.S. al-Waqi’ah: 63—64).
Pekerjaan yang berasal dari petani adalah membajak tanah, bukan
menumbuhkannya. Petani sekadar menebarkan bibit-bibit, bukan
membelahnya dan bukan juga menumbuhkan akar dan batang. Kalian
(para petani—Peny.) adalah pembajak bukan penumbuh. Dan penebaran
biji-biji adalah gerakan tempat(dari suatu tempat ke tempat lainnya—
Peny.). Manusia membawa biji-biji dan benih-benih dari gudang ke sawah
dan setelah dibajak ditinggalkan begitu saja di atas tanah. Adapun gerakan
dasar dan gerakan penyempurnaan (harakah ashliyah wa takamuliyah) yang
mana dengannya biji itu terbelah dan terpecah menjadi dua bagian, salah
satunya bergerak ke bawah, yang dinamakan akar, dan yang lainnya bergerak
ke atas, yang dinamakan batang. Semuanya di bawah penjagaan (tanggung
jawab) Allah Swt. Al-Qur’an mengatakan: “Allah-lah yang menumbuhkan,
bukan kalian; kalian hanya menebarkan benih-benih, padahal pekerjaan ini
juga berakhir kepada Allah”. Demikian juga yang terjadi dalam reproduksi
(pengembangbiakan keturunan) yang merupakan pokok masalah ini. Pada
saat yang sama, Allah mengatakan bahwa perempuan adalah tanah bajakan
dan kebun bagi suaminya.
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok-tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki” (Q.S. Al-Baqarah: 223).
Pertumbuhan janin di perut ibunya bukan pekerjaan (urusan) si ayah.
Pekerjaan laki-laki hanyalah ejakulasi (al-imna’). Allah Tabaraka Wata‘ala
berfirman, “Kamu-kah yang menciptakannya, atau Kami-kah yang menciptakan
nya?”. Gerakan setetes air menjadi manusia sempurna dan gerakan
pembelahan untuk kesempurnaan setetes air terlaksana di bawah penjagaan
(tanggung jawab) Allah Swt secara langsung. Al-Qur’an mengatakan bahwa
baik di ladang manusia (janin di perut ibunya—Pen) maupun di ladang
tanaman, Allah-lah Yang Menggerakkan (al-Muharrik).
Maka gerakan dan kesempurnaan masalah-masalah ini membutuhkan
sumber kesempurnaan. Pertumbuhan membutuhkan pembimbing (mursyid)
dan pembuka jalan; membutuhkan pembawa untuk mem bawanya. Dan
gerakan di permukaan rumput-rumput dan pohon-pohon Allah-lah yang
menimbulkannya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa surah dalam Al-
Qur’an yang mulia. Surah Al-Baqarah mengisyaratkan masalah ini juga.
p:7
Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air(hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu;
karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 22).
Gerakan kesempurnaan itu, yang dimulai dari bumi sampai berakhir
menjadi buah yang lezat, terlaksana dengan perantara Sang Penggerak yang
bernama Allah. “Sesungguhnya Allah-lah yang membelah(menumbuhkan) biji
dan benih yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup” (Q.S. Al-An’am: 95). Jika keluar suatu pohon
atau tumbuhan hidup atau biji yang telah mati, maka Allah-lah yang
mengeluarkannya(baca: menghidupkannya—Peny.). Dan jika tumbuh satu
biji yang mati dari suatu pohon atau tumbuhan yang hidup, maka Allah
jugalah yang menghidupkannya. “(Yang memiliki sifat-sifat demikian adalah
Allah) maka mengapa kamu masih berpaling? Inilah Tuhan kamu, maka ke
mana kamu akan pergi?”.
An-Nizhami dalam bait syairnya mengatakan bahwa setiap manusia
yang berpikir, mengetahui bahwa di belakang setiap perubahan ada yang
mengubah. Hal ini adalah tema dari argumentasi gerakan, karena setiap
gerakan butuh kepada Pengubah dan Penggerak yang menggerakkan sesuatu
ke jalan(cara) tertentu. Dan sebagaimana Allah Swt membelah biji gandum
dan mengeluarkan tangkai darinya supaya taman menjadi hijau, begitu juga
Dia membelah ufuk kegelapan dengan cahaya bintang yang menerangi
malam yang kelam sehingga bercahaya seperti siang. “Dia menyingsingkan
pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menja dikan) matahari
dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui” (Q.S. Al-An’am: 96).
Dia menjadikan malam untuk ketenangan dan kedamaian. Dia menja
dikan matahari dan bulan bergerak dengan penuh ketelitian, di mana Dia
menyiapkan keduanya untuk alat perhitungan. Setiap perhitungan didasari
kepada penggerak dan begitu juga sistem gerakan keduanya menunjukkan
adanya pembuat sistem (nazhim) yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Dia Maha Perkasa (al-‘Aziz) karena Dia tidak dapat dipisahkan. Tidak
ada faktor apa pun yang mampu membendung rencana-rencana dan
program-program-Nya. Dia Maha Mengetahui karena Dia mengetahui
bagaimana merencanakan dan meletakkan program-program yang tepat.
Dia mengetahui bagai mana memberikan gerakan dan bagaimana mengatur
p:8
gerakan itu. Oleh karena itu, Dia berfirman: “Itulah ketentuan(perhitungan)
Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.
Perhitungan-perhitungan yang teliti ini dilakukan oleh Insinyur yang
berpengalaman lagi Maha Tahu, “Dan Dialah yang menjadikan bintangbintang
bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan
di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda
kebesaran(Kami) kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.S. Al-An’am: 97).
Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung telah mengatur gerakan bintang
dan galaksi, suatu cara yang mana para musafir menjadikannya petunjuk di
padang pasir, lautan, dan daratan. Demikianlah gerakan galaksi dan bintang.
Adapun gerakan tumbuhan dan pohon di dalam tanah telah dikemukakan
kepada masyarakat umum. Gerakan bintang telah diatur sesuai dengan
perhitungan-perhitungan yang sangat teliti dan dalam, di mana tidak mudah
bagi orang-orang awam untuk menyingkapnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an
berkata sehubungan dengan gerakan bintang-bintang, “Sesungguhnya Kami
telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang
mengetahui”. Di sini diharuskan adanya ilmu, pengetahuan, dan informasi.
Seorang ahli di bidang ilmu falak akan mengetahui dengan baik gerakan
galaksi-galaksi yang sistematis dan mampu menyampaikan argumentasi
atasnya. Pada bagian lain Allah Swt berfirman:
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami
keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami
keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang
kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai dan kebun-kebun anggur, dan
(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa.
Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikanlah
pula) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Al-An’am: 99).
Gerakan hujan dari langit ke bumi butuh kepada Penggerak. Sesuatu tidak
bergerak dengan sendirinya untuk (mencapai) tujuannya karena sesuatu yang
bergerak dapat menerima penyampaian kepada tujuannya dan kesempurnaan
gerakannya. Maka, ia adalah penerima, dan kehilangan (tidak memiliki) apa
yang diterimanya; dan karena ia tidak memiliki apa yang diperlukannya, ia
butuh pemberi. Oleh karena ia tidak memiliki dan ingin mengambil apa yang
tidak dimilikinya, maka dia butuh pemberi. Oleh karena itu, ia mengambil
dari dasar (mabda’) yang dengannya ia mencapai batas kesempurnaan.
p:9
Al-Qur’an yang mulia mengatakan: Gerakan hujan dari langit ke bumi
terjadi atas kehendak (irâdah) Allah Swt, “Dialah yang menurunkan air dari
langit”. Ketika hujan ini turun ke bumi dan mengalir di dalamnya, maka
biji tumbuhan dan buah-buahan terbelah dan bergerak menuju dua arah
dalam bentuk akar dan batang. Dengan sampainya air hujan, maka ia (biji)
mulai tumbuh berkembang dan membesar kemudian meng hasilkan buah,
“Kami keluarkan dengannya tumbuh-tumbuhan dari segala sesuatu”. Allah
Swt melalui hujan memberikan kesempurnaan pada setiap tumbuhan. Allah
menisbatkan pengeluaran (penumbuhan) ini dan gerakan ini kepada diri-
Nya sendiri. Benih di dalam tanah akan membelah dan pembelahannya
merupakan hasil dari gerakannya yang terjadi karena irâdah (kehendak)
Allah. Dan ketika ia (tumbuhan itu) keluar ke permukaan bumi, maka itu
juga dengan perantara Allah. Begitu juga terbelahnya tetesan air di rahim
perempuan dan pertumbuhannya. Dan pertumbuhan ini dalam bentuk
tangan, kaki, mata, dan telinga, semua terjadi karena kekuasaan Allah,
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya”
(Q.S. Ali ‘Imran: 6). Dan ketika mendekati masa kelahiran, janin bergerak
dari rahim ibunya ke ujunngya, dan saat itu dia butuh Penggerak.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S. An-Nahl: 78).
Secara umum, setiap gerakan menuju ke kesempurnaan tejadi
karena Allah. Allah adalah sumber gerakannya. Dan yang mem berikan
kesempurnaan ini haruslah Dia sebagai sumber kesempurnaan. Dan yang
lain atau orang-orang lain adalah dasar-dasar perantara (mabâdi’ washitah),
apa pun eksistensi mereka dan apa pun yang mereka miliki. Mereka tidak
lain kecuali perantara-perantara anugerah (wasaith al-faidh), tempat aliran
anugerah, dan jalan anugerah, bukan dasar anugerah dan sumber karunia.
“Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau”. Allah
Swt mengeluarkan batang hijau dari tumbuhan, dan mengeluarkan dari batang
hijau dan mengeluarkan dari tandan biji-bijian yang banyak lagi menumpuk.
“Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak”.
Adapun biji yang keluar dari pohon kurma—dan dari mayang
kurma mengurai—akan tumbuh menjadi pohon kurma, lalu batangnya
bergelantungan—tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur—
dan taman-taman anggur—dan zaitun dan delima yang serupa dan yang
tidak serupa—buah zaitun, kurma, dan delima, sebagian menyerupai yang
lain, dan sebagian yang lain tidak ada yang menyerupainya—perhatikanlah
p:10
buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pula) kematangannya.
Perhatikanlah buahnya ketika mulai masak; bagaimana bergerak dari tahap
munculnya buah atau sebelum itu sampai pada tahap masak? Siapakah
yang memberikannya potensi masak ini? Siapakah yang membantunya
dan mengeluarkannya dari bumi dan membelah bijinya? Siapakah yang
menjadikan biji ini buah? Siapakah yang mengendalikan buah ini hingga
menjadikannya segar, baik, dan enak rasanya?
Al-Qur’an yang mulia mengatakan bahwa pada tahapan-tahapan ini
dapat dilihat pergerakan dan penyempurnaan Ilahi. “Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat bukti-bukti (kekuasaan Allah bagi kaum yang
ber iman)”. Pada bagian ini Al-Qur’an mengatakan bahwa cukuplah orang
yang jujur(objektif ), tidak fanatik, dan termasuk sedang-sedang saja dalam
keimanan (mutawassith fil iman) dan akidah untuk melihat argumentasi ini
supaya argumentasi gerakan mengantarkannya ke tujuan tauhid. Masalah ini
tidak seperti masalah ilmu perbintangan dan falak, sehingga butuh kepada
ahli matematika di mana orang lain tidak mampu mengetahui dengan teliti
dan mendalam gerakan galaksi-galaksi dan rahasia-rahasianya. Pada masalah
seperti itu memang dibutuhkan seorang ahli, sementara di sini cukup dengan
kejujuran (inshaf ). Di sana butuh kepada pemahaman yang dalam, sedangkan
di sini butuh kepada pemahaman dan iman yang sedang-sedang saja.
Telah jelas bahwa ada tiga gerakan. Antara lain: pertama, yang berlalulalang
di langit; kedua, yang turun dari langit; dan ketiga, yang naik dari
bumi. Semua penggeraknya adalah Allah. Dan sekarang tinggal dua bagian
dari bagian-bagian gerakan. Yang pertama gerakan-gerakan di dalam perut
bumi yang kita sebut sebagai gerakan di bawah bumi, sedangkan yang
lain(kedua) perubahan-perubahan di dalam jiwa manusia dan ia merupakan
gerakan yang paling dalam dan perubahan yang paling sulit. Dalam surat
Az-Zumar, Allah tabaraka (Mahaagung) Wata‘ala (Mahatinggi) berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah
menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di
bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanaman yang bermacammacam
warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuningkuningan,
kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal” (Q.S. Az-Zumar: 21).
Jika Anda meneliti dengan baik, maka masalah (ini) tidak begitu sulit.
Sampai batas apa pun ia dapat dilihat dan disaksikan. Allah mengatakan
bahwa hujan tidak terjadi dengan sendirinya, dan tidak bergerak dengan
p:11
sendirinya. Maka, hujan yang tidak memiliki kesempurnaan ini dari mana
dia (dapat) mendatangkannya? Tidakkah kita mengetahui bahwa pemberi
kesem purnaan ini, Dia (pula) yang (dapat) menahan tetesan-tetesan hujan
dan membimbingnya untuk turun? “Tidakkah kamu melihat bahwa Allahlah
yang menurunkan air dari langit”. Dan ketika turun hujan, maka bumi
akan menariknya. Terkadang ia turun dalam bentuk air hujan, terkadang
dalam bentuk salju, dan terkadang dalam bentuk hawa dingin; semua
dihisap oleh bumi. Dan saat itu terbentuklah secara sistematis aliranaliran
(air) di bawah bumi seperti sumber-sumber atau sumur-sumur atau
(mata) air yang sedikit (uruq) di bawah bumi. Air-air yang ada di tanah
ini dibimbing untuk mengurusi gerakan-gerakan itu (yang ada) di bawah
tanah dan meneruskannya—maka diaturnya menjadi sumber-suber air di
bumi. Maka, air yang turun dari langit menuju ke dalam tanah dan gerakangerakan
yang ada di bawah tanah, dengan cara ditentukan di mana akan
menjadi sumur? Dan di mana akan menjadi mata air? Dan di mana air itu
dekat dengan tanah? Dan di mana jauh darinya? Dan di mana ada di bawah
jangkauan tangan? Dan di mana jauh dari jangkauan tangan? Allah telah
mengatur semua ini di bawah tanggung jawab-Nya.
Jika Dia mengetahui bahwa kemaslahatan itu terdapat ketika permukaan
air, aliran-aliran air, mata air-mata air, dan sumur-sumur yang ada di bawah
bumi terletak jauh di dalam tanah; sekiranya tangan kosong manusia biasa
bahkan tangan para insinyur yang dibekali dengan pengetahuan dan alat
tidak akan sanggup mencapainya, maka sumur yang dalam pun tidak
akan menyentuh air itu, apalagi air itu akan didapat melalui tangan dan
timba(jelas tidak mungkin)—“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku jika
sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air
yang mengalir bagimu?” (Q.S. al-Mulk: 30). Jika air ini tenggelam dari batas
yang diinginkan, jika air ini yang sekarang telah ditentukan berupa sumursumur
dan mata air-mata air dan yang ada di bawah jangkauan tangan kalian
telah tenggelam dan bersembunyi di perut bumi, maka apa yang akan terjadi
selain kekeringan dan kerusakan tanah-tanah kalian setelah sebelumnya hijau
dan memiliki buah yang segar? Bukankah pekerja apa pun dan penyebab apa
pun tidak mampu untuk mengeluarkan air ini dari kedalaman bumi yang
jauh? Dengan demikian, gerakan air yang naik ke atas dan turun ke bawah
berada di bawah kekuasaan Allah Swt.
Banyak sekali tanah-tanah yang subur lagi dihijaukan dengan aneka buah
yang segar, tiba-tiba menjadi layu dan berubah menjadi tanah tandus karena
kedalaman airnya yang luar biasa. Dan sebaliknya, banyak juga tanah-tanah
p:12
tandus yang tidak ada tanda kehidupan tumbuh-tumbuhan yang hijau, tiba-tiba
berubah menjadi kebun-kebun yang berbunga karena munculnya mata
air di dalamnya. Al-Qur’an mengata kan bahwa gerakan-gerakan di dalam
perut bumi dan sistematika gerakan vertikal dan horizontal di bawah bumi
berada di tangan Allah Swt. Jika Dia menginginkan untuk memindahkan
air ini dari suatu tempat ke tempat lain karena tuntutan kemaslahatan, maka
Dia akan membim bingnya menuju ke tempat alirannya. Sistem gerakan dan
pengarahannya, Allah-lah yang menjalankannya dan menunjukkan jalan-jalannya.
Jika Dia ingin agar perjalanan air di perut bumi menjadi vertikal,
maka air itu akan turun ke bawah sebagai azab atau ke atas sebagai rahmat,
ini juga berada di bawah kekuasaan Ilahi—“Terangkanlah kepadaku jika
sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air
yang mengalir bagimu”.
Jika air tenggelam di kedalaman tanah yang jauh, maka siapakah yang
mendatangkan air itu bagi kalian dan menjadikannya berada di bawah
jangkauan tangan kalian? Allah Swt menisbatkan gerakan semacam ini
kepada diri-Nya. “Lalu keluar darinya aneka warna tumbuh-tumbuhan”.
Buah-buahan yang beraneka macam dengan perantara Allah sampai
kepada kematangannya. Dan orang-orang yang melihat fenomena alam
yang mana mereka bukan termasuk ahli makrifat dan riset, telah mengetahui
sistem gerakan bintang dan ketelitiannya dan hal itu (sebenarnya)
akan menjadi tanda yang mengantarkan mereka kepada Allah. Mereka
bukan termasuk orang-orang Mukmin yang jujur, sehingga penyaksian
tanda-tanda (kekuasaan) Allah menjadi bukti (dalil) bagi mereka untuk
sampai kepada kesatuan pengaturan (al-wahdah ar-rububiyah). Mereka
kehilangan pemahaman yang bagus yang mengantarkan mereka ke tauhid
rububi melalui pengenalan diri, sementara keinginan mereka terbatas
hanya pada makan, minum, pakaian, tidur, dan kesenangan. Al-Qur’an
memandang mereka persis seperti binatang dan tumbuhan, tidak lebih.
Al-Qur’an mengatakan bahwa di bumi ada berbagai macam tumbuhan
dan ada berbagai macam kelompok manusia yang berjalan di muka bumi
yang tidak berbeda dengan binatang kecuali (dilihat) dari warna. Al-Qur’an
menyebut nama mereka bersama tumbuhan dan hewan dengan satu
perbedaan yaitu warna. Al-Qur’an mengatakan: lihatlah pelbagai macam
buah dan pohon dan tumbuh-tumbuhan bagaimana berkem bang. Al-
Qur’an berbicara seputar manusia yang tidak berpikir, dengan ungkapan
(ta’bir) yang sama sebagaimana yang digunakannya dalam berbicara dengan
p:13
binatang dan tumbuhan, dan dikecualikan dari itu para ulama dan kaum
cerdik yang beramal. Dalam surat Fathir Al-Qur’an mengatakan:
“Tidakkah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari
langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam
jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang
beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula)
di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya)” (Q.S. Fathir: 27—28).
Buah termasuk bagian dari tumbuhan. Binatang ternak, binatang
melata, dan sebagian manusia yang mana keinginan mereka dan pikiran
mereka hanya pada makanan, minuman, dan pakaian satu sama lain hanya
dibedakan dari warna. Mereka berada dalam kelompok tumbuhan dan
binatang. Dan manusia yang tidak memiliki keinginan selain memen tingkan
perutnya dan tidurnya pada hakikatnya dia adalah binatang yang tidak dapat
dibedakan darinya kecuali dalam hal warna, “Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-bina tang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya(dan jenisnya)”. Akan tetapi, di antara mereka
terdapat kelompok istimewa yaitu para ulama yang beramal, orang-orang
yang konsekuen lagi bebas yang terpisah dari pengaruh orang lain, serta orang-orang
yang takut kepada Allah Swt, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama. Sungguh Allah Perkasa lagi
Maha Pengampun”(Q.S. Fathir: 28).
Jika ada seorang Mukmin yang berakal dan berpikir lebih tinggi
daripada yang biasa dipikirkan oleh binatang, maka dia dibedakan dari
manusia lainnya. Al-Qur’an telah mengecualikan kelompok manusia seperti
ini. Adapun orang-orang lain, mereka ini dan binatang berada di satu barisan
yang hanya dibedakan dari warna, seperti semua buah yang semuanya adalah
tumbuhan di mana satu sama lain hanya dibedakan dalam warna.
Al-Qur’an tidak menganggap mereka yang berpikir seperti binatang
termasuk kelompok manusia. Al-Qur’an mengatakan bahwa mereka dan
binatang ternak serta binatang melata berada dalam satu barisan, tetapi
berbeda warna. Yang dibedakan dari mereka adalah manusia yang bebas
dari cengkeraman syahwat lagi takut kepada Allah. Dia melihat Allah selalu
hadir dalam seluruh keadaannya dan dia kembali kepada-Nya dalam setiap
kesulitan dan masalah. Dia mengetahui bahwa semua nikmat datang dari
Allah, Dia terhibur melalui zikir kepada-Nya dalam setiap masalah-masalah
besar dan musibah-musibah yang dahsyat. Inilah tiga dimensi yang telah saya
paparkan pada majelis-majelis terdahulu, yakni hajat itu dari Allah, nikmat
p:14
itu dari Allah, dan kesabaran dan hiburan atas musibah itu juga dari Allah,
“Dan apa saja nikmat(yang kalian peroleh), itu dari Allah” (Q.S. An-Nahl: 53).
Gerakan kelima yang telah saya kemukakan dalam mukadimah pembahasan
merupakan gerakan yang paling penting. Al-Qur’an yang mulia
telah menyinggunngya dalam surah Al-An’am, sebagai berikut, “Dan Dialah
yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tem pat tetap dan
tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran
Kami kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.S. Al-An’am: 98). Banyak
perubahan-perubahan yang terjadi atas manusia, sebagiannya tetap dalam
sulbi dan rahim dan sebagian yang lain berpindah dari sulbi dan rahim ke
masyarakat. Manusia sendiri dapat mengamati perubahan-perubahan yang
terjadi pada dirinya. Aku tadinya berupa setetes air dan sekarang menjadi
bentuk yang normal seperti ini, maka siapakah yang mengubahku dari
keadaan itu ke keadaan ini?
Ini bukanlah gerakan ilmiah sehingga butuh kepada seorang ahli
matematika untuk mengetahuinya dan tidak pula butuh kepada orang yang
berpandangan sedang-sedang saja (mutawassitul inshaf ) dari masyarakat
Mukmin. Namun, untuk mengetahui hal itu butuh kepada pemahaman
yang dalam (fahmun fuqahati) yang merupakan pemahaman yang bagus.
Perjalanan ini di dalam berupa penyaksian Penggerak melalui gerakan-gerakan
jiwa, dan menjadikan jiwa berada di bawah kendali Penggerak itu,
“Aku mengenal Allah Swt melalui peniadaan kesenangan (al-‘azaim) dan
pemutusan belenggu”.(1) Penglihatan jiwa yang bergerak dan penyaksian
kendalinya berada dalam kekuasaan Allah. Ini bukan pekerjaan setiap ahli
matematika, dan tidak pula pekerjaan setiap Mukmin yang sederhana
pemikirannya dan sedang-sedang saja, tetapi ini adalah pekerjaan seorang fakih
(insan faqih) yang menikmati fiqh (pengetahuan). Itu seperti perasaan (syu’ur)
yang merupakan pemahaman yang dalam (fahm daqiq). Maka, manusia jika
dapat melihat seperti perasaan yang tinggi (asy-sya’rah ar-rafi’ah) dikatakan
sebagai seorang yang memiliki perasaan dan seorang yang halus (raqiq).
Al-Qu’ran berkata, “Telah Kami jelaskan (secara terperinci) ayat-ayat(Kami)
bagi kaum yang mengerti (yafqahun)”. Di sini perlu ada fiqh (pengetahuan).
Jika manusia tidak termasuk pemilik tingkat pemahaman seperti di
atas, Al-Qur’an menganggapnya berada di barisan binatang melata dan
p:15
binatang ternak yang hanya berbeda warna dengannya. Sebab, Allah Swt
telah menjelaskan nikmat-nikmat. Penjelasan ini adalah dari Imam Sajjad
a.s. yang mana beliau adalah Al-Qur’an yang berbicara. Beliau berkata:
Sesungguhnya setiap ayat Al-Qur’an adalah simpanan (khazanah) dari
simpanan-simpanan Allah. Dan dia mengatakan: Sesungguhnya jalan Al-
Qur’an dan caranya ketika menghitung nikmat-nikmat lahiriah dengan
mengatakan: Kami telah mengirim awan dan telah menurunkan hujan dan
menjadikan matahari bercahaya supaya tanaman kalian dan buah kalian
tumbuh, dan Kami telah menurunkan hujan supaya hasil produksi kalian
bertambah, “Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”
(Q.S. An-Nazi’at: 33). Sesuatu untuk kalian dan sesuatu yang lain untuk
binatang ternak kalian. Makanan materi adalah makanan manusia sekaligus
binatang. Akan tetapi, ketika suatu masalah menyangkut ilmu dan makrifat
serta keimanan, Al-Qur’an mengatakan, “Allah menganugerahkan al-hikmah
(pemahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang
Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benarbenar
telah dianuge rahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”(Q.S. Al-
Baqarah: 269). Yakni orang-orang yang memiliki kalbu dan akal.
Kita perhatikan dari kumpulan ayat yang telah disebutkan Al-Qur’an
dalam surah Al-An’am, surah Az-Zumar, surah al-Mulk, dan semua surah
yang lain, bahwa setiap gerakan yang berjalan menuju ke kesempurnaan
dinisbatkan kepada Allah Swt. Dan gerakan-gerakan ini telah dibagi—
sebagaimana telah kami jelaskan—ke dalam lima bagian. Antara lain:
gerakan-gerakan di langit, gerakan-gerakan yang turun dari langit ke bumi,
gerakan-gerakan yang naik dari bumi ke atas, gerakan-gerakan dalam perut
bumi, dan gerakan-gerakan yang dinamakan dengan perubahan-perubahan
jiwa. Allah telah menisbatkan semua gerakan yang menuju ke kesempurnaan
ini kepada diri-Nya.
Saya memohon kepada Allah Tabaraka Wata‘ala agar menjadikan hati
kita sebagai wadah dari tauhid rububi dan apa yang di atasnya, sehingga
hati akan terus-menerus menyebut Sang Kekasih, “Dengan zikir kepada
Allah, hati akan menjadi tenang” (Q.S. ar-Ra’d: 28). Dan mudah-mudahan
kita dikaruniai keyakinan terhadap tauhid rububi yang merupa kan nikmat
teragung, dan saat itu tidak ada rasa takut yang mengancam hati dan tidak
ada pula rasa sedih, “Sesungguhnya para wali-wali Allah itu, mereka tidak
merasa takut dan tidak pula mereka merasa bersedih” (Q.S. Yunus: 62).
p:16
Jalan-jalan Pemikiran
dalam Pandangan
Falsafah Dunia
p:17
p:18
Wahyu Samawi dan Jalan-jalan Pemikiran Dalam Pandangan Falsafah Dunia
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Kesimpulan pembahasan majelis terdahulu adalah bahwa tauhid itu
memiliki tingkatan-tingkatan. Dan tauhid yang berhubungan dengan
manusia dalam rangka kesempurnaan mereka dan dijadikan sandaran oleh
Al-Qur’an lebih daripada penyandarannya atas bagian-bagian lain adalah
tauhid rububi. Yakni, di alam wujud terdapat mabda’ yang pertama ini. Kami
telah menunjukkan topik ini pada salah satu majelis.
Al-Qur’an adalah kitab cahaya dan petunjuk dan bukan kitab falsafah
murni yang menyusun dalil-dalil rasional dalam ramuan (qawaqib)
falsafah yang kering (membosankan). Ia menyusun dengan suatu cara yang
berkaitan dengan amal dan dengan suatu cara di mana iman dan keyakinan
(i‘tiqad) menjadi bagian dari hasil-hasilnya dan pengaruh-pengaruhnya.
Ia juga mengingatkan orang-orang yang keras kepala (al-mu’anidin) agar
mereka mula-mula mengungkapkan dalil atas dakwaan mereka atau mereka
meruntuhkan dalil yang telah kami bangun. Dan jika mereka tidak memiliki
dalil, baik dalil aqli (akal) maupun dalil naqli (riwayat), dan mereka tidak
bersandarkan kepada wahyu samawi dan dan tidak berdasarkan kepada dalil
naqli yang dibawa oleh para nabi terdahulu, maka mereka tidak dapat lari
kecuali tunduk dan menerima. Dan jika mereka tidak memiliki dalil aqli
dan naqli untuk melawan Nabi yang mulia Saw., maka mereka dianggap
gagal dan rugi. Tidak ada sebab apa pun yang akan menolong kalian, tidak
ada kekuatan orang-orang kuat mampu berdiri dan melawan di hadapan
wahyu dan akal, dan tidak ada pula kekayaan orang-orang kaya mampu
mengadakan penentangan. Sungguh ada orang-orang sebelum kalian
yang lebih kuat dan lebih mampu diban dingkan kalian, namun mereka juga
menuai kegagalan yang cepat dan kerugian yang nyata.
Pada bagian pertama dari pembahasan bahwa Al-Qur’an adalah
kitab cahaya dan petunjuk, telah dijelaskan di dalamnya masalah-masalah
akal dengan suatu cara dimana keyakinan (al-i‘tiqad) berhubungan
dengan amal dan bergandengan dengannya. Kita dapat memperhatikan
ini dalam banyak ayat Al-Qur’an, sebagaimana ayat ini dari surah Fathir
yang telah saya kemukakan pada pembahasan terdahulu. “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama”
p:19
(Q.S. Fathir: 28). Di sini terdapat pujian dan sanjungan terhadap
ulama, yang mana ilmu mereka disertai dengan khusyuk dan tunduk
di hadapan wujud Ilahi (al-hadrah al-ilahiyah). Dan atas perubahan-perubahan
batin manusia melalui proses argumentasi dan bukti, maka
pengetahuan ini akan bergandengan dengan iman dan keyakinan.
Pada akhir surah Al-An’am, dikemukakan masalah tauhid melalui tiga
jalan. Dan dalam surah Al-An’am juga, Allah Tabaraka Wa Ta‘ala memerintahkan
Rasul-Nya yang mulia pada empat puluh tempat dengan “qul”
(katakanlah), yakni bantahlah mereka dengan cara demikian. Dan meminjam
ungkapan Ustaz Allamah Thabathaba’i (penulis Tafsir al-Mizan—Peny.),
sangat tepat apabila surah ini dinamakan dengan surah al-Ihtijaj. Adapun
surah ini disebut dengan nama surah Al-An’am, itu adalah bentuk zhahir dari
pemakluman yang umum (at-tasâmuh al-muta‘ârif ) dalam memberitahukan
tentang hal kebanyakan (al-i‘lam bil ghalbah). Apabila kita merujuk
kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh orang-orang zaman dahulu sebelum
sepuluh abad atau di antara waktu itu, seperti Talkhis al-Bayan karya asy-
Syârif dan Lathaiful Ma’ârif karya al-Qusyairi, maka dapat dimaklumi ketika
mereka mengomentari tentang surah-surah ini, “Dalam tafsir surah yang
disebutkan di dalam Al-An’am atau Al-Baqarah atau al-Fil atau al-‘Ankabut”.
Adapun surah-surah yang dinamakan dengan nama-nama khusus di
zaman Rasulullah atau diberi nama oleh para imam dengan nama khusus,
maka itu dapat dihitung tersendiri. Kalau tidak, maka nama surah-surah yang
lain itu adalah sekadar pemberitahuan tentang hal kebanyakan. Dan pada
akhir surah Al-An’am pada saat penyempurnaan hikayat bantahan-bantahan
(al-ihtijâjat) Ibrahim al-Khalil(kekasih Allah), Allah Swt berkata kepada
Rasul-Nya yang mulia, “Katakanlah, sesungguhnya Tuhan ku telah memberiku
petunjuk ke jalan yang lurus” (Q.S. Al-An’am: 161). Hidayah (petunjuk)
adalah gerakan khusus, baik yang berarti menunjukkan ke suatu jalan atau
yang berarti mengantarkan dan menyampaikan pada tujuan atau jalan.
Kedua-duanya adalah gerakan, dan atas dasar argumentasi gerakan (burhan alharakah)—
yang telah saya paparkan pada majelis terdahulu—butuh kepada
Pengggerak, dan Penggerak itu adalah Allah al-Hadi (Pemberi petunjuk).
“Agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah
termasuk orang-orang yang musyrik” (Q.S. Al-An’am: 161).
Ayat ini telah lewat dalam kaitannya dengan argumentasi-argumentasi
Ibrahim al-Khalil, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku,
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’” (Q.S. Al-An’am:
162). Ayat ini telah dibahas dalam kaitannya dengan pembahasan iman
p:20
dan akhlak dalam pandangan Al-Qur’an, “Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (muslim kepada Allah)”(Q.S. Al-An’am:
163). Maka, Allah Swt tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Rasul-Nya diperintahkan
untuk menyampaikan tauhid ini.
Adapun pertama-tama (awwaliyah) dalam ayat orang Muslim yang
pertama, bukanlah pertama-tama dalam waktu (awwaliyah az-zamaniyah)
karena setiap nabi sehubungan dengan umatnya—adalah orang
Muslim yang pertama. Para nabi terdahulu seperti Ibrahim a.s. memiliki
keistimewaan permulaan waktu apabila dibandingkan dengan para nabi dan
umat-umat yang datang sesudahnya. Meskipun demikian, tidak terdapat
dalam Al-Qur’an ungkapan (ta’bir orang Muslim yang pertama untuk para
nabi (terdahulu) selain Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an yang mulia telah
mengisyaratkan hal itu dalam beberapa tempat (ayat). Dan itu adalah isyarat
akan kedudukan (maqâm) penutup para nabi yang mana beliau mempunyai
keistimewaan permulaan dalam wujud dan tingkatan (al-awwaliyah alwujudiyah
warrutbiyah). Beliau jika dilihat dari kemuliaan dan ketinggian
adalah orang Muslim di dunia yang paling mulia. Tingkat keislaman dan
kepatuhan penutup para nabi paling tinggi dibandingkan dengan seluruh
kaum Muslim di dunia baik di masa lalu, sekarang, dan akan datang. Dan
beliau adalah orang Muslim yang pertama. Saat itu Allah Swt mengajari
Rasul-Nya yang mulia bantahan-bantahan (al-ihtijâjat) dan menyebutkan
tiga cara untuk berargumentasi:
Pertama, tentang asal perkembangan kehidupan dunia.
Kedua, tentang wujud manusia dan kehidupan kemanusiaan dan
sistem masyarakat manusia, serta struktur sosial dan sebagainya.
Ketiga, tentang apa yang terjadi setelah dunia berupa hisab, pahala,
siksa, surga, dan neraka.
Dengan kata lain, pada dua ayat ini dikemukakan tiga bukti atau tiga
argumentasi. Pertama, dengan memperhatikan kehidupan dunia; kedua,
dengan memperhatikan apa-apa (yang terjadi) sebelum kehidupan dunia; dan
yang ketiga, dengan memperhatikan apa-apa yang terjadi setelah kehidupan
dunia: manusia sebelum dunia, manusia di dunia, dan manusia setelah dunia.
Argumentasi yang berhubungan dengan sekumpulan sistem (nizham)
dan sebelum keberadaan kehidupan kemanusiaan tanpa memperhatikan
kehidupan manusia (al-hayat al-basyariyah), yaitu, “Katakanlah, ‘Apakah
p:21
aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala
sesuatu’” (Q.S. Al-An’am: 164). Yakni, tidak mungkin manusia tidak tunduk
di bawah pengaturan (rububiyah) pencipta asal (mabda’) segala sesuatu
dan mengatakan: aku mengurusi urusanku sendiri. Dan tidak dapat dia
menjadikan selain Allah sebagai Tuhan Pengatur (rabb) dan mengatakan:
aku tidak butuh kepada Tuhan Pengatur. Yakni dia mengingkari sistem
sebab yang efektif (al-‘illah al-fâ’iliyah) dan mengatakan: kesempurnaan-kesempurnaan
ini terbentuk dengan sendirinya, yakni kesempurnaan ini
tanpa ada yang menyempurnakan dan tanpa ada yang memberi karunia.
Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap sebab yang efektif yang
merupakan ruh (dasar) dari sistem sebab (qanun al-‘illiyah), dan tidak
dapat mengadakan pembahasan dengan akal seperti ini. Barangsiapa yang
mengingkari al-‘illah al-fâ’iliyah, maka dia tidak dapat menyusun mukadimah-
mukadimah lalu menarik suatu kesimpulan (nâtijah) darinya. Tidak
dapat dikatakan bahwa manusia adalah rabb sehingga tidak perlu (lagi)
kepada Pendidik dan Pengajar. Dan tidak dapat dikatakan juga bahwa Tuhan
Pengatur manusia adalah selain Allah karena selain Allah butuh kepada Allah.
“Katakanlah, ‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang
menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi
makan?’” (Q.S. Al-An’am: 14).
Maka, setiap orang dan setiap sesuatu yang dijadikan oleh Rabb
(Tuhan Pengatur) adalah marbub (yang menjadi bidikan objek pengaturan).
Jika suatu kesempurnaan sampai kepada orang lain atau
orang-orang lain, maka dia adalah perantara karunia (wasithah alfaidh)
bukan dasar dari karunia (mabda’ al-faidh). Allah adalah Tuhan
Pengatur segala sesuatu. Dengan demikian Dia memang Allah.
Kedua, “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya
kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain” (Q.S. Al-An’am: 164). Amal manusia hidup akan
menemani manusia yang bersangkutan dan akan dipertanggungjawabkan.
Alam tersistem dan karena Pencipta Alam tidak menganggur (âthil), maka
setiap manusia yang beramal akan dibalas. Dan tidak mungkin perhitungan
(hisab) antara orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat itu sama.
Al-Qur’an mengatakan: Janganlah ada orang yang menganggap bahwa
“sama antara kehidupan dan kematian mereka” (Q.S. al-Jatsiyah: 21). Orang-orang
yang beriman dan orang-orang yang jahat tidaklah sama, dan tidak
sama pula orang-orang yang membuat perbaikan dan orang-orang yang
membuat kerusakan. Setiap orang dari mereka akan menerima kitab catataan
p:22
amal dan hisab. Setiap amal pada hakikatnya hidup. Dan setiap dosa akan
dipikul pemilik dosa itu. Pada Hari Kiamat seseorang tidak akan membawa
beban (dosa) orang lain. Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban
atas beban dosanya. Oleh karena terdapat hisab di alam ini, maka seharusnya
ada pahala dan siksa. Dengan demikian, terdapat malaikat pemberi pahala,
pemberi siksa, peneliti, dan pencatat dalam urusan perbuatan (tasharruf )
Allah, Pemilik Hari Kiamat.
Ini adalah (bentuk) argumentasi atas prinsip dasar (mabda’) melalui
hari kemudian, “Dan tidak seorang pun yang beramal kecuali untuk dirinya
sendiri”. Setiap manusia yang mengamalkan suatu amalan, maka dia beramal
untuk dirinya. Dan tidak mungkin amalan tersebut akan terhapus
dari perbedaan, dan tidak mungkin seorang pun yang mengingkari amalnya
lalu membebankannya di atas pundak orang-orang lain. “Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Q.S. al-Mudatsir: 38).
Setiap orang selalu bergandengan dengan amalnya. Kecuali orang-orang yang
bebas, yang tidak berutang kepada seorang pun—kecuali golongan kanan,
berada di dalam surga, mereka tanya-menanya. (Q.S. al-Mudatsir: 39—40).
Adapun orang-orang lain, mereka tergantung dengan amal mereka, akidah
(keyakinan) mereka , dan moral mereka yang bejat.
Oleh karena terdapat sistem perhitungan dan penelitian, maka seharusnya
ada Penghitung Yang Maha Tahu dan Maha َdil dan Dia adalah Allah
Tabaraka Wa Ta’ala. Hal ini adalah proses argumentasi atas tauhid rububi
melalui hari kemudian. Ketika kita membaca surah al-Fatihah, “Segala puji
bagi Allah Tuhan Pengatur alam semesta, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Pemilik hari kemudian, “ ayat ini pun memandang kepada dua
hujah dari dua jalan. Pertama, bahwa semua makhluk dan wujud tunduk di
bawah rububiyah Allah Swt, dan Allah adalah Tuhan Pengatur alam semesta.
Dan ini adalah Tauhid rububi dengan memperhatikan permulaan ciptaan.
Dan kedua, harus ada hari pembalasan. Semua manusia akan menghadiri
hari itu di sisi Dzat yang memberi mereka kemampuan-kemampuan ini dan
Dia(Allah) membeberkan apa-apa yang diperbuat oleh mereka dan Dia Maha
Tahu terhadap amal mereka. Oleh karena itu, Dia Pemilik hari kemudian.
Dan ini adalah proses argumentasi atas tauhid melalui hari kemudian.
Dua penjelasan ini yang disebutkan dalam surah al-Fatihah sesuai
dengan dua penjelasan yang disebutkan dalam surah Al-An’am, “Kemudian
kepada Tuhanmulah tempat kembalimu dan Dia akan memberitahu kan
apa-apa yang kamu perselisihkan” (Q.S. Al-An’am: 164). Pada hari itu semua
bentuk perselisihan akan berakhir dan akan nampak dengan jelas bersama
p:23
siapakah kebenaran itu akan berpihak. Dan akan menjadi jelaslah pada
hari itu mengapa muncul berbagai macam aliran dan mazhab, mengapa
terjadi peperangan antara tujuh puluh dua kelompok. Apakah hakikat yang
dianggap oleh orang lain sebagai khurafat? Dan apakah hakikat yang dilihat
orang lain atau orang-orang lain sebagai kebatilan?
Pada hari itu akan nampak dengan jelas segala sesuatu dan akan
berakhirlah segala bentuk perselisihan pemikiran, akidah, dan amaliah.
Pada hari itu tidak akan terjadi perselisihan antara dua orang terhadap
suatu masalah apakah benar ataukah batil karena di sana, “Sehingga nampak
dengan jelas bagi mereka bahwa ia adalah kebenaran” (Q.S. Fushshilat: 53).
Ia adalah hari kemunculan kebenaran, dan hari terhapusnya kegelapan.
Maka, tidak ada kegelapan pemikiran dan tidak ada pula kegelapan akhlak
di sana. Dan setiap orang yang menyembunyikan sesuatu besamanya, maka
pada hari itu dia terpaksa untuk mengeluarkannya—“Dan mereka tidak akan
menyembunyikan pembicaraan apa pun kepada Allah” (Q.S. An-Nisa’: 42).
Tidak ada seorang pun pada Hari Kiamat yang dapat menyembunyikan
sesuatu atau menyimpannya dan tidak membicarakannya. “Maka Dia akan
memberitahukan kepada kalian terhadap apa-apa yang kalian perselisihkan”
(Q.S. Al-Maidah: 48).
Ketiga, melalui perkembangan kehidupan manusia. Al-Qur’an berkata,
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan
Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat
(Q.S. Al-An‘am: 165). Pembentukan masyarakat manusia, penciptaan
manusia, munculnya suatu kelompok, dan tersebarnya kelompok yang lain,
diangkatnya suatu kelompok yang ada menjadi khalifah atau dijadikannya
manusia sebagai khalifah Allah, semua gerakan ini dan program ini ada di
bawah kekuasaan Penggerak yang pertama dan Perancang yang pertama.
Allah ‘azza wa jalla menjadikan perbedaan-perbedaan ini untuk
menjaga sistem. Dan perbedaan-perbedaan ini tidak ada nilainya. Adapun
perbedaan-perbedaan ini tidak ada nilainya. Adapun perbedaan-perbedaan
yang sebenarnya adalah dilihat dari keimanan dan akidah(keyakinan). Dan
itu juga menjadi hal yang maklum di sisi Allah, “Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling takwa di antara kalian”
(Q.S. al-Hujurat: 13). Adapun perbedaan-perbedaan yang ada ini adalah
untuk menjaga sistem sosial.
Al-Qur’an mengatakan: Dia (Allah) mengangkat sebagian kalian atas
sebagian yang lain beberapa derajat agar terjadi pemanfaatan timbal-balik
dari kedua pihak bukan dari satu pihak saja. “Agar sebagian mereka dapat
p:24
menggunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada
yang mereka kumpulkan” (Q.S. az-Zukhruf: 32). Al-Qur’an mengatakan
bahwa segala perbedaan yang ada dalam masyarakat manusia tidak layak
dijadikan dasar untuk kebanggaan dan keangkuhan dan tidak memiliki nilai
sama sekali. Adapun nilai yang sebenarnya adalah keimanan dan kemuliaan.
Dan itu juga penilainnya berada di sisi Allah. Manusia yang mulia adalah
yang meninggalkan sikap berbangga-bangga diri (tafakhur) karena sikap
berbangga diri tidak pantas. Dan perbedaan dalam tingkatan-tingkatan ini
adalah yang terbaik bagi kehidupan manu sia. Apabila mereka semua memiliki
satu tingkatan, maka kehidupan manusia akan mengalami kelumpuhan.
Pebedaan dalam tingkatan ini adalah untuk pemanfaatan timbal-balik
antara dua pihak, bukan dari satu pihak saja. Dan pertumbuhan kehidupan
manusia, perubahan-perubahan ini, gerakan-gerakan ini, pulang dan pergi
ini butuh kepada Penggerak dan butuh kepada Pewujud (muzhhir) dan
Pembuat (shani), dan itu adalah Allah Swt, “Dan Dialah yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas
sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu” (Q.S. Al-An’am: 165). Apa saja yang diberikan
Allah adalah berupa ujian dan cobaan. Setiap individu manusia selama
mereka hidup, mereka sebenarnya sedang duduk di ruang ujian dan cobaan.
Terkadang mereka menikmati fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada
mereka dan pada kesempatan lain mereka tidak menikmati.
Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman dalam surah al-Fajr: Sesungguhnya
apa saja yang Kami karuniakan untuk manusia adalah termasuk dari bab
ujian dan cobaan, namun manusia berprasangka buruk bahwa Allah Azza wa
jalla jika memberinya nikmat, maka Dia memberinya sebagai penghormatan
baginya dan jika mencabutnya, maka itu sebagai tanda penghinaan
atasnya. Allah Swt dalam surah al-Fajr berfirman, “Adapun manusia apabila
Tuhannya mengujinya” (Q.S. al-Fajr: 15). Apabila Allah Swt mengujinya
dan mencobanya dengan memberinya harta atau ilmu dan dia (manusia
pandir itu) menikmati nikmat dan kemuliaan lahiriah ini (maka biasanya
dia berkata), “Dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku
telah memuliakanku’. Adapun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi
rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’” (Q.S. al-Fajr: 15—16).
Inilah dua pandangan kelompok mewah(kaya) dan kelompok miskin
(kaum papa). Al-Qur’an berkata bahwa kelompok kaya yang bernikmat-nikmat
sebenarnya mereka duduk di ruang ujian dan kelompok miskin yang
sabar dan menahan diri sebenarnya mereka juga duduk di ruang ujian. Dan
p:25
Al-Qur’an berkata bahwa tidak benar apa yang dibayangkan kelompok
pertama dan apa yang dianggap kelompok kedua. Orang-orang kaya
adalah tempat ujian begitu juga orang-orang miskin. Adapun kemuliaan
yang hakiki ada di sisi Allah, yaitu, “Sesungguhnya kekayaan dan kefakiran
setelah kemuliaan di sisi Allah”.(1) Dan Anda akan mengetahui pada Hari
Kiamat. Dan tidak ada di sini(di dunia) sesuatu yang menimbulkan
pemuliaan dan penghinaan; setiap sesuatu di dunia ini adalah ujian karena,
“Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya” (Q.S. Al-An’am: 165). Dan jika Dia
ingin mengambil (mencabut nikmat), maka itu karena ujian dan sebagai
pelaksanaan darinya—yakni untuk menguji kalian, “Dan sesungguhnya Dia
Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, sementara jalan tobat terbuka.
Allah Swt memerintahkan Rasul-Nya yang mulia Saw. untuk membantah
orang-orang kafir dengan tiga argumentasi ini yang menunjukkan
atas tauhid rububi. Oleh karena itu, Al-Qur’an yang mulia dalam beberapa
tempat (surah), salah satunya dalam surah Al-Ahqaf, mengatakan kepada
orang-orang musyrik dan para penyembah berhala: Sesungguhnya perkataan
kalian dan dakwaan kalian seharusnya bersandar pada dasar akal yang (biasa)
digunakan oleh akal pemikir atau berdasarkan pandangan wahyu samawi
yang dibawa oleh seorang rasul yang berhubungan dengan langit. Yakni
dengan akal atau dengan wahyu. Dan batasan ini disepakati oleh akal. Akal
mengatakan bahwa pandangan falsafah dunia mempunyai dua jalan:
1. Jalan penyaksian dan wahyu
2. Jalan pemikiran dan akal
Maka, akal membenarkan wahyu, sedangkan wahyu memhormati
posisi akal. Dan sebagaimana telah kami katakan, tidak ada yang lebih dari
dua jalan tersebut. Orang yang menyampaikan teori tentang pemahaman
falsafah dunia, seharusnya berdasarkan dalil akal yang kuat atau didukung
oleh wahyu yang pasti. Adapun jika dia tidak didukung oleh wahyu dan
dia tidak memiliki pemikiran rasional dan logis yang dapat diterima, maka
teorinya tidak benar (batil). Dan jika pandangannya batil, maka dia tidak akan
mampu berdiri di hadapan kebenaran dan tidak mampu pula melawannya.
Al-Qur’an telah menentukan bentuk-bentuk kebatilan. Ia berkata: setiap
saat kebatilan dan kebenaran masuk dalam kancah pergulatan, dan kebatilan
selalu kalah. Dan Al-Qur’an mengingatkan orang-orang kafir dan para
penyembah berhala di Hijaz serta orang-orang yang berusaha menentang
Rasulullah Saw. bahwa sebelum kalian ada orang-orang yang lebih kuat
p:26
dan lebih memiliki pengaruh di muka bumi dibandingkan kalian, namun
orang-orang yang kuat dan kekuatan taghut (apa yang disembah selain
Allah) tidak mampu menentang risalah (agama) samawi. Dan Al-Qur’an
telah menjelaskan bagian-bagian ini dengan jelas. Dan rububi, ia berkata,
“Kami sekali-kali tidak menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada di
antara keduanya kecuali dengan kebenaran” (Q.S. Al-Ahqaf: 3).
Penciptaan langit dan apa yang ada di dalamnya dan bumi dan apa
yang ada di atasnya adalah dengan kebenaran dan bersama kebenaran.
Maka, kebenaran tidak dapat berpisah dengan penciptaan. Jika di alam ini
tidak terdapat sistem, kitab (catatan), dan hisab (perhitungan), maka alam
adalah kesia-siaan dan batil (tidak bermanfaat). Sekiranya di alam ini setiap
orang berbuat sesuai dengan apa yang diinginkannya dan berkata seenaknya
sendiri lalu semuanya berakhir tanpa ada hisab, pahala, dan siksa, maka ia
adalah makhluk yang sia-sia.
Akan tetapi, dunia ini berjalan, menuju kesempurnaan, dan bahtera
yang mengarungi (samudera) dunia yang keras ombaknya ini mempunyai
pelabuhan yang bernama kiamat yang di situ ia akan berlabuh, dan
meminjam ungkapan (ta’bir) Al-Qur’an yang dalam, “Bilakah tempat
berlabuhnya” (Q.S. Al-A’raf: 187). Mereka bertanya-tanya tentang Hari
Kiamat, kapan bahtera yang berlayar di laut dunia yang dahsyat ombaknya
dan menghebohkan ini akan berlabuh? Dan di mana pelabuhan itu? Maka,
jika bahtera ini mempunyai tempat berlabuh yang (di situ) ia (beristirahat
serta) merasa nyaman dari keletihan perjalanan, maka (alam ini) adalah
kebenaran (tidak sia-sia) dan (alam ini) adalah alam kebenaran.
Al-Qur’an mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dengan sia-sia
tetapi diciptakan dengan kebenaran dan bahwa sitem ini mempunyai masa
tertentu yang pada akhirnya ia sampai pada tujuannya, “Dan dalam waktu yang
ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan
kepada mereka” (Q.S. Al-Ahqaf: 3). Orang-orang kafir berpaling dari(dakwah)
para nabi yang mana mereka (para utusan Allah itu) telah mengingatkan,
mengancam, dan menjelaskan kepada mereka tentang akibat-akibat
buruk (yang bakal mereka terima) dari kerusakan (yang mereka lakukan).
Pada saat itu Al-Qur’an berargumentasi dan mengatakan: Sungguh
apa yang kalian katakan bertentangan dengan tauhid ar-rububi, dan apakah
patung-patung ini mengurusi suatu urusan? Dan apakah kalian melihat apa
yang dikatakannya (itu) tertulis dalam kitab samawi? Atau, pembicaraan
ini didukung oleh akal pemikir yang objektif? “Katakanlah, ‘Terangkanlah
kepadaku tentang apa yang kalian sembah selain Allah’” (Q.S. Al-Ahqaf: 4).
p:27
Beritahulah kami tentang maksud dari syirik? Dan beritahulah kami tentang
apa saja yang kalian sembah selain Allah? “Perlihatkan kepada-Ku apakah yang
telah mereka ciptakan dari bumi ini” (Q.S. Al-Ahqaf: 4). Apa yang dilakukan
oleh sesuatu yang kalian sembah selain Allah? Apakah ia pencipta? Apakah ia
menciptakan sesuatu dengan sendirinya? Ataukah ia memiliki peranan dan ikut
serta dalam pencip taan: Jika ia tidak menciptakan sesuatu pun lalu (apakah)
ia menjadi serikat Allah Swt dalam sebagian perbuatan, “Perlihatkanlah
kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adalah mereka
berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit” (Q.S. Al-Ahqaf: 4).
Kemudian Al-Qur’an berkata pada tambahan dua jumlah ini, “Bawalah
kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan dari
pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang
benar” (Q.S. Al-Ahqaf: 4). Jika apa yang kalian katakan memang benar,
maka datangkanlah saksi atasnya berupa kitab-kitab samawi yang terdahulu
atau dukunglah dengan tambahan ilmu dan dalil serta pemikiran yang logis.
Pembicaraan kalian seharusnya didukung oleh wahyu samawi atau akal
pemikir dan orang alim yang membelanya. Adapun apabila keikutsertaan
kalian(dalam penciptaan) tidak didukung oleh wahyu samawi, tidak ada
dasar samawi baginya dan tidak berdasarkan kepada pemikiran rasional, tidak
ada dasar akal baginya, maka saat itu pem bicaraan kalian tidak benar(batil),
dan pembicaraan yang batil tidak akan dapat menjatuhkan kebenaran,
“Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan
dari pengetahuan (orang-orang dahulu)”(Q.S. Al-Ahqaf: 4).
Jika kalian membawa suatu aliran diharapkan agama Allah yang tidak
didukung oleh wahyu samawi dan tidak disepakati oleh dalil akal yang jitu,
maka bagaimana mungkin aliran ini mampu menentang agama
Allah? Jika ia tidak didukung oleh pemikiran, hujah, dan argumentasi serta
wahyu samawi, maka ia terpaksa memanfaatkan cara iming-iming (targhib)
dan teror (tarhib) untuk memadamkan cahaya Allah. Jika mereka ingin
menjatuhkan kebenaran melalui jalan ini, maka ketahuilah bahwa ada orang-orang
sebelum kalian yang lebih banyak harta dan kekuatan (ketimbang
kalian), namun mereka tidak berhasil dan menemui kegagalan.
Ketika Qur’an berkata: Aku yang mencurahkan tenaga ini dan karena
sesuatu yang aku ketahui dari ilmu ekonomi, dan dengan ilmu ekonomi aku
memperoleh harta kekayaan yang melimpah ini, Allah Swt berfirman, “Dan
apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta?” (Q.S. Al-Qashash: 78). Tidakkah Qarun mengetahui
p:28
sejarah masa lalu supaya dia mengambil pelajaran atas apa yang Allah
lakukan terhadap orang-orang yang sebelumnya yang memiliki lebih banyak
harta kekayaan daripadanya, bagaimana mereka dihancurkan dan dijadikan
pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran? Jika Qarun yang
memiliki harta simpanan (al-kunuz) melihat kunci-kuncinya memberatkan
pundak orang-orang yang kuat, maka di dunia (juga) terdapat orang yang
lebih banyak harta simpanannya daripada dirinya, namun pada akhirnya dia
mengalami kehancuran dan kebinasaan abadi.
“Yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta.
Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa
mereka” (Q.S. Al-Qashash: 78).
Sampai firman-Nya:
“Maka Kami benamkanlah Qarun bersama rumahnya ke dalam bumi.
Maka, tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab
Allah, dan tidaklah ia termasuk orang-orang yang dapat membela (dirinya)”
(Q.S. Al-Qashash: 81).
Dan ketika datang hari yang berbahaya, maka kelompok perusak ini
yang tadinya berdiri melawan kebenaran, tidak memiliki kekuatan untuk
mendapatkan pertolongan dan melakukan tindakan balas dendam (intiqam)
dan tidak ada (pula) kelompok dari luar yang akan membantunya. Tidak akan
memperoleh pertolongan dan tidak ada pertolongan, tidak ada kekuatan
balas dendam dan tidak ada bantuan dari luar, tidak ada kekuatan dari
dalam yang akan membantunya dan tidak ada kekuatan dari luar yang akan
menyelamatkannya, karena (kekuatan) luar dan dalam di bawah pengaruh
Allah dan kekuasaan-Nya, “Tidak ada kelompok (satu pun) yang akan
menyelamatkannya selain Allah”. Maka, mereka tidak memiliki kemampuan
yang sebenarnya (qudrah dzatiyyah) untuk mendapatkan pertolongan dan
tidak ada bagi mereka kekuatan luar yang akan menolong mereka.
Di dalam surah an-Naba’, setelah Al-Qur’an menjelaskan bahwa
penuturan (mantiq) orang-orang kafir tidak berdasarkan kepada wahyu
samawi dan tidak berlandaskan kepada dasar rasional, ia berkata, “Dan
Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca
dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutus kepada mereka sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun” (Q.S. Saba’: 44). Yakni, bahwa perkataan
mereka tidak berdasarkan wahyu samawi dan logika yang logis. Dan saat
itu, Al-Qur’an berkata: Tidakkah orang-orang yang bersama kebatilan itu
mengetahui bagaimana Kami menghancurkan orang-orang sebelum mereka
yang lebih kuat ketimbang mereka.
p:29
“Dan orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan” (Q.S. Saba’:
45). Dan sebelum mereka, di sana ada orang-orang materialis dari para
penyembah berhala dan selain mereka yang mendustakan dakwah tauhid
para nabi, “Dan orang-orang yang sebelum mereka telah mendusta kan sedang
orang-orang kafir Mekah itu belum sampai menerima sepersepuluh dari apa yang
telah Kami berikan kepada orang-orang terdahulu itu” (Q.S. Saba’: 45). Allah
Swt berfirman kepada Rasul-Nya yang mulia Saw. : Sesungguhnya mereka
orang-orang kafir itu dan para penyembah berhala yang mana mereka tolong menolong
untuk memerangimu dan berusaha membinasakanmu, mereka
tidak memilki sepersepuluh kekuatan yang dimiliki orang-orang sebelum
mereka. Jika dilihat dari sisi harta, mereka tidak memiliki sepersepuluh
harta yang dimiliki orang-orang (yang sebelum mereka) itu; jika dilihat dari
sisi persenjataan, kabilah (suku), partai, dan persekongkolan internal dan
eksternal, mereka tidak memiliki sepersepuluh yang dinikmati oleh orang-orang
(sebelum mereka) itu dari kemampuan politik dan militer. Para taghut
dari orang-orang sebelum mereka memiliki puluhan kali lipat dari apa-apa
yang dimiliki oleh orang-orang kafir kontemporer. Meskipun demikian,
Kami telah hancurkan mereka dan sisa-sisa mereka berantakan.
“Sedang orang-orang kafir Mekah itu belum sampai menerima sepersepuluh
dari apa yang telah Kami berikan kepada orang-orang dahulu itu lalu mereka
mendustakan rasul-rasul-Ku”(Q.S. Saba’: 45).
Orang-orang kafir dahulu itu memiliki kemampuan politik dan
militer serta ekonomi sepuluh kali lipat lebih besar daripada orang-orang
(kafir Mekah) itu lalu mereka bangkit untuk memerangi para utusan-Ku.
“Lalu mereka mendustakan rasul-rasul-Ku. Maka alangkah hebatnya akibat
kemurkaan-Ku”(Q.S. Saba’: 45). Kemudian mereka berhadapan dengan
balasan (intiqam) Ilahi. “Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan
kepada orang-orang yang berdosa” (Q.S. As-Sajdah: 22). Al-Qur’an berkata:
barang siapa yang membawa kebatilan, maka Kami akan menghancurkan
kebatilannya, yakni katakanlah, “Telah datang kebenaran”. Akan tetapi,
bagaimanakah kebenaran itu menghancurkan kebatilan? Allah berfirman
dalam surah Al-Anbiya’, “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada
yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta
yang batil itu lenyap” (Q.S. Al-Anbiya’: 19). Dengan kebenaran Kami akan
menghancurkan kebatilan. Kebenaran akan melumatkan otak kebatilan dan
menyungkurkannya. Saat itu kebatilan akan terhapus dan bekas-bekasnya
tidak ada.
p:30
Ringkasnya, Al-Qur’an itu merupakan kitab cahaya, petunjuk, dan
obat. Ia mengemukakan dalil-dalil atas tauhid sisi per sisi bersama dengan
keyakinan (i’tiqad) dan keimanan. Dan Allah Swt telah mengajari Rasul-Nya
beberapa cara untuk menyampaikan cara berargumentasi dan membantu,
di antaranya apa yang dikatakannya kepada orang-orang yang
bersikeras (menolak) terhadap kebenaran: Seharusnya kalian mengemukakan
dalil atas dakwaan kalian atau (kalau tidak), kalian harus menerima dalil
kami. Dalil kalian harus bersandarkan kepada wahyu samawi atau kepada
logika yang rasional. Adapun jika pendapat kalian tidak didukung oleh
wahyu samawi dan tidak pula dibantu oleh akal lalu kalian tidak menerima
dengan tulus agama Allah, maka ketahuilah bahwa kalian akan gagal dalam
menghadang kebenaran, karena sebelum kalian terdapat orang-orang yang
lebih kuat dari kalian meskipun demikian mereka menemui kehancuran dan
mendapatkan balasan buruk dari Tuhan.
Saya berharap, mudah-mudahan ilmu tauhid ini meresap dalam hati
Anda yang dibarengi dengan rasa takut dan sikap tunduk yang khusus.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para
ulama” (Q.S. Fathir: 28). Saya berharap pula, agar cahaya ini meliputi seluruh
individu umat Islam sehingga kita semua diselimuti dengan ayat yang mulia
ini, “Dan Kami berikan kepadanya cahaya (yang terang) yang dengan cahaya
itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat” (Q.S. Al-An’am: 122).
p:31
p:32
Ilmu dan Makrifat adalah Lahan Kecintaan (Tawalli) dan Kebencian(Tabarri)
p:33
p:34
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Oleh karena Al-Qur’an adalah kitab cahaya dan hidayah Ilahi bagi
manu sia, maka ia menjelaskan seluruh makrifat dan hukum yang perlu dan
bermanfaat serta memiliki peranan dalam kesempurnaan manusia. Manu sia
adalah makhluk (maujud) yang bekerja dengan irâdah (kehendak). Oleh karena
itu, ketika Al-Qur’an ingin menentukan jalan kesempurnaan manusia, maka ia
harus mengatur prinsip-prinsip (mabâdi’) yang membentuk dan hal-hal buruk
yang mana mereka terbiasa dengannya dan hal-hal buruk yang mana mereka
harus membencinya dan apa yang akan dilakukan berkaitan dengan sumber-sumber
(mawârid) kecenderungannya dan sumber-sumber kebenciannya.
Jika manusia itu makhluk yang mempunyai satu dimensi saja dan
bergerak di satu dimensi, maka mereka tidak butuh kepada usaha dan
upaya keras ini. Karena manusia mempunyai dua dimensi maka terkadang
ia menginginkan satu hal, lalu berusaha keras untuk mendapatkannya, dan
terkadang lagi ia lari dari satu hal, lalu ia berhati-hati untuk tidak melakukannya.
Kebahagiaannya juga tergantung pada perbuatan-perbuatan
pilihannya. Oleh karena itu, seharusnya ia diarahkan dan dibimbing
terhadap apa saja yang harus disukainya dan apa saja yang harus diben cinya.
Manusia harus mendidik dirinya secara paksa tentang masalah cinta
dan benci. Inilah masalah formal dalam agama yang dinamakan dengan
tawalli (cinta) dan tabarri (berlepas diri dari sesuatu yang dibenci). Yakni,
suatu hal atau seseorang yang disukai serta dinikmati hubungan emosional
dengannya, sehingga terbentuklah ikatan emosional (aqd wala’) bersamanya;
dan suatu hal yang dihindari dan dibenci.
Oleh karena salah satu tema penting dalam pendidikan (tarbiyah)
adalah penanaman kecintaan dan permusuhan, dan karena salah satu
cara yang menonjol dalam bimbingan hidup adalah kecenderungan dan
kebencian, maka seharusnya prinsip-prinsip masalah ini diatur sedemikian
rupa. Manusia bukanlah makhluk yang beramal sesuai dengan ilmu
dan informasi saja, tetapi ilmu dan makrifatnya akan membentuk (baca:
membuka—Peny.) lahan tawalli, kecintaan, dan kecenderungan.
p:35
Tawalli dan kecintaan menjadi dasar untuk maju (bergerak) sementara
tabarri dan kebencian menjadi dasar untuk mundur(menahan diri).
Kebencian dan ketidakenakan ini akan menjadi penghalang baginya untuk
maju. Dan dasar aturan ini adalah kecintaan dan kebencian. Makhluk-makhluk
yang lain menikmati daya tarik (jalibah) dan daya tolak (dâfi’ah),
ia menarik sesuatu yang sesuai dengannya dan menolak sesuatu yang tidak
sesuai dengannya. Dengan dua sayap daya tarik dan daya tolak ini, ia sampai
kepada kesempurnaannya. Daya tarik dan daya tolak ini ketika melunak,
muncul dalam bentuk syahwat dan amuk (ghadab). Jika menjadi lebih
lunak (halus) daripada tingkatan ini, muncul dalam bentuk kecintaan dan
permusuhan. Jika tiba pada tempat yang lebih tinggi daripada tingkatan
ini, ia muncul dalam bentuk irâdah dan kebencian (karâhah). Dan jika
menjadi lebih halus dan lebih lunak dari tingkatan ini, ia memanifestasi
dalam bentuk tawalli dan tabarri dan menjadi salah satu tiang agama. Untuk
menyelamatkan diri dari bahaya tawalli yang batil dan tabarri terhadap
kebenaran, maka manusia harus bersandarkan kepada wahyu dan akal dan
hendaklah ia mengetahui tempat tawalli yang benar dan menyadari bahwa
apa yang ia berlepas diri darinya adalah kebatilan. Manusia tidak dapat
hidup tanpa kecenderungan dan kecintaan, sebagaimana ia tidak dapat
sampai kepada kesempurnaannya, jika tenggelam dalam laut cinta yang
batil. Dan ia tidak dapat juga menggabungkan antara cinta kebenaran dan
cinta kebatilan. Dan apa yang dapat ditarik sebagai suatu kesimpulan dari
Al-Qur’an adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Manusia; dengan cinta ia hidup, dan dengan cinta (pula) ia bekerja.
2. Tempat (bersemayam) cinta adalah hati.
3. Setiap insan menikmati satu hati (saja) dan tidak ada seorang pun
yang memiliki dua buah hati dalam rongganya.
4. Setiap orang yang hatinya disibukkan dengan cinta kebenaran,
maka dalam hatinya tidak ada tempat bagi cinta kebatilan. Dan hati yang
menjadi tempat bagi cinta kebatilan tidak akan menyisakan tempat kosong
bagi cinta kebenaran.
Ada kaidah-kaidah yang harus dijaga dalam mencapai cinta kebenaran,
sebagaimana ada kebutuhan-kebutuhan (lawâzim) setelah sampai
kepada cinta kebenaran. Al-Qur’an telah menjelaskan secara terperinci—
kaidah-kaidah dan kebutuhan-kebutuhan ini. Dan sesungguhnya telah
dijelaskan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa cinta, maka Al-Qur’an
mendefinisikan manusia sebagai laku yang memilih dan pelaku dengan
irâdah. Ikhtiar dan irâdah adalah cabang ketergantungan (al-ta’alluq). Ketika
p:36
manusia menginginkan sesuatu yang disukainya dan ia mengetahui manfaat-manfaatnya,
maka hatinya akan tergantung dengan manfaat-manfaatnya
sampai terbentuk di sisinya, irâdah, sesuatu itu. Ia juga tidak menyukai dan
membenci sesuatu yang ia ketahui bahayanya, sehingga apabila ia membenci
sesuatu yang ia ketahui bahayanya, ia akan berlepas diri darinya. Dari jalan
inilah hubungan (nisbat) keinginan (masyi’ah) dan ikhtiar dalam Al-Qur’an
terhadap manusia. Tidak syak lagi bahwa masyi’ah dan ikhtiar adalah cabang
cinta juga. Dan hati adalah wadah cinta karena ketertarikan dan cinta adalah
dua perkara ruhani yang harus berdampingan dengan intelektual (idrâk).
Oleh karena hati manusia adalah tempat pengetahuan dan tempat
masalah-masalah ruhani, maka dengan demikian ruh akan menjadi wadah
cinta. Hati memberikan tempat bagi cinta, dan cinta mempunyai tempat
di hati pecinta, sedangkan ruh adalah wadah cinta. Bahwa manusia tidak
mempunyai lebih dari satu hati dan lebih dari satu ruh, hal ini telah
dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Ahzab, “Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya” (Q.S. Al-Ahzab:
4). Sedangkan bahwa kebenaran dan kebatilan tidak akan bertemu dalam
satu wadah, karena keduanya adalah dua hal yang berlawanan (naqidhani),
suatu tempat, maka saat itu tidak ada tempat bagi kebatilan, “Katakanlah,
‘Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak
(pula) akan mengulangi’”(Q.S. Saba’: 49).
Terkadang kebenaran itu menjadi lama dan terkadang pula menjadi
baru, dan ketika datang kebenaran dan mengejawantah, maka tidak ada
tempat bagi kebatilan yang lama atau yang baru. Ketidakbenaran tidak
akan berkumpul. Dan tidak ada hubungan apa pun antara kebenaran
dan kebatilan. Terkadang kebatilan itu berupa sesuatu yang lama dan
berpengalaman dan terkadang juga berupa sesuatu yang baru dan sesuatu
yang memulai “Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang’”, dan ketika datang
kebenaran, maka saat itu “dan yang batil itu tidak akan memulai dan
tidak(pula) akan mengulangi” tidak ada kebatilan yang baru mulai dan tidak
ada kebatilan yang lama.
Inilah pokok-pokok bahasan, dan ia terwujud dalam bentuk yang
bagus dari celah-celah ayat-ayat Al-Qur’an. Kecenderungan adalah cabang
cinta dan melarikan diri adalah cabang permusuhan dan benci. Oleh karena
itu, kita harus lebih teliti dalam pembahasan cinta dalam pandangan Al-
Qur’an yang mulia.
Kebaikan cinta dan kejelekannya dan kebaikan kebenaran dan kebatilan
bergantung kepada kebaikan yang dicintai (al-mahbub) dan kejelekannya,
p:37
karena cinta adalah hakikat yang mempunyai tambahan (idâfah). Maka (bagian)
nilai cinta termasuk dari nilai yang dicintai. Sesungguhnya ketergantungan
kepada cinta kebatilan adalah cinta yang dusta, dan ketergantungan
kepada cinta kebenaran adalah cinta yang benar (tulus). Jika sesuatu yang
dicintai adalah sebuah kebatilan, maka cinta ini akan berbahaya; dan jika
yang dicintai adalah sebuah kebenaran, maka cinta ini akan bermanfaat.
Agama telah menjelaskan cinta yang benar atau cinta yang tulus
dan cinta yang batil dan bohong yang mana kedua-duanya adalah sarana
kebahagiaan dan kehancuran dengan penjelasan sebagai berikut: Cinta
dunia adalah permulaan setiap kesalahan dan ketergelinciran, sedangkan
cinta kepada Allah adalah dasar setiap keutamaan dan kesempurnaan.
Dalam kumpulan riwayat di kitab yang berharga, Ushul al-Kafi pada bab
Hubbu Dunya (cinta dunia) terdapat banyak riwayat dari para manusia
suci, di antaranya riwayat berikut ini dari Rasulullah Saw. , “Cinta dunia
adalah puncak segala kesalahan”. Hubungan (buta) dengan dunia adalah
dasar setiap sikap salah dan kesalahan, karena cinta dunia adalah permulaan
setiap kesalahan dan kemaksiatan, dan dunia yang dimaksud bukan berarti
bumi dan langit, maka segala sesuatu yang menjauhkan manusia dari Allah
pada hakikatnya adalah dunia. Terkadang dunia itu berupa hubungan secara
alami (al-alaqah bitabi’ah, dan terkadang juga berupa hubungan dengan
ilmu dan bahasan-bahasan pemikiran yang malah menjauhkan manusia dari
kesempurnaan dan mendatangkan sikap arogan (ghurur), egois, dan takabur
padanya. Ini merupakan hijab (tabir) terbesar, dan sebagainya. Segala sesuatu
yang menjauhkan manusia dari Allah adalah dunia, dan dasar setiap tindakan
bahaya adalah cinta dunia. Dan segala sesuatu yang mendekatkan diri manusia
kepada Allah adalah permulaan keutamaan dan dasar setiap kebenaran.
Al-Qur’an yang mulia benar-benar memperhatikan dua dimensi
ini, begitu juga riwayat-riwayat para imam Ahlulbait. Mengenai
orang-orang yang beriman, ia berkata: Apabila orang-orang lain bergantung
ke pada berhala-berhala dan apa-apa yang serupa dengan itu, maka orang-orang
yang beriman hati mereka bergantung kepada Allah Swt, “Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 165).
Dalam surah Al-Baqarah, ia menunjukkan cinta yang(dibalut dengan)
dusta. Ia berkata, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 165). Kemudian ia berkata, “Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah”. Jika orang-orang lain
bergantung kepada kebatilan, maka orang-orang Mukmin lebih bergantung
p:38
kepada Allah Swt karena arwah mereka (orang-orang Mukmin) lebih tinggi
daripada arwah mereka (orang-orang kafir) dan apa yang orang Mukmin
cintai lebih tinggi dan lebih agung daripada apa yang mereka cintai. Oleh
karena itu, cinta orang-orang Mukmin lebih kuat—“Adapun orang-orang
yang beriman sangat cinta kepada Allah”.
Mengikuti wahyu Ilahi adalah jalan yang mengantarkan kepada cinta
Allah. Dalam surah Ali ‘Imran Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya,
“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah’” (Q.S. Ali ‘Imran: 31). Pecinta
menyukai bekas-bekas yang dicintainya dan hatinya bergantung kepada
ayat-ayat-Nya. Dan agamamu adalah bekas dari bekas-bekas sesuatu yang
dicintai. Oleh karena itu, mereka harus mengikutinya dan menaatimu serta
mengikutimu—“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah
aku”. Ikutilah Rasulullah Saw. karena pecinta menyukai bekas-bekas yang
dicintiainya. Dan ketika ia mengikuti bekas-bekas (sesuatu) yang dicintai,
maka akan terbentuklah di sisinya irâdah dan akan terdapat tawalli. Dan
apabila ia menemukan tawalli, maka ia akan menemukan pula Penggerak
dan Pendorong untuk maju (melangkah) dan beramal.
Al-Qur’an berkata: Jika kalian memang mencintai Allah, maka ikutilah
Allah, dan supaya Sang Kekasih (al-mahbubu) mendekatkan para pecinta-
Nya di sisi-Nya, maka dia menunjukkan mereka jalan (menuju) ke (diri)
Nya, melalui perantara rasul-rasul Allah. Agama ini dan meng ikuti nabi
serta menaati perintah-perintah agama, adalah melalui yang mendekatkan
pecinta kepada Sang Kekasih. Jika jalan ini dilalui, maka pecinta akan
sampai di rumah Sang Kekasih dan saat itu Sang Kekasih pun akan
mencintainya. Dan dalam bentuk ini—bentuk cinta timbal-balik—yang
itu sebagai tanda sampainya sang pecinta ke (hadirat) Sang Kekasih karena
“sampainya bekas(berarti) bekasnya sampai” maka jika sampai bekas Sang
Kekasih kepada sang peicnta, itu sebagai alamat sampainya sang pecinta
ke Sang Kekasih. Hal itu disebabkan sang pecinta bergerak atas dasar cinta
ini—“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya
Allah akan mencintai kalian”. Jika kalian mengikuti Rasulullah Saw. , maka
kalian akan menjadi kekasih-kekasih Allah. kalian sampai saat ini kalian
masih menjadi pecinta, maka mulai saat ini juga dan seterusnya kalian akan
menjadi kekasih dan setiap cinta pengaruh-pengaruhnya akan diberikan
kepada sang kekasih. Akan muncul pengaruh kekuasaan Ilahi atas sang
kekasih dengan cara pemanifestasian (tajalli) bukan dengan cara penyerahan
kekuasaan (tafwidh). Cara yang pertama adalah kebenaran dan cara yang
kedua adalah kemustahilan. Al-Qur’an yang mulia sering menjelaskan jalan
p:39
jalan yang mengantarkan manusia kepada Kekasihnya dan Penciptanya.
Ia berkata: Takwa adalah suatu jalan yang mendekatkan manusia kepada
Kekasihnya. Allah Sang Pencipta Swt telah berfirman:
Katakanlah, “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku; niscaya
Allah akan mencintai kalian” (Q.S. Ali ‘Imran: 31).
Sesungguhnya kekasih-kekasihnya Allah mereka memiliki keistimewaan ini.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang takwa. (Q.S. at-Taubah: 4—7).
Maka, takwa adalah suatu jalan dari jalan-jalan cinta kepada Allah.
Manusia yang cinta kepada Allah, menjadi orang yang takwa, dan manusia
yang saleh, dan disukai oleh Allah—“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang takwa, mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, mencintai
orang-orang yang sabar, mencintai orang-orang yang tawakal, mencintai orang-orang
yang memberi hak orang lain”. Muqsith adalah orang yang memberi hak
dan bagian orang-orang lain, sedangkan qâsith adalah orang yang mengambil
bagian orang-orang lain. Dan qâsith adalah orang yang memiliki qasth (huruf
qaf dibaca fathah) yang berarti orang yang melalimi dan memakan bagian
manusia. Tetapi, muqsith adalah orang yang memberikan hak setiap orang.
Dan setiap orang yang memberikan hak orang-orang lain sesuai apa yang
diperintahkan Allah, maka ia akan menjadi kekasih Allah karena ia melalui
jalan menuju kepada Allah, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
tobat dan orang-orang yang membersihkan diri” (Q.S. Al-Baqarah: 222). Ia
orang yang bersuci dan disucikan juga. Dan orang yang takwa adalah orang
yang bersih hati dan suci ruh karena ia melalui jalan bersuci.
Jadi, jalan bersuci akan mengantarkan pecinta menuju ke Sang Kekasih
dengan cara ia pun menjadi dicintai Allah, “Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Q.S. Shaf: 4).
Merekalah yang melalui jalan jihad dan mereka berdiri seperti suatu bangunan
yang tersusun kokoh dalam berperang dan melawan musuh-musuh di dalam
(hawa nafsu—Peny.) dan musuh-musuh di luar, lalu mereka memperoleh
kemenangan. Mereka melalui jalan jihad dan peperangan, dan akhirnya
mereka sampai di hadapan Sang Kekasaih dan ketika mereka sampai di
hadapan Sang Kekasih, mereka mendapatkan siraman cinta-Nya.
Al-Qur’an berkata: Sesungguhnya orang-orang yang memiliki
keinginan-keinginan yang tinggi dan orang-orang yang berdiri dengan tegar
baik baja yang kuat dalam menghadapi musuh, mereka adalah kekasih-kekasih
Allah. Dengan demikian, ketika Dia berfirman dalam surah Ali
‘Imran, “Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku’“. Maka
p:40
kekasih-kekasih Allah adalah orang-orang yang mengikut langkah Rasulullah
Saw. . Sesungguhnya Al-Qur’an telah berkata dalam surah Shaf: Bahwa Allah
menyukai orang-orang yang melalui jalan jihad dan mengikuti Rasul Saw. .
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh”, maka manusia harus menjadi kuat dalam menghadapi setan (dalam)
dirinya sendiri dalam peperangan di dalam dan begitu juga ia harus kuat
dalam menghadapi musuh luar dengan menjadi bangunan yang tersusun
kokoh pada dua (bentuk) jihad itu dan pada dua (bentuk) front itu sehingga
pada akhirnya ia menjadi dicintai di sisi Allah. Dalam shahifah as-Sajjadiyah
yang seperti kitab Zabur bagi keluarga Muhammad—salawat Allah dan
salam-Nya atas mereka semua—Imam Sajjad a.s. memohon kepada Allah
Tabaraka wa Ta’ala agar menyertakan beliau dalam barisan para kekasih-Nya
dan menulis nama beliau bersama para syuhada. Beliau berkata dalam doa
pertama dari shahifah as-Sajjadiyah:
Karuniailah aku taufik itu, sehingga aku di sisimu termasuk dari orang-orang
yang memuji. Suatu pujian yang kami akan merasa bahagia bersama
orang-orang yang bahagia dari para kekasih-Nya dan kami menjadi orang-orang
yang tertulis sebagai syuhada melalui pedang-pedang musuh-musuh-Nya.
Sesungguhnya Dia Wali (orang Mukmin) dan Maha Terpuji.
Demikianlah doa pertama dari shahifah as-Sajjadiyah di mana Imam
Sajjad memohon kepada Allah Swt agar memberinya taufik untuk memuji
dan menyanjung yang akan mengantarkannya kepada perolehan syahadah
di jalan-Nya “menjadi orang-orang yang tertulis sebagai syuhada melalui
pedang musuh-musuh-Nya” maka Allah mengaruniainya syahadah di jalan-
Nya melalui pedang musuh-musuh-Nya. Dan inilah bangunan yang baik,
baja yang kokoh dalam menghadapi musuh luar.
Dan dalam doa keempat puluh empat beliau mengatakan, “Dan
jadikanlah kami orang-orang yang tertulis sebagai orang yang berhak
mendapatkan tempat yang tinggi dengan rahmat-Mu”. Yakni, Ya Allah,
karuniailah kami taufik kemenangan dalam medan jihad besar menghadapi
hawa nafsu, sehingga kami berada di barisan wali-wali-Mu yang mendapatkan
derajat tertinggi dan kedudukan teragung, di jalan para syuhada dan sekaligus
bersama para wali. Pada peperangan di dalam diri, kami ingin menjadi wali-wali;
dan pada peperangan di luar, kami ingin disebut juga sebagai tentara
Allah. Ketika manusia mati syahid, maka dia menjadi tercinta di sisi Allah
sebagaimana apabila dia menang dalam medan perjuangan di luar, maka dia
juga tercinta di sisi Allah dan menjadi wali-Nya. Selama dia belum melalui
p:41
jalan menuju ke Sang Kekasih, maka dia sama sekali tidak akan menjadi dekat
dengan-Nya dan tidak akan menjadi kekasih dari Sang Kekasih. Dan manusia
menjadi tercinta di sisi Allah, ketika dia melalui jalan yang mendekatkannya
kepada-Nya. Salat merupakan pendekatan diri (qurban) setiap orang
yang takwa dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama juga merupakan
pendekatan diri setiap orang yang takwa serta mampu mendekatkannya dan
menjadikannya dekat di sisi Allah, maka saat itu dia menjadi tercinta di sisi
Allah. Dan ketika seseorang melalui jarak untuk menuju kepada Allah lalu
dia menjadi tercinta di sisi Allah, maka ruhnya akan menjadi wadah bagi
cinta Ilahi. Dan hatinya tidak akan bergantung kepada seseorang pun dan
kepada apa pun kecuali jika (dapat mendekatkannya) di jalan Allah dan di
jalan Sang kekasih (al-Habib).
Surah at-Taubah dan surah al-Mujadalah telah mengidentifikasi
garis-garis yang cukup lebar bagi cinta Ilahi. Dalam surat at-Taubah,
Al-Qur’an berkata: Setiap orang yang melalui jarak-jarak di
jalan Allah, dia tidak dapat merampok jalannya sendiri dengan(cara)
membiarkan hatinya bergantung kepada macam-macam cinta yang
batil atau bergantung kepada sesuatu yang tidak akan membiarkannya
meneruskan jalan menuju Allah atau dia mempunyai hubungan dengan
orang lain yang menjadi penghalang perjalanannya. Dalam surah at-
Taubah, terhitung ada delapan perkara yang termasuk hal-hal yang
penting dari masalah-masalah yang bersifat alami dan berbau dunia.
Al-Qur’an berkata: jika masalah-masalah ini merampok jalan manusia,
maka dia sama sekali tidak akan sampai kepada Allah atau apabila cinta
kepada masalah-masalah ini menjadi penghalang bagi kalian dalam melalui
jalan Allah, maka tunggulah azab Allah. Adalah hal yang maklum jika
cinta kepada Allah telah bersemayam dalam hati, maka perkara-perkara
yang memutus jalan Allah ini tidak memiliki pengaruh sama sekali.
Barang siapa menjadi tawanan masalah-masalah ini, maka dia diputuskan
akan menerima azab Ilahi. Ketika ada perintah jihad, dia mengemukakan
(mencari-cari) alasan. Pada suatu kali dia mengatakan, “Tidak ada seorang
pun di rumah kami”, dan pada kali yang lain, dia berkata, “Sesungguhnya
ayahku melarangku dari (hal) itu”. Pada kali yang lain lagi, dia berkata,
“Sesungguhnya ibuku melarangku dari itu”. Dan pada kesempatan lain dia
berkata, “anak”, dan pada kali yang lain, dia berkata, “Saudara lelaki”. Dia
mengemukakan alasan-alasan ini sebagai perampok jalan menuju jalan jihad.
Dalam surah at-Taubah ada khitab (seruan langsung—Peny.) untuk
Nabi Saw. agar mengatakan kepada mereka, “Katakanlah, ‘Jika bapak
p:42
bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugian nya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai’” (Q.S. at-Taubah: 24). Jika
salah satu dari delapan perkara ini memutus jalan kalian menuju kepada
Allah, maka saat itu nantikanlah azab Ilahi. “Adalah lebih kamu cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya” (Q.S. at-
Taubah: 24) dan kalian menyukai perkara-perkara ini dengan begitu tulus
atau murni (ashalah)—bukan cinta kepada-Ku dan kepada jalan-Ku—cinta
yang menghalangi kalian melalui jalan Allah, “Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya” (Q.S. at-Taubah: 24). Jika cinta kepada salah
satu dari delapan perkara ini yang disebutkan sebagai contoh saja bukan
sebagai penentuan(karena yang memutus jalan menuju kepada Allah bukan
hanya delapan perkara ini, (masih banyak yang lain—Peny.) atau cinta
kepada sesuatu yang lain lebih banyak daripada cinta kepada Allah dan
rasul-Nya dan lebih banyak pula daripada cinta jihad di jalan Allah, maka
tunggulah azab Ilahi—“Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya”—dan ketahuilah bahwa kalian tidak akan pernah sampai
kepada tujuan yang kalian inginkan, karena perbuatan ini adalah kefasikan
dan penyelewengan, “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik”(Q.S. at-Taubah: 24). Penyelewengan dari jalan disebut dengan
kefasikan, dan kefasikan tidak akan dapat sampai pada suatu tujuan karena
ia merupakan penyimpangan. Dan orang yang fasik tidak akan mampu
mencapai tujuan kemanusiaan karena dia adalah orang yang menyimpang.
Makna demikian ini dijelaskan juga dengan cara lain dalam surah al-
Mujadalah, yaitu dibahas dari sisi positif dari suatu masalah(al-janib alijâbi
minal qadhiyah). Al-Qur’an berkata dalam surah al-Mujadalah, “Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian tidak akan tersesat
selamannya dan mereka tidak akan menyayangi orang-orang yang
menyimpang dari jalan Allah”. Kemudian Al-Qur’an berkata, “Sesungguhnya
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang
yang sangat hina” (Q.S. al-Mujadalah: 20). Sesungguhnya orang-orang
yang berkata bahwa dengan menentang orang lain bukan berarti menentang
Allah dan mereka melanggar batasan-batasan hukum Allah dan mereka
malah mempercayai hukum-hukum orang lain selain hukum Allah, (pada
dasarnya) mereka merupakan tingkat(masyarakat) yang paling rendah dan
paling hina. Kehinaan yang sangat telah ditetapkan atas mereka, “Allah telah
menetapkan, ‘Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang” (Q.S. al-Mujadalah:
21). Dan ini(dalam rangka) kepastian hukum Allah yang tidak menerima
p:43
pengeculian dan kemunduran dan ia adalah kepastian kemenangan para
rasul dan pengikut-pengikut mereka karena mereka bersandarkan kepada
Allah dan Allah Mahakuasa lagi Maha Perkasa. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Q.S. al-
Mujadalah: 21).
Kemudian Ia mengatakan:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya” (Q.S. al-Mujadalah: 22).
Oleh karena mereka mencintai Allah Swt, maka mereka tidak akan
mencintai orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah karena “Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya”
(Q.S. Al-Ahzab: 4). Oleh karena manusia hanya memiliki satu buah hati,
maka di hati manusia; yang saleh tidak ada lain kecuali cinta kepada
Allah. Dan tidak mungkin hati mereka (orang-orang yang saleh—Peny.)
akan condong kepada mereka yang berkata dengan (tindakan mereka
melaksanakan) batasan-batasan (hukum) orang (yang menentang Allah itu)
adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara
mereka, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka”.
Ada empat perkara dari delapan perkara yang tersebut dalam surah
at-Taubah yang mendapatkan perhatian khusus. Dan empat perkara yang
penting ini dari delapan perkara (tersebut) telah dijelaskan di sini. Al-
Qur’an berkata: para kekasih Allah tidak mungkin menyukai orang-orang
yang menyimpang dari jalan Allah, “Mereka itulah orang-orang yang Allah
telah menanamkan keimanan dalam hati mereka” (Q.S. al-Mujadalah:
22) dan tanda cinta Allah adalah tidak adanya cinta kepada sesuatu yang
asing (gharib) dari-Nya. Dan pengaruh cinta Allah, bahwa Allah akan
menetapkan keimanan di hati manusia yang sedang bercinta ini, “Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang dari-Nya” (Q.S. al-Mujadalah: 22). Sebagaimana
dosa dan penyelewengan juga ditetapkan di sebagian hati—“tetapi (dosa)
telah melekat (berkarat) dalam hati mereka atas perbuatan (keji) yang mereka
lakukan”—sedangkan keimanan dite tapkan juga di sebagian hati—“Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya ke dalam surga
p:44
(yang mereka tinggal) di bawah pohon yang terjalin dahan-dahannya dan
mengalir sungai-sungai di buminya yang hijau, “Mereka kekal di dalamnya.
Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya” (Q.S. al-Mujadalah: 22). Rida adalah konsekuensi dari cinta,
“Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap-Nya.
Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah
itulah golongan yang beruntung”.
Jika hati tercemari dengan cinta kepada orang lain, maka di sana tidak
ada tempat (kosong) bagi cinta kepada Allah. Hati yang bersih adalah hati
yang tidak ada di dalamnya tempat untuk pembicaraan seputar orang-orang
lain. Apabila setan belum keluar dari hati, maka tidak ada malaikat pun
yang masuk di dalamnya, dan (sebaliknya) tempat yang dikuasai oleh para
malaikat tidak akan dilalui oleh setan, karena setan akan lari dari kaum yang
sedang membaca Kitab Allah. Akan tetapi pengusiran setan dan datangnya
para malaikat di tempatnya masing-masing. Butuh kepada menghidupkan
(dengan melakukan amalan tertentu) malam-malam panjang, sehingga di
rumah ini tidak ada zikir lain selain zikir kepada-Nya.
Hal tersebut termasuk pengaruh cinta. Cinta adalah suatu jalan yang
mana setiap perjalanan ruhani melalui jarak menuju kepada-Nya, maka
cintanya kepada Allah akan bertambah dan merasa lebih dekat kepada
Kekasih-Nya. Cinta tidak dibarengi dengan kebekuan, dan cinta tidak
disertai dengan sikap statis, kemalasan, sikap diam (membisu), dan sikap
pasif. Cinta adalah suatu jalan yang akan mengantarkan si musafir cinta
kepada Kekasihnya. Allah berfirman dalam surah Ali ‘Imran, “Jika kalian
mencintai Allah, maka ikutilah aku” (Q.S. Ali’Imran: 31). Jalan cinta ini
mengatakan kepada si musafir: Jika kamu menginginkan agar sampai (di
depan) kehadiran (Dzat) Yang kudus (al-hadrah al-muqad dasah), maka inilah
jalan yang menuju ke perkampungan Kekasih. Maka, cinta adalah suatu
jalan, “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku”. Jika kalian menyukai
Allah, maka berlalulah di atas langkah Nabi kalian dan lewatilah jalan
cinta menuju Allah. Nabi adalah kekasih (habib) Allah, dan mengikut habib
Allah berarti melalui jalan cinta dengan melaksanakan tugas-tugas agama
(at-takâlif ) dan bangkit untuk memerangi setan pada jihad hawa nafsu dan
begitu juga bangkit untuk melawan orang-orang kafir pada jihad di luar.
Cinta bukan berarti duduk di pojok-pojok. Cinta adalah jalan hati dan
juga suatu jalan di luar. Cinta adalah usaha dan jerih payah dan cinta adalah
penelitian—atau pertanyaan—(istiqsa’). Pada mukadimah (cinta) terdapat
habib Allah dan umat sesudah habib Allah. Masjid yang dibangun dengan
p:45
tangan (suci) Nabi, masjid yang dibangun di bawah pengawasan Nabi Allah
dan umatnya turut serta membangunnya, di dalamnya terdapat orang-orang
laki-laki yang mondar-mandir di masjid ini untuk bersuci, “di dalamnya ada
orang-orang laki-laki yang mereka menyukai untuk membersihkan diri” (Q.S.
at-Taubah: 108). Mereka ingin bersuci dari polusi alam, mereka ingin mandi
dari kotoran-kotoran alam materi, mereka ingin sampai ke suatu derajat
yang mana mereka akan menjadi kekasih-kekasih Allah, “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang
menyucikan diri” (Q.S. Al-Baqarah: 222). Di dalam masjid terdapat orang-orang
yang suka untuk bersuci. Dan jalan penyucian dan pembersihan
tertutup bagi orang yang di dalam hatinya terdapat rasa dengki dan benci
kepada saudara seimannya, karena orang seperti ini tidak akan (dapat) sama
sekali melalui jalan cinta, karena tidak boleh ada rasa dengki pada seorang
Muslim atas orang Muslim yang lain, “Janganlah Kau letakkan dalam hati
kami (perasaan) dengki (dendam) atas orang-orang yang beriman” (Q.S. al-
Hasyr: 10). Pada waktu yang akan datang kami akan membahas—insya
Allah—makna dari cinta yang berbahaya, makna dari penyimpangan dari
jalan (lurus), dan apa bahaya-bahaya cinta yang dusta.
Cinta yang hakiki dan cinta yang tulus adalah hendaklah manusia
melalui jalan Allah. Al-Qur’an berkata, “Jika kalian mencintai Allah, maka
ikutilah aku” (Q.S. Ali ‘Imran: 31). Ikutilah aku. Rasulullah mendaki ke
suatu tempat yang tinggi lalu beliau berkata kepada umatnya, “Marilah”
(tâ’alau), mendakilah kalian juga ke tempat yang tinggi. Jika mereka memang
berada pada tingkat yang sama, maka beliau (melalui Al-Qur’an) tidak akan
berkata “marilah” (tâ’alau), tetapi berkata “kepa dakulah” (ilayya). Orang
yang berada di puncak gunung akan berkata kepada orang yang di kaki
gunung tâ’al(kemarilah). Adalah hal yang biasa di desa-desa dan di kota-kota
yang terletak di kaki gunung bahwa anak-anak kecilnya turun pada suatu
pagi untuk bermain di lembah-lembah. Jika waktu malam sudah tiba wali-wali
mereka akan memanggil mereka; “tâ’alau. Seorang ustaz berkata kepada
muridnya, “tâ’al” dan imam berkata kepada umatnya: “tâ’alau”. Meminjam
ungkapan Al-Qur’an, Rasul telah berkata kepada umatnya: Kemarilah
janganlah kalian tetap berada di bawah, dan turun ke bawah dan tinggal di
tempat datar sahl. “Maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh
jalan yang mendaki lagi sukar?’ (Q.S. al-Balad: 11). Nabi Saw. telah menaiki
tempat-tempat yang tinggi ini dan beliau memanggil-manggil kita dari
puncaknya: Naiklah kalian ke tempat yang tinggi ini dan mengapa kalian
tidak datang ke sini? “Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
p:46
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu” (Q.S. Ali ‘Imran: 64). Dan
puncak itu adalah puncak tauhid dan itu adalah rawa syirik, maka janganlah
kalian tetap di dalam rawa-rawa, dan puncak itu adalah puncak kenabian
dan janganlah kalian tetap tinggal di rawa ateisme dan pengingkaran,
“Bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai Tuhan selain Allah”(Q.S. Ali ‘Imran: 64). Maka, janganlah hati
kalian bergantung kepada selain Allah—“dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun”—dan puncak-puncak yang tinggi ini adalah puncak-puncak
kesempurnaan insani, dan habib Allah telah pergi ke puncak yang
tinggi ini dan beliau memanggil umatnya untuk datang di belakangnya ke
puncak ini—“Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah”—tauhid ‘ibadi adalah puncak yang tinggi yang umat harus melalui
jalan menuju kepadanya, dan juga—‘dan tidak sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”—tauhid rububi adalah puncak
yang menjulang dalam kesempurnaan insani.
p:47
p:48
Cinta, Jalan Allah, dan Caranya
p:49
p:50
Cinta, Jalan Allah, dan Caranya
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Pada Majelis terdahulu kami telah menyampaikan tema cinta
dengan dasar bahwa kesempurnaan insani berada di bawah naungan
tindakannya yang didukung oleh irâdah (al-’irâdi), dan irâdah adalah
hasil cinta. Apabila tidak ada kecenderungan dan cinta, maka tidak
ada irâdah. Dan apabila tidak ada irâdah, maka tidak ada kebangkitan
dan keberanian bertindak. Begitu juga sebaliknya, jika tidak ada rasa
benci dan tidak suka, maka tidak ada pengekangan dan penahanan diri.
Apabila tawalli dan tabarri termasuk dasar-dasar agama yang otentik,
maka cinta dan permusuhan adalah bentuk persahabatan emosional
(wilayah) dan sikap melepaskan diri (barâ’ah). Maka, manusia mencintai
kekasihnya dan melepaskan diri dari apa yang dibencinya dan menyukai
sesuatu yang disukainya dan melepas kan diri dari orang yang dibencinya.
Masalah tawalli dan tabarri akan menjadi kabur (tidak jelas) jika tidak
ditentukan standar-standar cinta. Kami telah menjelaskan pada pelajaran
terdahulu—sampai pada batas tertentu—hubungan antara tawalli dan
tabarri dengan irâdah dan rasa benci dan juga hubungannya dengan cinta
dan permusuhan dan begitu juga dengan syahwat dan marah dan dengan
daya tarik dan daya tolak. Daya tarik dan daya tolak adalah tingkat terendah,
dan tingkat tertinggi adalah tawalli dan tabarri. Dan di antara derajat
yang tinggi dan derajat yang rendah ini terdapat juga derajat menengah.
Telah dijelaskan juga pada pelajaran terdahulu bahwa ruh manusia adalah
wadah cinta. Manusia tidak memiliki lebih dari yang dipalsukan dengan
stempel palsu. Jika manusia menjadi kekasih kebenaran (al-haq), maka tidak
mungkin dia menjadi pecinta selain kebenaran. Dan apabila dia menjadi
pecinta kebatilan maka tidak mungkin dia menjadi kekasih kebenaran.
Terdapat saksi-saksi dalam ayat-ayat Al-Qur’an atas masalah ini.
Pembahasan ini harus disebut dalam tambahan pembahasan terdahulu.
Telah diriwayatkan dari Imam keenam as: “Bukankah iman itu tidak ada lain
kecuali cinta dan benci”.(1)
Karena manusia atas dasar cinta berani bertindak.
Jika dia memiliki kekasih yang hakiki, maka cintanya memang benar, dan
ia akan bangkit atas dasar standar cinta ini. Ketika Ibrahim al-Khalil a.s.
p:51
mengemukakan argumentasi tauhid meskipun Allah memberitahukannya
kerajaan (malâkut) langit, namun beliau menyampaikan masalah melalui
jalan cinta, dan beliau berkata, “Aku tidak menyukai(sesuatu) yang
hilang (tenggelam)”. Sesuatu yang hilang (tenggelam) tidak layak untuk
mendapatkan cinta. Apabila manu sia bergantung kepada dirinya atau
kepada sesuatu dari komponen-komponen alam fisik, maka sesungguhnya
dia bergantung kepada sesuatu yang hilang dan fana. Ketika kekasihnya
hilang dan raib, maka sesuatu (yang tadinya) menjadi sebab kecintaannya
dan kedamaiannya (di sisinya) akan menjadi sebab kesedihannya dan
penderitaannya. Dan cinta semen tara dapat (saja) berubah menjadi cinta
abadi jika sesuatu yang dicintai kekal dan abadi. Adapun jika sesuatu yang
dicintai itu akan hilang (tidak kekal), maka hal itu akan mendatangkan
kesedihan dan penderitaan.
Seandainya hati bergantung kepada sesuatu yang sementara dan akan
hilang, maka hubungan ini yang (tadinya) menjadi sebab kegembiraan
dan kebahagiaan (pada akhirnya) akan berubah menjadi kehancuran dan
penderitaan. Ketika yang dicintai pergi yang mana (tadinya) dia sampai
sekarang(sebelum kepergiannya) adalah penyebab kelezatan dan kedamaian,
maka hal itu menyebabkan kesedihan dan kegelisahan. Oleh
karena ketika sesuatu yang dicintai pergi, maka (tentu) kepergiannya
tidak membawa pengaruh terhadap orang yang hatinya tidak bergantung
kepadanya; adapun orang yang mencintainya dan bergantung hatinya
kepadanya, maka itu akan mengundang kesedihan. Asmara (mahabbah)
ini nampak ketika yang dicintai lenyap, maka ia akan menderita, dan
ketergantungan (juga nampak) ketika tempat ketergantungan hilang,
maka hal itu akan membawa kehancuran. Dan cinta selain Allah, di
samping ia merupakan jalan yang menyimpang; ia juga menjadi bagian
dari bentuk asmara ini sendiri yang akan menyebabkan kehancuran.
Oleh karena itu, Allah Swt mengajak orang-orang Mukmin untuk
membangkitkan kembali logika Ibrahim al-Khalil karena beliau telah
menjadi kekasih Allah, “Aku tidak menyukai sesuatu yang hilang”. Dan
Allah telah menerimanya dan menjadikannya sebagai kekasih dan kesayangan-
Nya:
“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya“(Q.S. an-
Nisa’: 125).
Dan saat itu, Dia berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang
yang mengikutinya dan Nabi ini” (Q.S. Ali ‘Imran: 68).
p:52
Logika mereka harus dibangkitkan kembali, logika yang bangkit atas
dasar pandangan alam malâkut. Setiap yang cenderung kepada tenggelam
dan hilang tidak akan dicintai, karena hakikat cinta ini akan berubah pada
suatu hari menjadi penyebab kehancuran. Diriwayatkan berikut ini yang
dinukil dari perkataan para imam, “Ya Allah, aku tidak menyembah-Mu
karena rasa tamak akan surga-Mu dan tidak pula karena rasa takut akan
neraka-Mu, tetapi aku mendapatkan-Mu memang layak disembah, maka
(karenanya) aku menyembah-Mu”, kembali kepada dasar yang orsinil ini.
Cinta kepada Yang Maha Hidup yang tidak mati, akan menyebabkan
keabadian (cinta) dan tidak terjadi(bersemi) atas dasar pirbadi (nafs) dan
kelezatan-kelezatan diri. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa
cinta adalah cara (thariqah) dan cinta adalah jalan dan cinta adalah peraturan
(syara’).
Cinta bukanlah lintasan dan gambaran di dalam pikiran yang atas
dasarnya seseorang berkata, “Aku kekasih Allah”, sebagaimana telah kami
jelaskan secara terperinci pada pelajaran lalu dalam surah Ali’Imran ketika
kami mendefinisikan bahwa cinta kepada Allah adalah suatu jalan, “Jika
kalian memang benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
akan mencintai kalian” (Q.S. Ali ‘Imran: 31). Jika kalian memang mencintai
Allah, maka ikutilah Rasul-Nya. Nabi adalah habib (kekasih) Allah. Dan
habib Allah telah melalui jalan kesempurnaan menuju kepada Allah, maka
bergeraklah kalian untuk berjalan di atas bekasnya—“Maka itulah aku,
niscaya Allah akan mencintai kalian”.
Dengan demikian, siapa pun yang mengklaim cinta kepada Allah dan
tidak mengikuti Rasul-Nya, maka ketahuilah bahwa klaimnya tidak berdalil;
klaimnya bohong. Dan setiap orang yang mencintai Allah, maka dia tidak
pernah membiarkan Rasul-Nya sendiri pada saat-saat dan waktu-waktu yang
menegangkan dan berbahaya. Allah Swt telah menge nalkan orang-orang Mukmin
bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang tidak membiarkan
RasulNya sendiri pada situasi-situasi genting dan sulit, “Dan apabila mereka
berada bersama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan,
mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya”
(Q.S. an-Nur: 62).
Di dalam surah Nur terdapat definisi orang-orang Mukmin yang benar,
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin”. Orang Mukmin hakiki
dan sempurna adalah orang yang memenuhi kategori-kategori berikut ini:
“Ialah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Mereka dilihat dari
sisi akidah, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, “Dan apabila mereka
p:53
berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan
pertemuan, mereka tidak meninggalkan (beliau) sebelum meminta izin”
(Q.S. an-Nur: 62). Dilihat dari sisi sosial, di antara mereka saling tolong
menolong pada saat kebangkitan umat, dan hendak lah mereka sama sekali
tidak membiarkan pemimpin mereka berjuang sendiri dan meninggalkan
Nabi Allah sendiri, dan hendaklah mereka tidak pergi sehingga mereka
meminta izin dulu kepadanya meskipun pekerjaan mereka sangat penting.
Dan—“Apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan
yang memerlukan pertemuan”—maka mereka sekali-kali tidak meninggalkan
beliau dalam masalah-masalah sosial dan masalah-masalah umum kecuali
setelah meminta izin dan lisensi dalam hal itu.
Oleh karena Nabi Saw. berada pada barisan terdepan dan sebagai
imam umat dalam perkara-perkara keagamaan dan pelaksanaan tugas-tugas
Ilahi, maka umat yang menerima ajakan(dakwah) cinta kepada Allah harus
mengikuti Nabi dengan akal dan hati mereka. Cinta tidak sesuai dengan
sikap non-aktif, kebekuan, dan statis. Cinta adalah suatu jalan; apabila
manusia melalui jalan ini dan mendekat kepada Sang Kekasih, mendekat
kepada Allah, maka dia menjadi kekasih Allah. Al-Qur’an berkata: Lewatilah
jalan menuju Allah ini, supaya kalian menjadi kekasih-kekasih di sisi Allah,
“Jika kalian memang benar-benar mencintai Allah, maka ikuitlah aku, niscaya
Allah akan mencintai kalian”, dan Al-Qur’an telah menentukan sifat-sifat
kekasih Allah sebagaimana telah dijelaskan tentang pengaruh cinta Allah
(al-mahabbah al-ilahiyyah) pada pembahasan pelajaran terdahulu. Lalu,
siapakah orang-orang yang dicintai di sisi Allah? Dan apa jalan yang dapat
mengantarkan kepada kedudukan (maqâm) ini?
Sementara riwayat yang disebutkan dalam kumpulan-kumpulan
riwayat (al-jawami’ ar-rawaiyah) membeberkan bahwa manusia yang
paling utama dalam perjalanan cinta kepada Allah adalah orang yang cintanya
telah meresap dalam hatinya dan merindukan ibadah, sebagaimana
dinukil oleh Almarhum al-Kulaini dalam al-Kafi pada bab al-‘Irâdah dari
salah seorang imam as: “Manusia yang paling utama adalah orang yang
merindukan ibadah lalu dia memeluknya dan menyukainya dengan hatinya
dan berhubungan dengannya melalui badannya dan menyendiri dengannya
(menekuninya)”.(1) Al-‘isyq adalah cinta (mahab bah) yang sempurna; al-‘isyq
adalah penjagaan terhadap sesuatu yang ada dan kerinduan untuk mencari
sesuatu yang hilang. Manusia menyembah bersama dengan kerinduan supaya
sampai kepada tingkat ‘isyq dalam ibadah. Riwayat itu berbunyi: Sebaik-
p:54
baik manusia adalah orang yang mencapai tingkat isyq dalam ibadah karena
ibadah itu sendiri adalah suatu yang jalan juga berguna untuk mencapai
tingkat isyq terhadap sesuatu yang disembah (al-ma‘bud). Kalau tidak, maka
barang siapa yang mengalami ‘isyq dalam ibadah karena ibadah (itu sendiri)
(bukan karena sesuatu yang disem bah—Peny.), dia (sebenarnya) berhenti
di jalan dan belum sampai ke tujuan. “Barang siapa yang mengutamakan
‘irfan (pencapaian ma‘rifah melalui ibadah) karena ‘irfan, maka dia telah
mengatakan dengan yang kedua”.(1) Jadi, barang siapa yang mengalami
isyq dalam beribadah, dia berada di pertengahan jalan dan belum sampai
ke tujuan. Alhasil, orang yang telah sampai ke tujuan adalah orang yang
menjadikan kekasihnya (ma‘syuq) sebagai tempat sasaran) penyembahannya
(ma‘bud), bukan ibadahnya. Riwayat itu mengatakan, “Sebaik-baik manusia
adalah orang yang mengalami ‘isyq dalam ibadah”. Sebaik-baik manusia
bukanlah orang yang melaksanakan ibadahnya sebagai (tuntutan) kewajiban
(takâlif ) dan dia menikmatinya, dan juga bukan orang yang mencintai
ibadah itu sendiri sehingga ibadah itu menjadi kecintaan di sisinya. Tetapi
sebaik-baik manusia adalah orang yang mengalami isyq dalam ibadah dan ini
merupakan tingkatan cinta ibadah yang tertinggi.
Adapun kisah yang disebutkan dalam sejarah pendidikan Sayid Ibn
Thawus yang mana beliau termasuk kebanggaan dunia Islam bahwa beliau
merayakan usia balig anaknya, maka perbuatan ini termasuk dari mukadimah
isyq itu. Ibn Thawus berkata kepada anaknya pada peringatan masa balig dan
usia taklif (kewajiban untuk menjalankan ajaran agama):
“Aku bersyukur kepada Allah Swt yang mana Dia telah mengantarkanmu
ke usia muda dan ke usia taklif, sehingga kamu termasuk dalam
khitab (seruan)Nya Swt. Allah belum pernah menyerumu dan belum pernah
meminta sesuatu darimu, tetapi mulai hari ini kamu menjadi tempat khitab
Ilahi dan termasuk dalam cakupan firman Allah Swt, “Wahai orang-orang
yang beriman”. Sekarang kamu adalah bagian dari mereka orang-orang
yang mendapatkan khitab Ilahi. Dan saya mensyikuri keutamaan ini—
yakni sampainya kamu ke usia balig dan masa kemuliaan (tasyarruf)—
dengan mengadakan perayaan ini. Dan ini adalah perayaan kemuliaan
bukan kewajiban. Aku bersyukur kepada Allah Yang Mahatinggi yang telah
menjadikanmu sebagai tempat khitab-Nya bukan untuk menunaikan tugas
dan kewajiban, karena tidak ada paksaan dan keberatan. Mendengarkan
khitab Ilahi serta menjalankan perintah Ilahi adalah suatu kemuliaan
(tasyrif ) bukan suatu kewajiban (taklif ), dan ini adalah mukadimah cinta
p:55
itu”. Demikianlah rahasia yang dinukil oleh al-Kulaini dari sabda Rasulullah
Saw. , “Sebaik-baik manusia adalah orang yang mengalami ‘isyq dalam
ibadah lalu dia memeluknya dan mencin tainya dengan hatinya …” Karena,
seseorang yang mencapai tingkatan ini, akan memahami bahwa cinta
yang bohong akan berubah menjadi kegelisahan dan kemurungan ketika
kehilangan sang kekasih. Apabila kekasih hilang, maka orang-orang lain tidak
merasakan kesedihan dan kehancuran itu, tetapi pecinta itu sendiri yang
terbakar dengan api perpisahan. Asmara yang kemarin menjadi penyebab
kebahagiaan, sekarang malah menjadi penyebab penderitaan.
Kalau begitu, jika kekasih hilang, maka itu menjadi penyebab kesedihan.
Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang mencintai “Yang Maha Hidup
dan tidak mati”. Ketika Kekasih menjadi abadi, maka pecinta seharusnya
melalui perjalanan menuju puncak derajat cinta yaitu al-‘isyq. Dan ‘syiq
membangkitkan pengaruh-pengaruh Sang Kekasih (al-ma‘syuq) pada diri
pecinta (al-‘âsyiq). Ada satu macam tanaman yang tumbuh di samping
pohon dan melilit di atas barangnya. Mereka mengatakan bahwa tanaman
ini telah mengalami ‘isyq. Ia melilit di atas pohon dan menutup jalan-jalan
pernapasan atasnya dan menjadikan daun-daunnya kekuning-kuningan
(pucat) serta menjadikan kerontokannya lebih cepat sehingga mencegah
kematangan buahnya. Ia menjadikan pemandangannya menjadi kuning
(pucat) dan tidak membiarkannya bernapas. “Setiap orang yang jarang tidur,
maka wajahnya lebih nampak kuning (pucat)”. Dan pecinta ini berwajah
kuning (pucat) karena ‘isyq itu telah menutup jalan-jalan pernapasannya.
Rasa rindu dan gejolak itu tidak membiarkannya meneruskan perkembangannya
dan tidak meninggalkannya untuk memperoleh ukurannya yang
sesuai. Padahal, dari sisi perkembangannya dengan sendiri dia seharusnya
memperoleh lebih dari ukuran ini yang sekarang dimilikinya. Riwayat itu
mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang memeluk ibadah dan
berhubungan dengannya melalui badannya”. Dan niat ini yang kita sertakan
di saat salat adalah niat secara teoretis (realitas di otak, al-haml al-awwali—
Peny.). Namun, menurut istilah ahli makna adalah kelalaian secara praktis
(realitas di luar ota, al-haml as-syâi’—Peny.) Dan siapa yang berkata: Saya
salat dengan empat rakaat ini untuk pendekatan diri kepada Allah Swt,
maka makna yang terlintas dalam pikiran adalah Alhaml al-awwali tetapi
pada hakikatnya ia adalah kelalaian dengan al-haml as-syâi’. Dan niat adalah
kebangkitan kembali, terbang (membumbung), dan kecenderungan serta
usaha meninggalkan alam fisik.
Itulah yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar dan sebagian ahli
p:56
makrifat (al-‘urâfa’): Sungguh saya terhentak ketika saya mendengar sebagian
orang yang ketika mereka mendirikan salat, seluruh panca indra mereka
bersama dunia dan alam fisik lalu orang-orang itu mengatakan “Assalamu
‘alaikum” ketika selesai salat. Sebab emosiku adalah: orang yang terpisah
dari jamaah salat kemudian dia kembali kepadanya kedua kali, yakni orang
yang tidak hadir pada saat (salat) jamaah lalu dia kembali kepadanya, dia
dapat menghadiahkan salam dan ucapan penghormatan dan mengatakan
“Assalamu ‘alaikum” tetapi orang yang bersama jamaah dan bersama orang-orang
lain, dia berada di tengah-tengah kehadiran mereka dan orang-orang
lain pun hadir bersamanya. Dia bersama manusia dan manusia bersamanya,
maka tidak ada baginya anjuran untuk mengucapkan salam. Ahli makrifat
(al-‘ârif ) yang agung ini berkata: Jika salatnya orang yang salat
adalah “mi’raj ruhani bagi seorang Mukmin” atau “apabila seorang yang salat
mengetahui kepada siapa dia bermunajat, niscaya dia tidak terlilit dengan
dunia”.(1) Sungguh dia benar-benar bermunajat kepada Tuhannya atau
jika—“salat adalah kurban setiap orang yang takwa”,(2) maka dia akan
terbang (membumbung) dengan niatnya dari alam materi dan rumah. Dia
benar-benar gaib dari alam fisik dan dari jamaah serta dari kehadiran orang
lain dan mereka juga tidak terlintas dalam pikirannya. Dia hanya bersama
sesuatu yang disembahnya dan ketika selesai salat dan dia kembali dari
puncak ketinggiannya dan setelah menyelesaikan munajatnya bersama Allah
lalu berhubungan dengan para jamaah dan dia datang di tengah-tengah
kehadiran orang lain dan merasa senang dengan mereka, maka saat itu dia
berkata, “Assalamu‘alaikum warahmatullah wabarakatuh”.
Jadi, salat ini yang diharamkan (dari perbuatan apa pun yang dapat
membatalkan ketentuan salat) dengan takbir dan dihalalkan dengan taslim
(ucapan salam) dan orang yang salat ini yang haram (baginya untuk melakukan
perbuatan di luar ketentuan salat) dengan perkataannya “Allahu akbar” dan
menghalalkan(untuk melakukan perbuatan yang tadinya haram dikerjakan
di waktu salat) dengan perkataannya “Assalamu alaikum”, orang seprti ini
dapat mengucapkan salam atas orang-orang lain. Akan tetapi, orang yang
salat itu yang mana pancaindranya masih bersama manusia dan dia belum
mampu menghilangkan ingatannya terhadap dunia dan penghuninya, maka
dia(sebenarnnya) belum gaib dari jamaah, sehingga ketika dia kembali
kepadanya, dia tidak dapat (baca: tidak pan tas—Peny.) mengucapkan salam.
Riwayat itu mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang
mengalami ‘isyq dalam ibadah, “Segala bentuk ibadah: finansial dan fisik
p:57
dan pembentukan (perpaduan) antara fisik dan finansial, dan semua
ibadah internal dan eksternal, “Bukankah keimanan itu tidak ada lain
kecuali kecintaan dan kebencian”.(1)
Sebaik-baik manusia, semulia-mulia manusia, dan sehormat-hormat manusia adalah yang mengalami ‘isyq dalam
ibadah lalu dia memeluknya dan berhubungan dengannya melalui badan-
nya. Namun, cinta dunia telah menghalangi manusia untuk mencapai
kedudukan yang tinggi ini. Pada bab cinta dunia dari kitab al-Kafi terdapat
riwayat yang dinukil dari perkataan salah seorang imam, “Cinta dunia adalah
pangkal segala kesalahan”.(2) Dan dua kelompok (Syiah-Sunah—Peny.) telah
meriwayatkan sabda Rasulullah Saw. , “Tidak lah dua serigala buas yang
berada di hadapan kambing yang telah ditinggalkan penggembalanya
yang mana salah satunya (memangsa) di bagian depannya dan yang lain
(memangsa) di bagian belakangnya lebih buruk daripada cinta dunia dan
kemuliaan(jabatan) pada agama seoroang Muslim”.(3)
Cinta yang batil dan hubungan dengan dunia serta kedudukan atau
jabatan akan menghilangkan agama dari pangkalnya, di mana serangan dua
serigala buas terhadap sekawanan domba tanpa penggembala tidak lebih buruk
darinya. Ketika serigala menyerang sekawanan domba, dia memangsa sesuai
dengan kebuasannya, tidak sekadar kebutuhannya terhadap makanan. Dia tidak
pernah merasa kenyang, dan tabiat kebuasannya tidak akan pernah terpuaskan.
Para ulama Syiah dan Ahlusunah telah menulis beberapa risalah seputar
tema yang diperbincangkan oleh hadis yang terdahulu yang diriwayatkan dari
Rasul yang mulia Saw. Masalah tersebut pada akhirnya juga menjadi perhatian
kaum intelektual dari kalangan khusus dan umum yang menulis risalah yang
banyak dalam menjelaskan hadis ini. Jika Imam a.s. berkata, “Cinta dunia
adalah pangkal segala kesalahan”, Maka tidak dapat dibantah bahwa cinta
Allah adalah dasar, pangkal, dan pondasi segala kebenaran, kemaslahatan,
dan keutamaan. Dan kedua-duanya mempunyai dasar dalam Al-Qur’an.
Cinta Allah adalah puncak segala keutamaan, dan dasar Al-Qur’annya
telah dikemukakan pada pelajaran-pelajaran terdahulu. Sedangkan
“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan”, makna ini telah terdapat
dalam surah an-Nahl, “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya” (Q.S. an-Nahl: 106). Mereka
adalah orang-orang yang ruh mereka dipenuhi kekufuran (sebaliknya,
orang-orang lain dada mereka dilapangkan dengan keutamaan, yakni ruh
mereka terlapangkan, terbuka, dan terpenuhi dengan keutamaan). Maka
p:58
ruh mereka dipenuhi dengan keburukan-keburukan dan dosa-dosa—
sebagian telah dilapangkan dadanya dan diluaskan untuk dipenuhi dengan
makrifat Ilahi dan sebagian lagi dilapangkan dadanya dan diluaskan untuk
dipenuhi dengan keburukan dan penyimpangan—dan keluasan dada untuk
(melakukan) maksiat-maksiat dibarengi dengan kesempitan, “Dan barang
siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit” (Q.S. Thaha: 124). “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan bagi mereka siksaan
yang besar”. Maka mereka berhak mendapatkan kemurkaan Ilahi dan mereka
akan jatuh (bergelimpangan) sebagai akibat kelaliman mereka, karena
setiap orang yang berhak mendapatkan kemurkaan Ilahi adalah orang yang
jatuh(binasa), “Dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan
kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku,
maka sesungguhnya ia jatuh (binasa)” (Q.S. Thaha: 81). Ketika dia jatuh,
maka tidak ada jalan untuk kenaikannya dan kesempurnaannya.
Cinta dunia di sini didefinisikan sebagai rahasia kejatuhan dan kemur-
kaan Ilahi, “Yang demikian itu karena mereka lebih mencintai kehidupan
dunia ketimbang akhirat” (Q.S. an-Nahl: 107). Mereka telah menjadikan
dunia sebagai sasaran cinta mereka dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia daripada kehidupan akhirat. Dunia adalah kekasih mereka, bukan
akhirat. Apa saja yang mendekatkan manusia kepada Allah, maka itu adalah
akhirat; dan baginya setelah alam ini terdapat pahala. Sedangkan apa saja
yang menjauhkan manusia dari Allah, itu adalah dunia, dan baginya pada
alam itu terdapat balasan. Al-Qu’ran berkata: Penyebab seluruh balasan Ilahi
adalah karena mereka menjadikan dunia sebagai kekasih mereka, dan mereka
menerima dunia sebagai kekasih. Cinta dunia inilah yang menyebabkan
kemurkaan Ilahi dan kemurkaan Ilahi ini mengakibatkan—“Yang demikian
itu karena mereka lebih men cintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan
sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir”.
Orang-orang yang menjadikan kekafiran sebagai kebiasaan tidak
akan mencapai tujuan karena mereka telah menyia-nyiakan kebenaran
dan jalan kebenaran. Mereka akan berjalan dalam keadaan menyimpang
dengan mengesampingkan akal, mereka akan melangkah dalam kesesatan,
“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah
dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai. Pastilah
bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi” (Q.S. an-
Nahl: 108—109). Mereka itulah orang-orang yang lalai yang mana hati,
pandangan, dan penglihatan mereka telah dipasang tabir (penutup) oleh
p:59
Allah. Hal yang seharusnya mereka pahami dengan hati mereka, tidak
mereka pahami. Hal yang seharusnya mereka lihat dengan mata mereka,
mereka malah tidak melihatnya. Dan hal yang seharusnya mereka dengar
dengan telinga mereka, malah mereka tidak mendengarnya. Mereka akan
menjadi orang-orang yang lalai dan kelalaian mengakibatkan kerugian,
“Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi”.
Orang yang lalai adalah orang yang telah mengunci akalnya, sehingga dia
tidak mengenali kebenaran dengannya. Dia telah menyerahkan kendalinya
kepada khayal (imajinasi). Seseorang yang tidak memfungsikan wahyu dan
akal, dia akan jatuh dalam perangkap khayal dan akan menjadi tawanan
khayal. Dia tidak akan melalui jalan cinta kepada Allah. Dan barang siapa
menjadi demikian, maka dia juga tidak akan menjadi orang yang dicintai di
sisi Allah. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an yang mulia, “Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”
(Q.S. Luqman: 18). Kandungan (seperti) ini terdapat dalam beberapa
tempat (surah) dalam Al-Qur’an.
Orang yang sombong (al-mukhtal) adalah orang yang menjalin
khayalan. Barang siapa menjadi tawanan khayal, maka dia dinamakan
manusia fantastis; yaitu manusia yang melaksanakan pekerjaannya atas dasar
isyarat yang ditunjukkan oleh khayalannya. Siapa pun yang telah menjadi
tawanan khayalnya dan budak ilusinya serta bersandarkan kepada jalinan
khayalannya yang berlandaskan kepada hal-hal yang berbau asumsi yang
mana ia menjadikan khayalannya seolah-olah mempunyai nilai baginya,
maka dia dinamakan orang yang sombong (mukhtal), yakni penjalin khayal
dan tawanan khayal. Dan apa pun yang selain Allah dan apa pun yang
termasuk produk asumsi, itu adalah khayal.
Barang siapa bersandarkan kepada tenunan-tenunan khayalnya,
maka dia adalah orang yang sombong. Dan ketika dia menjadi orang yang
sombong, dia akan menjadi orang yang membanggakan diri. Dan orang
yang membanggakan diri adalah orang yang bangga dengan kebatilan. Al-
Qur’an berkata: Seseorang yang telah menjadi tawanan khayalannya lagi
merasa tinggi denggan bangga diri adalah orang yang tidak disukai di sisi
Allah, karena jalan cinta adalah jalan akal bukan jalan ilusi. Dan barang siapa
menjadi tercinta di sisi Allah, maka dia telah melalui jalan wahyu dan akal.
Dan barang siapa menjadi tawanan khayalannya, maka dia sama sekali tidak
akan menjadi tercinta di sisi Allah, “Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri”(Q.S. al-Hadid: 23).
p:60
Setiap orang yang sampai pada kedudukan (maqâm) tertentu, lalu
dia merasa bangga dengan hal itu, maka hendaklah dia mengetahui bahwa
dia masih jauh dari jalan cinta, dan selanjutnya dia masih jauh juga dari
agama. “Bukankah iman tidak ada lain kecuali cinta dan benci”. Agama
mengupayakan agar menjadikan (baca: memposisikan—Peny.) akal sebagai
pengatur dan pegurus masalah-masalah manusia, bukan khayal dan ilusi.
Dalam bab hubb (cinta), Almarhum Kulaini menukil perkataan Imam kelima
as, “Perumpamaan orang yang mencintai dunia adalah seperti ulat sutera;
semakin meluas dan semakin bekerja, maka ia justru memper sempit dirinya
dan malah ia mencekik dirinya sendiri dengan itu”. Semakin ia bekerja,
semakin ia menghasilkan dan semakin ia menenun, malah ia tengelam di
pertengahan itu. Ulat sutera ini berusaha dan menjadikan dirinya berada
dalam lubang lalu ia memenuhi sekitarnya dengan bahan-bahan yang
mentah berupa sutera kemudian ia malah teggelam di pertengahannya dan
setelah selesai dari pekerjaannya, ia malah tewas.
Al-Qur’an berkata: Cinta dunia-dunia adalah segala sesuatu selain
Allah—mencegah sampainya seseorang kepada Allah seperti pekerjaan
ulat sutera. Jika dunia adalah alam pertumbuhan (tarbiyah), dan dengan
pertumbuhan daun kebesaran (mulberry) berubah menjadi sutera, maka
mengapa manusia tidak melalui jalan yang benar sehingga menjadi salah
seorang malaikat? Mengapa dia malah tenggelam seperti ulat sutera di
tengah-tengah pekerjaannya? Mengapa dia tidak melepaskan kedua sayapnya
lalu terbang? Simak syair berikut:
Sesungguhnya Anda akan menjadi malaikat seandainya Anda ber -usaha
dengan sekuat tenaga untuk itu, sebagaimana daun kebesaran(waraqah attaut)
secara perlahan-lahan menjadi atlas.(1)
Jika di alam ini daun kebesaran dapat berubah melalui perantaraan
pertumbuhan menjadi sutera, maka mengapa manusia tidak berubah
melalui perantaraan pertumbuhan (tarbiyah) menjadi malaikat? Mengapa
manusia malah menjadi seperti ulat sutera yang tenggelam di saat bekerja
dan tetap di dalamnya. AlQur’an berkata: Segala sesuatu selain Allah adalah
dunia, dan cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, “Yang demikian itu
karena mereka lebih mencintai kehidupan dunia ketimbang akhirat” (Q.S. an-
Nahl: 107). Dan manusia yang fantastis, semakin dia banyak bekerja sesuai
petunjuk khayalnya dan menikmati khayalan-khayalannya serta bangga
dengannya, maka dia akan menjadi seperti ulat sutera menurut pernyataan
p:61
Imam kelima as. Dia akan tenggelam di tengah-tengah pekerjaan yang akan
menjadi tempat kuburannya “seperti ulat sutera yang selalu menenun”. Maka
usaha dan jerih payah ini seperti ulat sutera yang manusia selalu berusaha
untuk menggali kuburannya sendiri. Jika terdapat riwayat, “Kuburan itu
dapat berupa taman dari taman-taman surga, “ yang manusia adalah tempat
terbang “atau galian dari galian api”,(1)
maka riwayat ini bukan berarti tidak ada hubungan dengan masalah ini.
Manusia yang suka khayal, hatinya lalai karena cinta kepada Allah
harus berada di hati sementara dia menghilangkannya. Dan Allah Swt telah
memerintahkan Rasul-ya yang mulia untuk memutuskan hubungannya
dengan orang-orang yang hatinya lalai, Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya
yang mulia dalam surah Al-Kahfi:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya;
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas” (Q.S. al-Kahfi: 28).
Yakni, bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang lemah dan tidak
beralas kaki itu yang mana mereka kembali berzikir kepada Allah pagi dan
sore. Janganlah kamu terima usulan kaum elite dan mewah yang menga -
takan kepadamu usirlah orang-orang yang fakir itu sehingga kami dapat
datang ke majelismu. Berkumpullah bersama orang-orang yang tidak beralas
kaki itu dan janganlah kamu terima usulan kaum elite itu yang mengatakan:
sangat berat bagi kami duduk di satu majelis bersama orang-orang fakir
itu. Janganlah kamu perhatikan usulan mereka yang menginginkan duduk
bersamamu secara khusus dan pertemuan khusus besamamu, “Dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia; dan janganlah kamu meng ikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingat Kami”. Janganlah bergabung bersama orang-orang
yang hati mereka telah dilalaikan oleh Allah dari mengingat-Nya, dan
mencabut dari mereka nikmat zikrullah yang termasuk nikmat teragung
karena ruh mereka tidak layak untuk melakukan itu.
Sebagaimana dalam pelajaran-pelajaran terdahulu, orang-orang yang
perilaku mereka buruk kepada Allah dan tidak mengikuti kekasih Allah
(Muhammad Saw. ) serta mengabaikan Al-Qu’ran, maka Allah Yang Maha
Mulia dan Maha Agung akan menarik nikmat zikir kepada-Nya Swt dari
p:62
hati mereka dan mencabut juga dan mengingat akhirat dan Hari Kiamat.
Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung tidak memberi taufik ini kepada
sembarang orang, “Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingat
negeri akhirat” (Q.S. Shad: 46).
Jadi, mengingat akhirat adalah nikmat khusus yang Allah anugerah kan
kepada hamba-hamba-Nya yang khusus sehingga dengan nikmat ini mereka
menjadi hamba-hamba Allah yang ikhlas, “Aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombongkan dirinya di muka bumi” (Q.S. Al-A’raf: 146).
Jadi, mengingat akhirat adalah nikmat khusus yang Allah anugerahkan
kepada hamba-hamba-Nya yang khusus sehingga dengan nikmat ini
mereka menjadi hamba-hamba Allah yang ikhlas, “Aku akan memalingkan
orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi” (Q.S. Al-A’raf:
146). Allah berfirman: Aku akan memalingkan orang-rang yang bersikap
sombong dan arogan di muka bumi dari mengingat kepada-Ku, “Kemudian
mereka berpaling, maka Allah memalingkan hati mereka” (Q.S. at-Taubah:
127). Ketika mereka dengan sengaja berpaling dari ajaran-ajaran agama,
maka Allah Swt memalingkan hati mereka dari memahami agama, dan
selanjutnya, Allah tidak menganugerahi mereka nikmat pemahaman. Dan
bagian-bagian ini, dua atau tiga yang telah di paparkan, disebutkan dalam Al-
Qur’an di beberapa surah secara lengkap.
Al-Qur’an berkata: Barang siapa menjadi tawanan khayalannya dan
bangga dengan petunjuk yang diberikan khayalnya serta bangga dengan
setiap kedukan yang dicapainya meskipun itu sekadar tenunan imajinasi,
maka hatinya lalai, dan barang siapa yang hatinya lalai, maka dia tidak akan
pernah mendapatkan cinta Rasulullah Saw. , “Dan janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya Kami lalaikan dan mengingat Kami serta mengikuti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (Q.S. al-Kahfi: 28).
Ketika seseorang memilih penjara untuk menjaga kehormatannya, maka
dia akan menjadi Nabi Yusuf ash-Shiddiq (yang benar), “Wahai Tuhanku,
penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku” (Q.S.
Yusuf: 133). Pergi ke penjara lebih utama daripada memenuhi ajakan zina.
Dan Agama adalah cinta di jalan Allah.
Seseorang terkadang meninggalkan ayahnya atau anaknya atau
saudaranya atau keluarganya dalam rangka mencari jalan rida Allah Swt
sebagaimana hal itu dijelaskan dalam surah Mujadalah. Dia tidak siap
sama sekali untuk menerima selain Allah menyelinap ke dalam hatinya,
maka dia akan menemui kesulitan dan kesempitan. Sebab, Kekasih itu
p:63
akan meninggalkan hatinya dan dia akan bersedih pada hari kepergiannya
disebabkan cinta tanpa kehadiran Kekasih adalah penderitaan dan
kesengsaraan. Cinta dunia adalah dasar segala kesalahan, sementara cinta
Allah adalah pangkal segala keutamaan, “Jika kamu benar-benar mencintai
Allah, maka ikutilah aku; niscaya Allah akan mencintaimu” (Q.S. Ali ‘Imran:
31). Allah akan menjadikan kalian sebagai kekasih-keasih-Nya. Barang siapa
yang melalui jalan Ibrahim al-Khalil, maka dia akan menjadi kekasih Allah
(khalilullah). Barang siapa yang melalui jalan Rasul yang termulia Saw. ,
maka dia menjadi kekasih Allah (habibullah).
Alhasil, mereka (para rasul dan wali Allah—Peny.) adalah pemimpin-pemimpin,
panutan, dan teladan; dan umat hendaklah berjalan di atas
langkah mereka. Setiap orang yang melalui jalan (mereka) pada batas
tertentu, maka dia akan menikmati cinta dengan sebatas kadar itu karena—
“Bukankah iman tidak ada lain kecuali cinta dan benci”. Dan mereka (para
rasul—Peny.) mengatakan bahwa mereka (para pejalan ruhani—Peny.)
menikmati hati yang tulus (qalbun salim) karena di hati mereka tidak ada
lain kecuali stempel Allah Swt.
Di dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa pernah salah seorang
imam ditanya: Apa benar ahli surga memang tidak merasakan kesedihan
dan kegelisahan, padahal bagaimana mungkin seseorang tidak merasakan
kesedihan sementara misalnya, dia melihat anaknya yang kafir dilemparkan
ke dalam neraka Jahim? Bagaimana mungkin seseorang tidak merasa sedih
meski dia berada di surga dan bersenang-senang di dalamnya sementara
anaknya atau saudaranya atau temannya disiksa di neraka? Bukankah
penghuni surga berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan
kesedihan dari kami” (Q.S. Fathir: 34). Sungguh telah hilang kesedihan dan
kegelisahan dari surga dan sama sekali tidak ada di dalamnya rasa khawatir
atau rasa gelisah, “Tidak ada di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak
ada pula pertautan dosa” (Q.S. Thur: 23). Di dalam surga tidak ada lain
kecuali kedamaian dan keselamatan. Maka, Imam menjawab: Tidak ada di
hati penduduk surga kecuali Allah dan wali-wali Allah. Mereka tidak ingat
kalau mereka mempunyai anak yang sedang disiksa di Jahim; tidak ada di
hati mereka selain Allah sehingga mereka tidak sedih atas kehilangannya.
Disebutkan di sebagian ayat Al-Qur’an bahwa di antara mereka saling
bertanya, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman”
(Q.S. as-Safat: 51). Pertanyaan ini tidak bertentangan dengan pembahasan
itu karena tidak ada di hati mereka ketergantungan kepada seorang pun.
Cinta adalah jalan Allah, dan tidak ada cinta kecuali dengan gerakan. Dan
p:64
gerakan ini disimpulkan dalam bagian-bagain akidah, akhlak, dan amal.
Dan Rasulullah Saw. adalah teladan bagi umatnya pada tiga bagian ini
untuk mengantarkan mereka ke suatu derajat yang mana mereka akan
menjadi kekasih-kekasih Allah. “Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
maka ikutilah aku; niscaya Allah akan mencintai kamu”.
p:65
p:66
Pelbagai Jalan Untuk Mengenal Allah Dalam Pandangan Al-Qur’an
p:67
p:68
Pelbagai Jalan Untuk Mengenal Allah Dalam Pandangan Al-Qur’an
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Al-Qur’an adalah kitab cahaya dan petunjuk bagi semua manusia.
Ajakan Al-Qur’an adalah untuk seluruh manusia, dan ajakan itu dapat
dipahami dan diterima. Kandungan-kandungan Al-Qur’an yang mulia
dikemukakan dengan cara menyampaikan argumentasi rasio yang pasti dan
dijelaskan juga dengan cara menggambarkan contoh-contoh agar manusia
secara umum mudah memanfaatkan contoh-contoh ini untuk mengetahui
makna-makna dan tujuan-tujuan Al-Qur’an yang mulia. Seorang eksklusif
(al-auhadi) pun dapat memanfaatkan argumentasi-argumentasi rasio yang
pasti dan memuaskan dahaga intelektualnya dan limpahan-limpahannya.
Perumpamaan-perumpamaan yang dikemukaan oleh Al-Qur’an
merupa kan dalil bagi manusia pada umumnya dan sebagai penguat (almuayyid)
bagi kalangan ekslusif. Pembahasan perumpamaan-perumpamaan
Al-Qur’an berkatian dengan argumentasi-argumentasi rasio yang merupakan
tiruan (tamsil). Yakni, penjelasan tingkatan yang diturunkan untuk argumentasi
rasio menggambarkan pengetahuan-pengetahuan rasional (al-ma’ârif al-aqliyah).
Tingkatan yang diturunkan untuk kedudukan-kedudukan yang tinggi
dan masalah yang terpenting yang mendapat perhatian cukup besar oleh Al-
Qur’an adalah masalah tauhid dan Hari kemudian. Al-Qur’an yang mulia
telah memanfaatkan perbagai jalan untuk memberikan petunjuk kepada
manusia tentang asal-muasal (mabda’) dan Hari Kemudian, dan khususnya
tauhid. Meskipun semua wujud alam mumkinat adalah ayat-ayat (tandatanda
kebesaran) Allah Swt., dapat saja menetapkan mabda’ dari banyak jalan
yang lain. Saya telah banyak menunjukkan hal itu pada pelajaran-pelajaran
terdahulu. Al-Qur’an yang mulia terkadang menjelaskan pelbagai jalan untuk
mengenal Allah sebagian atas sebagian yang lain. Ia juga menyebutkan dalil-dalil
yang cukup banyak untuk menetapkan Hari Kemudian dan pentingnya
pahala dan siksa. Dan terkadang Al-Qur’an menjelaskan dalil-dalil lain itu
secara ringkas melalui dalil yang umum. Dalam surah Al-An’am terdapat
contoh kumpulan dalil seputar tauhid sebagian atas sebagian yang lain, dan
terdapat juga contoh kumpulan dalil tentang Hari Kemudian dalam surah
Shad. Sebagian jumlah yang lain juga terdapat dalam surah Al-An’am. Kami
akan mengemukakannya dan menjelaskannya.
p:69
Dalam surah Al-An’am—yang mana pada hakikatnya ia adalah surah
Ihtijaj—Allah Swt mengajari Rasul-Nya yang mulia Saw. kira-kira empat
puluh bantahan (ihtijaj). Allah berkata di dalamnya “qul (katakanlah)” atau
menginstruksikannya agar menyampaikan hukum-hukum Allah, dan banyak
dari hukum-hukum ini dibarengi dengan menyebut dalil dan bantahan
bersamanya. Apa yang terdapat dalam surah Al-An’am sebagai dalil-dalil
tentang tauhid disebutkan di akhir surah sebagai kesimpulan baginya. Allah
Swt berkata kepada Rasul-Nya Saw. , “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku
memberikan petunjuk kepadaku menuju jalan yang lurus’” (Q.S. Al-An’am:
161). Jalan yang lurus adalah jalan yang penghujungnya adalah keabadian.
Tidak syak lagi, menempuh jarak di jalan ini akan mengantarkan seseorang
kepada kebahagiaan abadi. Perbuatan-perbuatan Allah Swt atas dasar jalan
yang lurus; bimbingan-bimbingan dan pengarahan-pengarahan Rasul yang
mulia Saw. juga berdasarkan jalan yang lurus. Dan setan-setan sebagai
perampok-perampok jalan telah duduk di atas jalan yang lurus, karena setan
tidak akan berbuat apa-apa bersama jalan-jalan yang menyimpang, tetapi dia
senantiasa duduk di atas jalan yang lurus untuk menyiapkan penyergapan
guna menangkap orang-orang yang berjalan di atasnya. Dan tentu
menempuh jalan yang lurus adalah sangat berat karena setan telah bertekad
untuk memutus jalan dengan segala potensi yang diberikan kepadanya.
Oleh karena itu, menempuh jalan yang lurus sangat sulit lagi berat sampai
pada tingkatan sebagaimana dikatakan dalam suatu riwayat bahwa manusia
meletakkan kakinya di atas suatu jalan yang lebih halus daripada rambut dan
lebih tajam daripada pedang.
Dan pekerjaan-pekerjaan Allah Swt atas dasar jalan yang lurus,
“Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus” (Q.S. Hud: 56). Dan
program-program Tuhan berlandaskan jalan yang lurus, bahkan program
kebenaran adalah jalan yang lurus ini. Dan Rasulullah Saw. juga bergerak
di atas jalan yang lurus (Yasin). “Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah.
Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul (yang berada) di atas jalan
yang lurus.” (Q.S. Yasin: 1—4).
Kalau begitu, Rasul yang termulia Saw. berada di atas jalan yang
lurus. Pemikiran-pemikirannya, akhlaknya yang agung, perkataan dan
perbuatannya, semuanya menggambarkan sunahnya dan hujahnya yang
terbentang di jalan. Dan Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya yang mulia
Saw. : Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus, dan setan telah
bertekad bulat untuk memotong jalan orang-orang yang berjalan di atas jalan
ini, “Saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau
p:70
yang lurus” (Q.S. Al-A’raf: 16). Setan telah duduk menghalang-halangi di
atas jalan dan di atas lintasan-lintasan yang menuju ke jalan ini agar ia dapat
menyimpangkan (membelokkan) mereka dari jalan ini. Dengan demikian,
jalan tersebut memliki peranan yang cukup besar. Dan Allah Swt juga
“bersembunyi” di atas jalan ini untuk “menyer gap” tangan wali-wali-Nya
dan berjaan-jalan bersama mereka di jalan ini. Sementara setan juga tidak
ketinggalan; ia duduk di tempat persembunyian untuk menjegal kaki orang-orang
yang berlalu-lalang di atas jalan ini guna memalingkan mereka dari jalan
ini dan menebarkan duri-duri di jalan itu. Allah Swt berkata kepada Nabi-Nya
Saw. , “Katakanlah, ‘Tuhanku telah memberikan petunjuk kepadaku menuju
jalan yang lurus’” , dan yang dimaksud jalan ini adalah agama itu yang tidak
ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya yaitu agama yang dianut
oleh Ibrahim al-Kahlil. “Yaitu agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus;
dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Katakanlah,
‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadahaku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan (Pengatur) semesta alam” (Q.S. Al-An’am: 161—162).
Dan tanda bahwa alam kosmos berada di atas jalan yang lurus yaitu
bahwa hendaklah manusia dengan segenap dimensi keberadaannya hanya
untuk Allah Swt. Maka, salatnya, hajinya, dan semua ibadah yang lain serta
hidupnya dan matinya untuk Allah Tuhan Pengatur alam. Yakni, dia tidak
mengamalkan suatu amalan tanpa ada perintah dari Allah Swt; dia tidak
meletakkan kaki atau melangkahkan suatu langkah kecuali untuk mencari
rida Allah. Dan selama dia hidup, dia berjalan di jalan agama Ilahi; ketika
dia mati, maka kematiannya juga di jalan Allah dan untuk mendapatkan rida
Allah. Sementara orang-orang yang hidup untuk selain Allah, maka kematian
mereka juga untuk selain Allah “Sebagaimana kalian hidup, maka kalian
akan mati dan sebagiamana kalian mati, maka kalian akan dibangitkan”.
Apabila hidupnya untuk selain Allah, maka matinya tidak mungkin untuk
Allah Swt. Dan barang siapa yang matinya untuk selain Allah, maka nanti
di Mahsyar dan pada Hari Kiamat setelah kematian dia tidak mendapatkan
rahmat Allah.
Dalam beberapa surah Al-Qur’an yang mulia disebutkan bahwa
para malaikat memukul wajah (bagian depan) dan punggung (bagian belakang)
orang-orang yang fasik, dan ini berhubungan dengan tekanan dalam
keadaan kematian. Sebagian tokoh besar urafa (kaum sufi—Peny.) Muslim
belakangan menafsirkan ayat yang mulia ini—“mereka (para malaikat)
memukul wajah mereka (kaum fasik) dan punggung mereka” (Q.S. Al-An’am:
50). Dengan tafsiran sebagai berikut: Sesungguhnya para malaikat yang
p:71
memukul bagian depan orang-orang fasik bukanlah para malaikat yang juga
memukul bagian belakang mereka, karena malaikat alam ini ketika melihat
orang ini hampir mati dari dunia ini dan dia tidak mengutamakan sedikit
pun akhirnya daripada tanaman dunia dan dia tidak memberi barang apa
pun dari pasar dunia untuk(kebu tuhan)nya di akhirat, maka malaikat itu
memukuli punggungnya dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkannya dari
dunia ini. Adapun malaikat alam yang lain itu, ketika melihat orang ini telah
datang dari dunia dengan tangan kosong, maka mereka memukuli wajahnya.
Demikianlah makna yang terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia, “Mereka
(malaikat) memukul wajah mereka (kaum fasik) dan punggung mereka”. Maka,
anggota tubuh bagian depan dan bagian belakang orang-orang fasik disakiti
pada saat kematian dan berpindah dari alam dunia menuju alam barzakh.
Dan barang siapa yang hidupnya bukan untuk Allah, maka kematiannya
sama sekali bukan untuk Allah. Tetapi, Rasul termulia Saw. hidupnya untuk
Allah dan matinya untuk Allah dan di jalan Allah, “Tidak ada sekutu bagi-
Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Q.S. Al-An’am: 163).
Kami telah menjelaskan pada salah satu pelajaran terdahulu bahwa
Rasulullah Saw. adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah). Permulaan ini bukan lebih dahulu dalam hal waktu (sabqan
zamaniyyan) karena setiap nabi sehubungan dengan umatnya dengan
memperhatikan keislamannya, juga memiliki pendahuluan waktu. Nabi-nabi
terdahulu juga memiliki pendahuluan waktu dibandingkan dengan
para nabi yang datang sesudah mereka dengan memperhatikan keyakinan
mereka terhadap Islam. Namun, ungkapan (ta’bir) “awwalul muslimin”
tidak dilekatkan kepada seorangpun dari nabi-nabi terdahulu. Ungkapan
“awwalul mulsimin” yang terdapat dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an
yang mulia adalah khusus untuk Nabi termulia Saw. , dan ini merupakan
isyarat tentang permulaan subjektif (awwaliyah dzatiyyah) dan permulaan
dalam keutamaan, tingkatan, dan kemuliaan. Dan saat itu ia mengemukakan
tiga dalil atas tauhid:
Pertama, berkaitan dengan perwujudan sistem dunia.
Kedua, berkaitan dengan perwujudan sistem Hari Kemudian dan
kiamat.
Ketiga: berkaitan dengan masyarakat manusia dan kehidupan kemanusiaan.
Kesimpulan tiga argumentasiini disebutkan di dua ayat terkahir dari
p:72
surah Al-An’am. “Katakanlah, ‘Apakah aku akan mencari Tuhan Selain Allah,
padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu’” (Q.S. Al-An’am: 164). Dan
Tidak ada satu wujud pun yang tidak diciptakan oleh Allah Swt, dan tidak
ada(pula) satu makhluk pun yang tidak butuh kepada sumber yang hakiki
(al-mabda’ ad-dzati), dan tidak ada satu wujud pun yang tidak memerlukan
sumber yang wajib (al-mabda’ al-wajib). Kalau begitu, maka setiap wujud di
dalam wujud ini dan setiap yang dinamakan dengan makhluk kemungkinan
di dalam wujud, maka pasti ia berada di bawah pengaturan dan perencanaan
Allah Swt. Sebab, tidak dapat dikatakan bahwa makhluk-makhluk alam
tidak butuh kepada Tuhan Pengatur, dan tidak dapat dikatakan juga bahwa
keberadaan mereka bersandarkan pada selain Allah karena apabila sistem
(nizham) di atas benar dan apabila setiap wujud eksistensinya dan urusannya
tergantung kepada sumber yang hakiki, maka apa saja yang terwujud di
kosmos ini pasti memerlukan Tuhan Pengatur, dan Pengaturnya adalah
Allah, Sang Pencipta dan Yang Maha Kaya. Dan ini adalah bantahan (ihtijaj)
atas tauhid melalui jalan penyaksian sistem yang menyeluruh (an-nizaham
al-Kulli).
Kedua: Argumentasi atas tauhid melalui jalan Balasan dan Hari
Kemudian, Al-Qur’an berkata, “Dan tidaklah seseorang membuat dosa
melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S. Al-An’am: 164). Tidak ada
seorang penjahat yang melakukan tindak kejahatan kecuali dia bertanggung
jawab sendiri atasnya, karena suatu tindakan tidak akan pernah terpisah di
tempat mana pun dan di waktu apa pun dari pelakunya, dan pelaku kejahatan
tidak akan terpisah dari kejahatannya. Maka, tidak mungkin amal-amal itu
hilang sia-sia begitu saja, dan tidak mungkin hubungan amal-amal ini terputus
dengan para pelakunya. Dan tidak mungkin manusia yang bebas(tidak
bersalah) akan memikul beban dosa para pelaku kejahatan. Sama sekali
tidak akan ada pada Hari Kiamat seseorang yang memikul dosa orang lain.
Jadi, setiap manusia akan memikul dosanya sendiri. Terkadang dapat
saja seseorang memikul dosanya dan dosa orang-orang lain yang disesatkannya.
Tetapi orang-orang yang sesat dengan sengaja mereka harus memikul
dosa mereka juga. Karena, balasan dan upah (pahala) itu benar, dan tidak
dapat seseorang melepaskan diri dari jerat amalnya, Sebab “Setiap jiwa
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Q.S. Al-Mudatsir: 38).
Maka, setiap manusia akan bergantung kepada amalnya—“Kecuali golongan
kanan, (Q.S. Al-Mudatsir: 39). Mereka adalah orang-orang yang bebas
karena mereka bukan para penjahat sehingga mereka tidak menjadi tawanan
p:73
kejahatan mereka. Mereka hidup sebagai orang-orang yang bebas dan mereka
(nanti) akan dibangkitkan pada Hari Kiamat sebagai orang-orang yang
mulia. Karena setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya, dan alam
ini juga tidak dibiarkan tanpa ada balasan, maka atas dasar ini hisab, pahala,
siksa, dan upah juga ada. Oleh karena hari pembalasan ada, maka Pemilik
hari pembalasan juga ada, yaitu Allah. Ini semua adalah argumentasi atas
tauhid dilihat dari sisi pentingnya balasan dan Hari Kemudian, “Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu akan kembali lalu Dia akan memberitahukan apa-apa
yang kamu perselisihkan” (Q.S. Al-An’am: 164).
Perjalanan(masa depan) manusia haruslah sampai pada batas bahwa
mereka akan menyaksikan bagaimana perselisihan-perselisihan mereka
akan dipecahkan. Perselisihan mereka akan diselesaikan dan segala perbedaan
dalam pemikiran, akidah, pendapat, dan ijtihad ini akan berakhir.
Peperangan tujuh puluh dua umat akan berakhir, dan akan nampak dengan
jelas perselisihan dan kebohongan ini dan akan jelas juga kebenaran. Jika
perselisihan tidak akan hilang dan kebenaran tidak jelas, maka peperangan
tujuh puluh dua umat tidak akan berakhir. Maka, haruslah tiba suatu hari
yang mana menurut pandangan wujud dunia (alwujud al-kauni) akan tamat
perselisihan-perselisihan ini, yaitu Hari Kiamat. Meskipun tiba masa
kemunculan Imam Mahdi (mudah-mudahan Allah menyegerakan
kedatangannya yang mulia), maka segala perselisihan ini tidak akan berakhir
begitu saja. Kendati tidak ada permerintahan lain kecuali pemerintahan
Mahdi a.s. dan dia menulis di atas panjinya “baiat untuk Allah”, dan
walaupun bumi akan dipenuhi dengan keadilan dan kesejahteraan serta
tidak ada penguasa selain Imam Mahdi as, kelompok-kelompok lain
akan tetap bertahan bersama keyakinan-keyakinannya meskipun dalam
masalah-masalah umum mereka tunduk kepada pemerintahan Islam dan
melaksanakan ketetapan-ketetapan pemerintah Islam. Akan tetapi, ada
perselisihan antargolongan, pemikiran, akidah, agama, dan mazhab.
Al-Qur’an yang mulia menunjukkan tentang kesinambungan sebagian
golongan yang batil sampai Hari Kiamat. Misalnya, seputar ahlul
kitab, Allah Swt berfirman, “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan
kebencian di antara mereka sampai Hari Kiamat” (Q.S. Al-Maidah: 64).
Di sini Al-Qur’an mengungkapkan dengan ungkapan ilqa’ al-‘adawah
(menimbulkan permusuhan) berkenaan dengan sebagian yang lain. Dengan
begitu, diketahui bahwa mereka akan tetap dalam perselisihan sampai Hari
Kiamat. Dan ia (Al-Qu’ran) mengungkapkan tentang orang-orang yang
dekat dengan Islam dengan ungkapan “uqrabun nasi mawad datan lil Islam
p:74
(orang yang paling dekat kecintaannya kepada Islam)”, karena mereka jarang
bersikap istikbar (arogan) sesuai dengan argumentasi (istidlâl) itu. Al-Qur’an
mengungkapkan dengan kata ighra. Ia berkata, “Maka Kami bangkitkan
permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai Hari Kiamat” (Q.S. Al-
Maidah: 14). Dua bagian ayat ini terdapat dalam surah Al-Maidah. Hari di
mana segala perselishan ini akan berakhir adalah hari munculnya kebenaran,
“Sehingga nampak jelas bagi mereka bahwa ia adalah kebenaran” (Q.S.
Fushshilat: 53). Segala perselisihan, segala khurafat, dan segala perbedaan
visi akan dicampakkan dan akan nampak jelas kebenaran dan tidak ada
tempat lagi bagi perselishan, “Maka Dia akan memberithau kalian atas apa-apa
yang kalian perselisihkan”.
Hal itu merupakan argumentasi atas tauhid dari sudut perlunya
balasan. Dan Al-Qur’an yang mulia telah menjelaskan dua tema ini dalam
surah Al-Fatihah. Yang pertama adalah firman-Nya, “Segala puij bagi
Allah Tuhan (Pemelihara) alam semesta” (Q.S. Al-Fatihah: 2). Dan yang
lain adalah firman-Nya, “Pemilik hari kemudian” melalui pengaturan
(rububiyah) alam semesta, dan ditetapkan juga melalui kepemilikan Hari
Kemudian dan balasan. Ini berarti dapat saja menetapkan wujud Allah Swt
melalui pandangan falsafat dunia yang dalam dan dapat juga mene tapkan
keberadaan-Nya sebagai Pemilik Hari Kemudian melalui pentingnya balasan
dan imbalan. Keduanya ini sebagai dalil untuk menetapkan tauhid rububiy.
Ketiga: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebagaian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”
(Q.S. Al-An’am: 165). Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an bahwa
Allah mengatur masyarakat manusia satu demi satu dan Dia menjadikan
sebagian yang lain sebagai khalifah atas kelompok manusia yang pertama
dan kelompok manusia sesudahnya sebagai khalifah atas kelompok manusia
yang terdahulu. Atau Dia menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di
muka bumi untuk mengujinya, agar Dia melihat apa yang akan diperbuat
manusia di alam ujian. Dan tidak ada sesuatu pun yang berlalu-lalang
di alam ini kecuali untuk ujian dan cobaan. Terkadang ujian itu dalam
bentuk kelapangan dan terkadang dengan kesempitan, terkadang dengan
kebahagiaan dan terkadang dengan kesedihan.
Sesuai dengan surah Al-Fajr, manusia selalu menghadapi ujian dan
cobaan. Perbedaan dan kesenjangan ini antara sebagian dan sebagian yang
lain dalam hal-hal materi adalah untuk pemanfaatan timbal-balik sesama
p:75
mereka dan bukan untuk eksploitasi(sepihak) dll.
Dan telah kami bahas—sebelumnya—ayat-ayat (dalam surah Al-Fajr—
Peny.) ini bersama ayat-ayat yang tedapat dam surat az-Zukhruf dan kami
katakan bahwa perbedaan status sosial adalah untuk mengatur masyarakat
dalam bentuk yang terbaik, “Agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik” (Q.S. az-Zukhruf: 32).
Di sana telah kami jelaskan secara terperinci antara pemanfaatan timbalbalik
dan pemanfaatan dari satu pihak. Apa yang disebutkan dalam surah
Al-An’am sebagai argumentasi atas tauhid kesimpulannya terkumpul pada
akhir surah dengan tiga pandangan dan tiga dalil:
1. Argumentasi atas tauhid melalui pandangan falsafah dunia dan
sistem kosmos (an-nizham al-kauni).
2. Argumentasi atas tauhid melalui keperluan(adanya) balasan dan
imbalan.
3. Argumentasi atas tauhid melalui penyaksian sistem masyarakat
manusia.
Tiga argumentasi atas ini meskipun tidak terpisah dari sistem kosmos
dan alam yang univiersal (an-nizham al-kulli lil kaun), namun karena ia
terbedakan dengan ciri-ciri tertentu, maka ia dikemukakan melalui dalil
tersendiri. Adapun yang berkenaan dengan argumentasi atas Hari Kemudian
dan pentingnya kiamat, maka ia telah dijelaskan melalui pelbagai
jalan, sebagainya terdapat dalam surah Shad dan sebagian lagi dalam surah
Al-An’am. Dan Allah telah memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang
Mahbenar (al-haq), Maha Bijaksana, Mahaadil, Maha Penyayang, dan yang
paling kasih dari siapa pun yang mengasihani. Dia memerintahkan kita
untuk mensifati-Nya sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri. Allah
Maha Suci dari apa-apa yang disifat bagi-Nya oleh orang-orang yang asing
(al-ghuraba’), “Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa
yang mereka katakan” (Q.S. ash-Shafat: 180). Hamba-hamba Allah yang
ikhlas mensifati Allah dengan cara: mereka mempelajarinya dari Allah dan
sebagaimana yang telah dijelaskan-Nya.
Termasuk nama-nama Allah tabaraka wa ta’ala yang terbaik (al-asma
al-husna) di dalam Al-Qur’an adalah nama al-haq (Yang Maha Benar), “Yang
demikian itu karena Allah adalah Yang Maha Benar” (Q.S. Al-Hajj: 62). Dan
ungkapan ini menunjukkan pembatasan (al-hashr), yakni bahwa kebenaran
itu terbatas untuk Allah. Jika terdapat sesuatu yang benar dan tetap, maka
itu pasti dari Allah, “Kebenaran itu (pasti) dari Tuhanmu” (Q.S. Al-Baqarah:
p:76
147). Masalah ini berulangkali disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu bahwa
sumber kebenaran itu dari Allah, kebenaran itu tidak bersama Allah, tetapi
kebenaran itu dari Allah. Segala sesuatu yang tetap dalam keadaannya dan
menikmati hakikat, maka ia berasal dari kebenaran yang murni dan yang tidak
terbatas. Apabila Allah sendiri adalah kebenaran dan kebenaran yang murni
serta tidak terbatas, maka kebenaran yang terdapat pada orang lain adalah
kebenaran terbatas dan kebenaran yang tidak murni yang berasal dari Allah.
Tentang hal tersebut, Ustaz Allamah Thabathaba’i—rahmat Allah
atasnya—memberikan pernyataan sebagai berikut: Terdapat perbedaan
antara kita mengatakan Imam a.s. bersama kebenaran dan kita mengatakan,
“Kebenaran itu dari Tuhanmu”. Kita katakan bahwa Ali bin Abi Thalib
bersama kebenaran, dan pada setiap tempat, kebenaran realistis tedapat di
sisinya, dan kebenaran bersama Ali. Adapun sumber kebenaran itu dari
Allah, maka kebenaran yang murni dan tidak ada bagi-Nya “bersama”.
Tidak ada sesuatu yang bersama Allah. Dia adalah kebenaran murni lagi
tidak terbatas dan tidak ada sesuatu di sisiNya yang bersamanya. Tetapi,
kebenaran-kebenaran (yang lain) terbatas dan kebenaran-kebenaran yang
tetap adalah bersumber dari kebenaran yang tidak terbatas.
Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an terdapat dalam beberapa tempat
(surah) firman-Nya, “Kebenaran itu dari Tuhanmu, sebab itu jangan kalian
termasuk dari orang-orang yang ragu” (Q.S. Al-Baqarah: 147). Apabila Allah
adalah kebenaran murni, dan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an
bahwa al-haq (yang benar) adalah nama dari nama-nama Allah yang baik,
maka al-haq tidak akan mengerjakan suatu pekerjaan yang batil (sia-sia).
Dan termasuk asmaul husna bagi Allah tabaraka wa ta’ala yang lain adalah
al-hakim (Yang Maha Bijaksana) dan al-‘adil (yang Mahaadil). Yang Maha
Bijaksana dan Yang Maha Adil tidak akan berbuat suatu perbuatan yang
sembarangan dan lalim.
Masalah ketiga, bahwa Allah Maha Kasih, Maha Penyayang, dan Yang
Paling kasih dari yang mengasihani. Dan Dia tidak mungkin melakukan
amalan yang bertentangan dengan rahmat. Al-Qur’an telah berargumentasi
dalam surah Shad tentang perlunya Hari Kemudian dan kiamat dengan dalil
yang banyak, salah satunya adalah bahwa Allah adalah Maha Benar (al-haq),
sehingga tidak ada perbuatan batil (sia-sia) yang berasal dari-Nya.
Apabila ciptaan tidak memiliki hari pembagian pahala dan
penerapan siksa dan alam dengan gerakannya tidak menuju ke suatu
tujuan, gerakannya yang terus-menerus dan abadi namun tidak menuju
ke suatu tujuan tertentu dan tidak menuju kepada suatu ketenangan dan
p:77
kedamaian dan alam yang disesaki perselisihan-perselisihan ini tidak akan
berakhir dan konflik antara kebenaran dan kebatilan akan berkesinambungan,
maka ia akan menjadi alam yang batil (sia-sia). Al-Qur’an berkata,
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dengan sia-sia” (Q.S. Shad: 27). Kami jadikan ia dengan suatu
tujuan, dan bukanlah ia (alam) pasti merupakan tujuan yang aktif (hadaf
fâ’ili) tetapi ia adalah tujuan yang aktual (hadaf fi’li). Pelaku(nya) (fâ’il)
adalah Allah karena dia Maha Kaya yang mutlak, Yang Maha Kaya dengan
sendiri, Dia tidak memiliki tujuan tetapi ia adalah hakikat tujuan, dan
tujuan pelaku (fâ’il) di sini bukanlah suatu jalan bagi-Nya sehingga Allah
butuh untuk melakukan suatu perbuatan yang dengannya Dia sampai ke
tujuan itu, dan perbuatan Allah bukanlah untuk mencapai suatu tujuan
sehingga tujuan tersebut kembali ke pelaku. Dan tidak dapat dikatakan
bahwa Allah melakukan demikian untuk mencapai tujuan demikian.
Jadi, perbuatan Allah tidak serasi dengan al-lâm ilghaiyyah (yang
berarti: puncak, tujuan atau akhir suatu perbuatan—silakan merujuk nahwu
bab jar—Peny.) Dan tidak dapat dikatakan bahwa Allah Swt melakukan
suatu perbuatan untuk mendapatkan faedah dan tidak dapat dikatakan
juga Bahwa Allah melakukan ini agar Dia menjadi dermawan (jawâd).
Aku (Allah) tidak menciptakan makhluk untuk memperoleh keuntungan
tertentu tetapi untuk bermurah hati atas manusia. Jadi, perbuatan Allah
tidak untuk memperoleh manfaat seperti orang lain, dan tidak untuk disebut
sebagai dermawan seperti juga orang lain. Karena mabda’ (sumber) itu yang
melaksanakan suatu perbuatan untuk menggapai suatu tujuan, maka jika dia
tidak melaksanakan perbuatan iti, dia tidak akan mencapai tujuan itu, dan
jika dia tidak melakukan perbuatan itu, dia menjadi kurang (sempurna), dan
dengan perbuatan itu; dia menghilangkan kekurangan dari dirinya. Maka
mabda’ itu tidak mutlak kaya.
Allah tidak menciptakan alam supaya menjadi dermawan dan apabila
Dia tidak menjadi dermawan, Dia akan menjadi kurang. Telah disebutkan
dalam pelajaran-pelajaran terdahulu bahwa Allah adalah mabda’ yang memilih
(al-mukhtar), hakikat kehidupan, kekuasaan, ilmu yang mutlak, serta tidak
ada sesuatu yang berasal dari-Nya kecuali kemurahan hati (al-jud). Dia tidak
melakukan suatu perbuatan agar Dia menjadi dermawan. Dalam arti, jika
dia tidak melakukan perbuatan itu, maka dia tidak menjadi dermawan.
Ketika Imam ketujuh a.s. ditanya siapakah yang dermawan (al-jawâd),
maka Imam menjawab: Sesungguhnya pertanyaanmu memiliki dua sisi.
Jika kamu bertanya tentang makhluk, maka orang yang disebut al-jawâd
p:78
adalah orang yang melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah atasnya
berupa hak-hak yang wajib dan dia tidak mengotori dirinya dengan
harta-harta yang haram, dan dia menunaikan hak-hak Ilahi seperti zakat
dan lain-lain. Orang seperti ini disebut al-jawâd. Adapun berkenaan dengan
Allah, maka Dia disebut al-jawâd baik memberi atau menolak. Apabila Dia
memberi, maka karena kemaslahatan juga Dia memberi. Maka, dalam dua
kondisi tersebut Dia tetap menjadi jawâd. Dan perlu diperhatikan bahwa
kedermawanan (al-jud) adalah sifat perbuatan-Nya dan di bawah kekuasaan-
Nya, dan kekuasaan itu adalah hakikat Dzat-Nya.
Dengan demikian, perbuatan Allah tidak sesuai dengan al-lâm, hatta,
dan ilâ al-ghayyah (istilah nahwu seperti di atas—Peny.), karena Dia adalah
tujuan yang terakhir dan kesempurnaan yang mutlak—“Dia Yang Pertama
dan Yang Terakhir”. Apabila Dia adalah kesempurnaan mutlak, maka saat
itu Dia tidak butuh kepada suatu perbuatan agar sampai kepada tujuan-
Nya. Kalau tidak (demikian), maka Dia akan menjadi kurang (sempurna).
Kalau begitu, maka perbuatan Allah tidak mempunyai tujuan aktif (hadf
fa’li) meski disertai dengan tujuan aktual (had fi’li). Penjelasan ini tidak
seperti pengertian yang naif itu yang menyatakan bahwa perbuatan Allah
tidak beralasan dengan tujuan-tujuan, baik tujuan aktual atau tujuan aktif.
Terdapat perbedaan besar antara logika orang yang menetapkan bahwa
Allah memiliki irâdah dengan tujuan tertentu yang serampangan (irâdah
juzafiyyah) dan antara logika orang yang mengatakan bahwa perbuatan Allah
tidak mempunyai tujuan aktif meski bermuatan dan dipenuhi tujuan-tujuan
aktual (al-aghrad al-fi’liyah).
Al-Qur’an berkata bahwa Allah tidak menciptakan alam ini sia-sia,
yakni bahwa penciptaan dan makhluk ini memililiki tujuan tertentu.
Gerakan mereka menuju ke tujuan itu, tetapi Pencipta (al-khaliq) tidak
mempunyai tujuan yang ingin diraihnya. Maka, alam ini tidak berarti tanpa
tujuan, dan gerakan alam bukan tanpa tujuan. Ia (alam) di bawah pengaruh
arah (tujuan) itu sehingga apabila ia telah mencapainya dan meraihnya,
maka ia menjadi tenang dan damai.
Demikianlah ungkapan yang dalam, yang terdapat dalam Al-Qur’an
yang mulia. Kami telah menukilnya pada sebagian pelajaran terdahulu
tentang Hari Kiamat yaitu sebagai berikut: “Kapankah (masa) berlabuhnya”
(Q.S. an-Nazi’at: 42). Mereka bertanya-bertanya kapan perahu alam
yang bergerak akan berlabuh? Berdasarkan hal ini, alam ini harus sampai
ke tujuannya dan perahunya yang bergerak ini harus berlabuh di tempat
tertentu, dan saat itu Al-Qur’an berkata tentang orang-orang yang ingkar
p:79
terhadap Hari Kemudian, “Yang demikian itu adalah anggapan
orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan
masuk ke dalam neraka” (Q.S. Shad: 27).
Demikianlah anggapan orang-orang kafir bahwa manusia akan binasa
setelah kematian, dan di sana tidak ada kebaikan sesudah kematian. Perkataan
ini tidak berlandaskan kepada dalil akal dan dalil naqli (Al-Qur’an hadis),
serta tidak bersandarkan kepada wahyu samawi dan argu mentasi falsafah
atau akal. Dan siapa yang mengatakan bahwa alam memang seperti ini
dan tidak ada sesuatu pun sesudahnya, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan kita di dunia, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan
dibangkitkan lagi” (Q.S. Al-Mukminun: 37). Siapa yang mengatakan bahwa
tidak ada Hari Kiamat setelah kematian, maka ia termasuk orang kafir
yang berbicara sesuai dengan apa yang anggapannya dan tidak berdasarkan
kepada argumentasi atau akal. Berdasarkan hal ini maka dalil-dalil tauhid
adalah sebagai berikut:
Pertama: Bahwa Allah Maha Benar (haq), maka tidak ada yang berasal
dari-Nya perbuatan yang batil (sia-sia). Kalau begitu, alam ini memiliki Hari
Kemudian.
Kedua: Bahwa Allah Maha Bijaksana dan Maha Adil dan Dia telah
memisahkan antara orang yang takwa dan orang yang jahat (yang berdosa).
Jadi, terdapat dua kelompok. Sedangkan di dunia, Dia tidak memisahkan
antara keduanya, sehingga mereka di dunia berkumpul bersama-sama. Maka
dengan demikian, haruslah ada alam dan ada suatu hari yang dikatakan di
dalamnya: Dan dikatakan kepada orang-orang kafir:
“Berpisahlah kamu(dari orang-orang Mukmin) pada hari ini, hai orang-orang
yang berbuat jahat” (Q.S. Yasin: 5).
“Apakah Kami akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal
saleh seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi atau Kami
akan jadikan orang-orang yang takwa seperti orang-orang yang jahat”
(Q.S. Shad: 28).
Jika Dia tidak memisahkan antara orang-orang yang takwa dengan
orang-orang yang jahat, maka ini bertentangan dengan keadilan dan hikmah.
Padahal Allah adalah Maha Adil dan Maha Bijaksana yang tidak
mungkin melakukan demikan sama sekali karena (sekali lagi) Allah Maha
Bijaksana dan Maha adil. Kalau begitu, Dia telah memisahkan antara orang-orang
yang takwa dengan orang-orang yang jahat (para pendosa). Dan
pemisahan ini tidak terjadi di dunia karena kita melihat mereka berdua
p:80
(berkumpul) bersama. Dengan demikian maka haruslah ada suatu hari yang
dikatakan “Berpisahlah kamu pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat
jahat”. Inilah dalil kedua atas Hari Kemudian dan lafal yang berulang dan
menghubungkan antara dua mukadimah (alhad al-ausath—silakan merujuk
ke buku logika bab kiyas—Peny.) di dalamnya adalah hikmah dan keadilan
sebagaimana dalil pertama atas Hari Kemudian al-had al-ausath-nya adalah
keberadaan Allah sebagai Dzat Yang Maha Benar.
Adapun dalil ketiga atas Hari Kemudian yaitu melalui rahmat yang
mutlak, Al-Qur’an berkata dalam surah Al-An’am, “Katakanlah (hai
Muhammad) kepunyaan siapakah apa-apa yang ada di langit dan dibumi.
Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah’. Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih
sayang” (Q.S. Al-An’am: 12). Dan karena Allah Maha Penyayang. “Agar
Dia mengumpulkan kalian pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan di
dalamnya” (Q.S. Al-An’am: 12). Hal yang demikian ini telah ditetapkan
dan diputuskan secara pasti oleh Allah. Dan keharusan (lâzim) rahmat
adalah bahwa hendaklah Dia mengantarkan setiap makhluk menuju ke
kesempurnaannya, dan memberinya bentuknya yang sempurna yang
merupakan hakikat rahmat itu sendiri, dan kesempurnaan dalam hal ini
adalah hendaklah mereka (mampu) mencapai pertemuan dengan Allah
dan memperoleh balasan (amalan) mencapai pertemuan dengan Allah dan
memperoleh balasan (amalan) mereka serta mendapatkan tujuan akhir
mereka dalam semua perbuatan mereka. Dan Allah telah menjelaskan
masalah Hari Kiamat dan mengatakan, “Dia telah menetapkan atas diri-
Nya kasih sayang”. Semua (makhluk) akan diantarkan menuju ke kesempurnaannya,
dan memberinya bentuknya yang sempurna yang merupakan
hakikat rahmat itu sendiri, dan kesempurnaan dalam hal ini adalah
hendaklah mereka (mampu) mencapai pertemuan dengan Allah dan
memperoleh balasan (amalan) mereka serta mendapatkan tujuan akhir
mereka dalam semua perbuatan mereka. Dan Allah telah menjelaskan
masalah Hari Kiamat dan mengataan, “Dia telah menetapkan atas diri-Nya
kasih sayang”. Semua (makhluk) akan diantarkan menuju kesempurnaan
terakhir, “Dia akan mengumpulkan kalian pada Hari Kiamat yang tidak ada
keraguan di dalamnya”.
p:81
p:82
Kehidupan dan Kematian adalah Salah Satu Dalil Tauhid
p:83
p:84
Kehidupan dan Kematian Adalah Salah Satu Dalil Tauhid
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Salah satu dalil tauhid adalah terjadinya kematian dan kehidupan pada
semua makhluk alam dan mereka tunduk di bawah pengaturan (rububiyyah)
Allah. Kematian dan kehidupan adalah benar (haq) dan tetap (tsâbit) dan di
bawah pengawasan Tuhan Yang Mengatur alam semesta, yang tidak akan
pernah hilang, yang tidak terjadi dengan sendiri nya dan tidak bersandarkan
kepada selain Allah. Dan tidak mungkin kematian dan kehidupan terjadi
dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada pelaku (fâ’il) dan
sumber yang aktif (mabda’ fâ’ili). Kedua masalah ini tidak dapat dinisbatkan
kepada selain Allah karena sistem (an-nizham) yang di dalamnya tidak ada
kehidupan adalah sistem yang kurang (cacat), dan jika tidak ada kehidupan
maka tidak ada tempat untuk mengemukakan pemikiran, argumentasi, dan
keyakinan dll dari masalah-masalah seperti ini.
Apabila tidak ada kematian dan kehidupan, materi akan abadi, maka
konsekuensinya adalah bahwa kehidupan materi akan menjadi gerakan yang
abadi padahal realitas membuktikan bahwa gerakan tersebut tidak sejalan
dengan keabadian. Gerakan mempunyai arah (tujuan) yang ia tuju, dan ia
mempunyai tujuan dan ketika ia sampai kepada tujuannya itu maka ia akan
menjadi tenang. Kehidupan alam dan materi akan menjadi tenang (tidak
bergerak) dengan kematian. Maka, kematian adalah pencapaian tujuan dan
keterbebasan dari alam serta pencapaian alam lain (akhirat).
Dengan demikian, kehidupan dan kematian tidak dapat ditentang
(dihindari). Dari sisi yang lain, kedua-keduanya tidak menciptakan dirinya
sendiri karena sistem ciptaan dan sistem wujud adalah sistem sebab dan akibat
(nizham al-‘illah wal ma’lul). Dan akan binasa karena kebe tulan juga. Tidak
ada kebetulan di dalam ini dan tidak ada jalan bagi kebetulan di alam wujud.
Setiap fenomena butuh kepada sebab yang aktif (‘illah fâ’iliyyah) dan setiap
kejadian perlu kepada sebab yang aktif. Dan tidak mungkin sistem akibat
dan akibat disisihkan dari alam penciptaan. Jika sistem akibat dihancurkan,
maka akan runtuhlah jalan pemi kiran dan sekaligus argumentasi (istidlâl).
Seorang alim yang berpikir, menyusun premis-premis dan menanti
untuk mendapatkan kesimpulan (nâtijah) yang khusus dari mukadimah-mukadimah
tertentu bersandarkan sistem sebab. Maka, premis-premis ini
p:85
adalah sebab akibat (ma’lullah) dari mukadimah-mukadimah ini. Maka,
sebab yang dekat atas kesimpulan itu adalah mukadimah-mukadimah ini.
Kalau begitu, apabila tidak terdapat hubungan sebab (‘alaqah ‘illiyah)
di dalam, maka jalan berargumentasi juga akan tertutup. Dan orang yang
ingkar terhadap sistem sebab itu adalah orang yang seluruh keinginannya
adalah pengingkaran terhadap sistem yang aktif. Kalau tidak, maka dia
menerima sebab yang potensial (‘al-illah al-qâbilah) dan materi (al-mâdah)
karena orang yang mengingkarinya tidak bermanfaat dan yang menerimanya
tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada filsuf Ilahi yang akan puas
dari seseorang yang hanya menerima sebab materi (‘illayah al-mâdiyah) dan
sebab potensial. Dan seluruh pembahasan intinya adalah ‘illah al-fâ’iliyyah,
meskipun sistem sebab terwujud dan terdapat tanpa sebab potensial(dan
sebab potensial adalah materi (mâdah). Tetapi tidak mungkin sistem sebab
memanisfestasi tanpa sebab aktif, karena dapat saja terjadi suatu perbuatan
dari sumber(mabda’) yang mempunyai gambar (shurah) saja dan tidak terdapat
sebab materi(‘illah mâdiyah) bersamanya sebagaimana keadaan yang terjadi
pada hal-hal yang metafisik (al-mujarradât).
Dalam bagian hal-hal yang metafisik (al-mujarradât) terdapat sistem
sebab yang merupakan pengaruh (ma’lulah) dari Allah Swt. Maka, Allah,
Sang Pencipta Swt adalah sebabnya yang aktif (al-‘illlah al-fâ’iliyyah) tetapi
tidak ada materi (mâdah) bersamanya, dan tentu saat itu ia tidak memilki
‘illah mâdiyah), dan sebab ini adalah curahan anugerah (al-Faidh) Allah Yang
Maha Benar (al-Haq) dan berasal dari al-Haq. Dengan demikian, dapat
diterima terwujudnya sistem sebab tanpa sebab yang potensial tetapi tidak
dapat diterima tanpa sebab yang aktif.
Berdasarkan hal ini, maka fenomena kematian dan kehidupan membutuhkan
sumber yang aktif (mabda’ fâ’ili). Dan salah satu argumentasi yang
digunakan oleh para nabi atas tauhid rububi adalah bahwa Allah sumber
asal (mabda’) kematian dan kehidupan. Dan sebab aktif yang kematian dan
kehidupan berada di bawah kekuasaan-Nya adalah Allah. Allah-lah yang
dapat menghidupkan dan mematikan. Dan Ibrahim al-Khalil telah berdiri
menentang Namrud yang hidup di zamannya yang mengaku bahwa dia
adalah Tuhan yang mengatur manusia dan dia berkata kepada Ibrahim:
Kamu harus mengakui bahwa akulah yang mengatur (alam, termasuk kamu’.
Ibrahim menjawab, “Tuhankulah Yang Mengaturku, yang Menghidupkan,
dan Mematikan”(Q.S. Al-Baqarah: 258).
Allah adalah mabda’ itu yang menghidupkan dan mematikan karena
penghidupan dan pematian bukan di tangan selain Allah. Kalau begitu, orang
p:86
yang mengaku-ngaku menguasai pengaturan alam (rububiyyah) sebenarnya
dia berbohong dan bukanlah Tuhan Pengatur (rabb). Lalu Namrud berkata,
“Aku yang menghidupkan dan mematikan” (Q.S. Al-Baqarah: 258). Yakni,
hidupmu dan matimu berada di tanganku, dan dia tidak mengatakan:
“Dan aku yang menghidupkan dan mematikan” yakni saya (ana) dan tidak
mengatakan: saya juga yang menghidupkan dan mematikan, dan tidak
mengatakan: saya juga mampu untuk mematikan dan menghidupkan,
tetapi dia mengatakan, “Saya menghidupkan dan mematikan”, tanpa kata
‘dan’ (wâwu), yakni itulah saya, yang kematian dan penghidupan berada di
bawah kekuasaanku. Yakni, wahai Ibrahim, kamu mengatakan bahwa Tuhan
Pengatur (rabb) adalah yang di tangan-Nya penghidupan dan pematian,
sedangkan sayalah yang menguasai penghidupan dan pematian. Kalau
begitu saya adalah Tuhanmu dan kamu harus mengakui kemampuanku
dalam mengatur (rububiyah).
Menghadapi sikap bodoh atau berpura-pura bodoh Namrud di dalam
perdebatan yang dipenuhi argumentasi (dalil), maka Ibrahim al-Khalil tidak
berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain, tetapi beliau mengemukakan
suatu bukti (misdaq) yang lebih jelas karena dalil yang disampaikannya
adalah dalil yang sempurna, sehingga Namrud tidak dapat mendebatnya.
Orang-orang yang menyaksikan di majelis protes dan perdebatan itu juga
tidak akan dapat menerima buah pikiran yang keliru (mughâlathah). Oleh
karena itu beliau berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari
timur, maka terbitkanlah dia dari barat” (Q.S. Al-Baqarah: 258). Tuhankulah
yang mengatur terbitnya matahari dan tenggelamnya matahari dengan cara
demikian dalam sistem ciptaan. Jika kamu memang Tuhan, maka lakukanlah
terhadap matahari hal yang sebaliknya.
Ini adalah pembahasan tersendiri dan barangkali kami telah
menunjukkan sisi-sisi pembahasan ini pada majelis-majelis terdahulu.
Tujuan Al-Qur’an yang mulia bahwa kematian dan kehidupan tidak ada
dengan sendirinya, tetapi keduanya butuh kepada’illah fâ’iliyyah, dan selain
Allah tidak dapat menjadi ‘illah fâ’iliyyah, karena hidupnya bukan tidak
terbatas dan bukan dengan sndirinya, ia telah mengambil kehidupan dari
sumber (mabda’) yang lain. Kalau begitu, kematian dan kehidupan berada di
tangan Allah. Tidak ada satu wujud pun yang sanggup menghidupkan dan
mematikan dengan sendirinya.
Al-Qur’an mendefinisikan bahwa kematian adalah sesuatu yang eksis
(amr wujudi) dan bukan sesuatu yang jelas nihil (amr ‘adami). Ketika
manusia pergi dari alam materi ke alam barzakh, berarti dia pergi dari
p:87
suatu alam menuju ke alam lain. Dan arah ini yang manusia terbebaskan
di dalamnya dari dunia, dinamakan dengan kematian. Dan arah itu yang
manusia sampai dengannya menuju alam barzakh, dinamakan kelahiran.
Perpindahan dari suatu alam menuju alam yang lain disebut dengan kematian.
Dengan demikian, kematian bukanlah sesuatu yang nihil. Oleh karena
itu Al-Qur’an mendefinisikan bahwa kematian adalah makhluk Allah,
“Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara
kalian yang paling baik amalnya” (Q.S. Al-Mulk: 2). Dan Dia (Allah)
mengatakan di dalam Al-Qur’an bahwa kehidupan tidak berada di tangan
seseorang pun dan tidak ada seorang pun yang hidup abadi. Begitu juga
kematian tidak berada di tangan seseorang pun. Apabila kematian berada
ditangan orang-orang lain, maka mereka tentu dapat menghindar saat itu
dari kematian. Manusia semenjak dahulu kala berpikir untuk menghindar
dari kematian dan menentang fenomena kematian.
Al-Qur’an mengatakan bahwa kalian tidak mampu memberikan
kehidupan pada seseorangpun dan kalian juga tidak sanggup mencegah
kematian dari orang-orang. Maka, kehidupan dan kematian berada di bawah
kekuasaan Allah, dan Dia berkata dalam surah Al-Hajj: Ketika berhala-berhala
dan sembahan-sembahan kalian bersekongkol untuk membuat
seekor lalat, maka mereka tidak akan sanggup, “Hai manusia, telah dibuat
perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya” (Q.S. Al-Hajj: 73).
Tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan seekor lalat. Jika semua
berkumpul, berkoalisi, dan berpikir untuk menciptakan seekor lalat, maka
mereka tidak akan sanggup melakukan hal itu. Kehidupan tidak berada di
bawah kekuasaan seorangpun. Ada seorang lelaki di zaman Imam keenam
a.s. yang meletakkan air dan tanah secukupnya di dalam botol lalu dia
menutupnya. Selang beberapa saat muncullah sekelompok makhluk hidup
yang lembut. Selanjutnya, lelaki ini mengklaiim di tengah-tengah manusia
yang bodoh sambil berkata, “Akulah yang mencampur antara air dan tanah
di dalam botol ini dan akulah yang menjadi sebab hidupnya makhluk-makhluk
yang ada di dalam botol. Aku juga yang mencampur air dan tanah
ini di dalam lalu membentuk kehidupan. Dan kehidupan yang terjadi di
dalam botol ini adalah karena pekerjaan tanganku”.
Masalah ini sampai ke Imam keenam as. Lalu beliau berkomentar,
“Apabila lelaki itu memang memiliki peranan dalam kehidupan makhluk-
makhluk itu, maka tanyakanlah kepadanya: Pertama, berapa jumlah
p:88
nya? Dan berapa jumlah jantannya? Dan berapa jumlah betinannya? Coba
ia menjelaskan timbangannya dan bagaimana caranya? Apabila dia mampu
memberi kehidupannya dan kehidupan ada di tangannya, maka kematian
harus ada juga di tangannya; hendaklah dia mengembalikan keadaannya
seperti sedia kala, yaitu berupa tanah. Ketika dia menjadi pemilik kehidupan,
maka dia juga seharusanya menjadi pemilik kematian”.
Orang laki-laki itu menyadari bahwa selama ada Imam as-Shadiq
a.s., dia akan mati kutu dan tidak dapat menyebarkan pemikirannya yang
menipu orang-orang awam. Dan makna yang persis seperti ini terdapat
dalam bagian yang cukup banyak dalam Nahjul Balaghah. Yaitu, seandainya
mereka berkumpul semua dan ingin memberikan kehidupan kepada
seseorang, maka mereka tidak sanggup melakukan hal itu, “Dan jika lalat
itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali
dari lalat itu” (Q.S. Al-Hajj: 73). Apabila lalat-lalat itu merampas sesuatu
dari berhala-berhala mereka, maka berhala-berhala mereka tidak akan
mampu mengembalikannya padahal lalat itu adalah jenis serangga kecil yang
lemah. Mereka yang ingin mengembalikan apa-apa yang telah dirampas oleh
lalat-alat juga orang-orang yang lemah, “Amat lemahlah yang menyembah dan
amat lemah(pulalah) yang disem bah” (Q.S. Al-Hajj: 73). Barangsiapa yang
musyrik, maka dia tidak mengenal Allah. Dan orang-orang yang kembali
kepada selain Allah, mereka tidak mengenal Allah, “Mereka tidak mengenal
Allah dengan sebanar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat
lagi Maha Perkasa” (Q.S. Al-Hajj: 74).
Al-Qur’an yang mulia telah menyebutkan dalam beberapa tempat
bahwa Allah “Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kematian
dan kehidupan hanya ada di tangan Allah. Dan dikatakan dalam surah
an-Najm, “Dan sesunguhnya Dia Menghidupkan dan Mematikan”
(Q.S. An-Najm: 44). Jika Al-Qur’an ingin menisbatkan pematian dan
penghidupan ini kepada selain Allah, ia berkata: Dengan izin Allah.
Yakni, sesuatu itu atau Imam yang suci adalah salah satu tentara Allah
sehingga mampu menguasai penghidupan ini atau ciptaan ini. Al-Qur’an
berkata tentang Isa Al-Masih (salam Allah atasnya): Sesungguhnya dia
menciptakan burung dan sungguh ciptaan ini dan penghidupan ini
terjadi dengan izin Allah, bukan dari Al-Masih a.s.sendiri. Karena, tidak
ada suatu per buatan pun yang terdapat di dunia ini tanpa izin Allah .
Allah berfirman, “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang bekata
kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa
sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu” (Q.S. Ali ‘Imran: 49). Allah Swt
p:89
mengutus seorang rasul untuk memberikan petunjuk kepada Bani Israil yang
mana beliau dibekali mukjizat. Dan Mukjizat ini berupa, “Aku membuat
untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung; kemudian aku meniupnya,
maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah” (Q.S. Ali ‘Imran: 49).
Masalah kehidupan dan terbangnya burung dinisbatkan kepada izin Allah.
Apa-apa yang disebutkan dalam surah Al-Maidah telah memperkenalkan
seluruh masalah ini bahwa ia terjadi dengan izin Allah sampai
pembentukan tanah seperti bentuk burung juga terjadi dengan izin Allah
karena tidak ada sesuatu yang berwujud di muka bumi tanpa izin Allah.
Dia berfirman, “Dan (ingatlah) di waktu kau membentuk dari tanah (suatu
bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniupnya,
lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan izin-Ku” (Q.S.
Al-Maidah: 110). Yakni bahwa pembuatan burung dari tanah dengan
bentuk, tipe, dan susunan burung adalah juga dengan izin Allah.
Akan tetapi, dalam surah Ali ‘Imran, bagian yang sensitif itu dinisbatkan
kepada Allah, “Aku membuat untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung;
kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah”.
Kalau begitu, jika ada seseorang memberikan kehidupan, maka dengan
izin Allah, dia memberinya. Dan apabila dia menciptakan burung, maka
dia menciptakannya karena izin Allah. Karena, Tidak ada sesuatu pun di
dunia yang tercipta tanpa izin Allah. Karena, tidak ada sesuatu pun di dunia
yang tercipta tanpa izin Allah. Tidak ada konsep legitimasi (ijâzah) dalam
sistem pencpitaan; segala sesuatu yang ada karena izin dari Allah. Dengan
demikian, seseorang tidak akan bekerja tanpa sepengetahuan dan izin
Allah, lalu setelah itu dia meminta izin dari Allah. Tidak demikian
apabila belum diperoleh izin, dan jika halangan (misalnya angin adalah salah
satu penghalang terbakarnya kertas—Peny.) belum dihilangkan, jika suatu
keharusan (al-muqtadi), misalnya untuk dapat terbakarnya kertas, maka
salah satu keharusan adalah keringnya kertas itu—Peny.) belum sampai
kepada batasan maksimal (had an-nishab) dan jika batasan sebab (Nishab
al-‘illiyah) tidak mencapai batas kesempurnaan, maka tidak ada sesuatu pun
yang akan terwujud sama sekali.
Allah telah menisbatkan penciptaan kepada selain-Nya dalam beberapa
surah Al-Qur’an yang mulia seperti penisbatan penciptaan kepada Al-Masih,
atau apa yang difirmankan-Nya dalam surah Al-Mukminun. “Maka Maha
Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling baik” (Q.S. Al-Mukminun: 14) Yakni,
orang-orang lain juga sebagai pencipta. Di dunia juga terdapat pencipta-pencipta
lain, tetapi pada akhirnya Allah adalah “sebaik-baik pencipta”, dan
p:90
lain-lain. Karena Al-Qur’an adalah Kitab cahaya, petunjuk, dan penjelas
segala sesuatu, maka ia telah menjelaskan masalah ini dan memecahkannya.
Al-Qur’an telah mengembalikan seluruh ayat yang mutasyabihat(yang
samar) kepada ayat-ayat muhkamat (yang jelas). Dan Allah telah menisbatkan
di sebagian ayat Al-Qur’an kepada selain Allah, maka masalah ini telah
dipecahkan di ayat-ayat muhkamat yang lain, yaitu bahwa penciptaan
terbatas dalam percobaan Allah. Orang-orang lain adalah terminal anugerah
Ilahi (emanation of god) dan aliran anugerah Pencipta, bukan berarti mereka
pencipta. Pencipta satu-satunya adalah Allah, sementara yang lain, siapa pun
mereka dan apa pun kedudukan mereka adalah tempat (curahan) anugerah
Pencipta, seperti kemuliaan, rezeki, dan lain-lain.
Al-Qur’an yang mulia telah menisbatkan kemuliaan kepada diri-Nya,
para nabi-Nya, dan orang-orang beriman, “Kemuliaan itu untuk Allah dan
untuk Rasul-Nya dan untuk orang-orang yang beriman” (Q.S. Al-Munafiqun:
8). Akan tetapi hal itu dikhususkan dalam surah Fathir, “Semua kemuliaan
itu bagi Allah semata” (Q.S. an-Nisa’: 139). Kalau begitu, apa yang dimiliki
Rasulullah dan orang-orang yang beriman pada hakikatnya adalah milik
Allah. Allah-lah yang memberi mereka kemuliaan itu. Dan mereka orang-orang
yang mulia tidaklah mendapatkan kemuliaan dengan sendirinya
melainkan mereka hanya sebagai wadah (atau manifestasi kemuliaan Yang
Maha Mulia). Bukan berarti ia adalah rantai panjang yang mana apabila kita
melipat rantai itu dan kita sampai ke permulaan dan asalnya, maka kita akan
menemukan Allah dan saat itu kita akan mengerti bahwa Penggerak rantai
itu adalah satu, tetapi ketika kita sampai ke sana, maka dari sisi pemikiran,
kita sampai ke sebab yang menyeluruh (‘illatul kul) bukan sebab yang
pertama saja dan yang mengharuskan sebab kedua dan ketiga di alam.
Dengan menjaga sistem sebab, maka tauhid perbuatan (al-tauhid alaf
’ali) harus diketahui. Bukan berarti ketika kita melalui rantai itu dan kita
sampai ke permulaannya, maka kita mengetahui Allah, tetapi ketika kita melalui
rantai, kita akan melihat bahwa Sang Pencipta dan Sang Penggerak semua
rantai ini adalah sesuatu yang satu, yaitu Allah, Tuhan Pengatur alam semesta.
Al-Qur’an berkata tentang kemuliaan: jika orang-orang lain menjadi
orang-orang yang mulia, maka kemuliaan ini adalah milik Allah
dan Allah telah menganugerahi mereka kemuliaan ini. Dan Al-Qur’an
berkata tentang rezeki: Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki. “Apa yang
ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, dan
Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki” (Q.S. Al-Jum’ah: 11). Yakni, bahwa orang-orang
lain juga sebagai pemberi-pemberi rezeki tetapi Allah adalah sebaik
p:91
baik pemberi rezeki atau ia (Al-Qur’an) mengatakan, “Dan berilah mereka
rezeki”, yakni berilah rezeki orang-orang yang menjadi bawahan kalian dan
orang-orang yang harus kalian beri nafkah dan lain-lain. Atau ia berkata
tentang pendidikan anak, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang baik” (Q.S. Al-Baqarah: 233). Maka,
jaminan rezeki istri menjadi tanggung jawab suami, dan anak-anak harus
diberi rezeki oleh para ibu dan pasangan suami-istri.
Meskipun Allah telah menisbatkan rezeki sebagian manusia kepada
sebagian yang lain, tetapi bukan berarti orang-orang lain juga sebagai rezeki
di samping Allah. Pokoknya, Allah lebih tinggi kedudukan-Nya dari mereka,
bahkan Pemberi rezeki satu-satunya adalah Allah sementara orang-orang
lain adalah tempat curahan rezeki Allah. Atas dasar tauhid al-af ’ali, maka
apa yang sampai kepada manusia dari orang-orang lain pada hakikatnya
adalah dari Allah. Sedangkan seseorang yang memberi kemuliaan dan lain-lain
adalah tempat curahan anugerah (al-faidh), bukan berarti dia sendiri
memberikan sesuatu kepada orang lain, “Apa saja nikmat (yang kalian
peroleh) adalah (datang) dari Allah” (Q.S. an-Nahl: 53).
Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata, “Aku tidak menciptakan manusia
dan jin kecuali agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki
rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi Aku makan, “Sesungguhnya Dia-lah Allah Maha Pemberi rezeki
yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh” (Q.S. adz-Dzariyat: 56—58).
Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata, “Aku tidak menciptakan manusia
dan jin kecuali agar mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki
rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi Aku makan. Sesungguhnya Dialah Allah Maha Pemberi rezeki Yang
Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (Q.S. adz-Dzariyat). Ini merupakan
pembatasan, yakni bahwa pemberi makan satu-satunya adalah Allah, dan di
dunia tidak ada pemberi rezeki dan pemberi makan selain Allah. Dengan
demikian, Pemberi rezeki satu-satunya untuk semua makhluk adalah Allah.
Dan Yang Mahakuasa untuk hal itu adalah Allah, karena Allah memiliki
kekuatan yang dahsyat.
Oleh karena itu, sebagian orang berkata bahwa maksud dari “Yang
memiliki kekuatan dahsyat” (syadidul kuwâ) adalah Allah karena Allah
memiliki kekuatan yang dahsyat. Dia Yang Memiliki kekuatan yang dahsyat
yang juga sebagai pengajar Rasulullah bukan malaikat pembawa wahyu,
dan Jibril a.s. terkadang mengatakan, “Seandainya aku mendekat seujung
jari (saja) niscaya aku terbakar”. Alhasil, rezeki apa pun yang dinisbatkan
p:92
kepada selain Allah dalam Al-Qur’an adalah sebagai perantaraan rezeki Allah
dan sebagai tempat curahan anugerah Allah. Bukan berarti mereka sebagai
pemberi rezeki dan Allah juga pemberi rezeki. Pada akhirnya, Allah adalah
sebaik-baik pemberi rezeki. Dan hendaknya tentang penciptaan juga harus
dipahmai seperti itu. Apabila Allah me nge nalkan sebagian orang bahwa
mereka adalah para pencipta kemudian dia mengatakan bahwa Allah adalah
Pencipta yang terbaik, atau menisbatkan penciptaan kepada Al-Masih as,
“Kamu menciptakan dari tanah seperti bentuk burung dengan seizin-Ku”
(Q.S. Al-Maidah: 110). Maka, hal ini bukan berarti bahwa Isa Al-Masih a.s.
pencipta dengan sendirinya dan Allah juga Pencipta. Pada akhirnya, Allah
adalah sebaik-baik pencipta, suatu derajat yang lebih tinggi dari ciptaan Al-
Masih as. Tidaklah demikian, menurut pandangan tauhid af ’ali, ciptaan Al-
Masih merupakan wadah anugerah dari ciptaan Allah.
Oleh karena itu, Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Allah adalah
Pencipta segala sesuatu”, “Dia menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian
lakukan”, Karena kalian juga wadah anugerah dari penciptaan, maka ciptaan
itu bukanlah sesuatu yang asing dan keluar dari hal itu(irâdah Allah). Semua
alam mempunyai satu Pencipta dan satu sistem penciptaan. Semua orang
dan apa yang mereka lakukan adalah makhluk-makhluk dari-Nya meskipun
mereka melaksanakan pekerjaan mereka dengan memperoleh hak memilih
dan meskipun perbuatan-perbuatan manusia jauh dari keterpaksaan (aljabr)
dan jauh juga dari kebebasan mutlak (at-tafwidh). Mereka bekerja
dengan memilih (ikhtiar) tetapi pilihan ini bersandarkan kepada kekuasaan
Allah dan berada di di bawah kendali Allah.
Manusia tidaklah terpaksa atau bebas sepenuhnya dalam perbuatan-perbuatannya.
Bahaya penyerahan sepenuhnya dan kebebasan mutlak lebih
buruk daripada bahaya pemaksaan. Manusia adalah bebas, namun tidak
mutlak dan tidak terpaksa tetapi ia adalah makhluk yang memilih(mukhtar).
Simak syair berikut:
Kita tidak menggerakkan sehelai rambut kepala kita kecuali dengan
ikhtiar, dan ikhtiar ini juga berada di bawah genggaman ikhtiar-Nya.
Apabila mereka mengancammu dengan neraka atau kekekalan (di
dalamnya) maka janganlah kamu gelisah. Mereka tidak akan menyiksamu
keluar dari rumah Sang Kekasih.
Bait (syair) yang kedua di luar topik kita. Al-Qur’an yang mulia ketika
menisbatkan suatu perbuatan yang baik dan suatu hal yang eksis kepada
selain Allah, maka ia berkata di tempat (ayat) yang lain: Semua masalah
ini milik Allah. Demikianlah yang dikatakannya tentang kemuliaan, rezeki,
p:93
penciptaan, dan kekuassan. Apabila Allah mengatakan: Sebagian mereka
adalah orang-orang kuat atau Dia berkata: Kami beri mereka suatu kekuatan,
“Peganglah kuat-kuat atap yang Kami berikan ke pa damu” (Q.S. Al-Baqarah:
63) dan lain-lain, maka Dia berkata di ayat lain, “Sesungguhnya kekuatan(itu)
untuk Allah semua” (Q.S. Al-Baqarah: 165).
Jadi, tidak benar bahwa Allah menyerahkan sepenuhnya kekuatan
tersebut kepada seseorang atau beberapa orang, dan tidak benar bahwa
orang-orang lain memiliki kekuatan ini secara bebas, dan tidak benar
bahwa orang-orang lain memiliki kekuatan ini secara bebas, dan tidak benar
bahwa orang-orang lain mengambil kekuatan dari selain Allah. Tiga hal
ini semuanya mustahil. Kalau begitu, jika Isa Al-Masih a.s. disebut sebagai
pencipta, maka beliau adalah wadah anugerah dari ciptaan Allah
atau beliau menjadi manifestasi “Yang Menghidupkan” sehingga beliau
mampu menghidupkan burung-burung dan memberikan kehidupan bagi
burung meskipun kehidupan itu berada di bawah kekuasaan Allah saja dan
tidak berada di bawah kekuasaan makhluk lain.
Dengan demikian, kumpulan penjelasan dalam surah Ali ‘Imran dan
surah Al-Maidah, “Maka bentuk (tanah itu) menjadi burung dengan izin-Ku”.
Menunjukkan bahwa penciptaan dan penghidupan khusus bagi Allah, dan
apabila orang-orang lain melakukan hal itu, maka mereka sekadar wadah
anugerah dari penciptaan dan penghidupan Ilahi. Karena semua kehidupan
yang terbatas ini dan yang dikelilingi dengan dua kematian hendaklah
bersandarkan kepada kehidupan yang tidak akan berakhir dari dua sisi
dengan nama “Dia Yang Maha hidup lagi tidak akan mati”.
Adapun tentang kematian, Dia (Allah) mengatakan: Kematian tidak
berada di bawah kekuasaan seseorang, dan tidak ada seorangpun yang tahu
di tempat mana dan di zaman mana dia akan mati. Allah berkata, “Tidak
ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan meninggal” (Q.S. Luqman:
34). Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan dilakukannya esok hari,
dan tidak ada seorang pun yang tahu di tanah dan tempat mana dia akan
mati, dan tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan diperbuatnya esok.
Oleh karena itu, dikatakan dalam surah Al-Kahfi, “Dan jangan sekali-kali
kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan
itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) insya Allah’” (Q.S. Al-Kahfi: 23—
24). Janganlah berkata dengan pasti, saya akan melakukan demikian besok
kecuali sesudahnya Anda mengatakan: insya Allah.
Pengertian kalimat tersebut adalah saya akan melakukan demikian
jika Allah memang menghendaki atau saya tidak akan dapat melakukannya
p:94
kecuali kehendak Allah menggagalkan atau Anda tidak menginginkan
sesuatu kecuali apa yang diinginkan oleh Allah. Alhasil, seseorang tidak
akan mengetahui apa yang akan dilakukannya besok dan seseorang tidak
akan mengetahui di bumi mana dia akan mati. Dan yang lebih dalam
dari itu, seseorang tidak akan mengetahui di tanah mana dia akan mati,
apakah dia akan mati di tanah keimanan atau dia akan mati di tanah
kekufuran atau kemunafikan. Dan dengan keikhlasan yang bagaimana dia
membungkus (mempersiapkan) barang-barang bepergian ke rumah yang lain
(akhirat)? Tanah kematian dan bumi kematian yang bernama akibat yang
buruk atau akibat yang baik adalah sebuah misteri, sebagaimana masa depan
juga menjadi misteri, dan zaman itu adalah, “Maka apabila telah tiba waktu
(yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya
barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya” (Q.S. an-Nahl: 61).
Momen yang tidak menerima perubahan dan pergantian adalah sebuah
mistri. Dan tidak ada seorang pun yang mati kecuali dengan izin Allah,
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang tertentu waktunya” (Q.S. Ali ‘Imran: 145). Setiap manusia
mempunyai masa depan tertentu dan kitab yang tertulis di mana dia akan
sampai ke puncak kematian dengan berakhirnya masa dan waktu itu. Tidak
sesaat pun akan dimajukan dan tidak sesaat pun akan diundurkan. Waktu
itu ada di sisi Allah, Dia berkata, “Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah,
sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang
ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah
yang mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit
itu)” (Q.S. Al-An’am: 2). Dan meminjam istilah Allamah Thabathaba’i
(rahmat Allah atasnya), apabila ada sesuatu yang di sisi Allah, maka akan
terjaga dari kerusakan perubahan dan pergantian, karena dia berkata dalam
surah an-Nahl, “Apa saja yang ada di sisi kalian akan habis (binasa) sedangkan
apa saja yang ada di sisi Allah kekal” (Q.S. an-Nahl: 9—6).
Al-Qur’an telah mengatakan dalam surah Al-An’am: waktu yang telah
ditentukan pada setiap orang berada di bawah kekuasaan Allah, lalu dia
(Allamah Thabatha’i) menjelaskan tafsir surah an-Nahl itu sebagai berikut:
Apa saja yang berada di sisi Allah akan tetap (tidak berubah) dan abadi.
Maka kesimpulannya: Sesungguhnya waktu yang telah ditentukan tidak
akan pernah dapat berubah, dan waktu itu telah diambil sebagai sebab
yang sempurna (‘illah tâmmah) untuk mengatur kematian jika seseorang
tidak berdoa, tidak bersedekah, tidak menjalin ikatan persaudaraan dengan
p:95
dengan kerabatnya, dan jika dia tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
memiliki peranan dalam memanjangkan umur.
Jika masalah-masalah (perbuatan-perbuatan yang dapat memanjangkan
umur—Peny.) ini telah dikumpulkan, bukan hanya satu keharusan (almuqtadhi)
tetapi seluruh keharusan ini serta segenap halangan ditiadakan,
maka ia akan sampai ke batas sebab yang sempurna, maka saat itu kematian
tidak akan pernah dapat berubah. Dengan demikian, kematian dan kehidupan
tidak berada di bawah kekuasaan seorangpun. Dan tidak ada seorangpun
yang mengeetahui di bumi mana dia akan mati, dan dia tidak mengetahui
kapan akan mempersiapkan barang-barang untuk bepergian, dan dia juga
tidak mampu untuk menghindar dari kematian. Manusia sampai sekarang
tidak akan pernah mampu menghindar dari kematian dan Anda tidak akan
pernah dapat dari sekarang sampai seterusnya untuk melakukan hal itu.
Adapun bahwa mereka tidak akan mampu melakukan hal itu sampai
sekarang, maka hal ini jelas sekali karena Al-Qur’an mengatakan, “Setiap
jiwa akan merasakan kematian” (Q.S. Al-Anbiya’: 35). Maka, semua
orang yang hidup di dalam biologi ini mau tidak mau mereka merasakan
(mengalami) kematian. Mereka benar-benar merasakan kematian bukan
berarti Dia (Allah) membinasakan mereka. Setiap orang bakal mencicipi
kematian dan melaluinya, bukan berarti dia akan binasa. Jika kematian ini
kita umpamakan seperti keadaan air di gelas dan perasan kehidupannya
pahit sekali, maka dia akan mendapatkan kesulitan pada saat kematian.
Adapun jika lezat sebagai akibat dari masa lalunya yang baik, maka dia akan
memperoleh kelezatan di saat kematian.
Al-Qur’an berkata sebagai berikut, “Kami tidak menjadikan hidup
abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau
kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Q.S. Al-Anbiya’: 34). Berdasarkan
ayat ini, maka kekekalan di dunia ini mustahil terjadi. Karena kehidupan
adalah untuk ujian dan percobaan dan berdasarkan argumentasi-argumentasi
rasional adalah untuk menuju suatu tujuan, maka harus ada kematian agar
manusia mencapai tujuannya.
Adapun yang dikatakannya bahwa kematian bukan berada di bawah
kekuasaan seorang pun dan ia (Al-Qur’an) mengatakan kepada orang-orang
munafik: Kalian yang duduk-duduk (tidak turut berperang) jauh dari medan
(peperangan) dan kalian bersekongkol serta mengatakan: jika para pejuang
tidak berangkat ke medan peperangan niscaya mereka tidak akan terbunuh.
Apabila kalian memang mampu, maka hindarilah kematian dari diri kalian.
Orang-orang munafik tidak mengetahui bahwa kematian dan kehidupan
p:96
ada di tangan Allah karena hati mereka tidak percaya kepada Allah, karena
kepercayaan tidak sesuai dengan kemu nafikan.
Ketika Al-Qur’an yang mulia menceritakan ihwal pertempuaran dan
peperangan yang terjadi di (masa) permulaan Islam, ia berkata: Sesungguhnya
dalam hal ini terdapat sisi ujian dan cobaan, “Dan supaya Allah mengetahui
siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah (naik ke
atas)” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Maka, Nabi berkata kepada umatnya; Marilah
kalian(menuju) ke atas, dan Imam juga berkata kepada umatnya: marilah
kalian menuju ke atas. Datang ke atas berarti melaksanakan perintahperintah
dan peraturan-peraturan Ilahi. “Marilah berperang di jalan Allah atau
pertahankanlah” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Boleh jadi peperangan permulaan
atau pertahanan dimulai dengan menyebarkaan agama atau dengan judul
menjaga negeri Islam. Bangkitlah kalian untuk bertempur dan berperang dan
singkirkanlah orang-orang yang menduduki (tanah orang lain secara ilegal).
Orang-orang munafik berkata: Kami tidak melihat bahwa peperangan
ini pantas(untuk dikobarkan), dan ini bukanlah peperangan yang mendatangkan
kebahagiaan. Seandainya peperangan ini baik dan layak,
maka kami tidak akan bimbang untuk turut serta di dalamnya. “Mereka
mengatakan, seandainya kami mengetahui akan terjadi peperangan (ini)
niscaya kami akan mengikuti kalian”(Q.S. Ali ‘Imran: 167). Namun,
Al-Qur’an berkata: Meskipun orang munafik batinnya kafir tetapi dalam
situasi-situasi normal (biasa) dia tidak termasuk bagian dari orang-orang
kafir atau bagian dari orang-orang Mukmin, “Mereka dalam keadaan raguragu
antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk pada golongan ini
(orang-orang beriman) dan tidak (pula) pada golongan itu(orangorang
kafir)”(Q.S. an-Nisa’: 143). Akan tetapi, mereka pada hari ujian dan
percobaan lebih dekat kepada orang-orang kafir, “Mereka pada hari itu lebih
dekat kepada kekafiran daripada keimanan” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Oleh
karena hati mereka kafir, sementara kendali mereka dan kepemim pinan
mereka berada di bawah kekuasaan hati mereka, sedangkan hati mereka
lebih condong kepada kekufuran.
Oleh karena itu, mereka pada hari-hari yang berbahaya akan menjadi
orang-orang yang lebih dekat kepada kekufuran ketimbang keimanan, dan
juga “Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam
hatinya dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan” (Q.S. Ali
‘Imran: 167). Dan saat itu mereka berkata kepada orang-orang munafik:
Kami telah mengatakan kepada para pejuang itu, janganlah kalian pergi untuk
berperang, jika mereka tidak jadi pergi niscaya mereka tidak akan terbunuh,
p:97
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka
tidak turut serta pergi berperang, “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah
mereka tidak terbunuh’” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Akan tetapi, mereka tidak
mendengarkan perkataan kami, lalu mereka pergi ke medan perperangan
sehinga mereka terbunuh. Al-Qur’an berkata, “Tolaklah kematian itu dari
dirimu, jika kamu orang-orang yang benar” (Q.S. Ali ‘Imran: 167). Jika kalian
memang mampu, maka usirlah kematian dari diri kalian, tetapi kematian
tidak dapat meninggalkan kalian meskipun kalian berada di menara tinggi
yang dibangun (dengan kokoh), ia tetap mengejar kalian dan jika kalian lari
ia akan (segera) menangkap kalian.
Jadi, kematian dan kehidupan ada di tangan Allah dan Dialah penyebab
kehidupan dan kematian, sementara kalian tidak akan pernah melakukan hal itu.
p:98
p:99
p:100
Al-Qur’an Al-Karim Sebagai Sebab Tawalli Dan Tabarri yang Terpenting
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Kami telah menjelaskan sebagian masalah seputar tawalli dan tabarri
dalam pandangan Al-Qur’an yang mulia. Kami telah menjelaskan juga
bagaimana tawalli dan tabarri terhitung sebagai bagian dari tiang-tiang
agama yang pokok. Nah, untuk menyempurnakan pembahasan tersebut
dan menyiapkan tempat untuk pembahasan-pembahasan berikutnya, kami
katakan: Sesungguhnya Al-Qur’an yang mulia adalah faktor yang paling
penting dalam tawalli dan tabarri dan memiliki peranan dalam mendorong
keyakinan bahwa Allah adalah wali (kekasih atau pemimpin) manusia dan
manusia berada di bawah wilayah (kecintaan atau kepemimpinan) Allah
yang hasilnya bahwa manusia akan mencintai wilayah Allah dan
wilayah wali-wali Allah. Ikatan dan hubungan yang paling kuat yang mengikat
hamba dan Allah dan yang mengantarkan curahan anugerah Allah kepada
hamba-hamba-Nya adalah Al-Qur’an yang mulia. Merasa tenteram dengan
kehadiran Kitab ini, merenungkan (tadabbur) isi Kitab ini, beriman kepada
apa saja yang dibawa oleh Kitab ini dan mengamalkan perintah-perintah
Kitab ini temasuk jalan yang paling penting dalam menapaki wilayah Allah.
Dalil atas pembahasan ini dan topik ini adalah firman-Nya tabaraka
wa ta’ala dalam surah Al-A’raf, “Sesungguhnya kekasihku (pelindungku) ialah
Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab( Al-Qur’an) dan Dia melindungi
orang-orang yang saleh”(Q.S. Al-A’raf: 196).
p:101
Poin pertama dalam ayat yang mulia ini adalah firman-Nya, “Sesungguhnya
kekasihku adalah Allah”. Itulah Tuhan yang aku di bawah wilayah-
Nya dan segala urusanku berada di bawah kendali-Nya, juga pendidikanku
dan perkembanganku berada di bawah wilayah-Nya, sumber mabda’)
itu adalah Allah—“Sesungguhnya kekasihku adalah Allah”. Hal yang paling
utama yang berhubungan dengan masalah ini adalah penurunan Al-
Qur’an. Al-Qur’an berkata, “Yang telah menurunkan al-Kitab”. Kekasihku
adalah Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an, yakni Al-Qur’an turun
lalu Dia menjelaskannya dengan suatu cara yang mana manusia mampu
membacanya, memahaminya, beriman, dan beramal dengannya.
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”. Masalah kedua dan
ketiga: Bahwa Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan Allah yang melindungi
orang-orang yang saleh adalah wali Rasulullah karena Al-Qur’an
mengenalkan Rasulullah sebagai teladan (uswah) dan meneladani beliau
adalah peneladanan yang terbaik. Umat Islam diharuskan untuk meneladani
beliau. Dan Al-Qur’anlah yang mengenalkan beliau sebagai teladan
dan panutan. Al-Qur’an (juga) mengenalkan bahwa Rasulullah berada di
bawah wilayah Allah. Al-Qur’an menentukan jalan yang menyebabkan
Allah menjadi Wali bagi Rasul-Nya. Setiap orang yang melalui jalan
itu, Allah akan menjadikannya berada di bawah wilayah-Nya. Dengan
memperhatikan dasar-dasar ini dapat dipahami bahwa jalan terbaik untuk
memperoleh wilayah Allah adalah menjadi seorang yang saleh. Selama
manusia belum menjadi orang yang saleh, maka dia keluar dari wilayah
Allah dan Allah juga tidak menerima tawalli-nya dan jalan kesalehannya,
yaitu merasa damai yang dalam (al-uns al-‘amiq) dengan (kehadiran) Al-
Qur’an. Kesimpulan tiga masalah ini yang telah dijelaskan dalam ayat itu
adalah sama dengan apa yang telah dipaparkan, “Sesungguhnya kekasihku
adalah Allah”, dan Tuhan itu “Yang menurunkan Al-Kitab” dan Tuhan itu
“melindungi orang-orang yang saleh”. Segala pengaturan urusan mereka
dikendalikan-Nya dan dibimbing-Nya. Dengan demikian, selama manusia
belum dapat menjadi orang yang saleh, maka dia tidak akan menikmati
wilayah Allah dan juga (tidak dapat menikmati) jalan kesalehannya, yaitu
kedamaian yang dalam dengan Al-Qur’an. Oleh karena Allah yang
menurunkan Al-Qur’an adalah Wali Rasulullah, maka penetapan hukum
(sebagai Wali Allah—Peny.) dengan sifat (orang yang saleh—Peny.) diikuti
dengan sebab sifat itu. Yakni, siapa yang mengamal kan Al-Qur’an, dia
akan menjadi orang yang saleh. Apabila Allah ingin menjadi Wali bagi
seseorang, maka melalui Al-Qur’an dia akan mengatur kewalian-Nya.
Dengan demikian, siapa (saja) yang tidak berhubungan dengan Al-Qur’an
maka pasti dia tidak akan pernah menjadi orang yang saleh dan tidak akan
pernah mengambil manfaat dari wilayah Allah. Begitu juga jika Allah ingin
mendidik seseorang dan menjadikannya berada di bawah wilayah-nya, maka
jalan Al-Qur’an dan makrifat-makrifat Al-Qur’an akan mengantarkannya
ke batasan ini, “Sesungguhnya Allah adalah kekasihku Yang telah menurunkan
Al-Qur’an dan Dia melin dungi orang-orang yang saleh”. Adapun tentang Al-
Qur’an yang mulia, kita telah diperintah sebagai berikut, “Bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al-Qu’ran” (Q.S. Al-Muzammil: 20). Jadikanlah Al-
Qur’an kesenangan bagi kalian meskipun sebagai ayat dan surah tidak jelas
bagi kalian. Janganlah kalian berkata: Apa perlunya membaca tanpa memahami.
Pembicaraan (kalam) ini bukanlah pembicaraan manusia yang tidak
ada manfaatnya jika tidak memahami maknannya. Ini (Al-Qu’ran) adalah
p:102
cahaya Ilahi. Apabila seseorang tidak mengerti makna-maknanya bukan
berarti tidak bermanfaat; bacaan diharuskan merenung (tadabbur) pada saat
membaca. Namun, jika dia tidak mengerti maknanya, maka dia tidak boleh
berkata, saya tidak mengerti maknanya lalu mengapa saya membacanya?
Tidaklah demikian, “Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qu’ran”. Dia
(Allah) memerintahkan untuk membaca (Al-Qur’an) dan memerintahkan
untuk membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an. Dia berfirman (juga)
dalam surah Al-A’raf, “Dan apabila dibacakan Al-Qu’ran, maka dengarkanlah
baik-baik, dan perhatikankah dengan tenang” (Q.S. Al-A’raf: 204). Jika imam
salat jamaah sedang membaca Al-Fatihah dan surah (Al-Qur’an), maka
kewajiban kita adalah diam dan mendengarkan bacaannya. Sekelompok
ulama berpendapat bahwa kewajiban diam dan mendengarkan bacaan Al-
Qur’an berlaku juga pada selain salat jamaah, tetapi pendapat yang populer
di antara para ulama itu hanya sunah. Alhasil, pada saat Al-Qur’an dibacakan
hendaklah orang-orang lain mendengarkan dan memperhatikan dengan
tenang. Dari sisi lain, Al-Qur’an berkata, “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci” (Q.S. Muhammad:
24). Ini adalah ajakan untuk merenung dan memperhatikan isi Al-Qur’an.
Al-Qur’an berkata: Setiap orang yang tidak merenung dalam (membaca)
Al-Qur’an, maka hatinya terkunci. Pintu pemahaman hatinya terkunci, dan
gembok hati adalah dosa. Maka kegelapan-kegelapan dalam jiwa diakibatkan
oleh terkuncinya jendela-jendela hati, sehingga makrifat-makrifat Al-Qur’an
tercegah untuk menembus dan menguasai hati melalui jendela-jendela ini.
Dan Allah telah menegaskan pentingnya Al-Qur’an dalam firman-Nya,
“Dan Kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk berzikir, maka adalah orang
yang mau berzikir” (Q.S. Al-Qamar: 17). Sungguh Kami telah memudahkan
Kitab ini untuk berzikir kepada Yang Maha benar (Al-haq), nama kebenaran
(ism al-haq), dan merasa senang bersama Allah. Jalan yang termudah untuk
mengingat Allah (zikrullah) adalah Al-Qur’an, jalan yang terdekat dan yang
terbaik untuk merasa senang bersama Allah adalah Al-Qur’an. Kitab Ilahi
ini (meskipun) berat (sukar), maka pada saat yang sama ia juga mudah. Al-
Qur’an berkata, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan
yang berat” (Q.S. Al-Muzammil: 5). Sungguh Kami telah mengirim
kepadamu suatu perkataan yang berat dan menurunkannya atas hatimu,
dan ia (Al-Qur’an) juga berkata: ia mudah dan gampang tetapi tidak ringan,
tetapi berat namun tidak sulit bahkan mudah. Terdapat perbedaan antara
kemudahan dan kelemahan. Tidak ringan tetapi berat, bahkan ia mudah
karena sesuai dan serasi dengan fitrah. Pada saat dikatakan, “Sesungguhnya
Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”, Ia juga “Dan Kami
p:103
telah memudahkan Al-Qur’an untuk berzikir”. Dan kami telah menjelaskan
hal itu secara rinci pada majelis-majelis pertama pembahasan tafsir.
Ketika Allah Swt berfirman: Bacalah apa yang mudah dari Al-
Qu’ran, dan berfirman: Apabila Al-Qur’an dibacakan maka dengarkanlah,
dan berfirman: Kami telah memudahkan Al-Qur’a untuk berzikir, maka
semua ini menunjukkan bahwa jalan terbaik untuk memperoleh kecin taan
(tawalli) Allah adalah Al-Qur’an. Dan hal yang paling penting (berperan)
yang menjadikan manusia berada di bawah wilayah Allah adalah Al-Qur’an,
“Sesungguhnya waliku adalah Allah”. Apabila Allah menjadi Wali bagi
seseorang, maka apa yang akan dilakukan? “Allah adalah Wali orang-orang
yang beriman yang mengeluarkan mereka dari ke ge lapan menuju cahaya“ (Q.S.
Al-Baqarah: 257). Dia akan menyelamatkan manusia dari segala macam
kelaliman dan kegelapan dan mengeluarkannya menuju ke medan cahaya
dan menjadikannya sebagai orang yang bercahaya. Berdasarkan hal ini, maka
Rasulullah Saw. telah selamat dari pelbagai bentuk kelaliman dan menjadi
cahaya, karena Allah Swt berfirman dalam surah Al-A’raf, “Allah adalah Wali
bagi orang-orang yang beriman”. Tugas wilayah Allah adalah mengeluarkan
orang-orang yang berada di bawah wilayah-Nya menuju cahaya,
sehingga mereka menjadi orang-orang yang bercahaya, demikianlah yang
difirmankan-Nya, “Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan
cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat” (Q.S. Al-An’am:
122). Dia men jadikannya cahaya spiritual di tengah-tengah umat sehingga
gerakannya, wawasannya, dan perjalanannya adalah cahaya. Ringkasnya,
Allah telah menjelaskan jalan ini kepada orang-orang lain. Apabila seeorang
ingin berada di bawah wilayah Allah dan menjadi orang yang bercahaya,
maka dia harus menjadi orang yang saleh, “Dan Dia melindungi orang-orang
yang saleh”. Dan jalan kesalehan adalah merasa senang dengan kehadiran Al-
Qur’an karena Allah Yang menurunkan Al-Qur’an adalah Wali Rasulullah,
“Yang menurunkan Al-Qur’an dan Dia melindungi orang-orang yang
saleh”. Dan orang-orang yang saleh (as-sahl ihun) bukanlah “orang-orang
yang beriman dan beramal saleh (kebaikan)”. Mereka adalah orang-orang
saleh yang telah mencapai kedudukan di mana jiwa mereka juga saleh
(min ahli maqâm ad-dzat) pada satu kali, jiwa menjadi saleh, dan pada kali
yang lain manusia melakukan perbuatan yang saleh.
Amal saleh tidak butuh kepada banyak urutan (tartib), namun jiwa yang
saleh membutuhkan amal-amal yang sempurna. Rasulullah Saw. dan Ahlulbait
yang suci dan terjaga (dari kesalahan) as termasuk dari orang-orang yang saleh
(as-shalihun). Orang-orang yang saleh yang jiwa mereka (juga saleh) telah
p:104
mencapai suatu kedudukan yang tinggi. Allah Swt berkata tentang sebagian
nabi bahwasanya dia akan digolongkan bersama orang-orang yang saleh pada
Hari Kiamat, “Dan sesungguhnya dia di akhirat akan(dikelompokkan) bersama
orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-Baqarah: 130). Jika jiwa telah menjadi
saleh, maka tidak akan keluar darinya kecuali amal saleh. Akan tetapi, jiwa
belum saleh sementara perbuatannya saja baik (saleh), maka terkadang
dapat saja perbuatannya saleh (baik) dan terkadang (juga) tidak baik (saleh).
Ringkasnya, orang yang saleh yang mampu melihat (baca: mencapai—
Peny.) kedudukan Dzat (maqâm ad-dzat) bukanlah “orang-orang yang
beramal saleh” yang melihat (baca: mencapai kedudukan perbuatan (maqâm
al-fi‘l). Dalam ayat ini, Rasulullah mengklaim dari sisi Allah bahwa beliau
mampu melihat Dzat yang saleh karena Allah yang melindungi orang-orang
yang saleh adalah Walinya. Apakah mungkin seseorang yang tidak saleh
akan berada di bawah wilayah Allah yang khusus? Padahal, keberadaannya
sebagai orang yang saleh dan sebagai orang yang mendapatkan kedamaian
(an-uns) dengan Al-Qur’an kedua-duanya membutuhkan wilayah Allah
(al-wilayah al-ilahiyah). Bukankah wilayah khusus itu untuk orang-orang
yang mendapatkan kedamaian yang dalam bersama Al-Qur’an ini dan yang
mendaki martabat tertinggi melalui persahabatan (dengan) Al-Qur’an yang
merupakan tali Allah lalu mereka mencapai maqâm yang saleh, dan saat itu
mereka secara langsung berada di bawah wilayah Allah?
Jika Allah menjadi wali bagi seseorang, maka Dia akan mengurus
seluruh urusannya karena semua masalah anak buah menjadi tanggung jawab
atasan. Apabila seseorang berada di bawah kekuasaan Allah, maka apakah
setan dapat merusak maqâm itu? Atau dia akan dikuasai oleh hawa nafsu dan
kegilaan(yang diilhamkan oleh setan)? Atau orang-orang yang asing dapat
menebarkan waswas kepadanya? Atau setan yang ada dalam tubuhnya dapat
melakukan waswas kepadanya? Sama sekali tidak, karena manusia ini telah
berada secara langsung di bawah wilayah Allah.
Jika seseorang telah mencapai sisi maqâm kesempurnaan dan cahaya
spiritual suatu kedudukan di mana Allah menjadi Wali-nya, maka tidak ada
tempat bagi was-was setan pada kali berikutnya. Dan Al-Qur’an menyeru kita
dalam rangka menjelaskan kepada kita suatu jalan, dan juga agar manusia
melalui jalan itu sesuai dengan kemampuan mereka. Al-Qur’an berkata
kepada kita semua: Ambillah dengan kekuatan apa yang telah Allah kirim
untuk memberikan petunjuk kepada kalian. Seruan itu bukan hanya untuk
Musa al-Kaliim dan umatnya dan bukan juga untuk Yahya a.s. saja, tetapi
untuk seluruh umat dengan firman-Nya, “Peganglah dengan teguh(kuat) apa
p:105
yang telah Kami berikan kepadamu” (Q.S. Al-A’raf: 171). Dan Dia berkata
kepada umatnya Musa al-Kalim: Ambillah dengan kuat apa-apa yang
diwajibkan Allah kepadamu. Terdapat dalam surah la-A‘raf, “Dan (ingatlah)
ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan
awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan
Kami katakan kepada mereka): “Peganglah dengan teguh (kuat) apa yang telah
Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu apa yang tersebut di dalamnya
supaya menjadi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. Al-A’raf: 171).
Kami akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan mengambil
(atau memegang) dengan kekuatan, apakah dengan kekuatan otot atau
dengan kekuatan otak (pikiran)? Ketika salah seorang Imam yang terjaga
dari dosa (al-maksum) as ditanya: apakah dengan kekuatan iman ataukah
dengan kekuatan fisik? Beliau menjawab, dengan keuatan fisik dan
hati yang notabene kekuatan iman; dengan kekuatan sekaligus dengan
kekuatan pikiran dan akidah yang kuat sekaligus juga kekuatan otot.
Dengan kekuatan pemikiran argumentatif yang dalam, “Katakanlah (hai
Muhammad) datangkanlah argumentasi kalian jika kalian memang benar”
(Q.S. Al-Baqarah: 111) dan juga dengan kekuatan fisik, “Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (Q.S. Al-
Anfal: 60). Dengan kekuatan materi sekaligus kekuatan ruhani. Dengan
pemikiran yang dalam dan kuat sekaligus juga otot yang besar dan kuat,
“Peganglah dengan teguh (kuat) apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta
ingatlah selalu apa yang tersebut di dalamnya”. Dan Al-Qu’ran berkata kepada
Musa al-Kalim, “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih kamu dari manusia
yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu
berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah
kamu termasuk orang-orang yang bersyukur. Dan telah Kami tuliskan untuk
Musa pada papan (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan
bagi segala sesuatu; maka (kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan
teguh (kuat)”(Q.S. Al-A’raf: 144—145). Berpeganglah kepada papan-papan
samawi (al-alwah)—yang tertulis padanya isi Taurat—lembaran Ilahi, dan
Kitab samawi yang berharga ini dengan kuat, ambillah dengan kekuatan
hati dan badan.
Ketika Allah Swt memerintahkan Nabi Yahya yang syahid melalui
firman-Nya, “Hai Yahya ambillah Al-Kitab dengan kuat” (Q.S. Maryam:
12). Maka, maksudnya bukan dengan kekuatan fisik saja, tapi juga dengan
kekuatan ruhani. Oleh karena itu, Yahya a.s. bekerja keras (dengan memerangi
hawa nafsu), sehingga beliau mencapai makam kesyahidan (syaha Al-
p:106
dah), Yahya bukan saja seorang yang zuhud tetapi juga seorang yang syahid,
karena beliau mengambil dengan kekuatan dan menerima dengan kekuatan,
“Hai Yahya ambillah al-Kitab dengan kekuatan”. Manusia harus menerima
Kitab samawi dengan kekuatan ruh. Hendaklah dia tidak merasa takut
untuk menjaga Kitab ini dari segala bentuk perbuatan yang tidak pantas.
Hendaklah dia tidak membiarkan ketakutan dan kesedihan menghantui
jiwanya akibat kejadian buruk (yang menimpanya) dan hendaklah (juga)
dia tidak meninggalkan pelaksanaan kewajiban (agama)nya.
Saya telah memaparkan masalah—“Ambilah apa yang telah Kami
berikan dengan teguh (kuat)” (Q.S. Al-Baqarah: 63)—yang terdapat dalam
surah Al-Baqarah pada dua tempat, “Dan Kami angkat bukti (Thursina) di
atasmu (seraya Kami berfirman), ‘Peganglah kuat-kuat apa yang Kami berikan
kepadamu dan dengarkanlah’” (Q.S. Al-Baqarah: 93). Dan pada akhirnya
bahwa mereka berkata “Kami mendengar dan kami bemaksiat”. Oleh
karena hati diminumi oleh cinta tehadap berhala, maka tidak ada tempat
baginya untuk berkeyakinan (iman) kepada Allah. Dan sebagaimana telah
lewat dalam pembahasan majelis terdahulu bahwa seseorang tidak dapat
mengumpulkan antara cinta Allah dan cinta selain Allah, karena dia
tidak mampu memadu cinta Allah di selain hati, begitu juga dia tidak sanggup
untuk menggabungkan antara dua cinta karena dia tidak memiliki dua hati
tetapi (hanya) satu hati. Tidak dapat menyim pan dua cinta di dalam satu hati
karena tauhid dan syirik tidak selaras. Demikianlah maksud yang disampaikan
kepada para nabi: Ambillah apa yang telah Kami berikan dengan kekuatan.
Maka, barang siapa ingin memasuki wilayah Allah, dia harus mengambil
Al-Qur’an dengan kekuatan: dengan memahami makna-maknanya,
meyakini sepenuhnya, berusaha keras untuk mengamalkannya dan
tidak malas terhadapnya. Hal yang prinsip, bahwa tawalli dan wilayah
Allah tidak serasi dengan kemalasan. Ketika Allah Swt memerintahkan
Musa Al-Kalim dan Harun a.s. untuk bangkit melawan Fir’aun,
Dia berfirman, “Dan janganlah kamu berdua lalai (malas) dalam
mengingat-Ku” (Q.S. Thaha: 42). Janganlah kalian dari membiarkan
jalan kemalasan dan kebosanan (menghalangi kalian) dari zikrullah,
dan janganlah hati kalian berdua merasakan kemalasan dari zikrullah.
Jika hati merasakan kemalasan, maka ia tidak akan mengambil Kitab
Allah dengan kuat, dan jika tidak mengambilnya dengan kuat maka ia tidak
akan menang. Apa yang akan kita lakukan agar kita menang atas musuh
eksternal kita dan juga atas setan internal? Oleh karena itu, Al-Qur’an
mengindentifikasi jalan (untuk meruntuhkan dua musuh itu) dengan
p:107
firman-Nya, “Ambillah apa yang telah Kami berikan kepadamu dengan kuat”.
Apabila lembaran ruh bercahaya dengan kekuatan pikiran, maka ia akan
melihat semua jendela-jendela setan dan akan(segera) menutup nya dan
akan mencegah penetrasinya melalui jendela tersebut. Ketika dia melihat
jendela-jendela setan dan menutupnya, maka saat itu tidak ada tempat bagi
penetrasi was-was karena setan datang dari suatu jalan yang tidak dilihat oleh
manusia. “Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-peng ikutnya melihat kamu
dari suatu tempat yang tidak dapat kamu lihat” (Q.S. Al-A’raf: 27). Maka,
ia datang melalui jalan itu yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Manusia
lalai dari jalan itu sehingga dia tidak melihatnya lalu dia terkena (lemparan)
panah setan “setiap orang yang lalai akan terkena panah”. Jika manusia tidak
menutup jalan setan itu untuk mencegahnya dari (melakukan) was-was,
maka dia akan terkena benturan.
Apabila manusia melihat semua jalan lalu menutupnya, maka tidak
ada tempat bagi penetrasi setan. Dalam surah Al-A’raf (juga) disebutkan,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was
dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka
melihat(kesalahan-kesalahannya)” (Q.S. Al-A’raf: 201).
Jika orang-orang asing ingin tawaf dengan (memakai) baju ihram di
sekitar kakbah hati, jika orang asing yang tawaf ini melalui tawaf(berusaha)
mendapatkan jalan untuk menembus Ka'bah hati, maka pemilik hati
tersebut—karena dia bangun (sadar) dan mengerti bahwa orang asing ini
datang dengan (menyamar) memakai pakaian teman yang dikenalnya—
langsung mengusirnya dan melemparinya.
Prinsipnya, setan senang dengan kelalaian. Dan manusia yang tidak
melihat jalan karena dia bodoh atau lalai, maka dia akan mendapatkan
gangguan. Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata: Ingatlah Allah dengan zikir
yang banyak dan jangan kalian sekali-kali lalai karena setan akan datang
dari jalan kelalaian. Saat itu, orang yang tidak beriman akan berada di
bawah kendali setan, ia akan menghabiskan usianya di bawah kekuasaan
setan dan dia tidak mengetahui sedang berada di bawah kekuasaan siapa,
dia menghabiskan usianya dengan tunduk (sepenuhnya) di bawah perintah-perintah
setan sementara dia tidak mengerti di bawah pimpinan siapa! Setan
seperti anjing yang terlatih, ia tidak dapat melakukan godaan terhadap orang
yang menunaikan perintah Ilahi, sebagaimana ia (juga) tidak serta-merta
memerintah pada saat menyesatkan manusia. Manusia itu sendiri yang
membuka semua jendela hatinya untuk(ditem pus) was-was setan. Manusia itu
sendiri yang mengucapkan Kitabullah ke belakang punggungnya “lalu mereka
p:108
melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka” (Q.S. Ali ‘Imran: 187).
Manusia itu, yang seharusnya mengambil Kitabullah dan pergi dengannya
menuju tempat yang tinggi, namun dia justru melemparkan nya jauh-jauh
lalu membuka jalan untuk orang-orang asing (para setan), sehingga, dia
berada di bawah wilayah setan. Setan menyerang melalui kelalaian, sementara
Al-Qur’an berusaha agar tidak seorang pun lalai. Setan menyesatkan atas
nama petunjuk; memotong jalan atas nama bimbingan; menjatuhkan atas
nama ketinggian dan kemajuan; dan menurunkannya (Adam—Peny.) atas
nama (memberi) hidayah. Dia berkata kepada Adam, Bapak manusia,
“Maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang
tidak akan binasa” (Q.S. Thaha: 120). Dia datang atas nama petunjuk,
tetapi “setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu dengan tipu
daya)”. Setan tidak memberikan petunjuk kepada keduanya, melainkan ia
menyesatkan keduanya, dan bukannya membimbing keduanya, melainkan
malah memotong jalan keduanya. Dan setiap pejalan yang (melalui) jalan
yang tertutup(tidak terang), maka dia akan jatuh dari atas.
Menurut ungkapan Al-Qur’an yang dalam, setan berpakaian petunjuk.
Ia menjatuhkan atas nama petunjuk, “Setan menjatuhkan (membujuk)
keduanya dengan tipu daya”. Ia menjatuhkan melalui tipu daya dan
merobohkan orang yang berada di atas. Setan menurunkan orang-orang
yang berada di puncak kesempurnaan sampai ke (puncak) kerendahan,
dan perbuatan setan adalah memotong jalan atas nama bimbingan dan
kepemimpinan. Dan menurut pernyataan Mulla Sadra: Sesungguhnya setan
bersumpah kepada Adam dan istrinya untuk tidak mengkhianati keduanya,
namun ia memperlakukan keduanya seperti itu, maka apa gerangan yang
akan dilakukannya kepada kita, padahal ia bersumpah untuk menyesatkan
kita? Ia bersumpah kepada Adam, Bapak manusia dan istrinya, “Dan setan
bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang
memberi nasihat kepada kamu berdua’“. Namun, ia mengkhianati keduanya.
Berkaitan dengan orang-orang lain, ia berkata, “Iblis menjawab, ‘Demi
kekuasaan Engkau, aku akan menye satkan mereka semuanya’” (Q.S. Shad: 82).
Setan mengerahkan seluruh potensinya untuk menyesatkan, sekaligus
menggunakan makar dan tipu dayanya. Sehubungan dengan Adam as, setan
menggunakan makar dan tipuan sehingga dia masuk dengan tidak diketahui,
dan sekarang dia menyerang dengan segala kekuatan yang dimilikinya untuk
menyesatkan manusia, demikianlah ungkapan Al-Qur’an Al-Karim yang
mengatakan “Mereka benar-benar menyimpang dari jalan yang lurus” (Q.S.
p:109
Al-Mukminun: 74). Para pengikut setan terjungkal dari jalan yang lurus.
Terkadang Al-Qur’an mengatakan: Mereka jauh dari jalan (yang
lurus), pada kali lain mengatakan: Mereka terjungkal dari jalan (yang
lurus), “dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya
dia terjatuh” (Q.S. Thaha: 81). Terkadang (menggunakan ungkapan)
menyimpang (nakaba) dan pada kali lain (menggunakan ungkapan) jatuh
(hawâ), terkadang mereka jatuh jauh (sekali) dan pada kali lain mereka pergi
ke bawah, kedua-duanya sama saja: “Kanan dan kiri adalah (jalan) kesesatan
sedangkan yang tengah adalah(jalan) kebenaran”.(1)
Atas dasar inilah, setan melakukan was-was melalui suatu jalan yang
tidak dilihat oleh manusia yang saat itu dia lalai. Agar tidak ada tempat
tinggal bagi setan di hati dan tidak ada sudut gelap yang terisi di dalamnya
sehingga waswas itu tidak dapat memulai (bekerja) dari sudut yang gelap itu,
Al-Qur’an berkata, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di
waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang lalai”(Q.S. Al-A’raf: 205).
Hidupkanlah zikrullah dalam hatimu dan biarkanlah menyebut
kebenaran (zikrulhaq) mengapung di atas ruhmu. Zikrullah melalui kedua
bibir (dengan mulut) merupakan zikir tingkat rendah, sedangkan zikrullah
di dalam hati merupakan zikir tingkat tinggi. Zikrullah seperti inilah yang
mencegah setan dari penyusupan. Berikanlah jalan kepada nama ini (untuk
memasuki) hatimu, bukan sekadar teoretis atau sekadar pengucapan namun
lebih dari itu sebagai tanda keimanan di dalam hati dengan penuh kerendahan
diri dan rasa takut agar Anda tidak terkena kelalaian lalu Anda melihat
godaan pada saat kelalaian, yang demikian ini sehubungan dengan ruh.
Adapun sehubungan dengan lisan (mulut), maka, “Dan dengan tidak
mengeraskan suara”. Hendaklah mulutmu selalu kontinyu melakukan
zikrullah baik di waktu pagi dan petang namun tidak dengan suara yang
terlalu keras sekali dan tidak (pula) dengan suara terlalu rendah sekali. Anda
bergerak di awal waktu pagi hari dengan (menyebut) nama Allah agar harimu
terjaga, dan sibukkanlah (dirimu) dengan zikrullah dari permulaan malam
agar malammu terlindungi. Dan zikrullah bukan hanya di waktu fajar dan
terbenamnya matahari, tetapi di waktu pagi dan juga petang. Nampaknya,
ini berarti (menunjukkan) kesinambungan zikir.
Apabila Al-Qur’an berkata: lakukanlah yang demikian di waktu pagi
dan malam dan lakukanlah yang demikian di waktu fajar dan terbenamnya
p:110
matahari, maka ini berarti bahwa hendaklah Anda selalu berada dalam
keadaan seperti ini, karena rentetan ayat itu mengatakan, “Dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai”. Seberapa pun kadar kelalaian Anda
dari zikrullah, maka setan akan melakukan was-was terhadap Anda melalui
kadar tersebut karena seseorang yang lalai tidak akan pernah melihat
penyusupan was-was setan kepada dirinya.
Apabila manusia tidak melihat (arah) perjalanannya disebabkan
kelalaiannya, maka setan akan melakukan was-was terhadapnya melalui
jalan itu sendiri. Apabila manusia tidak menghitung untung-rugi di mana
dia tidak menilai (sejauh mana) manfaatnya dan mudaratnya dan dia (juga)
tidak berpikir dalam hal itu, maka dia akan melihat kuburukan dan bahaya
dari jalan itu sendiri, “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.
Al-Qur’an tidak hanya mengatakan, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam
hatimu”, tetapi ia memberikan perintah-perintah ibadah dengan berkata:
Sebutlah Tuhanmu di waktu pagi dan petang, dan jangan hanya (sebatas)
menyebut-Nya di dalam jiwamu, tetapi janganlah lupa pula berdoa.
Al-Qur’an juga memberikan perintah berdoa dalam surah Al-A’raf:
Bacalah zikrulhaq dan ism al-haq (nama kebenaran) dan zikrullah. Al-Qur’an
juga memerintahkan zikrullah di dalam jiwa dan mengatakan: Kalian yang
membaca nama Allah dengan rasa takut dan (dibarengi) harapan, janganlah
melampaui batas karena Allah ‘tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”, baik melampaui batas ini dalam berdo’a atau untuk mendapatkan
sesuatu yang Anda minta, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri
dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
malampaui batas” (Q.S. Al-A’raf: 55).
Al-Qur’an berkata: Berdoalah kepada Allah dengan penuh rendah diri
dan di kesunyian (khafa’), dengan rendah diri dan rahasia di waktu sahur,
mintalah dan berdoalah di saat sendirian dan jauh dari riya dan pamrih. Dan
pada saat Anda bersama Allah, hendaklah dengan penuh rendah diri dan suara
yang lembut serta suara gemuruh yang tersembunyi (tidak terang-terangan).
Berusahalah untuk tidak melampaui batas dalam berdoa, sesuatu yang
seyogyanya tidak Anda minta, maka janganlah memintanya, janganlah Anda
keluar dari etika berdoa dan janganlah melampaui batas. Janganlah memanggil
Allah dengan suara yang keras sekali, karena ketika Anda mengabaikan suara
yang lembut dan dengan penuh rendah diri, maka Anda berarti mengabaikan
etika berdoa. Dan jika Anda keluar dari etika berdoa, maka Anda tergolong
sebagai orang yang melampaui batas, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas”. Janganlah Anda melampaui batas
p:111
dalam meminta (ath-thalib) dan apa yang Anda minta(al-Mathlub).
Sesuatu yang Anda minta haruslah Anda kemukakan dengan cara
penuh rendah diri dan dengan suara yang lembut. Apabila rendah diri
itu diungkapkan dengan suara yang lembut, maka tanaman ini akan
membuahkan keyakinan yang (buahnya) mudah untuk dipetik. Apabila
di suatu kebun terdapat pohon yang tidak tumbuh dan berbuah, maka
sebabnya bukan dari kebun itu sendiri; dan apabila seseorang menyirami
batang pohonnya dengan air matanya dengan penuh rendah diri dan rahasia,
maka pohon itu pasti akan berbuah. Lalu, pohon ini akan memenuhi setiap
halaman ruh dan akan membentangkan naungannya di dalamnya, dan saat
itu tidak ada jalan bagi penyusupan setan.
Apabila setan tidak dapat menyusup, maka seseorang akan melalui
jalan kebaikan (kesalehan), dan pada saat ia melalui jalan tersebut, maka
ia akan (bergandengan) dengan Al-Qur’an dengan suatu ikatan yang kuat
di seluruh tahapan-tahapan ini. Dan bentuk hubungan yang kuat bersama
Al-Qur’an ini pada dirinya, maka ia akan mencapai wilayah Allah yang
merupakan tahapan kemanusiaan tertinggi karena manusia sempurna
adalah manifestasi dari Nama yang Agung (ism al-a’zham), dan melalui ism
al-a’zham ia mencapai (tingkatan itu).
Rasulullah, penutup para nabi dan yang termulia di antara para nabi dan
para wali—atas mereka semua beribu-ribu penghormatan dan pujian—berada
langsung di bawah perlindungan Allah. Dan Al-Qur’an telah menjelaskan
kepada kita jalan ini dengan(menyebutkan) tiga kalimat, “Sesungguhnya
pelindungku (waliku) adalah Allah Yang telah menurunkan al-Kitab (Al-
Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-A’raf: 196).
p:112
p:113
p:114
Al-Qur’an Adalah Sarana Satu-satunya
Untuk Mencapai Maqam Orang-orang Salih
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Perbincangan seputar wilayah Ilahi telah dikemukakan pada majelis
terdahulu. Di sana telah dikemukakan bahwa Allah Swt menyebut Rasul-
Nya sebagai seorang yang berada langsung di bawah wilayah-Nya. Allah Swt
berfirman kepada Rasul-Nya, “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Sesungguhnya
pelindungku (waliku) ialah Allah Yang telah menurunkan al-Kitab (Al-
Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh’”(Q.S. Al-A’raf: 196).
Ayat ini terbagi menjadi tiga dimensi. Setiap dimensi ini harus dikupas.
Pertama, Allah adalah Wali (pelindung) Rasulullah. Kedua, Allah-lah yang
menurunkan Al-Qur’an. Dan ketiga, Allah melindungi orang-orang yang
saleh. Apa yang difirmankan-Nya—“Sesungguhnya pelindungku (waliku)
ialah Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi
orang-orang yang saleh”—menunjukkan bahwa Rasulullah termasuk golongan
orang yang saleh dan jalan untuk mencapai kesalehan dan ketetapan (istiqrar)
dalam wilayah Allah adalah Al-Qur’an al-Karim.
Keakraban (al-uns), perenungan (tadabur), keimanan, serta pengamalan
Al-Qur’an adalah (jalan) yang mengantarkan manusia (mencapai)
wilayah Allah. Dan kami telah menjelaskan perbedaan antara “orang-orang
yang beriman dan beramal saleh” dan “orang-orang yang saleh”. Yaitu,
bahwa kedudukan orang yang beramal saleh tidak sama dengan
kedudukan orang yang zatnya atau jiwanya (juga) saleh. Oleh karena Al-
Qur’an adalah suatu ikatan antara hamba (al-‘abd) dan Tuhan (al-maula),
maka ia menjelaskan jalan wilayah dan mengantarkan manusia untuk
(mencapai) wilayah Allah (yaitu suatu pencapaian) menuju kesempurnaan.
Oleh karena itu, Allah banyak memberikan perintah berkenaan dengan Al-
Qur’an,(seperti) firman-Nya:
“Maka, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qu’ran” (Q.S. Al-
Muzammil: 20).
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang” (Q.S. Al-A’raf: 204).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati
p:115
mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad: 24).
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”
(Q.S. Al-Muzamil: 5).
“Dan sesungguhnya Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka
adalah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.S. Al-Qamar: 22).
Al-Qur’an adalah sebab yang terbaik dan termudah untuk mengingat
Allah dan untuk kehidupan hati. Dan Al-Qur’an telah memperkenalkan
dirinya sebagai tali Allah dan masalah-masalah yang lain. Al-Qur’an
adalah jalan yang terpenting, bahkan ia jalan satu-satunya yang memberikan
manusia kesempatan naik (mi’raj ruhani) ke tempat yang tinggi dan
bergabung bersama orang-orang saleh, supaya ia berada di bawah wilayah
Allah secara langsung. Apabila manusia berada di bawah wilayah Allah, maka
Allah akan mengurusi semua urusannya dan ia akan diliputi oleh hidayah
Ilahi secara langsung. Maqâm yang tinggi itu tidak memberikan jalan
sedikit pun bagi was-was setan dan penetrasinya. Dan tidak dapat dalih-dalih
kosong menghalangi manusia untuk melalui jalan itu, meskipun ia cukup
memuaskan diri namun ia tidak cukup untuk memuaskan akal. Boleh jadi
seseorang akan berkata: Sungguh setan tidak akan pernah membiarkan aku
melalui jalan ini. Dan boleh jadi ia akan berkata: Sesungguhnya was-was di
dalam jiwa mencegahku untuk melewati jalan ini.
Kita harus memperhatikan sejauh mana pengaruh (penembusan)
setan terhadap manusia menurut pandangan Al-Qur’an. Atas apa penem
busan itu terjadi? Apakah tingkat penembusannya sama atas semua
orang atau berbeda? Dan apakah setan mempunyai program atau rencana
tertentu yang berlawanan dengan perintah Allah ataukah ia adalah bagian
dari makhluk-makhluk yang menjalankan perintah Allah (seperti para
malaikat yang mendapat perintah Allah—Peny.)? Apakah setan memotong
(baca: menggagalkan—Peny.) perintah-perintah Allah dan melakukan suatu
tindakan yang berseberangan dengan tindakan Allah, ataukah ia temasuk
dari bagian sistem ciptaan (nidzam al-khilqah) dan termasuk dari bagian
sistem ciptaan (nidzam al-khilqah) dan termasuk dari makhluk-makhluk
yang ditugaskan? Atau begini: apakah setan menentang (perintah) Allah,
ataukah ia makhluk Allah yang (seharusnya) mengikuti perintah-perintahNya?
Bukankah Allah adalah Tuhan Pengatur alam semesta dan seluruh
maujud (makhluk) tunduk di bawah pengaturan dan bimbingan Allah, lalu
dalam hal ini setan dikecualikan? Kalau tidak, bukankah setan (tunduk) di
bawah pengaturan Allah? Dan kalau tidak, maka setan akan bebas dan tidak
menjalankan perintah-perintah Allah? Padahal, tidak ada sesuatu pun yang
p:116
memiliki potensi kebebasan (secara mutlak), semua wujud di langit dan
bumi tunduk dan hina di hadapan perintah Ilahi, “Dan semua mereka datang
menghadap-Nya dengan merendahkan diri (hina)”(Q.S. An-Naml: 87).
Meminjam ungkapan Ali bin Abi Thalib as: Setan adalah pemimpin
orang-orang yang fanatik (al-muta’ashibin). Apakah pemimpin orang-orang
yang fanatik ini mempunyai sikap yang berlawanan secara struktural(takwini)
terhadap perintah-perintah Ilahi atau ia termasuk dari makhluk-makhluk
yang diperintah secara paksa oleh Allah? Al-Qur’an tidak memperkenalkan
penembusan setan kecuali sekadar was-was dan hanya penembusan
yang(mampu) disadari dan diketahui, dan tidak merampas ikhtiar manusia
secara mutlak.
Meminjam ungkapan Ali bin Abi Thalib as: Setan adalah pemimpin
orang-orang yang fanatik (al-muta’ashibin). Apakah pemimpin orang-orang
yang fanatik ini mempunyai sikap yang berlawanan secara sruktural (takwini)
terhadap perintah-perintah Ilahi atau ia termasuk dari makhluk-makhluk
yang diperintah secara paksa oleh Allah? Al-Qur’an tidak memperkenalkan
penembusan setan kecuali sekadar waswas dan hanya penembusan yang
(mampu) disadari dan diketahui, dan tidak merampas ikhtiar manusia
secara mutlak.
Perbuatan setan hanya membuat orang was-was, upaya meragukan,
dan mengajak kepada kemaksiatan, tidak lebih dari itu. Dari sisi lain,
manusia dibekali dengan senjata akal dari dalam dan dengan nabi dan
agama dari luar, kedua-duanya saling berhubungan. Tabiat manusia, fitrah
ruhaninya, hati nuraninya, akalnya, serta petunjuk para rasul, semua ini
mengantarkannya menuju ke jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim). Dan
sebagaimana yang kami katakan bahwa perbuatan setan tidak lebih dari
was-was saja. Was-was setan tidak mampu mengeluarkan manusia dari batasan
ikhtiar dan kekuasaannya. Dan jiwa (an-nafs) juga melakukan was-was dan
ia merupakan sebab terdekat bagi setan, yaitu “yang biasa tersembunyi, yang
membisikkan(kejahatan) ke dalam dada manusia” (Q.S. an-Nas: 4—5) yang
tersembunyi, yang membisikkan ke dalam dada, ruh, dan jiwa.
Allah Swt mengetahui was-was dalam jiwa ini merupakan akibat dari
waswas setan, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya” (Q.S. Qaf: 16). Dan was-was
jiwa bersama waswas setan bukanlah sesuatu yang terpisah, namun keduanya
saling berpautan. Maka, setan melakukan waswas melalui jiwa. Nafsu
amarah adalah alat dan bahan pekerjaan setan karena tidak ada di dalam
(ini) dua sumber kesesatan yang diperintahkan untuk menyesatkan dan
p:117
tugas keduanya adalah (melakukan) waswas. Meski manusia mempunyai
akal di dalam dan petunjuk para nabi di luar, namun ia dapat saja melakukan
suatu perbuatan yang sesuai dengan waswas (setan), ini disebabkan pilihanya
yang salah. Sebab, setan tidak mampu menguasai (pilihan) manusia. Ketika
manusia dengan sengaja meninggalkan jalan yang lurus meski ia mempunyai
dua hujah yang dalam dan yang luar dan pergi membonceng waswas setan—
karena ”api (neraka) dikelilingi oleh syahwat”,(1) lalu ia bergerak (seiring)
dengan kemauan syahwat, maka ia akan terjatuh di (tengah-tengah) api.
Syahwat-syahwat yang menipu ini akan menyeretnya dan mengajaknya
pergi ke dalam api.
Jika manusia dengan sengaja mengabaikan sebab-sebab (perolehan)
hidayah lalu ia berlari dengan cepat untuk membonceng waswas guna
mencapai syahwat, maka Allah Swt menggiring setan untuk mengua sainya
dan menjadikannya dari sekarang sampai seterusnya berada di bawah
wilayah setan, “Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya (wali-walinya)
ialah setan” (Q.S. Al-Baqarah: 257). Setan (taghut) men jadi
walinya, dari sekarang sampai seterusnya, “Sesungguhnya Kami jadikan setan-setan
sebagai wali bagi orang-orang yang tidak beriman” (Q.S. Al-A’raf: 27).
Maka, Kami jadikan para setan sebagai walinya lalu dia berubah menjadi
setan yang (bertopeng) manusia (syaithon insi), dengan sengaja dia menutup
jalan kembali untuk dirinya.
Ketika Al-Qur’an al-karim memaparkan masalah setan, ia berkata
kepadanya: Kamu tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, kamu
tidak lain kecuali mengajak mereka (melakukan kajahatan), dan mereka
dapat(saja) memenuhi ajakanmu atau tidak memenuhi ajakanmu. Surah
Ibrahim menjelaskan kejadian-kejadian pada Hari Kiamat sebagai berikut,
“Dan mereka semua akan muncul di hadapan Allah” (Q.S. Ibrahim: 21). Semua
akan muncul pada hari itu secara jelas karena(itu terjadi) pada Hari Kiamat,
“Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun”
(Q.S. an-Nisa’: 42). Dan itu adalah hari “penyingkapan rahasia-rahasia” (Q.S.
ath-Thariq: 9).
Apa saja yang disembunyikan oleh manusia, maka dia akan mengungkapkannya
di sana dan tidak akan menyembunyikannya, “lalu berkatalah
orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong (para pembesar):
“Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah
kamu menghindarkan kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja?”(Q.S.
Ibrahim: 21). Maka, orang-orang yang sombong dan orang-orang yang
p:118
memegang tampuk kekuasaan berkata, “Mereka menjawab, ‘Seandainya
Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi
petunjuk kepada kalian’” (Q.S. Ibrahim: 21). Seandainya kami diliputi oleh
petunjuk Ilahi, niscaya kami akan memberi kalian petunjuk, “Sama saja bagi
kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar”(Q.S. Ibrahim: 21). Sama saja
bagi kita, apakah kita beteriak atau diam maka kita tetap disiksa atas dua
keadaan itu karena kelompok inilah yang berkata kepada nabi mereka di
dunia, “Sama saja bagi kita, baik kamu menasihati kita atau kamu bukan
termasuk orang-orang yang menasihati” (Q.S. asy-Syu’arah: 136). Bagi kita
sama saja prosentasenya, kita tidak akan menerima apa yang kalian katakan.
Allah Swt berkata kepada Nabinya (menjelaskan) tentang mereka,
“Sama saja bagi mereka, baik kamu memperingatkan mereka atau kamu
tidak memperingatkan mereka, mereka tidak akan pernah beriman” (Q.S.
Al-Baqarah: 6). Sama saja, baik kamu memperingatkan dan menakut-nakuti
mereka dengan azab akhirat atau tidak, maka mereka tidak akan beriman,
yakni sama saja bagi mereka—“Sama saja (hasilnya) baik kalian menyeru
mereka atau kalian berdiam diri” (Q.S. Al-A’raf: 193). Maka, dakwah kalian
tidak akan membawa hasil apa pun. Dan empat hal ini satu sama lain
berhubungan: Suatu kali mereka mengatakan kepada nabi mereka, Syu’aibah,
sama saja bagi kita, baik kamu menasihati kita atau kamu bukan termasuk
orang-orang yang menasihati. Nasihatmu tidak bermanfaat sedikit pun.
Pada tempat yang lain, Allah Swt berkata, “Sama saja bagi mereka, baik
kamu memperingatkan mereka atau kamu tidak memperingatkan mereka”.
Dakwah itu tidak bermanfaat. Di tempat yang lain (lagi), Al-Qur’an berkata:
Sesungguhnya orang-orang musyrik tunduk kepada Tuhan (berhala—Peny.)
mereka dan sama saja bagi mereka, baik kalian berdakwah kepada mereka
atau kalian berdiam diri, maka itu semua tidak akan bermanfaat sedikit pun
karena mereka tidak memahami dan tidak mendengar. Kelompok manusia
ini ketika menjadi tawanan neraka, mereka berkata “Sama saja bagi kita,
baik kita mengeluhkan atau kita bersabar” (Q.S. Ibrahim: 22). Siksa (neraka)
telah menjerat kita (semua), “Kita tidak menemukan jalan keluar” (Q.S.
Ibrahim: 22). Tidak adanya perbedaan ini(terjadi) di dunia, dan tidak
adanya perbedaan ini (juga) akan terjadi ditengah-tengah datangnya siksaan.
Dan setan akan berkata pada saat orang-orang kafir disiksa, “Dan berkatalah
setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan” (Q.S. Ibrahim: 22).
Tatkala mahkamah Ilahi telah memutuskan hukumnya dan perbuatan-perbuatan
telah diteliti pada Hari Perhitungan dan ahli keutamaan telah
mendapatkan apa yang dijanjikan kepada mereka sementara orang-orang
p:119
yang berdosa bersedih atas balasan (yang mereka terima) dan hukum telah
diputuskan—“tatkala perkara telah diputuskan”—maka setan berkata kepada
mereka, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar,
dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya” (Q.S.
Ibrahim: 22). Janji Allah adalah benar, yaitu bahwa apabila kalian melalui jalan
ini, maka pada akhirnya kalian akan mencapai kebahagiaan, adapun janjiku
kepada kalian adalah janji bohong (palsu), “Dan aku pun telah menjanjikan
kepada kalian tetapi aku menginginkannya”. Aku telah mengingkari apa yang
aku janjian kepada kalian, sedangkan pada Hari Kiamat ini janji-janji Allah
akan terealisasi, dan Allah tidak pernah megingkari janji-Nya karena Dia
mengajak ke jalan yang lurus dan membimbingnya ke arahnya. Sedangkan
setan mengingkari janjinya karena ia mengajak ke kesesatan. Dan akhir dari
kesesatan ialah tidak memiliki tujuan dan maksud. Tidak mungkin akhir
dari ajakan menuju kesesatan adalah keutaman, karena ajakan ini sendiri
adalah hakikat penyimpangan dan pencegahan (menuju kesempurnaan).
Kemudian setan berkata, “Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap
kalian, melainkan (sekadar) aku mengajak kalian” (Q.S. Ibrahim:
22). Tidak pernah sesaat pun aku memiliki kekuasaan terhadap kalian, aku
tidak lain kecuali mengusulkan dan mengajak kalian sementara kalian bebas
memilih, dapat saja kalian tidak memenuhi ajakan tersebut. Dan Allah dan
Rasul-Nya mengajak kalian dari sisi lain dan menjanjikan kalian janji yang
benar sementara aku menjanjikan kalian janji yang batil (kosong), aku tidak
ada lain kecuali sekadar mengajak kalian. Kekuasaanku atas kalian adalah
sekadar memberikan usulan, dapat saja kalian tidak mengabulkannya,
tindakanku tidak ada unsur paksaan dan intimidasi, “Sekali-kali tidak ada
kekuasan bagiku terhadap kalian, melainkan (seka dar) aku mengajak kalian”
(Q.S. Ibrahim: 22). Aku tidak memiliki kekuasaan atas kalian kecuali sebatas
mengajak kalian, tetapi kalian “mematuhi ajakanku”, sedangkan Allah Swt
berfirman kepada kalian, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan
Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu” (Q.S. Al-Anfal: 24). Kalian tidak mengikuti
seruan ini dan malah memenuhi seruan ku yang (diembel-embeli) janji-janji
bohong, “kalian mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kalian
mencercaaku, akan tetapi cercalah diri kalian sendiri”, karena, “Kamu
mencela perbuatan yang kamu lakukan dengan tanganmu sendiri” (Pepatah
Arab—pent.).(1)Cercalah diri kalian sendiri,
kamu sendiri yang berada di antara dua jalan lalu. Kamu memilih jalan
kebatilan dengan sengaja dan tidak ada sesuatu pun yang menguasai kalian,
dan kedua matamu memilih
p:120
syahwat yang berlalu dengan cepat dan kamu berpikir untuk (melakukan)
penyimpangan dan datang ke jalan ini. Dan musibah-musibah yang berlalu
dengan cepat (sebagai manifestasi) dari “surga dikelilingi oleh hal-hal yang
tidak menyenangkan”, tidak akan membiarkanmu untuk melalui jalan itu
dan sampai ke surga kebahagiaan.
Amirul Mukminin (Ali bin Abithalib as—Peny.) meriwayatkan dari
Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya surga dikelilingi
oleh hal-hal yang tidak menyenangkan dan neraka dikelilingi oleh syahwat”.
(1) Jika manusia bergerak mengikuti
kilauan syahwat dan kenikmatan yang dusta, maka akhirnya adalah neraka, namun apabila dia mampu
menahan hal yang tidak menyenangkan dan penderitaan yang mengelilingi
surga, maka dia akan sampai ke surga kebahagiaan. Manusia yang
menghadapi kesulitan-kesulitan dengan penuh kesabaran dan menapaki
jalan yang tidak menyenangkan dan penderitaan, maka Allah akan bersamanya
meski sebenarnya Allah bersama semua (orang), “Dan Dia bersama
kalian (semua) di mana pun kalian berada”(Q.S. Al-Hadid: 4).
Semua bersama Allah dan di bawah kepemimpinan Allah, namun
orang-orang yang sanggup menahan penderitaan-penderitaan dengan
penuh kesabaran, maka mereka akan mendapatkan kebersamaan penuh
kesabaran, maka mereka akan mendapatkan kebersamaan Allah yang khusus
karena “Allah bersama orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah: 153). Dan
kesabaran dan salat mendapatkan perhatian khusus di dalam Al-Qur’an al-
Karim, “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu” (Q.S. Al-Baqarah:
45). Jadikanlah salat sebagai penolongmu dan raihlah istiqamah, kekokohan,
keberanian, dan menahan kesabaran. Yakni, manu sia harus membuat tangga
(yang dengannya) dia (dapat) naik ke atas.
Hasil dari perintah-perintah Ilahi adalah: Buatlah tangga salat dan
tangga sabar dan naiklah ke alam yang tinggi, ini adalah alat-alat petunjuk,
Al-Qur’an berkata, “Jadikanlah sabar dan salat sebagai pernolongmu”.
Namun, berkaitan dengan salat, Al-Qur’an berkata, “Dan sesungguhnya ia
(salat) sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Q.S. Al-Baqarah:
45). Salat adalah masalah yang besar, penting dan sulit, kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk. Bagi orang-orang yang khusyuk salat itu tidak sulit,
melainkan ia (salat) adalah cahaya mata mereka. Salat adalah cahaya mata
dan kesenangan (qurratul ‘ain) Rasulullah dan orang-orang mukmin, “Dan
kesenanganku (terletak) di dalam salat”.(2)
Mata yang menitikkan air mata kebahagiaan dan kesemangatan adalah mata yang dingin (qarirah) dan yang
p:121
bersangkutan disebut yang bermata dingin (qarirul’ain). Ketika dikatakan
mata menjadi senang (qarratil a’yun) maka itu berarti matanya menjadi
dingin karena ditetesi air mata kebahagiaan dan kesemangatan, ia berbeda
dengan air mata kesedihan yang panas. Adapun air mata kebahagiaan (itu)
dingin, (menurut bahasa) al-qirrqh adalah alburudah (dingin).
Seseorang yang khusyuk meyakini bahwa salat adalah kesenangannya.
Dia menyambut salat dengan air mata cinta (isyq) yang berupa air mata
dingin. Salat dan kesabaran kedua-duanya adalah tangga kesempurnaan,
tetapi kesabaran mendapatkan (tempat) yang khusus, hal ini nampak
jelas melalui pernyataan Allamah Thabathaba’i (semoga Allah menyucikan
jiwanya) yaitu bahwa salat adalah tiang agama, “Dan sesungguhnya ia (salat)
sugguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”, tetapi Allah tidak berkata
tentang orang-orang yang salat, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang
yang salat”, tapi Dia berkata, “Jadikanlah salat dan sabar sebagai penolongmu”.
Namun, Dia berkata tentang kesabaran, “Jadikanlah sabar dan salat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.
Setiap orang yang tidak meninggalkan tanggung jawab masalah-masalah
agama, setiap orang yang tidak takut menghadapi situasi-situasi yang berat,
dan setiap orang yang tidak meninggalkan medan jihad dan perlawanan
(terhadap kebatilan), maka pada situasi dia menampakkan perlawanan, dia
akan mendapat nikmat kebersamaan Allah karena “Allah bersama orang-orang
yang sabar”. Setiap orang yang (sanggup) menahan penderitaan
perintah-perintah Ilahi, maka dia akan sampai ke surga kebahagiaan.
Perbuatan setan tidak lebih dari sekadar janji-janji bohong dan ajakan
kemaksiatan; ia tidak mempunyi kekuasaan (sedikit pun) atas manusia.
Tidak benar jika ada seseorang yang berdalih bahwa setan mencegahnya
karena Hari Kiamat adalah hari penampakkan kebenaran, “Dan mereka
semua akan muncul di hadapan Allah” (Q.S.Ibrahim: 21). Hari itu adalah hari
kebenaran, “Dan mereka semua akan muncul di hadapan Allah” (Q.S. Ibrahim:
21). Hari itu adalah hari kebenaran yang akan menampakkan dengan jelas
secara menyeluruh, dan pada hari itu setan akan berbicara dan Allah
memutuskan kebenaran perkataannya, yaitu bahwa setan tidak mempunyai
kekuasaan atas manusia. Dan penembusan setan (dapat) dideteksi. Pertama,
dalam batasan janji-janji dan ajakan. Kedua, dalam batasan wilayah
(perlindungan), dan semua usaha setan adalah untuk mengeluarkan
aib-aib dan kejahatan-kejahatan internal dan menonjolkan keburukan-keburukan
dengan cara memuaskan manusia (dengan memandang)
kebaikannya, serta mengantarkan keburuan-keburukan yang tesembunyi
p:122
yang masih dalam batas potensial dan kesiapan ke batas realitas dan ia juga
berupaya untuk menghiasinya dan membaguskannya di hadapan manusia.
Al-Qur’an berkata tentang kisah Adam dan istrinya: Sesungguhnya
setan berupaya menampakkan kejahatan-kejahatan keduanya yang terpendam,
“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan
tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai (buah) pohon itu, nampaklah bagi
keduanya perbuatan buruknya” (Q.S. Al-A’raf: 22). Yakni bahwa ia (setan)
ingin mengeluarkan dorongan-dorongan keburukan. Setan berupaya untuk
menampakkan potensi kejahatan menjadi nyata, sebagaimana para nabi
berupaya membangkitkan potensi-potensi keutamaan yang terpendam di
dalam manusia menjadi nyata dan dengannya mereka (ingin) mencetak wujud
manusia sempurna. Setan berusaha untuk menampakkan potensi kehinaan
menjadi nyata lalu menghiasinya (sehingga nampak bagus, yang demikian
ini) sebagai sikap penentangan terhadap usaha para nabi yang menampakkan
potensi-potensi keutamaan dan menjadikan (manusia) mencintainya dan
membaguskannya, “Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan
dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu” (Q.S. Al-Hujarat: 7).
Apabila perbuatan setan terbukti untuk menampakkan keburukan-keburukan
internal dan mengantarkannya ke alam nyata dan berusaha
memuaskan manusia dengan menganggapnya sebagai hal yang bagus dan
menghiasinya sehingga seolah-olah indah, maka manusia harus betul-betul
hati-hati dan sadar dan berusaha agar tidak pernah sama sekali lalai.
Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib—Peny.) berkata, “Wahai manusia
tidakkah kau terjaga (bangun) dari tidurmu?”(1) Wahai manusia, sampai
kapan kamu tetap tidur? Bukankah Anda harus bangun sekali lagi dari
tidurmu? Atas dasar itu, maka jalan penembusan setan tidak melebihi—
pada kali pertama—batas ajakan, tidak ada sesuatupun di balik itu. Barang
siapa mengikut jalannya, maka dia akan berada di bawah wilayahnya, dan
mulai saat itu dan seterusnya dia harus mencela dirinya dan tidak boleh
mencela selainnya, karena pencegahan (itu) adalah dengan ikhtiarnya “dan
pencegahan dengan ikhtiar tidak meniadakan ikhtiar” dan untuk melawan
itu, maka manusia tidak harus mendengarkan panggilan-panggilan setan.
Dan mereka telah mengatakan kepada kita dari sisi lain: penuhilah (ajakan)
sesuatu yang memberi kehidupan bagi kalian, maka lengkaplah hujah (bukti)
dari segala segi. Dan contoh-contohnya terdapat di seluruh fase (tahapan)
sejarah dan begitu juga sampai sekarang.
Diriwayatkan dari Imam kelima (salam Allah atasnya): salah seorang
p:123
pemuda datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Sesungguhnya aku
adalah seorang pemuda yang giat”. Rasulullah berkata kepadanya, “Berjuanglah
di jalan Allah, jika kamu terbunuh (di medan perang), maka kamu
tetap hidup lagi diberi rezeki dari di sisi Allah, dan jika kamu mati biasa,
maka pahalamu ditanggung oleh Allah”. Yakni, sesuai dengan ayat yang
mulia, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”
(Q.S. Ali ‘Imran: 169). Kamu akan hidup di sisi Allah dan akan memakan
rezeki Allah.
Adapun jika kamu tidak dianugerahi kesyahidan dan kamu mati di
suatu jalan(yang lain), maka pahalamu ditanggung oleh Allah, karena ayat
lain dalam Al-Qur’an berkata, “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian meimpanya,
maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah” (Q.S. an-Nisa’: 100).
Ujung penjelasan Rasulullah Saw. mengambil ayat yang kedua, sedangkan
penjelasannya yang pertama mengambil ayat yang pertama. Manusia
selalu memiliki kendali ikhtiar, karenanya dia dapat memilih (antara) jalan
keutamaan dan kebaikan atau memlih jalan kehinaan dan kejahatan, “Dan
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Q.S. Al-Balad: 10). Pengaruh
setan tidak ada lain kecuali melalui ajakan. Dan begitu juga, para nabi dan
para wali tidak memiliki pengaruh atas manusia selain dakwah. Manusia
bebas memilih, namun tidak bebas mutlak dan tidak pula terpaksa. Apabila
manusia menapaki jalan keutamaan, maka hidayah yang berarti bimbingan
akan sampai (kepadanya) secara perlahan-lahan, hidayah berarti penyampaian
(kepada tujuan), “Dia (Allah) menambah petunjuk kepada mereka dan
memberikan mereka (balasan) ketakwaan mereka” (Q.S. Muhammad: 17).
Kandungan semacam ini dapat kita lihat dalam banyak ayat Al-Qur’an
di mana Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah menambah keimanan mereka
dan petunjuk mereka atau mengantarkan mereka pada tujuan mereka dll.
Kalau begitu, orang yang dengan sengaja mencampakkan ajakan-ajakan
Ilahi, maka dia akan melalui jalan setan. Allah berfirman dalam surah Al-
A’raf, “Kaakanlah (hai Muhammad) bahwa Tuhanku memerintahkan aku
(untuk berlaku) adil”(Q.S. Al-A’raf: 29).
Orang yang tidak memperhatikan perintah Allah dengan sengaja dan
condong kepada kelaliman dan penindasan, maka dia akan dikuasai oleh
setan dan dia akan menjadi sama seperti anjing yang terlatih, dan hatinya
akan dipenuhi penyimpangan melalui jalan waswas. Dan saat itu, Kami akan
membuntukan jalan kembali dan tobat karena dia sendiri dengan sengaja
p:124
telah menutup jalan atas dirinya. Al-Qur’an Al-Karim berkata, “Aku akan
memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa
alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku” (Q.S. Al-A’raf: 146).
Allah akan memalingkan hati mereka orang-orang yang bersikap arogan
dan tidak tunduk terhadap perintah-perintah Allah dari pemahaman makna-makna
keagamaan, “Kemudian mereka berpaling, maka Allah memalingkan
hati mereka” (Q.S. at-Taubah: 127). Dicabutlah taufik (petunjuk) dari
mereka. Mereka selalu memikirkan harta dunia yang gampang hilang, dan
meminjam ungkapan Al-Qur’an, “Mereka mengambil harta (dunia) yang
rendah (atau hina) ini” (Q.S. Al-A’raf: 169). Yakni, mereka mengambil harta
yang hina ini, dan setan telah memperdaya mereka melalui harta yang hina
ini. Dan meminjam ungkapan Ali bin Abi Thalib as: Tidak terdapat alam
yang lebih rendah dari dunia, dan alam penciptaan adalah sama dengan
tingkat rak sepatu di rumah, di mana rak sepatu itu diletakkan di tingkat
rumah yang paling rendah, dan tidak ada alam yang lebih rendah daripada
alam dunia ini karena “Allah tidak ditentang kecuali di dalamnya”, dan tidak
ada maksiat di alam manapun kecuali di dunia. Jika kita telah meninggalkan
dunia, maka tidak ada tempat lain untuk melakukan maksiat, “dan tidak ada
sesuatu yang di sisi Allah dapat diperoleh kecuali dengan meninggalkannya”.
Dan sulit unuk men dapatkan apa yang ada di sisi Allah, kecuali dengan
meninggalkan dunia ini.
p:125
p:126
p:127
p:128
Allah Adalah Sebab Utama dari Seluruh Wujud
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Meskipun Al-Qur’an al-Karim banyak menjamah tema-tema sebagai
pokok bahasan dan argumentasi serta menjelaskan tema-tema itu melalui
wahyu dalam bentuk yang terbaik, namun tema terbaik yang dibahas oleh
Al-Qur’an dengan suatu bahasan yang luas adalah tema tauhid. Kepercayaan
terhadap sumber asal (al-mabda’) dan keyakinan terhadap keesaan mabda’ itu
serta pembenaran bahwa alam ciptaan mepunyai mabda’ yaitu satu (wahid)
dan Maha Satu (ahad), Dia satu dan Dia juga Maha Satu. Dia tidak dapat
dibagi dari dalam dan tidak ada sekutu dan tandingan-Nya di luar. Dia tidak
mempunyai sekutu dan tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Esa.
Al-Qur’an banyak mengemukakan argumentasi untuk menetapkan
klaim ini, terkadang(berargumentasi) melalui kebutuhan seluruh wujud
alam, dan terkadang ia menjadi dasar untuk membentuk argumentasi melalui
sifatnya yang baru (huduts), dan lain-lain. Akan tetapi, yang mendapat
perhatian Al-Qur’an lebih besar adalah argumentasi perjalanan sistem (sair
an-nizham) dan sistem itu ada tiga dimensi atau tiga bagian: (i) sistem efektif
(an-nizham al-fâ’ili), (ii) sistem internal (an-Nizham ad-dakhili), dan (iii)
sistem akhir (an-nidzham al-ghaiy).
Kami telah menjelaskan an-nizham al-fâ’ili dengan suatu bentuk
penjelasan bahwa Allah menjadi titik tolak semua sebab-sebab efektif (al-
‘ilal al-fâ’iliyah), yakni bahwa semua perbuatan yang berasal dari sumber
efektif (mabda’ fâ’ili) manapun pasti menuju ke sumber yang pertama (almabda’
al-awwal), yaitu Allah. Dan mata rantai sebab-sebab aktif atau setiap
benang aktif (khaith fâ’ili) menuju ke ujung benang, yaitu Allah.
Pada bagian kedua dibahas Sistem Internal, yaitu bahwa setiap
wujud diciptakan secara teratur (tersistematis) di mana setiap bagian yang
dibutuhkannya dan setiap komponen yang menunjang kesempurnaannya
dan setiap potensi-potensi yang berperan dalam pertumbuhannya juga
diciptakan bersamanya. Allah telah menciptakannya dan memberikannya
apa saja yang dibutuhkannya berupa alat-alat dan bahan-bahan yang penting.
Demikianlah Sistem Internal yang terdapat dalam benda-benda.
Dan pada bagian ketiga dikemukakan perjalanan Sistem Akhir,
p:129
yaitu bahwa setiap komponen dari makhluk mempunyai tujuan tertentu
yang berusaha digapainya. Tujuan-tujan sekunder dan mata rantai tujuan-tujuan
ini akan menuju ke tujuan akhir dan Dzat yang dituju, yaitu
Allah. Setiap eksistensi dalam kesempurnaannya menuntut sesuatu yang
merupakan kesempurnaan mutlak (al-kamal al-mahdh) dan itu adalah esensi
kesempurnaannya (kamaluha bidzat) juga dan ia di dalam kesempurnaannya
juga tidak terbatas. Hal ini disebabkan eksistensi-eksistensi ini bersumber
dari suatu asal-muasal (mabda’) dan suatu tempat yang merupakan Wujud
Mutlak (wujud mahdh) dan pada saat yang sama wujud-Nya berdiri sendiri
(dzati) dan tidak terbatas.
Penjelasan tiga dimensi dan tiga sistem tersebut adalah bahwa Al-
Qur’an menetapkan aturan sebab-akibat (qanun al-illiyah). Ia mengatakan
bahwa tidak ada suatu fenomena yang tidak berasal dari suatu asal dan
tidak ada suatu kejadian yang tidak bersumber dari suatu sumber. Ketika
bercerita tentang masalah turunnya hujan, ia menyebutkan faktor-faktor
dekat (al-‘ilal al-qaribah) yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan
tumbuh-tumbuhan secara apik, dan seterusnya. Tujuannya adalah untuk
mengatakan bahwa sesungguhnya Sistem Efektif yang bercabang (an-nizham
al-fâ’ili al-far’i) harus menuju ke Sumber Pertama itu yang mana Dia tidak
membutuhkan sesuatu sebagai pelaksana (fâ’il), namun Dia adalah tempat
tujuan (shamad). Dia memenuhi hajat semua makhluk yang membutuhkan.
Setiap yang wujudnya bukan hakikat zatnya (‘ainu dzatihi), maka ia
membutuhkan sampai pada batas pencapaian suatu sumber (mabda’) yang
merupakan Hakikat Wujud (‘ain al-Wujud), sehingga ia mencapai Allah
yang Maha Kaya secara mutlak dan tidak membutuhkan apa pun. Dan
sesuatu yang butuh (al-faqir) dapat saja bersandar sementara kepada sesuatu
yang mampu, tetapi sandaran sesuatu yang mampu (mu’tamad al-mustaghni)
adalah sesuatu Yang Maha Kaya (ghani) bukan sesuatu yang mampu yang
lain. Dan (pengertian) fakir (al-faqir) adalah wujud yang membutuhkan
yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi hajatnya. Adapun wujud
yang mampu (al-mustaghni) adalah sesuatu yang membutuhkan, namun
ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Sedangkan(pengertian) fakir
(al-faqir) adalah wujud yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu
untuk memenuhi hajatnya, adapun wujud yang mampu (al-mustaghni)
adalah sesuatu yang membutuhkan, namun ia mendapatkan apa yang
dibutuhkannya. Sedangkan (pengertian) wujud yang kaya (al-ghani) adalah
sesuatu yang tidak membutuhkan kepada apa pun. Setiap wujud alam
kemungkinan (‘alam imkan) pasti membutuhkan dan ia bersandar kepada
p:130
curahan anugerah (al-faidh) melalui yang Maha Kaya secara mutlak itu.
Dengan demikian ia menjadi mampu (mustaghni) karena anugerah itu.
Oleh karena itu, maka yang dijadikan sandaran dan tumpuan sesuatu yang
membutuhkan (mustanad al-muhtaj) adalah Yang Maha Kaya (al-ghani)
bukan sesuatu yang mampu (al-mustaghni).
Oleh karena itu, Al-Qur’an al-Karim ketika menjelaskan Sistem
Efektif mengatakan: Mereka semua membutuhkan Allah, setiap yang
membutuhkan di dalam penciptaan ini memerlukan sesuatu dari Allah,
‘Apa yang ada di langit dan di bumi meminta kepada-Nya” (Q.S. ar-
Rahman: 29). Oleh karena permintaan itu sifatnya umum dan semua
makhluk meminta kepada-Nya, maka jawaban pun mesti bersifat umum
dan terus-menerus. Oleh karena itu, jawaban yang tersebut di dalam
rentetan ayat ini berbunyi, “Setiap waktu dia dalam kesibukan” (Q.S.
ar-Rahman: 29). Yakni, apabila permintaan bersifat umum dan terus menerus,
maka curahan anugerah (al-faidh) juga bersifat umum dan terus menerus.
Allah selalu memunculkan curahan anugerah baru sebagaimana
setiap makhluk di langit maupun di bumi setiap saat merasa butuh dan
meminta. Seharusnya, Anda memperhatikan ayat-ayat yang dikemukakan
pada majelis-majelis yang lalu untuk memahami Sistem Efektif ini.
Di sini, kami akan mengulangi sebagian ayat-ayat itu sekadar untuk
mengingat-ingat kembali. Dalam menjelaskan Sistem Internal, Al-Qur’an
berkata bahwa apa saja yang diciptakan Allah merupakan sesuatu yang indah,
“(Dia) Yang memperindah segala sesuatu yang diciptakan-Nya” (Q.S. As-
Sajdah: 7). Yakni, Dia memberi semua keperluan-keperluan yang berperan
dalam kesempurnaannya.
Jika suatu makhluk kehilangan sebagian komponennya dan alat alatnya
yang penting, maka ia kurang (cacat), dan sesuatu yang kurang itu
tidak indah, karena keindahan sesuatu (terletak) pada kesempurnaannya.
Allah berkata: segala sesuatu yang Aku ciptakan indah dan bagus. Ketika Dia
menciptakan tanaman, maka dia memberinya sesuatu yang diperlukannya
dalam proses pertumbuhannya. Dan ketika Dia menciptakan hewan-hewan
lautan, maka Dia telah menyediakan tanah (tempat tinggal) yang sesuai
untuk kehidupannya di laut. Dan ketika Dia menciptakan makhluk-makhluk
di dalam perut bumi, maka Dia telah menyiapkan kebutuhan-kebutuhan
hidupnya di sana, dan begitu juga makhluk-makhluk luar angkasa dan
makhluk-makhluk yang lain, “(Dia) yang memberi ciptaan-Nya segala sesuatu
(yang dibutuhkannya)”(Q.S. Thaha: 50). Dan terkadang, Dia mendatangkan
nama-nama (asma’) sebagian makhluk. Dia telah menjelaskan tentang
p:131
manusia bahwa Dia telah memberinya alat pemahaman (âlat al-idrâk), alat
bergerak, perangkat pendengaran, daya tolak, dan daya tarik. Di samping
itu dia membentangkan jalan latihan-latihan pendengaran dan penglihatan
di hadapannya dan (juga) memberinya alat kontrol (adawat ad-dhabat),
pemikiran, dan seterusnya. Begitu juga pembentukan bahan-bahan tambang
di perut gunung, Dia telah menyiapkan segala yang dibutuhkannya dalam
proses pembentukan dan pertumbuhannya.
Berkenaan dengan Sistem Akhir, Dia berkata: Sesungguhnya setiap
wujud yang bergerak menuju kesempurnaan ini mempunyai maksud dan
tujuan tertentu dan ia bergerak mengikuti tujuan itu, dan ia membutuhkan
sumber (mabda’) yang membimbingnya menuju maksud dan tujuannya.
Tujuan Akhir dan Hakikat Terminal itu adalah Dia yang Maha Akhir
dari segala yang kahir (akhirtul akhirin), yang bernama Allah, Sang Pemberi
Petunjuk (al-hadi). Sebagaimana Sumber (al-mabda’) yang menciptakan dan
membuat segala wujud adalah Dia Yang Maha dahulu dari para pendahulu
(awwalul awwakin) yang bernama Allah, Sang Pencipta (al-fathir).
Al-Qur’an telah menjelaskan garis-garis pokok tiga sistem ini, yakni
analis Sistem Efektif, penjelasan Sistem Internal benda-benda, dan penjabaran
Sistem Akhir Benda-benda. Dan ketika berkeinginan untuk mengemukakan
argumentasi melalui Sistem Efektif, maka al-had al-ausath bagi argumentasi-argumentasi
itu adalah Dia Sang Pencipta(al-khaliq), Sang Pembikin (alfathir),
Sang Kreator Yang Indah (al-badi’ wal mubdi’), dan seterusnya. Apa
yang dikatakan tentang penciptaan, kreativitas, dan buatan, serta apa yang
dibahas tentang perkembangan-perkembangan, maka semuanya merupakan
prinsip-prinsip argumentatif yang berperan dalam menjelaskan Sistem
Efektif.
Adapun masalah hikmah, pengaturan, pemberian, dan yang semisal
dengan itu merupakan al-had al-ausath bagi agumentasi-argumentasi yang
menjelaskan Sistem Internal benda-benda. Dan karena ingin memahamkan
al-had al-ausath bagi argumentasi yang menjelaskan Sistem Akhir, maka Dia
memaparkan masalah hidayah (bimbingan) dan masalah kepemimpinan
dan bahwa sesunggunya Dia adalah Pemimpin dan Pengarah. Dan pada
bagian ketiga ini Allah dikemukakan sebagai Pemberi Petunjuk (al-hadi),
dan pada bagian kedua dikemukakan sebagai Pengatur (al-mudabbir), dan
pada bagian pertama dikemukakan sebagai Pencipta (al-fathir) Kendatipun
al-asma’ alhusna ini berasal dari satu tempat yang satu sama lain terikat,
namun masing-masing menjelaskan sisi tertentu. Allah memanifestasi
bersama setiap nama dengan dimensi tertentu, maka Dia memanifestasi pada
p:132
bagian sistem efektif dengan nama al-fathir, al-khaliq, al-badi’, al-mubdi’
dan seterusnya. Dan Dia memanifestasi pada bagian sistem internal benda-benda
sebagai Yang Maha Bijaksana (al-hakim), Pengatur (al-mudabbir),
Pemberi (al-mu’thi), Penjawab permintaan (al-mujib), dan seterusnya. Dan
Dia memanifestasi pada bagian sistem akhir sebagai Pemberi Petunjuk (alhadi),
Pemimpin (al-qaid), dan seterusnya. Hal itu untuk menjelaskan titik
temu tiga dimensi ini.
Al-Qur’an berkata bahwa kosmos telah diatur berdasarkan (sistem)
pencitraan, hikmah (kebijaksanaan), dan petunjuk (hidayah), yakni bahwa
teknik hikmah dan petunjuk telah melukis peta alam. Di mana saja Anda
mengarahkan pandangan Anda, maka Anda akan melihat pelbagai model
dari penciptaan, pelbagai model dari hikmah, dan pelbagai model dari
petunjuk karena Sang Pencipta, Sang Pemberi Kebijakan, dan Sang Pemberi
Petunjuk (itu) satu. Sistem efektif, sistem akhir, dan sistem internal semuanya
merupakan alamat dan tanda kebesaran Allah dan setiap bagian dari tiga
bagian ini adalah tanda kebenaran (ayatul haq). Sebagiannya adalah tanda
(kebesaran) bagi al-fathir, sebagiannya tanda bagi al-hakim, dan sebagiannya
lagi tanda bagi al-hadi. Setiap tempat yang di dalamnya terdapat (sistem)
penciptaan, pertumbuhan, dan kreativitas, maka ia adalah tanda (kekuasaan)
Allah (ayatullah) dan setiap tempat yang di dalamnya (kekuasaan) Allah, dan
setiap tempat yang di dalamnya terdapat kepemimpinan, bimbingan, dan
petunjuk, maka ia adalah tanda (kekuasaan) Allah, sang Pemberi Petunjuk.
Dan penjelasan Al-Qur’an al-Karim adalah, “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya
ada ukurannya” (Q.S. ar-Ra’d: 8).
Al-Qur’an berkata: Segala wujud telah dijelaskan di sisi Allah dengan
batasan tertentu dan peranan tertentu. Yakni, makhluk apa pun yang ingin
berwujud dan eksis maka pertumbuhannya harus berasal dari pelaku (fâ’il)
tertentu. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, ia harus berjalan di bawah tujuan
tertentu, dan dari sisi ketiga, batasan-batasannya telah dibentuk sesuai
Sistem Internal Khusus yang menerima perwujudan dengan alat tertentu.
Oleh karena itu, ia (Al-Qur’an) berkata, “Dan segala sesuatu pada sisi-
Nya ada ukurannya”. Dan “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut ukuran” (Q.S. Al-Qamar: 49). Kata al-handasah (teknik) telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (yang berasal dari bahasa Persi) yaitu
índaruh” yang berarti ukuran (al-miqdar), sedangkan al-muhandis(ahli
bangunan atau arsitek) adalah orang yang bekerja berlandaskan ukuran
(al-miqdar). Dikatakan hundisa al-‘alam, yakni ditetapkan ukuran-ukurannya(
ta’ayyanat maqadiruhu), “Sesungguhnya Kami menciptakan segala
p:133
sesuatu menurut ukuran”. Dikatakan dalam surah Al-Hijr, “Dan tidak ada
sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu” (Q.S. Al-Hijr:
21). Tidak ada sesuatu pun melainkan mempunyai khazanah-khazanah di
sisi Allah, bukan berarti kumpulan benda-benda mempunyai khazanah-khazanah,
namun setiap wujud mempunyai pelbagai khazanah yang satu
sama lain saling berhubungan. Dan setiap fenomena mem punyai khazanah-khazanah
dan ia menampakkan ukuran tertentu dari khazanah-khazanah
ini dan berwujud di luar (mengaktual). Dengan demikian, tidak ada
sesuatu pun yang tidak memiliki ukuran, namun ia memiliki ukuran efektif
(miqdar fâ’ili), dan mesti berasal dari pelaku tertentu (fâ’il khas), dan ia juga
mempunyai ukuran internal (miqdar dakhili) yang mengaktual bersama
sistem khusus sebagaimana ia juga mempunyai ukuran akhir (miqdar nihaiy)
yang mengikuti tujuan ter tentu.
Masalah ukuran (al-qadar) telah dikemukakan dalam Al-Qur’an yang
berarti pengguna ukuran (akhidul miqdar) di tempat(baca: ayat—Peny.)
yang cukup banyak, “Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-
Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi
petunjuk”(Q.S. Al-A’la: 2—3). Dikatakan dalam surah Al-A’ala: Allah,
Sang Pencipta telah memberikan makhluk ini alatnya yang khusus. Dan
setiap yang diciptakan-Nya (mempunyai bentuk) ciptaan yang tepat
(sempurna). Dan Dia memberinya apa saja yang mengantarkannya menuju
kesempurnaan. Tidak ada di dalamnya kekurangan dalam sistemnya dan
tidak ada kecacatan internal. Ketika Dia menciptakan tumbuh-tumbuhan,
maka Dia menciptakannya dengan penuh keseimbangan. Dan ketika Dia
menciptakan bintang-bintang di langit, maka Dia (juga) menciptakannya
berdasarkan batas keseimbangaan dan cukupan (sedang-sedang saja). Dan
ketika Dia menciptakan manusia, maka Dia menciptakannya dalam bentuk
ciptaan yang seimbang (mustawiyul khilqah).
Penciptaan terlaksana dengan penuh keseimbangan dan kenormalan
internal. Yakni, bahwa bagian-bagian dan alat-alat segala sesuatu pada
bagian dalamnya terbentuk secara teratur dengan suatu bentuk yang sesuai
satu sama lain yang tercipta dengan ukuran tertentu. Kalau begitu, tidak
ada sesuatu pun yang tercipta dengan kekurangan dan kecacatan. Anggota-anggota
internalnya saling berhubungan dan seimbang dengan kerangkanya
yang khusus, sebagaimana seluruh alam (terbentuk) dengan seimbang saling
berkaitan, dan cukup (sempurna). Segala sesuatu mempunyai ukuran,
cetakan, peta, dan takaran tertentu, dan telah dijadikan baginya masa lalu
p:134
tertentu dan masa depan tertentu, dan ia dibimbing menuju masa depan
yang telah ditentukan untuknya, dan diberi petunjuk berdasarkan tuntunan
peta. Jika sesuatu tidak memiliki tujuan tertentu, maka ia tidak memiliki
jalan untuk dibimbing oleh Sang Pemberi Petunjuk (al-hadi) untuk
menelusuri jalan itu. Apabila ia mempunyai jalan, tetapi ia tidak memiliki
maksud (tertentu), maka ia tidak memiliki tujuan sehingga tidak perlu
baginya penunjukan tempat.
Adapun ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an al-Karim dengan
sebutan qadr, qadar, miqdar, taqdir dan yang semisal dengan itu, adalah
untuk memberikan tanda (alamat) bagi tiga dimensi alam penciptaan,
yaitu Ukuran Efektif (handasah fâ’iliyah), Ukuran Internal dan Sistematis
(handdasah dakhiliyah wa tandzimiyah), serta Ukuran Akhir dan Bertujuan
(handasah nihayatiyah wa hadiyah). Ayat umum yang menjelaskan tiga
sistem (tersebut) adalah argumentasi Musa al-Kalim, salam Allah atasnya,
terhadap tauhid rububi di hadapan taghut (yang disembah selain
Allah—Peny.) dan Fir’aun Mesir. Ketika Musa al-Kalim ditugasi untuk
berdakwah, membimbing, dan memberi petunjuk kepada Fir’aun, maka
beliau meminta suatu permintaan, yaitu agar saudaranya, Harun, dijadikan
menteri dan mitra usahanya. Beliau menyeru Allah dengan berkata:
Sesungguhnya pekerjaan ini penting, dan pekerjaan penting ini tercapai
tujuannya melalui dakwah, dan hal yang berpengaruh dalam dakwah
adalah kefasihan lisan, sedangkan saudaranya “lisannya lebih fasih dariku”
(Q.S. Al-Qashash: 34). Maka, sertakan dia dalam urusanku. Dan beliau
juga meminta kepada Allah permintaan-permitnaan yang lain, dan
Allah mengabulkan semua permohonannya, “Aku kabulkan permintaanmu,
wahai Musa” (Q.S. Thaha: 36). Aku telah mengabulkan semua permintaanmu
dan semua usulanmu diterima. Kemudian Musa al-Kalim
(salam Allah atasnya) beserta saudaranya, Harun, duduk bersama taghut
zamannya untuk mengadakan suatu pembahasan, hal itu untuk menyebarkan
tauhid. Maka, pertama-tama, mereka mengarahkannya kepada tauhid
karena Firaun, meskipun dia menyembah berhala-berhala, memerintah
manusia dengan kapasitasnya sebagai Tuhan Pengatur (rabb). Orang-orang
yang dekat dengan Fir’aun berkata kepadanya: Sesungguhnya
mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi ingin “Meninggalkanmu serta
Tuhanmu”. Mereka ingin menjadikanmu serta Tuhanmu terlupakan.
Meksipun Fir’aun dan kroni-kroninya adalah penyembah berhala, dia
mengklaim sebagai pengatur iklim (atau kawasan tertentu). Dia berkata; Aku
adalah Tuhan pengatur mereka; mengatur umat ini, itulah Tuhan teragung.
p:135
Apabila kalian ingin menyembah Tuhan, maka tidak ada sembahan lain bagi
mereka kecuali aku, “Akulah Tuhan teragung” (Q.S. an-Nazi’at: 24). Dari
sisi lain juga, “Aku tidak mengenal bagi kalian Tuhan selain diriku” (Q.S. Al-
Qashash: 38). Tidak ada bagi kalian sembahan dan yang dipatuhi kecuali
diriku dan tidak ada juga bagi kalian Tuhan pengatur dan perencana selain
aku, “Aku Tuhan teragung”.
Berdasarkan ini, “Aku tidak mengenal bagi kalian Tuhan selain diriku”,
Musa al-Kalim menyebaran dakwah tauhid untuk menentang sikap
jahiliyah (kebodohan). Dikatakan dalam surah Thaha, “Sesungguhnya
telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan)
atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling. Berkata Fir’aun: “Maka
siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?” (Q.S. Thaha: 48—49). Fir’aun berkata
kepada Musa al-Kalim as: Siapakah Tuhan Pengaturmu sementara tidak ada
Tuhan pengatur di kawasan ini selain aku? Dan ini adalah protes (ihtijaj)
dan usaha untuk menyimpulkan atau berargumentasi (istidlâl). “Musa
berkata, “Tuhan kamilah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap
sesuatu bentuk ciptaannya, kemudian memberinya petunjuk” (Q.S. Thaha:
50). Di dalamnya terdapat petunjuk tentang program teknik (al-khitthah
al-handasiyah) yang mempunyai tiga sistem di mana beliau mengatakan:
Tuhan Pengaturku adalah Tuhan yang memberikan kepada tiap-tiap wujud
Sistem Internalnya, dan memandunya serta membimbingnya ke tujuannya
dan maksud akhirnya.
Tuhan Pengatur kami ialah sumber (mabda’) itu—“yang telah memberikan—“
yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk
ciptaannya”. Allah-lah yang telah memberi setiap makhluk Sistem Internal
yang diperlukannya, dan ini untuk menjelaskan dua makna dan dua
sistem, “kemudian memberinya petunjuk”. Dapat dimengerti bahwa ayat ini
menyinggung Sistem Akhir yang merupakan sistem ketiga. Dan perkataannya:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan tiap-tiap sesuatu bentuk ciptaannya dan
apa yang dibutuhkannya berupa alat-alat internal”, yakni Allah memberinya:
(i) dasar kehidupan (aslul wujud), (ii) penciptaan alat-alat dan perangkat-perangkat
kesempurnaan setiap wujud, dan menjadikannya indah. Dia
(Allah) telah membangunnya dan melaksanakannya juga berdasarkan dasar-dasar
teknik (al-ushul al-han dasiyah) dan mewujudkannya juga berdasarkan
suatu rencana (matang)—“yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu”—
yakni memberikan nya segala hal yang mendukung kesempurnaan bentuk
ciptaannya, dan segala hal yang memiliki bagian dalam alat-alat internalnya.
Dalam kalimat (ayat) yang pendek ini namun memiliki pengertiannya yang
p:136
tinggi. Sistem Efektif (an-nidzam al-fâ’ili) disandarkan kepada Allah. Musa
berpen dapat bahwa Allah adalah Pemberi segala sesuatu, dasar pemberian
(mabda’ al-‘atha’), dan dasar pemberian pertama dan disebut dengan dasar
pemberian pertama (mabda’ al-i’tha al-awwal).
Sebagaimana Sistem Internal juga disandarkan kepada-Nya di mana
Musa berkata; Dia telah memberikan kepada segala sesuatu apa saja yang
mendukung kesempurnaan bentuk ciptaannya, maka Dia memberikan
bentuk ciptaan tertentu untuk makhluk itu. Apabila mata, telinga, dan jantung
diperlukan dalam penciptaan manusia, maka Dia telah memberinya mata,
telinga, dan hati. Dan apabila Sistem Internal manusia memerlukan mata,
bibir dan gigi, maka Dia telah memberinya mata, bibir, dan gigi, “Bukankah
Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua bibir. Dan
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Q.S. Al-Balad: 8—10).
Apabila penciptaan jantan dan betina diperlukan dalam pertumbuhan
tumbuh-tumbuhan, maka Dia menciptakannya. Apabila biji harus diberi
kemampuan untuk membelah, maka Dia memberinya. Dan bagaimana
proses pembelahan biji itu atau tangkai itu? Bagaimana biji itu terbelah
dari suatu pohon? Itulah Allah—Pembelah butir (tumbuh-tumbuhan)
dan biji buah-buhan” (Q.S. Al-An’am: 95). Dialah yang memberinya
sifat ini. Dan bagaimana seorang malaikat menjadi pembawa wahyu dan
ilmu? Dan bagaimana proses pekerjaan malaikat yang mengurusi masalah
takaran dan ketentuan rezeki? Bagaimana proses pekerjaan malaikat yang
mengurusi pencabutan ruh? Allah-lah yang memberi (mengatur) semua cara
ini. Bagaimana seekor burung mampu terbang di udara di mana ia dapat
menentukan kapan harus membuka sayapnya dan kapan harus menutupnya?
Allah-lah yang memberinya sifat ini. Simak syair berikut:
Singa yang marah mengetahui bagaimana ia menyerang(musuh)
Sebagaimana kijang diberi kecepatan berlari
Dia (Allah) memberi hewan-hewan laut alat-alat yang dengannya
mereka mampu hidup di kedalaman lautan atau pada setiap lingkungan
yang cocok untuk kehidupan mereka. Allah-lah yang memberi alat-alat ini
dan yang mempersiapkannya. Dengan demikian, tidak ada sesuatu pun yang
kurang dari apa yang dibutuhkan oleh makhluk pada Sistem Internalnya.
Tidak ada kecacatan pada ukuran internal (al-handasah ad-dakhiliyah) dan
tidak ada kekurangan pada peta eksternal (al-kharithah al-kharijiyah) karena
kekurangan dan kecacatan tidak sesuai dengan keindahan. Segala sesuatu yang
diciptakan Allah pasti indah. Berdasarkan ayat ini, “Yang memperindah segala
sesuatu yang diciptakan-Nya” dan ayat ini, “Yang memperindah segala sesuatu
p:137
yang diciptakan-Nya”, dan ayat ini, “Yang telah memberikan kepada tiap-tiap
sesuatu bentuk ciptaan-Nya”. Yakni, bahwa Dia telah memberikan kepada
setiap makhluk apa yang diperlukannya untuk menjamin kebahagiannya.
Adapun jika makhluk itu tidak mampu memanfaatkan potensi-potensi itu
atau ia memanfaatkannya secara tidak benar dan menggunakannya di jalan
yang tidak terpuji, maka ini masalah lain (tersendiri).
Dengan demikian, Al-Qur’an menunjukkan dua sistem: Sistem Efektif
dan Sistem Internal. “Kemudian memberinya petunjuk”. Ketika dijelaskan
Sistem Internal, di mana sistem ini telah mengaktual ke alam wujud lalu
ditentukan bahwa Sistem Internal mempunyai peta internal nya, maka saat
itu sampailah giliran penjelasan Sistem Akhir. Segala sesuatu mempunyai
tujuan, setiap eksistensi bergerak menuju tujuannya. Apabila non-materi
(mujarrad), maka asal-muasalnya (mabda’) dan tempat berkumpulnya (itu)
satu, dan ia mempunyai tujuan karena ia memiliki asal-muasal (mabda’).
Kondisi-kondisi ini ada bersamanya, asal-muasalnya, dan terminalnya
satu. Sedangkan apabila materi (madiy) dan ingin datang (mengejawantah)
dari dunia potensial (‘alam al-quwwah) ke dunia nyata (‘alam fi’il), maka
aktivitasnya (al-fi’iliyah) itu berusaha di dalam potensi (al-quwwah) secara
lemah melalui pengaturan (tadbir) agar dibuka sesuatu yang lemah dalam
strukturnya, dan kekuatan itu yang membimbing potensi ini untuk
merealisasi, dan cahaya itu yang memperkenalkan kafilah ini menuju
ketujuannya, dan pelita yang menunjukkan kafilah ini ke jalannya, lentera,
petunjuk dan sumber itu adalah (Dia) Sang Pemberi Petunjuk (al-hadi)
yang—sesuai dengan Sistem Akhir—mengantarkannya menuju tujuan-tujuan
pertengahannya sampai menunjukkannya ke Yang Akhir dari
yang terakhir (akhirul akhirin) yang merupakan tujuan final bagi seluruh
makhluk. Dan Dia menciptakan setiap orang dan menjadikannya seorang
hamba dengan suatu ukuran tertentu (miqdar) dan menariknya kepada-
Nya dengan ukuran kemampuan yang dimiliki orang tersebut, “Kemudian
memberinya petunjuk”.
Meskipun di sini masalah perencanaan (rububiyah) dikemukakan
namun ada sesuatu yang terlintas di dalam benak: Bahwa Musa al-
Kalim (salam Allah atasnya) berkata dalam bentuk protes menggunakan
argumentsai: “Tuhanku adalah Allah yang telah menciptakan segala sesutu
dan Dia adalah Tuan Pengatur alam semesta”. Disebutkan “Tuan Pengatur
alam semesta” (rabb al-‘alamin) bukan “Tuan Pemandu alam semesta”
(hadi al-‘alamin), dan had al-ausath-nya adalah pengaturan semua makhluk
p:138
yang terdapat dalam Sistem Efektif bukan Pemandu semua makhluk yang
disinggung dalam Sistem Efektif bukan Pemandu semua makhluk yang
disinggung dalam Sistem Akhir, namun karena beliau diperintahkan untuk
menunjukkan Fir’aun dan umatnya (jalan kebenaran), maka beliau berdialog
dengan mereka untuk membimbing mereka dan mengantarkan mereka
menuju ke tujuan akhir mereka. Oleh karena itu beliau berkata, “Kemudian
memberinya petunjuk”.
Sistem akhir dan hidayah ini bukan berarti Dia menggiring setiap
makhluk ke suatu tujuan dari belakang. Tidak demikian, namun Dia
menyeretnya dari depan. Yang dimaksud dengan al-hadi bukan berarti yang
bergerak untuk memindah suatu kafilah bersamanya, dan juga bukan berarti
bahwa dengan gerakannya Dia menggerakkan sesuatu yang bergerak, tetapi
Dia menggiring kafilah yang berjalan bersama cinta yang dalam (al-‘isysiq),
cinta (al-mahabbah), kecenderungan kepada tujuan, dan kerinduan. Semua
ini Dia-lah yang menariknya.
Dalam falsafah Islam, kekasih (al-mahbub) menciptakan gerakan tanpa
terlebih dahulu bergerak dari tempat yang tetap (tsâbit). Penggerak itu ada dua
bagian: Bagian pertama, Penggerak yang turut bergerak untuk memberikan
gerakan. Dan bagian kedua, Penggerak yang memberikan gerakan sementara
pada saat yang sama Dia tetap tenang (baca; tidak bergerak—Pen). Tetapnya
pecinta-Nya tanpa Dia bergerak dan menarik sang pecinta ke sisi-Nya tanpa
Dia harus bergerak. Alam berjalan dengan cinta tidak dengan paksaan dan
tekanan. Alam yang berputar, mengurusi urusannya dengan cinta bukan
dengan paksa. Dia-lah Sumber (al mabda’) yang menciptakan kerinduan,
yang menggerakkan alam ini dan semua makhluk menoleh kepada-Nya
dan meminta kepada-Nya. Dan Dia memberi petunjuk dengan cara “tidak
terjadi atas-Nya suatu gerakan dan diam”.
Masalah tersebut telah dijelaskan secara bagus dalam pembahasan-pembahasan
tematis dalam Nahjul Balaghah. Amirul Mukminin (Ali bin
Abi Thalib as.) berkata dalam khotbah tauhid yang panjang, “Tidak terjadi
atas-Nya suatu gerakan dan diam”, Allah tidak diam dan tidak juga bergerak,
karena Dia bukan tubuh dan materi, Dia bekerja tetapi tidak dengan gerakan,
“Pelaku bukan dengan gerakan”, Sang Kekasih menggerakkan pecinta-Nya
tanpa terlebih dahulu Dia bergerak, karena Dia bukan tubuh dan materi, Dia
bekerja tetapi tidak dengan gerakan, “Pelaku bukan dengan gerakan”, Sang
Kekasih menggerakkan pecinta-Nya tanpa terlebih dahulu Dia bersegera,
kesempurnaan menggerakkan sesuatu yang disempurnakan (mustakmal)
p:139
tanpa gerakan. Ilmu menarik orang yang belajar kepadanya tanpa gerakan,
maka Allah di sini memberikan gerakan bagi kafilah-kafilah keberadaan
tanpa Dia bergerak—“Pelaku bukan dengan gerakan”, Allah al-hadi
menciptakan segala sesuatu dan membekalinya semua (dengan alat-alat) dan
membimbingnya semua. Dia adalah Pemandu semua makhluk karena Dia
adalah Pencipta semua makhluk dan Yang Maha Bijaksana bagi semua makhluk.
Dengan memperhatikan Sistem Efektif di mana kita akan pergi ke atas,
maka kita akan sampai di hadapan Allah, dan dengan melalui Sistem Internal
dan Aturan Internal ketika kita mengamati benda-benda, maka kita akan
menemukan Allah dan akan sampai kepada-Nya, dan begitu juga pada Sistem
Akhir ketika kita menelitinya, maka kita akan sampai kepada Allah, “Dia Yang
Pertama dan Yang Terakhir dan Yang Nampak dan Yang tersembunyi”(Q.S.
Al-Hadid: 299). Dan Al-Qur’an al-Karim adalah cahaya, hikmah dan
dalil “Dan obat bagi(penyakit) yang ada dalam dada”(Q.S. Yunus: 300).
p:140
p:141
p:142
Allah SWT Pembimbing Setiap Gerakan
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Dalam pandangan Al-Qur’an al-Karim, tauhid mempunyai jalan yang
cukup banyak. Kami telah memaparkan jalan-jalan tauhid ini pada majelismajelis
terdahulu. Yang dikemukakan pada majelis terdahulu adalah bahwa
jalan terbaik untuk menerima tauhid ialah burhan nizham (argumentasi sistem).
Al-Qur’an telah memperkenalkan alam sebagai sesuatu yang teratur
dan tersistematis dan terbagi menjadi tiga bagian. Setiap bagian mempunyai
sistem khusus, dan semua bagian ini juga tersistematis:
1. Bagian sistem aktif (qism an-nizham al-fâ’ili)
2. Hierarkis sistem internal (silsilah an-nizham ad-dakhili)
3. Putaran sistem akhir (halaqat an-nizham al-ghai)
Hukum sebab (qanun al-‘illiyah) dalam sistem aktif menetapkan bahwa
setiap wujud tidak ada dengan sendirinya; ia membutuhkan kepada sebab
aktif (‘illah fâ’iliyyah). Bagian-bagian sebab aktif berakhir ke sebab utama (al-
‘illatul ula) dan sumber utama (al-mabda’) yang menjadikan wujud-wujud
yang lain, yaitu Allah. Pada bagian sistem aktif, tidak diciptakan suatu bagian
pun yang tidak pada tempatnya; yang belakang tidak dijadikan di depan dan
begitu juga sebaliknya.
Apabila sebab (‘illah) tidak mendapati batas kesempurnaannya, maka
hal itu tidak dapat mewujudkan apa pun. Ketika sebab sudah sempurna
(al-‘illah at-taammah), maka tidak dapat tidak hal itu akan menyebabkan
terjadinya sesuatu (takhalluf ). Dalam sistem aktif tidak terdapat takhalluf
danikhtilaf.(1) Tidak mungkin terdapat sebab dan tidak terdapat akibat
(ma’lul). Tidak mungkin terdapat ma’lul yang berbeda, di mana ma’lul ini
terdapat di suatu waktu dan ma’lul yang lain di waktu yang lain. Atau terkadang
ini adalah ‘illah -nya masalah ini dan terkadang’illah yang lain.
p:143
Masalahnya, sebagaimana telah kami jelaskan di atas pada hierarkis
sistem internal, yakni bahwa alat-alat dan bagian-bagian serta komponen-komponen
internal setiap makhluk diciptakan secara serasi, teratur, dan
berimbang, di mana tidak terdapat di dalamnya suatu ciptaan dan suatu
keadaan pun yang (menunjukkan) ketidakteraturan dan kerusakan, “Yang
telah memberikan segala sesuatu kepada ciptaannya lalu membimbingnya”
(Q.S. Thaha: 50). Segala sesuatu diciptakannya dengan indah.
Adapun hierarkis sistem akhir adalah sebagai berikut. Setiap wujud
mepunyai tujuan khusus dan maksud tertentu yang diikutinya, dan tujuan-tujuan,
dan maksud-maksud ini bukanlah tujuan-tujuan pokok dan akhir
(ahdaf dzatiyyah wa nihaiyyah) karena ia bukan kesempurnaan murni dan
(juga) bukan kesempurnaan yang tidak terbatas dan (karena nya) tidak
dapat menjadi tujuan terakhir. Sedangkan tujuan terakhir adalah yang tidak
terbatas dan kesempurnaan murni yang semua makhluk ber tujuan ke arah-
Nya, yaitu Allah. Pada hierarkis sistem aktif, semua makhluk berada dari
sumber (mabda’) yang merupakan wujud murni (al-wujud al-mahd) dan
yang wujud-Nya adalah hakikat zat-Nya (wujuduhu ‘ainu dzatih), yaitu
Allah. Kesimpulan pembahasan mjaelis terdahulu terdapat dalam ayat yang
mulia dari surah Al-Hadid ini, “Dia Yang Pertama dan Yang Terakhir dan
Yang Nampak dan yang Tersembunyi” (Q.S. Al-Hadid: 3).
Pada majelis yang membahas tema tasbih makhluk-makhluk, telah
diterangkan secara baik bahwa ayat-ayat Al-Qur’an al-Karim terbagi menjadi
beberapa kelompok. Sebagian kelompok itu mengemukakan tasbih halilintar
dan para malaikat, “Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah,
(demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya” (Q.S. ar-Ra’d: 13).
Sebagiannya, menyebutkan tasbih manusia, dan sebagiannya lagi, menyebutkan
tasbih langit dan bumi, dst. Adapun ayat lengkap yang menyebutkan tasbih
abadi semua alam wujud adalah satu ayat yang terdapat dalam surah Al-
Isra’. Allah berfirman setelah menjelaskan tasbih langit dan bumi, “Tidak
ada sesuatupun kecuali bertasbih dengan memuji-Nya” (Q.S. Al-Isra’: 44).
Dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam (masalah). Argumentasi sistem juga
terdiri atas beberapa kelompok. Sebagiannya, menyinggung masalah sistem
aktif; sebaginnya, mengemukakan masalah sistem internal benda-benda; dan
sebagian lagi, menyampaikan masalah sistem akhir. Namun, ayat lengkap
yang dapat dipahami dengannya tiga sistem ini dan dapat dibahas setiap
darinya, adalah ayat yang menceritakan bantahan (ihtijaj) Nabi Musa al-
Kalim (salam Allah atasnya) dalam melawan Fir’aun. Beliau berkata, “Tuhan
kami adalah Dia yang telah memberikan apa (saja yang dibutuhkan makhluk)
p:144
lalu Dia menunjukinya”(Q.S. Thaha: 50). Ayat ini telah menjelaskan sistem
aktif dan sistem internal dengan menggunakan makna al-Muthabaqah
dan iltizam(1). Sebagaimana sistem akhir juga dije laskan dengan makna
muthabaqah. Maka, segala sesuatu telah diciptakan oleh Allah, dan segala
sesuatu yang diciptakan-Nya pasti diciptakannya dengan indah. Dia-lah
yang membimbing semua makhluk menuju tujuan-tujuannya.
Akan tetapi, di samping ayat lengkap ini, terdapat juga ayat-ayat lain
yang menjelaskan masalah sistem akhir, dan menerangkan tujuan-tujuan
makh luk-makhluk dunia, dan kepatuhan alam ciptaan untuk dibimbing
dan diarahkan oleh Allah adalah sesuatu yang menghentakkan pendengaran
(baca: menakjubkan). Dan karena bagian terpenting dari peristiwa-peristiwa
ini telah menjelaskan tentang manusia dan tujuan diturunkan nya Al-Qur’an
adalah membimbing manusia supaya ia bergerak melalui perantaraan Al-
Qur’an dari kegelapan menuju cahaya, maka telah terdapat ayat-ayat seputar
sistem aktif, sistem internal, dan sistem akhir (yang berkenaan) khusus dengan
manusia. Pada kajian yang lalu telah dijelaskan hal-hal yang berhubungan
dengan sistem internal dan sistem aktif. Kami akan menjelaskan kajian yang
berhubungan dengan sistem akhir yang diikuti dengan masalah-masalah
Hari Kemudian dan sistem tujuan (an-nizham al-hadafi) dan bahasan yang
menjelaskan kepemilikan manusia terhadap tujuan. Namun, sebelum masuk
ke kajian sistem akhir bagi manusia dan bahwa manusia mempunyai tujuan
yang harus digapainya, kami akan memaparkan sebuah ayat tentang semua
gerakan yang Al-Qur;an menjelaskan kepemilikannya terhadap suatu tujuan
agar setelah itu kita sampai ke tujuan khusus yang berkenaan dengan manusia.
Dalam surah Hud dikatakan, “Sesungguhnya aku bertawakal kepada
Allah, Tuhan (Pemelihara)ku dan Tuhan (Pemelihara) kalian” (Q.S. Hud:
56). Dia adalah Wakil perbuatan-perbuatanku. Aku telah bersandar kepada-
Nya, karena Dia adalah Pengurus urusanku dan urusan kalian. Seharusnya
yang dipelihara (al-marbub) bersandar kepada Pemeliharanya (rabbihi)
sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan ter dahulu,
bahwa Allah menyandarkan tawakal kepada makhluk, hal ini telah dijelaskan
secara terperinci. Dikatakan bahwa seharusnya makhluk bertawakal kepada
Allah karena Allah adalah Pencipta segala sesuatu, “Allah adalah Pencpta segala
p:145
sesuatu” (Q.S. ar-Ra’d: 16). “Dan kepada-Nya-lah hendaklah orang-orang yang
bertawakal” (Q.S. Yusuf: 67) atau “Dan Dia adalah Wakil (Yang Memelihara)
segala sesuatu” (Q.S. Az-Zumar: 62). Al-Qur’an berkata; Karena Allah adalah
Pencipta segala sesuatu, maka Dia adalah Wakil (Pemelihara) segala sesuatu.
Dia adalah Pencipta segala sesuatu, maka Dia mengetahui bagaimana cara
mengurusinya. Pengurusan (wakala) segala sesuatu menjadi tanggung jawab
yang men ciptakannya Yang demikain itu menjadi keharusan karena “Allah
adalah Pencipta segala sesuatu”, “Dan Dia adalah Wakil segala sesuatu”. Dengan
demikian, segala makhluk bertawakal kepada Allah. Apabila manusia ingin
tawakal kepada selain Allah, maka itu berarti bertentangan dengan sistem.
Oleh karena itu tidak membuahkan hasil dia (manusia tersebut) tidak
mampu bersandar kepada dirinya sendiri atau kepada selain Allah.
Jika manusia mengabaikan dan bersandar kepada dirinya atau kepada
selain Allah, maka ketahuilah bahwa bersandar kepada selain Allah adalah
kejatuhan (kegagalan), karena Allah adalah rabb (Tuhan Pengatur). Dengan
demikain, hendaklah manusia bertawakal kepada Allah. Dan karena Allah
adalah Pencipta, maka haruslah bertawakal kepada-Nya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah” (Q.S. Hud: 56) dan telah
disebutkan alasannya di sampingnya, “Tuhan Pemeliharaku dan Pemelihara
kalian”. Adalah suatu keharusan bertawakal kepada Allah, karena Dia adalah
Tuhan Pemeliharaku dan Pemelihara Kalian. Oleh karena itu aku bersandar
kepada Allah. Demikianlah permulaan ayat itu, adapun lanjutannya, “Tidak
ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya”
(Q.S. Hud: 56). yakni bahwa Allah adalah pembimbing setiap
gerakan. Penunjuk, Pembuka jalan, dan Penuntun setiap yang bergerak adalah
Allah. Allah-lah yang membimbing setiap yang bergerak menuju tujuannya,
dan mengantarkan si musafir dengan cahaya petunjuk Ilahi ke tujuannya, serta
mengenalkan setiap pejalan—melalui cahaya hidayah Ilahi—ke tujuannya.
Dan di sini Al-Qur’an juga berdalil, “Sesungguhnya Tuhan Pengaturku
(berada) di jalan yang lurus”(Q.S. Hud: 56). Masalah tawakal tidak sama
dengan masalah hidayah, karena masalah tawakal berkaitan dengan
pengaturan (rubibiyyah) dan penciptaan (al-khaliqiyyah). Oleh karena Allah
adalah Pengatur dan Pencipta, maka seharusnya manusia bertawakal kepada-
Nya. Sedangkan masalah hidayah berhubungan dengan masalah jalan yang
lurus (as-shirath al-mustaqim). Dikatakan karena perbuatan-perbuatan Allah
berada di jalan yang lurus (bukan hanya curahan karu nia-Nya (faidh)) di atas
jalan yang lurus, tetapi jalan yang lurus merupakan perbuatan-Nya, curahan
karunia-Nya, jalan-Nya, dan hidayah-Nya berada di jalan yang lurus,
p:146
maka hendaknya hidayah Allah dimanfaatkan oleh manusia dan kendali
perbuatan diserahkan kepada-Nya. Dan pembimbing itu yang faidh-Nya
berada di jalan yang lurus haruslah meletakkan kendali hidayah di tangan-
Nya. Oleh karena itu, klaim (al-mudda’a) ini disebutkan di samping dalil
itu. Al-Qur’an berkata, “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan
Dia-lah yang memegang ubun-ubun-Nya”. Kening dan dahinya berada di
tangan Allah. Apabila ubun-ubun ini, dahi ini, wajah ini, kendali ini, dan
bentuk ruh (wajh ar-ruh) berada di tangan sesuatu yang tidak di atas jalan
yang lurus, maka itu merupakan kendali yang bohong dan tali pengendali
binatang yang bohong, wajah yang batil, dan bimbingan yang bohong. Oleh
karena itu, Al-Qur’an berkata, “Sungguh, Kami tarik ubun-ubunnya,(yaitu)
ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka” (Q.S. Al-‘Alaq: 15—16). Wajah
dan dahi itu yang tidak ditinggalkan (baca: tidak diserahkan—Peny.) di sisi
pemilik hati (ashab al-qulub), maka ia adalah kendali yang bohong.
Oleh karena itu, orang yang dahinya terdapat bekas sujud, namun dia
tidak tergolong sebagai orang yang bertauhid secara sempurna (muwahhid
kamil) dan dahinya belum mengkilat dengan keikhlasan dan kepatuhan serta
dia tidak mempunyai hubungan dengan kejernihan dahi ini, maka dahi itu
adalah dahi yang dusta. Dan setiap orang yang wajah ruhnya (wajhah ruhihi)
menuju kebatilan, maka itu merupakan wajah pembohong, “Sungguh, Kami
tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun yang mendustakan lagi durkaha”.
Gerakan ubun-ubun mereka menjadi benar(tidak dusta) maka bumi atau
burung di udara merupakan suatu umat yang mempunyai imam dan yang
mempunyai maksud dan tujuan.
Hierarkis tujuan-tujuan ini dan imam para imam ini berakhir kepada
Allah. Apabila Allah berfirman dalam surah Hud, “Tidak ada suatu binatang
melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya”, maka Dia
berfirman dalam surah Al-An’am, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada
di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat-umat (juga) seperti kamu” (Q.S. Al-An’am: 38). Tidak ada dalam buku
alam penciptaan (kitab attakwin) terdapat kelebihan dan kekurangan (ifrath
wa tafrith), “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab” (Q.S.
Al-An’am: 38). Maka saat itu, seluruh kafilah angkasa dan bumi dan semua
makhluk bumi dan langit, “kemudian mereka dikumpulkan di sisi Tuhan
mereka”, Dikumpulkan di sisi Allah pada Hari Perkumpulan Akbar. Tujuan
akhir mereka adalah Allah. Dengan demikian, mereka semua mempunyai
kendali yang dipegang oleh Pemilik kendali, Pemimpin mereka, dan
Penggerak mereka, yaitu Allah.
p:147
Kami telah memaparkan pada majelis terdahulu bahwa Penggerak
itu ada dua bagian: Bagian pertama, Penggerak yang berjalan lalu yang
bergerak mengikuti bersamanya di jalannya. Dia bergerak untuk memberikan
gerakan kepada orang-orang lain. Dan bagian kedua, Penggerak
yang memberikan gerakan kepada orang-orang lain sementara dia sendiri
tenang (tidak bergerak). Orang-orang lain berusaha dengan gerakan mereka
untuk mencapai ketenangan-Nya. Sang kekasih menggerakkan pecinta
tanpa Dia menggerakan tangan atau memindahkan langkah, dan Sang
Kekasih menggantungkan rantai-rantai gerakan (silsilah al-harakah) di leher
sang pecinta tanpa sedikit pun usaha dan gerakan dari-Nya.
Tujuan Tertinggi (al-maqsad al-a’la) menggerakkan kafilah dari-Nya.
Semua menggantungkan hati mereka kepada sang Kekasih ini dan berjalan
menuju-Nya, “Kemudian mereka dikumpulkan di sisi Tuhan mereka” (Q.S.
Al-An’am: 38). Demikianlah penjelasan yang lengkap tentang tujuan setiap
makhluk. Al-Qur’an al-Karim telah mengemukakan tujuan manusia dan
kepemilikannya terhadap maksud tertentu secara tersendiri dan terperinci,
yakni ia menjelaskan bagian sistem akhir tentang manusia secara terperinci
dan berulang-ulang. Dalam surah “Aku bersumpah dengan Hari Kiamat” (Q.S.
Al-Qiyamah: 1). Al-Qur’an berkata: Janganlah manusia mengira bahwa ia
diciptakan dengan sia-sia dan tanpa tujuan, “Ia akan dibiarkan begitu saja”
(Q.S. Al-Qiyamah: 36). Manusia menyangka bahwa ia diciptakan dengan
sia-sia dan tanpa faedah, tanpa harus melalui tujuan tertentu atau mengikuti
maksud tertentu, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja (setelah kematian tanpa pertanggungan jawab)?”. Ia tidak mempunyai
tujuan yang harus dilaluinya dan tidak terdapat sanad hisab dan kitab(amal).
Manusia mengira bahwa ia akan binasa dengan kematian dan keberadaanya
diakhiri dengan kematian. Tidakkah ia mengetahui bahwa kematian
adalah jalan menuju alam barzah dan kiamat. Atau ia mengira bahwa
ia diciptakan sia-sia dan tanpa faedah, “Apakah manusia mengira, bahwa ia
akan dibiarkan begitu saja”. Dan dalam pemisahan (sesuatu dari kesatuannya)
tidak akan terdapat sistem akhir, ia menduga bahwa kehidupan baru setelah
kematian sulit sekali. Adalah hal yang maklum bahwa ketika Al-Qur’an al-
Kariim menukil pernyataan para penentang Hari Kemudian, ia menukilnya
dengan nada keheranan dan memegang jauh. Mereka mengira bahwa Hari
Kiamat merupakan hal yang mustahil dan tidak mengemukakan satu dalil
pun atas ketiadaan kiamat. Mereka mengatakan: Aneh sekali sesuatu yang
tadinya berupa tanah akan kembali hidup kedua kalinya. Dan—masih kata
mereka—apakah mungkin sesuatu yang telah tidak ada atau terpisah (dari
p:148
kesatuannya) secara nyata dan atom-atom badannya telah berhamburan
akan hidup kembali? “Apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya,
sesungguhnya kamu benar-benar(akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan
yang baru?” (Q.S. Saba: 7). Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang
lain: Ada satu orang yang datang dan mengklaim sembari berkata: Ketika
tubuh kalian tercabik-cabik, rusak, dan hancur-lebur, maka kalian akan
hidup seperti sedia kala.
Orang yang mengklaim adanya Hari Kemudian ini kalau tidak
berbohong atas Allah, atau dia orang yang gila, “Apakah dia mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah ataukah ada padanya penyakit gila” (Q.S.
Saba: 8). Dan apa yang dikatakan oleh para pengingkar Hari Kemudian
hanya sekadar keheranan dan menganggap mustahil, tetapi mereka tidak
mengemukakan satu dalil pun. Perkataan orang-orang kafir yang terdapat
dalam surah as-Saba’, “Dan orang-orang kafir berkata, “Maukah kamu Kami
tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang memberitakan kepadamu bahwa
apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu benar-benar
(akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru? Apakah dia
mengada-adakan kebohongan ter hadap Allah ataukah ada padanya penyakit
gila” (Q.S. Saba: 7—8). Barangkali dia orang yang gila atau orang waras
yang ingin mengambil keun tungan dengan cara yang ilegal lalu menisbatkan
kebohongan tersebut kepada Allah. Al-Qur’an menjawab pernyataan mereka
itu, “(Tidak), tetapi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat mereka
akan mendapatkan siksaan dan berada dalam kesesatan yang jauh”(Q.S. Saba:
8). Hal ini disebabkan pengingkaran mereka hanya sekadar keheranan tanpa
dibarengi oleh argumentasi.
Dalam surah Al-Qiyamah, Allah berfirman, “Apakah manusia mengira,
bahwa ia dibiarkan begitu saja”. Atas dasar apa orang yang ingkar kepada
Hari Kemudian merasa heran, “Bukankah ia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan”. Bukankah manusia tadinya berupa setetes air, lalu berubah
menjadi bentuk ini? Apakah dia sendiri yang membuat setetes air ini lalu
menjadi bentuk ini? “Dialah yang menggambarkan(bentuk) kalian di dalam
rahim sesuai dengan yang dikehendaki-Nya” (Q.S. Ali ‘Imran: 6). Dialah
yang menggerakan kafilah-kafilah ilmiah manusia (al-Qawafil al-Ilmiyah
al-basyariyyah) untuk mengikuti jejak-Nya supaya dapat sampai kepada-
Nya. Meskipun demikian, sampai sekarang mereka masih mempunyai
banyak sekali teka-teki (misteri) yang belum terpecahkan, padahal mereka
benar-benar bersungguh-sungguh dan bekerja keras sepanjang hari untuk
mengetahui anggota tubuh manusia bagian dalam dan mengobatinya dari
p:149
pelbagai penyakit serta menyediakan obat-obatan yang penting untuk
hal itu. Namun demikian, masih lebih banyak yang tidak mereka ketahui
daripada yang mereka ketahui. Simak syair berikut:
Hendaklah kita menampakkan tanda kefakiran kita
Allah Maha Kaya, sementara kita membutuhkan.
Oleh karena itu, disebutkan dalam surah Al-Qiyamah, “Bukankah ia
dahulu setetes mani yang ditumpahkan, kemudian mani itu menjadi segumpal
darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah
menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan. Bukankah(Allah yang
berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?”(Q.S.
Al-Qiyamah: 37—40). Bukankah Allah yang telah men ciptakan setetes air
menjadi bentuk ini dan menganugerahinya sistem internal, dan mengatur
penciptaannya, baik laki-laki maupun perempuan supaya keturunan manusia
berlanjut dan membentuk sistem sosialnya. Agar terjamin keberadaan
individu, Dia membekalinya dengan sistem internal seperti ini, dan agar
terjamin kesinambungan spesies manusia, Dia memberinya sistem eksternal
ini. Bukankah yang demikian ini mampu menghidupkan orang-orang mati?
Dia(Allah) yang menganugerahi kehidupan, apakah tidak mampu
mengumpulkan benda-benda yang telah hancur berserakan dan mengantarkanya
ke tujuannya? “Bukankah yang demikian itu mampu menghidupkan
orang-orang yang telah mati”. Ayat yang maknanya ‘Apakah manusia
mengira, bahwa dibiarkan begitu saja’ sering diucapkan oleh Ali bin Abi
Thlaib a.s. pada saat bercocok-tanam. Orang-orang yang melakukan pekerjaan
fisik biasanya mempunyai nyanyian tertentu untuk menghilangkan
keletihan. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. melantukan ayat ini,
“Apakah manusia mengira, bahwa ia dibiarkan begitu saja”. Apakah manusia
menyangka bahwa dia akan ditinggalkan begitu saja dan tidak dibangkitkan
kembali dari kubur dan tidak mempunyai tujuan. Setiap benih yang
disebarkan ini mempunyai tujuan dan kepalanya (atau ujungnya) akan
diangkat dari tanah dalam keadaan mencari tujuannya. Maka, apakah
manusia berdiri tanpa tujuan dan maksud tertentu? Tidak, masalahnya
tidaklah demikian.
Adapun ayat lain yang dibaca oleh Rasulullah Saw. adalah: “Maha Suci
EngkauYa Allah dan benar”.(1) Yakni: Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Suci
dari segala kekurangan dan aib dan engkau mampu menghidupkan orang-orang
yang telah mati.
Dan tujuan akhir ini, yang mana manusia berusaha untuk mengga-
p:150
painya, adalah sampainya mereka ke alam itu; dan kesempurnaan manusia
adalah ketika mereka sampai ke alam ketetapan dan ketenangan. Tujuan
manusia adalah mencapai alam yang “Tidak ada di dalamnya kata-kata yang
tidak berguna dan tidak ada pula perbuatan dosa” (Q.S. ath-Thur: 23). Tidak
ada di sana perbuatan yang bertentangan dan kebatilan. Manusia akan menemukan
suatu alam yang tidak ada kepayahan di dalamnya. Alam yang sunyi
dari kebatilan dan kebohongan, alam yang tidak ada kematian di dalamnya,
dan tidak ada jalan bagi kejahilan di dalamnya, dan tidak ada jalan bagi
kebencian dan hasut di dalamnya, “Dan Kami lenyapkan segala dendam yang
ada dalam hati mereka” (Q.S. Al-Hijr: 47). Tidak ada hasut di sana, karena ia
merupakan kesaksian murni. Manusia suka (‘âsyiq) terhadap tujuan ini, dan
manusia mencari-cari maksud yang sangat tinggi ini.
Oleh karena itu, dikatakan dalam surah Shad—yang menjelaskan
bahwa setiap sistem penciptaan akan melalui sistem akhir: Janganlah manusia
mengira bahwa ia adalah (ciptaan) sia-sia dan batil karena sistem penciptaan
bukanlah sistem yang sia-sia. Telah lewat kajian surah Shad pada majelis
terdahulu, yaitu firman-Nya, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah
anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena
mereka akan masuk neraka” (Q.S. Shad: 27). Oleh karena Allah adalah haq
(Yang Maha Benar), maka Dia tidak mungkin melakukan suatu perbuatan
yang sia-sia. Penciptaan tanpa dibarengi dengan tujuan adalah hal yang sia-sia,
sementara Allah tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang sia-sia.
Dengan demikain, maka penciptaan tidak mungkin tidak dibarengi
dengan tujuan. Dan al-had al-ausath bagi argumentasi ini adalah Allah
Yang Maha Benar, sebagaimana al-had al-ausath pada argumentasi yang
lain yang terdapat setelah ayat ini adalah Allah Yang Maha Bijaksana dan
Mahaadil. Al-Qur’an berkata, “Apakah Kami akan menjadikan orang-orang
yang beriman dan beramal saleh seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di
muka bumi ataukah Kami akan menjadikan orang-orang yang takwa seperti
orang-orang yang jahat” (Q.S. Shad: 28). Allah Yang Mahaadil tidak mungkin
menyamakan antara manusia pembuat kerusakan (di muka bumi) dengan
manusia yang takwa.
Apabila di sana tidak terdapat suatu tujuan, tidak ada Hari Kiamat,
hisab, pahala, dan siksa; apabila yang terjadi adalah bahwa orang-orang
yang takwa mati lalu pergi begitu saja, dan begitu juga apabila orang-orang
yang berdosa mati lalu pergi begitu saja, tidak ada berita setelahnya, dan
mereka tidak akan memperoleh laporan perhitungan (hisab) amal mereka
p:151
di dunia, dan tidak ada juga kabar sesudah kematian, maka semua (yakni
antara orang yang baik dan orang yang jahat—Peny.) menjadi sama, dan
tentu hal ini tidak sesuai dengan hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan
Ilahi. Seharusanya ada suatu alam yang memisahkan antara barisan orang-orang
yang jahat(berdosa) dan orang-orang yang takwa lalu dikatakan, “Dan
berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang
yang berbuat jahat” (Q.S.Yasin: 59). Di sana diperintahkan agar barisan
orang-orang yang jahat dipisahkan dari barisan orang-orang yang bertakwa.
Kemudian ditambahkan—dalam rangka menjelaskan bahwa manusia
mempunyai tujuan dalam sistem akhir dan ia harus berusaha menuju ke tujuan
itu—dengan dikatakan, “Apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan
kamu sia-sia” (Q.S. Al-Mukminun: 115). Apakah kalian mengira bahwa
kalian datang dengan sia-sia? Kalian dilahirkan untuk kemudian dimatikan
(begitu saja)? Apakah kalian dilahirkan agar kalian bergerak (berpindah)
dan berhijrah? Apakah keberadaan ini ada untuk kemudian binasa dengan
kematian dan tidak ada di sana kembali dan pulang kepada Allah? “Apakah
kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia”. Apakah mungkin
Allah Yang Maha Bijaksana melakukan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak
ada gunanya? Dan apakah Dia menciptakan manusia untuk hanya menetap
di dunia, dan tidak dipertanggung jawabkan atas segala perbuatannya?
“Dan sesungguhnya apakah kalian tidak akan kembali kepada Kami?” (Q.S.
Al-Mukminun: 115). Apakah kalian tidak akan kembali kepada Kami?
Apakah kalian tidak akan kembali kepada Pencipta (asal) kalian? Ini adalah
perbuatan yang sia-sia, dan Allah Yang Maha Bijaksana, Maha Suci dari
perbuatan yang sia-sia.
Apabila kalian meyakini bahwa kalian mempunyai tujuan; yaitu
kesempurnaan yang tidak terbatas itu (Allah Swt) yang merupakan sumber
ketenangan dan kedamaian; dan apabila hal ini menjadi jelas bagi kalian
di mana kalian akan bergerak menuju kepada kesempurnaan yang tidak
terbatas, maka saat itu kalian tidak akan merasa puas dengan sesuatu
yang tidak berupa wujud murni (al-wujud al-mahd), dan kalian tidak rela
dengan sesuatu yang keberadaannya tidak abadi, dan hati kalian tidak akan
bergantung pada kehidupan yang tidak berhubungan dengan kehidupan
abadi yang ada di sisi Allah.
Dan kalian akan berusaha—ketika kalian berhasil mencapai ke tingkat
mana pun—untuk melaluinya dan menjadikannya sebagai tujuan kalian,
karena “Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)”
(Q.S. an-Najm: 42). Oleh karena itu, tidak ada kesia-siaan dan main
p:152
main, dan semua itu telah dibantah oleh Al-Qur’an ketika menjelaskan
sistem akhir bagi penciptaan. Namun, orang-orang yang berhasil melalui
tujuan ini sedikit sekali. Akan tetapi mereka pasti mengingat tujuan akhir
ini dalam setiap keadaan mereka. Mereka memikirkan tujuan tinggi ini
dalam semua keadaan mereka, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga,
baik dalam keadaan duduk maupun berdiri. Alhasil, mereka mengingat
tujuan ini dalam semua situasi, karena tujuan itu adalah sumber (Allah, almabda’)
itu sendiri. Tujuan ini menyebabkan adanya usaha dan daya tarik
seseorang untuk mencarinya, dan selama manusia tidak mengenalinya dan
tidak mendatanginya, maka tidak ada daya tarik apa pun dari arah itu yang
akan mendatanginya. Dan apabila tidak ada daya tarik dari sisi ini, maka
usaha manusia tidak akan membuahkan hasil apa pun. Sesungguh nya usaha
orang yang bergerak membuahkan hasil ketika daya tarik tujuan berada di
genggamannya, karena tujuan akhir itu adalah hakikat sumber awal (al-mabda’
al-awwal). Dan orang-orang yang berakal (al-uqala’) sibuk memikirkan
mabda’ dan ma‘ad (Hari Kemudian), “Orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Q.S. Ali ‘Imran: 19).
Pada akhir Surah Ali ‘Imran disebutkan tentang sifat orang-orang yang
berakal, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali
‘Imran: 190). Orang-orang yang berakal (ashab al-albab) adalah mereka orang-orang
yang dalam setiap kondisi selalu mengingat Allah, bahkan dalam salat
mereka yang dilakukan dalam berbagai keadaan itu mereka tetap mengingat
Allah. Orang-orang salat itu terdiri dari beberapa kelompok. Sebagian
mereka salat dengan berdiri, sebagian lagi dengan duduk dan sebagian lagi
salat sambil tiduran. Dari ayat yang mulia ini dapat disimpulkan (istinbath)
dan diambil dalil(istidlâl) tentang hukum fikih dan hukum akhlak.
Orang yang berakal adalah orang yang setiap keadaannya selalu
mengingat penciptanya (mabda), karena ia mau agar Pencipta tersebut
mengingatnya dalam setiap keadaannya. Allah Swt berfirman, “Ingatlah
kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian” (Q.S. Al-Baqarah:
152). Allah Yang Maha Penyayang (ar-rahim al-mahd) ketika mengingat
manusia berarti Dia akan menjadikan rahmat sebagai bagian manusia
yang berzikir kepada Allah dan rahmat tersebut senantiasa terbuka (baca:
tercurah—Peny.) di hadapannya dan—dengan sebab apa pun—tidak akan
tertutup, “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,
p:153
maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya” (Q.S. Fathir: 2). Dan
Dialah” Dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun
yang dapat melepaskanya sesudah itu” (Q.S. Fathir: 2). Ketika Allah menutup
suatu pintu, maka tidak ada seorangpun yang mampu membuka pintu itu
atau membebaskan sesuatu yang ditahan oleh Allah.
Allah Yang Mahakuasa (al-qadir) ketika mengingat manusia
berarti manusia tersebut akan menikmati suatu kekuasaan (al-qudrah).
Allah Yang Maha Mengetahui (al-‘alim) ketika mengingat manusia berarti
manusia yang bersangkutan akan memperoleh manfaat dari ilmu. Allah
Yang Maha Kasih dari para pengasih (ar-ham ar-rahimin) ketika mengingat
manusia berarti manusia tersebut akan menikmati rahmat khusus. Allah
Yang Maha Hidup ketika mengiangat manusia berarti manusia tersebut
akan menikmati kehidupan dan tidak akan mati selamanya, dan dari sana
hatinya akan hidup dengan cinta dan makrifat Allah.
Orang yang berakal—dengan demikian—adalah orang yang mengingat
Allah dalam setiap keadaannya karena ia suka, agar Allah juga mengingatnya
dalam setiap keadaannya, “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (sembari mengatakan): “Tuhan kami, sungguh Engkau
tidak menciptakan semua ini sia-sia”. Ia berada dalam (pengawasan) sistem
aktif (an-nizham al-fâ’ili). Di tangan-Mu-lah kepemilikan segala sesuatu,
“Siapalah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia
melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi (dari azab-Nya)” (Q.S. Al-
Mukminun: 88). Dan pada bagian sistem internal (an-nizham ad-dakhili)
hierarkis (halaqat) sistem ini berada dalam kekuasaan-Mu “Yang memperbaiki
segala sesuatu yang diciptakan-Nya” “Tuhan kami yang menganugerahi segala
sesuatu yang diciptakan-Nya”. Dia menciptakan ciptaan-Nya dengan indah
dan menganugerahinya segala sesuatu yang menunjang kesempurnaannya.
Dan terdapat sistem lain yang bernama sistem akhir (an-nizham al-ghai),
tujuan akhir alam, alam yang bertujuan “Tuhan kami, sungguh Engkau tidak
menciptakan semua ini sia-sia”. Dia Berfirman dalam surah Shad, “Sungguh
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
sia-sia” (Q.S. Shad: 27) Dalam surah Ali ‘Imran terdapat lantunan (lahn)
hamba-hamba Allah yang bijak (al-hukama’). Demikianlah yang mereka
ulang-ulangi, “Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia”.
Pekerjaan yang tidak bertujuan adalah sia-sia. Allah berkata: Alam mempunyai
tujuan, dan orang-orang yang berakal berkata: Alam mempunyai
tujuan. Dan apa yang dikatakan orang-orang yang bijak ini adalah apa yang
mereka pelajari dari Allah Yang Maha Bijaksana, karena Allah memberi
p:154
hati dan juga memberi akal. Dia menciptakan tempat (zharf ) dan sekaligus
menciptakan sesuatu yang ditempati (mazhruf ). Dia menciptakan ruh dan
juga menciptakan kehidupan ruh (hayat ar-ruh), dengan nama Pengatur ruh
dan akal(rab ar-ruh wal aql).
Apabila Firdausi, seorang filsuf Syiah yang tersohor menyeru
Allah dengan nama Pencipta ruh dan Pencopta akal, dan dia telah memulai
pembicaraan dengan (menyebut) nama-Nya yang terkenal, maka Syebestari,
seorang ‘ârif (ahli ma’rifah) yang kondang mengatakan: Dengan nama itu
yang mengajari ruh pikiran (al-fikrah). Beliau mengisyaratkan tiga masalah.
Beliau mengutarakan sesuatu yang lebih dalam dari apa yang diutarakan oleh
Firdausi ketika dia mengatakan: Dengan nama itu yang mengajari ruh akal,
proses pemikrian (at-tafkir), dan hasil pemikiran (al-fikrah). Allah bukan
hanya menciptakan ruh; Allah bukan hanya menciptkan akal. Namun,
pembimbingan manusia dengan akal dan penganugerahan (a-ifdah) akal
dengan ruh juga berada di bawah tanggung jawab Allah, sehingga tidak
akan ada seorangpun setelah itu yang mengatakan dan menganggap bahwa
memang Allah yang menciptakan ruh ini dan akal ini, tetapi ruh berkembang
dan mencapai akal dengan sendirinya. Tidak demikian, daya tarik ini dan
upaya ini, belajar dan mengajar ini merupakan aliran karunia (majra’ alfaidh)
Allah juga “dengan nama itu yang mengajari ruh pikiran”.
Atas dasar ini, hal itu adalah kalam Allah yang kita dengar melalui lisan
hamba-Nya, “Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia”.
Rasulullah adalah manusia istimewa (al-auhadi) yang beliau di antara
sekian banyak hamba-hamba Allah telah mencapai suatu tingkatan yang tidak
dapat diraih oleh siapa pun. Dan meminjam ungkapan Syebestari, seorang
tokoh ilmu dan ahli falsafah yang populer. “Dari Ahmad ke Ahad hanya
terdapat satu perbedaan, yaitu(huruf ) mim. Allah adalah ahad (Maha Esa) dan
Rasulullah adalah Ahmad. Dan semua alam telah tenggelam dalam mim ini”.
Rasulullah melantunkan nada ilahi (al-lahn al-ilahi) ini sebelum salat
malam dan pada waktu sahur. Beliau bekata, “Tuhan kami, sungguh Engkau
tidak menciptakan semua ini sia-sia”. Saat itu berarti beliau menuju salat
malam. Mula-mula, berpikir (al-tafkir) lalu menjadi orang yang berakal dan
mengesakan Tuhan (muwwahid), kemudian menjadi orang yang berpikir
kemudian menjadi orang yang berakal, kemudian menjadi orang yang
muwahhid, kemudian menjadi ‘abid. Tidak terdapat kesia-siaan dalam sisi
mana pun, begitu juga tidak ada jalan kesia-siaan dalam perbuatan manusia,
“Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia”. Adapun
orang-orang asing (al-ajanib), maka mereka keluar dari jalan ini. Selama
p:155
mereka tidak melihat tekanan (cobaan), maka mereka tidak akan mengingat
Allah, baik dalam keadaan berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.
Ketika mereka merasakan rasa sakit dan tertimpa musibah, maka saat itu
mereka akan mengingat Allah dan saat itu mereka (menyebut) nama Allah.
Anda dapat memperhatikan dalam surah Yunus, ayat yang bertentangan
dengan ayat tersebut. Disebutkan dalam surah Yunus bahwa ketika beberapa
orang dari mereka terkena musibah dan merasakan penderitaan, maka saat
itulah mereka memanggi-manggil Allah dalam keadaan terlentang atau
berdiri atau duduk, “Dia (manusia) berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk, atau berdiri”, (Q.S. Yunus: 12). Pada saat itu, mereka
disadarkan oleh rasa sakit karena pada hakikatnya rasa sadar (his al-istiqadh)
tidak ada dalam diri mereka. Orang yang bangun (sadar) melalui rasa sakit
bukanlah tergolong orang-orang yang sadar(ahlul yaqdah), sedangkan
orang yang sadar melalui pemikiran dan cinta, maka pada hakikatnya dia
adalah orang yang terjaga (bangun) selamanya. Riwayat dari Imam Ali a.s.,
“Tidakkah dari tidurmu terdapat masa terjaga”.(1)
p:156
p:157
p:158
Mengenal Tolok-Ukur Akhlak
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Ketika Al-Qur’an menjelaskan tujuan-tujuan agama, ia mengatakan:
Para nabi—khususnya penutup mereka (Muhammad Saw. —Peny.)—diutus
untuk mendidik manusia dan menyucikan mereka agar mereka menjadi
bersih dan memberi mereka bimbingan. Pendidikan jiwa dan penyuciannya
dianggap termasuk dalam tujuan-tujuan agama yang paling penting.
Hal demikian akan menjadi jelas ketika masalah akhlak, tujuan akhlak, dan
tingkatan-tingkatan tujuan akhlak dikemukakan. Akhlak dapat berubah dan
berganti. Akhlak dapat berubah sampai pada batas tertentu. Pembawaan-pembawaan
jiwa (al-malakat an-nafsiyyah) dapat diperbaiki sampai pada
batas tertentu. Kalau tidak, maka para nabi tidak akan diperintahkan untuk
memperbaiki jiwa dan hukum-hukum Allah tidak akan berperan.
Sifat yang ada dalam tabiat manusia dan yang dengan perantaraannya
manusia mampu menunaikan tugas dengan mudah disebut dengan pembawaan
moral (malakah khuluqiyyah), baik yang terdapat dalam keutamaan
atau kehinaan. Manusia yang mempunyai sifat moral (sifah nafsaniyyah) dan
yang dengannya ia mampu melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan
sifat tersebut disebut dengan pemilik moral khusus, di mana moral (khuluq)
ini memandunya di jalan yang benar dan mengaturnya secara benar. Manusia
yang bermoral—melalui moral ini—melihat tujuan dengan cara yang benar
dan ia akan melangkah sesuai dengan arah tujuan yang tinggi itu.
Agama telah mengemukakan rencana-rencana dan program-program
yang efektif dan dalam. Namun, akhlak mempunyai tujuan-tujuan yang
berbeda sebagai dampak dari pelbagai pandangan falsafah dunia dan
pelbagai perbedaan yang cukup banyak antara tingkatan-tingkatan makrifat
(pengetahuan) yang beraneka ragam satu sama lain.
Bagian pertama: Manusia menjadikan tujuan-tujuan materi di balik
pengamalan akhlak yang mulia. Yakni, ia mempunyai tujuan-tujuan sosial
di balik keberadaannya sebagai orang yang alim, adil, pemberani, yang
bersikap qanaah, yang menjaga kehormatan, dll. Ia mengatakan: Faedah
ilmu adalah bahwa orang yang alim menikmati penghormatan khusus di
antara manusia, atau faedah berlaku adil adalah bahwa seseorang yang adil
menikmati penghormatan khusus di tengah-tengah masyarakat, atau faedah
p:159
orang yang bersikap qanaah adalah bahwa seseorang yang bersikap qanaah,
cenderung untuk memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, dll.
Maka, tujuan akhlak yang mulia bagi kelompok ini adalah bahwa manusia
yang memperhatikan keutamaan-keutamaan ini akan menjadi orang yang
terpandang di tengah-tengah masyarakat.
Demikianlah hukum moral pada aliran-aliran materi. Yang demikian
itu juga dipraktikkan oleh sebagian individu masyarakat biasa yang mana
mereka membekali diri dengan akhlak yang terpuji dengan maksud agar
mereka mendapatkna kehormatan khusus di tengah-tengah masyarakat dan
memiliki nama harum di mata masyarakat dan tercatat secara terhormat
dalam sejarah. Juga agar mereka mendapatkan kemuliaan di mata generasi
yang akan datang. Dengan cara dan jalan demikianlah, manusia berusaha
menjalankan akhlak yang mulia dan memilih jalan ini agar ia memperoleh
tujuan-tujuan sosial, materi, dan masa lalu (al-‘adiyah) yang indah.
Bagian kedua: Tujuan yang dikemukakan oleh Kitab-kitab Samawi dan
usaha para nabi terdahulu untuk menggapainya, serta menganjurkan manusia
untuk memperoleh kemuliaan akhlak. Mereka mengatakan: Apabila Anda
menjadi orang yang adil, orang yang bersikap qanaah, orang yang bekorban
di jalan keyakinan agama, orang yang menjaga kehormatan diri, orang
yang suci, orang yang jujur, dan orang yang takwa, maka Anda akan masuk
dalam surga dan jauh dari api neraka, dan menjalankan tugas-tugas agama
mengantarkanmu menuju akhlak yang terpuji, dan ketika Anda berhias dengan
akhlak yang baik, maka Anda akan menikmati surga.Terdapat beberapa dalil
(yang mendukung hal ini) dalam pernyataan-pernyataan para imam dan
usaha mereka dalam mendorong manusia untuk meraih surga dan menakut-nakuti
mereka dengan neraka melalui pengamalan akhlak yang mulia.
Bagian ketiga: tujuan yang dkemukakan oleh Al-Qur’an al-Karim
sebagai tujuan akhlak yang paling tinggi. Yaitu, hendaklah manusia
menggapai akhlak yang mulia bukan karena untuk memperoleh kedudukan
dan status sosial, dan bukan karena untuk mendapatkan kebanggaan dalam
sejarah, atau untuk menjadi orang yang terpandang di mata generasi yang
akan datang, dan bukan pula untuk menjadi orang yang terhormat di mata
masyarakat, dan begitu juga bukan untuk menikmati surga dan selamat dari
api neraka. Namun, akhlak yang terpuji dan keutamaan jiwa menyiapkan
manusia supaya ruhnya berada di tingkat yang lebih tinggi daripada sekadar
rindu kepada surga atau takut kepada neraka.
Ia (manusia tersebut) tidak berada pada batas suka dan takut, nikmat
dan derita. Tidak ada sesuatu pun yang menggembirakannya dan sebaliknya
p:160
tidak ada sesuatu pun yang menyakitinya. Ia tidak merasa nikmat dengan
sesuatu dan tidak pula merasa menderita dengan sesuatu, karena ruhnya
telah terbang tinggi sampai pada tingkat tidak akan kembali dikuasai oleh
sebab-sebab kegembiraan atau sebab-sebab kesusahan, dan meninggi ruhnya
sampai pada batas sebab-sebab kegembiraan tidak akan meninggalkan
pengaruh apa pun dalam hatinya atau sebab-sebab kesedihan menemukan
jalan untuk mempengaruhinya. Ruhnya mencapai derajat yang tinggi di
mana ia terlepas dari kekuasaan dan pengaruh sebab apa pun.
Manusia sempurna ini tidak saja mencapai akhlak yang utama
untuk mendapatkan penghormatan ditengah-tengah manusia atau untuk
memperoleh kedudukan dalam pentas sejarah. Bahkan lebih dari itu, ia
tidak melangkah satu langkah pun untuk mempraktikkan akhlak mulia
guna mendapatkan kemenangan dengan surga atau pelarian dari neraka,
melainkan karena ia ingin menjadi manifestasi dari sumber akhlak itu (Allah,
al-mabda’) yang terwujud di dalam-Nya seluruh keutaman-keutamaan
akhlak secara tidak terbatas dan tidak berakhir. Dia tidak memiliki batas
kecuali “batasan yang tidak terbatas”. Dia tidak memiliki hubungan
sehingga dengannya dapat dikenali (walaisa lahu ayyu ‘alaqah allahumma
illa annahu la ‘alamata lahu). Dan Al-Qur’an memberi tanda-tanda jalan ini
dan mengenalkannya bahwa ia adalah jalan yang istimewa (al-auhadi) yang
dilalui oleh para pejalan akhlak.
Terdapat beberapa contoh dari jalan kedua dan ketiga di dalam Al-
Qur’an al-karim. Adapun jalan pertama bukanlah termasuk jalan agama,
karena ia tidak sesuai dengan tauhid. Para nabi tidak datang untuk mendidik
jiwa serta pencapaian keutamaan akhlak dalam rangka memperoleh
penghormatan masyarakat di mana manusia yang berakhlak menjadi orang
yang terhormat di mata masyarakat atau menjadi mulia di mata sejarah
atau menjadi orang yang terpandang di masyarakat, melainkan mereka
melaksanakan tugas-tugas mereka di jalan Allah dan mereka mengetahui
bahwa ruh yang berjalan menuju Allah adalah ruh yang sempurna. Dan
mereka yang berpikir untuk memperoleh keuntungan dari materi,
masyarakat, dan sejarah pada hakikatnya tidak memiliki tujuan Ilahi.
Meskipun Allah menjadikan orang yang memiliki tujuan Ilahi
terhormat di tengah-tengah manusia, terpandang di mata sejarah, dan
sebagai bukti kebenaran (lisan sidqin), namun bukan berarti tujuan manusia
yang berakhlak utama tersebut guna menarik perhormatan manusia dan
memperoleh kedudukan terpandang di tengah-tengah masyarakat. Orang
yang melakukan kebaikan akan diberi karunia-karunia (althaf ) oleh Allah.
p:161
Dan sebagian dari karunia itu berapa kehormatan di tengah masyarakat dan
menjadikannya sebagai bukti kebenaran serta mendapatkan kemuliaan di
mata sejarah, dan lain-lain.
Kalau begitu, para nabi sama sekali tidak menerima jalan yang
pertama, yaitu seseorang yang beramal baik bertujuan untuk mendapatkan
penghormatan khusus di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tidak
sesuai dengan tauhid dan tidak sesuai juga dengan pendidikan jiwa dan
penyuciannya. Dikatakan tidak sesuai dengan tauhid karena menjadikan
selain Allah sebagai tujuan yang sangat bertentangan dengan tauhid Sistem
Akhir (al-mabda’ al-khai), dan dikatakan tidak sesuai dengan pendidikan dan
penyucian jiwa karena ruh yang bersifat non-materi (ar-ruh al-mujarradah)
dan ruh malâkut (ar-ruh al-malâkutiyah) tersibuk dengan salah satu masalah
materi dan kepemilikan. Ini adalah bentuk penyimpangan dan ini adalah
peringatan (ancaman) bagi jiwa, bukan pelatihan jiwa. Hal itu merupakan
penyibukan dengan masalah-masalah yang sepele bukan dengan masalah-masalah
yang tinggi (baca: sangat penting—Peny.).
Ada satu riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw. , bahwa beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang tinggi dan membenci
hal-hal yang rendah darinya”. Sesungguhnya Allah menyukai perkara-perkara
yang tinggi, keinginan-keinginan yang tinggi, pemikiran-pemikiran
yang tinggi, dan tujuan-tujuan yang tinggi; dan membenci keinginan-keinginan
yang rendah, pemikiran-pemikiran yang sederhana, dan tujuan-tujuan
murahan. Maka, jalan yang pertama adalah penyimpangan. Dapat
saja, seseorang yang berakhlak mulia mendapatkan kedudukan khusus dalam
sejarah atau di tengah-tengah manusia, tetapi jalan ini bukanlah jalan para
nabi, karena para nabi menyeru kepada Allah dan tujuan langsung mereka
adalah Allah. Allah-lah yang memberi mereka keberkahan-keberkahan
dan boleh jadi salah satu bentuk keberkahan ini adalah kehormatan dan
kemuliaan sosial di dunia.
Rasulullah berkata, “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata” (Q.S. Yusuf: 108). Dengan
demikian, dakwah yang dilakukan untuk selain Allah berarti jauh dari
bimbingan ajaran para nabi. Dan tujuan pokok dalam masalah-masalah
akhlak terdapat dalam jalan kedua dan ketiga. Manusia yang berakhlak
mulia bertujuan untuk mencapai kenikmatan surga dan menjauhi siksa
neraka, atau untuk mencapai suatu maqâm yang lebih tinggi daripada
sekadar pencapaian surga dan penjauhan dari neraka.
p:162
Penjelasan yang demikian ini kita temukan dari para imam di
mana mereka mengatakan: Ibadah itu ada tiga bagian: Suatu kaum yang
menyembah Allah, karena keinginan untuk memperoleh surga; suatu
kaum yang menyembah Allah, karena takut kepada neraka; dan suatu
kaum lagi, yang menyembah Allah untuk memperoleh pujian-Nya, cinta-
Nya, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, bukan didorong oleh
keinginan akan surga dan rasa takut akan neraka. Dan inilah ibadahnya
orang-orang yang bebas.(1)
Penjelasan ini tidak hanya terbatas pada masalah
ibadah, bahkan ia juga mencakup semua permasalahan akhlak. Pencapaian
keutamaan-keutamaan akhlak termasuk dari amal ibadah dan pencapaian
akhlak tidak dapat tidak dianggap ibadah. Pencapaian akhlak yang mulia
tidak akan berhasil tanpa muatan ibadah kepada Allah. Berdasarkan hal ini,
maka secara luas atau umum akhlak termasuk ibadah. Akan tetapi, ibadah
menurut makna istilah (memang) tidak sejalan dengan masalah-masalah
akhlak. Ringkasnya, pencapaian akhlak menurut Islam mempunyai dua jalan.
Jalan pertama, hendaklah tujuan akhlak dan pembekalan (diri) dengan
akhlak mulia adalah untuk memperoleh kenikmatan di surga dan upaya
pelarian dari neraka.
Jalan kedua, hendaklah tujuan akhlak adalah untuk meraih maqâm
‘cinta Allah’ dan ‘pertemuan dengan Allah’. Yakni, naik ke tingkat yang
lebih tinggi daripada sekadar keinganan menikmati suga dan rasa takut dari
neraka, serta sama sekali tidak berpikir tentang diri sendiri, kenikmatan, dan
kesedihan; juga tidak berpikir tentang kegembiraan dan kegelisahan. Suatu
pencapaian ke tingkat yang tinggi di mana kesedihan dan kegembiraan
tidak memiliki jalan (untuk mempengaruhinya), ke suatu tempat di mana
manusia merasa bebas di dalamnya dari kekuasaan dan pengaruh kesedihan
dan kegembiraan. Orang yang mencapai tingkat tinggi (al-auhadi) dari
kalangan manusia adalah orang yang berakhlak dengan akhlak yang baik
untuk tujuan ini. Dan orang yang mencapai kedudukan tinggi tersebut (alauhadi)
adalah orang yang menapaki tujuan(jalan) ini.
Al-Qur’an al-Karim mempunyai beberapa contoh dan dalil-dalil
yang menunjukkan dua jalan tersebut. Dalam surah Taubah dikatakan,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (Q.S. at-Taubah: 111). Pada
saat Allah memiliki ruh kita, begitu juga Dia memiliki harta kita, rahmat-
Nya diturunkan dengan suatu ketentuan, untuk mengadakan transaksi
perdagangan bersama kita lalu mengatakan: Juallah harta kalian ke jalan
p:163
Allah dan ambillah keuntungannya darinya, dan juallah nyawa kalian yang
merupakan milik Allah kepada Allah dan ambillah surga sebagai gantinya.
Apakah nyawa kita dan harta kita adalah milik kita? Yakni, apakah manusia
merasa memilki nyawanya dan hartanya di hadapan Allah? Sama sekali tidak.
Manusia tidak memiliki apa pun di hadapan Allah. Dia berfirman, “Siapalah
yang memiliki pendengaran dan penglihatan” (Q.S. Yunus: 31). Itulah Allah
yang memiliki telinga kalian dan mata kalian, dan Dialah yang “Siapakah
yang memperkenalkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan” (Q.S. An-Naml: 42). Yakni,
hanya Dia yang memiliki kekuasaan untuk mengabulkan (doa) orang yang
kepepet, tidak ada selain-Nya. Mata kita dan telinga kita adalah milik-Nya.
Oleh karena itu, terkadang Allah tidak memberi izin (siapa pun) untuk
menutup mata manusia mati yang terbuka. Dan jika tidak terdapat sesuatu
yang dapat menutup matanya, maka mayat ini memiliki pandangan yang
menakutkan dan buruk sekali. Maka, manusia sama sekali tidak memiliki
mata dan telinganya. Semua wujud adalah milik Allah. Alhasil, bahwa
rahmat-Nya yang luas mengharuskan untuk membeli dari kita apa yang
dimiliki-Nya untuk memberi kita surga. Demikianlah pengertian yang
dikatakan bahwa manusia tidak memiliki apa pun di hadapan Allah, dan
dalil hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Allah kepada Rasul-Nya dalam
surah Yunus, “Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan
dan tidak (pula) kemanfaatan bagi diriku’” (Q.S. Yunus: 49). Maka, manusia
tidak memiliki apa pun.
Ada pernyataan dari Amirul Mukminin a.s. tentang tafsir firman-
Nya Swt “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan
kembali’, (Q.S. Al-Baqarah: 156). Beliau berkata, “Sesungguhnya kita milik
Allah adalah pengakuan tentang kepemilikan, dan kepada-Nya kita akan
kembali adalah pengakuan tentang kehancuran (kematian)”.(1) Apa yang kita
katakan “Kita adalah milik Allah” ialah kita mengakui bahwa kita milik Allah
dan semua wujud kita adalah milik-Nya, ”dan kepada-Nya kita akan kembali”
ialah sebuah pengakuan dan ikrar akan kehancuran (kematian). Maka, kita
akan binasa (mati) dan akan kembali kepada-Nya.
Dengan demikian, tidak ada seorangpun yang memiliki sesuatu. Adapun
maksud yang dikatakan oleh nabi Musa al-Kalim kepada Allah: “Aku
tidak memiliki kecuali diriku dan saudaraku” (Q.S. Al-Maidah: 25), hal itu
(berkenaan dengan) amal-amal yang (bertautan) dengan hukum (al-a’aml
at-tasyri’iyyah) dan ikhtiar, (tapi) tidak (bertalian) dengan penciptaan (at-
p:164
takwiniyyah). Yakni, beliau berkata kepada Allah Swt: Sesungguhnya aku
tidak memiliki apa pun kecuali diriku dalam penerimaan agama, dan
dengan ikhtiar yang Engkau berikan kepadaku ini, aku dapat memilih
agama-Mu dan menerimanya, dan saudaraku juga memiliki dirinya, “Aku
tidak memiliki kecuali diriku dan saudaraku”. Maka, sesungguhnya aku
tidak memiliki ikhtiar seorangpun kecuali ikhtiar diriku sendiri, begitu juga
saudaraku tidak memiliki ikhtiar seorangpun kecuali ikhtiar dirinya sendiri.
Aku merasa aman dengan ikhtiar (pilihan)ku dan begitu juga saudaraku,
dan kami tidak memiliki ikhtiar seorang pun selain ikhtiar yang aku miliki
dan ikhtiar yang dimiliki saudaraku—“Aku tidak memiliki kecuali diriku
dan saudaraku”. Maksudnya bukan hanya memiliki diriku dan saudaraku.
Tidak demikian, manusia secara takwini (penciptaan) tidak dapat memiliki
dirinya, maka bagai mana dia akan memiliki saudaranya? Sedangkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan hukum (tasyri’i) dan tugas agama (taklif )
maka semua manusia memiliki ikhtiarnya. Maka, saudaraku memiliki
ikhtiarnya(sendiri), bukan orang lain. Begitu juga aku memiliki ikhtiarku,
bukan orang lain.
Dengan demikain, menjadi jelas perbedaan antara apa yang dikatakan
Musa al-Kalim dengan apa yang dikatakan Allah Swt kepada Rasul-Nya,
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak(pula)
kemanfaatan kepada diriku’” (Q.S. Yunus: 49). Di dalam masalah-masalah
tasyri’i, Musa menyeru Allah Swt sembari mengatakan: Saya hanya memiliki
ikhtiarku dalam menerima dakwah (agama—Peny.)mu dan saudaraku juga
memiliki ihtiarnya saja, yang demikian ini dalam masalah syariat (‘alam attasyri’).
Adapun dalam masalah takwini, tidak ada seorang pun yang memiliki
sesuatu pun, sungguh aku tidak memiliki kecuali diriku dan saudaraku juga
tidak memiliki kecuali dirinya. Maka, rahmat Allah adalah sangat luas sekali
sampai pada batas: Dia membeli dari kita apa yang sebenarnya dimiliki-Nya.
Dia membeli jiwa kita yang sebenarnya adalah milik-Nya. Allah berfirman,
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-
Nya kepadamu” (Q.S. An-Nur: 33). Dia membeli harta kita yang (Sebenarnya)
adalah milik-Nya. Al-Qur’an mengenalkan sikap mementingkan orang lain
ini (itsar) sebagai hubungan timbal-balik perniagaan (tabadul tijari)¸ Dia
berkata kepada manusia: Juallah dirimu dan jiwamu untuk Allah. Kamu
adalah penjual dan Allah adalah pembeli. Dan setiap yang menjual hartanya
dan jiwanya kepada Allah, maka saat itu dia tidak menjadi pemilik bagi
hartanya dan jiwanya serta tidak dapat membelanjakan hartanya dan
p:165
jiwanya tanpa izin Pembeli, yaitu “Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga” (Q.S.
at-Taubah: 111) sebagai ganti barang (yang berupa) jiwa dan harta, Dia
memberi manusia surga.
Dan keutamaan jihad yang termasuk salah satu keutamaan akhlak adalah
untuk mencapai surga. Keberanian termasuk salah satu kemuliaan akhlak,
dan tujuan keutamaan akhlak adalah untuk mencapai surga. Ketika manusia
menjual hartanya dan jiwanya untuk Allah, maka dia harus memperlakukan
jiwanya dan hartanya sesuai dengan perintah-perintah Ilahi, demikianlah
yang diperintahkan oleh Allah Swt, “Mereka berperang di jalan Allah, lalu
mereka membunuh atau terbunuh” (Q.S. at-Taubah: 111). Mereka membunuh
atau terbunuh lalu menjadi syuhada, “(Itu telah menjadi) janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an” (Q.S. at-Taubah: 111).
Demikianlah janji yang diberikan Allah, dan janji ini ditetapkan di
dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan tidak
ada seorang pun yang lebih menepati janji selain Allah—“Dan siapakah
yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual
beli yang telah kamu lakukan itu” (Q.S. at-Taubah: 111). Dan jual-beli yang
berasal dari kalian ini merupakan berita gembira bagi kalian, “Dan itu adalah
kemenangan yang besar” (Q.S. at-Taubah: 111). Meminjam ungkapan Ustaz
Allamah Thabathaba’i (semoga rida Allah tercurah kepada beliau): Anda
dapat memperhatikan enam perkara penting dalam jual-beli:
(i) Penentuan penjual.
(ii) Penentuan pembeli
(iii)Penentuan barang
(v) Penentuan harga
(vi) Pencatatan muamalah
(vii)Saksi-saksi adil
Keenam masalah di atas sangat diperhatikan dalam muamalah pernia
gaan yang penting dan dalam muamalah perdagangan antara hamba
(manusia ) dan Tuhan (Allah).
Penjual: seorang mukmin; pembeli : Allah; barang: jiwa dan harta;
harga: surga; pencatatan akad muamalah: Taurat, Injil, dan Al-Qur’an;
para saksi: para nabi yang datang membawa Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.
Sandaran akad dan muamalah ini adalah ayat yang tersebut dalam surah
at-Taubah yang menganjurkan untuk menghidupkan dan melatih jiwa
melalui keutamaan-keutamaan akhlak dengan cara berusaha mencapai surga
p:166
dari jalan ini. Dan janji-janji Ilahi juga disebutkan pada bagian-bagian lain
seperti(yang terdapat) dalam surah Az-Zumar, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-
Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu’. Orang-orang
yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah
itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (Q.S. Az-Zumar: 10). Perbincangan
dalam ayat tersebut seputar pahala, pada saat seseorang beramal untuk
dirinya, maka sebagai ganti dari amalnya dia akan mendapatkan pahala dari
Allah. Ungkapan-ungkapan demikian banyak terdapat dalam Al-Qur’an al-
Karim, seperti dijelaskan bahwa orang yang berakhlak dengan akhlak yang
bagus, maka tempatnya berada di surga—“Mereka mewarisi (surga) Firdaus”
(Q.S. Al-Mukminun: 11). Sementara, apabila dia terpolusi dengan moral
yang bobrok, maka Jahanam siap menunggunya. Terdapat cukup banyak
ayat dan riwayat yang memperbincangkan bagian pelatihan dan penyucian
jiwa ini, dan ia mempunyai peranan yang efektif dalam mendidik dan
membentuk jiwa di tengah-tengah masyarakat awam.
Adapun jalan ketiga dalam memperoleh keutamaan-keutamaan
akhlak adalah bahwa manusia sampai pada tingkatan dimana masalah ini
terpecahkan baginya, tidak ada perbedaan antara penjualan dan pembelian,
manusia tidak memiliki sesuatu pun dari dirinya untuk dijual kepada Allah.
Apabila dia pemberani dan berjuang di jalan Allah, maka yang demikian
itu bukan berarti untuk mengharap surga sebagai ganti dari pengorbanan
jiwanya, dia tidak memiliki jiwa yang dapat diberikannya lalu dia memperoleh
surga sebagai ganti darinya, karena dia tidak memiliki apa pun, “Dan tidak
kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula
untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan dan (juga) tidak kuasa mematikan,
menghidupkan, dan tidak (pula) membangkitkan” (Q.S. Al-Furqan: 3).
Makhluk yang berisfat mungkin (wujud imkani) baik patung atau
selainnya tidak memiliki apa pun. Tema ini telah dianggap selesai bagi
manusia yang telah sampai ke maqam yang tinggi itu, dia (menyadari)
bahwa dia tidak memilki apa pun yang dapat diberikannya kepada Allah
lalu memperoleh harga surga sebagai gantinya. Ketika dia sampai ke
derajat yang tinggi ini sesuai dengan ayat yang terdapat dalam surah an-
Nahl, “Apa saja yang kalian peroleh dari kenikmatan (pada hakikatnya)
dari Allah”, (Q.S. an-Nahl: 53), maka masalah ini terpecahkan baginya.
Dengan demikian nikmat spiritual (ni’maturruh), nikmat pengenalan atas
keutamaan-keutamaan akhlak, nikmat pencapai keutaman akhlak, nikmat
berakhlak dengan akhlak yang benar(al-haq, Allah), semuanya dari
p:167
Allah. Manusia tidak memiliki apapun untuk dapat diberikan kepada Allah
sehingga dia tidak dapat memperoleh sesuatu sebagai ganti dari amalnya
itu. Dia tidak mengamalkan suatu amalan yang manfaatnya kembali kepada
Allah, sehingga karenanya dia berhak memperolah upah (pahala).
Ungkapan jual-beli dan upah adalah untuk kalangan masyarakat
awam yang mana (peringkat) iman mereka sedang-sedang saja. Mereka
hanya mencapai suatu peringkat di mana mereka tidak akan meneruskan
perjalanan kecuali melalui jual-beli dan diiming-imingi dengan upah.
Mereka berada di tingkatan di mana mereka akan mengatakan; kami telah
bekerja dan kami ingin upah atas mencapai maqâm tertinggi (al-auhadi)
ketika mereka sampai di derajat tertentu, maka masalah itu akan terpecahkan
baginya. Dia menyadari bahwa dia bukan pemilik sesuatu pun, dia
tidak lain kecuali tempat penuangan kasih Allah (mahallu faidh) dan
bukanlah Sumber asal atas hal itu. Apabila jelas baginya bahwa dia tidak
ada lain kecuali tempat berlalunya karunia dan bukan Pencipta karunia, dan
apabila jelas baginya bahwa dia tidak melakukan apa pun kecuali sebagai
tempat berjalannya rahmat saja, dan apabila dia mencerna dengan baik
bahwa dia tidak berjuang, namun diam dijadikan jalan untuk menolong
agama, dan apabila jelas baginya secara sempurna bahwa dia bukan pekerja,
tetapi sebagai tempat lewatnya dan sebagai kesinambungan pekerjaan Yang
Maha Benar (al-haq), maka dia tidak akan menjual apapun sehingga dia
akan memperoleh upah sebagai ganti darinya. Dia sadar bahwa dia tidak
mengerjakan apapun sehingga tidak akan menuntut upah kepada Allah.
Orang seperti itu kedudukannya lebih tinggi daripada sekadar
keinginan untuk memperoleh kenikmatan surga, bahkan surga pada
hakikatnya diciptakan untuknya dan dia akan sampai pada derajat sebagai
“pembagi surga dan neraka” (qâsimul jannah wannar). Dia akan sampai pada
derajat di mana pembagian surga dan neraka bergantung loyalitas kepadanya.
Orang itu seperti Ali bin Abi Thalib a.s. yang mana kecintaan kepadanya
menjadi sebab pembagian surga dan neraka. Orang itu seperti Imam Husain
bin Ali a.s. yang mana persahabatan dan permusuhan kepadanya sebagai
barometer untuk memperoleh surga maupun neraka. Dan orang itu seperti
Imam Mahdi (nyawa kita menjadi tebusannya) yang mana beliau sampai
pada derajat di mana surga dan neraka dibagikan dan dihargai karenanya.
Ada suatu pernyataan dari almarhum Ibn Babaweh al-Qummi (semoga
Allah meridainya) dalam kitab ‘ma’ani al-Akhbar’: Ketika salah seorang
murid Imam Shadiq a.s. bertanya kepada beliau, “Mengapa Rasulullah Saw.
dijuluki dengan Abul Qasim?” Beliau menjawab, “Rasulullah mempunyai
p:168
anak lelaki yang bernama Qasim, karenanya beliau dijuluki dengan Abul
Qasim”.
Penanya itu melanjutkan, “Saya mau belajar darimu makna yang lebih
dalam dari sekadar julukan ini”. Beliau berkata, “Bukankah Ali bin Abi Thalib
a.s. murid yang sangat loyal kepada Rasulullah?” (dalam Nahjul Balaghah
disebutkan bahwa Amirul Mukminin berkata, “Rasulullah mengasuhku sejak
aku masih kecil, dan aku tumbuh di pangkuannya, aku telah mencium bau
semerbak badannya, beliau mengunyah sesuap makanan lalu menyuapkannya
kepadaku, dan aku telah tumbuh di pangkuan Islam”. Kemudian beliau
melanjutkan, “Bukankah murid adalah anak guru dan guru adalah ayah
si murid?” (Dan hak pengajaran tidak lebih rendah dari hak melahirkan).
Ketika Hakim Ilahi ditanya tentang apakah hubunganya lebih erat
dengan ayahnya atau dengan ustaznya, dia menjawab, “Dengan ustazku,
karena ayahku membawaku dari alam yang tinggi menuju alam bumi
(alam rendah), tetapi ustazku membawaku dari alam bumi menuju alam
tinggi (alam langit). Atas dasar inilah, maka kedudukan nabi sama dengan
kedudukan ayah bagi Ali bin Abi Thalib. Surga dan neraka didistribusikan
atas dasar kesetiaan kepadanya. Maka, cinta kepadanya, mengikuti
langkahnya dan ketaatan mengikuti kepemimpinanya merupakan tolok
ukur untuk keberangkatan menuju surga, sedangkan permusuhan padanya
dan kebencian padanya merupakan tanda keberangkatan menuju neraka.
Beliau adalah timbangan dan tolok ukur bagi pembagian surga dan neraka.
Dalam Nahjul Balaghah disebutkan bahwa beliau pernah berkata
kepada seseorang yang mulai melenceng dari jalur agama, “Sungguh aku
akan memenggalmu dengan pedangku yang tidak ada seorangpun yang
aku pukul dengannya kecuali dia akan masuk ke dalam neraka”.(1) Maka,
setiap orang yang terbunuh dengan pedang Ali, dia pasti termasuk penghuni
neraka. Ali berkata, “Sungguh Aku akan memenggalmu dengan pedangku
yang tidak ada seorangpun yang aku pukul dengannya kecuali dia akan
masuk ke dalam neraka”, maka atas dasar ini, Ali bin Abi Thalib adalah murid
Nabi, dan murid adalah anak ustaz. Kalau begitu, Ali bin AbiThalib adalah
putra Nabi. Selain itu, Ali bin Abi Thalib adalah pembagi surga dan neraka
(qâsimul jannah wan nar), maka atas dasar ini, Nabi adalah Abul Qasim.
Manusia yang berhasil mencapai keutamaan-keutamaan akhlak tidak
hanya berada di peringkat yang (hanya) mengurusi pembagian surga dan
neraka, bahkan (mencapai peringkat) yang lebih tinggi (dari sekadar)
mengurusi (masalah tersebut). Maka, Rasulullah Saw. peringkatnya lebih
p:169
daripada sekadar mengurusi masalah tersebut. Demikian juga Ali bin Abi
Thalib, semuanya dapat mencapai makam tertinggi (al-maqâm al-a’ala) di
mana “mereka semua dari satu cahaya”. Di dalam Al-Qur’an terdapat isyarat
terhadap jalan ketika ini, ketika ia mengutarakan keutamaan-keutamaan
akhlak. Ia berkata kepada manusia: Apabila Anda mau memperoleh keutamaan-keutamaan
akhlak karena seseorang atau karena sesuatu maka ketahuilah
bahwa “dan milik Allah kerajaan langit dan bumi” (Q.S. Al-Fath: 14). Mengapa
tujuanmu tidak lebih tinggi dari (sekadar kenikmatan) surga dan neraka?
Dan jika untuk memperoleh kemuliaan, maka ketahuilah bahwa kemuliaan
itu tidak ada di makhluk manapun selain Allah—“Sesungguhnya kemuliaan
itu semuanya bagi Allah” (Q.S. an-Nisa’: 39). Dengan demikian, manusia
harus beramal untuk Allah. Dan apabila dia mengharap untuk memperoleh
kekuatan, “Sungguh kekuatan itu semua bagi Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 165)
dan manusia tidak akan mampu untuk memperoleh keutamaan akhlak
untuk mencapai kekuatan karena “Sungguh kekuatan itu semua bagi Allah”.
Dengan demikian, manusia tersebut tidak berusaha untuk memperoleh
akhlak dengan tujuan mendapat kemuliaan dan para nabi tidak datang untuk
menyucikan dan mendidik jiwa manusia karena tujuan untuk mendapat
kekuatan dan tidak juga pendidikan jiwa mereka melalui jalan pertama,
yaitu jalan yang biasa dan jalan materi semata, namun pendidikan jiwa
boleh jadi dengan jalan kedua yang bermanfaat bagi kalangan awam atau
jalan ketiga yang menjadi bagian manusia yang mempunyai makam tinggi
(al-auhadi), yaitu orang-orang yang berakhlak dengan akhlak Allah karena
mereka berusaha menjadi manifestasi dari asma al-husna lil haq (nama-nama
Tuhan yang baik) dan menjadi manifestasi dari nama-nama Allah yang
tertinggi, yang mana surga dan neraka pun bersumber darinya, dan dari sana
juga berasal cinta dan benci, dan kesetiaan dan permusuhan juga bersumber
dari sana, sebagaimana kedekatan dan kejauhan juga diperoleh dari sana.
p:170
p:171
p:172
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Sebagaimana Al-Qur’an al-Karim telah memberi perhatian yang
cukup besar dalam masalah tauhid dan pengenalan tentang Sumber wujud
(mabda’ al-wujud) dan mamaparkan kajian-kajian argumentatif atas hal itu,
maka ia juga memberi perhatian yang sama terhadap tema Hari Kemudian
(al-ma’ad) dan akhir dari alam wujud. Terdapat cukup banyak ayat dalam
masalah penting ini yang membahas secara luas dan dari pelbagai dimensi.
Salah satu dampak yang menonjol dan indikasi penting dari Hari
Kiamat adalah penyingkapan kebenaran (zhuhurul haq). Hari itu adalah hari
kebenaran, tidak ada satu pun dari kebatilan yang akan mampu menerobos
di jalan hari itu. Tidak ada keyakinan apa pun tentang kebatilan; tidak ada
asumsi dan fantasi kebatilan; tidak ada pula pengamalan kebatilan, baik
di tingkat individu mapun kolektif, tidak juga di internal individu atau
di eksternal individu. Suatu alam di mana kebenaran di dalamnya akan
tersingkap secara sempurna, “Itulah hari yang benar” (Q.S. an-Naba’: 39)
dan tidak ada kebatilan, karena kebatilan tidak memiliki dasar (ashl), maka ia
rentan terhadap kehancuran, adapun karena kebenaran memiliki landasan,
maka ia kokoh dan tidak rentan terhadap kehancuran.
Al-Qur’an al-Karim telah mengenalkan Hari Kiamat sebagai hari
penyingkapan kebenaran dan tidak ada tempat bagi kebatilan di dalamnya,
yaitu bahwa akan terjadi proses desak-desakan (tazahum) dan persinggungan
(tashadum) di kawasan gerakan dan bidangnya. Manusia secara alami
(thabiah) dapat saja bergerak di jalan yang lurus dan dapat juga menyimpang
darinya. Oleh karena itu, dia harus diuji, sehingga sampai melalui proses
pengujian tersebut kepada kesempurnaan. Dan hal itu akan manampakkan
sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya.
Sesungguhnya gerakan di alam materi terjadi secara umum. Seluruh
wujud alam materi memiliki mobilitas tinggi (fi halah sailan). Maka,
persingunggannya, benturannya, tertimpa bahaya, dan kehancuran yang
dideritanya adalah suatu keharusan. Di jalan ini terdapat kebatilan, baik
sedikit maupun banyak. Ketika yang bergerak tidak mampu mencapai
tujuan karena benturannya dengan suatu penghalang, maka nanti dia akan
mandek. Dan agar manusia dapat diuji dengan benar, maka jalan peresapan
p:173
dibiarkan terbuka agar jelas dalam ujian tersebut siapa yang berada di jalan
yang lurus dan siapa yang tidak.
Atas dasar ini, maka kebenaran dan kebatilan bercampur aduk di
dalam gerakan (‘alam al-harakah) dan pada setiap tempat terdapat kaidah
(keyakinan) yang benar sekaligus terdapat akidah yang batil. Pada setiap
tempat terdapat asumsi dan bayangan kebenaran, tetapi fantasi dan bayangan
kebatilan juga terdapat. Pada setiap tempat tedapat perbuatan yang benar,
namun terdapat juga perbuatan yang batil. Pada setiap tempat, manusia yang
bergerak (al-mutaharrik) akan mencapai tujuannya dan akan memperoleh
apa yang diharapkannya dan apa yang dicarinya, namun terdapat juga
kegagalan dari apa yang diharapkannya. Kendati jumlah kegagalan lebih
sedikt ketimbang kesuksesan dan kehancuran serta keburukan lebih sedikit
daripada kemaslahatan dan kebaikan, namun ini semua (harus) ada di
kawasan alam materi, gerakan, dan alam fisik. Agar gerakan-gerakan ini
mencapai puncaknya, agar benda-benda yang bergerak ini menggapai
tujuan-tujuannya, dan usaha-usaha dan kerja keras ini juga bukan berarti
tidak membuahkan apa pun, maka harus ada suatu alam di mana kafilah
pergerakan (qafilah al-harakah) ketika berhasil mencapai alam itu, ia akan
menjadi kokoh(tenang) dengan perolehan tujuan itu.
Begitu juga, harus ada suatu alam yang dapat menjaga kafilah
pergerakan—ketika mencapai alam itu—dari bahaya takhalluf dan ikhtilaf
dan terjaga dari kesamaran antara hak dan batil. Dan hendaklah pada Hari
itu terdapat hukum yang adil sampai pada batas. Di dalamnya akhir segala
bentuk perbedaan (takhallufat) dan pertentangan (ikhtilafat) diputuskan
secara permanen.
Dan akan nampak jelas akidah yang benar di antara akidah-akidah lain,
dan harapan dan angan-angan yang benar di antara harapan-harapan yang
lain, dan bayangan dan asumsi yang benar di antara asumsi-asumsi yang lain,
dan perbuatan dan tindakan yang benar di antara perbuatan dan tindakan
yang lain. Dan akan diketahui masalah yang benar di antara masalah-masalah
yang berhubungan dengan masyarakat manusia, dan seterusnya. Oleh karena
itu, al-Qur’an al-Karim mengenalkan masalah Hari Kemudian sebagai hari
Kebenaran. Pada hari itu, Allah akan memanifestasi sebagai nama kebenaran
(ism al-haq) dengan suatu manifestasi tidak ada jalan bagi kesalahan di
dalamnya. Maka, kebenaran akan nampak jelas bagi setiap manusia,
sebagaimana kebenaran-Nya (Allah—Peny.) juga akan nampak jelas pada hari
itu serta akan menjadi kokoh, “Itulah hari yang benar” (Q.S. an-Naba’: 39).
p:174
Oleh karena perwujudan janji seperti ini harus dan telah ditetapkan,
maka Al-Qur’an berkata tentang Hari Kiamat bahwa di dalamnya tidak
terdapat sedikit pun keraguan—“Dan sesungguhya Hari Kiamat, tidak ada
keraguan di dalamnya” (Q.S. Al-Kahfi: 21). Tidak ada keraguan tentang
dasar terjadinya hari itu dan tidak ada keraguan juga tentang apa yang akan
terjadi pada Hari itu. Maka, tidak ada kesangsian tentang keberadaannya,
apakah ia ada atau tidak. Tidak ada pada Hari itu sedikit pun keraguan.
Keraguan tidak akan tersisa pada seseorang di hari itu, maka segala sesuatu
akan nampak jelas. Sesungguhnya terjadinya keraguan adalah karena
terdapat kebatilan dan kebenaran dan adanya hal yang diragukan di antara
keduanya, apakah ia temasuk bagian kebenaran ataukah termasuk bagian
kebatilan. Akan tetapi, ketika tidak ada jalan bagi kebatilan pada Hari itu,
maka dengan apa kebenaran akan menjadi samar?
Tidak ada orang asing sehingga manusia menjadi ragu karena orang
yang tidak dikenal itu. Kapan saja terdapat keraguan dan kesamaran, maka
harus ada dua hal yang berlawanan sebagai hal yang dianggap sama penting,
sehingga manusia menjadi ragu pada orang yang meragukan itu apakah ia
temasuk bagian dari ini atau bagian dari itu. Namun, apabila tidak terdapat
selain satu saja dan tidak ada sesuatu pun selainnya, dan hanya satu model
(mishdaq) dan tidak ada model lainnya, dan hanya satu dasar (ashl) dan tidak
ada dasar lainnya, maka juga tidak ada tempat bagi kesalahan dan keraguan.
Tidak akan terjadi kesamaran kecuali karena adanya seseorang yang
tidak dikenal yang diragukan, apakah dia temasuk bagian ini ataukah termasuk
bagian itu. Akan tetapi, ketika tidak terdapat dua bagian di hadapan kita,
maka tidak ada sesuatu pun yang meragukan. Ketika tidak ada kebatilan
di dalam itu, maka hal yang meragukan juga tidak ada wujudnya. Ketika
tidak ada perselisihan (khilaf ), maka kesalahan juga tidak ada. Ketika tidak
ada kebohongan, maka penentuan kesalahan antara yang benar dan yang
dusta juga tidak ada. Oleh karena itu, “Tidak ada keraguan di dalamnya”,
tidak ada dasar terjadinya keraguan di dalamnya dan tidak ada tempat bagi
keraguan pada Hari itu. Hari itu tidak ada tempat bergantung bagi keraguan
dan tidak ada tempat sedikitpun baginya. Hari penyingkapan kebenaran
Alam itu dinamakan al-yaum dan sebagian besar ayat-ayat yang disebutkan
Al-Qur’an dengan kata yaum dan hari itu (yaumaidzin) kembali ke Hari
Kiamat, kecuali di beberapa tempat (ayat) saja. Maka, kiamat adalah hari
yang tidak ada malam di dalamnya, dan (hari) penyingkapan yang tidak ada
keraguan di dalamnya, “Itulah hari yang benar”.
p:175
Atas dasar ini, jika alam itu adalah alam kebenaran, maka semua dasar,
sendi, dan garis di alam itu adalah sesuatu yang benar. Apabila terdapat
timbangan pada Hari Kiamat, sebagaimana yang mereka katakan, maka
kebenaran adalah timbanganya. Yakni bahwa pemikiran, keyakinan(akidah),
dan perbuatan ditimbang dengan kebenaran. Apabila dikatakan bahwa pada
Hari Kiamat terdapat jembatan (shirat) penyeberangan menuju surga, maka
jembatan itu adalah suatu kebenaran. Apabila dikatakan bahwa pada Hari
Kiamat terdapat hisab, maka hisab itu adalah suatu kebenaran.
Apabila dikatakan bahwa pada Hari Kiamat terdapat surga dan
neraka, maka surga dan neraka adalah suatu kebenaran. Dan kebatilan
tidak memiliki jalan(sedikit pun yang dapat mempengaruhi) salah satu
dari masalah-masalah yang berhubungan dengan kiamat ini. Ia merupakan
contoh-contoh kebenaran dan tempat berlalunya kebenaran dan pelbagai
manifestasi kebenaran. Apabila Allah telah berfirman “Dan timbangan dihari
itu adalah kebenaran” (Q.S. Al-A’raf: 8). Maka hal itu melihat ke makna ini,
bukan hanya di kiamat terdapat timbangan dan takaran. Namun, timbangan
kiamat berarti bahwa pembagian timbangan tersebut adalah sesuatu
yang benar, ditimbang dengan kebenaran, keyakinan ditimbang dengan
kebenaran, dan hakikat segala sesuatu ditimbang dengan kebenaran—“Dan
timbangan pada Hari itu adalah kebenaran”. Bukan “timbangan pada Hari itu
benar” bukan (hanya) terdapat timbangan dan takaran, namun kebenaran
(al-haq) dijadikan timbangan pada Hari itu. Dan bagian penimbangan pada
Hari itu memang benar.
Perbuatan dan amalan manusia ditimbang dengan kebenaran. Apabila
amal yang terwujud (al-mutahaqqaq) memiliki bobot kebenaran, maka ia
menjadi berat, dan apabila amal itu batil yang tidak berbobot, maka ia akan
menjadi ringan. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatakan bahwa setiap orang
yang timbangannya berat pada Hari Kiamat, maka ia termasuk kelompok
orang-orang yang bahagia, dan setiap orang yang timbanganmya ringan,
maka ia celaka dan tersiksa di neraka.
Timbangan pada Hari itu adalah kebenaran, yakni bahwa hakikat
manusia, keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya ditimbang dengan
kebenaran. Adapun orang kafir itu yang mana ruhnya sia-sia dan gelap
sehingga tidak ada akidah yang benar dan harapan kebenaran serta amal
yang benar pada setiap aspek dari aspek-aspek kehidupannya, maka ia tidak
dikenakan timbangan pada Hari Kiamat, timbangan tidak berlaku padanya,
ia tidak ditimbang begitu juga amalannya. Al-Qur’an berkata, “Kami tidak
akan memberlakukan penimbangan kepada mereka pada Hari Kiamat” (Q.S.
p:176
Al-Kahfi: 105). Bagian timbangan yang benar tidak akan diberlakukan
terhadap orang-orang kafir, karena orang kafir tidak memiliki sesuatu
yang dapat ditimbang. Barang yang kosong tidak akan ditimbang. Orang
kafir tidak mempunyai akidah, iman, dan amal saleh. Oleh karena itu, ia
dikatakan tidak memiliki apa pun yang dapat ditimbang bersama timbangan
yang berupa kebenaran.
Ketika manusia menimbang barang-barnag biasa, ia meletakkannya
di salah satu daun neraca dan meletakkan benda yang ditimbang tersebut
di daun neraca yang lain supaya jelas kadar timbangannya. Jika sesuatu
memang pada dasarnya tidak memiliki bobot, maka neraca timbagan tidak
akan diletakkan di daun neraca yang lain. Apabila Al-Qur’an mengatakan:
Sesungguhnya kami menghitung seluruh atom perbuatan dan kami akan
menimbangnya, yang demikian ini tertuju kepada manusia yang bertauhid
dan yang memperoleh petunjuk. Namun, orang kafir itu yang melawan
kebenaran dan yang tidak memiliki petunjuk, maka yang melawan
kebenaran dan yang tidak memiliki petunjuk, maka “hati mereka kosong”
(Q.S. Ibrahim: 43). Hati dan sanubari mereka kosong dan “Amalan-amalan
mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang
berangin kencang” (Q.S. Ibrahim: 18) juga “laksana fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga” (Q.S. an-Nur:
39). Ilmunya bak fatamorgana dan hatinya juga kosong, maka fatamorgana
tidak akan ditimbang, begitu juga tempat yang kosong. Apabila mereka igin
menimbang bobot ruhnya, maka mereka akan mendapatkan hatinya kosong,
dan apabila mereka ingin menimbang timbangan yang berupa fatamorgana
juga untuk menimbang perbuatan-perbuatannya yang fatamorgana, karena
timbangan Hari Kiamat berupa kebenaran dan tidak ada fatamorgana. Oleh
karena itu, tidak perlu menimbang amal-amalnya yang fatamorgana.
Manusia tidak dapat menimbang fatamorgana dengan timbangan
air. Apabila kita mampu membandingkan volume air, tekanan air, kadar
air, derajat panas, dan dingin air, maka timbangan ini tidak memberi
manfaat bagi kita untuk menimbang fatamorgana karena fatamorgana tidak
mempunyai volume, kadar, panas, dingin, dan seterusnya. Apabila dalam
perumpamaan (tamsil) terdapat kadar, maka itu adalah kadar yang bersifat
fatamorgana. Oleh karena itu, fatamorgana tidak mempunyai timbangan.
Orang-orang kafir dan para penentang kebenaran pada Hari Kiamat tidak
mempunyai timbangan karena mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat
ditimbang. Al-Qur’an berkata: apabila amal dan perangai, meski sebesar biji
sawi, maka Allah akan menghisabnya. Adalah hal yang maklum bahwa itu
p:177
diberlakukan bagi orang yang mempunyai timbangan, yakni seorang yang
bertauhid.
Ya, dosa-dosa orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta lapisan
terbawah di neraka yang mereka duduki adalah sebagai konsekuensi dari
“hisab hitam” yang menjadikan orang munafik berada di jurang neraka
terbawah. Ini menandakan adanya hisab dan sistem yang khusus.
Ringkasnya, apabila manusia memanifestasi dalam kebenaran, maka
timbangannya menjadi berat, dan dia juga akan menjadi orang yang bahagia,
sebagaimana dia juga akan melewati jembatan (shirath) yang merupakan
shirath yang benar dengan mudah, karena orang yang telah memanifestasi
dalam kebenaran tersebut (al-mutahaqqiq) telah merasa tenteram bersama
kebenaran (al-haq). Oleh karena itu, dia akan menyeberang dengan mudah
ketika melalui jalan kebenaran. Apabila mereka dihisab, maka—sehubungan
dengan mereka—Allah adalah Penghisab tercepat (sari’ul hisab). Mereka tidak
diperlambat dalam proses penghi tungan. Apabila Hari Kiamat terhitung
lima puluh ribu tahun, maka mereka akan melalui masa ini dengan cepat.
Pada salah satu majelis khusus penutup para nabi dan rasul termulia
Saw. , dikemukakan ayat ini, “Malaikat-malaikat dan ruh (jibril) naik
(menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”
(Q.S. Al-Ma’arij: 4). Lalu salah seorang sahabatnya berkata dengan penuh
keheranan, “Alangkah panjangnya masa ini”. Nabi Saw. menjawab, “Demi
yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya ia bagi seorang
Mukmin senilai salat fardu”. Yakni, senilai salat wajib, dan salat wajib tidak
memakan waktu lebih dari beberapa menit saja. Maka, masa lima puluh ribu
tahun ini bagi seorang Mukmin sama dengan beberapa menit.
Dengan waktu singkat tersebut, ia telah melewati seluruh tingkatan
ini sebelumnya, ia telah lulus dalam ujian-ujian Ilahi yang mana orang-orang
lain menghabiskan puluhan tahun di dalamnya dan tidak berhasil.
Orang Mukmin tersebut telah melewati tempat-tempat ujian ini, yang mana
keterlambatan pada setiap tempat akan menghabiskan waktu cukup lama. Ia
telah melompat dan menang serta mendapatkan keselamatan.
Oleh karena hari kiamat adalah hari penyingkapan kebenaran, maka
tidak ada jalan bagi perselisihan pada tempat manapun dari tempat-tempatnya.
Tidak ada seorang pun di Jahanam akan menentang, begitu juga
di surga, tidak juga ditempat lainnya. Bukan hanya penghuni surga yang
tidak berselisih di antara mereka, namun penghuni neraka juga tidak akan
berselisih. Apabila ada sebagaimana orang yang berdusta dan mengingkari,
maka hal itu merupakan pembawaan (malakah) di dunia yang muncul di
p:178
sana bukan sebagai perbuatan yang dikehendaki (‘amal ikhtiari). Bukan
berarti mereka pada Hari kimat melakukan perbuatan yang dikehendaki
(amalan ikhtiariyan) atas nama kebohongan sebagaimana di dunia yang
akan berakibat kepada kemaksiatan. Tidak. Namun, apa yang telah mereka
lakukan di dunia akan nampak pada Hari Kiamat”, Itulah hari yang benar”
(Q.S. an-Naba’: 39). Dan karena kebenaran(al-haq) adalah sesuatu yang
berat, maka Allah mensifati Hari Kiamat sebagai hari yang berat, sebagaimana
Al-Qur’an, kitab yang benar adalah kitab yang berat, “Sesungguhnya Kami
akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (Q.S. Al-Muzammil: 5).
Al-Qur’an ini adalah sesuatu yang berat, dan kiamat juga merupakan
hari yang berat karena ia adalah sesuatu yang benar—“Sesungguhnya mereka
(orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mem pedulikan
kesudahan mereka, hari yang berat (Hari Kiamat)”(Q.S. Al-Insan: 27). Maka,
hari itu adalah hari yang berat karena ia merupakan hari penyingkapan
kebenaran, dan kebenaran juga sesuatu yang berat, ia merupakan sesuatu
yang berat sampai-sampai langit dan bumi pun tidak memiliki kekuatan
untuk memikul bobot Hari Kiamat, dan seluruh alam akan berguncang di
tengah-tengah munculnya Hari Kiamat—“kiamat itu amat berat bagi yang
di langit dan di bumi” (Q.S. Al-A’raf: 187).
Di tengah-tengah kemunculan kebenaran, maka dunia tidak mampu
memikul beban Hari Kiamat. Dan alam yang kebenaran dan kebatilan
bercampur di dalamnya tidak akan mampu memikul kemunculan kebenaran
mutlak (al-haq al-mahd). Alam yang kebenaran dan kebohongan
bercampur di dalamnya tidak akan mampu memikul kemunculan kebenaran
mutlak. Dan daerah yang perselisihan dan kesepakatan bercampur
di dalamnya tidak akan mampu menelan kesepakatan mutlak (al-wifaq almahd).
Oleh karena itu, langit dan bumi berguncang di saat munculnya
Kebenaran mutlak dan Ketulusan mutlak. Maka, Hari Kiamat itu berat dan
juga tidak mampu dipikul. Oleh karena itu, hamparan langit dilipat dan
bumi yang luas digenggam—“dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”
(Q.S. Az-Zumar: 67).
Hamparan langit dilipat dengan kekuasaan dan kemunculan kebenaran,
dan bumi yang luas juga dikumpulkan karena munculnya kebenaran “Bumi
seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat” (Q.S. Az-Zumar: 67).
Oleh karenanya “Langit digulung dengan tangan kanan-Nya” seba gaimana
laci yang terkumpul di dalamnya seluruh kitab dilipat, begitu juga sistem
tata surya dan planet-planet lain dikumpulkan pada Hari Kiamat, karena
Hari Kiamat adalah hari pengumpulan. Sebagaimana orang-orang
p:179
yang terdahulu (al-awwalun) dan orang-orang yang terakhir (al-akhirun)
akan dikumpulkan berdampingan pada Hari itu, maka begitu juga langit
yang lebar lagi luas dan bumi yang terbentang akan dikum pulkan.
Apabila Dia (Allah) berkata: Bumi di dunia luas, maka Dia juga berkata:
Demi kemunculan Hari Kiamat, Kami akan mengumpulkan bumi yang luas
ini satu sama lain, dan sebagai gantinya Kami akan membuat bumi baru.
Kami akan melipat langit ini satu sama lain supaya Kami membuat langit
yang lain. Kami akan mengganti bumi ini dengan bumi lain dan langit ini
dengan langit lain—(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi
yang lain dan (demikian pula) langit” (Q.S. Ibrahim: 48). Sistem ini akan
diubah dengan Sistem Kebenaran Mutlak (nidzam al-haq al-mahd) yang
tidak ada jalan bagi kebatilan di dalamnya, karena Allah tidak menginginkan
bagi alam itu adanya kebinasaan dan kehancuran serta tidak ada celah bagi
perselisihan dan perpecahan.
Apabila tidak terdapat kebenaran pada setiap dimensi alam dan
setiap sudutnya terdapat kebatilan, maka sudut kebatilan itu layak untuk
binasa, dan dimensi perselisihan itu juga layak untuk hancur. Dan sudut
kebohongan tersebut pantas untuk berubah. Apabila sesuatu tidak berupa
kebenaran mutlak, maka ia tidak akan menjadi abadi karena kebatilan tidak
sesuai dengan keabadian, dan Hari Kiamat yang merupakan keabadian tidak
akan ditembus oleh kebatilan dalam segala bentuknya karena kebatilan
adalah sesuatu yang bersifat sementara dan tidak abadi. Sebab permulaan
alam adalah berupa kebenaran karena ia azali. Jika terdapat dan terwujud
di sana kebatilan, perselisihan, kebodohan, kealpaan, dan lain-lain, maka ia
tidak menjadi azali, karena kebatilan bukanlah sesuatu yang azali, sedangkan
sesuatu yang azali adalah sesuatu yang benar, dan sesuatu yang abadi adalah
sesuatu yang benar dan sesuatu yang kekal(juga) sesuatu yang benar, sesuatu
yang azali (al-azalii) dan abadi (al-abd) saling berkaitan.
Atas dasar itulah, tauhid yang merupakan mabda’ tidak dapat
ditembus oleh kebatilan, dan pada Hari Kiamat yang merupakan ma’ad
(Hari Kemudian) juga tidak dapat diterobos(jalannya) oleh kebatilan,
karena kebatilan tidak sesuai dengan sesuatu yang azali dan abadi—“itulah
hari yang benar” (Q.S. An-Naba’: 39). Dapat saja manusia mencapai suatu
derajat yang mana haq (Allah—Peny.) meliputi derajat tersebut dengan
segala dimensi wujud-Nya, yakni bahwa manusia akan mencapai—karena
usaha mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub) dengan melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama dan karena keberkahan pendekatan diri kepada-
Nya melalui amalan-amalan sunah—derajat di mana dia menjadi tempat
p:180
manifestasi untuk mengetahui Kebenaran Mutlak (mahal lan liidrâkilhaq
al-mahd) dan dia juga menjadi—karena cahaya taqarrub dengan amalan-amalan
fardhu—tempat manifestasi perbuatan Allah (mahallan li ‘amali
haq), “(kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah,
Dialah(Tuhan) yang baik” (Q.S. Al-Hajj: 62). Dan kata ganti “huwa” bersama
“alif lam at-ta’rif ” berarti pembatasan (al-hashr). Fungsi kata ganti terpisah
(dzamir al-fashl) di sini bermakna pembatasan—“Dan sesungguhnya apa
saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah Yang Mahatinggi lagi Maha Besar” (Q.S. Al-Hajj: 62).
Demikianlah kandungan dua ayat yang salah satunya terdapat dalam
surah Al-Hajj dan yang lain terdapat dalam surah Luqman dengan sedikit
perbedaan. Siapa pun di antara manusia akan mampu mencapai—karena
keutamaan taqarrub dengan amalan-amalan sunah (nawafil)—suatu makam
di mana al-haq (Allah—Peny.) menjadi “telinga” dan “matanya”, dan Dia
sampai—melalui keberkahan taqarrub dengan aman-amalan wajib—ke
derajat di mana dia menjadi mata al-haq menjadi telinga dan matanya.
Maka, manusia yang telah memanifestasi dalam dirinya asma Allah (alinsan
al-mutahaqqiq) ini, akan menjadi manusia yang sempurna. Dan insan
mutahaqqiq yang sempurna ini menjadi berhubungan dengan tauhid; yang
mana dari sisi tauhid tidak ada sedikit pun keraguan di dalam ruh sucinya;
dan dia juga berhubungan dengan ma’ad sampai pada tingkatan di mana tidak
terdapat sedikitpun kesamaran bagi tempat Hari Kiamat yang luas di dalam
hati damai dan suci wali Allah ini. Orang itu adalah Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib (nyawaku dan nyawa alam semesta menjadi tebusannya). Alhaq
telah muncul dalam seluruh dimensi wujudnya dan dia telah berbusana
Kebenaran (al-haq) sampai pada derajat di mana kebatilan tidak mempunyai
jalan untuk menembus wujud sucinya, baik pada keyakinannya, imannya,
amalnya, atau akidahnya, tidak pula dapat mempengaruhi akhlaknya dan
tindakan nyatanya. Maka, pilar ini(Ali bin Abi Thalib—Peny.) adalah pilar
kebenaran (‘amud al-haq), dan karena pilar ini adalah pilar kebenaran, maka
dia tidak berpikir selain al-haq dan tidak bertindak kecuali untuk al-haq
bahkan tidak membunuh kecuali untuk al-haq, karena itu beliau berkata;
Setiap orang yang aku bunuh pasti masuk ke dalam neraka—“Sungguh aku
akan memukulmu dengan pedangku yang tidak seorang pun yang aku pukul
dengannya kecuali dia akan masuk neraka”.(1) Kebenaranlah (al-haq) yang
akan membunuh kebatilan(al-batil), dan al-haq yang “menghancurkannya
(kebatilan), maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”(Q.S. Al-Anbiya’:
p:181
18). Maka, ia (kebenaran) akan dan membantingnya dan mengirimnya
ke neraka. Wujud yang mengenakan pakaian al-haq ini merasa tenteram
(al-uns) dengan dasar segala wujud (Allah, al-mabda’) yang merupakan alhaq
sampai pada derajat yang tinggi di mana beliau mengatakan, “Tidak
mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak aku lihat”. Dan beliau berkata
tentang masa depan, yaitu Hari Kiamat, “Seandainya disingkapkan untukku
tabir kegaiban, niscaya hal itu tidak menambah keyakinanku”. Apabila
dihilangkan tabir dan penutup ibu jari dari wajah orang lain, maka hal itu
tidak ada bedanya bagiku. Bukan berarti bahwa terdapat tabir dan penutup
di atas wajahku dan saya melihat dari belakang tabir, keduanya ketika
dibuka atau ditutup kembali. Tidak demikian, penjelasan ini meniadakan
objek (al-maudu’). Yakni, tidak terdapat penutup bagiku dan tidak ada
(pula) tabir. Dan tabir kiamat ini telah dilepas dari wajah alam dunia yang
luas. Dan setiap orang yang(mampu) terbang dari alam materi yang mana
pemikirannya lebih tinggi daripada alam materi, maka tidak ada penutup
baginya. Simak Syair berikut:
Tidaklah keindahan memiliki tabir selain sifat kebesaran
Dan tidaklah di atas pipi ini ada penutup dan tidak pula di atas inti ini ada kulit
Dan barang siapa yang keakrabannya (uns) terjalin dengan Allah
(al-mabda’) sampai pada batas ini dan dengan suatu keadaan di mana dia
mengenakan pakaian al-haq dan menjadi hamba yang ikhlas (‘abdan khalisan)
terhadap Allah, maka tidak ada baginya tabir, penutup, dan hijab yang harus
dibuka, karena al-haq yang berupa al-ma’ad adalah esensi kebenaran (nafsul
haq) yang Dia adalah al-mabda’, yaitu Allah yang mempunyai penyingkapan
total (ad-dzuhur al-kamil) pada Hari Kiamat. Dia adalah Allah, di mana
“kita adalah milik-Nya” dan “Kepada-Nya kita kembali” (Q.S. Al-Baqarah:
156).
Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Seandainya disingkap kan
untukku tabir (kegaiban), niscaya hal itu tidak menambah keya kinanku”.
Yang demikian ini tidak berlaku bagi Ali, tetapi berlaku bagi orang-orang lain
yang mana boleh jadi keyakinan mereka tidak ada atau keyakinan mereka
lemah. Adapun orang-orang yang tidak memiliki keyakinan, maka mereka
sama sekali tidak akan melihat Hari Kiamat, sementara orang-orang yang
keyakinan mereka lemah, maka mereka melihat secara lemah dan ketika
salah satu dari mereka mati serta Hari Kiamat telah terjadi di hadapannya,
maka keyakinannya menjadi jelas sekali dan berbobot.
Dalam surah at-Takatsur, Al-Qur’an berkata, “Janganlah begitu, jika
kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar
p:182
akan melihat neraka jahanam” (Q.S. at-Taktsur: 56). Seandainya kalian
mengetahui Hari Kiamat dan al-haq tanpa menduga-duga, tetapi dengan
keyakinan yang pasti (‘ilmul yaqin), maka meskipun kalian berada di dunia
kalian akan dapat melihat Jahanam. Apabila seseorang mencapai maqâm
‘ilmu yaqin, maka dia akan dapat melihat Jahanam, dia akan melihat alam
itu, sementara dia masih ada di dunia.
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahanam”. Al-Qur’an berkata
secara pasti dengan penjelasan yang tegas: Seandainya kalian mengetahui—
dengan ‘ilmu yaqin—al-mabda’ dan alma’ad, maka kalian akan melihat
Jahanam semenjak sekarang, “Kemudian sungguh kamu benar-benar akan
melihat dengan ’ainul yakin (mata kepala sendiri)”(Q.S. at-Takatsur: 7). Dan
setelah itu, keyakinan kalian akan tumbuh lebih besar, dan (selanjutnya),
kalian akan memperoleh ‘ainul yaqin (hakikat keyakinan) yang merupakan
maqâm yang lebih tinggi daripada ilmul yaqin. Mereka itu adalah murid-murid
Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Imam Ali a.s. sendiri telah melampaui
maqâm-maqâm ini. Seorang ‘ârif (ahli makrifat tentang Allah) yang tersohor
mengatakan dalam syair berikut.
Kehebatan (al-fannu) adalah Anda melihat api dengan mata sendiri
Bukan berargumentasi untuk menunjukkan (keberadaan)nya melalui asap.
Pernyataan tersebut merujuk ke bagian ini. Dia mengatakan: Kehebatan
bukanlah manusia mendapatkan asap setelah usaha keras dan jerih payah
yang cepat sehingga dia menemukan adanya api dan berkata; Karena ada
asap, maka berarti ada api. Akan tetapi, kehebatan adalah manusia yang
melihat api dengan kedua mata kepalanya sendiri, bukan dengan melihat
asap lalu dia berargumentasi dengan menggunakan argumentasi hushuli
(argumentasi yang berpijak di atas gambar sesuatu, bukan hakikat dari
sesuatu ini—Peny.) bahwa melalui keberadaan asap tersebut dapat dipastikan
adanya api, melainkan kehebatan adalah ketika manusia mampu melihat api
kiamat sementara dia masih di dunia. Bukan dengan berkata: Adanya asap
ini pasti sebagai tanda adanya api.
Apabila tanda-tanda api kiamat mendorong kita untuk meyakini
kiamat dan api kiamat, maka hal itu bukanlah suatu kehebatan. Orang
yang hebat (al-fannan) itu dapat melihat Jahanam sejak sekarang dan juga
sekaligus melihat surga. Dia tidak peduli(baca: tidak perlu meng gunakan—
Peny.) masalah-masalah yang berkaitan dengan ‘Ilmu hushuli (hadirnya
gambaran sesuatu pada seseorang—Peny.) dan berargumentasi melalui atsar
(pengaruh) dan muatsir (yang mempengaruhi), dan seterusnya. (seperti
p:183
adanya asap (atsar) dipengaruhi oleh adanya api (muatsir)—Peny.) Dan
“nilai seseorang(tergantung kepada) apa yang dianggapnya baik”.(1) Nilai
setiap manusia sesuai dengan kemampuannya (fannuh), dan sesuai dengan
kadar manifestasi al-haq dalam ruh manjadi di mana dia akan mempunyai
hubungan dengan esensi kadar manifestasi tersebut bersama Pencipta alam
(mabda’ al-‘alam), dan juga bersama Hari Kemudian.
Pada akhirnya, dia akan berkata ini dengan sesuatu yang azali dan
abadi. Dan pada puncaknya, dia akan menjadi manifestasi dari Allah yang
tidak akan mati selamanya. Dan kita supaya merasakan manifestasi
Allah (al-mabda’) secara lebih baik dan agar kita datang dengan cara yang
terbaik, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mengenakan pakaian
al-haq. Pertama-tama, kita mengenal kebenaran (al-haq), kemudian kita
menerimanya dan kita tidak melakukan perbuatan kecuali yang benar dan
kita tidak berbicara kecuali yang benar. Karena, pengenalan kebenaran
(ma’rifah al-haq) tidak terbina kecuali melalui pelaksanaan tugas-tugas yang
benar.
Hari kiamat adalah hari kebenaran, “Itulah hari yang benar” (Q.S.
an-Naba’: 39). Manusia yang mengenakan pakaian kebenaran akan mengetahui
hari kebenaran, orang-orang yang melakukan kebatilan tidak dapat
mendapatkan keakraban (al-uns) bersama Hari Kiamat dan tidak akan
mengetahuinya. Orang yang dalam dirinya tidak terdapat manifestasi alhaq
tidak akan mengetahui Hari Kiamat dan ma’ad, dia tidak memiliki alaalat
pengetahuan (adawat al-ma’rifah). Dia—dengan tolok ukur apa—dapat
menimbang kiamat? Oleh karena itulah, Allah Swt berkata kepada penutup
para nabi Saw. bahwa sesungguhnya pengetahuan terhadap hakikat-hakikat
ini tidaklah mudah bagi mereka, karena hati mereka tertutup darinya. Hal ini
disebabkan mereka telah menutup anugerah Ilahi (al-lathifah al-ilahiyyah)
itu dengan dosa-dosa dan tidak adanya keyakinan serta melakukan amalan-amalan
yang batil. Dan ketika anugerah Ilahi tersebut tetutup dengan
penutup tebal dari dosa-dosa, maka saat itu Anda tidak akan dapat melihat
manifestasi kebenaran (zhuhur al-haq).
p:184
p:185
p:186
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Kiamat dalam pandangan Al-Qur’an al-Karim—sebagaimana
dijelaskan sebelumnya—adalah hari penyingkapan kebenaran—“Itulah
hari yang benar” (Q.S. an-Naba’: 39). Dan tempat yang di dalamnya alhaq
memanifestasi, tidak terdapat di sekitarnya perselisihan yang dibenarkan
(ikhtilaf shahih) sebagaimana tidak akan terjadi perselisihan seputar masalah-masalah
lain yang terjadi pada Hari itu, karena manifestasi kebenaran
sebagaimana tidak akan terjadi perselisihan seputar masalah-masalah lain
yang terjadi pada Hari itu, karena manifestasi kebenaran sebagaimana
meniadakan pengingkaran apa pun dan keraguan apa pun tentang dirinya,
maka ia juga meniadakan segala bentuk pengingkaran dan keraguan tentang
masalah lain yang terwujud di sana.
Oleh karena itu, Al-Qur’an mengungkapkan bahwa tidak ada keraguan
sedikit pun pada Hari Kiamat—“Tidak ada keraguan di dalamnya” (Q.S. Al-
Baqarah: 2). Tidak ada keraguan dalam bentuk apa pun, tidak mungkin
terdapat keraguan pada Hari Kiamat karena ia adalah hari kebenaran. Tidak
terdapat pengingkaran dan keraguan sama sekali tentang salah satu masalah
dari hari itu karena ia adalah hari penyingkapan kebenaran. Dari sisi inilah,
Al-Qur’an menamakan kiamat dalam surat an-Naba’ sebagai: Hari Kebenaran
(“Itulah hari yang benar’) dengan pengertian bahwa di sana terdapat kiamat
bukan dengan pengertian, bahwa Hari Kiamat adalah realitas yang benar
dan bukan dengan pengertian bahwa hari ini adalah hari yang benar, tetapi
dengan pengertian bahwa kiamat adalah hari penyingkapan kebenaran yang
sempurna atas al-haq.
Hakikat kiamat tidak dapat diragukan, situasi pada Hari Kiamat juga
tidak dapat diragukan, (keraguan itu dimungkinkan) pada salah satu hal
yang berkenaan dengannya. Pada Hari Kiamat segala bentuk peselisihan
akan berakhir, baik perselisihan tentang kiamat itu sendiri atau perselisihan
pada masalah-masalah lain. Inilah dunia dalam berita yang paling penting.
Al-Qur’an memperkenalkan kiamat sebagai Berita Besar (an-naba’ alazhim),
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang
besar, yang mereka perselisihkan tentang ini” (Q.S. an-Naba’: 1—3). Sebagian
mereka yang memperselisihkan berita ini tidak menerima dasar adanya Hari
p:187
Kiamat, dan sebagian lagi mengingkari atau meragukan sebagian dimensinya
dan masalahnya.
Berita Besar ini adalah suatu kebenaran (haq), karena di dalamnya alhaq
menjelma, dan dengan penjelmaan-Nya segala bentuk perselisihan yang
kembali kepada diri-Nya akan selesai, begitu juga perselisihan yang kembali
kepada masalah-masalah lain. Apabila seseorang mau melalui jalan yang akan
mengantarkannya menuju al-Haq (Allah—Peny.), maka kesempatannya di
dunia ini cukup terbuka, “Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia
menempuh jalan kembali kepada Tuhannya” (Q.S. An-Naba’: 39). Oleh karena
di dunia tidak terdapat dua kebenaran. Argumentasi tauhid mengatakan: Di
dunia tidak terdapat dua kebenaran. Kebenaran itu sendiri hanya satu. Di
dunia tidak terdapat dua prinsip kebenaran atau dua hakikat kebenaran;
tidak ada dua kebenaran murni. Oleh karena itu, Hari Kemudian tidak lain
kecuali hari yang berkenaan dengan al-mabda’ (Allah—Peny.), dan manusia
berserta makhluk lainnya akan kembali hanya kepada Allah.
Kiamat tidak lain kecuali panampakkan total bagi Allah. Pada hari itu,
Allah mempunyai penampakan khusus; dan semua wujud dari langit, bumi,
dan manusia—meskipun hakikat-hakikat semuanya terjaga—dioperasikan
dengan sistem khusus di akhirat. Sebagaimana cahaya tidak menerima
pertentangan (ikhtilaf ) tentang dirinya dan apa yang dite ranginya; maka
dengan penampakan cahaya segala keraguan tentang dirinya dan apa yang
diteranginya akan sirna; begitu juga Hari Kiamat karena ia hari penyingkapan
kebenaran. Ini adalah Kebenaran Agung dan berita dunia yang signifikan
yang tentangnya manusia memperselisihkan.
Dengan penampakkannya, segala bentuk perselisihan akan berakhir;
baik perselisihan tentang Hari Kiamat itu sendiri, atau pada masalah-masalah
yang lain. Dan hal ini (kiamat—Peny.) terjadi secara langsung, tidak dengan
cara bertahap. Allah Swt tidak memandang Hari Kiamat sebagai hal yang
bertahap. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an: “Hari kiamat akan muncul
dengan tiba-tiba. Ia tidak muncul secara bertahap, tapi ia merupakan hal yang
spontan dan tidak berjenjang”.
Dalam surah Yusuf disampaikan kejadian-kejadian Hari Kiamat,
“Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka,
atau kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka
tidak menyadarinya”(Q.S. Yusuf: 107). Al-Qur’an berkata: Apakah mereka
merasa aman? Ah, keamanan yang bohong! Ah, keamanan yang menipu!
Akan datang azab Allah atau kiamat kepada mereka secara tiba-tiba, sedang
mereka tidak menyadarinya. Sesuatu yang bertahap akan membangkitkan
p:188
kesadaran dan menggugah manusia karena ia datang dengan pelan-pelan
dan secara berjenjang, karena itu masih ada kesempatan untuk sadar dan
bangun. Tetapi, kiamat akan muncul dengan mendadak tanpa bertahap.
Dinamika dunia (‘alam al-harakah) dan perahu besar memiliki alat-alat
dan perlengkapan-perlengkapan berlabuh; sebagaimana telah kami jelaskan”,
Bilakah ia (kiamat) akan berlabuh”(Q.S. Al-A’raf: 187). Yakni, kapankah
kiamat akan menjumpai pelabuhannya? Kapankah perahu dunia akan
menemui pelabuhannya? Kapankah topan ini akan tenang? Perahu lautan
alam yang berderu ini pada saat (mengalami) mobilitas tinggi (al-harakah
ad-daimiyyah) tidak akan pernah berlabuh, tetapi ia akan berlabuh ketika
mengalami stagnas (ketenangan). Dinamika dunia ini yang mengalami
penahapan tidak ada kiamat baginya; dunia dinamika selalu menuju suatu
tujuan dan ketika telah mencapai tujuan tersebut, maka ia akan berlabuh; dan
saat itu tidak ada topan dan tidak ada juga penahapan, namun ketenangan.
Oleh karena itu, Allah Swt menamakan Hari Kiamat sebagai masa
depan (mustaqbal) yang tidak ada keraguan di dalamnya—“Dan sesungguhnya
Hari Kiamat tidak ada keraguan di dalamnya” (Q.S. Al-Kahfi: 21). Akan
tetapi, ia (kiamat—Peny.) akan datang dengan tiba-tiba ketika penahapan
berakhir. Lalu, apakah penahapan yang telah bersudah itu akan mencapai
keadaan yang tiba-tiba (fuj’ah) yang mana ia berlawanan dengan penahapan (itu
sendiri) atau akan mencapai keadaan tetap (tsabat) yang berlawanan dengan
materi yang selalu berubah atau bergerak? Dan apakah dinamika alam ini
akan meriah tujuannya? Dan apakah tujuan yang tiba-tiba itu bertentangan
dengan penahapan? Ataukah ia adalah hal yang sekonyong-konyong yang
tidak akan meng alami penahapan dan tidak ada hubungan dengan sesuatu
yang berbau penahapan? Bagaimana bentuknya, kiamat akan muncul
dengan tiba-tiba—“Kiamat akan datang kepada mereka dengan tiba-taba”
(Q.S. Yusuf: 107).
Al-Qur’an al-Karim dalam ungkapan yang lain mengatakan: Kiamat
akan mendatangi manusia dengan tiba-tiba, dan mengatakan mereka. Ia tidak
datang dengan bertahap sehingga mereka dapat siap untuk menyambutnya,
namun ia datang dengan mendadak dan akan mencengang kan mereka.
Mereka akan melihatnya, lalu mereka akan berubah, dan mereka akan melihat
sistem yang tiba-tiba berubah menjadi sistem lain dan alam dunia menjadi
alam lain; segala bentuk dimensi kebatilan dan perselisihan akan tersingkap
dan akan tampak jelas apa yang mereka sembunyikan sebelumnya di dalam
hati mereka—“Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu
kejadian pun” (Q.S. an-Nisa’: 42).
p:189
Berita besar ini tidak terjadi dengan bertahap, tapi secara tiba-tiba dan
tetap (tidak berubah). Dan Rasulullah Saw. telah mengajak manusia kepada
al-haq (Allah—Peny.) Karena al-haq tidak lebih dari satu, yaitu Allah. Oleh
karena itu, beliau mengajak manusia ke Pencipta Alam (mabda’ al-‘alam)
dan mengajak mereka juga untuk meyakini ma’ad (Hari Kemudian). Oleh
karena Allah telah menciptakan alam yang luas ini dengan satu manifestasi
(zhuhur wahid) dan dengan manifestasi lain, alam luas ini akan dilalui, dan
sebagai gantinya akan diciptakan alam lain. Allah menciptakan langit dan
bumi dengan satu manifestasi “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi
tingkat” (Q.S. Insyqaq: 19) dan bumi diratakan “Dan bumi bagaimana
ia dihamparkan” (Q.S. Al-Ghasyiyah: 20) dan dengan manifestasi lain,
bentangan langit dan bumi dikumpulkan lalu diganti dengan langit dan
bumi lain. Hari ini memanifestasi dengan suatu nama, dan esok akan
memanifestasi dengan nama lain.
Rasulullah Saw. telah menyeru kafilah manusia kepada Penciptanya
dan kepada tempat kembalinya, “Hanya kepada-Nya aku seru(manusia)
dan hanya kepada-Nya aku kembali”(Q.S. ar-Ra’d: 36). Saya menyeru
manusia kepada Allah. Mengapa? Karena”Hanya kepada-Nya aku kembali”.
Tujuannya adalah kembali kepada-Nya, karena pulangnya dan kembalinya
kafilah hanya kepada-Nya. Oleh karena itu aku menyeru kepada-Nya,
“Aku menyeru (manusia) kepada Allah”. Tidak mungkin para nabi menyeru
manusia kepada sesuatu yang tidak memiliki peranan dalam perjalanan
kesempurnaan manusia dan menyimpangkan masyarakat manusia ke arah
lain yang menyesatkan, tetapi mereka hanya mengajak manusia kepada
sesuatu yang menentukan arah gerakan perjalanan masyarakat manusia; dan
ajakan(dakwah) ini berdasarkan hujah yang nyata (bashirah).
Rasulullah yang mulia Saw. telah dikhususkan dengan dua hal ini.
Ketika Al-Qur’an mengatakan “Aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (manusia) kepada Allah dengan hujah yang nyata”(Q.S. Yusuf:
108) ia (juga) mengatakan, “Kepada-Nya aku menyeru dan kepada-Nya
aku kembali”. Interprestasinya bukan beliau menyeru kepada dua esensi
kebenaran (Kami telah mengatakan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa
Kebenaran Mutlak hanya satu dan tidak berbilang). Nabi yang mulia Saw.
menyeru kepada kebenaran murni dan kebenaran murni itu hanya satu,
dan Yang Satu itu adalah Pencipta (mabda’) alam dan sekaligus tempat
kembalinya (ma’ad).
Apabila Hari Kiamat dikatakan sebagai hari kebenaran, maka segala
urusan yang berkenaan dengan hari itu adalah kebenaran; baik timbangan
p:190
nya, sinarnya, hisabnya, pembagian buku amalnya, surga dan neraka nya,
dan semua urusan lainnya juga merupakan kebenaran (haq). Jelas sekali pada
majelis terdahulu bahwa hari itu bersifat abadi dan tidak ada sesuatu yang
abadi kecuali kebenaran (al-haq) secara sempurna. Dan tidak ada tempat
selain kebenaran pada Hari itu, karena kebatilan tidak akan abadi.
Al-Qur’an al-karim memperkenalkan manusia sebagai wujud yang
abadi, dan ia (Al-Qur’an) berbicara kepada orang-orang yang meyangka
bahwa manusia akan binasa dengan kematian, dengan mengatakan:
Seseorang tidak akan pergi begitu saja setelah mati. Dan orang-orang yang
mengingkari kiamat, mereka tidak dapat mengemukakan satu dalil pun
untuk menafikannya. Orang-orang yang mengingkari kiamat–sebagaimana
komentar mereka dimuat dalam Al-Qur’an al-Karim, mengingkarinya dalam
kisaran keheranan dan menganggap jauh, bukan dalam kisaran argumentatif.
Sekarang, juga demikian; para pengingkar kiamat tidak memiliki dalil untuk
menampik kiamat dan keheranan mereka adalah apakah dapat mereka yang
telah mati untuk kembali hidup kedua kalinya? Mereka mengira bahwa
manusia akan binasa setelah mati.
Oleh karena itu, Al-Qur’an ketika menukil pembicaraan mereka,
menga takan: Pengingkaran mereka berdasarkan anggapan jauh dan hanya
takjub—“Dan kami sekali-kali tidak meyakininya”. Mereka tidak memiliki
keyakinan tentang tidak adanya Hari Kemudian. Pembicaraan mereka sangat
tidak meyakinkan dan tidak argumentatif, tetapi sekadar keheranan. Mereka
mengatakan: ini hal yang menakjubkan ketika orang-orang yang mati akan
kembali hidup kedua kalinya, mereka telah lupa bahwa manusia semula
juga tidak berupa apa-apa; Allah-lah yang memberi mereka kehidupan dan
keberadaan, “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,
sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut” (Q.S. Al-
Insan: 1). Yakni, bahwa pada suatu tahapan, manusia semula tidak berupa
apa-apa, dan pada tahapan yang lain, ia tidak berupa sesuatu yang layak
disebut, dan Allah-lah yang memberinya kehidupan dan keberadaan.
Maka, bagaimana mereka dapat berpikir dan mengira bahwa kiamat
ini adalah hal yang menakjubkan bagi Dia Yang Mahakuasa dan Yang
kekuasaan-Nya mutlak? Al-Qur’an berkata: Sesunguhnya kalian tidak akan
hilang begitu saja dengan kematian. Tentara-tentara Allah dan para malaikat
(rusulul maut) akan mematikan seluruh hakikat kalian, dan kematian
kalian bukanlah kefanaan namun hanya wafat. Yakni, para malaikat akan
mematikan semua hakikat kalian di saat kematian, kemu dian kalian akan
mati, tapi kalian tidak akan pergi begitu saja, dan sesuatu yang ada pada
p:191
kalian tidak akan sia-sia. Bukan berarti bahwa kalian ketika mati akan
menjadi fana, lalu Allah akan menghidupkan kalian kembali dari ketidak
adaan mutlak. Oleh karena itu, kalian sama sekali tidak akan binasa, namun
kalian akan berpindah dari satu tahapan ke tahapan berikutnya.
Apabila pada Hari Kiamat Allah Swt akan mengembalikan orang-orang
kepada kehidupan kedua kalinya, maka Dia Mahakuasa atas hal itu, namun
manusia tidak akan mengalami kefanaan selamanya, ia adalah abadi. Terdapat
beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa orang yang
syahid itu hidup dan ayat-ayat ini menjelaskan masalah ini, yaitu bahwa ruh
manusia tidak akan pernah hilang dan mati, hanya jasad yang akan hancur
sedangkan ruh tidak akan binasa dan hancur, Al-Qur’an al-Karim berkata
tentang orang syahid, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
yang gugur di jalan Allah(bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya)
mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menya dari nya” (Q.S. Al-Baqarah: 154)
Janganlah kalian berkata tentang para syuhada bahwa mereka mati, tetapi
pada hakikatnya mereka itu hidup dan kalian tidak akan mengetahui hal
tersebut. Kalian tidak mengetahui tempat kekekalan ruh si syahid karena ia
lebih halus daripada rambut.
Al-Qur’an juga berkata ketika menceritakan kekekalan ruh
si syahid, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
rezeki” (Q.S. Ali ‘Imran: 16). Terkadang si syahid memperoleh kesyahidan
melalui peristiwa terbakar dengan api, dan terkadang melalui tertembak
di tubuhnya dengan peluru yang menjadikannya meninggal dunia, dan
terkadang dengan menjadi umpan bagi ombak topan laut lalu ia mati
tenggelam, atau dengan sebab yang lain. Akan tetapi, dengan semua sebab itu
si syahid tetap hidup. Dan ayat-ayat tersebut sebagai dalil atas immaterinya
(tajarrud) ruh si syahid. Akan tetapi, kehidupan sesudah kematian apakah
hanya dikhususkan bagi para syuhada atau tidak? Para nabi dan para
imam a.s. yang maqâm mereka lebih tinggi daripada para syuhada, tentu
mereka juga hidup setelah mati dan akan memper oleh rezeki dari sisi Allah.
Dengan demikain, ruh para nabi dan syuhada juga hidup. Atas dasar
ini, para nabi, wali-wali Allah, dan para syuhada mereka semua hidup di
sisi Allah. Kemudian,, bagaimanakah keadaan orang-orang Mukmin yang
lain? Dan apakah kesyahidan menyebabkan immaterinya ruh? Apakah ruh
si syahid—pada saat sebelum dikaruniai kesyahidan—berupa materi dan
berubah setelah kesyahidan menjadi immateri sehingga dikatakan bahwa
orang yang syahid itu pada hakikatnya hidup sedangkan selainnya akan
p:192
binasa dengan kematian? Dan apakah dua orang yang pergi ke medan perang,
ruh salah satunya materi dan yang lain immateri? Atau ruh keduanya materi,
namun ruh si syahid itu yang non-materi? Atau ruh si syahid juga immateri
seperti ruh selainnya, tapi ruh materi ini mempunyai kehidupan sesudah
kematian? Dan apakah dua orang yang pergi ke medan perang, ruh salah
satunya materi dan yang lain immateri? Atau ruh keduanya materi, namun
ruh si syahid itu yang non-materi? Atau ruh si syahid juga materi seperti
ruh selainnya, tapi ruh materi ini mempunyai kehidupan sesudah kematian?
Masalah memang demikian, ataukah malah tidak ada satu pun dari beberapa
kemungkinan tersebut? Melainkan ruh semua manusia immateri?
Apabila manusia menjadi umpan bagi api yang membakar seperti kasus
orang-orang Mukmin yang membuat parit (ashab al-ukhdud) yang mana
mereka dibakar di dalam lubang dan mereka berubah menjadi abu, maka
apakah masih tersisa satu atom dari atom-atom badan mereka agar menjadi
hakikat mereka, dan agar atom ini hidup di sisi Allah dan dikaruniai rezeki
atau tidak? Dan badan ini yang semua atomnya telah terbakar tidak akan
mempengaruhi ruhnya dan ruhnya tetap hidup, dan ruh yang immateri ini
akan tetap hidup dan dikaruniai rezeki di sisi Allah? Misalnya, ruh si syahid
di dalam barzakh dan pada Hari Kiamat besar akan dikembalikan kedua
kalinya ke badan dan ia akan memperoleh kehidupan baru di dalam badan
manusia yang di dunia (nafsul badan ad-dunyawi), dan apakah ruh ini yang
hidup setelah kematian ini berbentuk materi dan berada di sisi Allah?
Jika memang demikian, maka konsekuensinya adalah bahwa terdapat
sesuatu yang materi pada haribaan Allah Swt, dan itu juga memiliki
konsekuensi bahwa Allah—kita berlindung kepada Allah dari hal itu—
adalah sesuatu yang berupa materi. Dan apabila Dia berupa materi, maka
sesuatu yang ada di sisi-Nya dan di dekat-Nya juga berupa materi. Ayat
tersebut mengatakan bahwa ruh di syahid hidup, yakni meskipun seluruh
atom badannya hancur, namun ruhnya tetap utuh dan tidak terkena sedikit
pun gangguan. Dan kapan pun seseorang gugur sebagai syahid dengan sebab
alam apa pun, seperti karena air atau api atau karena sebab-sebab kematian
yang lain, maka ruhnya tetap hidup, bahkan seandainya seluruh atom
badannya terbakar, maka ruh yang bersangkutan tetap hidup.
Ini tidak seperti problem yang memakan dan yang dimakan (syubhah
akil wal mam’kul) sehingga dapat dijadikan jawaban atasnya bahwa selsel
yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) dari badan setiap orang bukanlah bagian
dari sesuatu benda yang dimakan. Tidak, meskipun seluruh atom badannya
terbakar dan menjadi abu, maka tidak dapat dikatakan bahwa hakikat
p:193
manusia adalah rangkaian dari atom-atom yang tidak terbakar. Sesungguhnya
ini bertentangan dengan musyahadat (hal yang diketahui oleh hati), mahsusat
(hal yang dirasakan oleh panca indra), dan badihiyat (hal yang jelas). Ruh
si syahid tetap hidip walaupun seluruh atom badannya hancur terceraikan.
Kesimpulannya, ruhnya non-materi Kekekalan setelah kematian
ini tidak khusus berlaku untuk para syuhada, namun para nabi dan para
imam a.s. yang mana maqâm mereka lebih tinggi daripada maqâm para
syuhada juga memiliki ruh yang non-materi. Non-materinya ruh tidak
khusus berlaku untuk si syahid karena kesyahidan tidak menyebabkan non-materinya
ruh. Begitu juga, tidak dapat diterima pendapat yang mengatakan
bahwa ruh si syahid semula berupa materi lalu berubah menjadi non-materi
pada saat setelah kesyahidannya. Namun, manusia mempunyai ruh yang
non-materi. Manusia—dengan kematian—akan berada di salah satu taman
dari taman-taman surga atau berada di salah satu lubang dari lubang-lubang
neraka, adakalanya ruhnya di alam barzakh mendapatkan nikmat bersama
badan akhiratnya (al-badan al-barzakh) atau malah disiksa bersama badan
akhiratnya sehingga tiba hari kiamat besar di mana Allah akan menghidupkan
keadaan yang pertama itu.
Ketika orang kafir yang berperasangka buruk menjadi umpan bagi
topan laut lalu jasadnya menjadi dingin di jurang laut itu, maka ruhnya
berada di Jahanam. Dan api barzakh merupakan api yang dapat membakar di
dalam topan lautan, Allah berfirman tentang kaum Nabi Nuh, “Disebabkan
kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke
neraka” (Q.S. Nuh: 25). Kaum Nuh ditenggelamkan karena dosa mereka
yang lalu, dan setelah penenggelaman, mereka dibakar di dalam api. Urutan
dalam ayat tersebut menggunakan kata “fa” buka menggunakan kata
“tsumma”, yakni bahwa mereka langsung dibakar setelah ditenggelamkan.
Orang-orang kafir yang menjadi umpan kemarahan topan laut itu juga
menjadi umpan api setelah jasad mereka mendingin di dalam gelombang
topan yang mengerikan. Api barzakh (an-nar al-barzakhiyah) ini juga
terdapat di dalam lautan. Apabila seorang kafir yang berbuat dosa dan
beperasangka buruk mati di dalam laut, maka bukan berarti di sana tidak
ada lubang api (neraka—Peny.). Sebagaimana orang-orang Mukmin yang
membuat parit (ashab al-ukhdud) yang mana mereka dibakar di dalam parit
itu dan jasad mereka berubah menjadi salah satu taman dari taman-taman
surga, “Sesungguhnya kuburan itu adakalanya berupa taman dari taman-taman
surga atau berupa galian dari galian-galian Jahanam”.(1) Dan kuburan
p:194
yang merupakan barzakh adakalanya berupa taman yang hijau atau lubang
dari lubang-lubang jahanam.
Dalam surah Nuh juga disebutkan tentang orang-orang yang
berdosa yang ditenggelamkan dengan topan, “Mereka ditenggelamkan
lalu dimasukkan ke neraka”. Begitu juga orang-orang Mukmin dari ashab
al-ukhdud yang mana mereka dibakar dengan api, tapi (alam) barzakh
(yang mereka alami) dan kuburan mereka adalah “taman dari taman-taman
surga”. Bukankah wujud manusia (hanya) berupa badan (fisik) yang
semua komponennya tunduk terhadap anatomi di ruang laboratorium,
atau badan yang atom-atomnya akan hilang ditelan bumi sehingga para
pengingkar Hari Kemudian mengatakan, “Apakah bila kami telah lenyap
(hancur) di dalam tanah, maka kami benar-benar akan dibangkitkan”, lalu
Allah menjawab mereka, “Katakanlah: malaikat maut yang diserahi untuk
(mencabut nyawamu) akan mematikan kamu” (Q.S. As-Sajdah: 11). Maka,
malaikat maut yang ditugaskan untuk mencabut ruh kalian akan mematikan
seluruh hakikat kalian. Kalian akan mati tetapi tidak akan binasa
(fana), di alam tidak terdapat kefanaan, malaikat yang mematikan kalian itu
akan mematikan semua hakikat kalian dan tidak akan menyisakan sedikit
pun sesuatu dari kalian, ”Ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan
malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya” (Q.S. Al-An’am:
61). Para malaikat maut akan mematikan hakikat si mayat yang mana mereka
tidak mengabaikan sesuatu pun darinya.
Dengan demikian, sesuai dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surah
Al-Baqarah dan Ali ‘Imran, ruh manusia itu benar-benar immateri. Yang
demikian ini tidak hanya khusus bagi si syahid; orang-orang yang memiliki
ruh yang lebih tinggi dari para syuhada atau lebih rendah atau sama
dengan mereka, maka ruh mereka juga immateri. Namun, ruh yang immateri
ini mempunyai bagian-bagian dan tingkatan-tingkatan . Manusia—
setelah kematian—adalah tamu bagi ‘ulas meja’ (baca: amal—Peny.)
yang dibawanya, yang kadangkala mengantarkannya kepada taman surga
meskipun dia menjadi syahid di tangan orang kafir dengan cara dimasukkan
dalam api dunia, atau berada di kubangan api meskipun dia mati di kebun
yang indah, atau berada di dalam jilatan api barzakh meskipun dia mati di
dasar lautan dan di dalam air. Ini menunjukan bahwa manusia bukan hanya
terdiri dari bentuk fisik ini yang tunduk kepada anatomi di laboratorium.
Al-Qur’an al-karim—untuk menetapkan bahwa manusia dengan
kematiannya akan melalui satu sisi dari sis-sisi alam dan dia akan mengetahui
dan mencapai sisi lain darinya dan akan memasukinya—menga takan,
p:195
“Dan di belakang mereka ada barzakh sampai mereka dibangkitkan” (Q.S. Al-
Mukminun: 100). Setelah kematian dan meninggalkan alam fisik (dunia), di
sana ada kehidupan pertengahan antara dunia dan kiamat besar, kiamat kecil
sampai Hari Kiamat dan kebangkitan umum (al-ba’ts al-‘am), dan itu masih
dalam batasan kehidupan barzakh.
Semua manusia hidup, dalam kondisi bagaimanapun mereka tetap
hidup, dan manusia selalu dalam keaadan berjalan dan bergerak. Kafilah
manusia yang bergerak tidak dapat dilenyapkan di tengah jalan. Kematian
bukan berarti penyisipan ketidak adaan (takhalul al-‘adam) antara yang
bergerak dan tujuan, sehingga kafilah ini binasa di tengah-tengah jalan dan
setelah ketidak adaan kepadanya maka keluar dari ketidak adaan, yakni
bahwa tidak ada pemisah ketiaadaan antara kafilah ini dan tujuannya,
sehingga kematian manusia terhenti di sudut ini dan menjadikan tujuan
berada di sudut kemacetan (mudayyiq) yang lain, tetapi kematian adalah
perjalanan kafilah ini ke arah tujuan.
Apabila dalam riwayat (hadis) disebutkan pernyataan ini “Sesungguhnya
kalian berpindah dari satu rumah menuju rumah yang lain”, maka dasar
Al-Qur’annya adalah, ”kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau”
(Q.S. Al-qiyamah: 3). Al-Qur’an berkata ketika menjelaskan proses kematian
manusia, “Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak)
sampai kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), ‘Siapakah yang dapat
menyembuhkan,’ dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan
(dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada
Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau” (Q.S. Al-Qiyamah: 26—30).
Yakin, bahwa ketika jiwa (ruh) sampai ke tenggorokan dan kedua betisnya
saling bertaut satu dengan yang lain, maka orang yang mendekati kematian
memahami bahwa “Kepada Tuhanmulah kamu dihalau”. Waktu kematian
dan hari perpindahan dari dunia ke barzakh, penggiringan kepada Allah dan
perjalanan menuju Allah sudah sangat dekat. Maka, tidak ada sedikitpun
kefanaan, namun hanya kematian.
Pada saat kematian dan kebebasan dari jasad, manusia digiring menuju
Allah, dan gerakan ini meneruskan perjalanan menuju rumah ketetapan
(dar al-qarar) menuju Allah—“Hanya kepada Tuhanmu pada hari itu tempat
kembali” (Q.S. Al-Qiyamah: 12). Ketetapan(tempat kembali) berada pada
haribaan Allah. Dan dunia adalah tempat berlalu dan tempat penyeberangan.
Dalam perkataan Ali bin Abi Thalib a.s. dikatakan bahwa dunia adalah
tempat berlalu dan jembatan penyeberangan, sedangkan akhirat adalah
tempat ketetapan, “Ambillah (bekal) dari tempat penye berangan kalian
p:196
untuk tempat menetap kalian”.(1)
Dunia adalah tempat penyeberangan,
sedangkan tempat ketenangan di sana (akhirat), dan setiap manusia akan
sampai di sana (akhriat) dan akan merasakan kete nangan di dalamnya.
Ungkapan bahwa ketetapan dan tempat menetap di sana, dan pada
saat kematian (manusia) digiring ke sana menunjukkan bahwa manusia
tidak akan mengalami kefanaan dan kematian bukan berarti kefanaan
dan pemisah antara kafilah manusia yang selalu dinamis dan tujuannya,
melainkan kafilah ini akan terus berjalan seperti ini. Dan nampak dengan
jelas bahwa kelanjutan perjalanan dan kelanjutan kehidupan tidak sesuai
kecuali dengan disertai immaterinya ruh manusia yang terbebaskan dengan
kematian dari badan duniawi, dan Allah Swt akan merahmatinya di dalam
barzakh fisik (al-barzkah al-badani) yang cocok dengan nya dan ia menjadi
tenang (al-hadi’), sehingga orang(yang bersangkutan) akan berhubungan
kedua kalinya dengan badannya pada Hari Kiamat besar dengan izin Allah.
Apabila hubungan ini tidak terpisah dengan apa pun dan terus-menerus,
maka hal itu tidak sesuai kecuali dengan immaterinya ruh.
Di dalam Al-Qur’an al-Karim terdapat dalil-dalil lain tentang
immaterinya ruh para nabi dan para wali. Ketika Ruh al-Amin (Jibril)
turun dengan membawa wahyu Ilahi, maka yang menjadi tempat penerimaan
wahyu Ilahi adalah hati suci Rasulullah, “Dia dibawa turun oleh ruh
al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (Q.S. asy-Syu’ara:
193—194). Hati Rasul yang mulia yang menjadi tempat turunnya para
malaikat ilmu tidak dapat berupa sesuatu yang bersifat materi. Dan hati
itu yang merupakan anugerah Ilahi adalah hakikat seluruh manusia yang
berhubungan dengannya.
Seseorang yang melakukan kesalahan, seseorang yang menyimpan
kepercayaan yang sesat, apabila dia menyembunyikan kesaksian yang benar
di mahkamah keadilan (di akhirat—Peny.), maka dia melakuan dosa, “Dan
barang siapa yang menyembunyikannya , maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya” (Q.S. Al-Baqarah: 283). Dosa bukanlah sesuatu yang
bersifat materi, dan hati pendosa tidak dapat menjadi sesuatu yang materi.
Perselisihan akidah, pemikiran, pencapai ilmu, dan perubahan jalan semua
masalah ini berkaitan dengan perbuatan-perbuatan pikiran, hati, dan akal
yang tidak mungkin berupa sesuatu yang materi.
Ringkasnya, Al-Qur’an al-Karim mengenalkan masalah-masalah ini
sebagai sesuatu yang tejadi di tengah jalan, maka tidak ada sesuatu yang
p:197
sia-sia (fana). Oleh karena tidak ada sesuatu yang fana, maka kekekalan ini
tidak sesuai dengan hakikat manusia yang materi. Kalau begitu, manusia
di samping badan materinya, ia juga memiliki ruh yang non-materi. Dan
persoalan-persoalan kerasionalan yang dikemukakan untuk menetapkan
non-materinya ruh dalam padangan Al-Qur’an al-Karim dan pendapat-pendapat
para imam Ahlulbait bukanlah pembahasan-pembahasan rasional
dan idiomatis (al-isthilahiyah) yang di dalamnya tersendiri (independen) dan
kajian tafsir tematis (at-tafsir al-maudhi’i) juga bersifat independen darinya.
Apabila pandangan Al-Qur’an al-Karim menyatakan bahwa setiap
manusia memiliki barzakh, apabila ia memberitahukan bahwa ruh para
syuhada hidup, apabila Al-Qur’an al-Karim menetapkan immaterinya ruh
para syuhada dan menyatakan hal yang sama bagi orang-orang yang lebih
tinggi maqâm mereka daripada para syuhada, yaitu para nabi dan para imam
Ahlulbait, dan apabila tidak rasional perkataan yang menga takan bahwa
kesyahidan menyebabkan non-materinya ruh sehingga ruh itu pada saat
sebelum kesyahidan berupa materi kemudian sesudahnya berubah menjadi
non-materi, dan seterusnya, maka semua ini menunjuk kan tentang non-materinya
ruh manusia. Dan ruh yang non-materi ini yang siapa saja yang
mengenalnya berarti mengenal Tuhan-Nya dengan pengenalan yang terbaik,
bukan sekadar “Siapa yang mengenal dirinya berarti mengenal Tuhannya”.(1)
Akan tetapi, “Yang paling mengenal Tuhannya di antara kalian adalah orang
yang paling mengenal dirinya”. Hal ini sesuai dengan argumentasi inni(2) dan
sekaligus argumentasi limmi, yakni bahwa barang siapa yang lebih mengenal
Tuhannya, maka dia berarti lebih mengenal dirinya. Atau sebaliknya, barang
siapa yang lebih mengenal dirinya, maka pasti dia lebih mengenal Tuhannya.
Dan semua ini sebagai petunjuk-petunjuk tentang kekekalan dan keabadian
ruh manusia, dan hal itu juga menunjukkan non-materinya ruh.
p:198
p:199
p:200
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Al-Qur’an al-Karim memandang bahwa pendidikan dan pelatihan ruh
manusia tergantung kepada makrifatnya. Manusia—sesuai dengan kadar
makrifat dan wawasannya—mampu mencapai kedewasaan (rusyd) dan sesuai
dengan kadar pengetahuan dan bashirah dan makrifat, maka dia tidak dapat
menyibak jalan dan tidak dapat juga mengindentifikasi tujuan. Dia harus
menyibak jalan dan menghindari halangan-halangan agar didapat berhijrah di
bawah pancaran cahaya makrifat-makrifat ini dalam rangka mencapai tujuan.
Kalau begitu, sebab yang paling penting dalam kematangan jiwa
manusia adalah ilmu dan makrifatnya, dan sebab yang paling berpengaruh
dalam kesempurnaannya adalah bashirah dan kesadarannya. Terkadang
ilmu dan makrifat ini diperoleh melalui belajar, mengkaji, bersekolah,
membaca, menulis, dan sebagainya. Terkadang juga, ia didapatkan melalui
pelatihan jiwa, ibadah, ketakwaan, penyucian ruh dari polusi alam, dan
sebagainya. Adakalanya ia diperoleh dari jalan dalam, dan adakalanya
diperoleh melalui jalan pendengaran dan penglihatan. Adakalanya melalui
jalan hati dan penyaksian, dan adakalanya juga melalui jalan belajar,
membahas, dan berpikir. Dan Al-Qur’an al-Karim telah menjelaskan dua
jalan dan mengidentifikasi tanda-tanda keduanya. Ia juga menerangkan
cara pengambilan manfaat dari keduanya, dan menunjukkan kekhususan-kekhususan
jalan hati.
Penggunaan jalan yang pertama, yaitu melalui jalan belajar, membahas,
mendengar, melihat, dan berpikir sangat bermanfaat dan berpengaruh.
Akan tetapi, ia dapat terkena pertentangan (takhalluf ). Adapun jalan
hati, pengaruhnya lebih besar dan tidak dapat terkena pertentangan, atau
seandainya terkena pertentangan, maka dalam batas yang sangat lemah.
Al-Qur’an telah mengemukakan di sebagian ayat-ayatnya kedua jalan
ini secara terpisah atau sendiri-sendiri, dan pada ayat-ayat yang lain ia
menunjukkan keduanya secara bersamaan. Hal ini dalam rangka merinci
dan mengidentifikasi satu jalan dan jalan yang lain dan menerangkan bahwa
keduanya sederhana (muyassarani) dan bahwa di antara keduanya juga
terdapat hubungan dan pertautan.
p:201
Al-Qur’an al-Karim menegaskan tentang jalan yang pertama yang
(diperoleh) melalui jalan belajar, membahas, mendengar, melihat, berpikir,
dan sebagainya karena ia lebih mudah daripada jalan yang kedua dan lebih
cepat serta lebih umum. Ia (Al-Qur’an) mengajak untuk men-tadaburkan
ayat-ayat Allah, merenung, dan berpikir. Ia juga menunjukkan nilai
dan pentingnya pendengaran dan penglihatan, serta mendorong dengan
memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu, belajar, dan mengajar.
Semua itu merupakan contoh yang menunjukkan bahwa betapa
seriusnya Al-Qur’an dalam memberikan perhatian terhadap jalan yang
pertama. Oleh karena itu, ia mengatakan: Mengapa kalian tidak memberikan
alam penciptaan? Mengapa kalian tidak men tadabur-kan bukti-bukti
kekuasan Allah di dalam? Mengapa kalian tidak memikirkan sistem yang
komprehensif(an-nizham al-kulli)? Mengapa kalian tidak merenungkan
dengan teliti masa lalu kalian dan masa kalian sekarang? Ayat-ayat seperti
ini mendorong manusia untuk berpikir. Dan setelah Allah memberi kita
alat-alat bepikir, baik berupa pendengaran, penglihatan, dan pikiran serta
mengenalkan kita dengan alat-alat ini, Dia berfirman, “Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati” (Q.S. As-Sajdah: 9). Dia
menganugerahi kalian pendengaran dan penglihatan supaya makrifat-makrifat
mudah kalian peroleh melalui jalan membaca dan menulis serta
belajar dan mengkaji. Begitu juga Dia mengaruniai kalain hati agar kalian
dapat memikirkan dan mengingat-ingat makrifat itu.
Setelah dia menjelaskan pentingnya pendengaran, penglihatan,
dan hati, Dia mendorong manusia untuk menggunakan alat-alat ini dan
Dia bertanya-tanya tentang sebab tidak adanya pendayagunaan karunia
tersebut. Ayat-ayat semacam ini cukup banyak. Terkadang ia (Al-Qur’an)
berkata: Mengapa kalian tidak memikirkan diri kalian sendiri? Adakalanya ia
mengatakan: Mengapa kalian tidak memikirkan sistem eksternal (an-nizham
al-khariji)? Penelitian terhadap ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk
berpikir, menuntut ilmu, dan merenung merupakan bukti (dalil) akan
perhatian Al-Qur’an dengan jalan yang pertama.
Adapun jalan yang kedua, yaitu jalan yang diperoleh melalui hati
bukan melalui belajar dan membahas. Dengan kata lain, jalan yang diperoleh
melalui amal bukan melalui ilmu, jalan penyikapan bukan jalan perkataan
dan penulisan, jalan penyaksian (syuhud) bukan jalan pedengaran, penulisan,
pembacaan, dan lain sebagainya. Oleh karena ia jalan yang cukup sulit dan
sedikit sekali dari manusia yang mampu mencapainya, maka Al-Qur’an
al-Karim telah menjelaskan jalan ini kepada orang-orang yang istimewa
p:202
(alauhadi minal basyar) dan orang-orang khusus dari wali-wali Allah, dan
Dia telah mengingatkan tentang tingkat kesulitannya namun manfaatnya
banyak dan pertentangan (takhalluf ) di dalamnya sedikit.
Dalam surah Al-Anfal terdapat penjelasan tentang jalan ini, “Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia
akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu
dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia
yang Besar” (Q.S. Al-Anfal: 29). Dan sebaik-baik panggilan(khitab)
dari Allah kepada manusia dalam Al-Qur’an adalah, “Wahai
orang-orang yang beriman”, Allah memanggil mereka sebagai orang-orang
yang beriman. Dia memanggil dengan melihat keyakinan mereka kepada-
Nya. Wahai orang-orang yang beriman di dunia, wahai orang-orang yang
meyakini keberadaan Allah (al-mabda’) dan Hari Kemudian, wahai
orang-raong yang meyakini adanya Allah, Rasul-Nya, dan Hari Kiamat,
wahai orang-orang yang ruh kalian tecerahkan dengan keyakinan ini.
Apabila kalian mengetahui sesuai dengan keyakinan ini dan ketika
kalian menginjakkan kaki kalian di jalan akidah ini, dan jika kalian men jaga
ketakwaan ini, maka Allah Swt akan mengampuni kemaksiatan-kemaksiatan
kalian yang lalu dan kalian akan menjadi orang-orang yang berada di bawah
cucuran rahmat-Nya yang khusus, dan Dia akan memberi kalian cahaya
yang dengannya kalian dapat memisahkan antara yang hak dan yang batil,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia akan memberikan kepadamu furqan”.
Apabila kalian bertakwa kepada Allah dan kalian berhasil menjaga
diri kalian dari sikap melanggar perintah-perintah Allah dan kalian dapat
meninggalkan dosa-dosa sebagai bentuk penghormatan kepada Allah atau
kalian meninggalkan hal-hal yang berlawanan dengan akal juga sebagai
bentuk penghormatan kepada kemuliaan Allah—“Jika kamu bertakwa
kepada Allah—apabila kalian melakukan perhitungan terhadap perbuatan
kalian agar dicintai oleh Allah dan kalian berusaha untuk taat kepada-Nya
dan meninggalkan kemaksiatan, dalam rangka menggapai rida
Allah, dan tidak ada tujuan lain di balik amalan-amalan kalian selain Allah,
maka Allah akan mengaruniai kalian berkat (al-barakah) ini, “Dia akan
memberikan kepadamu furqan”. Allah akan memberi kalian cahaya yang
dengannya kalian dapat memisahkan antara yang hak dan yang batil. Yakni,
apabila ada orang yang turut serta di dalam ‘madrasah takwa’ dan keluar dari
madrasah ini sebagai orang yang takwa dan orang yang jujur, maka sama
sekali dia tidak akan menjadi bingung dalam mengidentifikasi masalah apa
p:203
pun, dan tidak akan berlambat-lambat dalam menyelesaikan suatu persoalan
yang disebabkan kebingungan, ia tidak akan terkena kebingungan dalam
persoalan pemikiran, tidak juga dalam masalah-masalah ilmiah. Juga tidak
bimbang dalam menuntaskan masalah-masalah sosial. Maka, ia sama sekali
tidak bingung dalam masalah apa pun karena sikap bingung adalah dampak
dari kebodohan, dan orang yang bodoh adalah orang yang bingung. Orang
yang tidak mengetahui (alias bodoh—Peny.) akan berdiam diri, sedangkan
orang yang mengetahui (alias pandai) akan bergerak. Kebingungan dan
kebimbangan adalah pengaruh dari kebodohan. Dan orang yang tidak
mengetahui itu berlambat-lambat karena ia tidak mengetahui apa yang
membahayakannya dan apa yang memberinya manfaat dan apa yang
membahayakan masyarakat dan apa yang bermanfaat. Orang yang tidak
memahami kebaikan dan keburukan itu mengalami kemandekan.
Orang yang tidak dapat memisahkan antara yang hak dan yang batil
itu menjadi ragu. Namun, orang yang dapat membedakan antara yang hak
dan yang batil, antara yang baik dan yang buruk, antara yang manfaat dan
yang mudarat, dan antara kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak akan
berlambat-lambat. Kebingungan dan keraguan atau penarikan kem bali
(ruju’) suatu keputusan adalah akibat dari kebodohan di mana manusia yang
bersangkutan tidak mengetahui kebaikan dan keburukan.
Apabila seseorang melakukan perbuatan yang jelek untuk menuruti
hawa nafsunya padahal dia mengetahui bahwa perbuatan ini baik dan
perbuatan itu buruk, maka pada hakikatnya dia itu bodoh ditinjau dari
dimensi yang lain, karena ilmunya ini tidak seratus persen sempurna. Ia
mengira bahwa kelezatan saat ini akan memendam kerugiannya di masa yang
akan datang, dan ia menyangka bahwa memikul penderitaan di masa yang
akan datang lebih baik demi mendapatkan kelezatan saat ini. Sebaliknya,
jika ia memahami makna (hakikat) yang akan datang di mana ia mengeta
hui bahwa masa depannya akan dipenuhi dengan penderitaan yang sulit
untuk dipikul, dan bahwa kesengsaraan masa depan tersebut didorong oleh
kelezatan yang berlangsung (saat ini), maka tangannya tidak akan melakulan
kerusakan (baca: kemaksiatan—Peny.) sama sekali, dan dalam contoh seperti
ini tidak terdapat ilmu pasti (‘ilm qath’i).
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: janganlah kamu jadikan
ilmumu suatu kejahilan, apabila Anda mengetahui maka amalkanlah. Yakni,
teruskanlah ilmumu ke derajat yakin (derajatul yaqin). Dengan demikian,
segala bentuk kebingungan dan penarikan kembali (ruju’) suatu sikap adalah
akibat dari kepandiran. Al-Qur’an al-Karim berkata: Manusia harus memilki
p:204
furqan (pembeda antara yang hak dan yang batil. Peny.) agar ia tidak menjadi
tawanan kebingungan dan kebimbangan antara menetap atau kembali ke
belakang dan agar mereka dapat meneruskan jalan kesempurnaan mereka.
Yakni, mereka memiliki cahaya yang dengannya mereka dapat memisahkan
antara yang hak dan yang batil dan antara yang baik dan yang buruk; dan
lampu cahaya ini menjadi terang dengan kunci ketakwaan.
Al-Qur’an berkata bahwa jika kalian memakai baju ketakwaan, maka
cahaya itu akan kalian peroleh. Jika kalian mengamalkan apa-apa yang
kalian ketahui, maka akan menjadi jelas bagi kalian apa-apa yang tidak
kalian ketahui. Apabila kalian pergi sesuai dengan kemampuan kalian, maka
kalian akan diberi kemampuan lain untuk pergi ke pelbagai jalan yang
cukup banyak tikungan dan kalian akan diberi kekuatan untuk melalui
peringatan yang sangat sulit. Kalian tidak akan tertinggal selamanya, “Jika
kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberikan kepadmau furqan”
(Q.S. Al-Anfal: 29). Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Maka, jalan
takwa tidak akan terkena ketertinggalan, karena boleh jadi pada jalan yang
pertama, yaitu jalan berpikir terdapat ketertinggalan sebab mungkin saja
sebagian orang belajar namun mereka tidak menjadi orang lain, dan boleh
jadi juga mereka menjadi ulama, namun mereka tidak berhasil menjaga ilmu
mereka dan mencapai derajat tertentu, “Supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya” (Q.S. Al-Hajj: 5). Dia sampai
ke usia lanjut (ardzal al-‘umur) dan mengatakan: “Aku telah lupa kepada
semua yang aku baca”. Akan tetapi, buah ketakwaan adalah bahwa manusia
akan mengatakan, “Tidak ada dalam hatiku kecuali pembicaraan tentang
Sang Kekasih (al-habib) yang aku ulang-ulangi”.
Mengapa pembicaraan tentang Kekasih tidak pernah hilang dari
memori manusia? Karena, Dia (Allah) selalu hadir selamanya jalan takwa
bukan berarti jalan yang terkadang berada di sisi manusia yang bertakwa dan
terkadang tidak berada di sisinya. Ia tidak seperti proses belajar di sekolah
yang terkadang seorang pelajar mendapatkan ilmu dan wawasan, dan pada
kali lain tidak mendapatkannya. Ia tidak juga seperti kitab dan penulisan
yang terkadang memuat pemikiran yang benar dan terkadang tidak. Ia juga
tidak seperti proses pembahasan dan studi yang terkadang mendapatkan
pemikiran baru dan terkadang tidak mendapatkannya.
Jalan takwa adalah jalan yang hasilnya pasti dan keabadiannya juga
pasti. Tidak mungkin seorang yang bertakwa tidak mendapatkan hasil apa
pun, dan tidak mungkin juga apa yang diperolehnya dari jalan takwa akan
sirna—“jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberikan kepadamu
p:205
furqan—karena takwa adalah wajah ruh yang bersih dan cermin ruh yang
jernih. Apabila cermin ini sunyi dari karat, dan apabila permukaan cermin
hati jernih dan apabila wajah ruh tanpa topeng, maka rahasia-rahasia alam
akan tersingkap baginya (manusia yang takwa—Peny.). Alam gambar-gambar
yang beraneka ragam adalah milik Sang Pelukis Abadi itu (Allah—Peny.)
dan permukaan cermin hati juga tembus cahaya (syaffafah) dan menyimpan
gambar (laqitha). Pengajar itu (Allah—Peny.) selalu mengucurkan karunai
(daim al-faidh) dan plajar itu (manusia—Peny.) siap dan mampu menerima
karunia tesebut. Oleh karena itu, pancaran (fuyudh) jalan takwa yang menjadi
bagian dari hati adalah sesuatu yang pasti dan abadi (qath’iyyah wa daimiyyah).
Ayat ini tema mengandung pancaran yang pasti lagi khusus(al-faidh alqath’I
al-makhsus) begitu juga keabadiannya. Sebagaimana disebutkan dalam
surah ke-65 ketika menjelaskan tentang hasil takwa, “Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (Q.S.
ath-Thalaq: 2—3). Yakni, barang siapa menjaga takwa kepada Allah, maka
dia sama sekali tidak pernah bingung dalam hidupnya, dan jalan keluar dari
setiap masalah yang pelik dan berat akan terbuka baginya. Manusia yang
bingung adalah orang yang berada di tempat putaran yang tertutup. Manusia
yang bingung menurut kacamata Al-Qur’an adalah orang yang terkena azab
yang pedih—“Dan mereka selalu bingung dalam keraguan mereka” (Q.S. at-
Taubah: 45). Manusia yang bingung adalah orang yang mondar-mandir
di tengah-tengah kebingungannya. Sedangkan seseorang yang yakin dan
bertakwa, maka dia akan meneruskan jalan kesempurnaannya, sementara
seseorang yang bingung, maka dia akan terkungkung di dalam tempat yang
tertutup dan setiap jalan yang ditujunya untuk keluar telah dibuntu, lalu dia
kembali mundur ke belakang.
Terkadang manusia melewati suatu jalan dan tidak kembali lagi
darinya, dan terkadang ia melalui suatu jalan yang buntu lalu ia kembali
lagi darinya dan memilih jalan lain lagi yang dilihatnya, namun lagi-lagi
jalan itu buntu sehingga ia kembali lagi dari sana. Kembali yang berulangkali
(ar-ruju’ al-mutakarrar) ini disebut dengan mondar-mandir (tardid). Al-
Qur’an al-Karim bekata: sesungguhnya mereka orang-orang yang tersesat
yang tidak diberi jalan hati, setiap mereka ingin keluar dari suatu jalan, maka
mereka mendapatinya tertutup di depan mereka se hingga mereka kembali
lagi, mereka terkungkung dalam lubang keraguan dan kebingungan—“Dan
mereka selalu bingung dalam keraguan mereka”. Orang-orang kafir dan orang-orang
munafik pada saat merasa kan keraguan internal mereka, mereka
p:206
mondar-mandir untuk mencari jalan keluar yang tidak akan pernah mereka
temukan dari lubang kera guan, namun bagi orang yang takwa jalan keluar
tersebut terbuka di depannya.
Oleh karena orang-orang yang bertakwa melihat tujuan dan juga
merasakan lezatnya perjalanan di dalamnya, maka jalan itu terbuka bagi
mereka dan tujuan juga jelas bagi mereka, mereka melihat jalan dan
sekaligus mengetahui tujuan. Oleh karena itu Al-Qur’an berkata, “Barang
siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia memberinya jalan keluar” Q.S.
ath-Thalaq: 2). Allah-lah yang menyiapkan baginya jalan keluar dari setiap
kerumitan dan ia tidak akan pernah merasakan kebingungan dan keraguan.
Ia tidak akan merasa lebih karena jalan yang dilaluinya bersifat abadi, baru,
dan menyenangkan. Ia tidak akan merasakan kebingungan karena jalan itu
cukup jelas dan tujuan akan menarik si pejalan untuk segera mencapainya,
dan sebab gaib (as-sabab al-ghaibi) itu yang mendatangkan daya tarik pada
batin si pejalan, dan sesuatu yang menyebabkan adanya usaha untuk meraih
tujuan dari si pejalan sebagaimana mendatangkan daya tarik dari arah tujuan
adalah takwa. Ia( Al-Qur’an—Peny.) berkata: Allah telah memberi kalian
furqan (pembeda) yang dengannya kalian dapat memisahkan antara yang
hak dan yang batil. Dan Dia (Allah) telah menjelaskan bagi kalian jalan
keluar dari setiap persoalan yang rumit.
Oleh karena itu, orang-orang yang ahli takwa pada saat mereka
melihat tujuan, mereka juga melihat jalan. Mereka akan menyibakkannya
dan akan mencapai dengan mudah. Apabila kalian ingin menjadi orang-orang
mukmin, maka naiklah ke atas, Sesungguhnya jalan itu ter buka lebar bagi
kalian, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik” (Q.S. Fathir:
10) Apabila kalian mau meneruskan perjalanan bersama kebenaran (masir
al-haq), maka jalan itu terbuka—“Dia memberinya jalan keluar”. Akan
tetapi, ketika orang-orang asing (al-ghuraba’) mau naik ke atas, maka mereka
seperti orang yang ingin terbang di udara—“Seolah-olah ia sedang mendaki
ke langit” (Q.S. Al-An’am: 125). Oleh karena itu, mereka tidak akan mampu
meneruskan jalan ini lalu mereka jatuh dengan ter paksa “Mereka menyimpang
dari sirath” (Q.S. Al-Mukminun: 74). Mereka menyimpang dari jalan—
“Dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku
menimpa. Dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya
binasalah ia” (Q.S. Thaha: 81).
Ia (Al-Qur’an—Peny.) berkata: janganlah kalian bemaksiat dan berbuat
kelaliman sehingga kalian terkena kemarahan Allah, dan setiap orang yang
terkena murka Allah akan terjatuh. Ia (orang yang terjungkal itu—Peny.)
p:207
telah menutup jalan atas dirinya sendiri, sebagaimana orang-orang yang
“Berlalu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras”
(Q.S. Al-Hadid: 16). Hati mereka mengeras karena jauhnya waktu jeda (alfashilah)
dari waktu wahyu dan amal saleh, dan ketika hati mengeras dan
jalannya telah tertutup maka tidak ada jalan keluar karena siapa yang ingin
bergerak maka ia harus bergerak dalam lintasan hati.
Tidak ada jalan lain bagi manusia pejalan ruhani kecuali hatinya. Dan
perjalanan ini bukanlah perjalanan ke langit atau ke bumi (safar samawi
au ardhi); perjalanan ini adalah perjalanan dalam tempat suci ruh yang di
dalamnya manusia bergerak melalui jalan hati. Dan setiap sifat baru yang
diperoleh manusia merupakan langkah baru yang akan mengantar kannya
menuju perjalanan kepada Allah. Oleh karena jalan kepada Allah adalah
melalui ruh manusia, dan sifat-sifat yang utama ini terdapat pada diri manusia
pejalan ruhani satu demi satu sehigga melaluinya ia dapat menyeberang
dan sampai ke puncak spiritual yang tinggi. Kalau tidak, maka negeri ini
bukanlah Mesir, bukan juga Irak atau Syiria, bukan juga jalan langit atau
bumi, perjalanan ini bukan perjalanan di bumi atau perjalanan di langit,
tetapi perjalanan di dalam hakikat ruh manusia (sair fi dzati ruhil insan),
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu” (Q.S. Al-Maidah: 105).
Manusia yang hidup di dunia secara individual, setelah kematian akan
menjadi suatu kafilah yang akan dikumpulkan bersamanya seluruh amalnya,
keyakinannya, akhlaknya, dan niatnya. Oleh karena itu, akan ada satu
kafilah yang bersamanya, dan ruh ini akan berjalan menuju Allah. Dengan
demikian, perjalanan (al-masar) merupakan derajat-derajat spiritual. Dan
jalan manusia pejalan ruhani adalah hakikat derajat-derajat spiritualnya.
Jalan merupakan kesempurnaan-kesempurnaan jiwa. Dan manusia yang
berjalan di jalan ini jika mengamalkan setiap yang diketahuinya maka
jalannya mudah teridentifikasi dan tujuan menjadi jelas, “Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberinya jalan keluar” (Q.S. ath-
Thalaq: 2). Ia tidak akan tinggal di dalam selamanya. Dalam surah Al-An’am
dikatakan: sebagian mereka menjadi orang-orang yang bingung, “Dia
mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan
mengatakan): “Marilah ikuti kami” (Q.S. Al-An’am: 71). Dan orang-orang
lain juga memanggilnya, namun dia bingung. Maka manusia yang tidak
mengenali jalan ini dan tidak melihat jalan serta tidak dapat menimbang
tujuan, maka ia terkena suatu kebingungan yang tercela. Namun, ketika ia
berhasil menjaga ketakwaan dan mengamalkan apa-apa yang diketahuinya,
p:208
maka ia tidak dapat ditipu oleh dirinya. Begitu juga orang-orang lain tidak
dapat menipunya dan ia akan melalui jalan dengan ikhlas.
Setelah itu, perlintasan jalan yang tersisa dan penglihatan terhadap
perjalanan yang tersisa akan memjadi hal yang mudah baginya, dan begitu
juga ia dapat melihat para perampok jalan dan dapat mengusir mereka
dan ia mengetahui jalan petunjuk lalu mengikutinya dan ia akan melalui
jalan ini dengan mudah, dan ia akan menyeberangi sirath al-mustaqim
yang merupakan sesuatu yang lebih lembut daripada rambut dan lebih
tajam daripada pedang. Jika manusia mau menyoroti dirinya dan bersegera
berdasarkan cahaya keadilan, maka ia harus mengetahui bahwa jalan ini
sangat tipis sampai pada batas lebih halus daripada rambut dan sangat tajam
sampai pada batas lebih tajam daripada pedang.
Jalan (shirat) telah diumpamakan kepada kita dengan perumpamaan
ini dan telah dijelaskan kepada kita dengan penjelasan ini dan manusia yang
belum mencobanya tidak akan mengetahui betapa sulitnya melalui shirat itu
dan bagaimana ia lebih lembut daripada rambut dan lebih tajam daripada
pedang. Akan tetapi, selama ia belum menjadikan dirinya berada di tempat
percobaan Ilahi, maka ia belum mengetahui kebenaran (perumpamaan)
bahwa ia lebih lembut daripada rambut dan lebih tajam daripada
pedang, ketika ia bebas dari dirinya dan dari batasan materi maka ia akan
memahaminya, “Kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?” (Q.S.
at-Tabuah: 38). Ia tidak akan menjadi berat dan tidak ada kecenderungan
baginya ke tanah, ia menjadi lembut dan halus dan termasuk orang-orang
yang peka perasaannya (ahli syu’ur).
Orang-orang yang peka perasaannya melihat suatu permasalahan yang
halus seperti rambut dan mereka menyingkap jalan yang halus bagai rambut.
Ahlisyu’ur mampu—dengan ketelitian pandangan yang mereka miliki—
melihat jalan yang halus dan mereka tidak bingung dalam melihat jalan
tersebut. Dan mereka orang-orang yang takut kepada Allah, orang-orang
yang bertakwa, dan orang-orang yang naik dari bumi menuju langit.
Mereka telah selamat dari jembatan jahanam dunia yang tajam (jahanam
at-thabi’ahal-had), dan pedang tajam itu tidak akan dapat menyakiti mereka,
mereka akan menyeberangi sirath dengan cepat dan tidak akan pernah
tertinggal sama sekali, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia memberinya jalan keluar”. Mereka juga mempunyai pelita furqan yang
menerangi, dan jalan keluar dari perkara yang sulit juga terbuka. Mereka
memiliki cahaya juga memiliki jalan, mereka melihat sebagaimana jalan juga
terbuka di depan mereka. Jalan itu sangat luas dan cahaya sangat kuat juga.
p:209
Jika pejalan itu adalah ruh dan terdapat lampu yang bercahaya di dalam
ruh dan derajat-derajat jalan adalah hakikat ruh, maka saat itu perlintasan
jalan tersebut menjadi mudah, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-
Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang megambil pelajaran” (Q.S.
Al-Qamar: 17). Allah menjelaskan dalam bentuk perintah kepada Rasul-
Nya yang termulia Saw. dalam surah Al-Isra’, yang (perintah itu) berupa
doa sebagai berikut, “Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan
aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar
yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat
menolong(ku)” (Q.S. Al-Isrâ’), maka aku tidak bingung dalam meletakkan
kakinya atau mengangkatnya adalah disebabkan adanya furqan bersamanya
yang memisahkan antara yang hak dan yang batil, “Jika kamu bertakwa
kepada Allah, niscaya dia memberimu furqan” (Q.S. Al-Anfal: 29).
Apabila ia mempunyai kesalahan (taqshir) pada masa lalu, maka ia
akan melihat—melalui perantaraan cahaya ini—kesalahan ini lalu Allah
Swt memaafkannya dan apabila ia takut dari masa depan, maka rasa takut
ini akan berubah—melalui perantaraan cahaya ini—menjadi rasa aman
dan debu masa lalu akan tercuci dengan cahaya ini, dan inilah jalan hati
yang tidak akan terkena ketertinggalan (takhalluf ) dan tidak pula tertimpa
pertentangan (ikhtilaf ).
Jalan itu tidak akan meninggalkan manusia pada masa tuanya dan tidak
akan menghilang sepanjang usianya, ia tidak memberi dirinya dua bentuk,
ia tidak akan menghilang sehingga manusia terabaikan pada waktu tertentu,
dan tidak ada pertentangan baginya sehingga ia menemui manusia dengan
dua bentuk. Dan karena cahaya hanya mempunyai satu bentuk, maka
kebenaran dan keadilan hanya mempunyai satu bentuk. Oleh karena itu,
lisan para pelajar (ahli madrasah) mengatakan, ”Saya sudah lupa terhadap
semua yang pernah saya baca”. Boleh jadi jalan belajar tidak mampu
memberikan jawaban yang memuaskan di usia senja. Boleh jadi kitab itu
tidak mampu menjaga manusia usia lanjut yang dipenuhi dengan ilmu.
Akan tetapi, ketakwaan memiliki keistimewaan ini karena ia tidak
pernah sama sekali terpisahkan dari orang yang bertakwa dan seorang
abid, dan lisan ahli takwa mengatakan, “Tidak ada lain dalam hatiku selain
pembicaraan tentang Sang Kekasih yang kau ulang-ulangi. ”Dan manusia
tidak akan pernah melupakan pembicaraan tentang Sang Kekasih karena
ia selalu mengulang-ulanginya. Dan jalan kedua telah mendapat perhatian
serius dari Al-Qur’an. Dan ia (Al-Qur’an—Peny.) mengenalkan jalan
pertama sebagai mukadimah, ia mengenalkan belajar dan membahas sebagai
p:210
ala-alat beramal, dan mengenalkan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar
kan sebagai sarana-sarana yang akan mengantarkan manusia menuju
jalan hati dan bergerak di jalan takwa. Yakni, ia harus mengenalkan
apa yang diketahuinya dan hendaklah dalam beramal ia hanya mengharapkan
rida Allah, dan hendaklah ia menguji dirinya apakah ia merasakan
senang dan nikmat ketika orang-orang lain menyebut-nyebut amalnya.
Apabila demikian, maka hendaklah ia sadar bahwa amalnya tidak ikhlas
dan ketika ada orang lain melaksanakan amal ini lalu ia marah karena ia
belum mengamalkannya dan ia tidak disebut-sebut, lalu ia kesal mengapa
orang selainnya mengamalkan perbuatan ini dan nama orang lain disebut-sebut,
maka jelas bahwa ia tidak menginginkan rida Allah. Ujilah diri kalian
selamanya dan jangan sampai pernah lalai. Oleh karena kapan pun manusia
lalai dari dirinya, maka setan akan membuat was-was atasnya melalui jalan
kelalaian sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan majelis terdahulu,
“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat
yang kamu tidak dapat melihat mereka” (Q.S. Al-A’raf: 27). Yakni, bahwa
setan dengan gerombolan setan akan datang melalui jalan yang tidak kalian
lihat, mereka akan menyerang kalian dari arah yang kalian lalai darinya.
Jika kalian lalai maka kalian terkena panah waswas, “setiap orang yang lalai,
maka ia terkena panah”.
Demikianlah makna yang tersirat dari penyataan bahwa melihat
perempuan ajnabi adalah panah dari panah-paanah setan. Apabila seseorang
yang lalai melihat perempuan ajnabi. “Sesungguhnya pandangan kepada
perempuan ajnabi adalah panah dari panah-panah iblis”, maka pada saat
kelalaian itu ia akan terkena panah. Demikianlah rahasia apa yang dikatakan
bahwa penglihatan terhadap perempuan ajnabi adalah panah setan yang
beracun. Pada saat seseorang melihat perempuan itu dengan syahwat dan
lalai dari akalnya, maka ia akan terpanah, dan pada setiap dimensi (albu’d)
yang manusia memfokuskan dirinya kepada dimensi yang tidak
berhubungan dengan Allah itu, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
lalai. Pemfokusan kepada diri dan pemalingan dari pencipta alam (mabda’
‘alamal-khilqah) adalah suatu kelalaian, dan pada saat seseorang lalai, maka
ia akan terpanah dengan panah setan.
Atas dasar ini, maka semua jalan pendengaran dan penglihatan,
belajar dan mengajar, membaca dan menulis, dsb, merupakan lahan untuk
memperoleh jalan ini yang dilalui dengan mudah oleh manusia yang
mempunyai maqâm tinggi (al-auhadimin al-basyar). Manusia yang tertarik
akan melalui segala rintangan, tikungan, dan tanjakan jalan ini dengan
p:211
gampang, “Tetapi (mengapa) dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi
sukar” (Q.S. Al-Balad: 11). Dalam ayat ini Al-Qur’an mendorong(manusia
dengan mengajukan pertanyaan), “Mengapa kalian tidak menempuh jalan
yang sukar (penuh rintangan) ini?” Dan rahasia penempuhan jalan yang
mendaki lagi sukar adalah bahwa kalian memiliki cahaya ketakwaan dan
kalian juga mempunyai keterangan dalam melintasi jalan tersebut.
“Jalanlah di atas kepala selama itu mudah bagimu dan di atas kaki
selama itu dapat mengantarkanmu”. Kalau memang jalan di atas kaki
lebih mudah, maka lakukanlah dan kalau jalan di atas kepala adalah suatu
keharusan maka mengapa tidak mencobanya. Manusia yang bertakwa tidak
akan tertinggal selamanya, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia memberinya jalan keluar” (Q.S. ath-Thalaq: 2). Manusia yang bertakwa
tidak akan terkena kebingungan dalam maslaah-masalah ilmiah atau tidak
ilmiah. Manusia yang bertakwa tidak akan bimbang karena janji Allah tidak
mungkin bertentangan (takhalluf ) dengan kenyataan. Ia (Al-Qur’an—
Peny.) berkata; Takwa adalah pemilikan cahaya yang kuat dan pengetahuan
tentang jalan keluar dari setiap perkara yang sulit. Dan berdiam diri di
tempat yang terkunci dan kehilangan jalan (tersesat) tidak sesuai dengan
takwa. Kemampuan untuk membedakan dan juga kemampuan untuk
pergi, pencapaian (makam spiritual) itu dan cita rasa ini (at-tadzawuq),
penglihatan itu, dan pemasukan (ihtiwa) ini, semua itu mudah. “Ia (orang
yang takwa—Peny.) berpindah maqâm-nya dari pengetahuan ke penyaksian
dan dari pendengar ke pemelukan (al-ihtidhan)”.
Manusia bergerak dengan dua sayap, sayap pemahaman dan sayap
kekuatan (al-qudrah). Dan orang yang tidak paham, maka ia tidak dapat
pergi, sedangkan orang yang tidak paham, maka ia tidak dapat pergi,
sedangkan orang yang paham namun ia tidak memiliki kekuatan untuk
terbang, maka ia tidak dapat membumbung di angkasa. Dan ketakwaan
memberi manusia sayap bashirah dan sayap kekuatan, juga memberi
manusia makrifat sekaligus kekuasaan. Ia (ketakwaan) menjadikan manusia
seorang ârif sekaligus pengamal ilmunya, ia memberinya makrifat sekaligus
kemampuan. Dan orang yang takwa adalah manifestasi dari Sang Maha
Mengetahui (al-‘alim) dan tempat aliran karunia Sang Maha mengetahui (al-
‘alim) dan tempat aliran karunia Sang Mahakuasa (majra’ al-faidh al-qadir),
ia menjadi manifestasi ilmu Allah dan kekuasaan Allah (qudrah al-haq),
“Hambaku, taatilah Aku, niscaya Aku jadikan kamu seperti-Ku”.(1) Apabila
ia menjadi menifestasi ilmu Allah—karena Allah memberinya furqan yang
p:212
dengannya ia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil—maka ia
juga menjadi manifestasi kekuasaan Allah, tentu ilmu dan kekuasaan yang
diperolehnya terbatas. Ia menjadi manifestasi ilmu Allah sesuai dengan kadar
wujudnya (bimiqdar sa’alti wujudih), dan ia menjadi manifestasi kekuasaan
Allah sesuai dengan kadar daerah wujudnya (bi miqdar mantiqa wujudih).
Ketika ilmu dan kekuasaan bertemu maka keduanya akan memberikan
kehidupan, dan kehidupan (al-hayat) adalah sudut (haitisiyah) pemberian
perpaduan antara kekuasaan dan ilmu. Dan wujud yang memahami sesuatu
lalu mengamalkannya, wujud yang ilmunya berperan dalam pencipta
amalnya, dan wujud yang amalnya diilhami oleh ilmunya, dan wujud yang
ilmunya disiapkan dalam sebuah program untuk amalnya, dan wujud yang
amalnya berdasarkan ilmunya, wujud itu adalah seperti yang disebut dalam
istilah hikmah (filsafat) wujud yang hidup (al-hayat). Dan yang hidup adalah
wujud yang mengetahui (al-‘alim) dan yang memiliki kekuasaan(al-qadir),
serta wujud yang aktif lagi mengetahui (wujud ‘alim fa’al). Dan manusia
yang menjadi golongan ahli takwa dan ia sampai pada maqâm sebagaimana
manifestasi ilmu Allah dan sebagai saluran furqan yang membedakan antara
yang hak dan yang batil dan ia sampai ke maqâm sebagai tempat berlalunya
kekuasaan Allah melalui jalan mengamalkan perbuatan-perbuatan yang saleh,
maka ia menjadi orang yang mengetahui (‘alim) sesuai dengan kadar dirinya
dan menjadi orang yang mempunyai kekuasaan (qadir) sesuai dengan kadar
dirinya juga. Dan pada kawasan ilmunya, kekuasaan akan mendapatkan
jalan, dan pada kawasan kekuasaannya ilmu juga akan mendapatkan jalan,
maka jadilah ilmu dan kekuasaan sebagai satu adonan sekaligus, maka pada
saat ini ia menjadi orang yang hidup (hayyan), dan manusia ini bersama
ketakwaan ia hidup karena ia telah menjadi manifestasi dari ”Yang Maha
hidup dan tidak mati”.
Manusia sampai ke suatu kehidupan yang tidak akan pernah mengalami
kematian dan sampai ke kehidupan abadi. Ia menjadi air kehidupan (maul
hayat) dan mata air kehidupan (‘ainul hayat). Oleh karena itu, ia tidak
mati(abadi) di surga. Allah Swt telah mengaruniainya kehidupan abadi
“Dari Dzat Yang Maha hidup ke yang hidup dan tidak mati karena percikan
karunia-Nya” (minal hay al-ladzi layamut bid zat ila hay al-ladzi la yamut
bil ‘irdh). Risalah Allah, yaitu yang berisi Dia Yang Maha Hidup dan tidak
mau sampai ke manusia sempurna ini yang hidup, yang juga tidak mati
karena pancaran karunai-Nya. Maka, takwa ini menjadi air kehidupan,
kalau tidak, maka air kehidupan itu hanya sebuah khurafat. Air kehidapan
bukanlah hujan yang turun dan bukan pula mata air yang memancar. Air
kehidupan adalah sesuatu yang dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Furqan,
p:213
Al-Anfal dan Al-Falaq. Dia(Allah—Peny.) berkata: jalan hati adalah sumber
air kehidupan dan manusia yang melalui jalan hati akan meminum dari
air kehidupan. Dan manusia yang menempuh jalan ini akan meneguk dari
gelas air kehidupan. Dan ini merupakan lahan subur(ardhiyah), “Dan Tuhan
memerlukan kepada mereka minuman yang bersih”(Q.S. Al-Insan: 21) dan
menurut penjelasan yang dinukil oleh Thibrisi(Ulama Islam yang dapat
dipercaya) dalam kitab Majma’ al-Bayan dari Imam keenam a.s. bahwa air
minum yang suci itu adalah air yang membersihkan mereka dari sesuatu
selain Allah. Ia(air itu—Peny.) akan mengantarkan manusia ke tujuannya
dan akan menyucikannya dari segala sesuatu selain Allah.
p:214
p:215
p:216
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Al-Qur’an al-karim memandang bahwa dunia adalah faktor yang
paling dominan dalam memotong (menghentikan) jalan menuju Allah. Yang
dimaksud dunia di sini adalah segala hal selain Allah Swt yang menghalangi
manusia untuk mencapai jalan Allah. Al-Qur’an menilai bahwa dunia ini
dan kemanfaatannya sedikit, “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar’” (Q.S. an-Nisa’: 77).
Dunia bukanlah sistem alam (an-izham ath-thabi’ah). Yang dimaksud
dunia bukanlah bumi dan langit, bukan juga laut dan sahara. Dunia
bukanlah tambang, tanaman, hewan, dan manusia; dunia bukanlah
gugusan bintang di langit atau burung di angkasa, karena semua ini adalah
tanda-tanda kebesaran Allah (ayat ilahiyyah), dan tanda-tanda kebesaran
Allah tidak layak untuk dicela. Yang dimaksud dunia adalah sistem yang
mendomiasi masyarakat manusia, peraturan-peraturan buatan (al-‘uhud
al-i’tibariyyah) dan segala bentuk kesenangan yang merusak sistem ini dan
menyebabkan kesibukan, pengabdian, dan kelalaian. Dan fenomena alam
(zhawahir alkhilqah) yang merupakan mani festasi kebenaran (al-haq) dan
tanda-tanda kekuasaan Allah (ayatulah) bukanlah sesuatu yang sia-sia dan
permainan belaka (lahwanwa la’iban).
Manfaat yang diperoleh manusia dari alam ini, kesenangan dan kelezatan
yang malalaikan dari zikir kepada Allah adalah dunia. Dan kenikmatan
dunia sedikit sekali dibandingkan dengan kejadian-kejadian pada Hari
Kiamat, “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar’,ia(dunia)
sedikit (tidak berarti) jika dibandingkan dengan akhirat dan “Kehidupan
dunia hanya kenikmatan sedikit) jika dibandingkan dengan kehidupan
akhirat” (Q.S. ar-Ra’d: 26). Ketika manusia membandingkan antara dunia
dan akhirat, maka ia akan menemukan bahwa dunia tidak lebih dari sekadar
kenikmatan dan kelezatan yang cepat berlalu, “Katakanlah, ‘Kesenangan di
dunia ini hanya sebentar’“.
Apabila manusia mengetahui hakikat dunia dan bahwa ia tidak lebih
dari sekadar kenikmatan sesaat, maka dia tidak akan menjadikan dirinya
yang merupakan barang abadi sebagai pengganti kenikmatan sedikit dan
kesenangan sesaat. Dia tidak takut kepadanya (dunia), tidak mau terbang
p:217
bersamanya, tidak mencintainya, hatinya tidak bergantung dengannya, dan
tidak mengambil bagian darinya. Tukar-menukar ruh manusia yang abadi
dengan kenikmatan sesaat tidak akan menjadi hati rela dan takut kepadanya.
Sebab utama yang menjadikan para nabi dan para wali (para kekasih
Allah—Peny.) mencapai maqâm spiritual tertinggi dan kematangan ruhani
mereka adalah kemampuan mereka memandang batin dunia dan hakikatnya
serta kenikmatannya yang sepele. Di samping itu juga kemampuan mereka
menyaksikan kehidupan akhirat yang merupakan akhir segala tujuan dan
rumah menetap, dan ruh manusia yang abadi dan tidak akan mengalami
kefanaan akan terbuka (berkembang) di dalamnya (Hari akhirat-penl.) serta
akan mendapat limpahan karunia Tuhan yang kekal (faidh al-abadi).
Tidak pantas manusia memilih manfaat dunia yang lekas berlalu di
hadapan alam yang abadi itu. Dan sebab utama tentang keterlambatan
orang-orang untuk bergabung bersama kafilah para pejalan ruhani adalah
ketidakmampuan mereka melihat batin dunia dan mereka mengira bahwa
dunia merupakan sesuatu yang abadi. Bagi mereka, kehidupan itu hanya di
sini (dunia) dan mereka menyangka bahwa dunia adalah tujuan. Mereka tidak
melihat batin dunia dan hakikatnya, maka mereka mengikuti dongengan
yang menyesatkan, dan karena mereka tidak melihat hakikat akhirat, maka
mereka cenderung kepada tanah, alam, dan dunia.
Kami telah menjelaskan dalam pelajaran yang lalu masalah ini dan kami
katakan bahwa Allah memberi orang yang bertakwa furqan yang dengannya
ia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, “Wahai orang-orang
yang beriman jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberi
furqan” (Q.S. Al-Anfal: 29). Maka, kalian tidak akan terkena keraguan dan
kebimbangan sama sekali dalam masalah apa pun. Penjelasan yang demikian
ini juga terdapat dalam perkataan Ali bin Abi Thalib a.s., “Aku tidak pernah
meragukan kebenaran semenjak aku melihatnya”.(1)
Karena beliau adalah al-faruq (pembeda antara yang hak dan yang batil—Peny.), Allah telah
memberinya furqan yang memisahkan antara yang hak dan yang batil. Allah
telah mengaruniainya cahaya yang dengannya terbedakan antara yang hak dan
yang batil dan antara yang baik dan yang buruk dan antara kebahagiaan dan
kesengsaraan dan yang jelek dan yang indah dan yang sedikit dan yang banyak.
Takwa menyebabkan seseorang mampu melihat batin dunia dan
akhirat. Ketika kita melihat kadar kelanjutan kenikmatan dunia dan kadar
kelanjutan kenikmatan akhirat, maka kita akan segera memilih alam yang
abadi itu daripada kenikmatan dunia yang bakal hilang ini. Ketika pasukan
p:218
kafir bertemu dengan pasukan Islam dalam sebagian peperangan, Allah
memperlihatkan batin orang-orang kafir itu kepada pasukan Islam, tetapi
sebaliknya orang-orang kafir itu tidak diperlihatkan batin dan hakikat
pasukan Islam. Mereka (orang-orang kafir) tidak memiliki furqan sehingga
dapat melihat batin pasukan Islam yang banyak sekali.
Oleh karena itu, mereka mengira bahwa pasukan Islam sedikit.
Sedangkan orang-orang Mukmin memiliki cahaya Ilahi itu. Mereke (orangorang
mukmin) melihat batin orang-orang kafir di dunia ini dan mereka
mengerti bahwa mereka sedikit. Oleh karena itu, mereka tidak takut. Oleh
karena dunia pada hakikatnya sedikit, maka ia tidak dapat membangkitkan
ketakutan. Manusia tidak takut kepada dunia karena ia sedikit, dan ia tidak
takut kepada pasukan kafir, karena mereka adalah pecinta dunia(ahli dunya)
dan pada hakikatnya mereka sedikit. Dia (orang mukmin) tidak takut kepada
pasukan kafir karena mereka pasukan dunia dan dunia adalah sedikit, dan
manusia tidak akan takut kepada sesuatu yang sedikit.
Allah Swt telah menjelaskan makna tersebut dalam surah Ali ‘Imran
dan surah Al-Anfal. Dia berfirman dalam surah Ali ‘Imran, “Sesungguhnya
telah ada tanda (kebesaran Allah) bagi kamu pada dua golongan yang telah
bertempur” (Q.S. Ali ‘Imran: 13). Al-Qur’an berkata: Tanda-tanda kebesaran
dan kekuasaan Allah dapat Anda lihat ketika pasukan kafir berhadapan
dengan pasukan Islam, dan Anda dapat menyaksikan mukjizat Ilahi ini dari
dekat, “Sesungguhnya telah ada tanda (kebesaran Allah) bagi kamu pada
dua golongan”. Anda dapat melihat tanda kekua saan Allah dan mukjizat-
Nya di medan perang antara dua kelompok yang bertempur, “Segolongan
bertempur di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir”(Q.S. Ali ‘Imran:
13) Satu kelompok berperang tidak di jalan Allah; mereka mengingkari
kebenaran, menutupi kebenaran, dan mencaci kebenaran, “Yang dengan
mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslim dua kali jumlah
mereka”(Q.S.Ali ‘Imran: 13). Mereka (tentara kafir) melihat pasukan
Muslim seakan-akan dua kali jumlah mereka.
Apakah Allah Swt memperlihatkan kepada orang-orang Mukmin
pasukan kafir yang berlipat ganda daripada mereka menjadi seperti jumlah
pasukan mukmin, yakni bahwa Allah memperlihatkan pasukan kafir lebih
sedikit daripada yang sebenarnya karena batin mereka memang lebih sedikit?
Atau, jumlah orang-orang Mukmin sedikit, namun batin mereka banyak dan
hakikat mereka tetap dan kokoh, lalu Allah memperbanyak mereka di mata
orang-orang kafir menjadi dua kali lipat. Apakah Allah telah menerangkan
kepada orang-orang kafir bahwa batin orang-orang yang bentuk lahir
p:219
mereka sedikit pada hakikatnya bentuk batin mereka banyak? Ataukah, Dia
menjelaskan kepada orang-orang Mukmin bahwa orang-orang yang bentuk
lahiriah mereka banyak pada hakikatnya bentuk batin mereka sedikit?
Orang-orang kafir tidak mempunyai mata batin (‘ain bathiniyah)
sehingga dengannya mereka dapat melihat batin orang-orang mukmin,
sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Anfal, “Jika kamu bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia memberimu furqan” (Q.S. Al-Anfal: 29).
Jika kalian termasuk golongan ahli takwa, maka Allah akan memberi
kalian furqan itu yang dapat memisahkan antara yang hak dan yang
batil; cahaya itu yang dapat membedakan antara yang banyak dan yang
sedikit, cahaya itu yang dengannya dapat dipilah antara yang baik dan
yang buruk. Hati Rasul termulia Saw. dan hati orang-orang Mukmin
disucikan dengan bashirah dan kesadaran (yaqzhah), sehingga mereka
dapat melihat orang-orang kafir dalam jumlah yang sedikit. Orang-orang
kafir itu bentuk lahir mereka banyak dan bentuk batin mereka sedikit.
Maka, batin dan hakikat orang-orang kafir yang sedikit begitu terkenal
di kalangan orang Mukmin yang mampu menembus batin mereka.
Oleh karena itu, Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang
Mukmin dalam surah Al-Anfal, “Ketika Allah menampakkan mereka
kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit, dan sekiranya Allah
memperlihatkan mereka kepada kamu (berjumlah) banyak tentu saja kamu
menjadi gentar dan tentu saja kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan
itu, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. Sesungg uhnya Allah Maha
Mengetahui segala isi hati”(Q.S. Al-Anfal: 43). Allah Swt memperlihatkan
kepada Rasul-Nya yang termulia Saw. di dalam mimpi batin orang-orang
kafir yang sedikit. Rasul Saw. melihat di dalam mimpi bahwa segolongan
kecil memeranginya dan menyerbunya. Tidak mungkin mimpi Rasul Saw.
bertentangan dengan realita karena beliau terjaga baik dalam keadaan tidur
atau bangun dan juga karena hati Rasul Saw. yang suci tidak pernah tidur.
Rasulullah Saw. ber sabda, “Kedua mataku tertidur sedangkan hatiku tidak
pernah tertidur”.(1)
Maka, setan tidak dapat menembus hati suci Nabi Saw. .
Rasul termulia Saw. terjaga baik dalam keadaan tidur atau bangun
dari gangguan waswas setan. Apa yang beliau lihat di dalam mimpi adalah
sesuatu yang benar, dan mimpi yang beliau lihat di saat bangun juga sesuatu
yang benar. Beliau melihat kebenaran dalam semua keadaannya, baik pada
saat tidur atau bangun. Allah Swt mengatakan: Kami perlihatkan kepada
Nabi di dalam mimpi jumlah orang-orang kafir yang sedikit. Tidak mungkin
Allah memperlihatkan beliau sesuatu yang bertentangan dengan realitas dan
p:220
tidak mungkin juga Rasulullah melihat sesuatu yang bertentangan dengan
kenyataan. Dan apa yang Allah perlihatkan tentang jumlah orang-orang kafir
yang banyak menjadi sedikit bukan untuk menyembunyikan hakikat karena
Kebenaran Mutlak (al-haq al-mahd) tidak akan pernah menyembunyikan
kebenaran, “Kebenaran itu dari Tuhanmu” (Q.S. Ali ‘Imran: 60).
Kebenaran itu datangnya dari Allah, maka tidak mungkin Allah
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran karena
tidak muncul dari kebenaran keculi kebenaran pula. Dan hati Rasul termulia
Saw. sampai ke maqâm ketakwaan tertinggi (al-maqâm al-wahidi), “Hati
tidak akan mendustakan apa yang dilihatnya” (Q.S. An-Najm: 11). Nabi
telah selamat dari jangkauan waswas setan dan bujukannya dan beliau telah
mencapai suatu maqâm yang tertinggi sehingga tidak mungkin dijamah oleh
waswas iblis, dan beliau juga tidak melihat selain kebenaran.
Apabila Allah telah memperlihatkan Rssul-Nya dalam mimpi jumlah
orang kafir yang sedikit, yakni bahwa Dia memperlihatkan batin orang-orang
kafir yang mereka itu adalah dunia ini dan hakikat orang-orang kafir
adalah sesuatu yang kosong lagi sedikit, maka Rasulullah Saw. menjadi
tenang sebab kelompok yang sedikit sedang bangkit memeranginya, karena
itu beliau berkata kepada umatnya: Kelompok yang kecil sedang memerangi
kita. Mengapa? Karena batin mereka telah nampak di alam mimpi, “Ketika
Allah menampakkan mereka kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah
sedikit) Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepada kamu
(berjumlah) banyak tentu saja kamu menjadi gentar dan tentu saja kamu
akan berbantah-bantahan dalam urusan itu” (Q.S. Al-Anfal: 43).
Seandainya Allah memperlihatkan bentuk lahir orang-orang kafir
kepada kalian dan tidak memperlihatkan batin mereka, niscaya kalian akan
merasa takut karena bentuk lahir mereka sangat atraktif dan mencengangkan,
sehingga hal ini akan menjadi sebab ketakutan kalian. Mereka berkata:
Siapakah orang-orang yang “Lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih
sedap dipandang mata” (Q.S. Maryam: 74). Mereka berkata: Sesungguhnya
fenomena kita sangat mengundang kekaguman bagi orang-orang lain
dan kita jauh lebih banyak daripada mereka dari sisi perlengkapan dan
kesempurnaan hidup. Logika dan slogan mereka adalah bahwa fenomena
kita sangat atraktif dan menawan. Seandainya orang-orang Mukmin melihat
bentuk lahir mereka yang banyak dan ornamen lahiriah mereka, maka
boleh jadi orang-orang Mukmin akan berpengaruh dengan hal itu. Allah
berkata: Ketika kalian melihat lahiriah mereka dan tidak mampu melihat
batin mereka, maka boleh jadi kalian akan terkena kelemahan dan rasa takut
p:221
sehingga kalian bercerai-berai dan saling bertengkar, sebagian kalian akan
mengatakan kita tidak akan berperang lalu kalian akan gagal, “Tentu saja
kamu menjadi gentar dan tentu saja kamu akan berbantah-bantahan dalam
urusan itu, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kamu”(Q.S. Al-Anfal:43).
Oleh karena itu, Allah Swt memutuskan perkara atas dasar agar
kalian tetap selamat dan agar agama juga tetap selamat, dan agar yang
menjadi pertimbangan kalian dalam menghadapi suatu persoalan dalam
pertimbangan batiniah dan supaya kalian melalui ujian ini dengan selamat
karena Allah telah berkata; Kami perlihatkan sesuatu yang sedikit menjadi
banyak dan sesuatu yang banyak menjadi sedikit. Maka bukan berarti itu
adalah bentuk sulap atau sihir mata dan sebagainya, sebab tukang sulap dapat
saja memperlihatkan sesuatu yang sedikit menjadi banyak dan sebaliknya.
Namun, Allah memperlihatkan hal yang batin, maka batin orang-orang kafir
itu memang sedikit meskipun lahiriah mereka flamboyan dan menakjubkan
karena batin mereka adalah dunia dan dunia adalah sesuatu yang sedikit.
Sedangkan batin orang-orang mukmin itu banyak meskipun mereka tidak
mempunyai bentuk lahir yang mengagumkan karena batin mereka adalah
akhirat dan akhirat adalah sesuatu yang abadi.
Oleh karena itu, Allah telah memperlihatkan batin orang-orang kafir
yang sedikit itu kepada Rasul-Nya dan Dia juga memberitahukan kepada
orang-orang Mukmin akan hal itu. Sementara itu, orang-orang kafir tidak
akan mengetahui batin orang-orang Mukmin yang banyak, seandainya
mereka mempunyai mata batin, niscaya mereka akan melihat batin orang-orang
Mukmin yang banyak, “Dan ketika Allah menampakkan mereka
kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah
sedikit pada penglihatan matamu”(Q.S. Al-Anfal: 44). Allah memperlihatkan
mereka di mata kalian sedikit, orang Mukmin melihat musuhnya yang kafir
itu sedikit, yakni bahwa mereka(Muslimin) mampu melihat batin orang-orang
kafir yang sedikit, “Dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit
pada penglihatan mata mereka”(Q.S. Al-Anfal: 44).
Sesungguhnya hakikat kalian banyak, namun Allah tidak memperlihatkan
kepada mereka (pasukan kafir) hakikat kalian, karena mereka
tidak memiliki mata yang dapat melihat kebenaran sehingga mereka tidak
dapat melihat batin kalian, “Karena Allah hendak melakukan suatu urusan
yang mesti dilaksanakan” (Q.S. Al-Anfal: 44). Ketika Allah berkehendak
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, maka Dia memenuhi mukadimah-mukadimahnya
melalui jalan yang benar. Pengertian yang demikian ini
dinukil dari almarhum Kulaini—rahmat Allah atasnya—dalam kitabnya
p:222
yang berharga, al-Kafi, “Allah enggan untuk memutuskan suatu perkara
kecuali dengan (terpenuhinya) sebab-sebabnya”.
Ini adalah suatu penegakan tentang hukum sebab umum (qanum
al-‘illiyah al-‘am). Yaitu, bahwa Allah menetapkan suatu masalah melalui
sebab-sebabnya, karena Penyebab dari segala sebab (musabbib al-asbab) telah
menganugerahi segala sesuatu sebanyak sebab penciptaan (as-shun’u) dan
sebab pembakaran (al-ihtiraq) sekaligus, karena sebab ada di tangan-Nya.
Dialah yang memberikan sebab dan Dia juga yang mencabutnya, karena
segala perbuatan dan sebab ada di tangan-Nya. Dia adalah musabbibi alasbab,
dan di sini, ia (Al-Qur’an—Peny.) berkata: Allah berkehendak untuk
melaksanakan masalah ini dan menolong kalian. Dan sebaik-baik jalan
untuk membantu pasukan Islam adalah dengan cara memperlihatkan batin
pasukan kafir kepada orang-orang mukmin.
Hakikat orang-orang kafir adalah dunia karena mereka adalah ahli
dunia dan dunia adalah sedikit, karena ini mereka sedikit. Salah satu ucapan
Amirul Mukminin a.s. dalam Nahjul Balaghah, “Jadilah kalian anak-anak
akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia”.35 Orang kafir adalah putra
dunia dan dunia tidak lebih dari sekadar permainan dan kesia-siaan. Orang
kafir di dunia sibuk dengan permainan dan hal yang sia-sia, yang semua itu
tidak lebih dari air ludah. Maka, mereka benar-benar sedikit, dan sesuatu
yang sedikit selalu dinyatakan dengan hilang (zawal) dan rugi (khusran).
Oleh karena itu, Rasulullah Saw. tidak pernah sama sekali mengatakan bahwa
sesungguhnya orang-orang kafir banyak dan kita sedikit. Beliau tidak pernah
gelisah dengan banyaknya orang-orang kafir, karena beliau mampu melihat
batin mereka yang sedikit, dan beliau melihat batin pasukan Islam—yang
merupakan kebenaran—banyak, dan beliau melihat bahwa yang banyak ini
akan menang dari yang sedikit itu ”Karena Allah hendak melakukan suatu
urusan yang mesti dilaksankaan” (Q.S. Al-Anfal: 44).
Kalau begitu, ketika Allah berfirman dalam surah Ali ‘Imran, “Yang
dengan mata kepala melihat(seakan-akan) orang-orang Muslim dua kali
jumlah mereka” (Q.S. Ali ‘Imran: 13). Dan berfirman dalam surah Al-Anfal,
“Dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mata
mereka” (Q.S. Al-Anfal: 44). Maka, ini bukanlah perbuatan para penyihir
dan para tukang sulap. Maha Suci Allah dari mengerjakan perbuatan-perbuatan
semacam ini, dan Al-Qur’an yang suci tersucikan dari adanya
masalah-masalah ini di dalamnya. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah
juga tidak terdapat sihir, dan kemenangan-kemenangan yang gemilang bagi
35
p:223
pasukan Islam juga tidak ada kaitannya dengan permainan sulap.
Inti dari semua masalah ini, baik mimpi Rasul Saw. atau kemenangan
pasukan Islam adalah, bahwa orang-orang Mukmin melihat batin pasukan
kafir yang sedikit yang tidak membuat mereka merasa takut dan mereka
juga melihat batin mereka sendiri yang benar dan banyak, dan kebenaran
tidak mungkin kalah dari kebatilan. Tidak mungkin sesuatu yang banyak
dikalahkan oleh sesuatu yang sedikit. Allah memberikan jalan ini kepada
manusia yang bertakwa dalam firman-Nya, “Jika kamu bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia memberimu furqan dan mengampuni darimu dosa-dosamu”(
Q.S. Al-Anfal: 29).
Jika kalian sudah dapat menjalankan ketakwaan, maka Allah akan
memberi kalian cahaya itu yang dengannya kalian dapat membedakan
antara yang hak dan yang batil, antara yang banyak dan yang sedikit, antara
yang baik dan yang buruk, antara kebahagiaan dan kesengsaraan, antara
kejujuran dan kebohongan, antara keadilan dan kelaliman dan sebagainya.
Kalian tidak lemah dalam masalah-masalah keyakinan dan kalian tidak akan
bingung dalam persoalan-persoalan ilmiah dan kalian tidak akan menjadi
orang-orang yang hina dalam kehidupan sosial kalian.
Ketika manusia berhasil melihat dunia sebagai sesuatu yang sedikit dan
menemukan bahwa batinnya sekadar kenikmatan yang segera berlalu dan
bahwa batin jiwanya adalah sesuatu yang abadi dan dia berjalan berdasarkan
perkataan Imam Ali bin Abi Thalib as, “Harga yang pas bagi jiwa(ruh) kalian
adalah surga”.(1) Apabila kalian menjual jiwa kalian dengan harga yang lebih
murah daripada surga, maka kalian akan terkena bahaya, bahkan sekalipun
kalian menukarkan kehidupan kalian dengan seluruh dunia, maka kalian
tetap terkena bahaya.
Beliau juga berkata, “Demi Allah, seandainya aku diberi tujuh kawasan
(strategis)”,(2) andai kata mereka memberiku tujuh kawasan, apa yang ada
di bawah bulan dan apa yang ada di bumi yang luas dengan konsekuensi
agar aku melakukan kelaliman, maka aku tidak akan pernah melakukannya.
Yakni, seandainya mereka memberiku dunia agar aku merusak ruhku,
niscaya tidak akan aku lakukan, karena ruh adalah wujud abadi, dan harga
sesuatu yang abadi hanyalah surga yang abadi (pula). Apabila kita menjual
ruh yang abadi ini dengan kenikmatan yang pada hakikatnya ia permainan
yang lekas selesai, maka kita akan tertimpa bahaya.
Imam Ali juga telah berkata kepada kita semua: Jika kalian menjual
p:224
diri kalian yang nilainya menyamai surga dengan harga yang lebih murah
dari surga, maka kalian terkena bahaya. Apabila di antara orang-orang yang
beriman terdapat orang yang menjual dirinya dengan sesuatu selain surga
yang ”mengalir di bawahnya sungai-sungai” (Q.S. Al-Maidah: 12), maka
ia telah terkena mara bahaya, dan apabila di antara orang-orang yang ahli
iman terdapat orang yang menjual dirinya dengan harga yang lebih murah
daripada surga, maka ia tertimpa bencana.
Sejarah hidup para nabi tumbuh dari pandangan internal (ar ru’yah addakhiliyyah)
dan penglihatan batin (an-nazhrah al-bathiniyyah). Oleh karena
itu, ketika seorang nabi berhasil memperoleh—di saat kapan pun—kenikmatan
dari kenikmatan dunia, yakni, agar dia (Nabi itu) tidak menjadi tawanan dari
kenikmatan ini dan agar hatinya tidak bergantung kepadanya dan agar mata
batinnya tidak tertutup sehingga lahiriahnya menipu dan menakjubkan.
Di zaman Nabi Yusuf (salam Allah atasnya), kedudukan tertinggi adalah
kedudukan kementerian, dan ketika beliau berhasil meraih kedudukan duniawi
yang menakjubkan ini—setelah beliau melalui semua ujian Ilahi dengan
kesuksesan yang cemerlang—maka beliau mengharap kan kematian dari
Allah Swt agar kedudukan ini tidak mempenga ruhinya dan memalingkannya
dari perjalanan menuju Allah. Beliau berkata; Tuhanku, wafatkanlah aku.
Orang-orang yang dengan Allah (ar-rijalal-ilahiyyun) tidak mengharapkan
kematian pada saat menghadapi situasi-situasi sulit, mereka tidak
mengharapkan kematian pada saat mendapatkan ujian dan pasang-surut
kehidupan, dan Nabi Yusuf ash-Shidiq tidak memohon kematian kepada
Allah pada saat dilemparkan dalam sumur, masa-masa sulit dalam surut
tidak menyebabkannya meminta pergi ke akhirat (mati). Dan ketika beliau
dikeluarkan dari sumur lalu dijual dengan harga murah sebagai seorang
budak, “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu
beberapa dirham saja” (Q.S. Yusuf: 20), dan beliau memikul beban kehinaan
perbudakan sebagai ujian dari Allah, maka beliau saat itu tidak mengharapkan
kematian karena beliau menilai bahwa kebaikan dan keburukan serta
kebahagiaan dan kesedihan di dunia hanya sebentar. Beliau juga tidak
mengharapkan kematian pada saat menjadi pembantu yang sederhana,
tidak mengharapkan kematian pada saat dituduh, dan tidak mengharapkan
kematian pada saat dimasukkan ke dalam penjara. Beliau memikul
penderitaan di penjara, tetapi beliau memanggil dengan rintihan ini, “Yusuf
berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku’”(Q.S. Yusuf: 33), dan tidak meminta kematian.
Namun, ketika beliau keluar dari penjara dan mencapai kedudukan
p:225
“Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf”
(Q.S. Yusuf: 100). Orang tuanya dan saudara-saudaranya merendahkan diri
padanya dan ketika penduduk kota (ahlu mishra) dan sekitarnya meng hormatinya
dan mengagungkannya karena jabatan dan kedudukannya, maka
saat itu—beliau yang berada di puncak kekuasaannya—meminta kematian
kepada Allah dengan berkata, “Ilahi, Engkaulah yang mengaruniai semua
nikmat ini, dan Engkau membimbing aku di masa ujian, dan Engkau
mengarahkanku di semua pasang-surut kehidupan ini. Ilahi, wafatkanlah aku
sekarang setelah aku menduduki jabatan duniawi yang tinggi itu”. “Dan ia
menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana”. Dan dia mendudukkan
kedua orang tuanya di atas singgasana, “Dan mereka merebahkan diri
seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: ”Wahai ayahku, inilah takbir
mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya
suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku,
ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara” (Q.S.Yusuf: 100).
Dalam pelajaran terdahulu telah dijelaskan bahwa beliau bersyukur
kepada Allah atas keadaan ini sembari mengatakan: Segala puji
bagi Allah yang telah mengeluarkanku dari penjara, dan tidak mengatakan:
Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari sumur. Padahal,
keselamatannya dari sumur jauh lebih penting daripada keluarnya dari
penjara. Di samping itu semua bahaya yang dihadapinya bermula dari sumur.
Beliau tidak menyebutkan nama sumur di hadapan saudara-saudaranya
sehingga mereka tidak tersinggung. Beliau memulai dari pertengahan sejarah
ujiannya, bukan dari permulaannya. Beliau berkata: Segala puji bagi Allah
yang telah mengeluarkanku dari penjara, dan tidak berkata: Segala pujian
bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari sumur. “Dan ketika membawa
kamu dari dusun padang pasir, setelah setan merusakkan (hubungan) antara
kau dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap
apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha bijaksana” (Q.S. Yusuf: 100).
Beliau juga tidak mencela saudara-saudaranya secara terang-terangan,
melainkan beliau mengatakan: Setanlah yang mendatangkan perselisihan
antara aku dan saudara-saudaraku. Dan setelah itu, beliau berkata dalam
bentuk doa, “Ya Tuhanku, sesungguhya Engkau telah menganugerahkan
kepadaku sebagian kerajaan” (Q.S. Yusuf: 101). Tuhanku, Engkaulah yang
memberiku kerajaan ini dan kekuasaan ini dan mengeluarkanku dari penjara
dan mendudukkanku di atas singgasana karena “Apa saja nikmat yang kalian
peroleh adalah dari Allah” (Q.S. an-Nahl: 53). Semua nikmat yang sampai
p:226
kepada kalian adalah dari Pemberi nikmat yang azali(al-mun’imal-azali),
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerah kan kepadaku
sebagian kerajaan”. Itu adalah nikmat lahir “Dan telah mengajarkan
kepadaku sebagian tabir kejadian-kejadian” (Q.S. Yusuf: 101). Engkau juga
mengajariku takwil kejadian-kejadian(ta’wilal-ahadist wa dhawahir). Itu
merupakan nikmat batiniah.
Ta’bir mimpi (ta’bir ar-ru’ya) bukanlah takwil kejadian (ta’wil alahadidits);
ta’wilal-ahadits adalah setiap fenomena dan kejadian mempunyai
tempat kembali (‘aud au ruju’), dan barang siapa mengetahui peristiwa-peristiwa
dunia sekarang dan mengetahui juga ke mana kem balinya
peristiwa-peristiwa tersebut, maka ia mengetahui akhir peristiwa ini dan
kemana tempat kembalinya. Ta’wil al-ahadist yang berhubungan dengan
kesaksian-kesaksian di saat sadar (musyhadat al-yaqdah) bukanlah ta’bir
ar-ru’ya, yaitu apa yang dilihat oleh manusia di saat tidur dan setelah itu
ia mampu berjalan dari gambar itu dan mencapai tujuan itu serta mampu
mengungkapkannya.
Walhasil, Yusuf ash-Shiddiq—salam Allah atasnya—mempunyai ilmu
ta’bir dan juga ilmu takwil kejadian, “Dan telah mengajarkan kepa da ku
sebagian takbir kejadian-kejadian, (Tuhan) Pencipta langit dan bumi”(Q.S.
Yusuf:101). Tuhanku, Engkaulah yang menciptakan langit dan bumi
dengan tanpa contoh sebelumnya dan Engkau menampakkan keduanya di
alam wujud. Ini adalah doa segenap para nabi. Ibrahim al-Khalil berkata,
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi” (Q.S. Al-An’am: 79). Dan Rasulullah ber kata, “Katakanlah,
‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan
langit dan bumi’” (Q.S. Al-An’am: 14). Dan Rasulullah juga menyifatkam
Pencipta (fathir) langit dan bumi kepada Allah, “Katakanlah, ‘Apakah akan
aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi’“.
Dialah yang menciptakan langit dan bumi, dan lafal fathir di atas
lafal khaliq (yang juga berarti Pencipta). Pemberi keberadaan pertama di
alam ciptaan adalah Allah, Pembikin sistem wujud adalah Allah. Allah
adalah Maha Pencipta (badi’, mubdi’ wa fathir). Yusuf ash-Shidiq berkata,
“Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat”.
Saya berada di bawah lindungan-Mu di dunia dan di akhirat, “Wafatkanlah
aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang
saleh” (Q.S.Yusuf: 101). Sampaikanlah aku ke tingkatan: Kau gabungkan
aku bersama orang-orang yang ruhnya saleh (as-shalihin bi dzat), dan
orang-orang saleh (as-shalihun) bukankah “Orang-orang yang beriman dan
p:227
beramal saleh” (Q.S. Al-Baqarah: 25).
Pada kajian yang lalu telah dijelaskan bahwa, as-shalihun. Di atas,
“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh”. Kesalehan orang-orang
yang mengerjakan amal saleh sebatas pada pekerjaan (fi maqâm al-fi’il),
tetapi kesalehan orang-orang saleh (as-shalihun) berada pada batas ruh (fi
ma’qam ruh wa dzat). Sebagian wali Allah di akhirat bergabung bersama
as-shalihun, “Dan sesungguhnya ia di akhirat bersama orang-orang saleh”
(Q.S. Al-Baqarah: 130). Dan di sini, Yusuf ash-Shidiq berkata, “Dan
gabungkanlah aku bersama orang-orang saleh” (Q.S.Yusuf: 101).
Maka, beliau mendambakan kematian pada saat menjadi menteri,
dan tidak meminta kematian pada saat berada di dasar sumur, dan tidak
berdoa kepada Allah agar mematikannya pada saat di penjara, karena dia
mengetahui bahwa sumur dan penjara merupakan ujian dunia yang sebentar,
dan dia mengetahui juga bahwa kementerian adalah kudukan duniawi yang
tinggi dan karenanya ia adalah kedudukan yang sedikit (kecil). Dia tidak
mau tercemari dengan ornamen-ornamen ini ketika beliau memasuki ruang
ujiannya. Dalam keadaan ini dia berkata: “Tuhanku, wafatkanlah aku”.
Interprestasi demikian ini terdapat dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah,
Karya salah seorang ‘ârif (ahli makrifat) sepuluh abad yang lalu. Namun,
Ustaz Allamah Thabathaba’i (rahmat Allah atasnya) tidak sependapat dengan
interprestasi ini. Beliau mengatakan dalam tafsirnya yang berharga, al-Mizan,
bahwa Yusuf ash-Shidiq tidak berkata: “Wafatkanlah aku dalam keadaan ini”,
tetapi dia berkata: “Ilahi anugerahilah aku taufik kematian (taufiqul maut)
sebagai seorang Muslim”. Ini tidak berarti meminta kematian. Tujuan dan
pokok utama dari doa ini adalah “Wafatkanlah aku sebagai orang Muslim”.
Yakni, bahwa berilah aku taufik agar aku mati sebagai orang Muslim. Jadi,
dia tidak meminta kematian.
Al-Qusyairi mengatakan bahwa Yusuf ash-Shidiq meminta kematian
ketika beliau menjadi seorang menteri. Sementara itu, Allamah Thabathaba’i
mengatakan bahwa ketika beliau menjadi menteri, beliau meminta kepada
Allah agar diberi taufik kematian dalam keadaan Islam. Maka, inti dan
fokus doa menurut Allamah Thabathaba’i adalah wafat besama Islam bukan
harapan akan kematian. Yakni, Yusuf ash-Shidiq berkata: Ilahi karunialiah
aku taufik kematian sebagai seorang Muslim, karena wasiat Ya’qubas adalah:
“Maka, janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam” (Q.S. Al-
Baqarah: 132). Wasiat Ya’qub untuk anak-anaknya yang direkam dalam Al-
Qur’an adalah: Berusahalah dengan sungguh-sungguh agar kalian mati dalam
keadaan Islam; bukan meminta kematian yang dekat atau yang jauh karena
p:228
kekekalan di alam materi adalah hal yang mustahil, maka kematian akan
terjadi baik cepat atau lambat, “Kami tidak menjadikan manusia sebelumnya
kekal” (Q.S. Al-Anbiya’: 34). Yang penting adalah kematian dalam
keadaan sebagai Muslim, serta mengetahui batin dunia dan batin akhirat.
p:229
p:230
p:231
p:232
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Al-Qur’an al-Karim menilai bahwa pendidikan dan pelatihan ruh
merupakan bagian terpenting dari programnya untuk menciptakan
kebahagiaan, dan ia juga mengemukakan sebab pemilihan program ini
dengan mengatakan: Sesungguhnya keyakinan tentang kiamat memiliki
pengaruh yang cukup efektif dalam terealisasinya program ini dan ia
merupakan sebab yang dominan dalam pelatihan dan pendidikan ruh.
Keimanan dengan Hari Kemudian merupakan jaminan terlaksananya dasar
ajaran samawi (al-ashl as-samawi) ini.
Manusia yang tidak mengimani Hari Kemudian tidak akan mampu
melatih ruhnya dan mendidiknya, sedangkan manusia yang meyakini
kiamat, maka keyakinan ini akan melindunginya dan berperan penting
dalam mendidik ruhnya. Oleh karena itu, orang-orang materialis dan para
pecinta dunia (ad-dunyawiyyun) sejak semula mengingkari Hari Kemudian.
Bahkan, orang-orang yang meyakini wujud Allah sebagai Pencipta Sistem
alam(khaliq an-nidzam al-maujud), berlambat-lambat dalam menerima
adanya Hari Kemudian dan pada akhirnya menging karinya seperti para
penyembah berhala di Hijaz (Mekah) dan para penyembah patung yang
lain. Mereka semua menentang adanya hari Kemudian dan bersikeras untuk
menolak adanya Hari Kiamat.
Keyakinan tentang Hari Kemudian akan mencegah manusia lari dari
tanggung jawab. Keyakinan tentang kiamat akan menentang segala ben tuk
kelaliman para thaghut dan mencegah para budak hawa nafsu dan syahwat
dari tindakan melampaui batas, dan juga dapat mengendalikan naluri
emosional dan segala perilaku yang menympang. Keyakinan ter sebut akan
menyeimbangkan naluri seksual, dan akan menghentikan bara dengki yang
diwujudkan dalam dendam kesumat, ia tidak membolehkan orang-orang
yang menjadi tawanan nafsu mereka untuk melakukan tindakan melampaui
batas, ia tidak membiarkan manusia disetir oleh hawa nafsu, ia mencegah
agar jangan sampai suatu persoalan tunduk kepada kecenderungan dan
keinginan hawa nafsu, tetapi ia mengatur suatu urusan di bawah perintah
akal, dan menyempurnakan akal di bawah bimbingan wahyu.
p:233
Jadi, keyakianan terhadap Hari Kiamat mempunyai peranan yang
efektif. Orang-orang yang membela mazhab materialisme, karena tidak
meyakini adanya Pencipta (mabda’) alam, secara otomatis mereka tidak
meyakini adanya Hari Kemudian dan mereka tidak mempercayai adanya
kesudahan tujuan bagi alam ini. Sedangkan orang-orang yang meyakini
adanya Allah (al-ilahiyyun) mengimani adanya Pencipta alam yang
bernama Allah. Namun, mereka mengingkari dan menentangnya. Sikap ini
disebabkan mereka ingin menjadi orang-orang yang bebas.
Al-Qur’an al-Karim telah memberitahukan manusia tentang
pentingnya masalah Hari Akhir dan mengatakan: Meskipun keyakinan
tentang Pencipta penting, tetapi jika tidak dibarengi dengan keyakinan Hari
Akhir, maka tidak ada jaminan untuk melaksanakan keutamaan-keutamaan
akhlak, dan tidak ada jaminan lahirnya sifat zuhud dan takwa dari hal itu.
Boleh jadi seseorang tidak mempercayai Hari Akhir lalu ia berusaha
untuk memperoleh keutamaan kemanusiaan dari sisi perasaan yang seimbang
(al-‘athifah al-mu’tadillah) tetapi merasa cukup dengan adanya perasaan
dan emosi yang terkendali bukanlah kesempurnaan yang tinggi bagi ruh
manusia. Maka, ruh harus mencapai maqâm yang lebih tinggi daripada ini
dan naik ke tempat yang lebih mulia daripada itu. Dan orang-orang yang
mengimani adanya Pencipta wujud dan mempercayai adanya Allah, apabila
makrifat mereka terhadap Allah sempurna dan benar, maka mereka pasti
akan mempercayai adanya Hari Akhir dan memgimani Hari Kiamat, karena
makrifat ketuhanan (al-uluhiyah) merupakan sifat-sifat agung dan asma Allah
yang agung (asmâ’ al-Husna). Maka, Allah Maha Bijaksana (hakim) dan
Mahaadil (‘adil). Dan karena Allah hakim, maka tidak ada perbuatan sia-sia
yang berasal dari hakim, dan karena haq. Dan karena Allah Mahaadil, maka
tidak ada perbuatan dari-Nya yang berlawan dengan keadilan. Al-Qur’an
menetapkan peristiwa-peristwa kiamat dengan cara mengemukakan penelitian
terhadap sifat-sifat agung (as-shifat al-‘aliyah) bagi Yang Maha Bena r(al-haq).
Al-Qur’an al-Karim telah menyebutkan beberapa argumentasi untuk
menetapkan perlunya Hari Kemudian dan al-had al-ausath. Bagi argumentasi
ini adalah sifat-sifat agung bagi Allah. Salah satu bentuk argumentasi ini,
menetapkan pentingnya Hari Akhir dari sisi bahwa Allah hakim, dan tidak
ada yang muncul dari hakim perbuatan yang sia-sia. Kalau begitu, Allah
tidak akan memunculkan perbuatan yang sia-sia. Apabila sistem ini tidak
mencapai tujuan akhirnya dan kesempurnaan yang diharapkan, yakni
mencapai kehidupan abadi dan seterusnya. Maka hal ini tidak ada lain
p:234
kecuali sesuatu yang sia-sia, dan sesuatu yang sia-sia tidak mungkin berasal
dari Allah, al-hakim.
Dengan demikian, dunia ini mempunyai tujuan yang bakal dica painya.
Dan argumentasi semacam ini harus dianalisis dan diterangkan dengan
semudah dan sesederhana ini.
Argumentasi kedua, dari jalan kebenaran Allah Swt, yaitu bahwa Allah
adalah haq (kebenaran), dan tidak ada yang keluar dari haq suatu perbuatan
yang batil. Ketika alam tidak berhasil mencapai tujuan dan hanya sekadar
pengulangan bagi kematian dan kehidupan, maka hal ini tidak ada lain
kecuali sesuatu yang sia-sia, dan tidak mungkin perbuatan yang sia-sia
muncul dari Kebenaran Mutlak (al-haq al-mahd). Maka, alam mempunyai
tujuan. Dan argumentasi kedua ini hendaklah diberikan analisis lebih
daripada porsi yang telah disebutkan.
Argumentasi ketiga, yaitu keberadaan Allah Swt sebagai Dzat Yang
Mahaadil, dan al-had al-ausath dari argumentasi ini adalah keadilan Allah.
Dan karena Allah Mahaadil, maka Dia harus menghisab orang-orang yang
baik dan orang-orang yang jahat. Orang-orang yang baik harus diberi
pahala dan orang-orang yang jahat harus disiksa. Di sana, harus ada hari
pembalasan, hari penerimaan pahala dan siksa agar kebaikan terpisahkan
dari keburukan dan agar si pendosa terpisahkan dari si abdi. Dan karena
Allah Mahaadil, maka semua manusia harus diperiksa. Kalau tidak, maka
Dia berlaku lalim kepada para hamba dan orang-orang lemah.
Apabila nilai para pendosa dan orang-orang yang taat sama, baik di
masa kehidupan atau kematian mereka dan setelah kematian tidak ada
hisab dan kedua kelompok ini tidak dipisahkan, maka itu adalah bentuk
kelaliman. Dan karena Allah Mahaadil dan tidak ada yang berasal dari Yang
Mahaadil kecuali sesuatu yang adil, maka haruslah ada hari perhitungan dan
hari penerimaan pahala dan siksa. Dan argumentasi ketiga ini, juga harus
dijelaskan lebih dari yang telah disebutkan.
Dan sekarang, kami akan menyebutkan indeks tema Hari Akhir dan
ringkasan pembahasan tentang kiamat bersama argumentasi-argumentasi
ini dan nanti—insya Allah—akan dikemukakan kajian-kajian yang rinci
seputar hal itu. Sebagai mukadimah kami jelaskan bahwa masalah Hari
Kemudian sangat penting di mana kaum materialis berusaha keras untuk
mengingkarinya, sedangkan para nabi bersikeras untuk menetapkan
peristiwa-peristiwanya melalui argumentasi gamblang dan rasional.
Para pengingkar Hari Akhir tidak cukup hanya menganggap mustahil
dan menentang adanya kiamat, tetapi meskipun mereka mempercayai
p:235
keberadaan Allah, mereka bersumpah atas nama Allah bahwa tidak ada hari
kebangkitan bagi mereka.
Mereka mengngkari Hari Akhir dengan sumpah yang berat karena
mereka mau mencapai syahwat dan kenikmatan yang diharamkan dan juga
melampiaskan kedengkian. Bagi mereka, keimanan dengan Hari Kemudian
dapat menjadi batu sandungan bagi pelampiasan kedengkian dan syahwat
itu. Ketika Allah Swt menceritakan pengingkaran keras kaum materialis
dalam surah an-Nahl, Dia berkata kepada orang-orang yang mengimani
Allah namun tidak mengimani hari pembalasan itu, “Dan sesungguhnya
kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut’” (Q.S. an-Nahl: 36). Kami
telah mengutus para rasul kepada seluruh umat, dan ajaran para nabi itu
terdiri dari dua tema: Pertama, pengusiran thaghut; dan kedua, keyakinan
terhadap tauhid. Semua nabi membawa kabar gembira tentang dua tujuan
ini:
Pertama: Ibadah kepada Allah (sembahlah Allah)
Kedua: Menjauhi thagut.
Pengesaan Allah dan ibadah kepada-Nya, dan menjauhi thagut, baik
thagut luar dan thagut dalam. Kelaliman dinamakan dengan Thagut. Yang
dimaksud dengan menjauhi thaghut adalah hendaklah dia (orang yang
takwa—Peny.) berada di suatu lembah dan thaghut berada di lembah yang
lain, yakni tidak mengikuti garis kebijakan thaghut dan mengambil sikap
yang berlawanan dengannya. Mengambil sikap konfrontasi dengan thagut
dinamakan dengan menjauihi thagut.
Yang dimaksud seorang Mukmin menjauhi dosa adalah dia berada di
satu sisi dan dosa berada di sisi yang lain. Tempat yang di situ ada dia (orang
mukmin) adalah tempat yang tidak ada dosa di dalamnya dan sebaliknya,
tempat yang di situ ada dosa adalah tempat yang tidak ada orang Mukmin
di dalamnya. Dan orang Mukmin tidak akan melakukan dosa dan dia tidak
mengizinkan orang-orang lain mengerjakan dosa di hadapannya.
Para nabi datang dengan membawa ajaran ini: sembahlah Allah,
jauhilah thagut. Manusia terbagi ke dalam dua kelompok di hadapan ajaran
para nabi. Ada kelompok yang menerima penyembahan kepada Allah dan
penjauhan thaghut, dan kelompok yang lain tidak menerima itu, “Sebagian
mereka mendapatkan petunjuk dari Allah” (Q.S. an-Nahl: 36). Dia memilih
jalan kebenaran lalu mendapatkan petunjuk Ilahi, ”Dan di antara mereka
ada orang yang ditetapkan atasnya kesesatan” (Q.S. an-Nahl: 36) dan sebagian
p:236
manusia melalui jalan kebatilan dengan sengaja, maka ditetapkan kesesatan
atas mereka. Mula-mula Allah tidak menyesatkan mereka, bahkan Allah
memberi bimbingan dan petunjuk melalui diutusnya para nabi, namun
karena mereka mengikuti hawa nafsu maka ditetapkan kesesatan atas
mereka. “Jalanlah di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan (ayat-ayat Allah)” (Q.S. an-Nahl: 36).
Al-Qur’an berkata: Janganlah kalian hanya membaca sejarah dan
membuka-buka lembaran sejarah, tetapi pergilah keliling di muka bumi
agar kalian dapat melihat sejarah nyata dunia dan apa yang Allah lakukan
terhadap para thaghut dan para pendosa, “Dan jika kamu (Muhammad)
sangat menginginkan agar mereka mendapat petunjuk, maka (ketahuilah)
bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat dan mereka
tidak memiliki penolong” (Q.S. an-Nahl: 37). Wahai Nabi, tidak ada gunanya
kamu berkemauan keras untuk memberi hidayah kepada orang-orang yang
sesat karena mereka sendiri telah menutup jalan (kebenaran) dengan sengaja
atas diri mereka, mereka membuntu jalan kebahagiaan atas diri mereka
sendiri dengan dosa-dosa mereka, dan mereka mengunci jalan surga atas
diri mereka sendiri dengan mengikuti hawa nafsu, mereka membuka jalan
jahanam dengan kedengkian mereka. Sesungguhnya mereka telah tersesat
dari jalan yang benar dengan sebab kesalahan langkah kaki mereka sendiri,
dan tidak ada jalan untuk memberikan petunjuk kepada mereka, baik dari
dalam maupun dari luar, merekalah orang-orang yang “bersumpah dengan
nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan
membangkitkan orang yang mati” (Q.S. an-Nahl: 38).
Mereka benar-benar bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang
berat, yaitu sumpah dengan tidak adanya Hari Kiamat. Mereka berkata:
Kami bersumpah atas nama Allah bahwa orang-orang yang mati tidak akan
pernah dibangkitkan, dan bahwa tidak mempunyai hari yang bernama Hari
Kemudian dan hari perhitungan yang bernama Hari Kiamat, yakni bahwa
orang yang mati itu akan binasa (fana) selamanya. Demikianlah sumpah
para pengingkar Hari Akhir yang notabene mereka mempercayai pada
Pencipta (al-mabda’). Untuk menjawab mereka, Allah berfirman, “(Tidak
demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji
yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak ada mengetahui”
(Q.S. an-Nahl: 38).
Ya, demikianlah kiamat yang hak akan terjadi dan sungguh bahwa
kehidupan sesudah kematian adalah hak. Dan mereka menyangka bahwa
kiamat itu batil dan khurafat, dan mereka bersumpah bahwa Allah tidak
p:237
akan menghidupkan kembali orang yang mati. Sungguh Allah akan
membangkitkan orang-orang yang telah mati agar segala bentuk perselisihan
terselesaikan dan agar setiap manusia memperoleh pahala atau siksa “Tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Argumentasi yang Allah jelaskan
dalam surah an-Nahl tentang perlunya Hari Kiamat sebagai berikut,
“Supaya Dia menjelaskan kepada mereka apa-apa yang mereka perselisihkan di
dalamnya” (Q.S. an-Nahl: 39). Yakni, harus ada suatu hari di mana kebenaran
akan muncul di dalamnya dan segala bentuk perselisihan dan kemunafikan
akan terbongkar. Dan argumentasi ini harus dianalisis secara lengkap dalam
pembahasan tentang perlunya Hari Kiamat. Dan sekarang, kami akan
membahas dalam mukadimah ini tentang pentingnya masalah Hari Kemudian.
Kalau demikian, sekelompok orang yang mempercayai Allah seperti
para penyembah berhala di Hijaz dan para penyembah patung yang lain,
bukan hanya meragukan Hari Ahir tetapi mereka bersumpah kepada
Allah dan bersikeras untuk menolaknya. Oleh karena itu, Allah Swt telah
memerintahkan Rasul-Nya Saw. untuk bersumpah juga bahwa Hari
Kemudian memang benar, dan tidak hanya mengemukakan dalil tentang
perlunya Hari Akhir dan tidak hanya menetapkan dengan beberapa
argumentasi bahwa kehidupan setelah kematian adalah hak, dan tidak hanya
menjelaskan dengan beberapa hujah bahwa manusia tidak akan mengalami
kefanaan setelah kematian karena ia hanya wafat dan ber pindah dari suatu
alam ke alam yang lain, namun Allah memerintahkan beliau agar bersumpah
tentang kepastian Hari Akhir.
Allah telah memerintah Rasul-Nya dalam surah Yunus, surah Saba’,
dan juga surah Taghabun: Sumpahlah (hai Muhammad) bahwa Hari
Kemudian sungguh sesuatu yang hak. Dia (Allah) berfirman, “Kemudian
dikatakan kepada orang-orang yang lalim” (Q.S.Yunus: 52). Yakni, ketika
kiamat terjadi dan perhitungan(hisab) selesai dan orang-orang yang benar
memperoleh balasan mereka dan dikatakan kepada orang-orang yang
bermaksiat, “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan
melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. Yunus: 52). Yakni,
kalian datang dengan membawa amal yang kalian lakukan yang hari ini
berwujud dalam bentuk siksaan yang pedih dan kalian ber hadapan langsung
dengan siksa yang pedih ini, maka saat itu. Dia berkata kepada Nabi-Nya,
“Dan mereka menanyakan kepadamu, ‘Benarkah (kiamat) itu?’ Katakanlah,
‘Ya, demi Tuhanku’” (Q.S. Yunus: 53). Mereka bertanya kepadamu: Apakah
kimat benar-benar terjadi? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Apakah
manusia akan dibangkitan dan amalnya akan dihisab? “Katakanlah, ‘Ya,
p:238
demi Tuhan-ku, sesungguhnya kiamat itu adalah benar dan kamu sekali-kali
tidak dapat luput (darinya)’” (Q.S. Yunus: 53). Dia berkata: Katakan (hai
Muhammad): Benar, aku bersumpah atas nama Allah bahwa Hari Kiamat
adalah hak dan kalian tidak akan mampu menghindar dari kekuasaan Allah
yang menghidupkan orang-orang mati dan menghidupkan kalian, dan
kalian tidak dapat lari dari genggaman Hari Kiamat. Kalian tidak mampu
menghindar dari masalah Ilahi ini, dan kalian juga tidak dapat lolos dari
keputusan abadi yang “Tidak ada keraguan di dalamnya. Dan kamu sekalikali
tidak dapat luput (darinya)”. Di sana ada hari yang menunggu-nunggu
kalian, yang orang lain berharap dapat menebus siksa hari itu dengan seluruh
materi dunia, jika ia seorang yang kaya, maka ia siap untuk memberikan
semua hartanya agar dapat terbebaskan dari siksa pedih yang tidak tertahan,
“Dan kalau setiap diri yang lalim itu mempunyai segala apa yang ada di bumi
ini”(Q.S. Yunus: 54).
Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya dalam surah Saba’: Saya
bersumpah bahwa Hari Kiamat haq “Dan orang-orang kafir berkata bah wa
kiamat tidak akan datang kepada mereka” (Q.S. Saba’: 3). Dan orang-orang
kafir bersumpah bahwa Hari Kiamat tidak ada, tetapi Allah berkata kepada
Nabi-Nya, “Katakanlah, ‘Ya, demi Tuhanku’” (Q.S. Saba’: 3). Katakanlah (hai
Muhammad) bahwa kiamat hak. Aku bersumpah dengan nama Tuhanku,
“Ia (kaimat) benar-benar mendatangi kalian”. Kiamat pasti datang. Allah
Maha Mengetahui ilmu gaib, “Tidak ada yang tesembunyi dari-Nya seberat
zarahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang
lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang
nyata” (Q.S. Saba’: 3).
Itulah Allah Yang Maha Mengetahui semua atom kehidupan, maka
tidak ada sesuatu yang luput dari pengetahuan Allah baik karena jauhnya
dan keterpisahannya atau karena kegelapan dan adanya penutup. Yang
menyebabkan orang lain tidak mengetahui adalah, boleh jadi karena jauhnya
suatu benda atau karena kecilnya atau karena adanya hijab dan kegelapan.
Ketika kita tidak mengetahui suatu benda, maka boleh jadi karena benda itu
jauh dari pandangan mata kita atau pandangan mata hati kita (bashirah) atau
karena benda itu ada di kegelapan, kebodohan, atau kegelapan zahir, atau
tersembunyi di bawah tabir kejahilan dan boleh jadi juga mata tidak dapat
melihatnya disebabkan kekecilannya dan kelembutannya atau disebabkan
kedalamannya dan kegelapannya. Ada empat perkara yang menghalangi
penglihatan mata biasa dan pandangan hati (bashirah), yakni: kejauhan,
kekecilan (ad-diqqah), kegelapan, dan tabir. Al-Qur’an secara implisit
p:239
berkata: Empat perkara ini tidak dapat menghalangi Allah dari pengetahuan
terhadap sesuatu; apabila atom-atom badanmu di dunia bercampur dengan
sesuatu dan di tempat mana pun ruhmu diletakkan ruhmu, maka ruhmu
dan badanmu berada di bawah kekuasaan ilmu Allah. Dan kekuasasan Allah
yang tidak terbatas tidak akan pernah sama sekali melemah.
Dengan demikian, Allah mengetahui dan berkuasa untuk mengumpulkan
bagian-bagain yang tercerai-berai. Dia berkata kepada Nabi-Nya:
Katakanlah, Aku bersumpah di hadapan kalian bahwa kiamat adalah haq,
“Katakanlah, ‘(Kiamat) pasti datang, demi Tuhanku’“. Dan Dalam surah
Taghabun masalah Hari Akhir juga dijelaskan bersama sumpah. Al-Qur’an
berkata, “Orang-orang kafir mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan
(setelah kematian)” (Q.S. at-Taghabun: 7).
Orang-orang kafir mengira bahwa kematian adalah kefanaan bagi
mereka karena ketika mereka mati, maka mereka akan mengalami kefa naan.
Oleh karena itu, selama mereka hidup, mereka harus menjadi orang-orang
yang bebas untuk melampiaskan syahwat, kemarahan, dan kedengkian.
Mereka berkata: Seseorang yang berakhir dengan kematian dan kefanaan
mengapa tidak dibiarkan hidup bebas sebagaimana yang diinginkannya.
Mereka menamakan hal ini sebagai suatu kebebasan. Mereka berkedok
di balik nama yang suci dan diberkahi “kebebasan” untuk melampiaskan
perilaku hewani yang paling keji dan paling buruk. Mereka menamakan
perilaku hewani ini dengan “kebebasan”. Allah Swt berkata kepada Nabi-
Nya: Katakanlah, aku bersumpah kepada Allah bahwa Hari Kiamat adalah
haq, “Katakanlah, ‘ya, demi Tuhanku, kalian akan dibangkitan’“. Tidak
mungkin manusia mengerjakan sesuatu yang disukaiNya, lalu dia dan
amalnya pergi begitu saja. Dia dan amalnya tidak akan fana. Dia tetap
berhubungan dengan amal itu. Manusia tetap hidup, amalnya hidup, dan
hubungannya dengan amal itu juga hidup, “Katakanlah, ‘Ya, demi Tuhanku,
kalian akan dibangkitkan’“. Kalian pasti akan dibangkitan, dia (Rasul—
Peny.) ber sumpah dengan membuang lam (hadfu lam) dan menegaskannya
dengan memasang nun taukid untuk menetapkan Hari Kemudian.
Dalam Al-Qur’an al-Karim, Hari Kiamat juga diungkapkan dengan
hari yang “tidak ada keraguan di dalamnya”, yakni hari yang tidak ada
sedikitpun kebimbangan di dalamnya. Jelas sekali, bahwa apa saja yang
terjadi pada Hari Kiamat tidak ada kesamaran, keraguan, dan kelalaiannya
di dalam. Tidak ada hal yang berhubungan dengan keraguan dan tidak ada
tempat bagi keraguan. Tidak ada keraguan pada Hari Kiamat. Tidak ada
keraguan tentang apakah kiamat itu ada atau tidak. Ketika kiamat tiba, tidak
p:240
ada keraguan apakah ia terjadi pada sesuatu atau seseorang atau masalah
tertentu karena Hari Akhir adalah hari Penyingkapan kebenaran, maka tidak
ada jalan bagi keraguan pada Hari penyingkapan kebenaran.
Hujah (burhan) yang berhubungan dengan kiamat mengatakan bahwa
kiamat tidak dapat diragukan. Tidak ada keraguan dalam segala bentuknya
tentang Hari Kiamat. Hari itu adalah hari penyingkapan kebenaran,
“Katakanlah, ‘Ya, demi Tuhan-ku, kalian akan dibang kit kan’“. Kalian pasti
akan dibangkitan “kemudian kalian akan diberitahu apa-apa yang telah
kalain lakukan” (Q.S. at-Taghabun: 7). Apa yang dilakukan manusia akan
diceritakan, meskipun sebetulnya manusia tidak perlu mendapatkan data
amalnya karena ia melihat dengan sendirinya (semua amalnya). Manusia
adalah satu di antara makhluk-makhluk yang tahu tentang amal mereka
sendiri pada Hari Kiamat, “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya” (Q.S. Al-Qiyamah:
14—15). Walaupun ia mengemukakan alasan apa pun, maka alasannya
tidak diterima karena ia mengetahui dirinya sendiri”, Pada hari itu
diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang telah
dilalaikannya” (Q.S. Al-Qiyamah: 13).
Dikatakan dalam surah Al-Qiyamah bahwa disodorkan kepada manusia
data amalnya pada Hari Kiamat. Kemudian ia berkata: Apakah masih perlu
data dan kutab (buku catatan amal) sedangkan manusia mengetahuinya
bahkan amalnya tergambar di hadapannya, bukan hanya dapat dilihatnya
bahkan anggota tubuhnya juga bersaksi atasnya. Apabila manusia datang dan
melihat bahwa dia hidup untuk selamannya dan amalnya juga akan abadi,
maka melalui amalnya dia akan melihat jiwanya dan akan membumbung
bersama ruhnya. Dia tidak akan mau tetap di bawah kekangan khayalan, dia
tidak mau dijerat oleh syahwat dan amarah, namun segala pemikirannya dan
kekuatannya berusaha untuk mengendalikan kedua tangannya, bukan untuk
mengikat kedua kakinya. Perbedaan antara orang yang buta dan orang yang
melihat adalah bahwa orang yang melihat berusaha melalui pemikirannya
dan pengamalan hidupnya membuat sesuatu yang dapat mengikat kedua
tangannya sedangkan orang yang buta melakukan suatu perbuatan yang
dengannya terikat kedua kakinya, semua usaha manusia yang menjadi budak
nafsu(syahwani) atau yang bertemparemen tinggi (al-ghadabi) sepanjang
siang dan malam tercurahkan untuk membuat belenggu bagi kedua kakinya.
Manusia yang sadar lagi melihat, berusaha untuk memenuhi sebabsebab
yang dengannya terikat kedua tangannya. Dan inilah perbedaan
antara manusia yang melihat dan yang buta, “Apakah sama antara orang yang
p:241
buta dan orang yang melihat” (Q.S. Al-An’ama: 50). Al-Qur’an berkata: Pada
hari itu kalian akan mengetahui amal kalian, dan janganlah mengira bahwa
itu sulit bagi Allah—“Dan itu bagi Allah sangat mudah”.
Terkadang Al-Qur’an mengatakan: Sesungguhnya menghidupkan
setelah kematian lebih mudah dari penghidupan yang pertama (al-ihya alibtida’).
Dan terkadang ia mengatakan: Sesungguhnya penghidupan orangorang
yang mati di sisi Allah lebih mudah daripada perbuatan yang dilakukan-
Nya sebelumnya, yaitu pemberian kehidupan kepada sesuatu yang tidak
ada sebelumnya. Manusia semula tidak berupa sesuatu apa pun, lalu Allah
memberinya kehidupan, dan ketika Dia ingin memberikan kehidupan dan
kedua kalinya maka itu lebih mudah bagi-Nya, “Dan itu lebih mudah bagi-
Nya” (Q.S. a-Rum: 27). Dan karena Allah Mahakuasa dan kekuasaan-Nya
mutlak, maka tidak benar jika kita mengandaikan bahwa ada sesuatu yang
mudah bagi-Nya dan ada sesuatu yang lain yang lebih mudah bagi-Nya.
Oleh karena itu setelah Dia mengatakan “Dan itu lebih mudah bagi-Nya”.
Dia segera berkata, “Dan bagi-Nya sifat yang Mahatinggi” (Q.S. ar-Rum:
27). Yakni, apa yang dikatakan itu adalah sesuai dengan tingkat pemahaman
kalian. Kalau tidak maka pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang mudah dan
yang lain lebih mudah bagi-Nya.
Semua pekerjaan di sisi-Nya sama dan ringan (remeh). Oleh karena
itu, dia berkata tentang Hari Kiamat besar, “Dan itu sangat mudah bagi
Allah”. Dan sumpah yang disebutkan oleh Al-Qur’an, baik yang disebutkan
oleh Allah atau yang diperintahkan-Nya untuk Nabi-Nya bukanlah seperti
sumpah yang disebutkan oleh orang-orang lain. Penjelasan yang disampaikan
oleh Ustaz Allamah Thabathaba’i (rida Allah atasnya) dalam tafsirnya yang
berharga, al-mizan, yaitu bahwa ketika Allah bersumpah atas suatu perkara
maka sumpah itu tidak seperti sumpah orang-orang lain, karena orang yang
kehilangan bukti dan tidak punya saksi biasanya memakai sumpah. Sumpah
manusia boleh jadi berlawanan dengan bukti, hujah, dan saksi. Akan tetapi,
ketika Allah menyebutkan sumpah maka tidak seperti itu, karena Dia tidak
menyebutkan sumpah yang berlawanan dengan dalil dan bukti, namun
Allah bersumpah dengan bukti dan saksi itu sendiri. apabila Allah mau
memberitahu kita tentang suatu bukti, maka Dia bersumpah dengannya dan
mengatakan: Aku bersumpah dengan si anu itu. Dan sumpah Allah dengan
memakai saksi, bukan bertentangan dengan saksi. Maka, Allah bersumpah
dengan menggunakan bukti, bukan berlawanan dengan bukti.
Kami akan menjelaskan pentingnya masalah Hari Kemudian menu rut
sudut pandang Al-Qur’an al-Karim, dan kami akan mengemukakan beberapa
p:242
argumentasi yang disebutkan oleh Al-Qur’an tentang perlunya Hari Akhir.
Apabila Allah memberi kami taufik ini, maka kami akan menyeb utkan hal
itu pada pertemuan yang akan datang.
Dalam sumpah ini, baik sumpah yang dilakukan oleh Allah atas yang
diperintahkan-Nya kepada Nabi-Nya, Dia (Allah) bersumpah dengan
menggunakan bukti, bukan sumpah yang berlawanan dengan bukti.
Misalnya, Allah ingin mengatakan bahwa orang-orang yang mengambil sikap
untuk menghadapi Rasul dan berseteru dengan beliau dalam perseteruan
yang sengit dan mereka tidak menerima ajaran wahyu samawi, mereka
berada dalam kesesatan yang jauh dan melalui jalan penyimpangan.
Allah menjelaskan masalah ini dengan menggunakan sumpah. Dia
bersumpah bahwa mereka berjalan dalam keadaan menyimpang, dan Dia
bersumpah dengan hidup Rasul termulia, “Demi hidupmu, mereka tersesat
dalam kemabukan mereka” (Q.S. Al-Hijr: 72). Sumpah dengan hidupmu
dan sumpah dengan sejarahmu, bahwa mereka menyimpang. Sungguh
mereka tidak melangkahkan langkah mereka dengan pertimbangan rasional,
mabuk dunia, mabuk di masa muda, rasio yang tercabut, mabuk jabatan,
serta mabuk kekayaan bukanlah sikap rasional. Mabuk karena masa muda
atau mabuk kekayaan, atau kedudukan, atau karena urusan duniawi lainnya.
Itu semua tidak sesuai dengan akal dan pikiran.
Al-Qur’an berkata: Sumpah demi hidupmu, sumpah dengan ruhmu,
sumpah dengan hidupmu yang penuh dengan pengabdian ilmu dan
keberkahan bahwa mereka adalah orang-orang yang mabuk yang meminta
air dari para pembeli air yang pada hakikatnya mereka tidak memiliki air.
Apabila mereka menginginkan kebahagiaan, maka kamulah tolok ukur dan
contoh kebahagiaan. Apabila mereka menginginkan nilai-nilai kema nusiaan
(insaniyyah), maka kamulah potret darinya; bilamana mereka mendambakan
kemuliaan dan kehormatan, maka kamulah contohnya; apabila mereka
menginginkan pengasuh (murabbi), maka kamulah sebagai panutan; jika
mereka menginginkan orang yang jujur (shadiq) dan abid, maka orang tua
adalah kamu; apabila mereka menginginkan kebebasan, maka kamulah
sebagai bukti darinya (syahid).
Dengan bukti ini semua, maka siapa pun yang berpisah darimu, maka
ia tersesat dari jalan, karena kamu adalah jalan itu sendiri, kamulah keadilan,
kamulah pejuang kebebasan, dan kebebasan berada di garismu. Sumpah
denganmu, wahai primadona orang orang yang bebas bahwa mereka adalah
para budak, sumpah denganmu, wahai manusia sempurna, sumpah bahwa
mereka orang-orang yang kurang kesempurnaan, sumpah denganmu, wahai
p:243
manusia yang sehat bahwa mereka adalah orang-orang yang sakit, sumpah
denganmu, wahai manusia yang suci bahwa mereka adalah orang-orang yang
tercemari, sumpah denganmu, wahai manusia yang mencurahkan sepenuh
jiwanya untuk membimbing ma nu sia bahwa mereka adalah orang-orang yang
sesat, Allah bersumpah dengan bukti dalam tiga surah, yaitu Yunus,
Saba’, dan Taghabun. Allah memerintahkan Rasul-Nya agar bersumpah
dengan nama Tuhan-Nya bahwa Hari Kemudian adalah hak, yakni makrifat
kepada Allah, iman kepada Allah, makrifat kepada Allah sebagai dalil pasti
(dalil qath’i) akan kebenaran Hari Akhir, apakah mungkin orang yang
mengenal keadilan Allah akan meragukan hari pembalasan dan hari hisab?
Apakah mungkin orang yang mengenal Allah sebagai Dzat Yang Maha
Bijaksana (al-haliim) akan percaya bahwa Dia telah menciptakan alam dengan
sia-sia dan tanpa tujuan dan kemanfaatan? Dan apakah mungkin orang yang
mengetahui Allah sebagai Dzat Yang Maha Benar (al-haq), tetapi ia tidak
melihat akhir dari (baca: kehancuran—Peny.) kebatilan dan tidak meyakini
adanya kiamat dalam akhir (cerita) alam. Kiamat akan terjadi di alam itu,
yaitu hari penyingkapan Kebenaran? Tidak demikian, dan tiga argumentasi
ini bersama al-had al-austah-insya Allah—pada majelis yang akan datang.
Dengan demikian, ketika Nabi termulia Saw. bersumpah atas nama
Tuhannya bahwa Hari Kemudian adalah hak, maka beliau seperti orang
yang berkata: Sekarang siang sudah nampak terang lalu dia bersumpah
dengan matahari dan mengatakan: Aku bersumpah dengan matahari ini
bahwa sekarang waktu siang. Orang ini bersumpah dengan menggunakan
dalil dan bukti (itu sendiri). Bukan seperti orang yang tidak mempunyai dali
l(bukti) lalu dia berlindung diri di balik sumpah, bukan seperti orang yang
tidak mempunyai saksi lalu dia bersandar kepada sumpah. Akan tetapi, ia
adalah seseorang yang mempunyai dalil dan saksi, yang “berdasarkan bukti
dari Tuhan-nya” (Q.S. Hud: 17). Dia bersumpah dengan bukti itu sendiri,
dia bersumpah dengan saksi itu sendiri dan dia bersumpah dengan dalil
itu sendiri, dan semua ini menunjukkan akan pentingnya Hari Akhir. Dan
Dia (Allah—Peny.) juga mengatakan dalam surah Shad bahwa siksa(yang
menimpa) orang-orang yang berdosa disebabkan lupa terhadap kiamat,
“Mereka mendapatkan siksaan yang pedih karena mereka telah melupakan
hari perhitungan” (Q.S. Shad: 26). Dan mustahil bagi orang yang mengingat
Hari Kiamat akan meneruskan dosanya dan kemaksiatannya. Dan ketika dia
pernah suatu saat tercemari kemaksiatan tertentu, maka dia akan berusaha
untuk membersihkan jiwanya dari noda. Dan tidak mungkin bagi seseorang
yang mengingat Hari Kiamat akan hidup dalam keadaan lalai, tetapi dia akan
p:244
berupaya untuk keluar dari kelalaiannya dan akan memperbaiki kesalahannya.
Zikir yang paling baik adalah zikir kepada Hari Kiamat di mana
Allah memberikan hadiah ini kepada orang-orang yang suci dan manusia.
Al-Qur’an berkata, “Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka (dengan
menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingat
kepada negeri akhirat” (Q.S. Shad: 46). Sesungguhnya Kami tuliskan Ibrahim
dan para nabi yang lain dalam mengingat kiamat dan kami jadikan mereka
termasuk golongan orang-orang yang ikhlas dan Kami masukkan mereka
dalam kelompok orang-orang yang ikhlas.
p:245
p:246
p:247
p:248
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Program para rasul utusan Allah yang paling penting adalah pen didikan
jiwa dan pelatihan ruh, dan faktor yang berpengaruh dalam pelatihan jiwa
adalah mengingat Hari Akhir, karena lupa terhadap kiamat dan lalai kepada
Hari Kemudian dan termasuk penghalang terbesar bagi pelatihan jiwa dan
kesempurnaan Ruhani. Oleh karena itulah Al-Qu’ran al-Karim memberikan
perhatian cukup besar kepada masalah Hari Akhir dan ia melihat bahwa
tindakan amoral merupakan akibat dari lupa terhadap kiamat, dan keterlibatan
seseorang dalam pelampiasan hawa nafsu dan dendam yang keji adalah juga
karena kelalaian dari kiamat. Orang-orang yang berlari di belakang tawanan
hawa nafsu dan orang-orang lalim, mengingkari kiamat agar mereka bebas
dari kekangan akal dan wahyu dengan mengatasnamakan “kebebasan suci”.
Bahkan, orang-orang yang beriman kepada Allah dan menerima
adanya Pencipta alam seperti para penyembah berhala dari Hijaz, bersikeras
untuk mengingkari kiamat dan bersumpah demi menaifkan kiamat, “Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh, ‘Allah
tidak akan membangkitkan orang yang mati’” (Q.S. an-Nahl: 38).
Tema yang berkaitan dengan sumpah ini telah kami jelaskan
secara terperinci pada majelis terdahulu dan pada majelis ini kami akan
mengemukakan beberapa dalil yang disebutkan Allah Swt dalam Al-Qur’an
tentang pentingnya Hari Kemudian. Allah Swt menyebutkan Hari Akhir
dalam Al-Qur’an sebagai hari yang ‘tidak ada keraguan di dalamnya”. Yakni,
hari pembalasan yang harus terwujud (darurahat-tahaqquq). Tidak ada
keraguan pada Hari Kiamat karena kejadiannya sangat jelas dan pasti. Asal
kejadiannya tidak meragukan dan setelah kejadiannya juga tidak terdapat
kebimbangan tentang peristiwa-peristiwa yang bakal berlalu pada Hari itu.
Tidak ada keraguan tentang peristiwa Hari Kiamat, apabila ia terjadi, maka
di hari itu tidak ada keraguan apa pun. Manusia tidak akan meragukan apa
pun di sana. Segala bentuk peselisihan mereka akan berakhir di sana dan
kebenaran (al-haq) akan memanifestasi di hari itu, seluruh batin individu
akan nampak secara terang-terangan dan terbuka, segala penutup akan
tersingkap, maka tidak terdapat keraguan tentang apa pun pada Hari itu
karena hakikat segala sesuatu akan nampak di sana. Oleh karena itu, ia (Al
p:249
Qur’an—Peny.) berkata, “Tidak ada keraguan di dalamnya”. Yakni, tidak ada
kebimbangan pada Hari Kiamat, tidak ada keraguan dalam bentuk apa pun
yang berhubungan dengan Hari Kiamat.
Argumentasi yang disajikan Al-Qur’an al-Karim tentang perlunya Hari
Kemudian sangat beragam. Terkadang argumentasi tersebut al-had al-ausathnya
adalah kebijaksanaan Allah (hikmatullah)¸ yakni bahwa Allah adalah
Dzat Yang Maha Bijaksana (alhakim), dan al-hakim tidak akan melakukan
suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Apabila alam dunia
tidak akan mencapai suatu tujuan tertentu dan tidak ada lain kecuali hidup mati
yang berulang-ulang, seseorang dilahirkan dan yang lain mati (begitu
saja seterusnya), dan di alam tidak terdapat hisab dan (penerimaan) kitab
(catatan amal manusia—Peny.), dan kehidupannya seperti ini, maka itu
berarti sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna, dan sesuatu yang sia-sia dan
tidak bermafnaat tidak sesuai dengan kebijaksanaan (al-hikmah), dan Allah
adalah al-hakim yang sama sekali tidak pernah melakukan suatu perbuatan
yang sia-sia dan tidak berguna. Dengan demikian, dunia pasti mempunyai
tujuan yang akan dicapainya, “Dan Kami tidak ciptakan langit dan bumi
serta apa yang ada di antara keduanya dengan main-main (sia-sia)”(Q.S.
ad-Dukhan: 38). Dan argumentasi ini—yang al-had al-ausath-nya adalah
kebijaksanaan (al-hikmah)—harus dijelaskan secara tersendiri.
Argumentasi lain adalah jalan kebenaran (thariq al-haq), Allah adalah
Dzat Yang Maha Benar (al-haq), maka tidak berasal dari al-haq suatu perbutan
yang batil dan al-haq harus memanifestasi, dunia bukanlah tempat
penampakan Kebenaran Yang Sempurna (dzuhur al-haq al-kamil) karena
di dunia masih terdapat kebatilan dan di sana juga terdapat kesamaran
antara yang hak dan yang batil. Maka, harus terdapat suatu alam di mana
Kebenaran akan nampak di sana, dan di alam itu tidak ada tempat bagi
kebatilan dan kesamaran, dan ketika yang ada hanya al-haq, maka tidak ada
celah bagi kesamaran dan kebingungan di sana.
Keraguan dan kesamaran itu selalu terjadi ketika ada dua benda di luar,
dan ketika manusia sampai ke orang ketiga, dia tidak mengetahui apakah ia
termasuk dari bagian yang pertama atau bagian yang kedua karena di dunia
terdapat kebenaran dan kebatilan, dan boleh jadi terdapat sesuatu yang hak
dan setelah perjalanan waktu ia menjadi sesuatu yang batil. Oleh karena
itu, ada orang yang ragu dan tidak jelas antara memilih hak atau batil, Ada
juga keyakinan (akidah), akhlak, dan perbuatan-per buatan yang diragukan
apakah ia termasuk golongan hak atau golongan batil. Dan ketika pada Hari
Kiamat tidak ada sesuatu pun kecuali al-haq (kebenaran) dan tidak ada
p:250
tempat bagi kebatilan, maka tidak ada celah bagi kera guan dan kesamaran.
Dan had al-ausath dari argumentasi ini adalah penam pakan kebenaran dan
Hari Kiamat adalah hari penampakan kebenaran.
Keadilan adalah had al-ausath dari argumentasi ketiga. Allah adalah Dzat
Yang Mahaadil. Dan manusia di dunia terdiri dari dua macam: Kelom pok
orang bertakwa dan kelompok pendosa, sebagian berlaku adil dan sebagiaan
lagi berlaku lalim. Di dunia tidak terdapat pemisahan antara yang baik
dan yang buruk dan antara yang hak dan yang batil. Apabila tidak ada hari
pembalasan yang di dalamnya para pembela kebenaran akan mendapatkan
pahala dan para pembela kebatilan akan mendapatkan siksa, maka hal itu tidak
sesuai dengan keadilan Ilahi. Dan keadilan Ilahi adalah had al-ausath bagi
argumentasi ini, yakni karena Allah Mahaadil, maka terdapat hari pembalasan.
Demikianlah argumentasi yang beraneka ragam yang dikemukakan Al-
Qur’an al-Karim sehubungan dengan perlunya Hari Kemudian. Dan salah
satu argumentasi ini adalah masalah penampakan kebenaran, yakni haruslah
ada suatu hari di mana kebenaran akan tersingkap di dalamnya, dan hari itu
disebut dengan hari penampakan kebenaran. Simak syair berikut:
Besok, ketika Penguasa Kebenaran (sulthan al-haqiqah) mulai unjuk gigi
Kepada pejalan yang amalnya berdasarkan kepada jalan (kebenaran)
Selama di dunia ada manusia, maka pikiran dan pemikiran tetap ada.
Sebagaimana pikiran dan pemikiran tidak dapat lepas dari manusia, maka
begitu juga segala perselisihan dalam masalah akidah, mazhab pemikiran,
teorisme, dan segala pergulatan dalam ideologi dan penyebaran makar di
tengah-tengah masyarakat manusia tidak akan pernah berakhir. Manusia
tidak berdiri berdasarkan satu bentuk, sehingga semua meyakini satu
masalah dan akan mencapai satu tujuan. Kalau begitu, perbedaan pendapat
merupakan dasar pemikiran yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat
manusia, maka apakah akan terdapat suatu tempat yang di dalamnya segala
bentuk perselisihan pikiran dan mazhab ini akan terselesaikan? Ataukah
peperangan tujuh puluh dua kelompok akan terus abadi dan setiap kelompok
mengklaim bahwa ia adalah kelompok yang selamat dan kelompok yang lain
sesat? Atau, perselisihan itu akan sampai di suatu tempat yang peperangan
tujuh puluh dua kelompok umat akan berakhir dan kebenaran akan nampak
jelas di dalamnya? Apakah perselisihan ini abadi atau tidak?
Boleh jadi perbedaan pendapat itu benar atau perselisihan di antaranya
yang batil. Dan karena kebenaran tidak akan pernah berselisih (berbeda)
dengan kebenaran, dan kebatilanlah yang berselisih dengan kebenaran, dan
p:251
kebatilanlah yang tidak sesuai dengan keabadian, maka harus ada suatu hari
yang di dalamnya segala bentuk dan warna kebatilan akan berakhir dan
segala perbedaan pikiran secara paksa juga harus selesai. Dan hari itu adalah
hari penyingkapan kebenaran.
Jika perselisihan adalah hal yang batil maka tidak mungkin sesuatu
yang kekal akan menjadi tidak berguna, dan apabila teori yang bermacam-macam
sebagiannya benar dan sebagiannya batil, maka harus ada suatu hari
di mana segala perselisihan ini akan dipangkas dan ditunjukkan mana yang
hak dan mana yang batil. Dan segala bentuk perbedaan ini harus berakhir.
Terdapat bentuk lain dari perbedaan antara batin dan lahir orang-orang
yang berbuat riya, orang yang berpura-pura zuhud, orang-orang yang
mencari popularitasnya dan reputasi, para pemalsu serta kaum munafik
yang mempunyai dua wajah. Haruskah ada suatu tempat di suatu alam
yang segala perbedaan dan pergulatan antara yang batin dan yang lahir ini
akan berakhir? Tindakan hipokrisi ini adalah tindakan yang batil. Apakah
kebatilan ini harus ditiadakan dari alam? Apakah kebatilan dan kemunafikan
dapat menjadi abadi atau tidak?
Boleh jadi perbedaan pendapat itu benar atau perselisihan di antaranya
yang batil. Dan karena kebenaran tidak akan pernah berselisih (berbeda)
dengan kebenaran, dan kebatilanlah yang berselisih dengan kebenaran, dan
kebatilanlah yang tidak sesuai dengan keabadian, maka harus ada suatu hari
yang di dalamnya segala bentuk dan warna kebatilan akan berakhir dan
segala perbedaan pikiran secara paksa juga harus selesai, dan hari itu adalah
hari penyingkapan kebenaran.
Alam yang terdapat di dalamnya kemunafikan, kepura-puraan, riya,
tipu daya, dan pencarian reputasi akan diganti dengan sistem yang tidak
menerima reputasi, tidak ada jalan bagi riya, dan segala kemunafikan dan
itu pun tidak akan berlaku di dalamnya. Alam materi yang bercampur aduk
dengan kemunafikan haus mencapai suatu keadaan yang di dalamnya segala
perbedaan zahir dan batin akan dipupuskan.
Al-Qur’an menyampaikan dimensi kiamat ini dan mengatakan:
Allah adalah al-haq dan al-haq harus muncul. Dan Dunia tidak mampu
memikul kemunculan kebenaran, Al-Qur’an tidak melihat keserasian
dunia bagi kemunculan kebenaran. Pengalaman manusia mendukung dan
membenarkan bahwa dunia menjadikan layak untuk manifestasi kebenaran
dan tidak serasi untuk pengejawantahan dari Hakikat Murni dan Manifestasi
Sempurna dari Allah. Oleh karena itu, dunia ini cocok untuk tumbuhnya
perselisihan, perbedaan, dualisme, dan kemunafikan ini.
p:252
Meskipun para nabi datang dengan membawa Kitab samawi untuk
mengakhiri perselisihan lahir dan batin dan peredaan pendapat para pemikir
dan menghilangkan dualisme dari kaum intelektual, namun Al-Qur’an sendiri
berkata: semua usaha ini tidak dapat memperbaiki keadaan sampai pada
seratus persen, tapi hanya satu persen, “Dan sebagian besar manusia tidak akan
beriman walaupun kamu sangat mengingkannya” (Q.S. Yususf: 103). Dan Allah
Swt berkata kepada Rasul-Nya, “Apabila kamu menaati sebagian besar manusia
di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu” (Q.S. Al-An’am: 116).
Di sana ada kelompok manusia yang tidak terhitung, yang
menjadi tawanan hawa nafsu yang akan membentuk perselisihan dan
kemunafikan. Walaupun para nabi datang dan kitab-kitab samawi
diturunkan untuk memecahkan segala bentuk perbedaan, tetapi dalam
batas syairat (at-tasyri’i) dan dalam batasan pemilihan pahala dan dosa
tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan perbedaan itu satu berbanding
seratus (satu persen saja). Maka, perselisihan ini akan terus abadi di
tengah-tengah manusia sampai alam berubah dan sistem yang beraneka
ragam ini diganti dengan sistem lain yang tidak menerima kecuali
kebenaran dan diubah menjadi tempat yang hanya milik kebenaran.
Oleh karena dia tidak memiliki kemampuan untuk menjadi tempat
pen jel maan Kebenaran Yang Sempurna, maka kebenaran tidak menjelama
secara sempurna, dan ketika kebenaran tidak menjelma secara sempurna,
maka kekurangan dan kekosongan itu menjadi kebatilan, meskipun pada
hakikatnya kebatilan itu sesuatu yang tidak ada. Al-Qur’an berkata dalam
surah an-Nahl ketika menjelaskan kejadian-keja dian kiamat; Sesungguhnya
kiamat diadakan dalam rangka menye lesaikan segala perselisihan dan agar
dualisme itu menuju ke satu tujuan, “Agar Dia menjelaskan kepada mereka
apa-apa yang mereka perselisihkan di dalamnya”, yakni, bahwa adanya hari
kiamat adalah agar Allah menerangkan semua hakikat yang semula menjadi
ajang perselisihan, sehingga dapat diketahui siapa yang bersama kebenaran
dan siapa yang bersama rombongan kebatilan, “Mereka bersumpah
dengan nama Allah dengan sumpah yang sungguh-sugguh, ’Allah tdak akan
membangkitkan orang yang mati’. (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan
membang kitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi
keba nyakan manusia tidak mengetahui, agar Allah menjelaskan kepada mereka
apa yang mereka perselisihkan itu, dan agar orang-orang kafir itu mengetahui
bahwa mereka adalah orang-orang yang berdusta” (Q.S. an-Nahl: 38—39).
Kiamat terjadi untuk penyingkapan kebenaran, dan agar segala
perbedaan terselesaikan, dan agar orang-orang kafir mengetahui bahwa
p:253
mereka pembohong dan pengingkar kebenaran dan mereka mengatakan
sesuatu yang batil. Al-Qur’an berkata dalam surah Nur ketika mengemukakan
peristiwa kiamat: Akan tiba hari yang “Mulut mereka, tangan mereka, dan kaki
mereka akan bersaksi atas mereka terhadap segala yang mereka lakukan” (Q.S.
an-Nur: 24). Pada hari itu, mulut mereka sendiri akan bersaksi atas mereka.
Apabila manusia melakukan suatu kelakuan jahat, maka mulutnya akan
menjadi saksi di hadapan mahkamah Allah; begitu juga kedua tangannya dan
kedua kakinya. Dari ucapannya akan menjadi jelas bahwa mulutnya, kedua
tangannya, dan kedua kakinya akan bersaksi atasnya bahwa manusialah yang
melakukan dosa bukan mulutnya, tangannya, dan kakinya. Semua anggota
tubuh ini tidak ada lain hanya sekadar alat-alat bekerja, karena saksi bukanlah
tertuduh. Terkadang, tertuduh berbicara tentang kesalahan dirinya sendiri;
hal ini dikatakan sebagai pengakuan. Dan terkadang orang lain berbicara
tentang kejahatan tertuduh; hal ini dikatakan sebagai kesaksian. Maka,
kesaksian bukanlah pengakuan. Meskipun Al-Qur’an berkata: Mereka
bersaksi atas diri mereka sendiri, namun secara pemisahan (at-tajziah) dan
analis rasional dengan memperhatikan ketelitian secara nominal (ad-diqqah
al-‘itibariyah), seorang saksi bukanlah orang yang tertuduh, atau kesaksian di
sana memiliki makna pengakuan, dan ia mempunyai kesamaan penggunaan
dengan peradilan di dunia “Menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri
merela sendiri” (Q.S. an-Nisa’: 135).
Alhasil, tangan, kaki, dan mulut akan menceritakan perkataan dan
perbuatan yang dilakulan manusia dan akan menjadi saksi atasnya di
mahkamah Keadilan Ilahi, “Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan
yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang
Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)”
(Q.S. an-Nur: 25).
Pada hari itu Allah akan memperlihatkan agama yang benar dalam
batinnya yang sempurna dan akan menetapkannya, dan mereka akan
mengerti pada hari itu bahwa Allah adalah kebenaran yang jelas. Imam Ali
as, pemimpin kaum muwahhid (orang-orang yang bertauhid) berkata, “Dia
lebih benar dan lebih jelas daripada yang dilihat oleh mata”.(1) Tidak ada
sesuatu yang lebih terang dan lebih nyata daripada Allah. Allah jauh lebih
jelas dan lebih benar daripada apa saja yang dilihat oleh mata.
Pada hari itu, Allah akan memanifestasi dengan nama kebenaran (bismi
al-haq) dengan suatu manifestasi yang sempurna dan di sana tidak ada
sesuatu yang lain kecuali manifestasi kebenaran. Oleh karena itu, kebatilan
p:254
dan perselisihan akan hancur dan berakhir serta di sana tidak ada kesamaran.
Pada Hari itu, tidak ada kebatilan yang berdiri di samping kebenaran
sehingga terdapat kelompok manusia yang condong kepadanya, sedangkan
kelompok yang lain berpegang dengan kebenaran dan kelompok yang ketiga
ragu di antara keduanya.
Apabila terdapat kebatilan, maka manusia akan terbagi menjadi tiga
kelompok: Satu kelompok di samping kebenaran, satu kelompok lain di
samping kebatilan, dan satu kelompok lagi bingung di antara keduanya.
Namun, apabila tidak ada sesuatu kecuali kebenaran, maka kebatilan tidak
akan dapat menjadi ajang perselisihan dan tidak ada tempat bagi kesamaran.
Apabila tidak terdapat dua benda (berbeda) di suatu tempat, maka kita tidak
akan pernah ragu. Keraguan itu selalu terjadi ketika terdapat dua hal lalu
manusia menjadi ragu pada hal yang ketiga, apakah ia termasuk hal yang
pertama atau hal yang kedua. Apabila Allah memanifestasi dengan nama-
Nya Yang Mulia dan Maha Benar (al-ism al mubaraka al-haq) dan itu berupa
wujud yang khusus (alwujud al-khas), wujud penjelmaan kebenaran (wujud
dzuhur al-haqiqah), maka saat itu tidak akan terdapat perselisihan dan
kesamaran. Dan Allah telah mengungkapkan kiamat sebagai hari kebenaran.
Allah berkata: Hari itu hari kebenaran, yakni hari yang di dalamnya
al-haq akan memanifestasi secara sempurna. Makna ayat tersebut bukan:
Hari kiamat adalah hari yang benar, terkadang Al-Qur’an berkata “kiamat
adalah benar” yakni bahwa kiamat akan terjadi, dan pada kali lain ia berkata
“kiamat adalah hari kebenaran” yakni wadah manifestasi Kebenaran Mutlak,
bukan hanya Hari Kiamat akan terjadi, tetapi bahwa hari itu adalah hari
manifestasi al-haq.
Allah berkata: Hari itu hari kebenaran, yakni hari yang di dalamnya
al-haq akan memanifestasi secara sermpuna. Makna ayat tersebut bukan:
Hari Kiamat adalah hari yang benar, terkadang Al-Qur’an berkata “kiamat
adalah benar” yakni bahwa kiamat akan tejadi, dan pada kali lain ia berkata
“Kiamat adalah hari kebenaran” yakni wadah manifestasi Kebenaran Mutlak,
bukan hanya Hari Kiamat akan terjadi, tetapi bahwa hari itu adalah hari
manifestasi al-haq.
Allah berkata: Hari itu hari kebenaran, yakni hari yang di dalamnya al-haq
akan memanifestasi secara sermpurna. Makna ayat tersebut bukan: Hari kiamat
adalah hari yang benar, terkadang Al-Qur’an berkata “kiamat adalah benar”
yakni bahwa kiamat akan terjadi, dan pada kali lain ia berkata “kiamat adalah
hari kebenaran” yakni wadah manifestasi Kebenaran Mutlak, bukan hanya
Hari Kiamat akan terjadi, tetapi bahwa hari itu adalah hari manifestai al-haq.
p:255
Allah berkata bahwa kiamat adalah saat di mana al-haq mengejawantah
di dalamnya “Itulah hari kebenaran”. Itu adalah hari kebenaran, yakni bahwa
tidak ada tempat bagi kebatilan pada saat Hari Kiamat. Oleh karena itu, segala
perselisihan akan selesai pada Hari itu. Orang munafik yang hidup dengan
dua muka(dualisme) yang antara lahir dan batinnya selalu berlawanan akan
dipermalukan di hari itu. Orang yang riya yang lahirnya berbeda dengan
batinnya juga akan dipermalukan pada Hari itu, dan orang-orang yang
mencari popularitas dan yang menginginkan reputasi yang lahiriah mereka
berbeda dengan batin mereka menyesal di hari itu, ketika kebenaran muncul
dan tidak ada sesuatu pun yang dapat disembunyikan di sana, “Itulah hari
yang benar. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan
kembali kepada Tuhannya” (Q.S. an-Naba’: 39).
Setiap orang yang bergerak menuju al-haq, maka ia akan mendapatkan
taufik, yaitu dengan syarat hendaklah ia tidak menginginkan apa pun selain
al-haq, dan ia akan memperoleh karunia itu, yaitu dengan syarat hendaklah
ia tidak melakukan sesuatu pun selain kebenaran. Ia tidak menipu dirinya
sendiri dan tidak juga menipu orang lain, “Itulah hari yang benar. Maka
barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada
Tuhan-Nya”. Rasulullah juga mengatakan, “Kepada-Nya aku menyeru dan
kepada-Nya juga aku kembali” (Q.S. ar-Ra’d: 36). Aku mengatakan manusia
kepada Allah dan tempat kembaliku juga kepada Allah. Akan tetapi, dalam
surah an-Nahl dikatakan: Para nabi datang dengan membawa kitab-kitab
samawi agar perselisihan berakhir, namun jelas bahwa kelanjutan jalan para
nabi mempunyai pengaruh yang terbatas dalam membatasi perselisihan,
bukan dalam batas menghilangkan akar perselisihan (raf ’u ashli al-ikhtilaf ).
Al-Qur’an mengatakan, “Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur’an)
kepadamu kecuali agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”(Q.S.
an-Nahl: 64). Kami tidak mengirim Kitab ini kecuali untuk menyelesaikan
segala perselisihan dan sebagai rahmat dan petunjuk bagi alam semesta, tetapi
para rasul tidak dapat memberikan taufik kepada umat kecuali sekitar satu
persen “Dan sedikit di antara hamba-hambaku yang bersyukur”(Q.S.Saba’:
13). Kelompok yang istimewa adalah mereka yang menerima kebenaran.
Mereka tidak menimbulkan perselisihan, mereka tidak menampakkan
perbedaan antara lahir dan batin mereka, mereka tidak menipu diri mereka
sendiri, dan mereka juga tidak memperkenankan hal itu (sikap yang tidak
terpuji) terdapat pada orang lain.
p:256
Hari kiamat adalah hari penyingkapan kebenaran yang segala bentuk
hal yang tersembunyi akan tersingkap. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya
Allah benar-benar berkuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati)”
(Q.S. ath-Thariq: 8). Raj’i bermakna pengembalian (i’adah), dan ruju’ berarti
‘audah (kembali atau pulang), raj’ adalah kata yang berbentuk muta’addi
(transitif) sedangkan ruju’ sebaliknya. Allah akan mengembalikan dan
memulangkan kedua kalinya. Kapan? Pada hari yang segala bentuk rahasia,
kesamaran, dan batiniah akan Nampak di dalamnya sebagaimana apa yang
ada di dalam batin bumi akan muncul lahirnya, “Dan bumi mengeluarkan
beban-beban berat( yang dikandung)nya” (Q.S. az-Zilzalah: 2).
Akan nampak apa saja yang ada dalam batin manusia, “Pada hari
dinampakkan segala rahasia” (Q.S. ath-Thariq: 9). Rahasia-rahasia yang
tersembunyi di dalam salah satu sudut hati akan nampak pada Hari itu,
dan segala hal yang tersembunyi akan dikeluarkan di hari itu. Manusia
akan menampakkan pada hari itu semua yang disimpannya di dalam hati
dan tidak ada rahasia sedikit pun yang tersisa. Dan sebagian rahasia yang
tersembunyi itu terdapat dalam jiwa manusia, “Dan jika kamu mengeraskan
ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan (segala) yang lebih
tersembunyi” (Q.S. Thaha: 7). Allah tidak hanya mengetahui hal-hal yang
lahir, Dia tidak hanya mengetahui rahasia-rahasia anak-anak Adam (al-asrar
al-adamiyah) tetapi dia juga mengetahui apa yang tesembunyi dari rahasia
yang tertutup dalam jiwa manusia.
Boleh jadi manusia tidak mempunyai ilmu tentang suatu rahasia, atau
ia tersembnyi di alam lipatan-lipatan hati dengan suatu keadaan di mana
cinta diri (hub an-nafs) akan menghalangi manusia untuk memahami dan
mengetahui rahasia itu. Dan inilah rahasia yang tesembunyi dan Allah juga
mengetahui bentuk rahasia ini. Pada hari itu, semua yang disembunyikan
hati akan nampak—“pada hari dinampakkan segala rahasia”. Dalam surah
an-Nisa’ dikatakan; Para pendosa mengharapkan pada Hari itu agar mereka
disamaratakan dengan tanah—“Mereka ingin supaya disamaratakan dengan
tanah, dan mereka tidak dapat menyem bu nyikan (dari Allah) suatu ucapan
pun” (Q.S. an-Nisa’: 42). Semua yang ada di batin manusia akan nampak,
dan semua rahasia hati akan menjadi nyata. Mereka—di dunia—menjadikan
kebenaran hanya sebagai jembatan untuk memperoleh kepentingan-kepentingan
materi dan mereka meng injak-injak kebenaran agar mereka
mendapatkan ambisi-ambisi duniawi yang fana, “Sebagian besar pergulatan
akal (tunduk) di bawah kilauan ambisi (ketamakan)”.(1)
p:257
Pemimpin kaum muwwahid (Imam Ali bin Abi Thalib—Peny.) berkata:
Sering kali akal menjadi korban dari pedang ketamakan dan ambisi.
Manusia yang gila akan menyembelih akal di bawah kaki ketamakan, ia akan
mengorbankan akalnya untuk melampiaskan kerakusan, ia akan memenggal
leher akal dengan pedang ketamakan. Para nabi berkata, “Mengapa kalian
mencampur aduk antara yang hak dan yang batil” (Q.S. Ali ‘Imran: 71).
Mengapa kalian menyembunyikan kebenaran? Mengapa kalian menjadikan
kebatilan berbusana kebenaran? Mengapa kalian menampakkan sesuatu
yang buruk menjadi sesuatu yang indah? Mengapa kalian membayangkan
bahwa dosa itu sebagai pahala? “Mengapa kalian mencampur aduk antara
yang hak dan yang batil”. Mereka yang tersem bunyi di batin mereka ada
mereka yang tidak mampu menyembunyikan sesuatu pun karena mulut
mereka berada di bawah kendali al-Haq (Allah—Peny.), bukan di
bawah kendali ikhtiar dan kekuasaan mereka. Ketika kebenaran muncul,
maka manusia akan mengatakan kebenaran. Tangan dan kaki juga akan
mengatakan kebenaran. Ketika manusia mem bantah atas kesaksian
anggota tubuhnya, maka anggota tubuh tersebut akan berkata: Allah yang
menjadikan segala sesuatu mampu berbicara juga menjadikan kami mampu
berbicara—“Mereka (anggota tubuh) men jawab: Allah-lah yang menjadikan
kami mampu berbicara sebagaimana Dia menjadikan segala sesuatu berbicara”
(Q.S. Yunus: 32). Tempat yang di dalamnya kebenaran muncul, akan
menjadikan kebatilan mening galkan tempatnya. Tidak mungkin kebenaran
muncul dengan sempurna apabila di situ masih ada kebatilan. Tidak ada
tempat untuk kebatilan, untuk menyem bunyikan kebenaran, untuk berbuat
kemunafikan dan riya, tetapi semua masalah ini akan berakhir, “Dan mereka
tidak dapat menyem bunyikan (dari Allah) suatu ucapan pun”. Apabila memang
demikian, maka kebenaran (al-haq) harus memanifestasi, dan Allah adalah
al-haq, maka mustahil kebenaran tidak mewujud.
Atas dasar ini, maka kiamat adalah hari keyakinan (yaumul yaqin). Dasar
kemunculan kiamat adalah hal yang meyakinkan dan tidak ada sesuatu pun
yang menghalangi kemunculannya, baik dari dalam atau dari luar. Allah yang
merupakan al-Haq akan memanifestasi dengan nama yang mulia ini, dan
segala bentuk perselisihan ini harus di akhiri, dan tidak ada sesuatu pun yang
mencegah keharusan ini, karena kendati pun kebatilan mampu melakukan
perlawanan dan mengokohkan tempatnya, namun ketika kebenaran
muncul ia akan menghancurkan kebatilan. Alam akan berlanjut dengan
kemenangan kebenaran atas kebatilan sampai kebatilan akan tersembunyi
(hilang) sekaligus dan kebenaran akan mewu jud juga sekaligus, kebatilan
p:258
akan tersingkir ke sudut-sudut kelesuan. Kebatilan adalah kekurangan yang
ada pada saat kemunculan kebenaran. Ketika tidak ada kekurangan pada
saat kemunculan kebenaran dan kebenaran memanifestasi secara sempurna,
maka saat itu tidak ada tempat bagi kebatilan.
Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata: Sesungguhnya Kami menyiapkan
jalan penembusan kebenaran dan jalan kemenangan secara perlahan-lahan
sampai kebatilan akan hancur sedikit demi sedikit, “Sebenarnya Kami
melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya,
maka dengan serta merta yang batil itu lenyap” (Q.S. Al-Anbiya’:18).
Apabila Al-Qur’an berkata bahwa ketika kebenaran datang, maka kebatilan
akan hilang, maka kepergian kebatilan adalah dengam pengokohan
kebenaran. Allah berkata: Seungguhnya Kami akan mengunggulkan
kebenaran atas kebatilan sampai kebenaran menang. Kebenaran yang
menang akan menghancurkan kebatilan, maka kebatilan akan pergi dan
musnah, “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang
hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”.
Kebenaran akan menghancurkan kebatilan secara perlahan dan ia
(kebenaran) akan muncul tiba-tiba dan sekaligus. Demikianlah kiamat,
ia akan muncul sekaligus (tiba-tiba), Allah tidak memperkenalkan kiamat
sebagai sesuatu yang perlahan-lahan, tetapi Dia mengatakan bahwa kiamat
akan datang dengan sekonyong-konyong—“Ia(kiamat) akan mencengangkan
mereka” (Q.S. Al-Anbiya: 40). Oleh karena kebatilan akan berakhir dengan
sekaligus dan mendadak. Kebatilan akan hancur melalui kemunculan
kebenaran yang sempurna. Oleh karena itu, Allah tidak menyebut kiamat
sebagai sesuatu yang bertahap, tetapi Dia mengatakan bahwa ia akan
datang secara mendadak—“Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”.
Dan terkadang, Dia menyebutkan kiamat seperti, “Keja dian kiamat(di
sisi Allah) seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi)” (Q.S. an-Nahl: 77).
Masalah zaman (waktu) tidak diutarakan setelah itu, karena zaman dapat
dlihat dalam cahaya. Yakni, zaman adalah hasil dari gerakan, dan gerakan itu
telah mencapai tujuannya, dan zaman sesuai dengan gerakan sistem ini, dan
sistem ini diganti dengan sistem lain dan alam ini diubah dengan alam lain
dan zaman telah mencapai tujuannya. Zaman (al-mutazamin) dan gerakan
(al-mutaharrik) menang setelah mencapai maksudnya. Perahu alam akan
berlayar untuk mencapai pelabuhannya.
Pada kajian yang lalu telah dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. ditanya,
“Kapan ia (perahu itu) berlabuh”. Yakni, kapan perahu ini akan menemukan
pelabuhannya? Lafal irs’a (berlabuh) bermakna ilq’a al-mursah (penemuan
p:259
pelabuhan). Dia (Allah—Peny.) berfirman tentang bahtera Nuh, “Dengan
menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya” (Q.S. Hud: 41).
Yakni, bahwa pelayaran dan kekokohan perahu ini atas nama Allah. Dan
ungkapan Al-Qur’an yang indah tentang kiamat adalah bahwa mereka
bertanya tentang perahu alam kapan akan menemukan pelabuhanya? Dan
benda yang bergerak sebelum menenang ia berada pada tingkat kekuatan yang
tinggi (fi marhalah al-quwwah), tetapi begitu berhasil mencapai(maksud)
dari perbuatannya (al-fi’liyyah) ia menjadi tenang.
Sekarang, kiamat berada pada tingkat potensi (marhalah quwwah) dan
ia akan menjadi tenang ketika mencapai tingkat riil (marhalah fi’il). Dan
dunia adalah marhalah quwwah bagi alam akhirat yang merupakan marhalah
fi’il. Akhirat adalah alam akhir, alam ketetapan, dan alam kehidupan
mutlak—“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarya kehidupan” (Q.S.
Al-Ankabut: 64). Alam akhirat adalah alam sadar dan alam bangun karena
kebenaran itu hidup dan bangun, dan hari itu merupakan marhalah fi’il bagi
perahu yang berputar-putar ini. Perahu ini akan menemukan pelabuhannya
ketika ia sampai pada Hari Kiamat dan ia akan mencapai tujuannya secara
langsung. Sampainya perahu itu yang secara perlahan-lahan, tetapi perjalanan
menuju tujuan itu yang berlangsung secara bertahap.
Oleh karena itu Al-Qur’an berkata, “Kejadian kiamat (di sisi Allah)
seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi)”. Kiamat mempunyai langit lain,
bumi lain, dan sistem lain yang akan dihuni oleh manusia-manusia yang
sama, yang pernah hidup di dunia ini. Mereka akan hidup di dalam sistem
itu bersama seluruh hakikat masa lalu mereka dan masa kini mereka, tidak
ada sesuatu pun yang tertinggal darinya, dan dalam sistem itu terdapat hal-hal
yang diputuskan (mahkumin) sesuai dengan faktor-faktor kebenaran (al-
‘awamil al-haqiqiyyah) dari sistem itu. Oleh karena itu, tidak ada tempat
untuk menyembunyikan kebenaran. Dan ketika kebenaran mewujud, maka
tidak ada tempat bagi kebatilan karena kebatilan akan hancur—“Maka
dengan serta merta yang batil itu lenyap”. Kebatilan akan mati sekaligus
karena cahaya kebenaran akan muncul sekaligus. Ketika sorotan cahaya
akan muncul sekaligus, maka kegelapan akan hilang sekaligus, meskipun di
sana terdapat perbedaan antara contoh (mitsal) dan apa yang dicontohkan
(mumatsal lahu).
Dalam ayat tersebut telah diutarakan waktu (zaman) meskipun
dikatakan secara cepat, namun membayangkan waktu di sana sulit karena
waktu telah mencapai tujuannya sebagaimana sesuatu yang berhubungan
dengan waktu( al-mutazamin) telah sampai ke tujuannya atau gerakan telah
p:260
sampai ke maksudnya, begitu juga benda yang bergerak (al-mutaharrik)
telah mencapai tujuannya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat merintangi
perwujudan kebenaran, karena Dia (Allah—Peny.) berkata, “Dan
kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi”. Apabila ada sesuatu
yang menghalangi kemunculan kebenaran, maka sesuatu itu termasuk dari
makhluk dan makhluk (manusia, misalnya—Peny.) tunduk kepada irâdah
Allah yang tidak pernah dapat diganggu.
Oleh karena itu, Dia berkata dalam lanjutan ayat tersebut, “Dan
kepunyaan-Nya-lah segala yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat
yang di sisi-Nya, mereka tidak ada mempunyai rasa angkuh untuk
menyembah-Nya dan tidak ada (pula) merasa letih” (Q.S. Al-Anbiya’:
19). Tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah kemunculan kebenaran,
karena sesuatu yang menentang kebenaran adalah kebatilan dan kebatilan
akan binasa— “Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap”. Maka,
kebenaran akan tetap mewujud dan ketika kebenaran mewujud pada Hari
itu, tidak ada faktor apa pun baik dari dalam maupun dari luar yang mampu
menghentikan kemunculan kebenaran. Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata,
“Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, sehingga
penglihatanmu pada hari itu amat tajam” (Q.S. Qaf: 22). Ketika kamu di
dunia, kamu sendiri yang memasang penutup(tabir) atas dirimu sehingga
kamu tidak melihat apa-apa, dan sekarang, penutup itu ditiadakan sehingga
kamu mampu melihat rahasia-rahasia dan kamu dapat melihat dirimu sendiri
secara lebih baik, dan kamu juga mampu melihat orang-orang lain secara
lebih baik. Sistem di dunia akan diganti juga dan gunung-gunung akan
dihancurkan, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka
katakanlah, Tuhanku akan menghancurkannya (pada Hari Kiamat) sehancur-hancurnya,
maka Dia akan menjadikan (bekas) gunung-gunung itu datar
sama sekali, tidak ada sedikit pun kamu lihat padanya tempat yang rendah dan
yang tinggi-tinggi” (Q.S.Thaha: 105—107). Halaman kiamat akan menjadi
bersih tanpa bukit dan gunung, di samping itu, tabir akan dihilangkan
sehingga pandangan mata jauh lebih tajam—“Sehingga penglihatanmu pada
hari itu amat tajam” (Q.S. Qaf: 22). Dan pada hari itu, kamu akan melihat
hari kemunculan kebenaran dengan mata lahiriah dan mata batiniah dengan
(pandangan) yang sangat tajam.
p:261
p:262
p:263
p:264
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Dalam pembahasan tentang ma’ad (hari kebangkitan) dilihat dari sisi
pandang Al-Qur’an, secara gamblang dijelaskan bahwa keyakinan akan
Hari Kiamat berperan penting dalam pendidikan jiwa (tahdzib an-Nafs).
Artinya, mendidik ruh yang merupakan tujuan utama diutusnya para nabi,
akan menjadi mudah dibina apabila seseorang meyakini adanya hari kiamat.
Ketika seseorang meyakini dan mengimani adanya masa depan yang abadi,
maka kepercayaan tersebut memiliki dampak dan pengaruh positif pada jiwa.
Sebaliknya, melupakan atau tidak mempercayai adanya Hari Kiamat,
akan mempermudah terjadinya berbagai maksiat dan dosa. Banyak
hal tentang kiamat yang perlu dikaji. Di antaranya, pengaruh positif
keyakinan Hari Kiamat pada pendidikan jiwa. Secara sekilas hal ini telah
kita kaji. Bukti keberadaan hari kebangkitan ini juga sudah kita kaji pada
pembahasan sebelumnya. Masalah-masalah lain yang perlu dikaji adalah
berbagai persoalan (isykal) berkaitan dengan eksistensi hari kebangkitan,
sementara jawaban Al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut sudah
dibahas sebelumnya ketika menukil argumentasi tenang kepastian adanya
hari kebangkitan. Dalam hal ini, Al-Qur’an telah membuktikan berbagi
argumentasi tentang pentingnya ma’ad dan keharusan adanya Hari Kiamat.
Di antara argumentasi tersebut adalah argumentasi gerakan (burhan alharakah),
argumentasi hakikat (burhan al-hakikah), argumentasi hikmah
(burhan al-hikmat) argumentasi keadilan (burhan al-‘adalah), argumentasi
immaterial ruh (burhan tajarrudar-ruh), dan berbagai argumentasi lain yang
akan kita bahas satu demi satu, insya Allah.
Sistem argumentasi gerakan burhanal-harakah) adalah demikian;
Tidak ada gerakan yang tanpa tujuan, karena gerakan berarti keluarnya
suatu potensi menjadi sebuah kenyataan (“khurujminal quwwati ilal fi’li”)
dan ini tidak mungkn terjadi tanpa adanya suatu arah. Berarti, pada gerakan
harus ada tujuan. Tujuan alam semesta adalah satu kesatuan yang mengalir
bergerak menuju tujuannya. Dengan demikian, alam semesta yang mengalir
dan bergerak ini pasti memiliki tujuan, dan mencapai tujuan adalah suatu
keharusan juga. Dapat jadi suatu bergerak menuju tujuan namun tidak sama
karena faktor tertentu yang mengahalanginya. Dapat jadi suatu potensi tidak
p:265
dapat menjadi sebuah kenyataan karena adanya penghalang. Akan tetapi tidak
semua alam semesta yang merupakan rangkaian satu kesatuan yang mengalir
ini dapat terganggu oleh adanya penghalang, baik dari dalam maupun dari
luar. Tidak ada penghalang dari dalam karena alam adalah satu kesatuan
yang bergerak menuju tujuan. Maka, tidak ada gambaran bagi suatu wujud
kesatuan hakiki akan menutup jalannya sendiri. Sebab gambaran adanya
penghalang hanya terjadi pada gerakan-gerakan yang bersifat ragam. Benih
misalnya, ia selalu berusaha untuk menjadi buah. Dapat jadi akan terbentur
oleh hujan besar atau cuaca dingin, sehingga untuk proses menjadi buah
terhalang; dapat jadi sebuah pohon di saat berusaha tumbuh lalu terinjak oleh
para pejalan kaki dan kemudian mati; dapat jadi banjir menghantam binatang
yang sedang menuju proses kesempurnaan hingga terdampar di tengah laut.
Berbagai contoh kejadian ini hanya akan mengganggu gerakan-gerakan
yang bersifat kondisional. Dapat jadi sebuah gerakan tertentu tidak dapat
mencapai tujuan karena adanya gangguan yang menghalangingya. Akan
tetapi, apabila alam semesta ini merupakan satu kesatuan yang hakiki, dan
berusaha menuju pada tujuannya maka tidak akan ada apa pun yang dapat
menghalanginya. Berarti, penghalang-penghalang yang berasal dari dalam
alam itu sendiri tidak akan pernah ada. Sedangkan penghalang-penghalang
dari luar—karena semua yang dikatakan dari luar alam adalah karena
perintah Allah pengatur alam semesta ini—semata-mata demi kedewasaan
alam itu sendiri. Penghalang-penghalang tersebut berperan sebagai penuntun
kesatuan alam itu sendiri. Dengan demikian, penghalang tersebut tidak
dapat disebut sebagai penghalang gerakan menuju kedewasaan, karena ia
merupakan serangkaian sebab-sebab aktif karunia Tuhan.
Kesimpulannya, karena alam semesta merupakan satu kesatuan yang
mengalir bergerak, maka gerakan tersebut tidak mungkin terjadi tanpa
tujuan; berarti alam semesta harus punya tujuan. Dan karena tidak ada
bentuk penghalang dari dalam maupun dari luar yang dapat mengganggu
gerakannya, maka meraih tujuan tertentu pasti tercapai. Artinya, tujuan bagi
gerakan alam adalah suatu hal yang pasti. Maka mencapai tujuan tersebut juga
pasti. Oleh karena itu, untuk menjelaskan semua pengeta huan ini, Al-Qur’an
berkata; Alam semesta yang selalu bergerak ini akan mencapai suatu tempat,
yaitu suatu alam yang merupakan batas keber adaan alam semesta ini, yaitu
hari akhir dan tempat tenang, semua akan menjadi tenang dan itu pasti terjadi.
Tidak ada keraguan, artinya pasti terjadi dan Hari Kiamat adalah
sesuatu yang pasti. Seluruh peraturan langit dan bumi ada batasnya, dan
alam yang selalu bergerak ini, pada waktunya akan mencapai tujuannya.
p:266
Ungkapan-ungkapan seperti “kapan tenangnya?” “Kapan kapal alam
semesta menemukan pelabuhannya?” “Kapan desingannya?” Semuanya
mengisyaratkan bahwa kiamat ibarat pelabuhan kapal alam semesta. Ma’ad
adalah tempat berhentinya alam semesta. Dengan ini, selesai sudah bahasa
argumentasi gerakan ini secara rinci dengan berbagai bukti yang nyata.
Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas tentang argumentasi
hakikat (burhan al-hakiki) seperlunya, yaitu bahwa munculnya kebenaran
(al-haq) harus nyata. Hal itu karena di alam semesta ini, yang hak dan yang
batil keduanya sama-sama eksis. Berbagai perbedaan yang terjadi antara
para ilmuwan, pengikut mazhab, dan berbagai kepercayaan yang batil, tidak
dapat dianggap semua benar, karena satu sama lain saling kontradiktif, yang
satu benar dan yang lain pasti salah.
Dengan demikian, harus ada suatu hari dan tempat sebagai tempat
berakhirnya berbagai perselisihan ini, untuk diketahui mana di antara tujuh
puluh dua umat yang benar-benar melangkah di jalan yang hak. Siapakah
mereka yang tidak melihat hakikat dan melangkah di jalan yang batil,
pengikut mazhab siapakah mereka? Hari ini ibarat dalam penantian, semua
perselsihan yang dibangkitkan oleh api kemunafikan dan permusuhan,
pergolakan antara batin dan lahir harus berakhir. Akan datang suatu hari
yang manusia hanya memiliki satu wajah bukan dua wajah—lahir dan batin.
Semua akan menjadi jelas. Antara batin dan lahir akan menjadi satu, “Di
hari semua rahasia terbuka” (Q.S. ath-Thariq: 69). Semua rahasia terungkap
yang sebelumnya tertutup. Al-Qur’an mengatakan, “Mereka tidak ada
akan menutupi pembicaraan di hadapan Allah” (Q.S. an-Nisa’: 42). Semua
persengketaan antara batin dan lahir akan berakhir, perbedaan pendapat dan
mazhab akan berakhir pula, semua bentuk permusuhan batil akan berakhir
di hari munculnya kebenaran kelak. “Itulah hari kebenaran. Maka barang
siapa menghendakinya hendak nya menjadikan Tuhannya sebagai tempat
kembali” (Q.S. an-Naba’: 39) dan ini juga telah dibahas sebelumnya.
Argumen yang ketiga yaitu argumentasi hikmah. Bentuk logikanya
adalah demikan: oleh karena Allah Maha Bijak, dan yang Maha Bijak tidak
akan pernah melakukan perbuatan yang batil dan sia-sia, maka Allah tidak
akan pernah berbuat batil dan sia-sia. Alam ini adalah hasil perbuatan Allah,
tidak akan tercipta tanpa tujuan, alam ini punya arah dan selalu menuju
arahnya. Dalam argumentasi hikmah (filsafat) ini, dua pokok masalah perlu
dibedakan, yaitu bahwa Allah tidak membutuhkan sama sekali, tidak akan
melakukan suatu perbuatan demi tujuan tertentu, tetapi karena Allah Maha
Bijak, dan yang Maha Bijak tidak akan melakukan suatu perbuatan yang
p:267
sia-sia tanpa tujuan. Dalam penjelasan burhan hikmah, dua makna ini harus
dibedakan. Pertama, Allah tidak akan melakukan suatu perbuatan untuk
tujuan tertentu. Kedua, tidak mungkin Allah melakukan suatu perbuatan
tanpa tujuan, Artinya, sang pelaku tidak memiliki tujuan pribadi, akan
tetapi tujuan itu sesuatu yang harus ada pada suatu perbautan.
Adapun Allah tidak memiliki tujuan pribadi karena arti adanya tujuan
bagi-Nya berarti Sang pelaku tidak memiliki kesempurnaan lalu dengan
perbuatan itu Dia berusaha mencapai dan mendapat kesempurnaan-Nya.
Perbuatan adalah penghubung antara sang pelaku yang tidak memiliki
kesempurnaan lalu dengan perbuatan itu Dia berusaha mencapai dan
mendapat kesempurnaan-Nya. Perbuatan adalah penghubung antara sang
pelaku dengan tujuan (kepentingan). Sang pelaku melalui perbuatannya
akan mencapai tujuan itu dan meraih kesempurnaannya. Inilah yang
dimaksud ada tujuan bagi sang pelaku. Akan tetapi, jika sang pelaku itu
merupakan kesempurnaan mutlak tanpa batas, maka tidak dapat dipisahkan
antara kesempurnaan dengan sang pelaku, sehingga dapat disebut sang
pelaku tidak memiliki kesempurnaan, berarti tidak mungkin sang pelaku
(yang merupakan kesempurnaan mutlak) berbuat dan berkehendak
untuk mencapai kesempurnaan nya. Oleh karena itu, apabila sang pelaku
itu merupakan kesempurnaan mutlak, maka perbuatannya tidak dapat
terpisah dari tujuan, dan tujuan itu bukan untuk kepentingan pribadinya.
Ini merupakan prinsip yang diungkapkan oleh Al-Qur’an, ”Sesungguhnya
Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Q.S. Al-Ankabut: 6). Allah tidak
membutuhkan sesuatu apa pun dari alam semesta ini. Dia adalah kaya
raya semata. Jika Allah kaya-raya, berarti tidak membutuhkan sifat zat-
Nya. Dia tidak memiliki kekurangan sehingga Dia harus berbuat untuk
menyempurnakan kekurangan dan mencapai tujuan-Nya.
Adapun Dia sebagai Maha Bijaksana dan tidak akan melakukan
perbuatan tanpa tujuan, hal itu semata-mata karena kebijakan sebagai
sumber perbuatan-Nya. Apabila kebijakan itu sebagai sumber perbuatan,
maka perbuatan tesebut berdasarkan aturan dan tujuan khusus, sebab
perbuatan yang tidak teratur dan tidak bertujuan tidak disebut bijak. Tidak
akan keluar suatu perbuatan dari seorang bijak yang tanpa tujuan. Oleh
karenanya, Al-Qur’an berkata tentang prinsip kedua ini, ”Dan tidak Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk menyembah-Ku” (Q.S. az-
Zariyat: 56). Artinya, Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah
agar mereka mencapai kesempurnaan. Dua masalah ini perlu dibuktikan
dengan beberapa ayat Al-Qur’an: Allah sama sekali tidak membutuhkan dan
p:268
tidak berbuat untuk kepentingan diri-Nya sehingga Dia berambisi untuk
meraih kepentingan tersebut. Oleh karena Allah Maha Bijak, Allah tidak
akan berbuat tanpa tujuan sehingga alam semesta ini sia-sia.
Kita ambil kesimpulan ini dari Al-Qur’an al-Karim: Adapun Allah
Maha Bijak dan orang yang bijak tidak akan berbuat yang sia-sia. Al-
Qur’an mengatakan, “Dan kami tidak menciptakan antara langit dan
bumi bermain-main” (Q.S. Al-Anbiya’: 160). Kami tidak ciptakan alam
ini main-main, tidak Kami ciptakan alam ini tanpa tujuan. Artinya, alam
yang tanpa tujuan tidak akan diciptakan oleh Allah. Dalam beberapa surah,
Al-Qur’an mengisyaratkan hal itu. Di antaranya dalam surah Al-Anbiya
Allah berfirman, “Dan Kami tidak ciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada di antara keduanya sia-sia” (Q.S. Al-Anbiya’: 16). Tidak kami ciptakan
langit dan bumi serta apa yang ada di dalam alam ini main-main dan sia-sia.
Artinya, alam ini bukan permainan, alam ini bukan untuk bermain dan
tanpa tujuan. Dalam ungkapan lain Al-Qur’an mengatakan: Kami tidak
ciptakan langit dan bumi sia-sia dan tidak Kami ciptakan langit dan bumi
tanpa tujuan.
Al-Qur’an juga berkata: Kami tidak ciptakan langit dan bumi kecuali
dengan kebenaran. Dalam surah Shad, Al-Qur’an berkata, “Dan Kami tidak
ciptakan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya sia-sia” (Q.S. Shad:
27). Aturan alam ini bukan tanpa tujuan, itu hanya sangkaan orang-orang
kafir ketika mereka berkata: Alam wujud adalah dunia ini semata, kehidupan
ini dan kedamaian akan berakhir. Manusia akan fana karena kematian,
alam semesta bergerak menuju kehancurannya (fana’). Ini adalah sangkaan
batil dari orang-orang yang tidak percaya akan hari ma’ad (kebangkitan),
“Demikain itu adalah sangkaan orang-orang kafir, dan celakalah bagi orang-orang
kafir dari api neraka” (Q.S. Shad: 27).
Berdasarkan pemikiran ini, maka Allah Maha Bijak, dan tidak
akan keluar perbuatan yang tanpa tujuan dari yang bijak. Apabila Allah
mengenalkan kehidupan dunia ini dalam Al-Qur’an sebagai permainan,
seperti, “Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu adalah mainan,
hiasan, dan kebanggaan antara kamu, dan memperbanyak dalam harta dan
anak” (Q.S. Al-Hadid: 20). Hal itu karena Allah membagi dunia dalam lima
peringkat, yakni permainan, kebanggaan terhadap kebatilan, memperbanyak
kekayaan dan anak. Sepanjang hidup manusia, sejak kecil sampai tua pasti
melalui lima peringkat ini.
Jika Allah berkata bahwa dunia sebuah permainan, karena dunia
bukanlah alam semesta. Dan apabila Allah mengenalkan dunia sebagai
p:269
permainan, bukan berarti bumi dan tambangnya sebagai permainan, tidak
berarti laut dan binatangnya sebagai permainan, bukan berarti manusia dan
pemikirannya yang realistis sebuah permainan, bukan berarti udara dan semua
wujud ruang angkasa sebuah permainan. Ini semua bukan dunia melainkan
tanda-tanda keagungan dan rahasia Ilahi. Dunia adalah keterikatan yang
bersifat relatif, khusus untuk mengatur masalah-masalah kehidupan. Siapa
yang menjadi pemimpin, siapa anggotanya, siapa pemegang jabatan, harta
ini milik siapa, bagaimana kita dapat menjadi pemiliknya, bagaimana kita
dapat memindahkan pemilikan, bagaimana kita dapat memanfaatkannya, ini
semua merupakan bentuk-bentuk dan tanda relativitas dunia. Berarti dunia
bukanlah bintang, laut, dan tumbuh-tumbuhan. Ini semua merupakan
tanda-tanda keagungan Allah dan cermin keindahan dan kebesaran Al-
Haq, tanda kasih sayang-Nya; itu adalah hikmah Allah dan semua bertasbih
kepada-Nya. Semua itu adalah cermin dari al-Haq; ini semua bukan dunia.
Dunia adalah keterikatan khusus untuk mengatur kehidupan. Manusia
tertipu oleh masalah-masalah relatif ini, kebanggaan dan kepemilikan, yang
semuanya merupakan khayalan tipuan belaka. Menurut Al-Qur’an, manusia
yang asyik dengan dunia disebut sebagai orang yang tertipu atau terpengaruh
dengan khayalan.
Ketertarikan yang bersifat relatif ini disebut dunia. Manusia, kadang-kadang
memiliki benih hubungan ini dengan baik, dan kadang menurun
dan lebih rendah (dunia adalah tanaman akhirat).(1) Dunialah sebagai
permainan, bukan bumi dan langit. Dunialah sebagai permainan, hiasan,
dan kebanggaan. Dunia tidak memiliki peran kecuali permainan dan
penipuan, bukan padang pasir dan lautnya. Darul ghurur bukanlah langit
dan bumi. Langit adalah gambaran Al-Haq, bumi adalah cermin Al-Haq,
lautan dan padang pasir adalah tanda-tanda keindahan dan keagungan
al-Haq. Manusia, malaikat, dan wujud-wujud lain adalah tanda-tanda
kekuasaan al-Haq. Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak akan keluar dari
Allah Yang Maha Bijak suatu perbuatan yang tanpa faedah. Manusia bukan
sia-sia, akan tetapi sangkaan batil merekalah yang sia-sia. Manusia bukan
sia-sia, akan tetapi kebanggaan mereka terhadap dunialah yang sia-sia.
Dalam surah Al-Qiyamah Allah menjelaskan tujuan manusia, “Apakah
manusia mengira dirinya dibiarkan sia-sia” (Q.S. Al-Qiyamah: 36). Apakah
manusia mengira bahwa dirinya liar tidak berguna? Sama sekali tidak. Allah
Maha Bijak tidak akan berbuat sesuatu yang sia-sia tanpa arti. Tidak akan
keluar dari-Nya suatu perbuatan tanpa tujuan semenjak sebagai Pencipta.
p:270
Berarti jika Allah berfirman, “Dan tidak aku ciptakan manusia dan jin
melainkan untuk menyembahKu” (Q.S. az-Zariyat: 56). Artinya, tidak ada
tujuan bagi penciptaan manusia melainkan untuk menyembah. Namun,
tidak berarti Aku punya tujuan agar Aku menjadi sesembahan. Pokok
utamanya adalah bahwa perbuatan Allah harus ada tujuan. Sedang pokok
kedua yaitu bahwa Allah tidak akan berbuat demi kepentingan tertentu
(untuk diri-Nya). Allah tidak akan berbuat agar mencapai tujuan tertentu,
karena Dia (Allah) sebagai tempat segala tujuan. Dia adalah Tunggal yang
telah mengarahkan kafilah wujud ini ke arah-Nya, Dia adalah tujuan bagi
semua. Dia-lah yang memenuhi kebutuhan setiap yang membutuhkan,
tidak ada tujuan bagi-Nya selain diri-Nya sendiri dan tidak akan pernah
punya tujuan selain diri-Nya, sehingga harus berbuat untuk meraih tujuan-
Nya.
Oleh karena itu, Allah menukil cerita Musa as, “Dan berkata Musa
jika kamu kafir, kamu dan semua orang yang di bumi maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Kaya lagi terpuji” (Q.S. Ibrahim: 8). Dia berkata: Jika
kamu dan semua orang di bumi ini kafir, maka kekafiran itu tidak akan
meng ganggu sedikitpun karena Allah tidak pernah membutuhkan sama
sekali. Jika sekiranya manusia menjadi kafir dan meninggalkan ibadah,
maka mereka tidak akan mencapai pada tujuan, bukan Allah yang tidak
mencapai tujuan-Nya, karena Allah tidak membutuhkan sama sekali. Dan
yang tidak membutuhkan sama sekali, yang dituju adalah dirinya sendiri
bukan yang lain karena Dia adalah tujuan bagi semua dan tidak ada tujuan
selain Dia. Apabila semua manusia kafir, maka merekalah yang akan
gagal mencapai tujuan, bukan Allah (sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
terpuji), semua nikmat adalah dari-Nya. Dialah yang Mahmud (terpuji).
Setiap pujian untuk-Nya, setiap kesempurnaan perlu pujian, maka itu dari
Allah. Tidak pernah ada gambaran bahwa Allah tidak mencapai tujuan-Nya,
karena tujuan semata-mata tidak untuk diri-Nya. Dalam ayat lain Allah
berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semua Alam” (Q.S. Al-
Ankabut: 6). Allah tidak saja kaya dari pengham baan manusia, tetapi juga
tidak membutuhkan pada semua yang ada di dalam penciptaan ini.
Allah Maha Kaya, maka tidak ada gambaran bahwa Dia membutuhkan.
Berdasarkan pemikiran ini maka burhan hikmah untuk membuk tikan Ma’ad
adalah sebagai berikut: Meksipun Allah tidak membutuhkan dan tidak
memiliki tujuan untuk dirinya–tidak akan keluar dari seorang yang bijak
suatu perbuatan tanpa tujuan, alam ini memiliki tujuan dan akan tenang
ketika sampai pada tujuannya. Tujuan manusia bukan di dunia. Alam yang
p:271
di dalamnya terjadi kematian dan kehidupan, campurnya kebatilan dan
kebenaran, baik dan buruk, sedih dan gembira, sehat dan sakit, tangis dan
tawa itu semua tidak dapat dijadikan sebagai tempat tujuan. Akan tetapi,
ada kehidupan tanpa kematian, kegembiraan tanpa kesedihan, keselamatan
tanpa sakit, kedamaian, kesucian yang tanpa kekeruhan, tanpa permusuhan
dan kedengkian. Di sana terdapat kebaikan dan keindahan semata dan
kejelekan tidak mampu menembusnya yaitu pada Hari kebangkitan dan
surga kebahagiaan. Manusia diciptakan agar mencapai tempat ini, diciptakan
agar melangkah menuju tempat ini.
Burhan hikmah ini, tidak hanya membuktikan kebangkitan alam yang
bersifat materi dan yang bergerak untuk membuktikan kebangkitan wujud
nonmateri, seperti kebangkitan malaikat dan ruh dengan menggunakan
argumentasi tersebut tidak benar, tetapi perlu argumentasi lain dari bentuk
argumen-argumen tersebut di atas. Dari satu pihak, membuktikan adanya
hari kebangkitan sampai pada peringkat pertemuan kepada Allah tidak dapat
dibuktikan dengan burhanal-harakah. Akan tetapi, untuk membuktikan alhasyr
(kebangkitan manusia), dalam arti pertemuannya dengan Allah, hanya
dapat dilakukan dengan mengguna kan burhanal-hakikah juga burhan al-
Hikmah.
Dari burhan hikmah dapat dipahami dua hal berikut: Allah tidak
membutuhkan dan tidak memiliki tujuan pribadi, akan tetapi keberadaan
arah dan tujuan bagi alam adalah sesuatu yang bersifat daruri. Dengan
demikian keberadaan tujuan dan kebangkitan alam adalah sesuatu yang
bersifat pasti juga. Berdasarkan pemikiran ini, karena Allah Maha Kaya,
maka Allah tidak akan berbuat sesuatu upaya meraih kepentingan, baik
kepentingan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.
Allah menciptakan alam tidak untuk kepentingan diri-Nya, begitu juga
tidak ada upaya agar menjadi dermawan. Berarti perbuatan Allah tidak
dapat menerima lam at-ta’lil. Dalam ilmu nahwu, lam sebagai huruf
nasab, ada yang disebut lam at-ta’lil yaitu lam yang memiliki makna
sebab, dalam Al-Qur’an misalnya, “Wama khalqtul jinna wal insa illa liya’budun”,
artinya, ketika Allah menciptakan manusia, ibadah bukan sebagai
penyebabnya. Tidak ada sebab lain yang mendorong Allah untuk berbuat
selain zat-Nya yang (Maha Sempurna—penj.) Tidak dapat dibayangkan
adanya kepentingan bagi Sang pelaku karena zat-Nya Maha Kaya.
Allah tidak menciptakan alam agar Dia dapat memanfatkannya, juga
tidak untuk menjadikan diri-Nya sebagai dermawan terhadap hamba-Nya,
sebab jika terdapat lam at-ta’ili berarti ada tujuan bagi sang pelaku. Artinya,
p:272
Allah melakukan ini agar Dia meraih tujuan fulan, ini artinya, bahwa apabila
Allah tidak berbuat derma terhadap hamba-Nya berarti Dia tidak sempurna,
dengan perbuatan tersebut Allah berharap kedermawanan-Nya sampai
kepada sang hamba sehingga dengan kebaikan itu Allah menjadi sempurna.
Ini seperti orang yang mampu membangun rumah atau rumah sakit, bukan
untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang yang membutuhkan agar
orang lain dapat memanfaatkannya. Orang ini tidak membangun
rumah agar dia mendapat manfaat melainkan agar dapat membantu
orang lain. Apabila orang ini tidak mem bangun rumah dan tidak berbuat
kebaikan kepada orang lain berarti dia tidak sempurna. Untuk menghindari
kekurangannya dia berbuat kebaikan sehingga ia mencapai kesempurnaan
yang disebut dermawan. Dengan per buatan tersebut dia hendak menutup
kekurangan dan mengulurkan tangannya yang pendek sampai pada tujuan.
Sebab apabila tidak menjadi dermawan, maka dia tidak sempurna. Dengan
kebaikan dan keder ma wanan, dia dapat meraih kesempurnaan dan tujuan.
Allah Yang Maha Kaya tidaklah demikian. Artinya, jika kebaikan dan
kedermawanan tidak sampai kepada hamba berarti Allah tidak sempurna,
dan akan sempurna jika mampu menyalurkan kedermawanan dan kebaikan-
Nya itu kepada hamba Allah seakan berkata; Saya tidak menciptakan
makhluk untuk kepentingan saya sendiri dan juga tidak untuk hamba karena
“Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Q.S. Al-Ankabut: 5). Akan tetapi
karena Allah Maha Bijak, maka Allah mencipta kan alam agar makhluk-Nya
mencapai tujuan. Seperti yang sudah dijelaskan pada burhan al-harakah
bahwa alam memiliki tujuan, alam merupakan satu kesatuan hakiki, yang
selalu bergerak dan tidak ada apa pun yang menghalangi gerakannya, maka
dapat dipastikan alam akan sampai pada tujuannya. Oleh karena itu, dapat
dipastikan akan adanya Hari Kiamat, yaitu hari yang “Tidak ada keraguan
di dalamnya”.
Dalam argumentasi filsafat terdapat dua masalah berikut: Alam keluar
dari Allah Yang Maha Bijak dan bukan tanpa tujuan. Baik ketika ia adanya
gerakan zat maupun tidak, karena batasan dalam argumentasi ini adalah
hikmah. Argumentasi ini juga dapat berlalu pada hal-hal yang tidak ada
gerakan. Seperti halnya argumentasi filsuf juga berlaku untuk membuktikan
perlunya kebangkitan hal-hal yang bersifat nonmateri. Alam ini keluar dari
Allah dan pasti punya tujuan dan tidak sia-sia. Tidak ada suatu apa pun
yang dapat menghalangi gerakan alam yang merupakan satu kesatuan, baik
gangguan dari dalam atau dari luar. Tidak ada penghalang dari dalam karena
dia adalah satu kesatuan hakiki yang bertujuan. Tidak ada penghalang dari
p:273
dalam karena tidak ada suatu apa pun di luar alam selain Allah pencipta
alam. Dan di balik tujuan itu ada tujuan lain, dan seterusnya, hingga
berakhir pada tujuan yang terakhir. Satu tujuan seperti ini adalah dari Allah
Yang Maha Bijak, dan tidak ada wujud selain alam ini kecuali Allah. Artinya,
tidak pernah terbayangkan adanya penghalang.
Berdasarkan pemikiran ini maka tidak akan ada penghalang apa pun
yang dapat menghalangi lajunya gerakan alam ini—yang keluar dari Sang
Maha Bijak dan Maha Pengatur berdasarkankan hikmah—menuju tujuan.
Melihat dua masalah ini, maka ungkapan Al-Qur’an bahwa Hari Kiamat
adalah “tidak ada keraguan di dalamnya” artinya, tidak sekadar mungkin Allah
menghidupkan yang sudah mati, tidak sekadar ada ma’ad bagi alam, tidak
sekadar mungkin akan, tetapi semua pasti. Hal itu disebabkan Allah telah
berjanji dan pasti menepati janji-Nya. Oleh karena itu, ma’ad adalah sesuatu
yang pasti; tidak ada keraguan di dalamnya; tidak ragu bahwa ma’ad adalah
hak dan kiamat adalah pasti, dan tidak alasan untuk meragukan kiamat.
Masalah penting ini juga sudah kita isyaratkan dalam burhan hakiqah
bahwa kiamat adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan kepastiannya.
Begitu juga hari itu bukan tempat ragu karena kebenaran nampak nyata,
karena keraguan tidak mungkin terjadi kecuali karena adanya dua maujud
yang satu benar dan yang lain batil, lalu meragukan adanya; apakah termasuk
yang benar atau yang salah. Apabila kebenaran itu tidak berada di tempat yang
batil maka tidak ada kata ragu, karena ragu terjadi ketika kita menganggap
penyerupa kebenaran sebagai kebenaran. Ketika kebenaran itu nampak
dan tidak ada tempat untuk kebatilan, maka tidak akan muncul ragu-ragu.
Oleh karena itu, Hari Kiamat tidak dapat diragukan. Cara penting upaya
mendidik jiwa adalah dengan mengingat Hari Kiamat. Pemimpin para ahli
tauhid, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib(aku korbankan ruhku dan ruh
seluruh alam untuknya) berkata: Telah pergi orang-orang yang ingat dan
tinggalah orang-orang yang lupa atau melupakan. (1)
Beliau berkata: Mereka orang-orang yang ingat kepada Allah dan Hari
Kiamat telah pergi—mereka yang ingatan ruhnya terhadap kiamat menyatu
dengan ma’ad—tinggalah mereka yang lupa zikir kepada Allah dan Hari
Kiamat, atau sengaja melupakan zikir kepada Allah dan Hari Kiamat. Di
antara sahabat Rasulullah Saw. terdapat orang-orang yang selalu mengingat
Hari Kiamat. Mereka telah pergi meninggalkan kita, tinggal kita sekarang ini
yang hidup bersama orang-orang yang lupa terhadap Hari Kiamat. Ketika
memuji Ibrahim al-Khalil dan seluruh nabi, Allah berfirman, “Sesungguhnya
p:274
Kami telah membebaskan mereka dengan keikhlasan meingingat kematian”(Q.S.
Shad: 46). Oleh karena mereka selalu mengingat Hari Kiamat, maka kami
jadikan mereka hamba-hamba yang mukhlis.
p:275
p:276
p:277
p:278
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Sebelumnya, pembahasan kita adalah tentang keharusan adanya Hari
Kiamat. Dalam mukadimah telah dijelaskan pengaruh keyakinan Hari
Kiamat dalam pembinaan jiwa dan peranannya dalam pendidikan ruh
serta dampak negatif melupakan Hari Kiamat terhadap kerusakan ruh.
Oleh karena itu, Al-Qur’an menjelaskan bahwa bahaya yang mengancam
kehancuran moral manusia adalah akibat dari melupakan Hari Kiamat. Al-
Qur’an mengatakan, “Karena mereka melupakan hari perhitungan” (Q.S.
Shad: 26). Oleh karena mereka telah meyakini kiamat dengan kriteria
khusus, maka kami jadikan mereka sebagai hamba-hamba yang ikhlas.
Beberapa bab telah memaparkan pembahasan ma’ad ini. Dalam
pertemuan sebelumnya, setelah memaparkan mukadimah secara rinci, yaitu
dalam bab “Peran aktif mengingat ma’ad dalam pendidikan jiwa”, akan
disusul bab khusus tentang dalil-dalil yang menunjukkan perlu adanya
ma’ad, kemudian disusul pasal lain tentang kekeliruan dan persoalan
tentang ma’ad serta jawaban-jawaban pastinya. Pembicaraan berkaitan
dengan sebagian masalah yang ada pada bab pertama, khsusnya tentang
dalil ma’ad, telah terulang kembali. Dalam hal ini dijelaskan beberapa dalil
tentang perlu adanya ma’ad; burhanal-harakah, burhanal-hakikah, burhan
al-hikmah dan burhan ar-rahmah. Empat burhan ini telah dijelaskan pada
pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kesimpulan dari setiap burhan adalah
sesuai dengan had al-ausath-nya (batas tengahnya). Dalam argumentasi
logis (burhan) ada istilah “Haddul Austh” batasan tengah. Misalnya, setiap
gerakan punya tumpuan, alam semesta selalu “bergerak”, dan setiap yang
”bergerak” pasti punya tujuan, (karena alam selalu bergerak maka alam pasti
punya tujuan—Penj.).
Dalam burhan haddul ausath-nya (batas tengahnya) disebutkan bahwa
setiap gerakan punya tujuan. Oleh karena alam semesta ini bergerak dan setiap
yang bergerak punya tujuan sebagai tempat peristirahatan ketika sampai,
berarti alam semesta yang selalu bergerak ini punya tempat perhentian. Burhan
harkah ini tidak dapat digunakan untuk membuktikan ma’ad berkaitan
dengan wujud yang keberadaannya lebih tinggi dari alam yang bergerak.
Untuk membuktikan kebangkitan wujud yang lebih tinggi diperlukan burhan
lain. Dalam pertemuan sebelumnya dalil tersebut sudah dijelaskan. Bentuk
p:279
argumentasi (burhan) al-haqiqah Allah adalah Haq. Dia harus menampakkan
kebenaran, kemunafikan, dan keterbe lakangan sebagai tempat berakhir.
Dalam burhan ini, had al-ausathnya (term tengahnya) adalah munculnya
kebenaran. Argumentasi ini meliputi alam fisik juga alam metafisik. Sesuai
istilah filsafat isyraq, argumen tersebut meliputi alam dunia dan alam akhirat,
alam materi maupun nonmateri semuanya berada dalam naungan-Nya.
Artinya, semua akan dibangkitkan menuju Allah dan kembali kepada-Nya.
Burhan yang ketiga adalah burhan al-hikmah yaitu, bahwa Allah tidak
melakukan perbuatan tanpa tujuan, karena Dia adalah kesempurnaan mutlak
dan tidak membutuhkan. Oleh karena Allah Maha Bijak, maka tidak akan
keluar dari Yang Maha Bijak perbuatan tanpa tujuan (perbedaan antara tujuan
pelaku dan tujuan perbuatan adalah bahwa karena sang pelaku Maha Kaya
maka tidak memiliki tujuan yang harus diraih, akan tetapi perbuatan, karena
keluar dari Yang Maha Bijak dan sangat bijak, pasti punya tujuan). Artinya,
terjadinya ma’ad dan adanya tujuan bagi alam penciptaan adalah daruri
(keharusan). Hal ini telah dijelaskan secara rinci pada pembahasan terdahulu.
Adapun burhan ar-rahmah yang batas tengah (had al-ausath)nya
adalah kasih sayang Allah. Artinya, rahmat Allah bukan bersifat perasaan,
“Tuhan kami, rahmat, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu” (Q.S. Ghafir:
7). Rahmat Allah(kasih sayang-Nya) tidak bersifat perasaan. Akan tetapi,
rahmat Allah adalah ibarat pemberian kesempurnaan pada setiap yang
berpotensi untuk sempurna. Setiap yang berpotensi untuk sempurna, Allah
akan memberi rahmat kepadanya, karena yang dimaksud rahmat Allah
adalah pelimpahan kesempurnaan-Nya. Oleh karena itu, dalam surah Al-
An’am ketika menjelaskan ma’ad, Allah berfirman, “Dia telah menetapkan
atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu
pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan terhadap nya” (Q.S. Al-An’am:
12).
Oleh karena Allah telah menetapakan atas diri-Nya kasih sayang,
maka pasti Allah akan meladeni manusia dengan kasih sayang-Nya. Artinya,
Allah akan memberi kesempurnaan kepada setiap yang memiliki potensi
dan siap menerimanya. Ruh manusia memiliki potensi untuk menerima
kesempurnaan yang abadi. Oleh karena itu, Allah akan memberi kesempurnaan
tersebut kepada manusia. Pembahasan ini telah dijelaskan
sebelumnya. Batas tengah argumentasi ini adalah rahmat Allah. Adapun
batasan tertentu yang harus dijelaskan dalam berbagai sisi pada pertemuan
kali ini adalah burhanul’adalah (argumentasi keadilan).
Allah Mahaadil. Oleh karena Allah adil, maka Ia tidak akan melakukan
p:280
kelaliman terhadap makhluk-Nya. Jika seseorang melakukan kelaliman
tertentu dan di dunia tidak mendapat ganjarannya, maka sikap demikian ini
adalah lalim. Adapun batasan tertentu yang harus dijelaskan dalam berbagai
sisi pada pertemuan kali ini adalah burhanul ‘adalah (argumentasi keadilan).
Jika antara keindahan dan kehinaan memiliki nilai sama, maka itu
berarti kelaliman. Jika antara jelek dan baik tidak ada beda, maka itu berarti
kelaliman. Ini semua tidak sesuai dengan keadilan Allah. Oleh karena
Allah adil, maka Allah memiliki tempat perhitungan yang berbeda dengan
perhitungan-perhitungan. Allah akan memberi pahala bagi yang berbuat
baik dan menghukum bagi yang melakukan perbuatan jelek dan hal ini perlu
dijelaskan. Al-Qur’an telah mengenalkan bahwa Allah adalah Mahaadil dan
menafikan kelaliman dari-Nya, “Dan Tuhanmu tidak melalimi seseorang”
(Q.S. Al-Kahfi: 49). “Dan Tuhanmu tidak pernah berbuat aniaya terhadap
hamba-hamba-Nya” (Q.S. Fushshilat: 46). Allah tidak melalimi seseorang
sama sekali, sebab sekiranya Allah hendak berbuat lalim sebesar atom saja,
maka ukuran yang kecil itu akan menjadi banyak karena atom yang tidak
teratur mampu memutus sendi keteraturan alam dan mencabik-cabik
semua batasan-batasannya. Oleh karena itu, sekiranya Allah melakukan
kelaliman—Nauzubillah—dalam sekejap saja atau sebesar atom berarti
Allah pelalim (tukang aniaya).
Allamah Thaba-thabai ra dalam tafsir Mizan mengatakan: Ketika Al-
Qur’an mengatakan Allah sekali-kali tidak berbuat aniaya, pengertiannya
bukan berarti Allah tidak banyak melakukan lalim, tetapi memang sama
sekali tidak berbuat lalim, baik sedikit ataupun banyak. Sekiranya Allah
berbuat aniaya sebesar atom saja, Dia disebut sebagai tukang aniaya.
Aniaya artinya berbuat melebihi batas. Apabila batasan sebagian yang ada
terganggu sekejap saja, maka gangguan itu akan mengalir ke seluruhnya.
Apabila salah satu sisi aturan alam ini terganggu, maka semuanya akan
terganggu. Allah sama sekali tidak berbuat aniaya. Oleh karenannya Allah
Mahaadil. Dialah yang menyeru manusia berbuat adil, “Katakan, Tuhanku
menyuruh berbuat adil’” (Q.S. Al-A’raf: 29). Allah berkata kepada Nabi-
Nya: Katakan sesungguhnya Tuhanku menyeru untuk berbuat adil. Dialah
Allah yang mengenalkan ajaran nabi untuk menegakkan keadilan di antara
manusia—“Agar manusia mendirikan keadilan” (Q.S. Al-Hadid: 25) dan Dia
tidak berbuat aniaya sama sekali. Jika kita memperhatikan alam semesta,
kita akan menyaksikan adanya dua macam manusia. Manusia yang adil dan
manu sia yang lalim. Padahal, para nabi telah berkorban dan mengutamakan
orang lain. Mereka adalah orang-orang yang jujur dan jeli, sehingga sebagian
p:281
mencapai kemuliaan akhlak yang sangat tinggi; hidup mereka senantiasa
dibarengi dengan ilmu dan keadilan.
Sayangnya, terdapat sekelompok manusia yang memusuhi para
nabi, membabi buta dan tidak peduli terhadap ucapan para nabi. Mereka
bangkit memerangi para nabi hingga sampai pada peringkat, “Dan mereka
membunuh para nabi tanpa alasan yang benar” (Q.S. Al-Baqarah: 61). Mereka
mengayunkan tangan membunuh para nabi dengan penuh kekejian. Berarti,
manusia dalam menanggapi ajaran para nabi terbagi dalam dua kelompok
seperti Al-Qur’an membaginya. Apabila tidak ada hari perhitungan, pahala,
dan siksaan, apabila tidak ada hari perhitungan dan penelitian, apabila orang-orang
yang saleh binasa karena kematian dan orang-orang yang fasik juga
binasa karena kematian tanpa hari perhitungan, apabila tidak ada catatan
pahala dan siksaan, tidak ragu bahwa yang demikian itu adalah kelaliman.
Sebab, tidak rasional jika orang yang terbunuh di jalan keadilan dan orang
yang melumuri tangannya dengan darah para nabi dan pengikutnya,
memiliki nasib sama. Berarti, harus ada pemisah di antara mereka. Hal
ini adalah prinsip pertama. Prinsip kedua, di manakah perbedaan dan
kelebihan antara orang yang bertakwa dengan orang yang ahli maksiat? Di
mana letak perbedaan orang alim yang baik dengan orang alim yang jahat
jika ternyata dihisab sama? Tidakkah di dunia ini ditemukan kebenaran
melawan kebatilan, kejahatan dan kebaikan, takwa dan kemunafikan?
Tidakkah dunia adalah tempat ber amal dan bukan tempat pembalasan. Di
sini adalah tempat ujian dan bukan tempat keputusan. Di sini adalah tempat
ujian bukan tempat pembalasan? Kadang-kadang kita menyaksikan di
dunia ini bentuk pe mbalasan, pahala, dan siksaan, akan tetapi dunia bukan
tempat pem balasan. Sebab dapat saja di dunia ini ditemukan kecurangan,
penye lewengan, dan berbagai bentuk kebohongan lain, karena alam ini
adalah alam imkan(serba mungkin), alam gerak, dan alam taklif(tugas).
Dunia tidak akan pernah menjadi tempat pembalasan. Tempat pembalasan
bukanlah dunia ini. Berdasarkan prinsip ini, maka tempat pembalasan tidak
akan dapat diketahui sebelum kematian. Kedudukan pembalasan setelah
kematian tidak dapat diketahui di dunia ini dengan bentuk reinkarnasi.
Dunia tidak dapat dijadikan sebagai tempat pembalasan karena dunia adalah
tempat ujian; semua manusia menghadapi setiap gangguan dengan reaksi
yang sama. Dunia bukan tempat pembalasan.
Sesuai prinsip-prinsip ini, maka harus ada perbedaan antara orang-orang
saleh dan orang-orang fasik. Keharusan diterimanya pahala bagi
orang-orang yang baik dan siksaan bagi orang-orang yang jahat, dari sisi
p:282
lain, dunia tidak dapat dijadikan sebagai tempat pembalasan, sementara itu
reinkarenasi mustahil adanya. Berarti harus ada alam di mana hisab amal
setiap manusia dapat diterima masing-masing. Tidak ada sesuatu pun yang
tertutup pada hari itu. Hari itu bukan tempat lupa, tetapi hari itu adalah hari
munculnya kebenaran dan keadilan. Setiap amal ditimbang dengan benar
sehingga orang-orang yang baik menerima pahala kebaikannya dan orang-orang
jahat merasakan siksaannya. Allah menyebut hakikat ini sebagai suatu
keharusan. Oleh karena keadilan AIlah, maka Ma’ad harus ada. Oleh karena
Allah Mahaadil, maka kiamat pasti ada.
Prinsip kiamat sesuai aturan alam yang universal ini adalah suatu
keharusan. Hari perhitungan, pahala, dan siksaan harus terjadi, sebab tidak
ada yang menghalanginya, baik dari luar alam maupun dari dalamnya. Tidak
ada yang dapat menghalangi keadilan Ilahi di dunia ini. Masyarakat yang
harus hadir dalam pengadiilan-Nya tidak dapat menghalangi keadilan Ilahi.
Tidak ada kesempatan bagi wujud lain selain manusia mampu menghalangi
munculnya keadilan Ilahi. Oleh karena Allah Maha Kaya dan tidak
membutuhkan seluruh alam, maka Dia juga tidak membutuhkan orang lain
untuk melaksanakan keadilan-Nya. Oleh karena Allah Maha Satu dan Maha
Kuat, maka tidak satu pun yang mampu menolak kehendak Ilahi. Allah
tidak membutuhkan seseorang dalam melaksanakan keadilan, dan orang lain
tidak akan mampu menghalangi tindakan-Nya. Tidak ada sesuatu di dalam
semesta ini selain Allah dan nama-nama agung-Nya serta perbuatan-Nya.
Tanda-tanda keagungan-Nya tunduk di hadapan-Nya. “Dan semua mereka
datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri” (Q.S. An-Naml: 87).
Berdasarkan dua makna dan dua hal ini, maka Al-Qur’an mengungkapkan
tentang kiamat ini dengan indah, “Dan sesungguhnya Hari Kiamat itu
pastilah datang, tidak ada keraguan padanya” (Q.S. Al-Hajj: 7). Sebagaimana
tidak ada keraguan akan keberadaan Allah dan wahyu-Nya—“Kitab ini tidak
ada keraguan padanya” (Q.S. Al-Baqarah: 2). Maka, tidak ada keraguan lupa
pada kiamat. Kiamat adalah haq dan hari kebangkitan adalah pasti.
Dalam burhanul ‘adalah ini, batas tengahnya adalah keadilan Ilahi. Surah
Az-Zumar dan Shad telah mengisyaratkan hal itu, “Apakah Kami menjadikan
orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh seperti orang-orang yang
berbuat kerusakan di bumi ini ataukah menjadikan kedudukan orang-orang
yang bertakwa sama seperti keduduan orang-orang yang lalim” (Q.S. Shad:
28). Apakah mungkin orang-orang yang meyakini keyakinan yang benar
dan melakukan amal saleh kita samakan kedudukannya dengan orang-orang
yang berbuat kerusakan di bumi? Artinya, apakah orang-orang yang berbuat
p:283
kerusakan di bumi ini akan mati dan binasa, begitu juga orang-orang saleh
dan Mukmin tanpa hisab dan pengadilan setelah kematian mereka? Apakah
Allah yang Mahaadil mengatur alam semesta begitu saja, orang-orang saleh
dan orang-orang jahat mati dan binasa tanpa hisab dan tanpa balasan atas
kebaikan dan kerusakan, “Apakah Kami akan menjadikan kedudukan orang-orang
yang bertakwa sama seperti kedudukan orang-orang yang lalim”.
Apakah Allah akan menyamakan kedudukan antara orang-orang bertakwa
dan orang-orang alim dalam kematiannya tanpa memperhitungkan kebaikan
atau kela liman yang mereka lakukan? Apakah Allah yang mengilhami
jiwa manu sia dengan ketakwaan dan kefasikannya dengan bersamaan,
“Dan(demi) jiwa setiap penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya”(Q.S. asy-Syams: 7—8).
Allah menjelaskan jalan keadilan dan kelaliman, mengilhami manusia
jalan kebaikan dan kejelekan. Di antara mereka ada yang mengindahkan
ilham ini dan menuju jalan kebenaran, sebagian lain menutup mata. Mereka
justru menjawab seruan para nabi dengan olokan dan ejekan, “Alangkah
besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tidak ada datang seorang
rasul pun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokannya”
(Q.S.Yasin: 30). Kemudian apakah Allah akan meladeni mereka dengan
cara sama? Apakah posisi orang yang mengikuti seruan para nabi sama
dengan posisi orang yang mengejek dan mengolok-olokan? ”Apakah Kami
menjadikan kedudukan orang-orang yang bertakwa sama seperti kedudukan
orang-orang yang fasik”. Apakah kita menyetarakan kedudukan orang-orang
yang bertakwa dengan orang-orang yang fasik? Sungguh keadilan AIlah tidak
akan memberikan kesempatan untuk mendudukan orang-orang yang takwa
sama dengan kedudukan orang-orang fasik sama sekali. Surah Al-Jatsiyah
juga telah menjelaskan perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, antara
orang-orang bertakwa dan orang-orang yang fasik.
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa
Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian
mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan
langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri
terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan (Q.S.
Al-Jatsiyah: 21—22).
Apakah para pendosa yang melakukan kejahatan mengira bahwa
Kami akan menjadikan kedudukan mereka sama dengan orang-orang yang
beriman? Apakah orang yang menghabiskan usianya dengan tenggelam
p:284
dalam satu dosa ke dosa yang lain, sama kedudukannya dengan orang-orang
yang hidup dengan penuh iman dan amal saleh? Tidakkah kelak ada
sebuah pengadilan yang akan menghisab mereka? Tidak adakah kelak hari
pengadilan sehingga pahala dan siksaan masing-masing diteirma pelakunya?
Apakah kematian dan kehidupan mereka sama?
Dapat jadi kehidupan mereka di dunia sama, tetapi apakah setelah
kematian, mereka memiliki kedudukan sama tanpa ada ada hari perhitungan
(hisab)? “Sungguh jelek keputusan mereka”. Jika memang demikian perkiraan
mereka, maka itu perkiraan yang salah. Keputusan seperti ini adalah
keputusan yang salah. Lalu bagaimana hukum(keputusan) yang benar?
Hukum dan keputusan yang benar adalah “Allah ciptakan langit dan
bumi karena benar”. Allah menciptakan aturan alam ini dibarengi dengan
kebenaran. Kebenaran adalah ukuran dan tulang punggung terciptanya
alam semesta, ibarat bangunan atas dan bangunan bawah, semua yang ada di
alam semesta ini adalah benar. Ada potensi untuk sia-sia dalam penciptaan
alam ini. Kebatilan pada dasarnya adalah karena penilaian manusia dan
sosial. Sekiranya bukan karena itu maka dalam aturan penciptaan ini tidak
ada kesia-siaan—“Ya Tuhan kami sungguh tidak Engkau ciptakan ini sia-sia”
(Q.S. Ali ‘Imran: 191). Alam ini tidak lain kecuali satu kesatuan.
Oleh karena itu, Al-Qur’an menggunakan kalimat tunggal dan satu
kesatuan, ini pun juga benar (Haq). Ketika memuji para intelektual, Allah
mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang berpikir tentang langit dan
bumi. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami sungguh tidak Engkau ciptakan ini
sia-sia”. Ya Tuhan kami, ini bukan sia-sia. Al-Qur’an tidak menggunakan kata
jamak untuk menggantikan kata “hadza” (ini), hal itu karena dalam ciptaan
bukan satu. Tanda kesatuan alam ini adalah adanya kebenaran (pantulan
cahaya pipi pemberi minum jatuh ke dalam gelas) tidak bilangan di antara
keduanya. Sebenarnnya hanya manusia biasalah yang melihat bahwa alam
ini banyak. Padahal, semuanya terbentuk satu kesatuan dan keluar dari Allah
Yang Maha Satu dan Tunggal; semuanya menuju dan bertasbih kepada-Nya.
Dengan demikian, apa yang pada alam semesta ini tidak ada kesia-siaan.
Sekiranya dipandang ada kesia-siaan dalam penciptaan, itu sematamata
karena pandangan sosial. Terdapat tangan-tangan kotor yang
mempengaruhi khayalan dan angan-angan. Di sanalah kadang-kadang dia
menemukan kesia-siaan. Artinya, ada orang-orang yang tidak dapat melihat
kebenaran. Dengan ketidakmampuan melihat kebenaran, maka sesuatu
tersebut menjadi sia-sia. Aturan penciptaan ini menyertai dan disertai,
serta bersama-sama dengan kebenaran—“Dan Allah ciptakan langit dan
p:285
bumi dengan kesungguh-sungguhan”. Penciptaan ini benar dan serius karena
beberapa pokok; pertama, “Agar setiap jiwa mendapat balasan apa yang
dilakukan” (Q.S. Al-Jatisiyah: 22). Setiap manusia akan melihat balasan
amalnya, mereka akan menerima balasan setiap sikapnya. Manusia tidak
akan berbuat kebaikan kecuali akan menemukan balasannya. Amal baik
seseorang tidak akan tercatat dalam hisab orang lain, pada Hari keadilan
tidak ada ada lagi kelaliman—“Mereka tidak akan dilalimi”. Manusia tidak
akan lagi dilalimi.
Berarti, hari keadilan pasti ada, dan kiamat adalah hari munculnya
keadilan seutuhnya. Artinya, di hari itu semua adalah keadilan. Masalah ini
telah dijelaskan secara rinci dalam burhanal-hakikah yang batasan tengahnya
adalah munculnya kebenaran dan hakikat. Allah telah mengenalkan
bahwa Hari Kiamat adalah hari yang pasti adanya—“Itulah hari yang pasti
terjadi, maka barang siapa menghendaki, ia akan menempuh jalan kembali
kepada Tuhannya” (Q.S. an-Naba’: 39). Dengan pengertian ini, maka halhal
kecil yang berkaitan dengan Hari Kiamat pun juga benar, artinya,
neraca (timbangan) adalah benar dan semua amal akan ditimbang dengan
benar. Amal yang benar timbangannya sangat berat, dan amal yang sia-sia
timbangannya akan sangat ringan. Orang yang melakukan kebenaran,
timbangnnya sangat berat: dan orang yang melakukan kebatilan, timbanganya
sangat ringan, “Dan hati mereka kosong” (Q.S. Ibrahim: 43). Hati mereka
kosong karena dipenuhi dengan pemikiran yang sia-sia, sementara di akhirat
tidak ada tempat kosong. Semua kebatilan kelak akan disimpan pada
tempatnya. Orang-orang yang benar sangat ingin menyaksikannya, namun
mereka tidak mampu melihat. Dalam burhan hakikat, masalah ini sangat
jelas dan argumentasinya akan dibahas secara rinci.
Jika kiamat merupakan hari munculnya keadilan secara sempurna,
maka bagian dari hari itu adalah keadilan. Melakukan keadilan adalah
masalah yang sulit dan menerapkannya dalam kehidupan sungguh sangat
sulit. Seperti halnya berjalan di atas jembatan setebal rambut dan setajam
pedang adalah sesuatu yang sulit. Maka, untuk menjadi manusia yang adil
adalah sulit juga. Bahkan, untuk bersikap adil, harus menghendaki apa yang
dikehendaki orang lain, membenci apa yang mereka benci, mencintai untuk
merasa seperti mencintai yang dia cintai sendiri. Harus mampu memandang
orang lain dan dirinya sendiri dengan kaca mata yang sama. Jangan sampai
bersikap egois karena sikap tersebut memberi pengaruh negatif dalam
keputusan. Sungguh menyeberangi jalan ini tidaklah mudah.
p:286
Timbangan pada Hari Kiamat adalah benar; di sana tidak akan ada
yang disebut batil (sia-sia). Di sana tidak ada kelaliman; tidak seorang pun di
tempat itu dapat melalimi orang lain karena hari itu adalah hari munculnya
keadilan AIlah. Pada Hari itu Allah akan menampakkan keadilan-Nya
sepenuhnya. Hari Kiamat adalah hari terjelmanya keadilan Allah. Pada
Hari itu tidak ada jalan untuk kelaliman. Api kiamat tidak akan membakar
seseorang melebihi apa yang diperintahkan. Tekanan Hari Kiamat tidak
akan melebihi batas maksimalnya. Hari kiamat adalah hari kebangkitan dan
kesadaran kembali—“Maka dengan serta merta mereka hidup kembali” (Q.S.
an-Naziat: 14). Alam akhirat adalah alam kehidupan—“Dan sesungguhnya
akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan” (Q.S. Al-Ankabut: 64). Alam
akhirat adalah alam kehidupan—“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan”(Q.S. Al-Ankabut: 64), sedangkan dunia tidak lebih
dari kelezatan sementara. Maka, kehidupan yang nyata adalah alam akhirat.
Kehidupan hari itu adalah kehidupan yang benar dan adil, tidak ada kesia-siaan,
dan tidak mengandung nilai kelaliman—“Dan agar setiap jiwa mendapat
balasan apa yang dia perbuat dan mereka tidak dilalimi” (Q.S. Al-Jatsiyah: 22).
Pada Hari Kiamat tidak pernah terbayangkan terjadi kelaliman terhadap
siapa pun sama sekali. Dengan argumentasi keadilan ma’ad dapat dibuktikan
atas dasar keharusan adanya Hari Kiamat. Akan tetapi, orientasi pelaksanaan
argumentasi keadilan ini sangat tebatas. Untuk membuktikan kebangkitan
malaikat dan semua wujud nonmaterial tidak dapat menggunakan argumentasi
ini karena batasan tengahnya adalah berbentuk perintah, larangan, taklif,
dan ketentuan amal atas nama agama. Sebagian orang taat dan sebagian yang
lain ahli maksiat. Oleh karena itu, perlu penyaringan dalam hisab mereka.
Artinya, tempat yang di dalamnya tidak terdapat taklif, tidak terdapat
perintah dan larangan syariat, tidak ada ketaatan dan tidak ada kemaksiatan,
yang ada hanya ketundukan secara penciptaan (takwini), maka tidak ada
hukum penolakan atas maksiat. Begitu juga halnya tempat yang di dalamnya
nampak jelas tanpa kegaiban, kesadaran tanpa kelalaian. Kesimpulannya, di
tempat yang di dalamnya terdapat keadilan tidak akan ada kelaliman sama
sekali. Tempat itu adalah tempat hisab, tempat dipisahkannya antara kebenaran
dan kebatilan, kejelekan dan keindahan, yang memiliki taklif sama seperti
manusia. Ketentuan, perintah dan larangan, pahala dan hukuman, berita
gembira dan ancaman pujian dan cacian, yang kemudian melakukan keadilan
dan kelaliman, harus ada hari bagi mereka untuk memisahkan satu dari yang
lain. Oleh karena itu, Allah mengenalkan Hari Kiamat sebagai hari kepastian.
p:287
Ada bentuk argumentasi lain untuk membuktikan kebangkitan setiap
wujud nonmateri. Akan tetapi, Allah telah menentukan apa yang akan membedakan
antara orang-orang baik dan orang-orang jahat. Al-Qur’an me namakan
hari itu sebagai hari kepastian. Artinya, hari terpisahnya orang-orang
baik dari orang-orang jahat. Terpisah dari keluarga, kerabat, dan orang-orang
yang digaulinya serta yang dicintainya. Mereka ini pada Hari Kiamat akan
terpisah, “Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia)”(Q.S. Al-
Ma’arij: 13). Hal itu karena kehidupan akhirat adalah kehidupan individual
bukan kehidupan sosial. Semua orang akan terpisah dari keluarganya dan ini
memerlukan kalian tersendiri.
Setelah membuktikan perlunya Hari Kiamat dan kepastian hari
kebangkitan serta cara hidup manusia pada Hari Kiamat, maka apakah
kehidupan di sana sama seperti kehidupan dunia, yang menganggap
kerjasama dan hidup bersosial sesuatu yang penting? Ataukah kehidupan di
sana bersifat individual dan setiap orang adalah tamu pemikiran, akhlak, dan
amalnya di dunia? Di dunia, setiap yang diinginkan dapat dicapai dan dapat
dilakukan. Apakah seperti itu juga yang dikehendaki di sana? Berdasarkan
ini, maka di sana tidak ada kerjasama. Dan ini pun juga perlu kajian tersendiri
”Dan kamu semua mendatangi kami dengan seorang diri” (Q.S. Al-An’am: 94).
Pada Hari Kiamat setiap manusia akan hidup sendiri-sendiri dan
tidak ada kehidupan sosial. Pada Hari itu semua keluarga terpisah. Artinya,
hubungan di sana akan berubah, kecuali penduduk surga, mereka hidup
penuh kedamaian, “Mereka bersenang-senang dalam kesibukan” (Q.S.Yasin:
55). Yang demikian itu pun bukan hidup bersama-sama dan bersosial,
tidak ada kerjasama dan saling membantu, sehingga orang yang melakukan
pekerjaan tertentu dapat digantikan oleh orang lain untuk melanjutkannya.
Oleh karena kiamat adalah hari pemisah antara kejelekan dan kebaikan,
hari binasanya setiap kejahatanan dan terjaganya kebaikan, maka Al-Qur’an
berkata kepada para pendosa, “Dan berpisahlah kamu (dari orang-orang
mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat” (Q.S. Yasin: 59).
Kalian di dunia dapat hidup bersama dengan orang-orang Mukmin dalam
satu tempat, hati kalian tidak pernah diketahui, kejahatan kalian tidak
terpisahkan dengan kebaikan orang lain, tetapi hari ini adalah hari pemisah,
hari keadilan, hari terpisahnya barisan. (Dan berpisahlah kamu hari ini hai
orang-orang yang berbuat jahat).
Seruan ini akan sangat berpengaruh, sehingga barisan mereka berpisah
dari barisan orang-orang yang beriman. Ini adalah prinsip utama argumentasi
keadilan, yaitu membuktikan keharusan adanya kiamat. Tidak seorang pun
p:288
dapat menghalangi munculnya keadilan Allah yang sempurna ini. Hasilnya,
kelak pasti seperti yang dijelaskan pada argumentasi keadilan tersebut.
Keadilan adalah termasuk bagian sifat Ilahiyah, seperti halnya rahmat,
hikmah, dan sifat-sifat serupa lainnya, yang dengannya ma’ad menjadi jelas.
Pada dasarnya kita telah membuktikan adanya Hari Kiamat dengan
menggunakan sifat-sifat Allah. Artinya, asmaulhusna dan sifat Allah lainnya
telah kita jelmakan dan kita jadikan sebagai batas tengah untuk membuktikan
ma’ad. Berarti kita telah menjelaskan ma’ad ini melalui cara mengenal Allah.
Dan ini juga merupakan cara lain. Artinya, apabila manusia menghela
sifat-sifat Allah, maka dia akan meyakini adanya hari kebangkitan. Orang
yang mengingkari hari kebangkitan terbagi dalam dua bagian: kelompok
yang tidak mengimani keberadaan Allah sama sekali dan kelompok yang
mengimani adanya Allah tetapi tidak mengenali dengan benar.
Kelompok materialis yang tidak mengenal manusia kecuali kelahiran
dan kematian, mereka berpendapat: Manusia adalah mereka yang datang ke
dunia dan pada suatu hari akan meninggalkannya, dan di balik kematian
itu tidak ada apa-apa. Mereka tidak mempercayai adanya pencipta alam
dan yang mengakhirinya. Mereka mengatakan, “Kehidupan ini tidak lain
hanyalah kehidupan dunia, kita mati dan kita hidup” (Q.S. Al-Jatisyah: 24) dan
tidak ada kiamat. Inilah pengingkaran terhadap ma’ad, “Dan tidak ada yang
membinasakan kita selain masa” (Q.S. Al-Jatsiyah: 24). Yang menghancurkan
kita adalah alam dan waktu, secara bertahap kita dibinasakan. Ini adalah
pengingkaran adanya Allah.
Al-Qur’an menukil logika kelompok materialisme ini dengan ungkapan,
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia, kita mati dan
kita hidup”. Sebagian mati dan sebagian yang lain lahir. Di balik itu tidak
ada kiamat, tidak ada pemula dan pencipta. Demikianlah kepercayaan
Marxisme. Dugaan materialisme juga demikian, mereka berkata, “Tidak
ada yang membinasakan kita selain masa”. Waktulah yang mencabik-cabik
keadaan lalu lenyap dari keberadaan. Dengan ini mereka telah mengingkari
keberadaan pencipta sekaligus mengingkari kebangkitan.
Adapun kelompok lain, seperti penyembah berhala yang mengakui
adanya Pencipta, mereka mengakui adanya Allah. Hanya saja mereka
tidak menghela-Nya dan tidak sampai pada sifat-sfiat Allah, sehingga
mereka harus meyakini masalah ma’ad. Akibatnya, mereka mengingkari
adanya ma’ad dan berkata, “Dan kami tidak akan dibangkitkan” (Q.S. Al-
An’am: 29). Al-Qur’an menukil logika orang-orang yang mengingkari hari
kebangkitan dengan ungkapan ini, seperti yang mereka katakan, “Akhir dari
p:289
kehidupan setiap orang adalah kematian dan di balik kematian tidak ada
apa-apa”. Apabila seseorang berpikir tentang Allah dengan benar, beriman,
dan mengenal sifat-sifat-Nya, maka pasti dia akan mempercayai hari ma’ad.
Terjadinya pengingkaran pada ma’ad lebih disebabkan ketidaktahuan
mereka tentang pencipta. Pengingkaran terhadap wahyu dan kenabian itu
juga karena ketidaktahuan mereka tentang prinsip tersebut. Al-Qur’an
memaparkan tiga hal ini dalam tiga bagian: mereka yang megingkari
ma’ad, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang
semestinya” (Q.S. Al-An’am: 91). Mereka yang tidak mengenal Allah
sebagaimana mestinya, mereka itulah orang-orang yang mengingkari wahyu
dan kenabian, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan
semestinya di kala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun
kepada manusia’” (Q.S. Al-An’am: 91). Artinya, apabila mereka mengenal
Allah dengan sebenar pengertian, tentu mereka akan beriman dengan adanya
wahyu dan kenabian. Begitu juga mereka yang mengingkari keesaan Allah.
Mereka sebenarnya telah mengakui adanya sang pencipta, akan tetapi mereka
tidak menerima tauhid dan tidak mempercayainya. Allah menceritakan
perihal mereka ini dengan firman-Nya, “Dan mereka tidak menghormati
Allah dengan sebanar-benar penghormatan”. Perlu dijelaskan kepada tiga
kelompok ini, yaitu apabila seseorang mengenal Allah, bagaimana mungkin
mengenal Tuhan sedemikian rupa sementara keyakinannya tentang keesaan
Allah demikian berbeda. Apabila seseorang mengenal Allah dengan benar,
bagaimana mungkin tidak mempercayai adanya wahyu dan kenabian. Dan
apabila sudah mengenal Allah dengan benar, bagaimana mungkin tidak
mengimani adanya Hari Kiamat dan adanya ma’ad.
p:290
p:291
p:292
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Al-Qur’an menganggap kiamat dan masalah ma’ad merupakan masalah
penting. Hal itu sebagai upaya merealisasikan tujuan risalah ini, yaitu
mendidik jiwa manusia. Al-Qur’an menilai bahwa melupakan keberadaan
Hari Kiamat merupakan faktor utama terjadinya perbuatan dosa. Sebaliknya,
mengingat kiamat merupakan faktor terbaik untuk meraih kesempurnaan
dan kebahagiaan. Mengingat kiamat memiliki peran aktif dalam mendidik
jiwa dan melupakannya dapat merusak ruh. Oleh sebab itu, Al-Qur’an
memaparkan berbagai argumentaasi untuk membuktikan adanya kiamat
dan perlunya hari kebangkitan.
Oleh karena kiamat dan ma’ad memiliki berbagai tingkatan, maka
argumentasi yang dipaparkan Al-Qur’an pun sangat beragam. Setiap
argumentasi akan memberikan kesimpulan sesuai batas tengahnya. Setiap
argumentasi memiliki batas tengah yang sesuai dengan tingkatan ma’ad-nya;
begitu juga setiap argumentasi tersebut akan menyimpulkan sesuai tingkatan
kiamatnya. Oleh karena itu, argumentasi kiamat sangat beragam, seperti
beragamnya tingkatan kiamat. Hal itu lebih disebabkan karena tingkatan
manusia tidak sama. Al-Qur’an berkata bahwa keberadaan manusia memiliki
berbagai peringkat. Derajat-derajat manusia ini tidak saja tambahan atas
jiwa mereka, “Mereka akan memperoleh beberapa derajat di sisi Allah”
(Q.S. Al-Anfal: 4). Bahkan, keberadaan manusia itu sendiri merupakan
derajat yang memperkuat keberadaan jiwa mereka, “Kedudukan mereka
bertingkat-tingkat di sisi Allah” (Q.S. Ali ‘Imran: 163). Artinya, bukan
saja manusia yang akan mendapat derajat pada Hari Kiamat kelak, tetapi
setiap pribadi manusia dengan segala perannya merupakan tingkatan dari
tingkatan-tingkatan eksistensi alam ini.
Ketika manusia menyatu bersama kesempurnaan dan kebahagiaan,
dirinya akan menjadi hakikat derajat itu sendiri. Sebelum kesempurnaan
itu menyatu dengan manusia, maka manusia memiliki satu derajat, “Mereka
akan memperoleh beberapa derajat”, dan ketika kesempurnaan itu menyatu
dengan jiwa manusia, maka manusia itu sendiri menjadi satu derajat,
“Kedudukan mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah”. Oleh karena itu, Al
p:293
Qur’an menggunakan kata lahum darajaat (mereka memperoleh berbagai
derajat) dan juga wahum darajaat (dan mereka itu adalah berbagai derajat).
Sesudah menjelaskan dua masalah (kiamat dan ma’ad) dan pengaruhnya
pada pendidikan jiwa serta penyempurnaan ruhnya, setelah menjelaskan
berbagai argumentasi yang dilakukan Al-Qur’an tentang keharusan ma’ad
yang ternyata tidak sama, dan ketidaksamaan ini lebih disebabkan adanya
berbagai tingkatan nilai kemanusiaan, dan hal itu dalil-dalilnya telah
dijelaskan oleh Al-Qur’an. Sebab, beberapa dalil telah dibahas dalam
pembahasan sebelumnya. Sekarang kita hanya menying gung secara sekilas
atau penyempurna sebagian argumentasi yang belum disebutkan. Pertama,
jika seseorang mengenal Allah dengan benar, maka dia tidak akan meragukan
terjadinya ma’ad, sebab dasar pengetahuan agama adalah makrifat kepada Allah.
Jika seseorang megenal Allah—Tuhan pencipta alam—dengan baik,
maka dia tidak akan meragukan tauhid, tidak bimbang pada kiamat dan
ma’ad, yaitu tempat kembali kepada Allah. Dia tidak akan meragukan adanya
wahyu dan para nabi. Sebab tiga pokok agama; tauhid, ma’ad, dan kenabian
semua hanya dapat diselesaikan dengan mengenal Allah. Jika terdapat
keraguan atau ditemukan ketidakjelasan dalam tiga pokok tersebut, hal itu
lebih disebabkan ketidaktahuannya tentang pencipta alam. Tidak seorang
pun yang mengenal Allah dengan baik, lalu dirinya masih meragukan
tauhid, ma’ad, wahyu, kenabian, atau risalah. Oleh karena itu, Al-Qur’an
menceritakan mereka yang meragukan risalah dan wahyu atau meragukan
keberadaan Hari Kiamat atau ma’ad: “Mereka adalah orang-orang yang
tidak mengenal Allah dengan baik, tidak memahami (Tuhan semesta Alam)
dengan benar. Sekiranya mengenal (pencipta semesta Alam) dengan benar,
dia tidak akan meragukan tiga pokok ini sedikit pun.
Sebelum mengkaji argumentasi Al-Qur’an tentang ma’ad secara rinci,
kita harus mengenal tiga pokok ini secara menyeluruh. Dan mengenal Allah
(ma’rifatullah) adalah pangkal semua masalah tersebut. Jika ditemukan
keraguan pada salah satu dari tiga pokok tersebut, hal itu disebabkan tidak
mengenal Allah secara sempurna dan benar. Dalam surah Al-Haj, Al-Qur’an
menilai kemusyrikan dari kaca mata ini, dan dikatakan bahwa kemusyrikan
tidak sesuai dengan ma’rifatullah. Mereka yang tercemar dengan noda
kemusyrikan disebabkan mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya
pengenalan. Sekiranya mereka mengenal Allah dengan sebenarnya,
mereka tidak akan ternoda dengan kemusyrikan sama sekali. Mereka pasti
dapat menikmati keagungan bertauhid. Pada akhir surah Al-Haj, untuk
p:294
mematahkan kemusyrikan ini, Al-Qur’an mengatakan: “Mereka tidak
menghormati Allah dengan sebenar-benar penghormatan” (Q.S. Al-Hajj: 74).
Mereka yang menyekutukan Allah dan menisbatkan sebagian kejadian
alam selain kepada Allah, mereka yang tunduk kepada selain Allah, mereka
yang merendahkan diri dan mengagungkan berhala serta menyembah selain
Allah, menganggap selain Allah berpengaruh dalam kehidupan, maka
mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan benar.
Sekiranya mereka mengenal Allah sebagai hakikat semata, sebagai eksistensi
murni, sumber segala kesempurnaan dan kebaikan, dan apabila meyakini
bahwa Allah adalah pencipta dan yang mengatur alam (pencipta alam
semesta), maka tidak ada alasan baginya untuk meyakini adanya pengatur
selain Allah yang berhak mendapat predikat Rububiyah. Kesimpulannya,
seorang hamba yang meyakini adanya kekuatan yang mempengaruhi aturan
alam selain Allah berarti dia telah menyembah selain-Nya.
Dengan demikian, orang yang meminta sesuatu kepada selain
Allah, atau menganggap selain Allah sebagai sebab mandiri yang berpengaruh
dalam berbagai urusan, pada hakikatnya mereka tidak mengenal
Allah dengan benar—“Mereka tidak menghormati Allah dengan sebenar-benar
penghormatan” (Q.S. Al-Hajj: 74). Berdasarkan pemikiran ini, maka
mestinya tidak ada alasan bagi seseorang menjadi musyrik. Jika seseorang
mengenal Allah dengan pengertian sebenarnya, maka pengertian itu adalah
keya kinan akan keesaan Allah (Wahdaniyatullah) yang dikenal dengan
nama tauhid. Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam
Nahjul Balaghah, khotbah pertama, mengatakan: “Kesempurnaan penge nalan
kepada-Nya adalah meyakini-Nya, dan kesempurnaan keyakinan kepada-Nya
adalah mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya)”.
Apabila makrifat kepada Allah sempurna, maka dia akan sampai pada
peringkat tauhid. Mereka yang menganggap adanya peran selain Allah, maka
mereka tidak mengenal Allah. Apa yang dinamakan wastani (penyembah
berhala), tsanawi (duailsme), atau riya. Riya adalah syirk khafi (syirik
tersembunyi). Penyebabnya adalah karena tidak mengenal Allah. Orang
yang mengenal Allah dengan benar, tidak akan berbuat riya atau menonjol-nonjolkan
amalnya, tidak akan melangkahkan kakinya untuk riya, dan tidak
berusaha untuk mencari nama. Tidak akan berbuat agar dikenal orang
lain, agar didengar orang lain. Dia adalah simbol orang bertauhid
yang melakukan amalnya semata untuk Allah, karena Allah melihatnya. Dia
berbuat semata agar didengar oleh Allah, karena Allah Maha Mendengar.
Orang yang riya adalah orang yang tidak mengenal Tuhan dengan baik. Oleh
p:295
karenanya, berbuat riya sungguh bertolak belakang dengan ma’rifatullah;
begitu juga halnya syirik.
Berkaitan dengan wahyu dan ajaran nabi, Al-Qur’an mengatakan:
Mereka yang mengingkari adanya kenabian dan ajaran para nabi secara
umum, atau mengingkari kenabian dan ajaranya secara khusus, mereka tidak
mengenal Allah dengan baik. Sekiranya mereka mengenal Allah dengan baik,
tentu mereka tidak akan mengatakan bahwa Allah tidak menu runkan wahyu
kepada manusia sama sekali, “Mereka tidak menghormati Allah sebenar-benar
penghormatan di kala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu apa
pun kepada manusia’” (Q.S. Al-An’am: 91). Mereka yang tidak beriman
pada kenabian, mereka yang berkata bahwa hukum alamlah yang mengatur
kehidupan manusia, mereka yang mengatakan bahwa yang mengatur
kehidupan manusia adalah para ilmu wan, mereka adalah manusia-manusia
yang tidak mengenal Allah, Tuhan alam semesta yang menciptakan manusia.
Maka, Dia pula harus menjadi pembim bingnya (Rab-nya). Pengaturan
manusia tidak dapat diatur oleh pemi kirannya, tetapi pemikiran adalah
bagian dari rahasia penciptaan. Alam dengan segala rahasia penciptaan
dan pengaturannya, maka pen ciptanyalah yang harus membimbing
mereka. Allah sebagai pembimbing manusia, dan ketika mengutus para
nabi, menyampaikan aturan-aturan langit kepada manusia melalui wahyu,
tujuan utamanya adalah agar manusia meraih kebahagiaannya. Orang yang
mengingkari kenabian dan wahyu berarti tidak mengenal Allah dengan
sebenar-benar pengertian, “Mereka tidak menghormati Allah dengan sebenar-benar
penghormatan, tatkala mereka berkata; Allah tidak menurunkan suatu
apa pun kepada manusia”. Mengenal Allah memiliki peran positif pada
kepercayaan kiamat dan ma’ad.
Pada bagian ini, seperti halnya bagian-bagian lain dalam tauhid dan
kenabian, Al-Qur’an mengungkapkan, “Apabila mereka mengenal Allah
dengan benar, maka mereka akan menjadi manusia yang “muwahhid” (ahli
tauhid) dan juga meyakini adanya Hari Kiamat”.
Kedua: Allah sebagai eksistensi murni, pasti akan menyampaikan setiap
wujud pada kesempurnaannya. Ketika manusia meraih kesempurnaannya,
ia akan mendapat kedudukan tinggi setelah kematiannya. Oleh karena itu,
Al-Qur’an mengatakan, “Akan tetapi sembahlah Allah dan jadilah kamu
orang yang bersyukur” (Q.S. Az-Zumar: 66). Hanya Allah sajalah yang harus
kamu sembah dan bersyukurlah kepada-Nya karena ibadah adalah bagian
dari Rububiyah. Tuhan alam semesta adalah Allah yang harus disyukuri
atas nikmat yang dilimpahkan-Nya. Pemberi nikmat yang sebenarnya (al
p:296
Hakiki) adalah Allah, “Dan apa saja yang ada padaku dari nikmat, maka
datangnya dari Allah” (Q.S. An-Nahl: 53).
Manusia harus tahu bahwa semua sebab yang ada adalah perantara
sebagai karunia al-Haq, tidak boleh mengingkari hukum sebab akibat ini
dan juga jangan menganggapnya sebagai sebab mustaqil (sebab mandiri lepas
dari Allah). Dalam pepatah dikatakan: “Barang siapa tidak berterima kasih
kepada sesama makhluk maka dia tidak akan berterima kasih kepada Sang
Khalik.(1) Artinya, orang yang tidak melalui sebab-sebab perantara ini, dia tidak
akan sampai pada mabda’ (Allah). Apabila dia bersyukur kepada perantara-perantara
tersebut, pada dasarnya dia bersyukur kepada pemberi nikmat ini.
Apabila seseorang menghargai orang yang memberi nikmat, pada hakikatnya
dia bersyukur kepada pemberi nikmat yang hakiki. Pemberi nikmat yang
tampak merupakan jelmaan dari karunia Allah “Apa saja yang ada pada kamu
berupa nikmat, maka datangnya dari Allah”. Imam Yang kedelapan (Imam
Ali ar-Ridha) berkata, “Ya Tuhanku, apa pun nikmat yang ada padaku
itu adalah dari kebaikan-Mu, dan apa pun kejelekan yang ada padaku itu
adalah dari diriku. Tidak ada kekuatan untukku dan selainku mengubah
kebaikan-Mu dan tidak ada alasan bagiku untuk berbuat jelek kepada-Mu”.
Artinya, Ya Tuhanku, semua nikmat yang aku terima adalah dari
kebaikan-Mu. Kamu berikan kepadaku yang aku tidak berhak menerimannya.
Tidak ada sebab dariku atau dari selainku untuk mendapatkannya.
Tidak ada satu pun yang berperan untuk mendatangkannya untukku karena
mereka tidak lebih hanya karunia darimu. Dan semua kemelaratan yang ada
padaku, itu semata-mata karena kejelekanku dan kesalahanku. Tidak ada
alasan bagiku untuk berbuat kejelekan ini. Setiap nikmat berasal dari-Mu
dan setiap kemelaratan yang menimpa diriku adalah karena kejelekanku.
“Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu
termasuk orang-orang yang bersyukur. Dan mereka tidak menghormati Allah
yang semestinya, padahal bumi seluruhnya berada dalam genggaman-Nya pada
Hari Kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan
Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” (Q.S. Az-Zumar: 66—67).
Orang-orang musyrik dan mereka yang mengingkari hari kebangkitan,
menisbatkan pengaturan alam ini kepada selain Allah. Mereka mengira
bahwa manusia kelak akan binasa dan lenyap dengan kematiannya. Mereka
tidak meyakini hari kemudian bagi manusia. Mereka tidak mengakui bahwa
pengaturan alam secara umum ini hanya ada pada Allah. Mereka tidak
mengakui Allah sebagai Tuhannya yang mutlak. Mereka tidak mengakui
p:297
adanya kiamat dan hari kebangkitan. Mereka adalah orang-orang yang
tidak mengenal Allah sama sekali. Sebab, seperti yang sudah diisyaratkan
sebelumnya, pertama, Allah adalah eksistensi murni (wujud mutlak) yang
tidak ada sekutu bagi-Nya. Kedua, Allah-lah yang membina seluruh wujud
mencapai kesempur naannya.
Manusia akan mencapai kesempurnaannya ketika ma’ad tiba. Oleh
karena itu, apabila seseorang mengenal Allah seditkit saja dengan cara yang
benar, maka dia tidak akan ragu sedikitpun tentang tiga pokok agama
tersebut. Tidak mungkin seseorang mengenal Allah dengan haki kat-Nya
kecuali seperti diungkapkan oleh Imam dengan menggunakan kalimat yang
populer berikut ini, “Kami tidak mengenalmu sebenar-benar pengertian”.
Artinya, Ya Tuhanku, kami telah mengenal-Mu dengan sebenar-benar
pengertian sesuai kemampuan manusia, selain ini sulit bagi mereka. Sebab,
mengenal Allah sekaligus pengakuan ketidakmampuan (mengenali-Nya)
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pengakuan ketidakmampuan
mengenali-Nya ini merupakan pengenalan itu sendiri. Sedikitpun kita tidak
ragu akan keesaan Allah sama sekali “tidak ada sekutu bagi-Nya”. Sedikit
pun kita tidak ragu atas diutusnya para nabi, keberadaan hari kebangkitan,
dan kiamat. Sedang mereka meragukan masalah-masalah ini karena mereka
tidak mengenal Pencipta alam dengan benar. Oleh karena itu, salah satu
argumentasi yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk keberadaan ma’ad adalah
tauhid kepada Allah. Oleh karena Allah Maha Satu, maka kiamat pasti ada,
“Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan
kamu pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan padanya”(Q.S. an-Nisa’:
87). Untuk membuktikan ma’ad, Al-Qur’an menggunakan beberapa ayat
tentang tauhid. Artinya, Allah Maha Satu dan telah menentukan kepada
manusia suatu hari yang dinamakan hari penghisaban (yaumul hisab).
Sungguh tidak masuk akal apabila Allah yang Maha Satu tidak menciptakan
suatu hari sebagai penyaringan semua amal manusia. Sungguh mustahil
Allah yang Maha Satu membiarkan manusia bebas (tanpa hisab), sebab
tauhid kepada Allah adalah dalil kuat atas terjadinya ma’ad; persis seperti
halnya keberadaan Allah adalah dalil akan keesaan-Nya.
Berarti keberadaan Allah adalah dalil akan keberadaan ma’ad dan
juga tauhid. Makna ini telah terungkap dalam surah Ali Imran, “Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu(juga mengatakan
demikian)” (Q.S. Ali ‘Imran: 18). Artinya, ketuhanan adalah bukti
p:298
keesaan, dan keyakinan akan keberadaan Allah tidak sesuai dengan konsep
politeisme(kemusyrikan). Kepercayaan akan keberadaan Allah tidak sesuai
dengan pengakuan adanya sekutu bagi-Nya. Sebuah hakikat yang tanpa
batas tidak akan memberi kesempatan kepada yang lain sebagai sekutunya.
Konsep dualisme (tsunaiyah) tidak sesuai dengan konsep hakikat tanpa batas.
Seperti ungapan seorang filsuf Ilahiyah al-Farabi, “Sesuatu yang semata-mata
tunggal, tidak dua dan tidak terulang”. Argumentasi ini juga dipakai oleh
para ahli filsafat dari mazhab Ahlulbait yang suci. Barangkali kami telah
menukil argumentasi ini dari Hisyam dalam berbagai pembahasan tauhid.
Almarhum Ibn Babawaih al-Qummi dalam kitabnya, at-Tauhid,
menukil bahwa Hisyam bin Salim—(dalam riwayat lain Hisyam bin
Hakam—penj.) yang merupakan salah satu murid khusus Imam Ja’far
Shadiq, pada suatu hari hadir di rumah Imam Ja‘far. Imam bertanya
kepadanya tentang sifat-sifat Allah dan asma’ al-Husna, “Apakah kamu
menyifati Allah?” Hisyam menjawab, “Ya”. Imam berkata lagi, “Katakan!”
Hisyam pun menjawabnya. Lalu Imam mematahkan semua jawabannya.
Nampaknya Hisyam baru paham bahwa dia harus mendengar jawaban dari
gurunya sebagai hujjatullah itu. Oleh karena itu, beliau bertanya kepada
Imam Shadiq, “Bagaimana engkau mensifati Allah?” Imam menjawab, “Dia
adalah cahaya yang tidak ada kegelapan bagi-Nya; Dia adalah kehidupan
yang tidak ada kematian bagi-Nya; dia adalah ilmu yang tidak ada kebodohan
bagi-Nya”.(1) Artinya, Allah adalah cahaya dan kehidupan semata, ilmu dan
kekuatan semata. Sedangkan ilmu semata, cahaya dan kehidupan semata,
sama sekali tidak berpotensi menerima sekutu, begitu juga ilmu semata.
Pembahasan yang sangat tinggi ini disampaikan oleh Imam Shadiq
kepada murid khususnya, yang menjadikan Hisyam berkomentar, “Aku
keluar dari rumahnya dalam keadaan aku telah menjadi orang yang paling
alim tentang ilmu tauhid”. Dapat jadi seseorang lebih tahu tentang filsafat
teoretis, dan begitu juga sebaliknya. Hisyam berkata, “Saya salah satu dari
murid Imam keenam, lebih alim dari yang lain dalam filsafat teoretis dan
kepercayaan tentang tauhid kepada Allah”. Sumber pandangan tauhid ini
adalah argumentsi “Sharfah” tersebut. Sharfa’ adalah sesuatu yang bersifat
murni, tunggal yang tidak dapat dibagi-bagi. Dalam istilah filsafat dikatakan
“as-Sharfatu Laa Yatastanna Wala Yatakarrar” (sesuatu yang murni tidak ada
duanya dan tidak akan terulang kembali—Penj.).
Cahaya semata-mata cahaya tidak akan terulang, kehidupan semata-mata
kehidupan tidak dapat menjadi banyak, semata-mata ilmu tidak ada
p:299
pesaingnya, dan semata-mata wujud (eksistensi murni) tidak ada bilangannya.
Apa yang dikatakan Allah dalam surah Ali Imran: Ketuhanan Allah adalah
bukti atas keesan-Nya, bukan karena saksi dan pengakuan keesaannya. Artinya,
Allah mengaku Maha Esa dan Dia pula sebagai saksinya. Akan tetapi, cahaya
yang murni ini adalah bukti tidak adanya bilangan karena Dia cahaya (yang
bersifat mutlak). Sedangkan Uluhiyah adalah bukti akan keesaan, sedangkan
kemusyrikan adalah pengakuan tanpa dalil dan burhan. Oleh karena itu,
Al-Qur’an mengata kan, “Dan barang siapa menyembah Tuhan yang lain di
samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka
sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya” (Q.S. Al-Mukminun: 117).
Setiap yang menyatakan adanya penciptaan selain Allah, maka itu
pengakuan tanpa dalil dan hisabnya berada di sisi Allah. Berarti mengenal
Allah secara sempurna, konsekuensinya adalah mentauhidkan-Nya,
sedangkan mentauhidkan Allah konsekuensinya adalah mengaku adanya
Hari Kiamat. Oleh karena itu Al-Qur’an mengatakan, “Allah menyatakan
bahwasannya tidak ada Tuhan selain Dia” (Q.S. Ali ‘Imran: 18). Artinya,
ketuhanan Allah adalah bukti akan keesaan-Nya. Dalam ayat lain Al-Qur’an
mengata kan, “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya Dia akan
mengumpulkan kamu pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan padanya”
(Q.S. an-Nisa’: 87).
Keesaan Allah mengharuskan adanya ma’ad dan kiamat. Apabila Al-
Qur’an memaparkan berbagai argumentasi tentang keharusan adanya ma’ad,
yaitu kelanjutan argumentasi ini yang mengatakan; bahwa mengenal mabda
(sumber penciptaan) adalah bukti nyata adanya ma’ad sebagaimana hal itu
juga merupakan bukti nyata adanya wahyu, risalah, dan kenabian.
Adapun cara lain yang dipaparkan al-Qur’an untuk membuktikan
adanya kalimat dan ma’ad adalah burhan al-harakah, burhan al-hikmah,
burhan al-hakikah, burhan al-adalah, burhan tajarrud rudh dan burhan
hubbul baqa (cinta keabadian) yang semuanya telah diambil dari berbagai
ayat Al-Qur’an. Kesimpulan dari burhanal-harakah adalah bahwa alam
semesta ini dengan segala bagian-bagiannya adalah satu, saling terkait, dan
serasi. Seperti yang telah dibahas dalam tauhid, alam yang bergerak karena
keserasian dan keterikatan ini tidak lebih dari satu, sebab alam dalam
gerakannya dan perubahannya terkait dengan hukum dan aturan umum.
Dalam gerakannya, yang paling penting adalah keluarnya dari potensi
menjadi realitas(al-khuruj minal quwwah Ilal fi’liyah)—dalam filsafat ada
istilah al-quwwat dan al-fi’li. Menurut saya, al-Quwwatu berarti potensi
sedangkan al-Fi’li berarti kenyataan di luar, misalnya sperma adalah manusia
p:300
bil Quwwati, artinya berpotensi untuk menjadi manusia. Ketika menjadi
manusia kita katakan manusia bil Fi’li; artinya, benar-benar jadi manusia
(Wallahu a’lam—Penj.) dari kekurangan menuju kesempurnaan, dari lemah
menjadi kuat.
Gerakan adalah sesuatu yang bersifat eksis. Kadang ditemukan suatu
keberadaan kehilangan kesempurnaannya dan bergerak menuju arah
kekurangan, semisal apel yang busuk, atau bergerak dari kesempurnaan
menuju ke kesempurnaan lain yang sama dan meninggalkan kesempurnaan
yang dulu. Gerakan yang demikian ini bukan gerakan yang bersifat dzati
dan hakiki. Sebab ketidakadaan bukan sebuah kesempurnaan. Gerakan
yang menuju kekurangan bukanlah sebagai kesempurnaan dan tidak
berwujud. Gerakan adalah sesuatu yang bersifat eksistensial. Seperti yang
kita saksikan pada apel busuk, bukan berarti dia sempurna bergerak menuju
ketidaksempurnaan dengan gerakan dzati. Akan tetapi busuknya apel dan
keringnya pohon adalah gerakan karena faktor lain bersifat ‘aradhi.
Faktor luar itu, misalnya kebinasaan aslinya bergerak menuju kedewasaan,
sedangkan apel tersebut busuk karena sebab luar. Busuk artinya
hilangnya kesempurnaan dan kemuliaan, semuanya merupakan masalah
yang bersifat ‘adami (tidak ada), padahal gerakan sesuatu bersifat wujudi
(eksistensialis). Berarti, kebusukan dan kerusakan bukan gerakan yang
bersifat hakiki. Tidak ada ada sesuatu yang sempurna bergerak menuju kekurangan
dangan gerakan tersebut disebut sebagai gerakan hakiki. Akan tetapi,
faktor luar yang menghalangi hingga kemudian menjadi busuk. Semisal ini
adalah kejelekan, seluruh masalah bergerak proses menuju kebaikannya,
tetapi kejelekan justru menuju pada hilangnya kesem purnaan. Insya Allah
hal ini akan kami jelaskan pada kajian gerakan secara rinci.
Gerakan adalah keluar dari sebuah potensi menuju pada realitasnya.
Dua masalah ini (potensi dan realitas) tidak terpisahkan dari tujuan gerakan.
Gerakan berusaha meninggalkan ketidaksempurnaan potensi menuju pada
kesempurnaan realitas. Sesuai ungkapan filsuf Mulla Sadra ra, gerakan
memiliki cara. Pertama, adanya sifat kuat dan lemah. Kedua, kekuatan yang
menggerakkan gerakan. Apabila gerakan itu sifatnya sama, apabila seluruh
wujud alam ini dan alam wujud ini sama, jika tidak terdapat kuat dan lemah,
maka alam ini tidak mungkin dapat bergerak. Apabila alam wujud ini
menerima kepastian arah dan memiliki peningkatan, akan tetapi tidak dapat
menerima kecepatan gerak, apabila gerakan itu dari keras menuju pada yang
lebih keras, atau perpindahan dari lemah kepada yang lebih keras itu sulit,
maka tidak akan terjadi gerakan (tidak ada gerakan). Gerakan artinya dari
p:301
sebuah potensi menuju realitasnya. Perjalanan ini syaratnya harus ada daya
tarik, kuat dan lemah.
Adapun seperti yang dikatakan bahwa gerakan memiliki mabda’
(pemula) dan akhir, tidak berarti memiliki awalan dan akhiran. Sebab
gerakan tidak memiliki awal dan akhir, gerakan yang bersifat satu tidak
memiliki bagian-bagian. Akibatnya, sesuatu yang kita anggap sebagai bagian,
maka bagian tersebut dapat dibagi, dan bagian yang dibagi itu juga dapat
dibagi lagi dan seterusnya, karena sesuatu yang merupakan bagian pasti
dapat dibagi lagi. Berarti gerakan tidak memiliki bagian pertama dan bagian
akhir. Apa yang dikataan bahwa gerakan memiliki mabda dan muntahah
tidak berarti dia memiliki awalan dan akhiran, tetapi memiliki potensi dan
realitas.
Dengan demikian, gerakan berarti melewati batas potensi hingga batas
realitas, sedangkan alam semesta mulai bergerak dari potensi dan harus
mencapai pada realitasnya dan abadi. Oleh karena gerakan memiliki arah,
berarti harus memiliki tujuan, sehingga ia mencapai tujuannya. Mencapai
tujuan itulah yang dikehendaki, bukan pasif. Hal itu disebabkan alam selalu
dalam usaha dan bergejolak. Baru ketika mencapai tujuan, alam akan tetap
dan tenang, bukan sakin (pasif ) tapi tsubut (tetap) dan itulah yang disebut
Al-Qur’an sebagai “Darul Qarar”. Artinya, terdapat sebuah alam untuk diam
dan itu berarti tempat akhir. Dalam surah Al-Ghafir, Al-Qur’an menjelaskan
tempat tersebut dengan firman-Nya, “Dan berkata orang yang beriman;
Wahai kaum ikutilah aku, aku akan memberi petunjuk kamu pada jalan yang
benar, Wahai kaum sesungguhnya kehidupan dunia adalah barang mainan dan
sesungguhnya akhirat adalah tempat ketenangan” (Q.S. Ghafir: 38—39).
Seorang ahli tauhid menyeru: Hai kaumku, ketahuilah bahwa dunia
ini tidak lebih hanya kelezatan sementara dan bukan tempat tinggal (dan
sesungguhnya akhirat adalah tempat tinggal). Dunia bagaikan jalan dan jalan
pasti ada batasnya. Dunia selalu bergejolak, berubah-berubah. Dunia, yang
ia merupakan jalan, selalu bergerak menuju ke tempat tinggal, yaitu sebagai
tujuannya, yaitu akhirat. Kehidupan dunia adalah kelezatan sementara
(sesungguhnya kehidupan dunia adalah barang mainan dan sesungguhnya
akhirat adalah tempat tinggal).
Dalam surah Al-A’raf, Al-Qur’an menamakan kiamat sebagai pelabuhan
kapal alam semesta; “Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,
kapankah terjadinya?” (Q.S. Al-A’raf: 187). Mereka bertanya kepadamu
tentang kiamat; kapan munculnya? Kapan kapal alam semesta ini sampai
pada pelabuhannya? Tentang kapal Nuh Allah berfirman: “Dengan nama
p:302
Allah di waktu berlayar dan di waktu berlabuhnya” (Q.S.Hud: 41). Kapal
ini bergerak dengan nama Allah, dan akan berlabuh dengan nama Allah
pula. Baik berlayar maupun berlabuhnya dengan nama Allah. Kalian
bergerak dengan kekuatan gaib, sebab para wali Allah berbuat suatu yang
baik untuk alam ini dengan nama Allah. Di sinikah mereka bertanya kepada
Rasulullah: Kapankah kapal alam semesta ini sampai pada pela buhan nya
untuk menurunkan para penumpang? Kapankah rombongan ini sampai pada
tujuannya. Kapan rombongan ini sampai pada tempat tinggalnya? Kapan
beristirahat dari jalan yang bergejolak ini? “Kapan berlabuhnya” adalah
sebuah ungkapan indah sekali, yaitu berarti kapan alam ini menjadi tenang?
Dalam kalimat hikmah Ali bin Abi Thalib yang merupakan quran nathiq
dikatakan, “Dunia adalah tempat lewat dan akhirat adalah tempat tinggal”.
Kata “Mamar” berarti tempat menye be rang, sedangkan akhirat adalah tempat
tenang dan tempat kebenaran. Kesimpulan yang kita capai dari burhan al-harakah
ini adalah bahwa sesuatu yang bergerak harus mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, Kiamat adalah sesuatu yang bersifat harus adanya. Dan ini
sama seperti diungkapkan Al-Qur’an ketika berbicara: “Hari kiamat adalah
hari yang tidak ada keraguannya”.
p:303
p:304
p:305
p:306
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Dalam pertemuan sebelumnya, topik pembahasan kita adalah keharusan
adanya ma’ad dilihat dari sisi pandang Al-Qur’an al-Karim. Sedangkan
pembahasan ma’ad dari sisi hikmah nadhariyah (hikmah pemikiran) telah
lewat dengan berbagai argumentasinya. Dilihat dari sisi hikmah nadhariyah,
secara teoretis pembahasan itu telah membuka beberapa kesimpulan dan
keuntungan, sebab hal tersebut juga dapat mengembangkan teori praktis
karena Al-Qur’an menganggap bahwa keyakinan akan keberadaan Hari
Kiamat merupakan faktor utama pendidikan jiwa dan penyucian ruh.
Begitu juga sebaliknya, melupakan Hari Kiamat merupakan faktor utama
kehancuran ruh dan timbulnya berbagai kejahatan.
Oleh karena kiamat dan ma’ad memilki tingkatan(hal itu lebih
disebabkan oleh faktor tingkat ketinggian manusia dan juga tingkat
kerendahannya), argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Qur’an pun tidak
sama. Setiap dalil memiliki kesimpulan berdasarkan batas tengahnya (haddul
ausath). Setiap batas tengah dari setiap bentuk argumen disesuaikan dengan
tingkatan ma’ad. Dalil yang dikemukakan pada pertemuan sebelumnya
adalah burhan al-harakah (argumentasi gerakan), yaitu bahwa alam ini
memiliki gerakan dan alam semesta yang merupakan satu kesatuan ini
memiliki tujuan, sehingga dengan gerakannya ia dapat dari tahap potensi
menuju tahap realitas yang pada gilirannya alam ini akan tenang dan tetap.
Mustahil ada gerakan tanpa tujuan. Mustahil pula alam yang saling terikat
ini tidak mencapai tujuan, sebab sekiranya terdapat suatu wujud yang tidak
dapat mencapai tujuan karena gangguan, maka itu berarti alam ini telah
kehilangan usahanya. Akan tetapi, perumpamaan seperti ini tidak dapat
diterapkan pada semua alam karena tidak ada penghalang dari luar alam
yang mengganggu arahnya. Pembinannya adalah Tuhan pemelihara alam
semesta ini. Tidak ada sesuatu yang menghalangi aturan Allah.
Berdasarkan ini, maka ma’ad bagi alam—yang manusia merupakan
bagian darinya—adalah sesuatu yang bersifat keharusan. Artinya, harus
ada tujuan yang dicapainya. Sesuai pandangan Al-Qur’an, ma’ad adalah
sesuatu yang pasti. Sesuai istilah filsafat, ma’ad adalah sesuatu yang harus
adanya (dharuriy al-wujud). Sesuai ungkapan agama samawi, ma’ad adalah
p:307
sesuatu yang tidak diragukan. Kesimpulannya adalah burhanal-harakah
dapat membuktikan keberadaan ma’ad sesuai batas tengah argumentasi nya.
Burhan al-harakah tidak dapat difungsikan untuk membuktikan ma’ad pada
eksistensi yang lebih tinggi daripada eksistensi setiap bergerak. Ia memiliki
ma’ad tetapi tidak dapat dibuktikan dengan argumentasi gerakan. Kita juga
tidak dapat membuktikan kebangkitan orang-orang mulia seperti para wali
Allah dan ruh-ruh suci yang telah mencapai peringkat pertemuan dengan
Allah dengan menggunakan argumentasi al-harakah. Peringkat ma’ad
mereka adalah pertemuan mereka dengan Allah. Dalam burhanal-harakah
dikatakan: Sesuatu yang bergerak berawal dari suatu potensi menuju
realitas, sehingga mencapai peringkat keter pautan material. Ketika mencapai
peringkat tersebut, tidak ada lagi gerakan baginya. Sedangkan peringkat
keterpautan dan ketenangan ada beberapa peringkatnya. Apabila mencapai
peringkat tersebut, maka tidak ada gerakan setelahnya. Argumen ini tidak
dapat difungsikan untuk menetapkan kebangkitan sesuatu yang lebih tinggi
yang disebut dengan kebangkitan khusus, yaitu kebangkitan jiwa yang
tenang (nafsul muthmainnah) yang disebut dengan pertemuan dengan Allah
atau surga pertemuan.
Meskipun burhanal-harakah dapat dipakai untuk membuktikan
keberadaan sang pencipta, cakupan argumen tesebut sangat terbatas. Artinya,
apabila kita hendak membuktikan keberadaan pencipta alam dengan
burhanal-harakah, kita hanya memfungsikan pada hal-hal yang bergerak
yang berarti ada penggeraknya. Untuk membuktikan pencipta alam adalah
sesuatu yang sulit karena di luar kapasitas gerakan. Kesimpulannya, kapasitas
burhanal-harakah hanya sampai pada maqâm pertemuan Allah dan tidak
mampu membuktikan adanya Tuhan yang azali. Ia hanya bermanfaat pada
pembuktian adanya Penggerak yang immaterial dan tujuan immaterial yang
tetap, tidak dapat untuk membuktikan wujud azali juga surga pertemuan.
Kelebihan yang ada pada burhan ini dibanding burhan al-Hudus,
menurut Al-Qur’an bahwa burhan hudus ini dapat membuktikan adanya
pencipta yang bersifat qadim, tetapi bukan wajib al-wujud yang azali, sebab
sesuatu yang hadis pasti membutuhkan keberadaan wujud yang qadim.
Burhan hudus tidak mampu membuktikan adanya ma’ad. Sedangkan
burhan hudus tidak mampu membuktikan adanya ma’ad. Sedangkan burhan
al-harakah dapat membuktikan keduanya. Hanya saja burhan ini tidak
dapat membuktikan keberadaan yang bersifat eksistensi murni. Demikian
kesimpulan dari burhan al-harakah yang dipaparkan pada pertemuan
sebelumnya.
p:308
Burhan lain yang dipaparkan Al-Qur’an adalah burhanal-hikmah(filsafat
akhlak). Ini juga telah dijelaskan pada pertemuan yang lalu. Dalam burhan ini
dikatakan: Karena Allah Maha Bijak, maka tidak akan keluar dari-Nya suatu
tindakan tanpa tujuan. Sekalipun Allah sendiri tidak memerlukan tujuan
tersebut karena Dia Maha Kaya. Akan tetapi, karena Maha Bijak maka tidak
akan keluar dari-Nya tindakan tanpa tujuan. Al-Qur’an memisahkan dua
masalah ini dengan penjelasannya yang sangat dalam. Pertama: Allah tidak
punya tujuan karena Maha Kaya tidak membutuhkan sama sekali. Allah
tidak melakukan satu tindakan demi kepentingan tertentu sehingga dengan
tindakan tersebut Dia mendapat apa yang dikehendaki. Artinya apabila tidak
melakukan tindakan tersebut, Allah tidak akan mencapai tujuan. Apabila
tidak mencapai tujuan berarti Allah tidak sempurna. Ini bertentangan
dengan sifat-Nya yang Maha Kaya. Allah Maha Kaya tidak membutuhkan
seluruh alam, tidak berbuat sesuatu agar mencapai tujuan-Nya. Berarti Sang
pelaku tidak memiliki tujuan (misi pribadi) sama sekali. Akan tetapi, karena
Dia Maha Bijak maka tidak akan keluar dari-Nya tindakan tanpa tujuan.
Artinya, tindakan itu ada tujuannya. Akan tetapi, bukan untuk sang pelaku
yang harus diraihnya karena Dia sendiri merupakan tujuan akhir. Oleh
karena Dia(Allah) sebagai pelaku, maka tidak ada pelaku lain selain Dia.
Ada dua hal pokok; pertama, Allah tidak memiliki tujuan, dan kedua,
alam ini memiliki tujuan. Allah tidak memiliki tujuan karena Dia ”Maha
Kaya dari semua alam” (Q.S. Al-Ankabut: 6). Ia tidak membutuhkan semua
alam; tidak melukukan tindakan agar mencapai sesuatu tertentu; tidak
menciptakan alam untuk kepentingan diri-Nya; tidak menciptakan alam
agar menjadi dermawan. Hal itu karena ingin meraih keuntungan yang
bersifat kekurangan. Begitu juga derma bukan tujuan. Apabila derma dan
pemberian sebagai tujuan, berarti Dia melakukannya agar menjadi dermawan.
Jika itu tidak terjadi berarti Dia bukan dermawan, dan tidak mencapai
kesempurnaan derma berarti tidak sempurna. Pelaku seperti ini tidak akan
dapat disebut Maha kaya. Berarti Allah menciptakan alam bukan untuk
kepentingan diri-Nya, tidak menciptakan alam agar menjadi dermawan.
Fi’lullah (tindakan Allah) tidak dapat menerima lam (yang artinya
supaya atau demi) dan tidak menerima hatta (sehingga) karena sesungguhnya
Allah Maha Kaya dari semua alam. Akan tetapi karena Allah Maha Bijak
maka Dia menciptakan sesuatu pada tempatnya. Membuat setiap wujud
pada tempatnya masing-masing dengan aturan khusus menuju arah tertentu
yang membuktikan bahwa tindakan itu bertujuan. Artinya, alam semesta ini
ada tujuan, sekalipun Penciptanya tidak memiliki tujuan. Inilah dua pokok
p:309
masalah; yang pertama, tentang Maha Kaya-nya Wajibil Wujud (Allah)
dan kedua, tentang kebijakan-Nya. Dua hal tersebut memiliki kesimpulan
masing-masing. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatakan adanya perbedaan
antara dua masalah tersebut dan kedua-duanya terpisah dari yang lain.
Pada kesempatan lain dikatakan: Aku tidak ciptakan manusia kecuali
untuk menyembah-Ku. Pada kesempatan lainnya Al-Qur’an mengatakan:
Apabila semua yang ada di atas bumi ini menjadi kafir, maka Allah Maha
Kaya dari semua alam, tidak terganggu sedikitpun. Firman-Nya, “Dan
tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku” (Q.S.
adz-Dzariyat: 56). Apabila Al-Qur’an menjelaskan tujuan pencip taan jin
dan manusia, itu karena hendak menjelaskan tujuan penciptaan. Artinya,
tujuan penciptaan jin dan manusia adalah ibadah yang berarti mereka harus
mencapai tingkat ibadah dan makrifat. Dan tujuan jin dan manusia bukan
tujuan Allah. Apabila manusia tidak menjadi penyembah Tuhan berarti
tidak mencapai tujuannya. Oleh karena itu, Al-Qur’an menjelaskan melalui
lisan Musa kalimullah a.s., “Jika kamu menjadi kafir dan orang-orang yang
di atas bumi semuanya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha
Terpuji” (Q.S.Ibrahim: 8). Apabila kemudian orang-orang yang di bumi ini
semua menjadi kafir, maka sama sekali tidak akan mengganggu siapa pun
karena Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Dzatnya terpuji, Allah tidak
membutuhkan yang lain sama sekali. Allah menciptakan kalian bukan
supaya diri-Nya menjadi ma’bud (sesembahan), akan tetapi menciptakan
kalian agar kalian menjadi para penyembah. Pengetahuan dan penyembahan
adalah tujuan perbuatan bukan tujuan pelakunya.
Dikatakan: Apabila semua menjadi kafir, maka Allah tidak terganggu
sedikitpun karena Dia tidak mebutuhkan (sesungguhnya Allah Maha Kaya
dan Maha Terpuji). Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an menjelaskan bahwa
Allah tidak membutuhkan. Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya Dia
Maha Kaya dari semua alam” (Q.S. Al-Ankabut: 6). Maha Kaya dari alam
wujud dan alam penciptaan. Dia hanya bergantung pada zat-Nya yang
merupakan eksistensi murni, sedangkan semua wujud bergantung pada-
Nya. Oleh karena Allah Maha Kaya, maka Dia tidak berbuat sesuatu demi
meraih tujuan tersebut, karena Dia adalah sebagai tujuannya.
Ibn Sina seorang filsuf theisme tekenal dalam ungkapannya menga takan:
“Setiap pelaku melakukan sesuatu demi meraih kesempurnaan. Akan
tetapi apabila kesempurnaan itu sendiri melakukan perbuatan, apakah
dengan perbuatannya itu hendak meraih kesempurnaan?” Allah adalah
kesempurnaan mutlak, apakah Dia melakukan tindakan hendak meraih
p:310
sesuatu? Sama sekali tidak. Akan tetapi, karena Dia sempurna yang tanpa
batas, maka pilihan dan kehendak, ilmu dan kekuatan berasal dari-Nya.
Alam yang punya tujuan ini berasal dari kesempurnaan-Nya yang tidak
terbatas, yaitu ilmu, kekuatan, dan masyiah, serta kehidupan semata. Al-
Qur’an mengatakan, “Dan Kami tidak ciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada di antara keduanya sia-sia, itu hanyalah dugaan orang-orang yang
kafir” (Q.S. Shad: 27).
Orang kafir yang mengingkari ma’ad beranggapan bahwa alam ini
tercipta tanpa tujuan. Berbagai manusia datang dan pergi serta berubahubah
tanpa tujuan, berbagai gerakan dan upaya tidak bermakna. Inilah
dugaan orang-orang kafir yang menafikan keberadaan Hari Kiamat. Padahal
alam bergerak menuju arah tujuannya, “Maka celaka bagi orang-orang kafir
yang berada dalam api neraka” (Q.S. Shad: 27). Sebagian orang kafir pada
Hari Kiamat akan menjadi bahan bakar jahanam. Pengertian yang demikian
ini telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan juga oleh Ali bin Abi Thalib a.s.
sebagai qur’an nathiq (Qur’an yang berbicara). Al-Qur’an mengatakan,
“Adapun mereka orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka
menjadi kayu bakar bagi neraka Jahanam” (Q.S. Al-Jin: 15). Mereka orang-orang
yang menyimpang, lalim, dan kejam adalah sebagai kayu bakar
Jahanam. Dalam Nahjul Balaghah, berkaitan dengan ilmu gaibnya Allah, Ali
bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Allah mengetahui semua yang gaib
dan bahkan mengetahui siapa yang akan menjadi bahan bakar api neraka”.
Siapakah yang akan menjadi kayu bakar api neraka pada Hari Kiamat nanti?
Dalam surah Al-Jatsiah, Al-Qur’an menjelaskan hikmah Ilahiyah
ini dengan mengatakan: Sesungguhnya alam tidak sia-sia, Allah tidak
menciptakan alam ini sia-sia, “Dan Allah ciptakan langit dan bumi ini
dengan sungguh-sungguh“ (Q.S. Al-Jatisyah: 22). Langit dan bumi senantiasa
bersama al-Haq dan tidak lepas dari hakikat. Sesuatu yang bersama al-Haq
dan hakikat tidak mungkin tidak berguna atau tanpa tujuan. Alam ini tidak
seperti yang diduga oleh kaum materialis yang menyatakan, “Kehidupan kita
tidak lain hanyalah mati dan hidup dan tidak ada yang menghancurkan kita
kecuali masa” (Q.S. Al-Jatisyah: 24). Allah menjelaskan pernyataan kelompok
materialis: Mereka mengira bahwa manusia hidup dan sebagian mati, tidak
ada kiamat juga tidak ada Tuhan. Yang merobek-robek kita adalah waktu,
sebagian manusia menjadi debu dan sebagian yang lain bangkit kembali;
tidak ada Tuhan dan tidak ada kiamat. Demikian pernyataan kaum materialis.
p:311
Al-Qur’an menyatakan: mereka adalah orang-orang yang tidak
mengenal diri sendiri, tidak mengenal alam, dan tidak pula mengenal pencipta
alam. Al-Qur’an menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan dengan benar.
Sesuatu yang batil dan tanpa tujuan adalah sia-sia. Alam semesta adalah benar
dan pasti berguna. Dalam bagian lain Al-Qur’an mengatakan, “Kami tidak
menciptakan langit dan bumi sia-sia ‘dan apa yang ada di antara keduanya
bukan sia-sia’” (Q.S. Al-Anbiya’: 16). Allah tidak main-main. Dalam
pertemuan sebelumnya telah kami jelaskan perbedaan antara dunia dan alam
semesta. Apa itu dunia dan apa itu langit dan bumi. Apakah dunia itu berarti
langit dan bumi, tumbuh-tumbuhan, tambang, ruang angkasa, lautan dan
gunung? Ataukah dunia merupakan aturan khusus yang diciptakan untuk
manusia sebagai mengatur stabilitas kehidupan? Dalam hal ini, Allah
mengatakan: Karena alam diciptakan oleh sumber hikmat, maka pasti ada
tujuan, alam tidak akan sia-sia. Oleh karena Allah Maha Kaya, maka manfaat
tujuan tersebut kembali kepada perbuatan-Nya, bukan kepada pelaku.
Oleh karena alam berjalan menuju Allah, maka Allah adalah tujuan yang
dituju. Apabila Allah sebagai pencipta (mabda), berarti Allah adalah tujuan
utama dan akhir, “Dialah yang pertama dan yang akhir” (Q.S. Al-Hadid: 3).
Oleh karena alam bergerak menuju Allah, berarti Allah adalah tujuan
bukan pemilik tujuan. Oleh karena alam keluar dari Allah, berarti Allah
adalah yang pertama dan tidak ada pencipta bagi Tuhan. Dia Maha Kaya,
tidak membutuhkan pelaku dan tidak pula membutuhkan tujuan. Alam
semesta keluar dari yang Maha Kaya dan bergerak menuju Yang Maha Kaya,
Ketika Al-Qur’an mengenalkan alam kepada orang-orang berakal, Al-Qur’an
mengatakan, “Dan mereka berpikir tentang penciptan langit dan bumi” (Q.S.
Ali ‘Imran: 191). Mereka menjawab, “Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan
ini sia-sia” (Q.S. Ali ‘Imran: 191). “Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, pergantian malam dan siang, ada tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal” (Q.S. Ali ‘Imran: 190). Mereka adalah orang-orang
yang berakal. Al-Qur’an mengartikan orang-orang yang berpikir ini sebagai
“orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri dan duduk dan
ketika mereka tidur” (Q.S.Ali ‘Imran: 191). Mereka selalu berzikir kepada
Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, dan tidur. Mereka yang apabila
tidak mampu salat berdiri, mereka melaku kannya dengan duduk; apabila
mereka tidak mampu dengan duduk, mereka melakukakannya dengan
berbaring di atas tempat tidur. “Mereka berpikir tentang penciptaan langit
dan bumi”, berpikir tentang aturan alam dan berkata, “Tuhan kami, tidak
Engkau ciptakan ini sia-sia” (Q.S. Ali Imran: 191). Tuhan kami, penciptaan
p:312
ini bukan tanpa tujuan, sehingga manusia lahir dan hidup beberapa waktu,
lalu mati dan di balik kematian tidak ada apa-apa.
Kematian menurut ajaran Al-Qur’an tidak seperti keringnya pohon.
Manusia ketika mati tidak seperti pohon yang kering kemudian terlepas
semua (cabang dan rantingnya). Kematian adalah seperti burung terbang
dari sangkar materi, berpindah dari dunia menuju alam akhirat. Kematian
ibarat matangnya buah yang dipetik oleh petani, bukan ibarat keringnya
pohon, lalu buahnya menjadi busuk. Materialisme menyangka bahwa
manusia ketika mati ibarat buah yang busuk pada pohon yang kering lalu
berjatuhan ke tanah dan menjadi debu. Padahal, menurut ajaran Al-Qur’an
kematian tidaklah demikian. Kematian ibarat buah yang matang dari sebuah
pohon, penuh dengan air dan terasa manis. Dengan hati-hati, sang petani
memetik buah tersebut hingga jatuh ke tangan bukan ke tanah.
Ketika kelompok kafir Hijaz berkata kepada Rasulullah, bahwa
kematian ibarat lenyap ditelan bumi, mereka berkata, “Apakah kita yang
telah hilang ditelan bumi akan hidup kembali”—“Apakah kita yang telah
hilang ditelan bumi akan kembali hidup baru” (Q.S. As-Sajdah: 10).
Apabila kita mati, dikebumikan, hancur ditelan bumi, bercampur dengan
debu hingga tidak sedikit pun bekas yang tertinggal, apakah kita akan
dibangkitkan kembali? Seperti yang dijelaskan oleh ustaz al-Allamah Thabathabai
ra, beliau mengatakan: Kalian tidak lenyap ditelan bumi akan tetapi
kalian akan dimatikan, “Katakan kalian dimatikan oleh Malaikat Maut yang
telah diwakilkan kepada kamu semua” (Q.S. As-Sajdah: 1).
Mereka adalah ibarat petani yang menunggu masaknya buah.
Kematangan adalah berakhirnya perang kehidupan manusia. Ketika
manusia mencapai kesempurnaan atau berada di jalan yang mengantarnya
pada kesempurnaan, maka dia akan menjadi ibarat apel dan kimtsari, buah
yang penuh air dan manis, atau ibarat buah hanzhal yang penuh dengan air
dan terasa amat pahit. Seperti dua keadaan ini para petani akan memetik
buahnya dengan tangan mereka sendiri.
Al-Qur’an mengatakan: Tidak seorang pun lenyap karena kematian
dan bukan pula tenggelam dalam perut bumi. Akan tetapi kalian dimatikan
oleh malaikat pencabut nyawa, kalian dimatikan bukan dilenyapkan. Kalian
berubah menjadi mati bukan fana. Kita semua akan dimatikan oleh malaikat
pencabut nyawa, “Telah dimatikan oleh utusan Kami” (Q.S. Al-An’am: 61).
Malaikat pencabut nyawa ibarat tukang kebun yang akan memetik buah yang
sudah matang untuk disimpan dan ditaruh di tempatnya, “Tuhan kami tidak
Engkau ciptakan ini semua sia-sia” (Q.S.Ali ‘Imran: 191). Semua ini bukan
p:313
sia-sia tanpa tujuan. Dalam gerakan alam dan bagian-bagiannya, ketika
dalam proses menuju kesempurnaan dapat jadi terhalang sehingga tidak
berhasil meraih tujuan. Dapat jadi gerakan tesebut gagal tidak mencapai
tujuan. Akan tetapi, apakah ini dapat terjadi pada aturan yang bersifat
universal? Apakah seseorang dapat berkata bahwa alam yang memiliki
tujuan namun tidak tercapai? Apakah seseorang dapat berkata bahwa Allah
Yang Maha Bijak dan tidak akan keluar dari-Nya tindakan tanpa tujuan,
namun tindakan tersebut tidak dapat meraih tujuannya? Sekalipun kiamat
merupakan tujuan akhir dari alam semesta ini, namun dapat jadi tidak
tercapai. Dengan demikian, maka ma’ad bukan sesuatu yang pasti.
Pandangan yang demikian itu menurut Al-Qur’an adalah tidak benar
karena alam merupakan satu kesatuan yang bergerak menuju satu arah dan
tidak ada penghalang yang menghalangi gerakannya. Kita tidak berbicara
tentang gerakan yang bersifat individual, akan tetapi satu kesatuan yang
semua bagian-bagian menuju satu tujuan sehingga dengan demikian tidak
pernah terbayang adanya penghalang dari luar yang menghalangi Sang
Pencipta (Tuhan semesta alam). Berdasarkan burhan tauhid, maka tidak ada
suatu eksistensi apa pun di dalam semesta ini yang berpengaruh selain Tuhan
semesta alam yang menjadi Raja pada Hari Kiamat (Q.S. Al-Fatihah: 1—3).
Raja pada Hari pembalasan adalah Dia (Tuhan semesta alam). Semua alam
berada di bawah kekuasaan Allah karena Allah Maha Kasih Sayang, maka Dia
akan mengantar setiap yang berpotensi untuk sempurna sesuai keadaannya.
Berdasarkan burhan ar-rahman (yang Insya Allah akan
dibahas), Allah adalah satu-satunya raja pada Hari Kiamat. Maka, tidak
seorang pun memiliki kekuasaan pada hari itu selain Dia. Artinya, tidak
seorangpun dapat menghalangi terjadinya hari itu. Alam selalu bergerak
menuju ke tujuannya dan Allah akan mengantarkannya pada tujuan tersebut.
Tidak ada penghalang dari dalam karena alam merupakan satu kesatuan,
tidak ada penghalang dari luar karena tidak ada yang menguasai kiamat
selain Allah. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka kiamat bukan saja
mungkin terjadi akan tetapi pasti terjadi. Bukan hanya dapat terjadi akan
tetapi harus terjadi. Sesuai ungkapan Al-Qur’an, kiamat adalah hari “tidak
ada keraguan adanya” tidak ada jalan untuk meragukan keberadaannya,
karena kiamat pasti akan terjadi seratus persen.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (atasnya dan keluarganya beriburibu
tahiat dan salam) yang merupakan Al-Qur’an yang bergerak mengatakan:
Jangan jadikan keyakinanmu menjadi keraguan karena keberadaan kiamat
tidak dapat diragukan. Yakinlah dengan adanya kiamat dan jangan jadikan
p:314
keyakinan kalian ini keraguan. Jangan jadikan pengetahuan kalian sebagai
kebodohan. “Jangan kamu jadikan ilmu kamu sebagai kebodohan dan
keyakinan kamu sebagai keraguan. Apabila kamu tahu maka amalkanlah”.
Ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi hijab baginya. Ilmu yang tidak ada
nilai amalnya akan menjadi tabir tebal. Simak Syair berikut:
Tidak ada tabir dan dinding menutupi keindahan sang kekasih
Akan tetapi tebalnya debu jalanan yang menghalangi penglihatan
Ilmu tanpa amal ibarat debu dan hijab tebal di sekitar jalan
Amirul Mukminin mengatakan: “Jika kamu punya keyakinan jangan
kamu jadikan keyakinanmu itu keraguan”. Al-Qur’an al-Karim telah
membuktikan peran keyakinan ma’ad dan Hari Kiamat ini dalam revolusi
Islam berkaitan dengan masalah jihad. Dalam beberapa kondisi yang sangat
gawat, Al-Qur’an mengatakan: “Mengingat kiamat mendorong manusia
menuju medan perang”. Yang membuat manusia tidak takut mati adalah
keyakinannya akan adanya hari kebangkitan.Yang mendorong manusia siap
membela kebenaran adalah kerinduan mereka kepada alam malâkut. Hal itu
disebabkan Allah sangat mencintai orang-orang yang berperang di jalan Allah
dengan berbaris bagaikan bangunan yang kuat. Sebagian orang menolak
ber perang di musim kemarau karena takut panasnya terik matahari. Mereka
berkata kepada yang lainnya: “Janganlah kalian pergi ke medan perang di
musim panas yang menyengat karena hal itu sangat menyusahkan”—“Dan
mereka berkata; janganlah kamu perg i(ke medan perang) di musim panas”
(Q.S. at-Taubah: 81). Musuh-musuh revolusi, para pembangkang yang
menolak jihad, para penipu yang tidak mau menjaga Islam, mengatakan:
“Janganlah kalian pergi ke medan perang di musim panas yang membakar”.
Kemudian Allah berkata kepada Nabi-Nya, “Katakan (wahai Muhammad)
neraka jahanam jauh lebih panas” (Q.S. at-Taubah: 81). Apabila kalian takut
panasnya terik matahari yang hanya sementara, maka ketahuilah bahwa
jahanam jauh lebih panas.
Masalah ini telah dijelaskan Al-Qur’an dalam surah at-Taubah
secara rinci. Kesimpulannya, yang dapat mendorong manusia menuju
medan perang adalah keyakinannya tentang hari kebangkitan dan
kiamat serta hisab-hisab yang akan terjadi pada hari itu. Allah berkata:
Apabila mereka berkata, “Janganlah kamu pergi berperang di musim
panas”. Katakan kepada mereka: “Perkataan ini disebabkan oleh karena
kalian merupakan Hari Kiamat”. Orang yang merupakan panasnya api
Jahanam, pikirannya akan disibukkan dengan panasnya kemarau dunia.
p:315
Orang yang melupakan Hari Kiamat selalu berpikir akan kerusakan
tubuhnya. Akan tetapi, bagi yang selalu ingat pada hari kebangkitan,
perkataan semacam ini tidak mungkin terucap—“Katakan, neraka
Jahanam jauh lebih panas jika mereka memahaminya” (Q.S. at-Taubah: 81).
Kesimpulannya, burhanal-hikmah mengatakan bahwa alam adalah
perbuatan dari seorang yang bijak, dan perbuatan orang yang bijak tidak
mungkin tanpa tujuan. Dalam burhanal-Ghina dikatakan Allah tidak
membutuhkan sama sekali karena Allah adalah tujuan. Artinya, karena
Allah Maha Sempurna, maka tidak ada tujuan bagi diri-Nya, dan karena
kesempurnaan yang tanpa batas adalah sebagai tujuan, maka tidak ada tujuan
selain diri-Nya. Kesimpulannya, tidak ada tujuan bagi sang pelaku. Padahal,
dari sisi lain, tidak ada suatu perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan, dan
dari perbuatan tersebut, tujuan harus tercapai, sebab tidak pernah terbayang
adanya penghalang yang menghalangi gerakannya, baik dari dalam maupun
dari luar. Berarti kiamat harus ada. Oleh karena itu, Al-Qur’an berkata
tentang kiamat, “Tidak ada keraguan padanya”.
Berkaitan dengan peran ma’ad pada kehidupan dan pendidikan nafsu,
Al-Qur’an berkata: Karena mereka melupakan akhirat, maka mereka tidak
bersedia berkorban di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Sekiranya
mereka tidak melupakan akhirat, tentu mereka tidak akan pernah berucap
demikian itu. Setiap pengorbanan, harta maupun jiwa, adalah karena
ingatannya akan Hari Kiamat. Oleh karena itu, Al-Qur’an memuji mereka
yang berkorban. Ali Bin Abi Thalib berkata, “Telah pergi orang-orang yang
selalu ingat, dan tetaplah orang-orang yang lupa atau melupakan”.(1)
Telah pergi mereka orang-orang yang selalu ingat Allah dan Hari Kiamat, mereka
adalah para sahabat Rasulullah yang khusus. Sedangkan yang tetap tinggal
hanya orang-orang yang lupa atau melupakan kiamat atau mereka yang
tidak siap mengingat kiamat. Artinya kematian adalah awal pintu menuju
kiamat. Kematian adalah jembatan masuk alam akhirat.
Dipandang dari sisi filsafat, Al-Qur’an telah memberi nilai tersendiri
terhadap kiamat ini. Dari sisi akhlak, Al-Qur’an juga telah menjelaskan
peran aktif keyakinan Hari Kiamat ini. Ketika mengenalkan keagungan
masyarakat, Al-Qur’an mengatakan: Mereka telah mencapai kedudukan
tertentu oleh sebab mereka selalu mengingat kiamat. Kiamat adalah medan
perhitungan yang dapat menjaga manusia dari segala bentuk maksiat dan
dosa. Melupakan kiamat adalah penyebab terjadinya segala bentuk maksiat
dan dosa. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatakan: Mereka akan disiksa
p:316
dengan siksaan yang pedih “Karena mereka melupakan hari perhitungan”(Q.S.
Shad: 26). Nikmat yang paling agung adalah mengingat kiamat. Dalam
pertemuan sebelumnya telah disebut bahwa mengingat Allah tidak lepas
dari mengingat kiamat. Apabila seseorang mengingat Allah dengan baik
pasti akan mengingat ma‘ad.
p:317
p:318
p:319
p:320
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Al-Qur’an al-karim menjadikan Rasulullah Saw. sebagai suri teladan,
pemimpin, dan panutan pendidikan, serta pemberi petunjuk bagi manusia.
Setiap yang diucapkan oleh wahyu langit ada pada diri Rasulullah Saw..
Setiap perbuatan Rasulullah adalah manifestasi wahyu; beliau adalah jelmaan
wahyu. Manusia wajib mengikuti manusia sempurna agar mereka mampu
mencapai kesempurnaan yang terakhir. Batasan untuk mengikuti manusia
sempurna akan menjadi jelas ketika batas tersebut dipaparkan.
Allah Ta’ala telah mengibaratkan Rasulullah sebagai garis-garis
kesempurnaan secara universal. Setiap garis kesempurnaan ini dapat
dijadikan sebagai penghubung manusia dengan pribadi Rasulullah. Setiap
orang dapat mencapai kepribadian Rasulullah Saw. dari salah satu sisinya.
Dan setiap manusia yang mampu mencapai pada kepribadian Rasulullah
Saw. dari semua sisi, maka dia menjadi manusia paling sempurna di antara
yang lain. Di antara mereka ada yang menjadi persis seperti Rasulullah.
Dialah Amirul Mukminin Ali as. Sedang para imam lainnya kedudukan nya
ibarat ruh suci Rasulullah Saw. .
Dalam ayat mubahalah, kedudukan Amirul Mukminin disetarakan
dengan diri Rasulullah Saw. Tsiqatul Islam al-Kulaini ra dalam kitabnya
yang berharga, al-Kafi, menukil dari Imam Maksum: (Rasululalh Saw.
tidak pernah berbicara kepada seorang hamba dengan hakikat akalnya sama
sekali). Artinya, Khatamul Anbiya tidak pernah berbicara kepada seorang
pun dengan kedalaman pemikirannya, karena beliau diutus agar berbicara
sesuai kemampuan lawan bicaranya. Sebab apabila beliau berbicara kepada
orang lain berdasarkan kadar kemampuan akalnya, lawan bicaranya tidak
akan dapat memahaminya. Oleh karena itu, beliau tidak pernah berbicara
melainkan sesuai kadar kemampuan lawan bicaranya.
Pensyarah Ushul al-Kafi, seperti Sadrul Mutaallihin dan pensyarah
lainnya yang memperdalam ilmu-ilmu ini mengomentari ahlul bait a.s.
dengan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah mengajak bicara Ali
dan keluarganya dengan kedalaman akalnya, dan Amirul Muminin dapat
memahaminya juga”. Hal itu karena Ali memiliki kedudukan seperti diri
Rasulullah Saw. . Sebab beliau telah mengenali garis-garis kesempurnaan
p:321
dan mengikuti semua caranya, sehingga beliau mencapai peringkat di mana
terdapat kedudukan gurunya. Salah satu garis kesempurnaan Rasulullah
yang menonjol adalah (maqâm syahadat) saksi. Beliau adalah saksi bagi
umat, saksi bagi semua umat dan para nabi, bukan saja saksi bagi manusia
yang hidup bersamanya, atau semua umatnya hingga Hari Kiamat, bukan
saja sebagai saksi bagi umat terdahulu, akan tetapi beliau juga saksi bagi
semua nabi dan juga para wali Allah. Artinya, beliau adalah saksi bagi setiap
manusia, baik umatnya maupun para nabi.
Dengan izin Allah, semua berada di hadapan Rasulullah. Beliau
memiliki kemampuan untuk mengetahui semua perbuatan orang-orang
terdahulu maupun sekarang. Beliau juga memiliki kemampuan untuk
mengetahui semua perbuatan para nabi. Beliau adalah saksi bagi perbuatan
semua umat dan semua para nabi. Saksi bagi setiap perjalanan sejarah, yang
berlalu maupun yang akan datang. Saksi bagi setiap perbuatan manusia,
yang sudah dilakukan atau yang sedang dan yang akan dilakukan. Saksi bagi
semua akhlak (etika) yang dilakukan atau maksiat yang sedang dilakukan.
Saksi bagi semua keyakinan (akidah) yang ada pada umat terdahulu atau yang
akan diyakini oleh generasi akan datang. Artinya, semua yang terjadi pada
umat terdahulu dan akan datang berada di bawah kesaksian Rasulullah Saw.
, dan beliau pada Hari Kiamat berada di tengah-tengah mereka, “Katakanlah
bahwa orang-orang terdahulu dan yang akan datang, mereka akan dikumpulkan
pada Hari yang telah ditentukan” (Q.S. Al-Waqi’ah: 49—50). Belaiu sebagai
saksi bagi setiap manusia dan setiap kejadian. Rasulullah adalah satu-satunya
saksi dalam pengadilan Allah dan karena beliau mengetahui semua medan.
Al-Qur’an al-Karim menilai bahwa kedudukan tinggi ini merupakan
salah satu garis kesempurnaan Rasulullah yang paling menonjol. Ketika
manusia sempurna mencapai peringkat ini, tidak ada hijab antara dia dan
Tuhannya. Tidak ada hijab kegelapan (dulmani) atau hijab cahaya (nurani).
Tidak ada hijab baginya karena beliau telah mencapai peringkat syuhudi
(penyaksian). Semua masalah berada di bawah penglihatannya. Tidak ada
dosa baginya, bahkan dosa penglihatan wujud sekalipun, “Keberadaanmu
adalah sebuah dosa yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa lain”. Ketika
itu dia tidak melihat dirinya tertutupi oleh hijab ananiyah (tabir egoisme).
Perjalanan ini adalah sisi lain dari derajat tinggi yang ada di “Sidratul
Muntaha”. Hal itu dapat dicapai oleh orang yang bergerak mengikuti
jejak saksi yang mutlak ini dan melangkah di jalan ini sesuai kemampuan
penglihatannya sehingga dapat menikmati ilmu (terbukanya tabir).
p:322
Di beberapa tempat, Al-Qur’an telah memaparkan masalah ini, yaitu
bahwa Rasulullah adalah saksi bagi perbuatan manusia dan manusia berada
di hadapan Nabi. Pertama, Al-Qur’an memaparkan tentang pertanyaan,
dan bahwasanya kiamat adalah hari pertanyaan umum dan tidak seorang
pun bebas dari pertanyaan hari itu. Pada Hari Kiamat semua ditanya karena
kiamat sebagai tempat pertanyaan, “Maka Kami akan tanyakan kepada
mereka yang telah dikirim utusan kepada mereka dan kami akan bertanya
kepada para utusan”( Q.S. Al-A’raf: 6). Pada Hari Kiamat semua ditanya,
para nabi pun ditanya tentang pelaksanaan tugas risalahnya. Umat-umat
terdahulu ditanya. Apakah mereka mengikuti langkah-langkah para nabi
atau tidak. Sebab “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan
ditanya tentang kepemimpinannya”.(1)
Pada hari itu sebagian orang ada yang
menjawab dan ada yang meminta uzur serta sebagian lainnya tidak diberi
izin untuk meminta uzur—“Dan tidak diizinkan kepada mereka minta uzur
sehingga mereka dapat minta uzur”(Q.S. Al-Mursalat: 36). Rasulullah adalah
saksi bagi semua pada Hari kiamat, hari pertanyaan, dan pembuktian, hari
munculnya keputusan yang benar bagi orang yang tahu tugasnya, bagi yang
melaksanakan tugasnya atau yang tidak.
Dalam surah an-Nisa’, Allah mengenalkan Nabi-Nya sebagai syahid
(saksi) ketika berfirman, “Maka, bagaimanakah apabila Kami mendatangkan
seseorang saksi dari tiap tiap umat dan Kami mendatangkan kamu(Muhammad)
sebagai saksi atas mereka itu” (Q.S. an-Nisa’: 41). Bagaimana pada Hari itu
sebagai saksinya para saksi. Kamu adalah saksi tanpa perantara dan sekaligus
saksi dengan perantara. Kamu mengetahui apa yang dilakukan manusia dan
mengetahui pula apa yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu dan juga
mengetahui apa yang dilakukan oleh para nabi. “Maka, bagaimana apabila
Kami mendatangkan seseorang saksi dari setiap umat”, lalu mereka memberi
kesaksiannya terhadap berbagai kepu tusan umat, “Dan Kami mendatangkan
kamu sebagai saksi atas mereka”, dan Kami datangkan kamu sebagai saksi bagi
semua, saksi bagi para nabi, dan juga saksi bagi semua umat. Kamu akan
lakukan kesaksian itu dengan tetap menghormati para nabi atas tugas-tugas
penyampaian risalah dan amal-amal mereka. Kamu juga akan memberikan
kesaksianmu atas sikap semua umat terhadap risalah nabi-nabi mereka.
Dalam surah Al-Baqarah, Allah juga mengenalkan Rasulullah sebagai
saksi bagi semua, “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu, umat
yang adil agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul
menjadi saksi perbuatan kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Firman-Nya, “Kami
p:323
jadikan kamu umat yang adil”. Dalam ayat ini terdapat dua makna; pertama,
kesaksian kamu semua (umat Islam) atas manusia; kedua, kesaksian Rasulullah
atas kamu (umat Islam) atas manusia; karena orang mutawasith (orang yang
berada pada posisi tengah-tengah) dalam kesempurnaan, dan orang yang
berada dalam batas tengah dari tahap kesempurnaan adalah orang yang telah
meraih kelebihan yang tinggi, sehingga dia dapat memberi kesempurnaan
pada orang yang di bawahnya. Dan umat dapat dijadikan sebagai saksi atas
yang lain ketika umat tersebut memiliki kelebihan eksistensinya. Apabila
keberadaannya tidak lebih tinggi daripada yang lain, pada Hari Kiamat
nanti umat tersebut tidak dapat menjadi saksi atas perbuatan orang lain.
Apabila keberadaannya lebih mulia daripada yang lain, umat tersebut dapat
menjadi saksi atas akidah, akhlak, dan perbuatan umat lainnya. Oleh karena
dapat menyaksikan perbuatan, akhlak, dan akidah mereka di dunia, maka
pada Hari Kiamat pun dapat menjadi saksi atas mereka. Yang dimaksud
umat Islam sebagai “ummatan wasathan” bukan sebagai penengah antara
ekstrem kanan dan ekstrem kiri, melainkan sebagai penengah antara rendah
dan tinggi, antara mulia dan hina.
Kesimpulannya, umat yang terhormat adalah umat yang memiliki
kelebihan atas perbuatan umat yang lain. Yang dimaksud saksi adalah orang
yang mengetahui akhlak dan akidah serta perbuatan orang lain di dunia.
Kesaksian orang yang demikian ini, pada Hari Kiamat akan terjadi karena
dia melihat. Dan ini merupakan bagian dari peringkat kesempur naan ilmu.
Sedangkan kesaksian atas perbuatan adalah kesaksian dengan bentuk ilmu
khusus, yaitu ilmu huduri (ilmu huduri adalah ilmu yang didapat bukan
dari rangkaian gambaran dan kalimat melainkan kesaksian atau kehadiran
sebab makna). Berbeda dengan ilmu husuli yang jauh berbeda dengan
kesaksian-kesaksian di pengadilan dunia yang merupakan bagian dari ilmu
hissi (empiris) dan ilmu “husuli” (ilmu husuli adalah ilmu yang didapat dari
pemahaman kiamat atau penyaksian indriawi). Sesuatu yang dilihat manusia
dengan indranya atau bersifat indriawi, kemampuan itu tidak lebih dari
batas jendela ilmu husuli.
Apabila hasil pengetahuan tersebut berdasarkan kesaksian atau
musyahadah (dalam irfan, istilah musyhadah dan huduri adalah dua kalimat
yang maknanya sama), maka itu adalah hasil proses pemikiran dan analisis
rasional, sehingga hasilnya tidak berbentuk indriawi sekalipun asal muasalnya
bersifat indriawi. Sesuatu yang dipahami orang dengan cara indriawi adalah
tidak lebih hanya beberapa perbendaharaan ilmu yang dalam otak. Sedangkan
tashdiq bukan hasil indriawi akan tetap hasil dari keputusan akal. Berarti
p:324
keputusan tersebut sebagai ilmu hushuli , seperti halnya perbendaharan ilmu
dan gambaran-gambaran yang ada pada otak yang dihasilkan dari indra juga
disebut ilmu hushuli. Batas ilmu hushuli adalah tindakan hasil (tashawur)
gambaran yang ada dalam otak dan berisfat lahir. Tidak seorangpun dengan
menggunakan ilmu hushuli-nya dapat mengetahui apa yang ada dalam
diri seseorang. Mata, telinga, dan pikiran yang bersifat lahiriah tidak dapat
melihat rahasia-rahasia dalam. Sedangkan mengetahui batin orang lain
dengan cara perhitungan akal adalah sesuatu yang sulit atau bahkan mustahil.
Kesaksian mereka bukan hanya pada perbuatan akan tetapi juga akidah dan
akhlak. Ruhnya amal adalah akhlak dan ruhnya akhlak adalah akidah yang
merupakan sumber munculnya akhlak itu sendiri. Akhlak adalah suatu
hamparan luas yang membentuk perbuatan-perbuatan. Sedangkan akidah
adalah ilmu yang menyatu dengan ruh. Akidah bukan sesuatu yang bersifat
hushuli atau sebuah makna melainkan wujudun kharijun khash (eksistensi
luar yang bersifat (gambar) atau mafhum (makna). Akhlak seseorang yang
merupakan rangkaian hakikat luar tidak dapat dipahami dengan ilmu
hushuli. Sungguh seseorang tidak akan dapat mengetahui akidah orang lain
yang merupakan eksistensi khusus dan berkaitan dengan ruh mereka—
dengan menggunakan ilmu husuli. Lalu kapan manusia dapat mengetahui
akhlak dan akidah orang lain serta menyaksikan dan memberi kesaksiannya
pada Hari Kiamat nanti?
Kapan seseorang menemukan jalan menerobos batinnya orang lain
dan mengetahui akidah-akidah mereka? Kapan mampu mengetahui ruh-ruh
orang lain dan menghadirkan di hadapan dirinya? Kesimpulannya, kapan
manusia meraih ilmu gaib? Semua hal tersebut adalah masalah ilmu gaib dan
tidak seorangpun mampu menerobosnya melalui pemikiran dan ilmu husuli.
Hal itu karena masalah-masalah tersebut merupakan asal (matan) keberadaan
luar, dan dia gaib dari pandangan lahiriah manusia. Kapan manusia mampu
mengintip jiwa orang lain dan mengetahui akhlak dan kepercayaan batin
mereka? Sesungguhnya hal itu dapat dicapai ketika jiwa seseorang dapat
menikmati keleluasaan keberadaan dan berada dalam jalur dari keberadaan
orang lain. Ruh dan hatinya berada dalam tingkatan lebih tinggi dari ruh
dan hati mereka, hingga mampu men jadikan ruh dan hati mereka tersebut
di bawah kekuasaan keberadaannya dan hadir di hadapannya. Kala itu dia
menjadi saksi atas mereka. Kesak sian tidak sesuai dengan kegaiban. Ilmu
tidak sesuai dengan kegaiban karena ilmu bersifat lahir (nyata) dan tidak ada
hubungannya dengan kegaiban sama sekali. Yang dimaksud dengan ilmu
gaib adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain dan bukan untuk
p:325
orang yang tahu, sekalipun gaib bagi orang lain namun tidak gaib bagi orang
yang tahu. Berdasarkan pemikiran ini, maka manusia akan menjadi saksi
ketika keberadaannya berada dalam posisi yang lebih tinggi dari keberadaan
yang lain. Ruhnya lebih tinggi dari ruh yang lain, mampu menghadirkan ruh
mereka sehingga dapat mengetahui batin dan hati serta hati kecil mereka.
Inilah yang dimaksud dengan syahdah (kesaksian). Dan apa yang difirmankan
Allah untuk Rasul-Nya sebagai kesaksian secara umum, atau firman-Nya,
“Dan begitu juga Kami jadikan Kamu umat yang adil agar menjadi saksi-saksi
atas manusia” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Artinya, dari sisi keberadaan, kamu
mencapai peringkat keberadaan ilmu, sehingga kamu mampu mengetahui
ruh, akidah, akhlak, dan perbuatan-perbuatan orang lain. Ketika itu Rasul
menjadi saksi atas kamu semua—“Dan Rasul sebagai saksi atas kamu semua”
(Q.S. Al-Baqarah: 143). Rasulullah mengetahui dan menyaksikan kalian,
dan kalian saksi atas orang lain. Apabila Rasulullah sebagai saksi atas umat,
dan umat sebagai saksi atas orang lain, maka berarti Rasulullah adalah saksi
atas orang lain. Ini adalah argumentasi bentuk analogi (qiyas al-musawat)
yang mukadimah luarnya merupakan premis yang benar, sebab saksinya
saksi adalah saksi (syahidus syahidi syahidun) tetapi dalam ilmu husuli
(Syahidus Syahidi Laisa Syahidan) saksinya saksi bukan saksi. Sebagai contoh,
seseorang melihat kejadian dan diingat dalam otaknya lalu dalam pengadilan
ia memberi kesaksian. Orang lain menyaksikan kesaksian tersebut namun
dia tidak dapat menjadi saksi atas kejadian tersebut. Dia menyaksikan atas
kesaksian saksi akan tetapi dia bukan saksi atas kejadiannya.
Adapun dalam ilmu hudhuri, seorang saksi atas orang yang menyaksikan
kejadian dapat menjadi saksi atas kejadian tersebut. Artinya, apabila seseorang
dijadikan sebagai penengah dan hadir dalam kejadian, dan mengetahui
keberadaan hal tersebut, maka orang yang lebih tinggi keberadaannya dapat
menjadi saksi atas orang tersebut, juga saksi akar kejadiannya. Sebab dia
mengetahui saksi dan yang disaksikan oleh saksi. Artinya, dia saksi atas orang
tersebut dan juga saksi atas kejadiannya juga. Oleh karena itu, Rasulullah
sebagai saksi atas umat dan juga saksi atas para nabi. Beliau mengetahui apa
yang sudah dilakukan manusia dan apa yang akan mereka lakukan. Beliau
juga mengetahui apa yang sudah dilakukan para nabi dan apa yang mereka
ucapkan. Inilah makna umatan wasathan sesuai dengan ayat-ayat lain. Ada
penjelasan lain tentang umatan wasthan dengan makna yang sangat dalam
dan makna itu juga benar.
Seperti yang dikatakan Allamah Thaba-thabai ra: Pengambilan makna
ayat tersebut seperti itu, sungguh sangat sulit dan tidak sesuai dengan ayat Para
p:326
ayat lain yang membahas kesaksian “Dan Kami jadikan kamu umat yang
adil agar kamu menjadi saksi atas manusia” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Beliau
berkomentar: “Yang dimaksud bahwa kamu sebagai saksi atas manusia
adalah bahwa agama ini memiliki kekuatan untuk mendidik para saksi.
Agama mampu mendidik setiap individu untuk dapat mengetahui orang lain
dan menghadirkan apa yang ada dalam hati kecil mereka; mendidik setiap
individu untuk menjadi saksi-saksi di dunia dan juga di akhirat. Tidak berarti
setiap individu dari umat ini mampu mencapai maqâm tersebut. Sama sekali
tidak. Pada hakikatnya hal tersebut merupakan sifat kesempurnaan bagi
agama. Tidak setiap yang beragama mampu mencapai maqâm yang tinggi ini.
Sebab, kadang-kadang kita temukan seseorang tidak memiliki nilai agama
selamanya saja, ada kalanya kita temukan seorang Muslim mengkritik agama
dan mazhabnya, baik secara jasmani atau ruhani. Dan apa yang difirmankan,
“Dan begitu juga Kami jadikan kamu umat yang adil”. Artinya, agama kamu
adalah agama yang mendidik manusia menjadi para saksi. Dan ketika Allah
berbicara tentang Bani Israil, “Dan Kami muliakan mereka atas seluruh alam”
(Q.S. Al-Jatsiyah: 16). Artinya, bukan berarti setiap Bani Israel memiliki
kelebihan atas seluruh alam. Akan tetapi, agama yang diberikan kepada Bani
Israil melalui Nabi Musa as adalah agama yang dapat mendidik orang-orang
menjadi mulia, sehingga memiliki kelebihan, ketinggian, kesempurnaan
derajat, dan lebih utama dari yang lain—“Dan Kami muliakan mereka atas
seluruh alam”. Artinya, agama ini dapat membina kemuliaan dan membuat
manusia menjadi mulia. Berdasarkan agama ini, dengan mengikuti orang-orang
yang jujur, mereka dapat menikmati kemuliaan maknawi.
Dalam ayat ini, Thabathaba’i juga berkomentar: Pengikut-pengikut
Islam adalah saksi atas perbuatan manusia. Para imam adalah saksi atas
perbuatan manusia. Apa yang dilakukan oleh orang lain diketahui oleh
para imam maksum. Apa yang dilakukan orang sekarang ini, diketahui oleh
para wali Allah yang agung, yaitu Imam Zaman (Al-Mahdi)—jiwaku dan
jiwa seluruh alam semesta dikorbankan untuknya. Beliau adalah contoh
manusia sempurna. Beliau adalah simbol penciptaan. Beliau menyaksikan
ruh-ruh manusia. Beliau adalah saksi atas kalbu setiap insan. Beliau adalah
jelmaan kesempurnaan dari “Agar kamu menjadi saksi atas manusia” (Q.S.
Al-Baqarah: 143). Begitu juga Rasulullah saksi bagi mereka—“Dan Rasul
saksi atas kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Ketika itu manusia menjadi saksi
atas yang lain di bawah pengawasan Nabi. Manusia mengetahui apa yang
dilakukan orang lain, dan juga sadar bahwa Rasulullah menyaksikan dirinya.
Manusia tersebut menjadi pengawas dan semua perbuatan manusia di bawah
p:327
pengawasan Rasulullah. Melihat apa yang dilakukan orang lain dan berada
di bawah kekuasan dan di hadapan nabi.
Agama ini mendidik manusia menuju derajat yang lebih tinggi. Apabila
manusia hendak mencapai tujuan tersebut, apakah dia mengizinkan dirinya
melakukan perbuatan yang bertentangan dan berbuat dosa? Dalam beberapa
riwayat yang ada pada kita, dijelaskan bahwa ketika seseorang melakukan
perbuatan dosa, dia tidak lagi menjadi Mukmin sama sekali. Dan orang yang
disibukkan oleh perbuatan dosa, pada saat itu dia bukan seorang mukmin.
Oleh karena itu, iman senantiasa mengiringi kesaksian dan kehadiran.
Apakah mungkin seseorang berada di hadapan Rasulullah dapat melakukan
perbuatan dosa sedangkan dia sadar bahwa dirinya adalah seorang mukmin?
Mungkinkah seseorang ketika mencapai peringkat di mana dia dapat
menyaksikan perbuatan orang lain lalu mengulurkan tangannya pada kotoran
dan merendam kakinya dalam kehinaan? “Dan Rasul sebagai saksi atas kamu”.
Al-Qur’an al-Karim mengenalkan Isa a.s. sebagai saksi umat, “Aku tidak
berkata kepada mereka kecuali yang Kamu perintahkan kepadaku” (Q.S. Al-
Maidah: 117). Aku tidak berkata sesuatu kepada manusia kecuali yang telah
Kamu perintahkan kepadaku. Telah kupenuhi penyampaian risalah, dan aku
tidak berkata selain yang diwahyukan kepadaku. Aku tidak berkata sesuatu di
luar wahyu, “Aku tidak berkata kepada mereka kecuali yang Kamu perintahkan
kepadaku hendaknya mereka menyembah Allah Tuhanku” (Q.S. Al-Maidah:
117). Aku katakan kepada mereka: “Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan
kalian semua”. Setiap yang diperintahkan kepadaku adalah risalah tauhid.
Setiap yang aku sampaikan adalah dakwah tauhid—“Hendaknya mereka
menyembah Allah Tuhanku dan Tuhan kamu dan aku sebagai saksi selama
aku berada bersama mereka” (Q.S. Al-Maidah: 117). Selama aku berada di
tengah umat, akulah sebagai saksi atas perbuatan mereka—“Ketika Kamu
matikan aku” (Q.S. Al-Maidah: 117). Ketika kamu ambil aku dan kamu
matikan, “Kamulah sebagai pengawas atas mereka” (Q.S. Al-Maidah: 117).
Kamulah sebagai pengawas mereka, begitu juga sebelumnya, karena Allah
adalah pengawas yang abadi, “Sesungguhnya Tuhanmu adalah pengawas”
(Q.S. Al-Fajr: 14). Dia selamanya adalah pegawas dan pengamat karena Dia
“Dan Kamu saksi atas segala sesuatu” (Q.S. Al-Maidah: 117). Aku adalah
saksi mereka selama kamu berada di antara mereka. Aku mengetahui iman
dan kekafiran mereka. Aku mengetahui batin mereka dan saksi atas akidah,
akhlak, dan amal mereka, sedangkan sekarang hanya Kamulah satu-satunya
pengawas mereka karena Kamu “saksi atas segala sesuatu”.
Isa a.s. adalah saksi; saksi atas perbuatan manusia dan saksi atas akhlak
p:328
dan akidah umatnya. Sedangkan Rasulullah juga sebagai saksinya, karena
sesuai dengan ayat ini “Maka bagaimana apabila Kami datangkan dari masing-masing
umat seorang saksi dan Kami datangkan kamu saksi atas mereka” (Q.S.
an-Nisa’: 41). Kamu adalah saksi atas mereka, bukan saja saksi atas umatmu
dan umat-umat lainnya, akan tetapi kamu juga saksi para nabi. Kelak pada
Hari Kiamat, pada Hari pengadilan Ilahi mereka datang dengan saksi-saksi.
Al-Qur’an menyebut mereka sebagai para saksi—“Dan pada Hari Kami
mengutus dari masing-masing umat seorang saksi” (Q.S. an-Nahl: 84). Pada Hari
Kiamat mereka harus melakukan kesaksian. Seorang saksi dalam kesaksiannya
harus melalui dua peringkat: pertama, saksi ketika kejadian terjadi; kedua,
ketika pelaksanaan kesaksian. Seorang saksi memi liki dua kedudukan:
pertama, menahan (tahammul); kedua, melaksana kan(kesaksiannya).
Dalam berbagai kesaksian yang bersifat husuli, seorang saksi ketika berada
dalam mahkamah biasa atau syar’i akan memberikan kesaksiannya dengan
pengetahan husuli-nya, dengan syarat ketika kejadian terjadi dia hadir, dia
melihat kejadian tersebut dengan indranya. Apa yang dikatakan Rasulullah,
“Ketahuilah, seperti ini maka berikan kesaksianmu atau tinggalkan”,(1)
Artinya, apabila kamu menyaksikan kejadian di saat terjadi, seperti halnya
kamu melihat matahari maka jadilah kamu sebagai saksi di mahkamah.
Apabila seseorang tidak hadir dalam kejadian dan tidak menanggung
apa-apa, maka dia tidak punya hak untuk melaksanakan kesaksiannya.
Ketika dia hadir ke mahkamah, maka dia akan memberikan kesaksian
sesuai apa yang disaksikan dan yang diketahui, menjelaskannya di hadapan
sang hakim. Dengan cara ini berarti dia telah melakukan kesaksian, dan
kehadirannya adalah tanggungan untuk memberi kesaksian. Apakah di
mahkamah Hari Kiamat persoalannya seperti ini, yang hanya dilakukan
berdasarkan masalah ilmu husuli dan kesaksian indriawi, ataukah kesaksian
kelak dilakukan berdasarkan kesaksian mati, sehingga tangan, kaki, dan
anggota badan manusia dapat memberi kesaksian kepada anggota yang lain.
Tempat kejadian adalah saksi dan berhak memberi kesaksian, apa saja yang
ada pada kejadian dapat memberi kesaksiannya. Apakah mahkamah Hari
Kiamat seperti ini sehingga Allah meminta kesaksian, kemudian sebagian
lain memberikan kesaksiannya dengan kesaksian tashawur dan tashdiq dan
penjelasannya? Ataukah kesaksian Hari Kiamat adalah kesaksian huduri.
Dan pada hari itu Allah menghadirkan para nabi dan para saksi lain, “Dan
terang benderanglah bumi dengan cahaya Tuhannya, dan diberikan buku,
didatangkanlah para nabi dan saki-saksi dan diberi keputusan di antara mereka
dengan adil, sedangkan mereka tidak dirugikan”(Q.S. Az-Zumar. 69).
p:329
Hari itu adalah hari di mana bumi gelap gulita, tidak ada suatu
bintangpun yang memancarkan cahaya. Bintang dan bermacam planet
telah digulung, bumi dan langit telah diubah. Bumi hanya bercahaya
dengan cahaya Tuhannya, buku catatan amal orang-orang terdahulu dan
sekarang diberikan. Para nabi dan para saksi dihadirkan untuk menyaksikan
keputusan yang benar. Kesaksian bagaimana yang dipaparkan pada Hari
itu? hari itu adalah hari ”Lisan-lisan mereka memberi kesaksian” (Q.S. an-
Nur: 24). Lisan-lisan memberi kesaksian padahal semua mulut pada hari
itu tertutup—“Hari ini kami menutup lisan-lisan mereka, dan tangan-tangan
mereka berbicara kepada Kami dan kaki-kaki mereka memberikan kesaksian”
(Q.S.Yasin: 65).
Pada tempat yang lain dikatakan: lisan bersaksi karena lisan bukanlah
mulut. Hari ini di mana lisan-lisan memberi kesaksiannya padahal semua
mulut tertutup(terkunci). Hari itu adalah hari di mana tangan dan kaki
memberikan kesaksiannya. Hari itu adalah hari di mana manusia memprotes
tangan dan kakinya; mengapa kalian memberi kesaksian atas kami? Mereka
berkata kepada kulit-kulit mereka, “Mengapa kamu memberikan kesaksian
terhadap kami” (Q.S. Fushshilat: 21). Kulit-kulit tersebut menjawab, “Allahlah
yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami
pandai berkata” (Q.S. Fushshilat: 21). Apakah kesaksian pada Hari itu
adalah kesaksian husuli dengan proses tashawur dan tashdiq, sehingga dapat
disebut memberi kesaksian tashwur sekaligus tashdiq, ataukah kesaksian
tersebut kesaksian huduri? Di sana terdapat kejelasan, semua amal nampak
dan hadir. Semua kejadian diulang kembali sehingga pada hari itu semua
orang memahami seperti yang terjadi di dunia dan tidak seorangpun dapat
mengingkarinya. Pada Hari itu Allah mengenalkan Rasul-Nya sebagai
saksi bagi orang-orang terdahulu dan yang terkemudian. Inilah garis
kesempurnaan Rasulullah yang paling menonjol. Beliau mencapai tingkat di
mana seluruh amal orang-orang terdahulu dan orang-orang sekarang berada
di bawah pantauannya.
p:330
p:331
p:332
Dengan nama AllahYang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kita kepada jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya
kalau Allah tidak memerikis petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kapada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad dan keluarganya yang suci.
Al-Qur’an al-Karim menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan
dan dan panutan dalam upaya mendidik manusia pada jalan yang benar.
Al-Qur’an telah menjelaskan garis-garis kesempurnaan sang pemimpin
serta menjelaskan cara untuk mencapai kesempurnaan ketika meng ikutinya.
Al-Qur’an mengenalkan kepada para pencari jalan ini, menjelaskan
kepada mereka hasil yang akan diraih oleh yang mengikutinya, dan juga
berbicara tentang bahaya yang mengancam orang yang menolaknya. Garis
kesempurnaan yang paling menonjol bagi Rasulullah adalah kesaksiannya.
Yaitu, menyaksikan kaidah, akhlak, dan amal-amal manusia. Artinya,
Rasulullah telah mencapai sebuah maqâm di mana dengan izin Allah beliau
dapat melihat semua akidah, akhlak dan seluruh amal manusia, serta saksi
bagi perbuatan mereka pada Hari Kiamat. Orang yang mengikuti langkah
seorang saksi, dan akan menjadi saksi yang sama. Hal itu seperti orang yang
mengikuti langkah orang yang dicintai orang lain (al-mahbub), dia akan
dikasihi orang lain.
Apabila Allah telah mengenalkan Rasul-Nya sebagai kekasih-Nya
karena Allah telah menjadikan jalan kekasih-Nya sebagai jalan orang yang
disayangi-Nya, artinya Allah adalah kekasih dan mengikuti sang kekasih
membuat manusia dicintai. “Katakan, apabila kamu mencintai Allah, maka
ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kamu” (Q.S.Ali ‘Imran: 31). Apabila
kamu mencintai Allah ikutilah Rasul-Nya agar kamu menjadi kekasih Allah,
karena jalan Allah adalah jalan kecintaan, dan manusia yang mengikuti jalan
cinta pasti akan dicintai.
Apabila Allah mengenalkan Rasul-Nya sebagai saksi untuk semua,
seperti dalam firman-Nya, “Dan bagaimana apabila Kami datangkan dari
tiap-tiap umat seorang saksi dan Kami datangkan saksi atas mereka” (Q.S. an-
Nisa’: 41), bagaimana keadaan hari itu di mana seluruh nabi dan umat hadir
di dalamnya dan Kami hadirkan tiap-tiap umat seorang saksi dan kamu
(Muhammad) sebagai saksi untuk semua—“Dan begitu juga Kami jadikan
kamu umat yang adil agar kamu menjadi saksi-saksi atas manusia dan Rasul
menjadi saksi atas kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Artinya, umat ini adalah
saksi atas amal-amal umat lain sedangkan Rasulullah menjadi saksi terhadap
p:333
semua saksi. Dengan demikian, jalur yang dilalui Rasulullah adalah jalan
kesaksian. Dalam pembahasan sebelumnya kami telah menjelaskan garisgaris
universal tentang kesaksian ini.
Saksi adalah orang yang mendapat penghormatan untuk mengetahui
jiwa orang lain, akidah, akhlak, dan amal-amal mereka pada Hari Kiamat
dengan izin Allah. Kelak dia akan hadir untuk melakukan kesaksiannya.
Apabila Allah telah mengenalkan Rasul-nya sebagai suri teladan, berarti
umat ini punya tugas untuk mengikuti nabinya.
Yang paling menonjol garis seorang teladan ini adalah kesaksiannya.
Artinya, Rasulullah Saw. mencapai pada derajat di mana beliau mampu
melihat dalam dan luarnya jiwa manusia. Berarti, dengan mengikuti
nabinya, umat akan mampu mencapai derajat di mana dengan
izin Allah mampu melihat batin dan lahirnya orang atau umat lain. Maqâm
ini adalah maqâm yang dinanti-nantikan seluruh umat Rasulullah Saw. .
Islam mampu mendidik setiap individu untuk mencapai peringkat di mana
mereka mampu mengetahui batin dan lahirnya orang lain. Ruh mereka
telah terbuka sampai pada derajat yang tidak ada sesuatu apa pun dapat
menghalangi mereka, sebab:
Tidak ada tabir tidak ada hijab bagi keindahan sang kekasih,
Akan tetapi tebalnya debu jalanan menghalangi penglihatan
Apabila ruh manusia tidak gelap, berarti terang. Apabila ruh manusia
terang, maka dia dapat melihat ke dalam batin orang lain, sedangkan yang
menghalangi manusia kepada kesempurnaan adalah kegelapan tersebut.
Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin as, “Sungguh aku tidak dapat
melakukan salat malam”. Amirul Mukminin berkata, “Sesungguhnya kamu
adalah orang yang telah terikat dengan dosa-dosamu dan kamu bukanlah
orang yang merdeka”.(1)
Dosa di siang hari adalah hijab yang gelap di malam
hari. Orang yang telah tecemar dengan berbagai dosa di siang harinya, dia
tidak akan berhasil melakukan salat malam. Ibn Babawaih al-Qummi ra,
dalam kitabnya yang berharga, at-Tauhid, menukil dari Imam kedelapan:
mengapa Allah terhijab, Imam Ali Ridha menjawab: Banyakanya dosa
menghalangi penglihatan batin.(2)
Orang yang batinnya bersih, ruhnya tidak
ternoda, maka dia dapat meraih kesaksian dan dia akan menjadi saksi serta
kelak pada Hari Kiamat dibangkitkan bersama para nabi “Dan didatangkan
dengan para nabi dan para syahid” (Q.S. Az-Zumar; 65). Pada Hari Kiamat,
dia akan bertemu para syahid di hadapan Allah.
p:334
Syahid dalam pembahasan di sini bukan orang yang terbunuh dalam
medan perang, itu adalah syahid fiqhi (dalam bidang ilmu fiqih), ini juga
merupakan salah satu peringkat kesempurnaan dan suatu keutamaan manusia
yang terbaik. Sebuah riwayat dinukil dari Rasulullah Saw. dalam sabdanya
mengatakan, “Tahap kesempurnaan dapat dicapai manusia satu demi satu
hingga dia terbunuh di jalan Allah, setelah itu tidak ada lagi kesempurnaan”.
Adapun makna lain adalah bahwa manusia dengan mengikut jalan syahadah
dan jalan hudhur dia dapat mencapai derajat di mana dia dapat melihat
batinnya orang lain. “Hati-hatilah dengan firasatnya orang Mukmin karena
sesungguhnya orang Mukmin melihat dengan cahaya Allah”.
Apabila manusia sempurna melihat dengan cahaya Allah, dan cahaya
Allah menerangi setiap tempat, sesuai potensi eksistensinya, orang tersebut
dapat mengetahui setiap tempat. Sedangkan masalah kesaksian pada
akidah, akhlak, dan amal orang lain, bahwa manusia dilihat dari ketinggian
eksistensinya hingga lebih mulia dari keberadaan orang lain dan menguasai
jiwa-jiwa mereka. Artinya, secara eksistensial dia memiliki kekuasaan dan
mengetahui apa yang lewat dalam jiwa dan hati mereka. Sebab masalah
utama adalah pembenahan hati, sedangkan Allah meladeni orang karena
hatinya. Seorang saksi harus mengenal apa yang lewat dalam hati orang
lain hingga kelak pada Hari Kiamat dapat melakukan kesaksiannya atas
apa yang pernah terjadi dalam hati mereka. Seorang saksi harus mengetahui
apa yang ada pada jiwa orang lain sehingga pada Hari Kiamat dia dapat
memberi kesaksiannya atas apa yang terjadi dalam jiwa mereka. Seperti yang
dikatakan Allah bahwa hati adalah ukuran kebaikan dan kerusakan. Maka
yang menjadi ukuran adalah kedudukan hatinya dan itu tidak diragukan.
Dalam surah Al-Baqarah Allah berfimran: “Állah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud untuk ber sumpah, akan tetapi
Allah menghukum kamu sebab sumpahmu yang dise ngaja dalam hatimu”
(Q.S. Al-Baqarah: 225). Hal itu karena apa yang ada pada hati kamu adalah
bekal yang harus dihukum. Berarti ukuran dosa dan tidaknya sebuah amal
adalah niatnya, dan semua amal akan dihisab berdasarkan niatnya. Berkaitan
dengan penyembunyian kesakaian berda sarkan ilmu husuli, Allah berfirman,
“Barang siapa menyembunyikannya maka sesungguhnya hatinya berdosa” (Q.S.
Al-Baqarah: 283).
Orang yang tahu persoalan dan tidak hadir dalam pengadilan Islam
untuk memberi kesaksian, maka hatinya telah berdosa dan disebut sebagai
pendosa. Hati-lah yang bermaksiat, sedangkan anggota tubuh hanyalah
sekadar alat. Ruh manusialah yang melakukan dosa sedangkan tangan dan
p:335
kaki adalah alat bagi ruh. Pendosa yang hakiki adalah hakikat manusianya,
sedangkan anggota tubuh hanya sebagai alat untuk berbuat. Oleh karena itu,
pada Hari Kiamat ketika anggota tubuh berbicara, pembicaraan itu disebut
sebagai kesaksian, dan anggota tubuh disebut sebagai saksi. Pada waktu
itu manusia berkata kepada anggota tubuh dan kulitnya, “Mengapa kamu
bersaksi atas kami” (Q.S. Fushshilat: 21). Maka, diketahui bahwa hakikat
manusialah yang pendosa, sedangkan tangan dan kaki bukankah hakikat
manusia. Seandainya tangan yang berdosa lalu pada hati itu berbicara,
maka pembicaraan itu disebut pengakuan bukan kesaksian. Perbedaan
antara pengakuan dan kesaksian adalah apabila seorang tertuduh berbicara
menerima kejadian secara benar maka hal itu disebut pengakuan, tetapi
apabila orang lain yang menjelaskan kejadian itu, maka hal itu disebut
kesaksian. Tangan dan kaki bukan mengakui kesalahan melainkan melakukan
kesaksian. Dengan demikian bahwa yang berdosa dan yang bertanggung
jawab adalah yang lain. Jiwalah yang berdosa, hatilah yang berdosa, ruhlah
yang bermaksiat, bukan anggota tubuh—“Barang siapa menyembunyikan
kesaksiannya, maka berdosalah hatinya” (Q.S. Al-Baqarah: 225). Ruh
manusialah yang bermaksiat, sedangkan tangan dan kaki hanya sekadar alat
untuk berbuat. Alat-alat ini pada Hari Kiamat memberi kesaksian terhadap
tertuduh sedangkan ruhlah yang mengakuinya—“Mereka mengakui dosa-dosa
mereka, maka celakalah bagi penduduk neraka” (Q.S. Al-Mulk: 11).
Meskipun dalam sebagian riwayat disebutkan ruh yang memberi saksi
atas mereka, yang dimaksud dengan kesaksian ruh adalah kesakaian huduri.
Ruh itu datang dengan bentuk saksi, seperti “Saksi-saksi atas jiwa mereka
masing-masing dengan kekafirannya” (Q.S. at-Taubah: 17). Sesuai ungkapan
para ahli filsafat Ilahiyah: Apabila di akhirat kelak jiwa manusia datang
dengan jiwa orang lain dalam bentuk lain, misalnya bentuk binatang, maka
itu adalah sebuah kesaksian. Pembahasan ini membutuhkan kajian khusus.
Apabila ukuran kehancuran manusia ter simpan dalam jiwanya (ruhnya).
Apabila Imam Ali a.s. dan Nabi Saw. sebagai saksi atas kejadian, apabila
nabi pada Hari Kiamat sebagai saksi peradilan, berarti di dunia mereka
adalah orang-orang yang menyaksikan batin-batin orang lain, dan mampu
menghadirkan jiwa mereka. Apapun yang terjadi pada setiap ruh manusia,
maka Imam Zaman menyaksikan nya. Setiap apa pun yang ada dalam benak
seseorang, maka pasti Allah melihatnya, dan itu adalah bentuk dari kesaksian
amal—“Dan katakan: berbuatlah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang beriman akan menyaksikan amal kamu” (Q.S. at-Taubah: 105).
p:336
Para imam dan orang-orang Mukmin yang suci dan ikhlas, yang
mereka telah mencapai jalan kesaksian amal, mereka pun mengetahui pula
amal-amal orang lain sesuai kesucian batin mereka masing-masing. Manusia
hendaknya mencapai derajat di mana dia dapat menyaksikan batin, atau
paling tidak mencapai batas di mana dia dapat menyaksikan kehadiran
orang yang dapat melihat batin, atau dia harus mencapai pada maqâm di
mana bukan saja melihat dirinya sendiri tapi juga jiwa dan batin orang lain.
Dengan demikian, dia berhak menjadi seorang saksi. Atau paling tidak
menjadi orang yang berada pada jalan kesaksian hingga mampu melihat
dirinya kalau dirinya berada di hadapan para saksi. Mampu melihat riya
berada di hadapan Imam Zaman, menyaksikan semua keadaan, gerakan,
akhlak, dan akidahnya sendiri di hadapan wali Allah. Saksi adalah orang
yang mengetahui pusat kerusakan atau kebaikan amal, yaitu hati. Orang
dapat mencapai tingkatan ini, yaitu orang yang berada dalam kekuasaan
perubahan hati. Sehingga, ketika ruhnya mampu menguasai ruh orang lain,
maka hati mereka berada di hadapannya. Rasulullah Saw. dan para imam
maksum adalah orang-orang yang telah mencapai tingkatan ini. Begitu juga
Isa al-Masih a.s. seperti yang telah dijelaskan sebagian dalam pertemuan
sebelumnya.
Berkenaan dengan Isa al-Masih as, Allah berkata: Isa al-Masih kelak
pada Hari Kiamat sebagai saksi atas orang lain, “Tidak ada seorangpun dari
Ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya, dan
pada Hari Kiamat Isa akan menjadi saksi terhadap mereka” (Q.S. An-Nisa’:
159). Isa al-Masih a.s. pada Hari Kiamat menjadi saksi atas perbuatan
umatnya. Apa yang ada di dalam jiwa pengikutnya, Isa a.s. mengetahuinya,
apa yang ada semenjak pengikut Isa ada, maka Isa al-Masih mengetahuinya.
Isa a.s. melihat keyakinan-keyakinan para pendeta dan akhlak orang-orang
Nasrani serta perbuatan mereka. Dikatakan: Isa pada Hari Kiamat adalah
saksi terhadap mereka. Dan orang yang tidak melihat kejadian maka
pada Hari Kiamat tidak akan dapat melakukan kesaksiannya. Kesaksian
akan menjadi jelas ketika memiliki peringkat pengetahuan dan peringkat
pelaksanaan. Sekiranya Ruhullah Isa tidak melihat saat perbuatan dilakukan,
lalu bagaimana beliau dapat memberikan kesaksiannya di pengadilan
Ilahi?—“Dan pada Hari Kiamat dia menjadi saksi terhadap mereka” (Q.S. an-
Nisa’: 159). Apakah kesaksian kelak bercampur dengan kebatilan, ataukah
sama sekali murni tidak tercampur sedikit pun?
Akan terjadi kesalahan dan kekeliruan apabila kesaksian itu berupa
kesaksian hushuli yang didapat dari bayangan (tashawur) dan tasdiq. Sebab,
p:337
dapat jadi perbendaharaan pengetahuan yang dia transfer ke dalam otak tidak
benar dan keyakinan itu bukan pada tempatnya. Meskipun dalam bayangan
(tashawur) tidak salah, tetapi sering kali terjadi kesalahan pada tasdiq
(keputusan). Kesalahan itu hanya terjadi pada ilmu hushuli (bukan hudhuri).
Seadil apa pun seorang saksi dan terjaga dari kesalahan yang disengaja, potensi
lupa dan salah ada pada dirinya. Akan tetapi apabila seseorang mencapai
tingkat kesaksian yang bersifat hudhuri dan melihat amal secara nyata,
maka dia tidak akan terjerumus dalam kesalahan atau dosa secara sengaja.
Adapun alasan dia tidak dapat salah adalah karena kenyataan berada
di hadapannya. Kesalahan itu hanya terjadi dalam hal apabila bayangan
yang ada dalam otak tidak sesuai dengan gambar yang di luar, sehingga
terjadi perbedaan. Akan tetapi kenyataan yang di luar tidak mungkin dapat
salah. Ketetapan sesuatu untuk dirinya sendiri adalah daruri. Akan terjadi
kesalahan ketika bayangan dalam otak tidak sesuai dengan kenyataan di
luar, akan tetapi eksistensi yang di luar adalah sesuai dengan zatnya sendiri.
Ungkapan kata “sesuai“ adalah penggunan yang bersifat toleran dan yang
datang di hadapan saksi adalah hakikat amal bukan gambarnya. Berarti,
dalam kedudukan seperti itu, tidak ada alasan untuk salah dan dosa. Sebab
dosa itu hanya dapat terjadi pada aturan-aturan dan ketentuan yang bersifat
i’tibari(relatif). Masalah wajib atau tidak wajib tidak ada hubungannya
dengan penguasaan(lingkup) eksistensial. Tidak ada kata wajib atau tidak
wajib dalam hal penguasaan eksistensi.
Kesimpulannya, tidak ada alasan untuk bermaksiat. Kesaksian seperti
ini tidak ada kesalahan sama sekali. Tidak ada pertentangan dalam
hal itu. Allah mengenalkan kesaksian seperti ini dengan kesaksian yang
tidak terlepas dari kebenaran. Dikatakan: Yang berhak memberi syafaat
pada Hari Kiamat adalah orang yang menjadi saksi dengan benar—“Dan
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi
syafaat akan tetapi orang yang mengakui yang hak” (Q.S. az-Zukhruf: 86).
Apa yang dikenal orang lain sebagai pemberi syafaat lalu mereka sembah,
mereka berkata bahwa dia pantas disembah adalah tidak punya hak untuk
memberi syafaat. Seperti yang dikatakan orang-orang musyrik tentang
berhala yang mereka sembah—“Mereka itu adalah yang memberi syafaat kita”
(Q.S. Yunus: 18). Orang yang punya hak memberi syafaat pada Hari Kiamat
hanya seorang saksi yang mengetahui yang benar. Dalam kesaksiannya,
tidak ada kesalahan dan tidak ada kegaiban dalam penglihatannya. Ada
kesaksian dalam ketidaktahuan tetapi bukan kesaksian dalam pembagian,
atau kesaksian dalam pernyataan, atau kesaksian bentuk lain yang berlaku
p:338
dalam hukum pengadilan. Di sana (di pengadilan biasa) adalah kesaksian
dalam ketidaktahuan, sedangkan di sini (akhirat) adalah kesaksian dan
pengetahuan, karena pengetahuannya adalah realistis dan nyata. Oleh
karenanya, kesaksian tersebut tidak lepas dari kebenaran—“Akan tetapi(orang
yang mengakui dengan benar dan mereka mengetahui” (Q.S. az-Zukhruf: 86).
Tentang Isa al-Masih, Allah berkata: Sesungguhnya Isa pada Hari
Kiamat adalah saksi, Kami akan mendatangkan dari tiap-tiap umat seorang
saksi dan Kami akan mendatangkan Rasulullah sebagai saksi atas mereka—
“Dan Kami datangkan kamu sebagai saksi atas mereka” (Q.S. an-Nisa’: 41).
Yang lain pun ikut hadir, namun kehadiran mereka berada di hadapan Nabi.
Adakah kedudukan lebih tinggi dari itu yang (Allah katakan), “Maka Kami
bertanya kepada mereka yang diutus kepada mereka dan Kami tanyai para
utusan” (Q.S. Al-A’raf: 6). Artinya, seluruh nabi dan umat akan ditanya,
dan Rasulullah di hari itu sebagai saksi bagi semua, “Sesungguhnya Kami
mengutus kamu sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan, dan sebagai penyeru kepada Allah dengan izin-Nya serta sebagai
cahaya yang menerangi” (Q.S. Al-Ahzab: 45—46). Beliau adalah saksi bagi
semua. Artinya, Rasulullah melihat apa yang telah terjadi ketika berada di
dunia dan apa yang akan terjadi.
Inilah garis menonjol bagi seorang teladan serta betapa sempurnanya
garis Rasulullah, sehingga Allah mengenalkannya sebagai suri teladan dan
panutan. Al-Qur’an bukanlah kitab untuk memuji, akan tetapi merupakan
kitab pendidikan dan petunjuk. Apabila Allah dalam kitab Al-Qur’an
menyebut Rasulullah sebagai suri teladan dan mengenalkannya sebagai saksi
semata, maksudnya yaitu; ikutilah jalan seorang saksi agar kamu semua dapat
menjadi saksi. Al-Qur’an berkata kepada manusia; Sampai kapankah kamu
gaib? Sampai kapankah kamu tenggelam dalam kebodohan mengenai diri
kamu sendiri dan diri orang lain? Sampai kapankah kamu bersembunyi dan
tertutup? Sampai kapankah kamu tenggelam dalam kebodohan mengenai
diri kamu sendiri dan diri orang lain? Sampai kapan kamu berada dalam
hijab diri kamu (Kamu sendiri adalah hijab bagi dirimu sendiri, maka
bangkitlah kamu dari tidur nyenyakmu). Sekalipun kamu sudah menjadi
seorang saksi, kamu harus bangkit dari hijab dirimu, robeklah tabir jiwamu
dengan dirimu sendiri agar kamu menjadi saksi dan dan melihat. Tidak ada
tabir bagi rahasia alam, jika sekiranya terdapat sebuah tabir yang menutup
rahasia alam, maka hal itu karena wajah-wajah para pendosa, “Dan Kami
singkapkan tutup yang menutupi matamu, maka matamu pada hari itu
menjadi tajam” (Q.S. Qaf: 22).
p:339
Pada Hari Kiamat kelak dikatakan: kami telah merobek tabir yang
menutupi (mata). Maknanya bukan berarti Kami telah menaruh tabir
menutup rahasia alam, melainkan Kami robek tabir yang menutupi matamu.
Allah berfriman, “Mata-mata mereka berada dalam tutup” (Q.S. Al-Kahfi:
101). Artinya, maka mereka berada dalam hijab dan terbungkus oleh dosa.
Sebab, sekiranya tanda-tanda keagungan Allah itu tertutup dan tidak jelas,
maka namanya bukan tanda. Seandainya hal-hal yang bersifat mungkin itu
tertutupi, maka dia bukanlah tanda. Sesuatu yang tertutupi bukanlah tanda
bagi seorang saksi. Sesuatu yang tersembunyi bukanlah tanda atas sesuatu
yang tidak terlihat. Apabila semua alam adalah tanda-tanda keagungan Allah,
apabila di dalam alam terdapat banyak tanda, berarti alam ini tidak terdapat
tabir dan tidak ada kegaiban. Manusialah yang jauh, manusialah yang tertutup.
Al-Qur’an mengungkapkan sebagian orang yang tertutup, akan
tetapi tutup ini tidak dapat dilihat, “Apabila kamu membaca Al-Qur’an,
kami jadikan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman dengan hari
akhir hijab yang menutupi” (Q.S. Al-Isra’: 45). Ada dua hijab yang dapat
menghalangi manusia. Pertama, hijab yang tersembunyi. Kedua, hijab yang
nampak. Tabir jasmani adalah hijab yang bersifat lahir dan nampak. Artinya,
kita tahu bahwa tabir ini bersifat materi, atau tembok yang ada di luar itu
adalah hijab, akan tetapi hijab yang nampak. Sedangkan dosa dan kesalahan
adalah hijab, pergaulan yang jelek adalah hijab, hanya saja ia adalah hijab,
pergaulan yang jelek adalah hijab, hanya saja ia merupa kan hijab yang
tersembunyi (tidak nampak). Tanda yang tersembunyi bukan berarti sebagai
tabir, akan tetapi karena dirinya sendiri tidak dapat melihat. Banyak orang
tidak mengetahui bahwa kelalaian dan dosa meru pa kan hijab, khayalan yang
jelek, pengkhianatan mata, dan pengkhianatan hati. Semuanya merupakan
hijab yang tidak akan membiarkan manusia keluar ke halaman dan bebas
melihat. Berdasarkan pemikiran ini, maka orang yang berada di balik tabir,
dia berada di luar garis (jalan) kesaksian Nabi. Dan orang yang tertutupi
bagaimana mungkin dapat berada di jalan Rasulullah Saw. ?—“Kecuali orang
yang menyatakan dengan benar dan mereka mengetahui” (Q.S. az-Zukhruf: 86).
Salah satu cara penting agar manusia tidak terbius dalam tabir yang
menutupi mata batinnya, hendaknya dia memperhatikan pertemuan-pertemuannya;
hendaknya jangan ikut bergabung dalam tempat di mana
di dalamnya tidak terdapat pembicaraan tentang Allah, Hari Kiamat, hari
kebangkitan, wahyu, dan agama. Hendaknya jangan menghadiri tempat
yang di dalamnya mempermainkan agama; jangan berbicara yang membuat
Allah tidak rida, jangan mendengarkan kalimat-kalimat yang tidak sejalan
p:340
dengan wahyu Ilahi. Manusia tidak punya hak untuk mengucapkan setiap
yang dia sukai, tidak diizinkan pergi ke setiap tempat yang diinginkan dan
diam di sana. Manusia harus mampu menguasai diri dalam setap pertemuan
dan harus sibuk berusaha menghilangkan tabir atau belajar mengkaji dan
berpikir, atau berupaya mendidik jiwanya, membersihkan, melihat batin,
riyadlah yang benar serta melakukan jihad akbar (jihad an-nafs).
Dalam syarh al-Kafi, Mulla Sadra menggunakan ungkapan yang sangat
tinggi dan indah: “Terdapat tabir tipis yang terbentang di hadapan mata
manusia yang menutupi penglihatannya; selama tabir ini tidak dibuang,
maka (hakikat) tidak akan pernah nampak dan tidak dapat melihat apa yang
di balik tabir tersebut”. Ada dua cara untuk menyingkirkan tabir ini sekaligus
menghilangkan penghalangnya, bahkan dua-duanya dapat digabung.
Manusia harus berusaha bangkit dan menggerakkan kaki dan tangannya
pergi mendekati tabir dan membuangnya dengan tangannya sendiri,
sehingga mampu melihat apa yang ada di balik tabir. Atau karena Ilahi,
sedikit demi sedikit tabir tersebut terangkat tanpa manusia menggerakan
tangan atau melangkahkan kakinya, yang kemudian semua menjadi terang
baginya. Atau dengan cara belajar dan makrifat, baik dengan cara hushuli atau
hudhuri. Dengan cara belajar hasilnya sangat kecil, sedangkan dengan cara
makrifat sangat berat. Akan tetapi manusia hendaknya jangan menghindar
dari mencari ilmu dengan alasan hasilnya yang sedikit, atau membiarkan
nafsu dengan alasan karena sulit meraihnya.
Apabila seseorang mampu belajar makrifat di sekolah, mampu
mengombinasikan ilmu hushuli dengan ilmu hudhuri, mengombinasikan
kesaksian dengan pembicaraan dan pendengaran, alangkah bahagianya
dia. Sebab, apa yang dapat diraih dengan cara penyaksian dapat pula diraih
dengan ilmu hushuli. Apabila tidak mampu menggunakan dua cara tersebut,
maka pilihlah salah satu. Ia harus membuang tabir kelalaian dan membuang
hijab dengan usaha keras sambil melihat rahasia alam karena semuanya
merupakan tanda-tanda keagungan Ilahi, atau berusaha menghadang
karunai Ilahi(“Ketahuilah bahwa dalam sepanjang waktu memiliki
pemberian karunia (nafahat) maka hadanglah dan jangan menghindar. Atau
harus menghadang arah angin hembusan karunia sehingga mengetahui dari
arah mana angin karunia datang dan kapan waktunya: dengan demikian dia
dapat menghadangnya. Dia akan terhibur oleh hembusan angin tersebut dan
terbukalah tabir yang menghilangkan penglihatannya dan mengetahui apa
yang ada di balik tabir. Dia melihat seluruh alam sibuk memuji Allah. Dia
dapat mendengar bahwa semua sibuk dalam ketauhidan dan keesaan Allah
p:341
dan bukan hanya manusia saja. Dia akan mendengar, “Dan sesungguhnya
tidak ada segala sesuatu selain bertasbih dengan memuji-Nya” (Q.S. Israil ; 44).
Mendengar “Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah” (Q.S.
Al-Jumu’ah: 1). Ketika tabir tersingkap dan hilang dibawa oleh sepoi angin
kebahagiaan Ilahi, pada waktu itu tidak perlu lagi menggerakkan tangan dan
kakinya. Simak syair berikut:
Mengapa aku harus mengulurkan tangan
dan membuat kakiku lelah
Sedang tuanku selalu rida (puasa) denganku tanpa aku harus berbuat
Apabila kedudukan yang tinggi dan kebahagiaan yang sempurna sulit
diraih, paling tidak mampu mengikuti pola pikir dan belajar serta mencari
dengan menggunakan ilmu husuli. Menggerakkan kaki dan mengulurkan
tangan yang pada gilirannya mendekati tabir lalu merobeknya, melihat dari
balik tabir yang kemudian mengetahui rahasia alam. Suaranya menyatu
dengan suara alam dan berkata: “Tuhan kami sungguh apa yang Engkau
ciptakan tidaklah sia-sia, Maha Suci Engkau maka selamatkanlah kami dari
siksa neraka” (Q.S. Ali ‘Imran: 191).
Rasulullah Saw. telah mengikuti cara ini dan beliau melatih semua
alam sekaligus melihat seluruh manusia. Seluruh rahasia alam baginya
adalah nampak jelas, tidak ada kegaiban baginya karena semua berada di
hadapannya. Tidak ada yang terlupakan karena beliau sebagai saksi; tidak
ada hijab baginya karena beliau melatihnya. Tidak ada tabir dalam penglihatan
nya, tidak ada kelalaian baginya karena semua hadir di hadapannya,
tidak ada kegaiban baginya karena beliau sebagai saksi, “Sesungguhnya Kami
datangkan kamu sebagai saksi atas mereka” (Q.S. an-Nisa’: 41).
Ada beberapa cara untuk mencapai peringkat kesaksian nabi. Salah
satunya adalah selalu menjaga diri dalam setiap pertemuan. Allah telah
memberi beberapa perintah agar dapat mencapai tingkat kesaksian ini
sehingga para salik (pelaku) dapat melalui jalan tersebut. Untuk meraih jalan
ini, paling tidak mereka harus melihat batin mereka sendiri sehingga sedikit
demi sedikit menemukan jalan untuk mengetahui batin orang lain dan
mengetahui apa yang dilakukan orang lain. Allah berkata kepada Rasul-Nya
Saw. , “Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolokkan ayat-ayat
Kami, maka tinggalkan mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan
yang lain. Dan jiwa setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu
duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat” (Q.S. Al-An’am:
68). Apabila kamu melihat sekelompok manusia sibuk merusak ayat-ayat
p:342
Allah dalam berbagai pertemuan yang tidak identik dengan mazhab samawi,
berbicara yang menghina wahyu Ilahi, tidak mengakui aturan-aturan samawi,
menghina aturan Ilahi, maka janganlah kamu duduk dan jangan ikut dalam
pertemuan mereka. Tinggalkan mereka sehingga mereka membicarakan hal
lain. Apabila kamu lupa sekali, lalu bergabung bersama mereka maka ketika
kamu ingat janganlah kamu duduk bersama mereka karena mereka adalah
kaum yang lalim. “Bersama kaum yang lalim”, duduk bersama orang-orang
yang lalim adalah hijab yang sangat tebal karena “Dan Allah tidak memberi
petunjuk kaum yang lalim” (Q.S. Ali ‘Imran: 86) karena orang yang lalim
dalam hijab—“Hati-hati kami dalam peti”. Maka, antara kamu dan mereka
terdapat hijab yang tidak terlihat.
Sekalipun pembicaraan ini mengarah kepada Rasululuah Saw. , namun
perintah tersebut kembali kepada umat, sebab Rasulullah tidak pernah ikut
bergabung dalam pertemuan seperti ini. Allah berfirman, “Janganlah kamu
duduk setelah kamu ingat”. Dan apa yang dibicarakan (tentang kaidah Islam)
yaitu larangan bergabung dalam pertemuan seperti itu, pokok pangkalnya
berada dalam surah an-Nisa’ yang pembicaraannya diarahkan kepada semua
manusia. Demikian bentuk pembicaraannya: Janganlah kamu semua
bergabung dalam pertemuan-pertemuan mereka sama sekali, apabila orang-orang
jahiliah dan orang lain meremehkan ayat-ayat Allah, kamu semua tidak
punya hak untuk hadir dalam pertemuan mereka—“Dan sungguh Allah telah
menurunkan kepada kamu dalam Al-Fqur’an bahwa apabila kamu mendengar
ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk
bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain” (Q.S. an-
Nisa’: 140). Telah kami katakan sebelumnya, janganlah kamu bergabung
dalam pertemuan seperti ini. Allah sebelumnya telah memberitahukan
kepada Rasul-Nya dan bukan untuk semua manusia.
Ustaz Allamah Thabathaba’i ra memiliki penjelasan yang lebih dalam:
Apabila dua ayat ini kita gabung satu sama lain, maka akan memberi makna
demikian: Bahwa setiap kali perbendaharaan diarahkan kepada Rasulullah
Saw. , maka umat juga tekandung di dalamnya sebagaimana di dalam surah
an-Nisa’, Allah berfirman, “Sudah Kami katakan sebelumnya janganlah
bergabung dalam berbagai majelis yang batil”. Di samping itu terdapat ayat
lain dalam surah Al-An’am yang melarang bergabung dalam pertemuan-pertemuan
yang menghina ayat-ayat Allah. Berarti, ayat yang ada dalam
surah Al-An’am yang pembicaraannya diarahkan kepada Rasulullah Saw.
untuk tidak bergabung dalam pertemuan-pertemuan batil, sebenarnya
karena melihat umat. Sebab Allah sudah menjelaskan dalam surah an
p:343
Nisa’, “Janganlah kamu bergabung dalam majelis maksiat” dan berkata pula,
“Apabila kamu hadir dalam majelis yang ternoda dengan mengejek ayat-ayat
Allah dan meremehkannya serta mengingkari wahyu Ilahi, dan apabila kamu
bergabung bersama mereka, maka ‘Sesungguhnya kamu adalah seperti mereka’”
(Q.S. an-Nisa’: 140). Allah akan mengelompokkan semua yang bergabung
dalam dua bentuk mejelis tersebut karena Allah berupaya menggabungkan
orang munafik dengan orang kafir dalam satu tempat. “Sesungguhnya Allah
mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir dalam neraka
Jahanam” (Q.S. an-Nisa’: 140).
p:344
p:345
p:346
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Kelahiran Khatamul Anbiya Saw. yang kemudian diutus sebagai Nabi
Allah merupakan suatu nikmat Ilahi yang sangat agung. Al-Qur’an yang
merupakan kalam Allah harus menjelaskan kedudukan tinggi Rasulullah
Saw. , atau seorang wali Allah yang memiliki kedudukan seperti pribadi
Rasulullah Saw. harus menjelaskan tentang kedudukan risalah yang beliau
bawa. Tidak satu pun selain Al-Qur’an atau orang yang maksum mampu
mengung kapkan kedudukan risalah Nabi yang sempurna. Ketika Allah menjelaskan
tentang diutusnya Rasulullah Saw. , kedudukan tersebut dinamakan
sebagai minnah (karunia). “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka
seorang rasul dari golongan mereka sendiri” (Q.S. at-Taubah: 164).
“Minnah” adalah sebuah nikmat agung yang tidak ada tara. Nikmat
yang berbentuk materi, Allah tidak pernah menyebutnya sebagai minnah.
Diutuskan Nabi Saw. dinamakan karunia bagi orang-orang yang beriman,
sebab orang-orang Mukmin menerima risalah Rasulullah berdasarkan kadar
iman mereka masing-masing—“Mereka memiliki beberapa derajat” (Q.S.
Al-Anfal: 4). Mereka memanfaatkan nikmat yang tidak terbatas ini karena
masing-masing manusia memiliki derajatnya. Al-Qur’an telah mengatur
tingkatan orang-orang Mukmin ini, “Mereka memiliki beberapa derajat di sisi
Allah”. Mereka yang beriman memiliki beberapa tingkatan di sisi Tuhannya
sesuai kedekatan mereka. Dalam surah Ali ‘Imran, Al-Qur’an mengatakan
“Mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah” (Q.S. Ali ‘Imran: 163). Artinya,
tiap-tiap orang Mukmin memiliki derajat dari derajat kesempurnaan
eksistensi. Orang-orang beriman mampu mencapai kedudukkan yang
dirinya sendiri merupakan derajat. Derajat bukanlah maqâm yang bersifat
relatif yang diberikan kepada orang beriman. Akan tetapi, derajat eksistensi
dan kesempurnaan merupakan rangkaian hakikat orang beriman yang dapat
meraihnya melalui beberapa tahapan, yang akhirnya dirinya menjadi derajat.
Dalam ayat-ayat seperti ini tidak perlu membuang huruf lam (yang ada
pada kalimat lil mu’minin darajat-Peny.) Maka dapat kami katakan bahwa
yang dimaksud lilmu’minin darajat adalah jiwa orang Mukmin itu sendiri
yang merupakan manifestasi nama dan nama-nama Allah yang agung,
p:347
sehingga mencapai derajat tertinggi dan maqâm yang diduduki Khatamul
Anbiya Saw. . Apabila seseorang berada dalam derajat tengah-tengah, maka
Rasulullah Saw. memiliki derajat tertinggi yang ada pada alam dunia ini.
Artinya, dirinya adalah manifestasi dari ismul a’zham (nama Allah Yang
Agung). Ismul a’zham bukanlah sebuah lafal, sehingga seseorang dapat
menganbilnya lalu merangkainya dengan huruf dan kalimat lain, kemudian
berpengaruh pada aturan alam. Menurut istilah Allamah Thabathaba’i
ra, alam wujud ini telah diatur berdasarkan sebab akibat, maka tidak
seorangpun mampu mempengaruhinya dengan menggunaan huruf, atau
kalimat, atau makna-makna yang bersifat relatif, sehingga kalimat-kalimat
tersebut dapat memberi mukjizat untuk menghidupkan orang yang mati,
menyingkap hal-hal yang gaib, dan mengetahui batin orang lain.
Dalam epistimologi, lafal dan kalimat tidak disebut sebagai nama,
baik itu simul a’zham atau isim selain a’zham. Akan tetapi, lafal dan kalimat
adalah nama dari sebuah nama (ismul ismi). Nama-nama seperti ini bersifat
kondisional dan buatan sedangkan asma’ al Husna bersifat takwiniyah dan
bukan buatan. Ismul a’zham adalah maqâm tertinggi alam dunia yang
telah diraih oleh Rasulullah Saw.. Ismul a’zham bukanlah sebuah huruf,
kalimat, atau beberapa kalimat yang ketika diucapkan dan disusun dapat
memunculkan mukjizat atau dapat menciptakan sesuatu sehingga menjadi
penyebab terjadinya suatu wujud yang bersifat takwini. Hukum sebab dan
akibat jauh lebih tinggi pengaruhnya pada hakikat di luar ketimbang sekadar
pengaruh pembicaraan atau kalimat yang disusun. Yang berpengaruh dan
penyebab munculnya sebuah kenyataan adalah sesuatu yang bersifat eksis.
Ruh wali Allah dan ruh Rasulullah yang tinggi, yang dengan sendirinya
sebagai derajat adalah bersifat eksis dalam alam penciptaan—“Mereka itu
bertingkat-tingkat”. Beliau adalah nama dari nama Allah yang baik. Bahkan
beliau adalah ismul a’zham yang meru pakan sumber dari segala penciptaan
dan manifestasi zat Allah Yang Maha Suci. Hal itu karena seluruh nama
Allah yang bersifat fi’li (sifat Allah dalam bentuk perbuatan—Peny.) kembali
kepada sifat zat-Nya. Artinya, Rasulullah Saw. adalah ismul a’zham yang
maqâm-nya paling tinggi.
Oleh karena asma’ Allah yang paling agung adalah kedudukan yang
diraih Rasulullah, maka orang lain tidak akan mampu memikul kedudukan
tersebut. Oleh karena itu, nikmat keberadaan wahyu dan risalah disebut
minnah. Setiap Mukmin memanfaatkan kedudukan tersebut sesuai dengan
kadar tingkatan eksistensi mereka, dan sebab maqâm tersebut mereka
mendapatkan makrifat dan iman, “Sesungguhnya Allah telah memberi
p:348
karunia kepada orang-orang yang beriman ketika mengutus seorang rasul di
antara mereka dari golongan mereka sendiri” (Q.S. Ali ‘Imran: 164).
Apabila Allah menyebut nabi-nabi lain dengan menyebut kata
“saudara”—Telah Kami utus kepada kamu saudaramu seorang nabi—
sementara Allah berbicara tentang Rasulullah Saw. dengan ungkapan kata
nafs, min anfusihim (dari golongan mereka sendiri); sebagian membaca min
anfasihim (dari yang paling mulia di antara mereka). Artinya, Kami telah utus
seorang rasul dari manuisa yang paling berharga dan paling mulia. Apa pun
keadaannya, yang jelas Rasulullah Saw. adalah manusia yang paling mulia, sebab
ungkapan kata anfusihim (dari golongan mereka) jauh lebih tinggi daripada
kata akhahum (saudara mereka) seperti ketika berbicara tentang nabi-nabi lain.
“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah” (Q.S. Ali ‘Imran:
164). Tugas Rasullullah Saw. adalah membacakan ayat-ayat Allah kepada
manusia dan kepada orang-orang yang beriman, menyucikan mereka dalam
naungan ayat-ayat tersebut, “Dan menyucikan mereka” (Q.S. Ali ‘Imran: 164).
Meningkatkan dan mendewasakan mereka sehingga terbuka bagi mereka
seluruh alam materi. Membebaskan mereka dari berbagai bentuk pengabdian
kepada berhala, menyadarkan mereka dari tidur, sehingga mereka menjadi
lebih mulia daripada langit dan bumi—“Mengajarkan kepada mereka al-Kitab
dan hikmah” (Q.S.Ali ‘Imran: 164). Rasulullah mengajarkan kepada manusia
Kitab Ilahi yang merupakan kumpulan dari berbagai aturan langit, yang
aturan-aturan tersebut sangat kuat. Di dalamnya terkandung hikmah yang
harus diajarkan kepada manusia bahwa “pusat hikmah adalah takut kepada
Allah”. Baik hikmah amaliyah (akhlak), atau hikmah nazhariyyah (filsafat).
Mengaitkan pemikiran dan penglihatan yang lemah atau menguatkan amal,
“Walaupun sebelumnya mereka dalam kesesatan yang jelas” (Q.S. Ali ‘Imran:
164). Berarti, pertama, ketika Allah mengungkapkan risalah nabi dengan
kata minnah, maksudnya adalah bahwa nikmat pengangkatan sebagai
rasul, orang lain tidak akan mampu memikulnya. Kedua, tiap-tiap manusia
berusaha maju mendekati maqâm ini dan mengikutinya sesuai kadar tingkat
eksistensinya. Ketiga, selain Rasulullah, tidak mampu untuk memikul
hakikat risalah, sedangkan kemampuan mengenali risalah secara sempurna
hanya dimiliki oleh orang yang berjiwa seperti Rasulullah Saw.. Al-Qur’an
telah merinci garis-garis universal tentang risalah Khatamul Anbiya’ Saw.
dan berkata, “Wahai Nabi” (Q.S. Al-Ahzab: 45).
Perlu diperhatikan secara jelas bahwa pembicaraan Al-Qur’an yang
Allah arahkan kepada Rasulullah tidak pernah menyebut nama aslinya
sama sekali, sementara di lain pihak, Allah mengajak bicara para nabi-Nya
p:349
yang lain dengan menyebut nama mereka, seperti ”Wahai Dawud”, “Wahai
Musa”, “Wahai Isa” dan sebagainya. Akan tetapi, ketika mengajak bicara
Rasulullah Saw. , Allah menggunakan kata “Wahai Nabi”, “Wahai Rasul”—
“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah mengutus kamu sebagai saksi, pembawa
berita, dan pemberi ancaman. Menyeru kepada Allah dengan izin-Nya dan
cahaya yang menerangi” (Q.S. Al-Ahzab: 45—46). Wahai nabi Kami telah
mengutus kamu sebagai saksi. Allah berfirman: Kami telah mengutusmu
kepada suluruh manusia, “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali untuk
semua manusia” (Q.S. Saba’: 28) atau “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali
memberi rahmat bagi seluruh alam” (Q.S. Al-Anbiya: 107). Telah dijelaskan
tentang universalitas risalah dan pengutusan Rasulullah dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya kamu diutus untuk semua lapisan masyarakat dari awal hingga
akhir zaman (hingga akhir kiamat)” (Q.S. an-Nisa’: 87). Tidak ada manusia
yang berada di luar lingkup risalahmu dan di luar batas kekuasaanmu. Tidak
ada suatu zaman yang berada di luar liputan risalah dan kekuasaanmu. Kamu
diutus untuk semua alam, kamu diutus untuk seluruh masyarakat sepanjang
masa dan kamu akan menjadi saksi penuntut umum.
Nabi adalah contoh dan teladan. Beliau melihat seluruh akidah, akhlak,
dan amal seluruh manusia, sehingga pada Hari Kiamat kelak beliau sebagai
saksi atas mereka. Beliau akan melaksanakan kesaksiannya sesuai dengan
keadaan yang beliau saksikan. Bagaimana Rasulullah mampu mengetahui
apa yang ada di dalam hati manusia? Bagaimana manusia mencapai derajat
di mana dia mampu memahami apa yang ada dalam otak dan jiwa orang
lain? Bagaimana seseorang mengetahui batin seluruh manusia sepenjang
zaman, sehingga pada Hari Kiamat dapat menjadi saksi atas semua kejadian
dan saksi atas semua jiwa?
Seperti ungkapan Ali bin Abi Thalib a.s. yang telah memiliki jiwa
seperti jiwa Rasulullah, “Dan diri kita dan diri kamu”. Begitu juga berkaitan
dengan diri Nabi: Rasulullah adalah saksi di mahkamah Hari Kiamat—
“Saksimu pada Hari Kiamat”.(1)
pada Hari Kiamat Rasulullah menyaksikan
semua amal seluruh manusia. Apabila sekarang tidak melihat akidah, akhlak,
dan amal seluruh manusia dan tidak mengetahuinya, bagaimana mungkin
besok dapat menjadi saksi? Kalau hari ini tidak melihat, bagaimana beliau
akan menjadi saksi besok di pengadilan Ilahi? Melakukan kesaksian harus
didahului oleh penyaksian kejadian.
Allah tidak saja menyebut Rasul-Nya sebagai teladan, contoh, dan
panutan serta akan hadir dalam mahkamah Ilahiyah, akan tetapi disebut
p:350
pula sebagai saksi atas seluruh masyarakat, “Sesungguhnya Kami mengutus
kamu sebagai saksi dan pembawa berita dan pemberi peringatan” (Q.S. Al-
Ahazab: 45). Sebagai pembawa berita untuk mereka yang beriman kepada
risalah yang beliau bawa dan bergerak mengikuti jejaknya. Sebagai pembawa
perintah bagi sekelompok manusia yang mengingkari risalah dan tidak
mengikuti jalannya, penyeru manusia kepada Allah—“Dan penyeru kepada
Allah dengan izin-Nya” (Q.S. Al-Ahzab: 46). Semua ini adalah nikmat.
Orang yang mengajak manusia kepada kebenaran dengan
izin Allah adalah orang yang diutus-Nya. Al-Qur’an melalui lisan Nabi-
Nya mengatakan, “Serulah kepada Allah atas dengan jelas dan orang yang
meng ikuti aku”. Saya menyeru manusia kepada Allah dengan jelas, dan
inilah jalan yang lurus yang Rasul sendiri berada di dalamnya, yaitu jalan
dakwah kepada Allah, “Yasin, Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya
kamu salah satu dari rasul-rasul, berada di atas jalan yang lurus” (Q.S.
Yasin: 1—4). Sesuatu yang disebut Allah adalah sesuatu yang pasti. Oleh
karenanya, Allah berkata: Sesungguhnya dengan penuh keyakinan, kamu
berada di atas jalan yang lurus, padahal jalan yang lurus itu jauh lebih kecil
daripada rambut, dan sungguh sedikit mereka yang dapat melewatinya. Jauh
lebih tajam daripada pedang dan sungguh sedikit para pahlawan pemberani
yang dapat bertahan. Barang siapa melewati jalan tersebut dengan cara yang
benar dan mampu menahan ketajamannya, maka dia adalah manusia yang
paling berani. Laki-laki yang paling berani adalah yang dapat mengalahkan
hawa nafsunya ketika berada di medan perang yang benar (al-jihad al-akbar).
Berarti dia akan mampu menyeberangi tajamnya jalan yang lurus tersebut.
Orang yang berakal dan jeli adalah orang yang mampu memecahkan
masalah ini seperti membelah rambut yang kecil. Hanya orang yang
memiliki rasa, pemikiran, dan kepandaian yang jeli saja yang akan mampu
memahami apa itu jalan yang lurus. Oleh karenanya, keberadaan akal
rasional adalah keharusan agar manusia mampu memahami dengan jeli.
Sedangkan tindakan rasional juga perlu ada agar manusia dapat meraih
tingkat keberanian, sehingga tidak takut akan tajamnya pedang. Di dalam
menyeberangi jalan yang sangat tajam tidak didapatkan rasa takut sedikit
pun, “Dan menyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya” (Q.S. Al-Ahzab:
46). Rasulullah itu sendiri merupakan shirath mustaqim (jalan yang lurus).
Kalau Rasulullah menyebut Ali bin Abi Thalib sebagai shirath yang
jelas, itu karena Rasulullah berada di atas jalan yang lurus, sehingga Ali pun
berada di jalan yang sama. Jalan ini bukanlah berbentuk tempat, sehingga
orang lain dapat melewati selain jalan itu—“Wahai orang-orang yang beriman
p:351
jagalah dirimu” (Q.S. Al-Maidah: 105). Jalan itu bukan jalan langit atau
darat, sehingga orang dapat memilih selainnya. Jalan ini bukan jalan darat
sehingga orang dapat memilih selainnya, akan tetapi jalan ini adalah jalan
dalam dan tidak lain adalah nafs. Sang pejalan adalah jalan itu sendiri, dan
pemilik derajat adalah derajat itu sendiri hum darajat (Q.S. Al ‘Imran: 163).
Apabila seseorang mengikuti ajaran-ajaran Allah, maka dia akan
menjadi shirath mustaqim; dirinya akan menjadi timbangan amal. Begitu
juga halnya para nabi dan para washi. “Sesungguhnya kamu di atas jalan yang
lurus” (Q.S.Yasin: 3—4). Oleh karena itu, Allah berkata: Kami mengutus
utusan sebagai penyeru kepada Allah. Kalau saja Al-Qur’an telah menyuruh
semua manusia mendengar pandangan berbagai mazhab dan risalah para
rasul serta mengikuti yang terbaik, maka risalah Rasulullah adalah yang
terbaik. Al-Qur’an berkata, “Sampaikan kabar gembira kepada hamba-hambaku
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya” (Q.S. Az-Zumar: 17—18). Perkataan yang paling baik adalah
pembicaraan orang yang menyeru kepada Allah—“Siapakah yang lebih baik
perkataannya dibandingkan orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal saleh, dan bekata; ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri?’” (Q.S. Fushshilat: 33).
Perkataan yang paling utama adalah perkataan orang yang menyeru
manusia kepada Allah dan dia beriman serta mempraktikkan
perka taan-perkataan tersebut. Orang itu adalah manusia sempurna.
Dialah Rasulullah, “Dan penyeru kepada Allah dengan izin-Nya dan cahaya
yang menyinari”(Q.S. Al-Ahzab: 46). Allah berfirman: Kami telah mengutusmu
sebagai cahaya yang menyinari untuk semua, menyinari hati
orang lain, menyelamatkan manusia dari kegelapan. Kamu adalah cahaya
yang bersinar menerobos setiap jiwa manusia. Kamu adalah pembawa
berita—“Dan berilah berita kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka
mendapat karunia dari Allah yang sangat besar” (Q.S. Al-Ahzab: 47).
Oleh karena Rasulullah sebagai sirath al-msutaqim dan menyeru manusia
kepada Allah, apabila Rasulullah adalah saksi, pembawa berita, pemberi
peringatan, dan cahaya yang bersinar, maka tanggung jawab atas nikmat
ini bukanlah mudah bagi orang Mukmin biasa. Untuk menanggung
nikmat ini memerlukan kekuatan yang sangat besar. Oleh karena itu, Al-
Qur’an menyebutnya sebagai minnah (karunia), “Allah telah memberi
karunia kepada orang-orang yang beriman” (Q.S. Ali ‘Imran: 164).
Apakah manusia dapat memandang setiap cahaya lampu selain
orang yang mampu melihat setiap cahaya? Apakah setiap orang mampu
p:352
mendengar setiap suara dan omongan? Apakah setiap ruh merupakan
wadah setiap masalah? “Sesungguhnya hati-hati ini adalah wadah, maka
yang terbaik adalah yang paling sadar”. Rasulullah Saw. telah men capai
kedudukan tinggi, sehingga ketika Allah hendak mengirim salam kepada nya,
disertai pula salam seluruh malaikat dan Rasulullah menyak sikan mereka
yang ikut memberi salam kepadanya. Ketika Allah hendak meng agungkan
kedudukan Rasul-Nya, Allah berkata: Bukan Aku saja yang mengirim
salawat dan rahmat kepada utusan-Ku, akan tetapi seluruh malaikat pun
ikut melakukannya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya menyampaikan
salawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, sampaikan salawat dan
salam kepadanya salam yang sebenarnya” (Q.S. Al-Ahzab: 56).
Allah mengenalkan Rasul-Nya kepada kita dengan sedemikan agungnya,
sehingga Allah dan seluruh malaikat dan hamba-Nya yang ikhlas
ikut bersama menyampaikan salawat dan rahmat kepadanya. Alalh berkata;
Sesungguhnya Allah dan para malaikat memberi salam atas ruh suci
Rasulullah, dan kamu wahai segenap manusia jagalah tata cara ini dan
berilah salam kepadanya. Kita sampaikan juga salawat dan salam kepada ruh
suci Khatamul Anbiya dan keluarganya yang mulia.
Ketika Allah hendak mengenalkan Rasul-Nya yang mulia, Allah
berkata tentangnya bahwa utusan-Nya bukan seorang yang pernah
belajar di sebuah sekolah atau belajar kepada seorang guru. Tidak seorang
pun mengajari Rasulullah sama sekali. Beliau hanya diajari oleh Allah
sendiri. Apa yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya, tidak diajari melalui
mata atau telinga kanan tetapi diajari melalui ruh dan hati. Dalam ilmu
hushuli, yang merupakan modal utama pola pikir manusia, mula-mula
melalui pendengaran telinga kemudian pikirannya memahami makna
yang terkandung. Atau mata melihat lembaran kitab dan ketika itu pikiran
memahami makna yang terkandung. Akan tetapi, yang didapat Rasulullah
Saw. mula-mula adalah kesaksian ruh kemudian mata melihat dan telinga
mendengar—“Dia dibawa turun oleh ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu”
(Q.S. asy-Syu’ara: 193—194).
Apabila malaikat pembawa wahyu menurunkan risalah Ilahiyah yang
berupa Al-Qur’an ke dalam hati suci Rasulullah Saw., maka pertama-tama
yang beliau lihat adalah hakikat Al-Qur’an dengan penglihatan ruhani,
kemudian telinga mendengar lafal-lafal Al-Qur’an yang merupakan mukjizat
Ilahiyah. Lafal-lafal Al-Qur’an adalah dari alam gaib, bukan produk
alam nyata; kandungan maknanya bukan produk malâkut. Nabi menerima
ilham tentang kandungan Al-Qur’an kemudian beliau mendengar lafal
p:353
lafalnya dan menyaksikan wahyu “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah
dia lihat” (Q.S. An-Najm: 11). Pertemuan pertama dengan penglihatan hati,
kemudian penglihatan mata, dan pendengaran telinga, “Penglihatannya tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak melampauinya” (Q.S. an-Najm:
17). Dalam surah an-Najm dijelaskan secara rinci cara Rasulullah menerima
wahyu. Di dalamnya juga terdapat penjelasan sebagaimana mi’raj, “Maka
jadilah dia dekat sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi” (Q.S.
an-Najm: 9). Kedekatan bagaimana yang dicapai Rasulullah Saw.? Simak
syair berikut:
Telah pergi dengan segala bentuknya begitu juga kembali,
sesuatu yang tidak dapat dibayangkan oleh otak seseorang.
Bagaimana beliau pergi dan bagaimana beliau datang? Hanya dia
yang tahu dan Ali bin Abi Thalib ikut juga mengetahui. Al-Qur’an secara
rinci telah menjelaskan perjalanan ini, “Kemudian dia mendekat, dan bertambah
dekat lagi, maka jadilah dia dekat sejarak ujung busur atau lebih
de kat lagi, lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah
wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Apakah
kamu hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu pada waktu yang lain, yaitu
di Sidratul Muntaha, di dekatanya ada surga tempat tinggal, ketika Sidratul
Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan Muhammad
tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak pula melampauinya” (Q.S.
an-Najam: 8—17). Artinya, Kami mengirim wahyu kepda ruh suci Rasul
yang mulia tanpa dapat diceritakan, tidak ada tempat di sana untuk sebuah
kondisi. Apabila kedudukan itu bukan sebuah kondisi, maka ilmunya
adalah ladunni, sedangkan ilmu ladunni tidak sama dengan ilmu lain yang
harus ada hukum dan premisnya. Ketika ilmu itu diambil dari sisi Allah,
maka ilmu itu menjadi ilmu ladunni, sehingga tidak ada kesempatan untuk
membicarakan tentang lafal. Di sana tidak ada kain pembungkus kalimat
dan tidak ada baju yang menutupi ucapan, kalimat, dan akad; bukan bahasa
Arab dan bukan pula Persia. Tempat pembungkus lafal adalah tempat yang
sangat rendah dari ilmu ladun, tempat bahasa Arab diturunkan dari ladun,
sebab maqâm itu bukan maqâm lafal. “Hatinya tidak mendustkaan apa yang
telah dilihatnya”. Apa yang dilihat hati bukan sebuah kebohongan dan tidak
akan berkata bohong, akan teapi melihat kenyataan. Al-Qur’an menyebut
penang kapan hudhuri dan penyaksian itu dengan ru’yah (penglihatan).
Tentang Ibrahim al-Kahlil, Allah berfirman: “Dan begitu juga Kami
memperlihatkan kepada Ibrahim tentang malâkut-malâkut langit dan bumi”
p:354
(Q.S. Al-An’am: 75). Kami telah memperlihatkan kepada Ibrahim Ruh alam
dan hubungan alam dengan Allah yang disebut dengan alam kerajaan(alam
malâkut). Ketika itu Ibrahim mendapat pengetahuan-pengetahuan gaib
denga cara peglihatan batin. Sesuai ungkapan Al-Qur’an, pemahaman nitu
disebut pemahaman hudhuri. Dan pemahaman khusus itu disebut juga
ru’yah (penglihatan). Rasulullah di sana telah melihat hakikat wahyu Ibrahim
al-Khalil telah menyaksikan Malâkut langit dan bumi.
Orang yang tidak memiliki penglihatan batin dan tidak dapat
mendapatkannya tidak akan dapat melihat masalah-masalah semacam ini,
dia adalah buta. Al-Qur’an telah menamakan sejumlah orang sebagai orang-orang
yang buta. Al-Qur’an mengatakan, “Sesungguhnya bukan mata itu
yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada dalam dada”(Q.S. Al-Hajj:
46). Mata lahir mereka tidak buta tetapi yang buta adalah mati hati mereka.
Mata lahir harus melihat sesuatu yang bersifat lahir. Mata hati yang harus
mendidih kadang menjadi tertutup, karena “Allah telah menutup hati-hati
mereka” (Q.S. Al-Baqarah: 7). Mata hati yang tertutup tidak dapat mendidih,
tannur (dapur tempat memasak roti) yang mulutnya tertutup tidak akan
menyala apinya. Tumbuh-tumbuhan yang terpendam dalam tanah tidak
akan dapat menjadi kayu, “Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”
(Q.S. asy-Syams: 10). Artinya, sungguh merugi orang yang memendam
dirinya dan tidak membiarkannya terbuka dan berkembang.
Rasulullah telah melihat wahyu itu dengan mata hatinya yang tidak
dapat diungkapkan melalui lisan. Hakikat itu tidak mungkin dapat dilukiskan
oleh pena. Jari jemari dan keterangan tidak mampu mengomentari;
kata dan tulisan serta pikiran tidak mampu menjelaskannya—“Lalu
dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah diwahyukan Allah,
sungguh hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya” (Q.S. an-Najm:
10—11). Semua yang beliau lihat adalah sesuatu yang benar. Oleh karena
beliau benar, maka dia melihat yang benar pula. Rasulullah adalah shirath
musta qim(jalan yag lurus). Di jalan yang lurus tidak terdapat tikungan dan
belokan. Inlah jalan yang dilewati dan ini pula yang menyampaikan beliau
pada tujuan. Hubungan dengan tujuan itulah yang dinamakan shirath
(jalan), dan hubungan dengan Allah sendiri itu adalah kerajaan (malâkut).
“Sungguh hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya”. Setelah beberapa
ayat, Allah berfirman, “penglihatan Muhammad tidak berpaling dari apa yang
dilihatnya dan tidak pula melampauinya” (Q.S. an-Najm: 17).
Apa yang dilihat oleh mata setelah melihat dengan hatinya, penglihatan
itu tidak akan salah dan tidak akan keliru. Matanya yang melihat
p:355
apabila tidak sehat dan tidak sempurna barangkali dapat salah atau berlebihan.
Penglihatan mata manusia yang tidak sehat ketika melihat hanya
menggunakan kekuatan separuh matanya atau terlalu terang warnanya atau
menyimpang. Bahkan, barangkali tidak melihat sesuatu sama sekali, yang
dilihat justru benda lain. Yang seharusnya melihat sesuatu tersebut malah
melihat yang lain. Yang pertama disebut zaigh (berpaling), yang kedua
disebut thughyan (melampaui/berlebihan). Barangkali kedua mata manusia
sehat, sehingga dapat melihat dan menge tahui sasaran dengan baik. Dia tahu
apa yang dia lihat dan ke mana harus memandang. Dia melihat apa yahg
harus dilihat dan dapat melihat dengan baik. Penglihatan yang demikian
ini adalah penglihatan yang tidak melampaui batas atau tidak menyimpang.
Barangkali mata dapat melihat tetapi penglihatannya menyimpang karena
matanya sakit. Arti nya, ada bagian yang tidak dilihat dengan sempurna;
melihat warna terlalu terang atau gelap, atau hanya melihat sedikit dan
tidak sepenuhnya atau salah lihat dan mengira yang nampak itu adalah
sa saran. Sesuai ungkapan Allamah Thabathaba’i—muda-mudahan Allah
membangkitkan ruhnya bersama Rasululkah Saw. dan Imam Shadiq,
karena hari-hari ini adalah hari kelahiran Rasulullah dan kelahiran bintang
keenam yang senantiasa memancarkan cahayanya di langit imamah dan
ismah—mengatakan, “Zaigh adalah orang yang melihat sesuatu yang tidak
sesuai kondisi dan keadaan semestinya, sedangkan thughyan yaitu manusia
melihat sesuatu yang tidak ada hakikatnya”.
Kesimpulan, tidak ada berpaling (zaigh) dan tiada melampaui
(thuqhyan) dalam penglihatan Rasulullah Saw. Beliau melihat sasaran
pastinya karena beliau adalah jalan yang lurus, karena beliau adalah jalan
yang kuat, sedangkan berpaling dan melampui adalah jauh dari jalan
yang lurus. Tidak pernah terbayang kata melampaui di dalam jalan Allah.
“Penglihatan Muhammad tidak berpaling dari apa yang dia lihat dan tidak
pula melampaui, dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang
Agung” (Q.S. an-Najm: 17—18). Mengapa Nabi mulia sebagai jalan yang
lurus? Karena dari sisi penglihatan, beliau telah mencapai peringkat al-‘aqlul
al-awwal (akal pertama) “Rasulullah tidak pernah berbicara kepada hamba
Allah dengan hakikat akalnya”. Dari sisi keberanian, beliau telah sampai
pada peringkat di mana tidak ada alasan untuk takut sama sekali. Bukan
karena takut lalu bersabar, bukan karena takut lalu bertahan, tetapi sama
sekali tidak punya sedikit pun rasa takut. Seperti yang dikatakan Ali bin Abi
Thalib as, “Seandainya orang-orang Arab bekerja sama untuk membunuhku,
maka aku tidak akan berpaling darinya”.
p:356
Dalam kitabnya yang terkenal, Thaharat al-A’raq, Ibn Maskawaih
mengatakan: Ali bin Abi Thalib bukan saja seorang pemberani melainkan dia
adalah hakikat keberanian. Hakikat keberanian ini nyata pada diri Rasulullah
Saw. yang beliau sendiri merupakan keberanian. Amirul Mukminin berkata,
“Apabila kekuatan kita mulai merah maka kita berlindug kepada Rasulullah
Saw. ”. Dalam hati suci Rasulullah tidak ada rasa takut karena beliau adalah
jalan yang berhubungan dengan Allah. Allah telah berfimran kepadanya,
“Maka berperanglah di jalan Allah dan tidaklah kamu dibebani melainkan
dengan kewajiban kamu sendiri” (Q.S. an-Nisa’: 84). Apabila tidak ada
yang membantumu, maka berperanglah di jalan Allah sendirian. Sekiranya
semua menjadi musuhmu, maka lawanlah sendiri di medan perang. Apabila
kekuatan bersenjata musuh berbaris mengarahkan senjatanya kepadamu,
maka bertahanlah sendirian. Apabila tidak seorang pun menjawab seruanmu,
maka jangan kamu tinggalkan medan perang. Apabila tidak seorang pun
menjawab panggilanmu, artinya seorang tentara, jangan kamu tinggalkan
medan perang—“Maka berperanglah di jalan Allah dan tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri” (Q.S. an-Nisa’: 84). Hal
ini adalah hakikat keberanian dan keberanian tidak pernah menerima rasa
takut. Dapat jadi rasa takut memasuki jiwa seorang pemberani, tetapi rasa
takut itu tidak akan pernah berkumpul dengan hakikat keberanian. Dapat
jadi seorang pemberani merasakan takut karena keberanian bukan miliknya
hingga pada tingkatan tertentu, bukan sebagai manifestasi ismul a’zham dan
manifestasi kekuatan Allah Yang Maha kuasa. Apabila seseorang merupakan
manifestasi ismul a’zham dan manifestasi kekuatan Allah Yang Maha Kuasa
hingga dia menjadi “Maha Tahu atas segala sesuatu”, maka dia akan menjadi
saksi. Dia akan menjadi saksi umum di atas bumi ini dan menjadi manifestasi
bagi yang Maha Kuasa pada setiap waktu. Manifestasi Maha Kuasa tidak akan
menampakkan kelemahan. Kekuatannya tidak pernah merasa lemah. Dapat
jadi seorang pemberani dapat merasakan takut, tetapi rasa takut itu tidak akan
bergerak mendekati keagungan wujud Rasululah Saw. yang merupakan hakikat
keberanian. Ketika itu Allah berkata: Kobarkanlah semangat orang-orang
Mukmin untuk merealisasikan tujuan Islam—“Dan kobarkanlah semangat
orang-orang mukmin” (Q.S. an-Nisa’: 84) ketika itu—“Mudah-mudahan
Allah menolak serangan orang-orang kafir, kekuatan Allah amat besar dan
siksaan-Nya amat keras” (Q.S. an-Nisa” 84), karena “harapan” Allah memberi
batas keberadaan musuh dan mengehentikan kelaliman para penguasa.
p:357
Apabila Barat dan Timur, Rum dan Iran, serta kaum musyrik,
penyembah berhala Hijaz, dan orang-orang munafik saling bekerja sama
memerangi kamu, maka berdiri tegaklah kamu sendirian. Apakah ilmumu
dapat menjangkau keberadaan seorang manusia, menurut pandangan akal
praktis, yang mencapai tingkatan keberanian hingga memerangi seluruh
dunia? Dari sisi pandangan akal teoretis, di mana akan ditemukan sebuah
berita tentang manusia yang menjadi saksi batinnya bumi dan awalnya
zaman?—“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi” (Q.S. Al-Ahzab:
45); “Dan tidak Kami utus kamu melainkan sebagai rahmat untuk seluruh
alam” (Q.S. Al-Anbiya’: 107). Beliau (Nabi) memiliki keberanian yang sangat
kuat sehingga “Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu
sendiri”. Ketika Rasulullah pergi ke medan perang, seluruh yang bersamanya
merasa aman. Ali bin Abi Thlaib telah belajar pengalaman dari Rasulullah
Saw. Oleh karena itu, dia berkata, “Beliau adalah penutup bagi yang
terdahulu, pembuka sesuatu yang tertutup, memperjelas kebenaran dengan
kebenaran”.(1)
Rasulullah adalah penutup semua yang telah lalu. Beliau adalah
penutup kenabian dan mengantarkan risalah pada tingkatannya yang
tekrahir, mengangkat derajat manusia hingga pada ismul a’zham. Membuka
dan mempermudah setiap masalah yang tertutup dan sulit, dan tidak ada
maqâm lebih besar dari maqâm Rasulullah Saw. , jika tidak tentu akan datang
nabi lain. Tidak ada tujuan lebih mulia daripada tujuan Khatamul Anbiya,
“Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu” (Q.S. an-
Najm: 42). Shadruddin al-Qunawi dalam kitab an-Nushuhsh(2)
berkomentar berkaitan dengan tafsir ayat “dan bahwasannya kepada Tuhanmulah
kesudahan segala sesuatu”. Rasulullah kelak dibangkitkan bersama dengan
kedudukan tingginya yang beliau capai. Beliau dibangkitkan berbeda dengan
kebangkitan orang lain. Apa pun keadaannya, beliau adalah penyempurna
terakhir, pembuka jalan untuk menyelesaikan seluruh masalah masa depan.
Dan tidak ada problem teori apa pun yang tidak diselesaikan oleh kemampuan
akal Rasulullah Saw.. Tidak ada problem amaliah apa pun yang tidak terbuka
ketika berada di bawah naungan hikmah amaliahnya. Beliau penyempurna
amal orang-orang terdahulu dan pembuka jalan untuk orang lain.
p:358
p:359
p:360
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang benar. Dan kita sekali-kali tidak akan mendapatkannya kalau
Allah tidak memberi kita petunjuk. Salawat dan salam semoga
tercurahkan kepada seluruh nabi dan rasul, terutama penutup mereka dan
yang paling utama dari mereka, Muhammad, dan keluarganya yang suci.
Hari yang mulia ini adalah hari peringatan lahirnya Rasulullah yang
mulia Saw. dan lahirnya Imam keenam, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq.
Kepada mereka berdua ribuan penghormatan dan pujian kami haturkan.
Pada hakikatnya, tidak ada nikmat paling agung melebihi nikmat berwilayah.
Wilayah adalah batinnya kenabian dan risalah yang tidak terpisahkan
dari imamah (kepemimpinan) dan khilafah. Mengenali seorang nabi dan
imam akan menjadi jelas dengan mengenal wilayah. Orang yang berada di
bawah pengawasan dan pengaturan Allah secara langsung, dapat menikmati
kedudukan sebagai saksi di dunia dan saksi di akhirat, terjaga dari kesalahan
pemikrian dan perbuatan maksiat (ma’shum). Seperti dalam pembahasan
sebelumnya, dia akan menjadi ismul a’zhamnya Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an,
Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai wali yang spesifik (al-Waliyy al-khash).
Dalam Al-Qur’an al-Karim Rasulullah berkata, “Sesungguhnya waliku
(pemimpinku) adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab dan Dia
memimpin orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-A’raf: 196). Saya berada di bawah
kepemimpinan Allah. Pemimpin saya secara langsung adalah Allah yang telah
menurunkan Al-Qur’an. Dia adalah pemimpin orang-orang saleh. Ketika
manusia sampai pada tingkat berada di bawah kepemimpnan Allah, maka
sang tuanlah (pemimpinlah) yang akan mengatur seluruh urusan budaknya.
Setiap apa yang dilihat, didengar, dan yang dilakukan oleh manusia
sempurna, maka dia berada di hadapan Allah dan di bawah pengaturannya.
Dengan demikian, maka dia tidak akan melakukan kesalahan, terjaga
baik pola pikirnya maupun tindakannya. Logika dan amalnya tidak
mungkin salah. Hal itu karena Allah “Yang Maha Mengetahui segala sesuatu”
sebagai pemimpinnya. Rasulullah Saw. berada di bawah kepemimpinan
Allah Swt secara langsung, maka setiap yang dipahami adalah benar karena
beliau berada dalam pengawasan Pencipta Alam, “Dan Tuhanmu tidak akan
lupa” (Q.S. Maryam: 64). Allah-lah yang mengatur urusan Rasulllah Saw.
. Tidak ada kebodohan dan tidak ada lupa dalam ilmu Allah. Allah-lah
yang mengetahui semestinya. Dia adalah pemimpin dan pengatur urusan
utusan-Nya. Dengan demikian, tidak ada kebodohan dan kelalaian bagi
Rasulullah. Setiap yang dipahami Rasulullah adalah pemahaman yang
p:361
benar; setiap yang dipahami dan dihapal dijaga dengan benar. Oleh karena
Allah Mahakuasa, maka tidak ada kelemahan bagi kekuasaan-Nya. Allah Swt
Yang Mahakuasa yang mengatur urusan Rasulullah Saw., maka Rasulullah
mampu melakukan apa saja dan tidak bertentangan atau melakukan yang
haram. Setiap yang dipahami sungguh dipahami dengan benar. Setiap yang
dilakukan pasti benar karena ilmunya adalah contoh sempurna dari ilmu
Allah. Dari sisi keilmuan, Rasulullah adalah tanda-tanda keagungan Allah
yang paling mulia; begitu juga dari sisi pandang amal. Dinukil dari Ali bin
Abi Thalib bahwa dalam sabdanya beliau mengatakan, “Aku adalah tanda
keaguangan Allah yang paling besar”. Setiap yang dimiliki Rasulullah adalah
dari kekayaan AlQur’an, karena tidak ada tanda yang lebih agung daripada
Rasulullah Saw. dan Allah tidak menciptakan seseorang yang lebih mulia
dibandingkan Rasul-Nya Saw. .
Kemudian dikatakan: Sesungguhnya Allah adalah pemimpin orang-orang
yang saleh. Dalam Al-Qur’an, sifat dijadikan sebagai lawan dari
perbuatan. Al-Qur’an membedakan antara orang-orang Mukmin dengan
mereka yang beriman, antara orang-orang musyrik dan mereka yang
melakukan kemusyrikan. Al-Qur’an juga membedakan antara orang-orang
saleh (ash-shalihin) dan mereka yang melakukan amal saleh. Sifat bukanlah
perbuatan. Setiap orang yang dalam hatinya terdapat iman dan keyakian
dengan pengetahuan-pengetahuan agama maka dia adalah mukmin. Kadang-kadang
iman itu tidak sampai pada derajat pemilikan (tidak meresap kuat
dalam hati). Orang yang demikian ini baru termasuk mereka yang beriman.
Begitu juga halnya dengan amal saleh; kadang manusia termasuk yang
melakukan amal saleh dan kadang dia menjadi orang yang saleh. Apabila
amalnya yang saleh, maka dia termasuk kategori “orang-orang yang beriman
dan melakukan amal saleh”, dan apabila dirinya yang telah mencapai
peringkat kesalehan maka dia termasuk orang-orang yang saleh. Sebagian
wali kelak di akhirat bersama orang-orang yang saleh—“Sesungguhnya dia
di akhirat tergolong orang-orang yang saleh” (Q.S. Al-Baqarah: 3). Rasulullah
berkata: Sesungguhnya pemimpinku adalah Allah dan Dia memimpin
orang-orang yang saleh. Saya berada di bawah kekuasaan Allah
secara langsung. Rasulullah berada di bawah kekuasaan Allah secara
langsung karena beliau telah mencapai maqâm kesalehan dan itu juga karena
kesalehan yang Allah anugerahkan—“Sesungguhnya pemimpinku adalah
Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dan Dia memimpin orang-orang
yang saleh” (Q.S. Al-A’raf: 196). Oleh karena itu, kekasih ini yang tidak
pernah belajar di madrasah mana pun, telah meajdi guru bagi ratusan guru.
p:362
Simak syair berikut:
Kekasihku tidak pernah belajar di sekolah sama sekali,
Tidak pernah menulis satu huruf pun,
namun kini telah menjadi guru bagi ratusan guru.
Rasulullah tidak pernah membaca, tidak pernah belajar dari pikiran
manusia, tidak pernah memanfaatkan kitab atau tulisan, dan tidak pernah
meminta tolong pada seorang penulis atau orator. Ternyata beliau mencapai
kedudukan sebagai saksi mutlak, mengetahui semua rahasia alam semesta.
Semua itu karena Allah. Itulah komentar Mulla Sadra dalam kitab Mafatih
al-Ghaib (1)
yang lebih banyak membahas kenabian, risalah, wilayah, dan
karamah dengan panjang lebar. Menjelaskan perbedaan antara penglihatan
dan irfan (penglihatan batin), membedakan antara wali, nabi, dan imam,
antara hakim (orang bijak) dan ‘ârif (tahu). Dalam kitab itu Mulla Sadra
menjelaskan apa yang telah didapat Rasulullah Saw. adalah dengan cara
pemberian Ilahi dengan komentar sebagai berikut: Berkata lisan bagi para ârif,
penyair bagi para wali(yang dimaksud adalah Hafizh). Simak syair berikut:
Kemuliaan dan kedudukan itulah kenikmatan yang didapat tanpa usaha
getaran jantung. Jika tidak, maka semua kenikmatan surga hanya didapat
dengan usaha dan amal.
Kemudian menukil sebuah hadis Rasulullah yang terkenal, “Saya
adalah pemimpin semua anak Adam dan kuucapkan bukan karena bangga”.
Sebab kebanggaan itu karena usaha, bukan karena pemberian yang tidak
diusahakan, dan ini di luar pembahasan kita.
Oleh karena Rasulullah berada di bawah kekuasaan Allah, maka ilmu
dan amalnya pasti terjaga. Al-Qur’an telah menjelaskan hal itu dengan
berbagai bukti nyata atas ke-ismah-an Rasulullah dari semua kekurangan
dan kesalahan atau maksiat. Dalam surah Al-Jin dikatakan: Wahyu yang
turun dari Allah ke dalam hati Rasulullah untuk disampaikan kepada
seluruh manusia, adalah terjaga dari godaan setan. Ketika membicarakan
tentang kejadian kiamat, Al-Qur’an mengatakan, “Katakan, jika aku tahu
apakah sudah dekat apa yang dijanjikan kepada kamu ataukah Tuhanku
menjadikannya waktu” (Q.S. Al-Jin: 25). Kiamat tidak diketahui kapan akan
datang. Al-Qur’an mengatakan “Alam gaib maka tidak seorang pun tahu akan
kegaibannya, selain orang yang telah diridai dari utusan-Nya” (Q.S. Al-Jin:
26—27). Artinya, selain orang yang diterima Allah dan diridainya dari
para nabi, dan Rasulullah adalah orang yang diridai Allah. Dengan dalil
p:363
ini berarti Rasulullah mengetahui yang gaib tersebut. “Maka sesungguhnya
Dai mengadakan penjaga-penjaga di depan dan di belakangnya. Supaya dia
mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah
Tuhannya, sedangkan ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka,
dan Dia menghitung segala sesuatu satu demi satu” (Q.S. Al-Jin: 27—28).
Allah telah memberi penjaga benteng khusus dari malaikat untuk
menjaga jalannya wahyu, lalu mereka menjaga wahyu dari arah depan dan
belakang sehingga tidak terpengaruh oleh masukan atau peman faatan lain.
Dan juga karena kalbu Rasulullah dijaga oleh Allah. “Turun dengannya Ruhul
Amin ke dalam hatimu” (Q.S. asy-Syu’ara: 163—164). Rasulullah adalah
penjaga wahyu. Beliau mengambil wahyu dengan benar dan disampaikan
kepada manusia dengan benar pula serta tidak bakhil dalam penyampaian
dan penjelasan. Rasulullah tidak bakhil dalam mengamalkannya, tidak
salah dan tidak pula bodoh. Allah telah menjadikan untuk dirinya
penjaga—“supaya mengetahui bahwa mereka telah menyampaikan risalah
Tuhan mereka” dan menjelaskannya kepada manusia. Artinya, wahyu Allah
terjaga, sehingga sampai pada pendengaran manusia sebagai hujah(bukti)
nyata. Wahyu Ilahi sejak awal telah terjga hingga disampaikan. Akan tetapi,
ketika wahyu ini sampai pada pendengaran manusia dan diambil dengan
cara yang benar dan diamalkannya, atau barangkali mereka mengambilnya
dengan cara tidak benar dan meng amalkannya dengan bentuk yang sudah
dihias. Sebab wahyu senantiasa terjaga sejak turun hingga disampaikan
kepada manusia, “dan telah menghitung segala sesuatu dengan satu demi satu”.
Allah telah mengenalkan maqâm Risalah ini dalam beberapa tahap. Sesuai
ungkapan Allamah Thabathaba’i ra bahwa Rasulullah Saw. maksum dalam
penyampaian risalah dalam tiga dimensi:
1. Maksum di saat menerima wahyu dan mengambilnya dengan benar.
2. Maksum dalam pengambilan wahyu dan maksum di saat menjaganya.
3. Maksum di saat menyampaikan dan mendikte wahyu yang diambilnya
dan disampaikannya kepada manusia.
Adapun dimensi pertama, maka semua yang diambilnya adalah dengan
cara benar. Oleh karena itu, tidak mungkin salah di saat meng ambil wahyu.
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kamu menerima Al-Qur’an dari sisi Yang
Maha Bijak dan Maha Tahu” (Q.S. An-Naml: 6). Ruhmu bertemu dengan
wahyu dan kamu menerima ilmu Allah dengan hadirnya Sang Maha Bijak
dan Maha Tahu. Apabila manusia tidak mema hami wahyu dengan benar,
maka dia tidak akan dapat menerima wahyu, sedangkan di sisi Allah tidak
p:364
ada godaan setan. Tidak ada kemungkinan salah. Semua yang ada pada Allah
adalah benar. Kemungkinan salah akan terjadi apabila berada di tempat yang
dapat salah dan benar. Oleh karena itu, ada yang disebut meragukan karena
berada pada tempat yang mung kin salah. Tempat yang terdapat kebohongan
dan kejujuran akan ada sesuatu yang meragukan yang itu kemungkinan
jujur dan kemungkinan bohong.
Pada suatu tempat yang tidak ditemukan kesalahan, maka kemungkinan
salah pun tidak akan ada. Kesalahan, penyimpangan, kesesatan,
dan penipuan, semuanya berasal dari godaan setan. Dan kalau saja tidak
ada jalan bagi setan mengganggu wahyu dan secara langsung setan telah
mengakui bahwa tidak ada jalan baginya mendekati orang-orang yang
ikhlas, dan apabila setan terkutuk dan telah dikutuk dan diusir, maka tidak
ada jalan bagi setan untuk mendekat kepada Allah. Apabila “di sisi raja yang
Mahakuasa” (Q.S. Al-Qomar: 55) tidak ada jalan bagi setan, apabila tidak
ada jalan untuk menggoda Allah, dan apabila jalan untuk menipu Allah
tidak ada, maka sesungguhnya daerah operasi setan hanya berada di alam
materi dan khayali. Setan yang batas keberadaannya hanya pada tingkatan
kahyali, tidak ada jalan baginya untuk merusak keamanan akal semata.
Apabila tangan yang terulur kembali ke dada manusia yang tidak terjaga,
dan apabila setan tidak mampu merusak keamanan kebe naran, maka di sana
tidak ada kesalahan.
Jika kemungkinan salah tidak ada, maka kemungkinan keliru juga
tidak ada. Sebab hanya ada satu jalan, yaitu jalan benar; dan apabila hanya
ada jalan benar, maka tidak ada jalan lain yang diragukan. Apabila Amirul
Mukminin a.s. yang merupakan jiwa (nafs) Rasulullah, dalam Nahjul
Balghah berkata, “Aku tidak meragukan kebenaran sejak aku melihatnya”.(1)
Hal itu karena ketika berada di bawah kekuasaan Allah, di daerah kenabian
dan imamah, tidak ada jalan bagi setan dan tidak ada tempat untuk salah.
Kalau tidak ada kesesatan, kebodohan, dan kesalahan, maka berarti tidak ada
juga keraguan. Ragu itu didapatkan oleh manusia karena ketidaktahuannya
mengenai orang ketiga, apakah termasuk kelompok benar atau kelompok
batil. Jika tidak ada selain kebenaran, maka tidak akan ada wujud ketiga
yang diragukan. Berdasarkan ini, maka pada maqâm pengambilan wahyu
dan karena wahyu itu adalah “amin” “turun dibawa oleh Ruhul Amin”
(Q.S. asy-Syu’ara: 193), maka Rasulullah Saw. adalah maksum. Dia pergi
menemui wahyu dan bertemu dengannya, “Dan sesungguhnya kamu telah
menerima Al-Qur’an dari yang Maha Bijak dan Maha Tahu” (Q.S. An-Naml:
p:365
6) dan apa pun yang dibawa Ruhul Amin semua diambil Rasulullah Saw. .
Adapun dimensi kedua, yaitu bahwa setiap yang dipahami Rasulullah
Saw. , beliau akan menghapalnya (menjaganya) dengan benar. Oleh karena
tempat ilmu Rasulullah Saw. jauh dari godaan setan, maka tidak mungkin
setan datang menghapus suatu masalah dan menggantikan dengan masa lah
lain. Tidak ada khayalan yang merasuki kesucian akal Rasulullah sehingga
dapat menambah atau mengurangi suatu masalah atau menggantikannya
dengan yang lain. Tidak ada angan-angan yang dapat merasuki kesucian
wahyu, sehingga dapat mengurangi, menambah, atau menggantikannya.
Pengubahan dalam wahyu bukan hal yang mudah karena tidak ada
jalan bagi setan dan iblis untuk datang mengurangi, menambah, atau mengubahnya.
Pengurangan, penambahan, dan pengubahan adalah tindakan
khayali yang berasal dari dalam yang merupakan sebab terdekat atau iblis
dari luar yang merupakan sebab dari jauh. Dua musuh luar dan dalam ini,
baik keduanya melakukan rekayasa dari dalam atau yang satu dari dalam
dan yang lain dari luar, tidak ada jalan bagi keduanya untuk mendekati
kesucian wahyu masuk ke dalam tempat ilmu Rasulullah Saw. dan merusak
atau mengubahnya. Al-Qur’an al-Karim mengatakan, “Akan Kami bacakan
kepadamu maka kamu tidak akan lupa” (Q.S. Al-A’la: 6). Sesungguhnya
kamu(Muhammad) bukan orang pelupa. Dan kalimat “Illa ma sya Allah”
(kecuali Allah menghendaki) adalah sebuah penekanan yang bersifat
pengecualian, bukan berarti pengecualian tersebut sama denga kalimat “Illa
ma sya rabbuka”(kecuali apa yang dkehendaki Tuhanmu) yang terdapat
dalam ayat, “Mereka berada di dalamnya selamanya selama langit dan bumi
ada kecuali apa yang dikehendaki Tuhanmu” (Q.S. Hud: 107).
Pengecualian ini sebuah penekanan saja. Artinya, apa yang ada adalah
karena kehendak kekuasaan Allah, tidak ada penyerahan (tafwidz) sehingga
dapat keluar dari kehendak Allah. Peringkat ini dinamakan sebagai peringkat
penjagaan wahyu Ilahi. Dalam kitab Nahjul Balaghah, Amirul Mukminin
a.s. memuji Rasulullah Saw. dengan ucapannya, “Tempat ilmu-Mu sungguh
sangat terjaga”. Ilmu-Mu tersimpan pada diri Rasulullah Saw. . Kunci-kunci
ilmu gaib ada pada Allah—“Dan terdapat pada-Nya kunci-kunci gaib” (Q.S.
Al-An’am: 59). Apabila Rasulullah berada di sisi Allah bertemu dengan
wahyu, berada di sisi Raja yang Mahakuasa, berarti kunci-kunci ilmu gaib
diketahui oleh wali Allah, karena beliau sendiri adalah kunci ilmu gaib. Hal
yang gaib adalah bagian dari alam serba mungkin, kunci alam gaib juga
bagian dari alam tersebut. Berarti, alam semesta adalah bagian dari alam
imkan itu sendiri. Dan apabila Rasulullah berada di sisi Allah, berarti beliau
p:366
mengetahui kunci-kunci ilmu gaib yang diketahui oleh wali Allah, karena
beliau sendiri adalah kunci ilmu gaib. Hal yang gaib adalah bagian dari alam
serba mungkin. Kunci alam gaib juga bagian dari alam tersebut. Berarti, alam
semesta adalah bagian dari alam imkan itu sendiri. Dan apabila Rasulullah
berada di sisi Allah, berarti beliau mengetahui kunci-kunci alam gaib dan
mengetahui sebab-sebab kegaiban. Hal itu karena “sebab” adalah kunci
semua sebab. “Sebab” adalah kunci dari akibat. Penyebab pertama adalah
kunci penyebab kedua. Semua itu berada di sisi Allah sedangkan Rasulullah
berada di sisi-Nya. Oleh karena itu, tidak ada jalan bagi Rasulullah untuk
berbuat salah atau lupa pada ilmunya—“Kami akan membacakan kepadamu
maka kamu tidak akan pernah lupa”.
Dimensi ketiga adalah peringkat penyampaian wahyu dengan cara
dikte dan tabligh, dan lain-lain. Setiap yang diucapkan oleh lisan Rasulullah
atau yang keluar dari mulutunya yang penuh berkah adalah kelanjutan dari
wahyu—“Dan dia tidak berkata karena hawa nafsu, melainkan itu karena
wahyu yang diwahyukan” (Q.S. an-Najm: 3—4). Setiap yang diucapkan
Rasulullah adalah wahyu, baik dalam bentuk Al-Qur’an atau dalam bentuk
hadis atau dalam bentuk hadis qudsi. Beliau adalah pelaksana apa yang
difirmankan Allah karena Allah sebagai pemimpinnya—“Sesungguhnya
pemimpinku (pelindungku) adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab Al-
Qur’an”.
Pengikatan sebuah hukum karena adanya sebab—“Dan Dia melindungi
orang-orang saleh”. Berarti perlindungan urusan Rasulullah Saw. berada di
tangan Allah dengan cara menurunkan wahyu. Dengan cara ini
Allah berkata, “Lakukan demikian”. Dengan cara itu pula Allah mengatakan,
“Jangan kamu lakukan demikain”—“Jangan kamu gerakkan lisanmu
untuk membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya” (Q.S.
Al-Qiyamah: 16). Jangan kamu gerakkan lisanmu, jangan tergesa-gesa kamu
berucap sebelum kamu menerimannya melalui wahyu. Biarkan wahyu Ilahi
itu berjalan hingga sampai kepadamu. Ruh, akal, dan ucapanmu adalah
jembatan penyeberangan wahyu. Artinya, jadilah kamu sebagai reporter
wahyu(wakil). Apabila kamu menjadi reporter wahyu, maka kamu akan
menjadi saksi dan cahaya yang menyinari—“Pembawa berita dan pemberi
peringatan, yang menyeru kepada Allah (Q.S. Al-Ahzab: 45—46). Tiga tahap
ini dan kemaksuman Rasulullah Saw. yang telah disaksikan Allah, Allah
berkata: Sadarilah lisan Rasulullah dengan kesadaran yang maksum dan
tempat hapalan beliau adalah maksum.
Akal Rasulullah Saw. adalah maksum dalam menerima wahyu, yang
p:367
merupakan nikmat paling utama. Setiap ilmu yang ditangkap oleh akal
Rasulullah didapatkannya dengan cara yang benar. Akan tetapi, praktiknya
harus diketahui, apakah setiap yang beliau dapatkan dikatakan atau tidak,
apakah seluruh yang didapatkan itu diucapkan atau tidak. Hingga sekarang
terbukti bahwa setiap yang diucapkannya adalah benar. Apakah setiap yang
beliau dapatkan disampaikan atau tidak? Dalam surah Takwir dikatakan:
Rasulullah bukanlah seorang penebak atau khayali, sehingga sebagian yang
diwahyukan kepadanya tidak dikatakan. Setiap orang akan mendapatkan
bagiannya dari Rasulullah sesuai kemampuan masing-masing. “Kami para nabi
diperintahkan berbicara kepada manusia sesuai kemampuan akal mereka”.
Beliau tidak pernah berbicara kepada orang lain dengan ukuran pikiran dan
akal beliau kecuali kepada Ahlulbait yang maksum dan suci, “Rasulullah
tidak pernah berbicara kepada hamba dengan hakikat akalnya sama sekali”.(2)
Pensyarah Ushul al-Kafi seperti Mulla Sadra, memberi pengecualian
terhadap Ahlulbait as. Nikmat yang paling agung adalah nikmat keberadaan
wahyu. Allah berfirman: “Dan dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil
untuk menerangkan yang gaib”. Pengetahuan ini adalah nikmat yang paling
mahal yang pernah disampaikan kepada manusia. Rasulullah bersabda,
“Yang paling pemurah adalah Allah Jalla Jallaluhu dan aku adalah yang
paling pemurah di antara anak Adam”. Allah Maha Pemurah dari setiap yang
pemurah dan tidak ada yang paling dermawan di alam ini selain aku. Rasulullah
Saw. adalah manusia yang paling pemurah di antara manusia pemurah.
Pada pertemuan sebelumnya telah kami utarakan bahwa Rasulullah Saw.
bukan saja sebagai pemberani akan tetapi—sesuai ungkapan Maskawaih—
beliau adalah hakikat keberanian. Di sini perlu dikemukakan bahwa
Rasulullah bukan saja seorang pemurah akan tetapi beliau adalah jelmaan
dan hakikat dari kemurahan itu sendiri, bukan saja sebagai cahaya yang
menerangi ilmu akan tetapi beliau adalah pemurah dalam amal. Pemurah
yang tidak boros dan menghamburkan. Oleh karena orang yang
pemurah adalah orang yang memberi pada tempatnya, dan karena seluruh
amal Rasulullah Saw. maksum dan terjaga dari kesalahan, maka pemberian
beliau adalah kedermawanan pula. Oleh karena beliau telah menyebar
benih-benih ilmu di alam ini, karena beliau telah memberi materi dan itu
dilakukan pada tempatnya, maka beliau adalah seorang dermawan.
Pemborosan dan kikir merupakan dua sifat yang berlebihan. Keduanya
merupakan sifat yang tidak tepat untuk orang yang dermawan. Orang
p:368
yang menyebar benih yang bukan pada tempatnya disebut berlebihan, dan
pelakuanya disebut mubazir (pemboros). Benih itu tidak akan tumbuh besar
dan tidak akan memberi buah karena berlebih-lebihan. Artinya, mubazir
adalah orang yang menyebar benih bukan pada tempatnya, sedangkan
pemurah adalah orang yang menyebarnya pada tempatnya. Rasulullah
berkata, “Di seluruh lapisan masyarakat bahkan di alam semesta ini tidak
ada orang yang memiliki kedermawanan seprti kedermawananku karena
aku telah datang kepada manusia dengan membawa nikmat yang paling
utama—“Dermawan yang paling derma adalah aku”. Meksipun demikian
dilihat dari sudut kedermawanan secara lahir, beliau telah sampai pada
tingkat pengorbanan kepada umatnya dengan beberapa unta ketika berada
di Manasik Mina. Beliau bukan saja sebagai dermawan dalam bidang ilmu
tetapi juga materi. Beliau tidak pernah mengucapkan kata “tidak”. Imam
Sajjad juga tidak pernah mengucapkan kata “tidak”:
Tidak pernah berkata “tidak” kecuali dalam tasyahhud.
sekiranya bukan karena tasyahhud maka kata “tidak” nya adalah “ya”.
Apabila orang-orang maksum a.s. memiliki kedermawanan, maka
kedermawanan mereka itu berasal dari kedermawanan Rasulullah Saw. .
Apabila mereka memiliki ilmu dan kemaksuman, maka keduanya sangat erat
hubungannya dengan ilmu dan kemaksumannya Saw. . Ini adalah berkah
berwilayah, yaitu wilayah yang kadang berbentuk kenabian, dan kadang
berbentuk khilafah. Wilayah ini berupa imamah. Oleh karena itu, beliau
adalah pemimpin bagi orang-orang yang takwa. Mengapa? Karena beliau
sendiri telah menjelma dalam perjalanan takwa dan menjadi panutan orang-orang
yang bertakwa. Beliau pula yang mengajari takwa, beliaulah yang
membina orang-orang yang bertakwa. Beliau yang menerangkan ketakwaan
dan orang-orang yang ber takwa berada di bawah perlindunganya—“Dan
dia(Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang
gaib” (Q.S. at-Takwir: 24). Rasulullah juga menjelaskan masalah-maslaah
metafisik.
Allah menganggap bahwa nikmat risalah adalah mencakup setiap alam.
Allah juga menjanjikan bahwa agama ini, dari sisi ketinggian, ujungnya
sampai pada Sidratul Muntaha. Dan karena luasnya, agama ini akan abadi
hinga Hari Kiamat. Dari sisi derajat, “Mendekat dan terus mendekat, hingga
sebatas dua anak busur atau kurang”, sampai pada maqâm tertinggi yang tidak
dapat dibayangkan. Dilihat dari waktu, agama ini sampai pada derajat sebagai
agama yang universal mencakup semua alam. Dalam beberapa tempat, Al-
Qur’an menjelaskan tentang cakupan Al-Qur’an dan wahyu Rasulullah Saw.
p:369
terhadap semua alam—“Dialah yang mengutus utusan-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama
walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya” (Q.S. at-Taubah: 33
dan Q.S. ash-Shaf: 9); “dan cukup Allah sebagai saksi” (Q.S. Al-Fath: 28).
Apapun upaya yang dilakukan oleh orang-orang kafir dengan berbagai
pemikiran untuk membentengi diri melawan Islam, apa pun pertahanan
orang-orang muysrik, maka mereka tetap tidak akan mampu mengahalangi
kekuatan Islam dan tersebarnya risalah Islam ke seluruh dunia. Mengapa?
Karena saksi kekuatan dan tersebar luasnya ke seluruh dunia adalah Allah.
Allah mengatakan: Para utusan yang membawa wahyu kepadamu adalah
saksi atas risalah yang kamu bawa, sedangkan wahyu adalah saksi atas
kebenaran pengaku kenabian—“Dan berkata orang-orang yang kafir: ‘Kamu
bukanlah utusan’” (Q.S. ar-Ra’d: 43). Rasulullah berkata kepada mereka:
Aku adalah utusan Allah kepadamu, dan saksi atas pengakuan ini adalah
Allah. Allah-lah saksi atas kebenaran pengakuan risalahnya—“Katakanlah,
‘Cukup Allah saksi antara aku dan kamu’“. Artinya, katakan bahwa Allah-lah
yang menjadi saksi, dan sanad (sandaran kekuatan) kesaksian Allah adalah
wahyu-Nya. Al-Qur’an yang ada pada saya adalah kalam Allah. Apabila
kamu meragukannya, maka bawakanlah satu surah kecil yang sama. Allah
telah menjadi saksi bahwa aku adalah utusan-Nya. Hal itu karena kitab-Nya
ada pada saya dan sebagai mukjizat.
Apabila mukjizat para nabi sangat terbatas dan bersifat kondisional,
maka mukjzat Rasulullah Saw. bersifat umum dan luas. Bercakap (takallum)
dan percakapan (taklim) bagi sebagian nabi tekadang sebagai mukjizat, akan
tetapi bagi Rasulullah bercakap (takallum), percakapan (taklim) dan kalam
adalah mukjizat. Nabi Isa a.s. pada usia kecil sudah dapat berbicara di
mana orang seusia dia tidak akan mampu melakukannya—“Mereka berkata,
‘Bagimana kami dapat berbicara dengan orang yang masih kecil berada di
ayunan’” (Q.S. Maryam: 29). Pada usia kecil seseorang sulit berbicara, tetapi
Ruhullah Masihullah telah mampu berbicara pada usia kecil, dan itu sebagai
mukjizat, “Dia berkata, aku adalah hamba Allah, telah dibe rikan kepadaku
kitab dan menjadikan aku seorang nabi” (Q.S. Maryam: 30). Musa al-Kalim
a.s. dapat mendengar percakapan Allah—“Dan Allah telah berbicara keapda
Musa dengan pembicaraan yang sebenarnya”. Diajak ber bicara dan mendengar
percakapan Allah adalah sebuah mukjizat. Allah berbicara dengannya dan dia
mendengar percakapan Allah. Sementara orang lain tidak mampu mendengar
pembicaraan Allah, sedangkan Musa mampu melakukan hal tersebut.
p:370
Rasulullah memiliki mukjizat yang dinamakan berbicara(bercakap).
Karena, seorang yang buta huruf yang tidak dapat membaca, ketika
berbicara dengan wahyu maka pembicaraan tersebut adalah mukjizat.
Apabila manusia yang masih berusia muda berbicara dengan pembicaraan
yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain, hal itu adalah mukjizat. Seorang
yang berbicara pada waktu yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain, maka
itu adalah mukjizat. Apabila seorang buta huruf yang tidak kenal baca dan
tulis lalu membaca, maka itu adalah mukjizat. Seorang buta huruf berbicara
di luar kebiasaan manusia biasa itu adalah mukjizat. Bukan saja Allah
berbicara dengan Rasulullah pada waktu mi’raj tetapi juga pada selain mi’raj
pun dilakukannya. Adapun yang berkaitan dengan mi’raj jelas itu sebuah
mukjizat yang tidak dapat diingkari. Dalam mi’raj terdapat dua pembicaraan
yang dikutip pada akhir surah Al-Baqarah, “Rasulullah beriman dengan
apa yang telah diturunkan kepa da nya dari Tuhan nya dan orang-orang yang
beriman mengatakan semua beriman kepada Allah”. Rasulullah mendengarkan
pembicaraan Allah tanpa menggunakan perantara. Inilah yang dinamakan
taklimu Allah. Akan tetapi, Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah adalah
sebuah mukjizat. Sebab tidak seorang pun mampu berbicara seperti Al-
Qur’an. Mukjizat Rasulullah bukan hanya berada pada planet langit dan
lain-lain. Simak syair berikut:
Engkaulah yang menunjuk dengan ujung jarimu,
lalu bulan melem par kan gugusannya dari langit berkeping-keping.
Berbagai mukjizat ilmiah yang merupakan mukjizat terbesar ada pada
Rasulullah Saw. . Oleh karena itu, Allah berfirman, “Dan cukuplah Allah
sebagai saksi”. Allah telah bersaksi bahwa Al-Qur’an ini adalah kalam-Nya.
Apa pun sikap orang-orang musyrik, kafir, dan orang-orang munafik untuk
melawan Islam, maka Islam tetap akan mengalahkan mereka—“Cukuplah
Allah sebagai saksi”, dan ketika Allah megenalkan Rasul-Nya dengan
sifat-sifat mulia tersebut, Allah mengatakan: Jagalah sikap baik kalian
terhadap Rasulullah. Perlakuan baik sesuai kondisi disebut “adab”. Ketika
Ibn Abbas ditanya, “Apakah kamu lebih tua atau Rasulullah?” Ibn Abbas
menjawab, “Beliau lebih besar dan aku lebih berumur”. Sikap lembut dalam
pembicaraan semacam ini disebut “kecerdasan adab”. Menurut ungkapan
Alamah ra: Adab seorang Mukmin adalah munculnya sikap bertauhid pada
seluruh akidah, akhlak, dan tindakannya. Sikap lembut dan manis disebut
pula “adab”. Rasulullah adalah manusia yang beradab dengan adab Ilahi.
Kepada kita Allah berpesan: Bersikaplah kalian pada Rasulullah dengan adab
yang baik, jangan kamu panggil namanya dengan biasa, jangan kamu panggil
p:371
dengan suara keras, jangan kalian mendahuli berbicara, jangan jadikan suara
kalian di atas suara Nabi Saw. . Sekarang juga, ketika kamu pergi berziarah
ke makam Rasulullah Saw. janganlah kamu berziarah dengan suara keras,
dan yang demikian ini adalah adab Al-Qur’an. Dalam surah Al-Hujarat
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya”, dan juga seperti, “Hendaknya mereka tidak
mendahului berbicara sedangkan mereka harus melakukan perintahnya”.
Para malaikat Allah tidak berani mendahului Rasulullah dalam
berbicara. Mereka mengikuti perintah-perintah Ilahi. Dan kamu malaikat
biasa jangan sekali-kali mendahului Allah dan Nabi-Nya berbicara.
Jadikanlah pikiran, akhlak, dan amal kalian selalu mengikuti perintah
Allah dan Nabi-Nya; berjalanlah kalian di belakang mereka, “Jangan kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya dan takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Dalam ayat sesudahnya
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu
mengangkat suara kamu di atas suara Nabi”. Pada zaman Jahiliyah, ketika para
raja hendak menggantikan tahun Hijriyah dengan tahun mereka, mereka
sengaja mendahului Rasulullah—Al-Qur’an mengatakan; janganlah kamu
menjadikan suara kamu di atas suara Nabi, jangan kamu mengutamakan
sejarah masa lalumu dan nasionalisme di atas agama Allah. Singkirkan
itu semua. Jadikanlah Rasulullah sebagai panutan kalian.
* * * *
p:372
A
Akhirat 260
Akhlak 157, 159, 325
Alam x, 22, 139, 151, 154, 175, 179,
190, 206, 252, 258, 260, 266,
267, 269, 271, 273, 285, 287,
291, 294, 296, 311, 312, 314,
361, 363
Amal 22, 104, 286, 331
B
Barzakh 185
D
Dermawan 369
Dunia 17, 58, 59, 197, 215, 217, 252,
270, 282, 302, 303
H
Haq 86, 171, 188, 258, 270, 280, 285,
297, 311
Hari perhitungan 283
Hijaz 26, 233, 238, 249, 313, 358
Hikmah 15, 272, 305
I
Iblis 109
J
Jahanam 167, 178, 183, 194, 311,
315, 316, 344
K
Kehidupan 80, 83, 85, 88, 217, 287,
289, 302, 311
p:373
Kematian 83, 85, 89, 94, 196, 313,
316
Kesaksian 324, 325, 330, 331, 337,
338
Kiamat 23, 24, 26, 27, 63, 71, 73, 74,
75, 79, 80, 81, 105, 118, 120,
122, 148, 151, 171, 173, 175,
176, 177, 178, 179, 180, 181,
182, 183, 184, 187, 188, 189,
190, 192, 193, 196, 197, 203,
217, 233, 234, 237, 238, 239,
240, 241, 242, 244, 245, 247,
249, 250, 251, 253, 255, 256,
260, 261, 265, 266, 273, 274,
275, 279, 280, 283, 286, 287,
288, 289, 290, 293, 294, 296,
297, 298, 300, 303, 307, 311,
314, 315, 316, 322, 323, 324,
325, 329, 333, 334, 335, 336,
337, 338, 339, 340, 350, 363,
369
M
Ma’ad vi, 267, 271, 277, 283, 291,
305
Mabda’ 1
Makrifat 33, 199
Maksum 321, 364
Malaikat 178, 313
Mukjizat 90, 371
Mukmin 13, 14, 15, 38, 39, 41, 52,
53, 57, 80, 97, 178, 192, 193,
194, 195, 219, 220, 221, 222,
224, 236, 284, 288, 328, 335,
337, 347, 348, 352, 357, 362,
371
N
374 Makna Hari Kiamat dalam Al-Qur’an
Nabi 19, 21, 42, 45, 46, 52, 53, 54,
63, 71, 72, 97, 106, 144, 169,
178, 190, 194, 220, 221, 225,
237, 238, 239, 240, 242, 243,
244, 281, 315, 319, 323, 327,
336, 339, 340, 345, 347, 349,
350, 351, 353, 356, 358, 359,
370, 372
P
Pencipta 22, 40, 73, 79, 86, 90, 91,
93, 132, 133, 134, 140, 145,
146, 152, 153, 155, 168, 184,
190, 227, 233, 234, 237, 249,
270, 289, 298, 314, 361
R
Rasul 20, 21, 26, 30, 31, 39, 41, 43,
44, 46, 53, 58, 62, 64, 70, 72,
89, 91, 102, 115, 120, 124, 164,
165, 197, 203, 210, 220, 221,
222, 224, 238, 239, 240, 243,
244, 253, 323, 326, 327, 328,
330, 333, 334, 336, 342, 343,
350, 351, 353, 354, 361, 362,
371, 372
Ruh 185, 194, 197, 280, 325, 334,
335, 336, 348, 355, 367
S
Saksi 166, 319, 322, 334, 336, 337
Saleh 113
Samawi 17, 160
Setan 71, 108, 109, 117, 118, 123,
365
Surga 169
Syahid 335
T
Tabarri 33, 99
Tabir 340
Takwa 40, 199, 212, 215, 218
Tauhid 4, 23, 83, 299, 334
Tawalli 33, 36, 99
Thagut 236
Tuhan x, 3, 6, 8, 20, 22, 23, 31, 47,
70, 71, 73, 75, 85, 86, 87, 91,
101, 102, 115, 116, 119, 135,
136, 144, 145, 146, 147, 148,
153, 154, 155, 166, 170, 178,
180, 181, 182, 198, 214, 218,
227, 239, 240, 241, 244, 256,
266, 280, 285, 290, 294, 295,
296, 298, 300, 307, 308, 310,
311, 312, 313, 314, 328, 342,
364
U
Umat 102, 319, 323
W
Wahyu 17, 363, 364
Wali 41, 102, 104, 105, 115
p:374