21 Nasehat Penghalus Budi- Jilid 2

Point

عنوان و نام پدیدآور:21 Nasehat Penghalus Budi/ محمدتقی مصباح یزدی

ناشر: بنیاد تعلیم و تربیت امام خمینی ره

زبان:مالایی

مشخصات ظاهری: 2 جلد

موضوع:زندگی - دوستان خوب - نصیحت

p: 1

Point

p: 2

21 NASIHAT ABADI PENGHALUS BUDI

BUKU KEDUA

Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

p: 3

21 Nasihat Abadi Penghalus Budi: Buku Kedua

Diterjemahkan dari Pand_e Jawid (2) karya Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,

susunan Ali Zinati, terbitan Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini ra

Musim Dingin 1380 Syamsyiah

Penerjemah : Abdillah Ba’abud

Penyunting: Haydar Ali Azhim

Hak terjemahan dilindungi undang-undang

All rights reserved

Dilarang memperbanyak tanpa seizin penerbit

Cetakan I, Februari 2014/ Rabiul Akhir 1435

Diterbitkan oleh:Citra

Jl. Buncit Raya Kav.35 Pejaten Jakarta Selatan 12510

Telp.021-799 6767 Faks.021-799 6777

e-mail : penerbit_citra14@yahoo.com

facebook : penerbit citra

rancang isi : Five Images Studio

rancang kulit : zarwa76@gmail.com

ISBN : 978-979-26-0715-4 (no.jil.lengkap)

978-979-26-0733-8 (jil. 2)

p: 4

DAFTAR ISI

NASIHAT ABADI PENGHALUS BUDI ...iii

PENGANTAR PENERBIT EDISI PARSI ...xi

23 METODE HIDUP...1

Kehidupan Sementara... 4

Zuhud sebagai Jalan dan Prinsip hidup...8

Cara Mencari Harta Dunia ...17

24 KAWAN YANG BAIK ...23

Kecenderungan Fitrah Manusia untuk Bergaul...24

Cara Seimbang dalam Memenuhi Berbagai Kecenderungan dan Kebutuhan...26

Tolok Ukur bagi Pergaulan yang Terpuji...29

Neraca untuk Memilih Teman...34

Cara Memilih Teman...42

25 PENYAKIT HUBUNGAN SOSIAL...45

Apa yang Dimaksud dengan Buruk Sangka (Su’uzhzhan)? ...46

Maksud Larangan Berkaitan dengan kondisi dan Aktivitas Rohani...48

Batasan antara Prasangka Baik dan Prasangka Buruk...53

Keharusan untuk Mengetahui Kelayakan Seseorang...62

Penyakit Perusak Pertemanan...65

26 MENJAGA HATI...73

Neraca Pemanfaatan Kenikmatan Duniawi...74

Seburuk-Buruk Kezaliman...76

Kendali Hati...79

27 ANGAN-ANGAN PANJANG...91

Mukadimah...91.

Keselarasan antara Kesungguhan dan Kemampuan dalam Bercita-cita...99

p: 5

Ramainya Pasar Khayal dan Fantasi...101

28 HATI YANG BERSIH...107

Hati dan Berbagai Aktivitasnya...108

Sumber Makanan Hati...108

Asupan yang Baik Harus Diberikan Secara Dawam Agar Hati Bersinar...111

Hikmah Di Balik Pengulangan Perbuatan Ibadah dan Akhlak...112

Ilmu adalah Pelita Jalan...114

Faktor-faktor yang Menyebabkan Penyimpangan dari Tujuan...116

Menghargai Kebaikan Orang...118

Takamul Tidak Dapat Diraih dengan Kejahilan...119

29 KEDUDUKAN PENGALAMAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA ...121

Tanda Keberakalan...122

Peranan Pengalaman dalam Hidup...124

Manis dan Getirnya Pertemanan...128

Menunda-Nunda (Taswif) adalah Pencegah serta Penghambat Keberhasilan...131

30 KESEMPATAN-KESEMPATAN EMAS...137

Tidak Setiap Pencari Dapat Menemukan Apa yang Dicarinya...138

Bagaimana Cara Memanfaatkan kesempatan!...141

Musafir Tanpa Bekal Takwa di Dunia Tidak akan Pernah Sampai di Tujuan...142

Permintaan Maaf adalah Sesuatu yang Harus Segera Dilakukan...145

Keseimbangan dalam Menikmati Fasilitas yang Ada...147

31 AKAR SIFAT “SELALU MENCARI KEMENANGAN DAN KEUNGGULAN (INGIN SELALU DI ATAS)”...151

Keseimbangan dalam Memenuhi Beragam Keinginan...152

Pengaruh Tarbiah pada Pemenuhan Berbagai Gharizah...154

Akibat Buruk dari Sikap Berlebihan dalam Mencintai Diri...160

Penyembuhan Sifat Lajajah (Berkeras Hati)...162

Akibat dan Efek Lajajah...164

p: 6

32 BAHAYA DAN KEWASPADAAN...171

Memegang Amanat...172

Menjaga Amanah Selalu Bersifat Baik...174

Menepati Janji...176

Kerakusan dan Ketamakan adalah Perbuatan yang Bermuara pada Ketidakwarasan ... 177

Ujian Bagi Manusia adalah Sebuah Keharusan Berdasar pada Sunah Ilahi...179

Bekerja keras Dibarengi Tawakal adalah Jalan Tengah yang Harus Ditempuh...180

Kekhawatiran yang Rasional (baca: Masuk Akal)...183

33 HUBUNGAN SOSIAL...187

Peran Hubungan Sosial dalam Evolusi Serta Takamul Manusia ...189

Prinsip Umum dalam Berbagai Hubungan Sosial...193

Tanda Kebakhilan...199

Prinsip Berbagi dan Berderma...201

Hal-Hal yang Dapat Merusak Hubungan Sosial yang Sehat ...207

34 ADAB PERTEMANAN (1) ...213

Cara-Cara Memperkuat Hubungan Pertemanan...215

Cara-Cara Menyelamatkan Kehidupan Masyarakat dari Berbagai petaka yang Dapat Menghancurkannya...228

35 ADAB PERTEMANAN (2) ...233

Lebih Buruk dari Yang Buruk ... 234

Batasan Pertemanan dan Ukuran Ketulusan ... 237

Menghindari Posisi Tuduhan dan Fitnah...241

Kewajiban untuk Menjaga Kehormatan dan Harga Diri Yang Merusak Hubungan Pertemanan...245

Sikap l'tidal dalam Beragam Tanggung Jawab...248

36 ADAB PERTEMANAN (3)... 253

Sikap Kurang Kasih Sayang Jauh Lebih Baik Daripada Sikap Kasar ...254

Hubungan Pertemanan Tidak Akan Pudar...256

Kecenderungan-Kecenderungan yang Berlawanan...259

Menebar Cinta atau Kikir atas Kasih Sayang dan keramahan?...262

p: 7

Antara Memaafkan dan Balas Dendam...263

Menzalimi Diri Sendiri...267

37 MACAM-MACAM REZEKI...271

Takdir dan Qadha' Ilahi...272

Pengaruh Qadha-Qadar dari Sisi Tarbiah...275

Antara Takdir dan Taklif Syar'i...283

Keseimbangan jiwa dalam Perubahan Zaman...286

38 DUNIA YANG IDEAL...291

Cara Hidup di Dunia...292

Hakikat Kehidupan Dunia dalam Ideologi Para Nabi...294

Akhir dari Kehidupan Non-llahi...299

Perdagangan ala Al-Quran...301

Membeli Keridaan Allah (Ridhwan Ilahi) ...304

Tidak Ada yang Perlu Disesali dari Dunia...308

39 PELAJARAN SEJARAH (1)...313

Masa Lampau adalah Pelita Bagi Masa Depan...313

Logika 'Ibrah (Mengambil Pelajaran dari Orang Lain di Masa Lampau)...316

Ibrah Tanpa Logika...317

Sebuah Contoh dan Sebuah Catatan...320

Selembar Catatan dalam Sejarah...321

Balasan Kufur Nikmat...326

40 PELAJARAN SEJARAH (2)...329

Pengulangan atau Keserupaan Peristiwa-peristiwa...330

Masa Depan Berbeda dengan Masa Silam...335

Sistematika Peristiwa-peristiwa Sosial...339

Ringkasan dan Kesimpulan Bahasan...344

41 ANTARA MANUSIA DAN HEWAN...347

Peranan Keinginan dan Kecenderungan dalam Perilaku...347

Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Mewujudkan dan Menguatnya Keinginan...349

Pertentangan Di Antara Beberapa kecenderungan dan Keinginan...350

Batasan Antara Manusia dan Hewan...353

p: 8

42 MENGHARGAI HAK ORANG...357

Menghargai Hak Orang yang Menghargai Hak Kita...357

Pengertian Hak dari Sisi Undang-Undang...358

Tolok Ukur Menjaga Hak Orang Lain dalam Etika...360

Beberapa Problem yang Terjadi Sesama Manusia ...362

Jalan dan Cara Menghadapi Beragam Kesulitan dan Problem... 363

43 KEUTAMAAN DAN KERENDAHAN...371

Sikap I'tidal Adalah Tolok Ukur Keutamaan...372

Pengertian Batasan l'tidal...377

Sikap dan Perilaku l'tidal Sangat Dianjurkan Di Dalam Al-Quran dan Hadis...379

Antara Sikap moderat dan kezaliman...382

Sikap I'tidal dalam Angan-Angan dan Cita-Cita...385

p: 9

p: 10

PENGANTAR PENERBIT EDISI PARSI

Nahj al-Balaghah laksana samudera tak bertepi yang di dalamnya tersimpan berbagai permata yang sangat berharga. Kitab yang layak diberi sebutan “saudara al- uran” ini memiliki beragam dimensi (makna) yang berbeda-beda dan sepanjang sejarah telah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan ulama dan cendekia, baik muslim maupun nonmuslim. Sesuai dengan dzawa (cita rasa keilmuwan ), pemahaman dan potensi dirinya, masing-masing telah mengarungi satu sudut dari

samudera ini dan mengambil manfaat dari berbagai kekayaan yang terlihat maupun tak terlihat darinya. Salah satu matra paling muhim dan menonjol dari kitab

ini yang relatif banyak dijumpai di dalam materi-materi yang dikandungnya adalah aspek moral dan pendidikan (akhlak dan tarbiah). Nasihat-nasihat penting Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam bidang ini dapat menjadi petunjuk dan penuntun bagi para salik yang haus akan pencerahan rohani dan mencari hakikat-hakikat yang murni dan sejati dalam menempuh perjalanan mereka. Berdasarkan hal ini, seorang guru mulia dan alim berhati terang Profesor Muhammad

Taqi Mishbah Yazdi (semoga Allah memanjangkan umurnya) telah menjadikan salah satu maktubat penting dan sarat nilai Imam Ali as sebagai acuan dari rangkaian pelajaran akhlak beliau, sehingga dapat menyegarkan jiwa-jiwa yang haus akan

p: 11

pengetahuan ketuhanan (ma’arif ilahiyyah) dan nasihat akhlak (mawa'izh akhlaqiyyah) dari sumber yang penuh berkah ini. Buku ini bukanlah hal lain kecuali wasiat Imam Ali as kepada putra mulia beliau Imam Hasan Mujtaba as yang memuat banyak kandungan makna yang sangat tinggi dan luar biasa. Kini kami bersyukur kepada Allah Swt, karena dapat mempersembahkan kumpulan pembahasan dalam sebuah kitab yang ada di tangan Anda ini kepada segenap pencinta Imam Ali as dan para pengikut jalan wilayah, bertepatan dengan tahun yang oleh Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (semoga Allah memanjangkan umur beliau) dinamakan sebagai ahun “ Amirul Mukminin as”.

Mengingat materi-materi kitab ini telah disampaikan dalam bentuk ceramah, tentu tidak dapat disamakan dengan kitab-kitab pada umumnya yang memang sejak awal diniatkan untuk ditulis. Meskipun dalam penulisannya telah dilakukan perubahan atas redaksinya, bagaimanapun juga bentuk ceramahnya tidak sepenuhnya hilang dan sedikit banyak dapat terlihat di seluruh bagian kitab. Akhir kalam, perlu kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Agha Ali Zinati yang telah melakukan penulisan atas ceramah-ceramah ini dan juga kepada Hujjatul Islam Muhammad Mahdi Nadiri yang telah melakukan penyuntingan akhir atas kumpulan ini.

p: 12

23-METODE HIDUP

Point

وَ اعْلَمْ یَا بُنَیَّ أَنَّ مَنْ کَانَتْ مَطِیَّتُهُ اللَّیْلَ وَ النَّهَارَ فَإِنَّهُ یُسَارُ بِهِ وَ إِنْ کَانَ لایسیر . أَبَی اللَّهُ إِلَّا خَرَابَ الدُّنْیَا وَ عِمَارَةَ الْآخِرَةِ.

یا بُنَیَّ ! فَإِنْ تَزْهَدْ فِیمَا زَهَّدَکَ اللَّهُ فِیهِ مِنَ الدُّنْیَا وَ تَعْزِفْ نَفْسَکَ عَنْهَا فَهِیَ أَهْلُ ذَلِکَ وَ إِنْ کُنْتَ غَیْرَ قَابِلٍ نَصِیحَتِی إِیَّاکَ فِیهَا فَاعْلَمْ یَقِیناً أَنَّکَ لَنْ تَبْلُغَ أَمَلَکَ وَ لَنْ تَعْدُوَ أَجَلَک ،وَ أَنَّکَ فِی سَبِیلِ مَنْ کَانَ قَبْلَکَ.فَخَفِّضْ فِی الطَّلَبِ.وَ أَجْمِلْ فِی الْمُکْتَسَبِ،فَإِنَّهُ رُبَّ طَلَبٍ قَدْ جَرَّ إِلَی حَرَبٍ؛فَلَیْسَ کُلُّ طَالِبٍ بِمَرْزُوقٍ،وَ لَا کُلُّ مُجْمِلٍ بِمَحْرُومٍ.وَ أَکْرِمْ نَفْسَکَ عَنْ کُلِّ دَنِیَّةٍ وَ إِنْ سَاقَتْکَ إِلَی الرَّغَائِبِ،فَإِنَّکَ لَنْ تَعْتَاضَ بِمَا تَبْذُلُ مِنْ نَفْسِکَ عِوَضاً.

Ketahuilah, barangsiapa yang siang dan malam adalah kendaraannya, maka dia akan dijalankan olehnya, meskipun dia berdiam diri. Allah Swt tidak menghendaki kecuali kehancuran dunia dan kemakmuran akhirat. Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, maka sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu. Apabila engkau tidak menerima nasihatku tentang dunia, yakinlah bahwa engkau tidak akan meraih

p: 1

angan-anganmu dan engkau tidak bisa menghindar dari ajalmu. Ketahuilah, engkau sedang berjalan di jalan orang-orang yang (pernah hidup) sebelummu, maka bersikaplah tenang dalam mencari (dunia) dan gunakan cara yang baik untuk memperolehnya; karena betapa banyak pencarian yang justru berakibat pada hilangnya modal. Tidak setiap yang gigih mencari itu akan mendapatkan apa yang diinginkan, sebagaimana tidak setiap yang tenang dalam mencari itu akan hidup kekurangan. Muliakan dirimu dari setiap perbuatan yang menghinakan, meskipun hal itu akan menyampaikan dirimu pada apa yang engkau inginkan, karena setiap (nilai agama dan harga diri) yang telah engkau pertaruhkan tak akan pernah bisa digantikan.

Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, satu-satunya jalan untuk selamat dari berbagai penyimpangan dan godaan serta bisikan setan, adalah mengambil petunjuk dari cahaya ilmu serta bimbingan Ahlulbait as. Dalam rangka mendapatkan petunjuk tersebut, kami akan menjelaskan serta mengulas rangkaian nasihat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as, sebagai lanjutan dari apa yang telah diurai pada Buku Pertama. Dengan harapan, penulis dan pembaca dapat mengambil pelajaran dari sumber anugerah rabbani ini dan mendapat rida ilahi serta Hadhrat Wali al-Ashr (Imam Mahdi) ‘ajjalallahu farajahu al-syarif melalui jalan ini.

Sebelum segalanya, kita memohon kepada Allah Swt agar memberi petunjuk kepada kita semua dengan berkah cahaya-cahaya suci maksumin as serta kemuliaan darah para syuhada agung Islam, sehingga menjadikan hati kita layak menerima cahaya-cahaya ilmu Ahlulbait as dan pantas mereguk telaga Kautsar pengetahuan-pengetahuan Ilahi serta khazanah ilmu-ilmu rabbani.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Buku Pertama, surat wasiat Imam Ali as kepada Imam Hasan as dapat dibagi menjadi tiga bagian: pada bagian pertama, beliau

p: 2

menjelaskan tentang siapa yang memberi wasiat dan siapa pula yang menerima wasiat, di mana beliau menyebutkan beberapa sifat seputar dirinya sebagai pemberi wasiat dan juga putranya sebagai penerima wasiat. Beliau juga menjelaskan tentang kedudukan surat wasiat dalam kultur Islam, lalu menyinggung nilai wasiat-wasiat yang diberikan dan menyemangati orang lain untuk mengambil pelajaran serta petunjuk di dalamnya. Pada bagian kedua, beliau melakukan komparasi antara dunia dan akhirat, dan dengan memberikan penekanan pada kehidupan dunia yang bersifat temporal, beliau membangun dasar serta fondasi bagi sebuah pemikiran Ilahi yang berperan untuk menciptakan pandangan yang benar tentang kehidupan dunia serta hubungannya dengan kehidupan akhirat. Apa yang telah tertuang dalam wasiat ini, bisa dikatakan sebagai sebaik-baik keterangan berkaitan dengan hakikat dunia, yang diperkenalkan sebagai “tempat lewat” sehingga

dapat menjadi pijakan untuk menerangkan wasiat-wasiat beliau pada bagian akhir.

Pada bagian ketiga, beliau memberikan serangkaian nasihat dan program kerja yang penerimaannya telah beliau jelaskan pada bagian pertama dan kedua. Pada hakikatnya, bahasan-bahasan bagian pertama dan kedua adalah pintu gerbang bagi materi yang akan disampaikan pada bagian ketiga. Karena, dengan memberikan pandangan yang benar, dapat diwujudkan dasar untuk perbuatan baik serta pembenahan diri. Perbuatan yang benar dan tulus, juga pembenahan diri dan islah maknawi (spiritual), hanya dapat terwujud apabila manusia mempunyai pandangan yang benar tentang diri dan alam keberadaan. Oleh sebab itu, beliau tidak memberikan program kerja pada bagian pertama, bahkan program kerja tersebut baru diberikan setelah pencerahan pemikiran pada bagian pertama dan kedua, sehingga dapat menjadi pijakan yang cukup untuk masuk pada bagian ketiga. Bagian ketiga

p: 3

dijelaskan dalam keterangan-keterangan singkat serta kalimat-kalimat pendek; keterangan-keterangan yang tiap bagiannya memuat khazanah pengetahuan yang tak ternilai serta menyimpan dunia makrifat di dalamnya.

Kini tibalah saatnya untuk memaparkan serta mengulas bagian ketiga dari surat wasiat Ilahi ini yang berisi program-program kerja dalam balutan ungkapan-ungkapan singkat serta kalimat-kalimat yang pendek. Tentu, meskipun kalimat-kalimatnya pendek, ia memiliki kedalaman makna yang tak terhingga yang tangan pemikiran para penyelam hakikat tak mampu menjangkau dasarnya. Kenyataan tak terbantah ini telah memberikan alasan bagi sebagian ulama untuk memberikan penjelasan singkat dari lautan hikmah amali (praktis) ini dan tidak terlalu menyelami kedalamannya. Sementara kenyataan ini, juga telah menarik sebagian yang lain untuk memberikan penjelasan yang panjang-lebar atasnya. Di antara dua cara ekstrem di atas, kami memilih cara ketiga, yang merupakan jalan tengah di antara keduanya, yakni kami tidak akan memberikan penjelasan serta penafsiran yang luas dan mendalam dengan berbagai prolog serta epilog, namun juga

tidak dengan sekadar keterangan dan terjemah sederhana, tetapi akan diambil jalan tengah dan diberikan keterangan serta ulasan yang cukup jelas agar setidaknya dapat diraih berbagai mutiara yang sangat berharga dari lautan hikmah ini.

Kehidupan Sementara

Salah satu metode terbaik dalam menjelaskan sesuatu-yang sesuai dengan tabiat manusia—adalah dengan menggunakan metafora (perumpamaan). Imam Ali as

juga menggunakan metode ini. Beliau menggambarkan kehidupan duniawi manusia laksana seorang musafir yang sedang berpergian lalu menarik berbagai nilai hikmah dari perumpamaan yang sangat indah ini. (Beliau hendak

p: 4

menegaskan): Bahwa berdasar pada realitas, kesaksian, agama dan ilmu, manusia telah menerima sebuah kenyataan bahwa suatu hari nanti dia pasti akan meninggalkan dunia fana ini dan bahwa kehidupannya di dunia tak ubahnya seperti musafir lalu, sekalipun sangat berbeda dengan safar-safar pada umumnya. Dalam safar-safar biasa, kita sepenuhnya bebas dalam menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti kapan kita akan pergi, bagaimana kita

menempuh perjalanan, jalur mana yang mau dilalui, di mana saja kita akan berhenti, kapan kita beristirahat dan seterusnya. Tak diragukan, ketika kita bepergian dengan sarana serta biaya sendiri, meskipun dalam sebuah safar wajib seperti ibadah haji, kita mempunyai kebebasan dalam menentukan bagaimana safar tersebut dilakukan. Namun dalam safar lain, yaitu perjalanan mengarungi waktu serta menjalani usia, kita tidak mempunyai kebebasan seperti di atas. (Dalam perjalanan ukhrawi), kita tidak lagi bebas menentukan kapan tinggal dan pergi; baik kita suka ataupun tidak, mereka tetap akan mengajak kita pergi. Perjalanan ini

adalah sebuah perjalanan yang kendalinya tidak lagi berada di tangan kita. Kita tidak bisa menolak untuk tidak pergi, bagaimana pun kita tidak menginginkannya, kita tetap harus pergi. Inilah perbedaan mendasar antara safar-safar duniawi dengan safar ukhrawi. Pada safar-safar duniawi, manusia bebas untuk menentukan kendaraan, kecepatan serta tujuannya. Sebagai misal, seseorang bisa menentukan apakah saya akan naik kendaraan pribadi ataukah kendaraan umum, apakah

dengan kapal laut ataukah pesawat udara, dalam kecepatan tinggi ataukah rendah. Namun safar ukhrawi adalah sebuah perjalanan yang bersifat deterministik, baik kita mau ataupun tidak mau, tetap kita akan diajak dan dibawa untuk melakukan perjalanan tersebut. Apa pun yang terjadi kita harus pergi, pendapat kita tidak lagi diperhitungkan, kita tidak lagi bisa menentukan kapan waktu perginya bahkan dalam cepat atau

p: 5

lambatnya perjalanan, kita tidak bisa mengontrol apa pun berkaitan dengannya. Singkat kata, dalam safar ini kita tidak hanya tidak mempunyai hak untuk memberi keputusan dan mengemukakan pendapat, tetapi kita bahkan tidak mempunyai kemampuan untuk menunjukkan reaksi apa pun. Perjalanan ini adalah perjalanan deterministik yang telah ditentukan bagi kita. Mereka akan membawa kita paksa dengan sebuah kendaraan yang sangat cepat dan tak bisa dikontrol atau dikendalikan. Mereka menaikkan kita di atas kendaraan waktu dan hari-hari dengan kecepatan yang mereka inginkan. Kendaraan ini berjalan dengan kecepatan dan arah di luar kontrol serta kendali kita. Kendaraan itu akan membawa kita pada suatu tujuan yang telah digariskan serta ditentukan oleh amal perbuatan kita sendiri. Oleh sebab itu, kita harus mengenali hakikat perjalanan ini, memahami urgensinya serta selalu waspada atas setiap perilaku kita, agar tidak ada perbuatan yang asal-asalan sehingga dapat menjauhkan kita dari tujuan yang telah ditentukan dan mengantar kita pada kebinasaan. Kita harus selalu waspada bahwa kendaraan waktu yang cepat ini menuntut kehati-hatian serta ketelitian yang lebih dari kita.

Di sini perlu kami perlu memberikan penekanan ulang, meskipun dalam nasihat ilahi-samawi ini Imam Ali as menjadikan putranya Hasan bin Ali sebagai lawan bicara, pada hakikatnya semua pemuda menjadi sasaran nasihat beliau. Beliau mengajarkan kepada semua pemuda tentang hakikat kehidupan dunia. Dengan kata lain, sekalipun secara lahiriah beliau menyampaikan nasihat serta bimbingan ini kepada putranya sendiri, tetapi nasihat ini juga tertuju kepada semua pemuda yang memiliki karakter serta sifat-sifat kepemudaan pada umumnya seperti putra beliau. Bahkan karena beliau adalah pribadi yang sangat peduli pada nasib umat manusia secara menyeluruh dan menganggap serta menyayangi mereka tak ubahnya seperti anak-anak tercinta beliau, maka

p: 6

nasihat ini pun pada hakikatnya meliputi seluruh manusia. Seakan beliau hendak mengatakan kepada seluruh pemuda yang mencari kesempurnaan, “apabila kalian hendak mencari jalan menuju kebaikan dan kesempurnaan, kalian tidak akan menemukan jalan yang lebih baik dari jalan yang telah aku tunjukkan kepada putraku.” Apakah kalian pernah menemukan ayah yang lebih peduli daripada Ali atau putra yang lebih baik dari pada Hasan bin Ali? Kini kalian telah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah seumpama Ali as dan kalian telah diperlakukan seperti putranya yang maksum, maka hargailah perhatian serta kepedulian ini. Sadarilah, kalian sedang berhadapan dengan surat wasiat yang seperti apa! Kini dengan memerhatikan metafora yang lugas dan kaya makna ini, Imam Ali as berkata kepada putranya: "Ketahuilah, barangsiapa yang siang dan malam adalah kendaraannya, maka dia akan dijalankan olehnya, meskipun dia berdiam diri,” Siapa yang berkendara pada kendaraan zaman? Tentu yang menaiki kendaraan siang dan malam bukanlah sosok tertentu, tetapi kita semua dan siapa pun yang hidup di dunia berkendara di atasnya yang melaju dengan cepat tanpa pernah berhenti.

Seluruh penghuni masa berada di atas kendaraan waktu, dan baik mereka mau ataupun tidak mau, siang dan malam terus membawa mereka berjalan tanpa berhenti walau sesaat. Setiap kedipan mata, waktu berlalu dan tak akan pernah kembali. Dengan penyifatan yang seperti ini, tak diragukan kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan dan mempersiapkan bekal serta berbagai sarana kehidupan yang bahagia (di masa mendatang). Karena bagaimanapun juga, suatu hari nati kita akan mengarungi perjalanan dan sampai pada tujuan. Di sana kita sangat memerlukan sarana-sarana kehidupan yang memadai. Semua itu harus kita persiapkan sebelum tiba di sana.

p: 7

Mengingat bahwa kehidupan dunia adalah perjalanan menuju akhirat dan kita sedang berjalan ke arah akhirat, kita sudah tidak boleh berpikir bahwa dunia adalah tempat tinggal dan tempat menetap bagi kita. Kita sudah harus serius berpikir bahwa tempat menetap berada di luar dunia. Tentu kita sudah harus memikirkan bagaimana kita bisa hidup tenteram dan bahagia di sana. Kita tidak boleh lagi berpikir bahwa rumah dan bangunan di dunia ini akan selalu kokoh dan tegak berdiri untuk jadi hunian abadi. Tetapi kita sudah harus menerima kenyataan bahwa kehidupan dunia sedang berjalan menuju kehancuran, (sebagaimana yang ditegaskan

oleh beliau), "Allah Swt tidak menghendaki kecuali kehancuran dunia dan kemakmuran akhirat.” Kehidupan ukhrawi adalah kehidupan yang hakiki dan abadi. (Disebutkan dalam al- Quran): ...Wa innad daral akhirata lahiyal hayawanu...,(1)

yakni, sesungguhnya kehidupan akhirat adalah kehidupan yang abadi. Kehidupan yang sesungguhnya hanya di sana, sementara dunia hanyalah tempat lewat menuju kehidupan abadi ukhrawi. Dunia bukan tempat tinggal yang abadi, bahkan dunia tidak memiliki kelayakan untuk dijadikan tempat tinggal. Dunia tidak lebih dari sekadar jalan dan tempat lewat.

Oleh sebab itu, ia tidak abadi dan hanya bersifat sementara. Ketika dunia telah terbukti sebagai tempat lewat dan bersifat sementara, apakah ia masih layak untuk dicintai? Dari metafora di atas dapat dipahami dengan sempurna bahwa seberapa besar nilai kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan yang sesungguhnya dan telah menjadi jelas bahwa kehidupan dunia dibanding dengan kehidupan akhirat tak lebih dari sekadar tempat lewat yang sangat singkat, hanya sebuah jalan pendek yang menghantar kita menuju kehidupan abadi ukhrawi.

p: 8


1- 1.QS. al-Ankabut [29]:64.

Zuhud sebagai Jalan dan Prinsip hidup

Kini kita telah memahami posisi kehidupan dunia di alam keberadaan. Kita juga sudah mengetahui di mana serta ke mana kita akan pergi. Dengan begitu tentu kita akan dapat membuat neraca serta ukuran untuk apa yang harus kita lakukan di dunia dan apa pula yang harus dilakukan untuk akhirat. Kini kita telah mengerti bagaimana seharusnya kita perlakukan dunia dan akhirat dan apa yang harus kita usahakan bagi keduanya. Dalam kaitan ini, secara khusus Imam Ali as

berpesan, “Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu.”

Dalam menjelaskan bagian dari wasiat Ilahi ini, kembali dakwaan di atas mengemuka, bahwa sasaran dari wasiat Ilahi ini adalah seluruh umat manusia dan bukan hanya Imam Hasan as. Bagian ini menjadi bukti dan dalil atas dakwahan tersebut, karena seorang insan maksum seperti Imam Hasan as tentu tidak pernah terpaut hatinya pada kehidupan duniawi sehingga perlu menghindar darinya. Ucapan Imam Ali as yang berbunyi, “Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, maka sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu” tentu tidak dapat diterapkan pada pribadi suci seumpama Imam Hasan as, yakni tidak mungkin bagi Imam Hasan as untuk tidak mengamalkan apa yang dinasihatkan oleh sang Ayah. Sudah pasti Imam Hasan as akan mendengarkan, memerhatikan serta mengamalkan apa yang dipesankan oleh ayahnya. Nah, dari situ dapat disimpulkan bahwa dijadikannya Imam Hasan as sebagai sasaran wasiat, hanyalah sebagai sasaran formal (shuriy), sedangkan sasaran aslinya adalah seluruh manusia dan masyarakat awam. Cara memberi nasihat yang seperti ini adalah seperti yang sering diungkap dalam sebuah peribahasa (Persia) “Kukatakan kepada pintu,

p: 9

tapi dengarlah wahai dinding”, yakni kandungan makna kalimat akan menemukan sasarannya sendiri. Lawan bicara (mukhtahab) zahir kalimat Imam Ali as adalah putranya Hasan bin Ali, namun kandungannya lebih tertuju kepada umat manusia secara umum. Tujuan utama Imam Ali as dalam menjelaskan hakikat

dunia dan akhirat juga perbandingan posisi dunia di hadapan akhirat, adalah agar dapat diambil sikap yang benar atas kehidupan duniawi. Beliau menegaskan sikap yang harus diberikan pada kehidupan dunia sebagai berikut, “Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, maka sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu.” Seakan Imam Ali as hendak mengatakan bahwa satu-satunya perlakuan yang

pantas diberikan pada kehidupan dunia, adalah zuhud dan berpaling dari gemerlapnya, karena dunia tidak mempunyai kelayakan untuk diminati serta dicintai.

Tentu yang dimaksud dengan zuhud di sini bukanlah kemudian manusia tinggal di gua, hutan atau padang pasir serta menarik diri dari masyarakat. Tetapi maksudnya adalah manusia tidak terpaut hatinya kepada dunia. (Dalam pandangan Islam), hidup di dunia adalah sebuah tugas serta amalan wajib, sedangkan bermalas-malasan dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan duniawi, baik yang bersifat individual maupun sosial, baik yang bersifat material maupun spiritual, adalah perbuatan yang tercela dan bisa menjadi sebab kehancuran abadi. Karenanya, makna zuhud bukanlah meninggalkan dunia dan hidup di tempat-tempat terpencil jauh dari masyarakat, tetapi yang menjadi tujuan adalah tidak jatuh hati dan terpaut cinta padanya, sebagaimana Imam Ali as sendiri tidak menarik

diri dari kehidupan masyarakat dan tidak pernah mengajak orang untuk melakukan itu. Dengan demikian, makna zuhud adalah tidak mencintai dunia dan tidak menjadikan kehidupan

p: 10

dunia sebagai tujuan. Zuhud sama sekali tidak berarti kita tidak melakukan apa-apa di dunia, kita harus tetap bekerja dan beraktivitas di dunia, namun tidak untuk dunia. Kita harus senantiasa berjuang secara maksimal di dunia demi memakmurkan kehidupan akhirat serta meraih keridaan ilahi, sebagaimana Mawla al-Muwahhidin (Imam Ali as) juga memeras keringat dan membanting tulang bekerja di ladang, namun begitu sudah tumbuh dan mulai menghasilkan, beliau segera mewakafkannya. Zuhud dan menjadi seorang zahid tidak berarti bermalas-malasan dan berdiam diri, karena zuhud yang dimaksud dalam banyak ayat dan riwayat sama sekali berbeda dengan bermalas-malasan atau mengucilkan diri. Kita di dunia dituntut untuk berusaha secara maksimal dalam memakmurkan kehidupan ukhrawi dengan tujuan meraih rida Allah Swt dan tidak untuk tenggelam dalam gemerlap dunia yang menipu.

Imam Ali as sangat menyadari bahwa memang sulit untuk mewujudkan karakter zuhud. Tentu banyak orang yang tidak bisa menerima dengan lapang dada apa yang menjadi pesan beliau atau, bila menerima, sanggup untuk mengamalkannya. Oleh sebab itu, beliau kemudian dengan menyadari apa yang ada di benak serta pemikiran mereka tentang kehidupan dunia, memberikan arahan seperti ini, “Apabila kalian tidak bisa menerima sepenuhnya apa yang aku nasihatkan dan tidak

sanggup mengamalkannya secara sempurna", yakni kalian tidak bisa mencabut hati dari kehidupan dunia seperti Salman, Abu Dzar dan yang seperti mereka, yakni apabila kalian merasa tidak bisa hidup dunia tanpa terpaut pada beragam kelezatan serta kenikmatannya, maka setidaknya berusahalah sekuat tenaga untuk mengurangi keterikatan serta keterpautan padanya. Ketika kalian tidak dapat mewujudkan zuhud yang ideal dalam diri, maka jangan kemudian kalian menyerahkan

diri kalian begitu saja kepada dunia, tetapi setidaknya maksimalkan usaha untuk terus melatih diri agar terlepas

p: 11

dari kecintaan pada dunia dan meraih karakter zuhud. Jangan sampai diri kalian lupa akan hakikat dunia yang sementara dan fana. Jangan sampai pemikiran yang benar tentang dunia hilang dari ingatan. Dengan demikian, Imam Ali as tidak sepenuhnya melepas begitu saja orang-orang yang lemah dan tidak berdaya dalam

menghadapi godaan dunia, tetapi beliau tetap memberikan petunjuk serta bimbingan yang sesuai dengan kondisi mereka. Memang benar, yang menjadi tujuan utama Imam Ali as adalah bagaimana manusia dapat mencapai puncak tertinggi dari kezuhudan serta posisi ideal dari keberpalingan terhadap dunia sehingga hatinya benar-benar kosong dari ketertarikan padanya. Akan tetapi, ketika beliau menyadari bahwa ada orang-orang lemah yang tidak tahan atas godaan dunia, beliau tetap memberikan kiat-kiat khusus agar jiwa dan hati mereka tidak dipenuhi dengan keterpautan serta kecintaan padanya. Tak dapat dipungkiri, manusia harus berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia, bahkan sebagian harus bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan tersebut. Meski begitu adanya, tetap saja manusia tidak boleh kemudian jatuh cinta pada kenikmatan serta harta benda dunia dan menjadikannya sebagai tujuan hidup.

Tingkatan zuhud yang paling ideal adalah bahwa sekalipun berusaha dan bekerja di dunia semata-mata demi meraih kenikmatan duniawi, tetapi manusia melakukan semua itu demi meraih keridaan ilahi, karena semua itu akan berpengaruh positif bagi kebahagiaan abadinya. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki tekad yang seperti itu dan tidak mampu mengosongkan hati secara sempurna dari kecintaan terhadap dunia, setidaknya mereka harus memaksimalkan

kemampuan untuk tidak terlalu larut dalam mencintai dunia dan mengambil pola hidup seimbang (antara dunia

p: 12

dan akhirat), yakni jangan sampai meninggalkan kezuhudan secara total. Dan apabila engkau tidak menerima nasihatku tentang dunia, yakinlah bahwa engkau tidak akan meraih angan-anganmu dan engkau tidak bisa menghindar dari ajalmu. Dengan kata lain, apabila kalian tidak dapat menjalankan pesanku secara sempurna dengan menceraikan dunia; apabila kalian masih belum bisa membuang ketertarikan pada dunia serta keinginan untuk mencarinya, maka sadarilah bahwa tak ada manusia yang dapat meraih semua angan dan citanya. Berangkat dari kenyataan ini, setidaknya kendalikan nafsu serta kerakusanmu dalam mencari dunia. Meskipun engkau tidak bisa mewujudkan sifat zuhud dalam diri (yakni menjadikan akhirat dan Tuhan sebagai tujuan utama) dan mempunyai kecintaan yang luar

biasa terhadap dunia, setidaknya buanglah angan-angan yang terlalu panjang dan jauh; jangan selalu kauturuti apa yang menjadi keinginanmu dan jangan kauhabiskan umur serta pikiranmu hanya untuk mengejar angan-angan duniawi. Karena telah terbukti, mereka yang menghabiskan seluruh umurnya untuk mengejar dunia, ternyata tidak pernah berhasil untuk mewujudkan semua keinginan dan angannya. Dunia adalah tempat (pertarungan) yang sempit. Sudah

barang tentu tidak mungkin semua keinginan serta angan manusia dapat terwujud di sana. Sering terjadi, apa yang kalian inginkan juga diinginkan dan diincar oleh orang lain. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang bisa meraih apa yang menjadi angan serta keinginannya. Terkadang, apa yang diinginkan oleh seseorang bergantung pada berbagai sarana serta fasilitas yang tidak berada di bawah kendalinya secara menyeluruh, sehingga tidak ada kepastian baginya untuk meraih apa yang menjadi keinginan serta impiannya. Di sisi lain, pengalaman dan induksi membuktikan bahwa tidak ada manusia yang dapat meraih seluruh angan dan keinginannya,

p: 13

dan memang tidak akan ada yang mampu untuk mewujudkan seluruh angan dan keinginan duniawi. Nah, sementara kalian belum mampu menutup mata cinta serta keinginan hati dari dunia, maka perlu diketahui dan disadari bahwa angan-angan di dunia tidak akan pernah habis serta tidak seluruhnya dapat diraih. Tak sedikitpun diragukan, sebagaimana seluruh angan-angan di dunia tidak dapat dicapai, seluruh angan-anganmu pun juga tidak akan tercapai seperti yang lain; hanya sebagian angan-anganmu akan terwujud dan sebagian yang lain tidak.

Oleh sebab itu, setidaknya kurangilah kadar angan-anganmu. Apabila mencabut kecintaan pada dunia dari hati terasa sulit dan engkau merasa tidak mampu melakukannya, setidaknya lakukan pengendalian atas kadarnya. Di samping itu, engkau juga jangan melarutkan diri dalam mengejar angan-angan sepanjang waktu dan usia, tetapi berilah batasan waktu untuk berhenti berangan-angan dalam hal-hal duniawi yang pada hakikatnya sedikit dan tidak berharga. Sadarilah, setiap manusia mempunyai kesempatan hidup yang sangat terbatas, janganlah kaubiarkan dirimu untuk mengejar angan-angan yang membutuhkan waktu seribu

tahun untuk mewujudkannya. Berkaitan dengan angan-angan panjang Bani Israil dan orang-orang Yahudi, Allah Swt berfirman, Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan(1). Orang-orang Yahudi dan Bani Israil sedemikian cintanya kepada dunia hingga mereka ingin berumur seribu tahun. Seandainya mereka bisa mencapai keinginannya dan diberi kesempatan hidup selama seribu, mereka masih akan meminta tambahan seribu tahun lagi. Angan-angan dunia senantiasa menyibukkan

p: 14


1- 2 QS. al-Baqarah [2]:96.

hati mereka. (Kecintaan terhadap dunia), bisa menjadikan seseorang mempunyai angan-angan dan mimpi yang tidak realistis; apakah manusia bisa bertahan hidup selama seribu tahun, sehingga menginginkannya?! Boleh jadi ayat di atas hendak menjelaskan bahwa sering kali keinginan dan angan-angan manusia itu melebihi umur serta kesempatan hidupnya, bahkan melebihi usia dunia itu sendiri. Kemudian Allah Swt menegaskan bahwa angan-angan panjang seperti itu tidak akan terwujud dan masa hidup kalian akan berakhir sebelum terpenuhinya segala angan dann impian. Benar, dalam sejarah manusia, ada sekelompok manusia yang hidup selama seribu tahun, namun pada masa sekarang, pada umumnya maksimal usia manusia itu sekitar seratus dua puluh tahun. Sebagaimana disebutkan

dalam sebuah peribahasa: “Seratus dua puluh tahun adalah garis akhir dari kehidupan duniawi”. Usia manusia tidak akan mencapai seribu tahun, sehingga dia menyusun angan-angan untuk seribu tahun. Berhadapan dengan realitas yang tak terbantah ini, bagaimana sebagian orang masih saja mengejar angan-angan yang tidak mungkin diwujudkan dalam kurun waktu seratus tahun?!

Salah satu dari ketidakwarasan yang dilakukan oleh sebagian manusia adalah kerja serta usaha tak kenal lelah orang-orang yang sudah memiliki harta berlimpah. Meskipun dia mengetahui bahwa masa investasi di dunia terbatas, dia masih tetap mencari dan mengejar dunia dengan penuh kerakusan. Padahal, harta yang telah dia kumpulkan sudah begitu banyak dan dapat menghidupi keluarga serta anak cucunya hingga beberapa keturunan. Apa sebenarnya yang akan dia peroleh dari kerakusan ini? Di manakah titik akhir bagi kerakusan serta penumpukan harta ini? Apa sebenarnya yang terdapat dalam benak dan pemikirannya, sementara tidak

banyak lagi waktu menjelang akhir hayatnya?! Apa perilaku

p: 15

yang seperti ini mempunyai nama lain selain “kegilaan dalam menumpuk harta?!” Karena, sekalipun dia mengetahui serta menyadari bahwa dia tidak akan mampu menikmati serta memanfaatkan semua harta itu, dia tetap mengumpulkan serta menumpuknya dengan penuh kerakusan. Seakan-akan yang menjadi impiannya itu adalah sekadar menjadi kaya dan kekayaan itu tercatat atas namanya. Dia merasa mendapat kelezatan dari sekadar dikenal sebagai orang yang memiliki banyak harta dan kaya raya. Sebagai kesimpulan, jika kita berkeinginan untuk menikmati sebagian dari perkara-perkara duniawi dan berangan-angan untuknya, maka kita tetap harus mengingat dan tidak melupakan usia serta masa hidup yang terbatas. Dalam usia yang terbatas ini, hendaknya kita mengejar cita dan angan-angan yang sesuai dengannya. Jangan sekali-kali memimpikan angan-angan duniawi yang terlalu panjang, karena hal itu tidak bisa diraih dengan usia yang terbatas.

Jangan habiskan usia terbatas ini hanya untuk dunia. Apakah kalian mengetahui berapa lama masa hidup kalian di dunia dan tinggal berapa lama lagi sisanya, sehingga kalian habiskan untuk mengejar harta dunia dengan kerakusan tingkat tinggi? Pada masa kini, manusia pada umumnya hanya memiliki masa hidup antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Lalu bagaimana kita menumpuk angan-angan yang baru akan terwujud setelah seratus tahun!? Nah, jika memang kita mempunyai keinginan-keinginan di dunia, hendaknya kita sesuaikan dengan kesempatan hidup yang kita miliki. Kita harus memiliki cita dan angan-angan yang rasional dan realistis yang bisa terwujud serta bermanfaat bagi masa hidup yang sangat pendek ini.

Dan apabila engkau tidak menerima nasihatku tentang dunia, yakinlah bahwa engkau tidak akan meraih angan-anganmu dan engkau tidak bisa menghindar dari ajalmu. Ketahuilah, engkau

p: 16

sedang berjalan di jalan orang-orang yang pernah hidup) sebelummu, maka bersikaplah tenang dalam mencari (dunia) dan gunakan cara yang baik untuk memperolehnya ... Lihatlah orang-orang yang pernah hidup sebelummu, berapa lama sebenarnya mereka tinggal di dunia? Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka Jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal Kepada Rasul-Nya Allah Swt berkata, “Kami tidak memberikan umur yang kekal bagi manusia-manusia sebelummu, dan Kami pun tidak akan memberimu umur yang abadi. Adakah kepada orang-orang yang hidup sebelum masamu diberikan kehidupan yang kekal?(1) Tidak, mereka semua telah mati. Mereka telah meninggalkan dunia ini dan engkau pun juga akan meninggalkannya. Nah, sekarang ketika engkau menyadari bahwa semua telah pergi dan engkau juga akan segera menyusul mereka, dan dalam masa

hidup semua angan-angan tidak akan tercapai, maka jangan kerahkan seluruh kemampuanmu hanya untuk dunia semata! Apabila engkau ingin mengejar dunia, lakukan dengan tenang tanpa kerakusan! Jangan tidak berusaha sama sekali, tapi juga jangan mengejar dunia dengan kerakusan, kejarlah angan-angan dengan penuh kehati-hatian! Jika engkau tidak dapat mencerabut akar cinta dunia dari hatimu, setidaknya kejarlah hal-hal yang sederhana tanpa tergopoh-gopoh dan tergesa- gesa; kejarlah dunia dengan tenang tanpa loba!

Cara Mencari Harta Dunia

Mengingat bahwa arti zuhud adalah tidak mencintai dunia dan bukan meninggalkan dunia, maka baik akal sebagai rasul batin maupun syariat sebagai rasul zahir telah memberikan hak dan ruang bagi manusia untuk mencari dunia serta mengambil manfaat darinya. Namun, apa yang dapat dijadikan ukuran serta neraca dalam pencarian dan

p: 17


1- 3 QS. al-Anbiya' [21]:34.

pemanfaatan dunia? Di manakah letak batasannya? Apabila seseorang untuk bertahan dan melanjutkan hidup mau tidak mau harus mencari serta mengambil manfaat dari dunia, dan dengannya dapat melakukan penghambaan kepada Allah Swt, maka bagaimana seharusnya dia berhubungan dengan dunia agar tidak terpaut cinta padanya; bagaimana dia harus mengambil manfaat dari dunia, namun hatinya tidak terjerat serta tertawan olehnya?

Sesuai dengan tuntutan akal dan syariat yang menyatakan bahwa mencari dunia adalah sebuah keharusan yang tak terelakkan, setelah memberikan wasiat tentang kezuhudan, di sini Imam Ali as kemudian menjelaskan tentang cara yang benar dalam mencari dunia, agar penerima wasiat dapat mencari dunia dengan cara yang benar dan sarat keindahan; beliau berkata: “..maka bersikaplah tenang dalam mencari (dunia) dan gunakan cara yang baik untuk memperolehnya!” Keterangan di atas sering diungkap dalam literatur Islam dan riwayat-riwayat Ahlulbait as.

Dalam kitab-kitab fikih dan hadis(1) dapat ditemukan dalam bahasan tentang al-makâsib sebuah subtopik berjudul “al-ijma' al fi al-thalab" yang berarti cara yang baik dan benar dalam mencari harta dunia. Ada sekelompok orang yang mau dan sanggup menerjang apa saja, baik yang halal maupun yang haram, yang syar'i maupun non- syar'i demi meraih harta benda duniawi. Sebagai misal, apabila dia hendak mencari uang, rumah, mobil, kedudukan tertentu, wanita pendamping hidup atau keinginan-keinginan yang lain, dia cenderung melampaui batas, segala cara dia lakukan tanpa berpikir apakah cara tersebut dibenarkan oleh agama atau tidak, dia menghalalkan segala cara demi mewujudkan keinginan duniawinya tanpa peduli dengan kemuliaan dan kehormatan diri serta norma-norma insani. Padahal sebagai

p: 18


1- 4 Bihar al-Anwar, jil.73, bab 122, hal.92; jil.87, bab 12, hal.257; jil. 103, bab 1, hal. 103; Mustadrak al-Wasail, jil.8, bab 47; jil. 13, bab 10.

Seorang manusia seharusnya dia menempuh jalan yang mulia dan bermartabat dalam meraih beragam keinginan agar nilai-nilai kemanusiaannya tidak terinjak-injak. Hendaknya dia memerhatikan mana yang halal serta mana yang haram, agar kemuliaan insani dan islaminya tidak tergadaikan demi impian-impian duniawinya; hendaknya dia mencari dunia dengan cara yang benar dan mulia yang jauh dari kehinaan serta kerendahan perilaku.

Nah, ketika engkau mendapati dirimu tidak bisa berpaling dan menutup mata dari gemerlap dunia dan karena memang manusia tidak bisa berlepas diri secara total dari kebutuhan duniawinya, setidaknya tempuhlah jalan yang benar dan mulia dalam mencarinya tanpa harus mengotori diri dengan perbuatan haram yang menghinakan; dan jangan sekali-kali engkau menjual kemuliaan dirimu dengan dunia yang fana. Karena betapa banyak orang yang berusaha keras dan mati-

matian dalam mencari dunia, namun alih-alih dia mendapatkan keuntungan justru menuai kerugian dan berakhir dengan hilangnya modal kerja. Ada banyak pedagang yang mencari dunia dengan penuh kerakusan, tetapi mereka tidak sedikitpun mendapat keuntungan, bahkan seluruh modal kerjanya ikut habis terbuang dan mengalami kerugian yang besar. Karena tidak selalu mereka yang bekerja dengan penuh kerakusan sambil menghalalkan segala cara, akan mendapatkan harta

serta keuntungan yang lebih banyak. Beliau menegaskan, "Karena betapa banyak pencarian yang justru berakibat pada hilangnya modal. Tidak setiap yang berusaha keras mencari itu akan mendapatkan apa yang diinginkan, sebagaimana tidak setiap yang tenang dalam mencari itu akan hidup kekurangan." Yakni, banyak orang yang berusaha mati-matian justru mengalami kerugian dan banyak pula mereka yang berusaha dan bekerja secara wajar dan proporsional mendapat keuntungan yang banyak. Betapa banyak orang yang bekerja secara santun dengan perhitungan yang matang, tanpa kecemasan dan ketergesa-gesaan, tanpa menjual kehormatan

p: 19

dan kemuliaan diri, sambil menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan etika insan, mereka berhasil meraih manfaat serta keuntungan yang sebesar-besarnya dari kehidupan dunia. Sungguh tidak benar, mereka yang mencari dunia dengan penuh ketenangan melalui jalan-jalan yang benar dan sarat kemuliaan, pasti akan merugi dan hidup kekurangan! Oleh sebab itu, dalam mencari dunia, pilihlah jalan yang rasional, jalan yang dapat menjaga agama, kehormatan serta kemuliaan diri. Jangan hanya untuk mendapatkan harta dunia yang sangat tidak berarti, kemudian engkau injak-injak agama, kehormatan serta kemuliaan dirimu. Beliau

menasihatkan, "Muliakan dirimu dari setiap perbuatan yang menghinakan, meskipun hal itu akan menyampaikan dirimu pada apa yang engkau inginkan, karena setiap (nilai agama dan harga diri) yang telah engkau pertaruhkan tak akan pernah bisa digantikan.” Muliakanlah dirimu dari hal-hal yang hina dan

jagalah kehormatan serta kemuliaan dirimu; jauhilah perbuatan haram, menjilat serta menjual harga diri demi kebutuhan-kebutuhan sesaat duniawi, karena agama, kehormatan serta kemuliaan diri yang telah engkau korbankan, tak akan pernah tergantikan oleh harta benda duniawi yang tak berharga.

Seorang mukmin harus pandai menjaga kehormatan serta kemuliaan dirinya. Ketika membutuhkan sesuatu, tidak mengutarakan serta membeberkan kebutuhannya kepada setiap orang. Betapa indah pujian al-Quran kepada sekelompok orang yang berada dalam kebutuhan dan kesulitan ekonomi, namun begitu luar biasa mereka menjaga kemuliaan serta kehormatan diri sehingga masyarakat mengira mereka sebagai orang-orang kaya. Mereka sangat menjaga kemuliaan diri

sehingga tidak pernah meminta-meminta dengan cara yang melanggar etika. Allah Swt mengabadikan mereka dalam sebuah ayat yang artinya:

p: 20

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan

apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.(1) Mereka yang terdidik dalam ajaran Ahlulbait as tidak

akan pernah meminta-minta walaupun dalam kebutuhan. Apabila mereka diberi hadiah dan santunan secara sembunyi- sembunyi, wajah mereka memerah dan tidak sanggup untuk menerimanya. Namun, ada sekelompok manusia yang hanya karena harta benda tak berharga dunia sudi mempertaruhkan kehormatan serta kemuliaannya dan membeberkan apa yang menjadi kebutuhannya kepada setiap orang. Sementara seorang mukmin sejati tidak akan pernah melakukan hal-hal

yang menghinakan diri atau melakukan kejahatan demi meraih harta benda duniawi yang cepat berlalu; disebabkan dia telah mendengar nasihat dari Maulanya yang berkata, “Muliakan dirimu dari setiap perbuatan yang menghinakan, meskipun hal itu akan menyampaikan dirimu pada apa yang engkau inginkan; karena setiap (nilai agama dan harga diri) yang telah engkau pertaruhkan tak akan pernah bisa digantikan.” Jauhilah perbuatan yang menghinakan, sekalipun ia

dapat membawamu untuk meraih beragam keinginan. Boleh jadi, seseorang menempuh sebuah jalan yang dapat menyampaikannya padahal-hal yang diinginkan, namundengan harga yang sangat mahal, yaitu dengan mempertaruhkan kemuliaan, martabat, harga diri dan perbuatan-perbuatan yang menghinakan; sungguh suatu kebodohan! Apabila seujung jarum kemuliaan, martabat, harga diri serta agamamu dihinakan dan sebagai imbalannya seluruh dunia diberikan padamu, hal itu masih belum sebanding dengan harga diri,

p: 21


1- 5 QS. al-Baqarah [2]:278.

kemuliaan serta agamamu! Apa kira-kira yang bisa engkau raih dengan mempertaruhkan kemuliaan dan harga diri?! Yang pasti, engkau hanya akan mendapatkan sesuatu yang lebih rendah dari nilai kemuliaan serta harga dirimu dan tidak akan pernah sebanding dengannya, seberapa pun besar nilai materi yang didapat! Dengan kata lain, apa yang engkau pertaruhkan dari agama dan kemuliaan diri, maka engkau akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih rendah nilainya dari agama dan kemuliaan diri! Dengan demikian, apabila engkau memang tidak dapat menarik diri dari keterpautan pada dunia secara total, setidaknya carilah dunia dari jalan yang halal tanpa mempertaruhkan harga diri, kemuliaan serta nilai-nilai tinggi agama. Karena harga kemuliaan diri dan nilai-nilai agama jauh lebih besar bahkan dari ribuan dunia dan harta benda duniawi. Jangan pernah engkau timbang dan hargai agama serta kemuliaan diri dengan harta benda duniawi yang tidak

berharga, karena engkau tidak hanya akan kehilangan modal, tetapi engkau juga akan kehilangan jiwa dan dirimu sebagai pemilik modal.

p: 22

24-KAWAN YANG BAIK

Point

وَ مِنْ خَیْرِ حَظِّ امْرِء قَرینٌ صالِحٌ، فَقارِنْ أَهْلَ الْخَیْرِ تَکُنْ مِنْهُمْ، وَ بایِنْ أَهْلَ الشّرِّتَبِنْ عَنْهُمْ

Sebaik-baik keuntungan bagi manusia adalah kawan yang baik, maka bertemanlah dengan orang-orang baik niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka; dan jauhilah orang-orang buruk (jahat) agar engkau tidak dimasukkan dalam golongan mereka.

Bergaul, bersosial serta berhubungan dengan orang lain adalah sebuah keharusan bagi manusia. Cara dan bentuk pergaulanlah yang dapat bermanfaat atau merugikan bagi manusia. Hubungan yang benar akan mendatangkan manfaat sementara hubungan yang keliru akan berbahaya bagi kehidupan manusia. Apabila hubungan serta pergaulan didasarkan pada konsep Ilahi serta nilai-nilai mulia insani, hasilnya adalah kemajuan serta perkembangan jiwa manusia menuju hal-hal yang positif. Hasil itu mempunyai nilai dan arti Bagian ini terdapat sedikit perbedaan redaksi dengan apa yang tertulis di dalam Nahj al-Balaghah.

p: 23

yang sangat berharga bagi manusia. Mengapa? Jawabannya adalah karena kesempurnaan diri merupakan tujuan manusia. Oleh sebab itu, pergaulan dengan orang lain merupakan salah satu sarana bagi manusia untuk meningkatkan serta mengembangkan kualitas diri demi mencapai tujuan-tujuan mulia insani. Berkaitan dengan masalah ini, dengan bantuan serta inayah Ilahi, kami akan mencoba mengulasnya sebatas kemampuan.

Kecenderungan Fitrah Manusia untuk Bergaul

Dalam kehidupan dunia, manusia tidak bisa menghindari pergaulan dan bersosialisasi dengan orang lain. Meskipun bergaul dan berteman merupakan kebutuhan tak terelakkan bagi manusia dan tidak benar apabila manusia meninggalkan pergaulan, bukan berarti bahwa setiap bentuk pergaulan dan pertemanan itu baik dan dibenarkan. Nah, ketika bergaul dan bersosialisasi adalah sebuah keharusan, maka pergaulan harus berdasar pada sebuah neraca dan ukuran yang benar dan aman, sehingga manusia dapat menyaring serta memilih teman bergaulnya berdasarkan neraca tersebut. Apabila manusia dapat memilih teman bergaulnya secara benar, dia akan memperoleh manfaat serta keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebagaimana telah diketahui, kecenderungan untuk bergaul serta bersosialisasi

adalah kecenderungan yang bermuara pada fitrah insani dan tidak perlu dipelajari; kecenderungan itu begitu kuatnya sehingga manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang mempunyai tabiat “madani” serta fitrah sosial. Di sini kita tidak akan membuktikan apakah manusia itu benar-benar bertabiat madani ataukah tidak, mungkin akan dibahas pada kesempatan lain. Namun, kita semua menyadari dan mendapati bahwa keinginan untuk bersosial dan bergaul terdapat dalam

diri manusia. Oleh sebab itu, manusia merasa tidak nyaman dan kesepian hidup sendirian. Apabila seseorang dalam

p: 24

beberapa waktu, walau hanya sebentar, berada di sebuah tempat sendirian tanpa ada seorang pun yang menemani, pasti akan sulit baginya untuk melalui saat-saat itu. Apalagi bila dia terpaksa tinggal sendirian dan bukan merupakan keinginannya. Sedemikian kuatnya kecenderungan ini dalam diri manusia, sehingga dia tidak hanyak tertarik untuk bergaul dengan kawan dekat atau orang sekota saja, tetapi dia ingin berkenalan, berkomunikasi dan beramah tamah dengan siapa saja yang dia temui. Sebagai misal, apabila seseorang terdampar dan tersesat di padang pasir atau hutan, dan selama berhari-hari tidak dapat melihat atau berhubungan

dengan manusia, maka begitu dia melihat seorang manusia, tentu dia akan merasakan kegembiraan yang luar biasa seakan dia telah menemukan apa yang selama ini dicari dan dinanti.

Bahkan, meskipun orang yang ditemui itu asing dan belum dikenalnya atau bahkan dia tidak mengerti bahasa serta tidak dapat berkomunikasi dengannya, tetap saja dia merasa senang (karena tidak lagi sendirian). Dia akan berusaha dengan segala cara untuk mendekati, mengenali dan membangun komunikasi dengannya. Hal ini dengan sangat jelas membuktikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan alamiah untuk bergaul dan hidup bersama. Perlu digarisbawahi, besar dan kecilnya kecenderungan ini juga bervariasi dalam fase-fase usia manusia. misalnya, pada masa remaja kecenderungan untuk bergaul dengan orang lain terasa sangat kuat, sementara pada masa-masa berikutnya seiring dengan pertambahan usia, kecenderungan ini secara berangsur akan mengalami penurunan. Tak sedikitpun disangsikan, Allah Swt telah menganugerahkan kecenderungan ini dalam jiwa manusia berdasar pada hikmah-hikmah tertentu. Sebagai contoh, di

antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah bergaul dan

p: 25

berteman dengan manusia-manusia yang ideal dan sempurna (baca: insan kamil) merupakan sarana terbaik bagi manusia untuk mencapai kebahagian serta tujuan tertinggi insani. Mengingat pemenuhan kecenderungan-kecenderungan fitri manusia dapat dilakukan dengan dua cara dan bentuk, yaitu pemenuhan secara seimbang dan pemenuhan secara tidak seimbang (baca: ekstrem), maka kecenderungan fitri manusia untuk bergaul dan berteman ini juga dapat dipenuhi secara

ifrath dan tafrith, dan secara keseluruhan memang kehidupan manusia di dunia ini dapat berada di bawah dua pengaruh (baik dan buruk). Sebagai misal, manusia mempunyai kebutuhan pada makanan dan kebutuhan ini harus dipenuhi, namun tidak kemudian setiap makanan dengan sembarang takaran itu baik bagi manusia. Ketika terbukti bahwa kecenderungan tertentu itu bermuara pada fitrah manusia, tidak kemudian lantas boleh dipenuhi secara sembarangan tanpa syarat dan aturan. Akan tetapi, karena berbagai kecenderungan itu merupakan anugerah dari Sang Pencipta yang pasti sarat dengan hikmah dan dengan maksud menggiring umat manusia pada tujuan- tujuan tertentu, maka kita harus memenuhinya dengan memerhatikan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, dalam rangka memenuhi berbagai kecenderungan fitri, manusia dihadapkan pada dua jalan: Ada jalan yang baik dan benar, yang akan mendatangkan manfaat serta kesempurnaan bagi manusia, dan ada pula jalan yang keliru dan menyimpang, yang akan berbahaya, merugikan dan membuat manusia semakin jauh dari kesempurnaan. Tentu bagi setiap manusia yang mencari kesempurnaan dan kemuliaan, pasti akan memilih jalan yang pertama dan memenuhi berbagai kecenderungan fitrahnya secara seimbang dan proporsional. Rumusan ini (yakni pemenuhan kebutuhan secara seimbang) berlaku pada berbagai kebutuhan dan kecenderungan fitrah manusia,

termasuk pemenuhan kebutuhan libido, makanan, pergaulan dan lain sebagainya.

p: 26

Cara Seimbang dalam Memenuhi Berbagai Kecenderungan dan Kebutuhan

Pemenuhan kebutuhan secara seimbang dan proporsional, selain merupakan tuntutan syariat juga merupakan tuntutan akal sehat. Yang penting di sini adalah bagaimana kita dapat menjelaskan secara praktis dan realistis makna keseimbangan dan bagaimana memenuhi beragam kecenderungan serta kebutuhan dengan cara yang benar. Sebagai contoh, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk bergaul dan berteman. Dia sangat ingin untuk dapat memenuhi kecenderungan tersebut. Tak diragukan, ada hikmah serta tujuan yang tersembunyi di balik kecenderungan ini. Tentu hikmah tersebut dapat diwujudkan bila kecenderungan itu

dipenuhi dengan cara yang benar, seperti apabila seseorang menjadikan orang pandai dan orang yang berperilaku mulia sebagai teman bergaulnya, tentu dia akan mendapatkan banyak manfaat dari pergaulan seperti itu dan membantu proses penyempurnaan dirinya.

Akan tetapi, apabila seseorang tidak mengindahkan aturan pergaulan dan memilih orang yang berperilaku buruk dan sama sekali asing dari etika, pergaulan ini tidak akan memberikan apa-apa baginya selain kerugian, kehancuran, kerusakan dan bencana. Berbagai kecenderungan yang bermuara pada fitrah dapat juga diibaratkan dengan pedang dengan dua sisi yang sama tajam, yakni ia bisa menjadi sarana yang mendatangkan kebaikan dan keburukan; ia dapat menjadi

sarana kesempurnaan dan pada saat yang sama bisa menjadi penyebab kehancuran. Hampir semua kecenderungan insani bersifat seperti itu, termasuk juga kecenderungan untuk bergaul dan berteman.

Apa yang harus dilakukan, apakah kita akan mendasarkan hidup pada pergaulan dan pertemanan dengan semua orang, ataukah kita menyendiri dan tidak bergaul dengan

p: 27

siapa pun? (Jawaban yang benar) adalah memang manusia harus menyandarkan kehidupannya pada pergaulan serta pertemanan, namun perlu diperhatikan bahwa maksudnya bukan sembarang pergaulan dengan siapa saja tanpa norma, aturan dan batasan. Dengan kata lain, sebagaimana kita tidak dibenarkan untuk mengucilkan diri dan memutus hubungan dengan semua orang, kita juga tidak dibenarkan untuk membuka hubungan dan pergaulan dengan segala orang.

Dua cara bergaul di atas adalah salah dan bersifat ekstrem (ifrath dan tafrith) serta jauh dari keseimbangan. Di dalam bergaul dan berteman seharusnya manusia mengambil sikap seimbang, proporsional dan tidak berlebihan. Di kalangan ulama akhlak terdapat sebuah prinsip yang juga diterima di kalangan hukama (para filsuf), yaitu “prinsip keseimbangan”. Meskipun tidak begitu jelas apa yang kemudian menjadi ukuran serta neraca dari keseimbangan yang dimaksud, secara garis besar prinsip ini adalah sebuah prinsip yang benar dan dapat diterima. Sebagian ulama akhlak mengambil langkah lebih jauh, dan dengan mengikuti para

filsuf Yunani Kuno khususnya Aristotelian, meyakini bahwa keseimbangan merupakan neraca serta tolok ukur bagi kebaikan dalam perbuatan. Mereka hendak mengatakan, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang jauh dari ifrath dan tafrith; perbuatan yang di dalamnya terdapat keseimbangan, sikap

moderat, tidak ekstrem dan tidak berlebihan. Keterangan di atas boleh jadi tidak dapat diterima secara menyeluruh, tetapi dapat dikatakan bahwa keseimbangan bisa menjadi neraca yang sangat bagus untuk menilai perbuatan serta perilaku yang baik, karena di dalamnya tidak banyak ditemukan pengecualian. Boleh jadi, sikap seimbang dan moderat dapat menjadi faktor penilai kebaikan dalam segala perbuatan. Perlu diketahui, dalam riwayat-riwayat Ahlulbait as dapat ditemukan keterangan-keterangan yang mengukuhkan makna

p: 28

ini. Sebagai misal, dalam sebuah riwayat yang sangat populer, Imam Musa Kazhim as berkata, “Sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah (yakni, tidak kurang dan tidak juga berlebihan).(1) Atau dalam riwayat lain disebutkan, “Sebaik- baik perkara bagiku adalah jalan tengah dalam kebenaran.(2) Juga disebutkan dalam sebuah riwayat: “Sebaik-baik manusia di sisiku adalah mereka yang mengambil jalan tengah (bersikap moderat), maka dekatilah mereka!(3) Sebagaimana yang telah dijelaskan, riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa menjaga keseimbangan dalam perilaku dapat dijadikan sebagai sebuah neraca dan ukuran, meski tidak dapat dianggap sebagai dalil yang bersifat mutlak dan qath’i. Alhasil, setelah diketahuinya tujuan dari kehidupan, manusia harus menggunakan berbagai kecenderungan dirinya secara benar dan seimbang demi tercapainya tujuan tersebut. Karena tanpa keseimbangan, yang akan terjadi adalah penyimpangan serta menjauhnya manusia dari tujuan.

Tolok Ukur bagi Pergaulan yang Terpuji

Telah kita ketahui, semata-mata bersandar pada keseimbangan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Untuk membuktikan keterangan di atas, cukup dikatakan: apabila seseorang yang tidak mempunyai tujuan atau sedang mengejar tujuan-tujuan yang batil, menerapkan pola keseimbangan, dia tidak akan dapat mencapai kebenaran serta tujuan idealnya. Oleh sebab itu, sikap moderat dan gerak seimbang ini harus mempunyai tujuan yang benar. Apabila seorang manusia mampu menentukan tujuan yang baik dalam hidupnya dan berperilaku seimbang dalam beragam kecenderungan fitrinya, dia akan mengalami keberhasilan. Karena sekadar bersikap seimbang tidaklah cukup meraih kebahagiaan, sebagaimana

p: 29


1- Bihar al-Anwar, jil. 76, hal.292.
2- Nahj al-Balaghah, Surat ke-53.
3- Nahj al-Balaghah, Khotbah ke-127.

sekadar mengetahui tujuan hidup yang benar juga tidak akan menjadikan manusia mampu meraihnya. Nah, setelah kita mengetahui pola gerak yang benar dalam

menggapai tujuan, yaitu pola seimbang dan moderat, kini tibalah saatnya untuk dikaji dan dijelaskan apa sebenarnya tujuan hidup manusia.

Berkaitan dengan manusia serta tujuan hidupnya, setidaknya ada dua pandangan yang mengemuka. Ada pandangan yang melihat bahwa manusia merupakan sebuah kumpulan dari bermacam urusan dan beragam dimensi. Mereka yang berpandangan seperti ini, mengatakan manusia mempunyai banyak sisi dan dimensi. Sebagai misal, manusia mempunyai (kebutuhan akan) makanan, pakaian, pergaulan, istri, anak-anak, pekerjaan, studi dan lain sebagainya, yakni sebuah kumpulan dari bermacam urusan serta aktivitas yang masing-masing mempunyai tujuan tersendiri. (Dalam pandangan kelompok ini), berbagai macam urusan itu berdiri

sendiri dan tidak saling terkait. Sepertinya dalam pandangan ini, manusia bukanlah satu maujud, tetapi beberapa maujud yang disatukan sehingga jadilah seorang manusia dengan bermacam urusan dan beragam dimensi; sementara berbagai urusan tersebut (yakni, makanan, pakaian, pasangan, anak, pekerjaan, studi, ...) tidak saling terkait dan berhubungan. Singkat kata, urusan-urusan tersebut satu tidak sama dengan yang lain dan manusia diharap mampu untuk menciptakan

keseimbangan di antaranya. Dengan begitu, tujuan utama manusia adalah memenuhi beragam kebutuhan dengan menjaga keseimbangan di antaranya.

Pandangan yang lain mengatakan, manusia telah diciptakan untuk meraih tujuan tertentu. Segala urusan dan kebutuhan manusia adalah sarana baginya untuk mencapai tujuan yang satu itu. (Dan tidak benar bila dikatakan), bahwa

p: 30

manusia mempunyai beberapa tujuan yang harus ditempuh dan diraih dari beberapa jalur yang berbeda. Untuk memahami dua pandangan ini secara lebih

baik, ilustrasi berikut ini akan membantu. Bayangkanlah sekumpulan kabel kecil yang dibungkus dalam kabel yang lebih besar. Dalam kumpulan tersebut, masing-masing kabel kecil bermula dari sebuah tempat dan berakhir pada tempat yang lain. Satu kabel tidak berhubungan dengan yang lain dan beberapa kabel tersebut hanya dikumpulkan dalam sebuah kabel besar tanpa ada hubungan di antaranya. Kabel-kabel tersebut, ada yang menyalakan lampu, kipas angin, setrika,

televisi dan lain sebagainya. Orang yang menyaksikan kabel besar tersebut, berpikir bahwa itu hanya satu kabel, padahal di dalamnya terdapat banyak kabel kecil (dengan fungsi yang berbeda-beda); karena masing-masing bermula pada sebuah tempat dan berakhir di tempat tertentu. Nah, sekarang harus dipertegas, apakah manusia adalah maujud yang seperti itu? Yakni, manusia adalah sebuah maujud yang di dalam tubuh serta jiwanya terdapat beragam rangkaian yang berbeda-beda, yang masing-masing bermula dari sebuah tempat dan berakhir di tempat tertentu dan tidak ada hubungan serta kaitan antara satu dengan lainnya. Atau

tidak seperti itu, yakni meskipun terdapat banyak rangkaian dan sarana dalam tubuh dan jiwa manusia, semua itu mengarah pada sebuah titik serta tujuan yang sama. Dengan kata lain, apakah kanal-kanal ini akan berakhir pada satu lautan atau setiap kanal itu bermula pada sebuah tempat dan berakhir

di lautan yang berbeda satu dengan lainnya? Apakah roh manusia adalah sebuah maujud yang mengambil energi serta manfaat dari berbagai sarana dan jalur menuju satu tujuan akhir dan kesempurnaan tertinggi, yakni manusia adalah satu maujud dengan satu tujuan; atau tidak seperti itu, yakni roh manusia adalah sebuah kumpulan dari beragam dimensi

p: 31

yang berdiri sendiri dan terdapat tujuan khusus bagi masing- masing dimensinya? Yang dapat disimpulkan dari berbagai ayat dan riwayat, di antara dua pandangan di atas adalah bahwa Islam memandang bahwa hakikat manusia tidak lain adalah roh ilahinya yang telah ditiupkan ke dalam raga. Raga hanyalah sarana bagi roh dan jiwa untuk berevolusi dan menyempurna sehingga dapat meraih tujuan yang telah ditentukan baginya. Ketika manusia bisa sampai di sana, ia akan mendapatkan beragam nikmat rohani dan jasmani dalam kualitas yang sempurna.(1)

Adapun apa gerangan tujuan tersebut dan di mana, pertama, harus disadari bahwa karena kita belum sampai pada tujuan, maka sudah barang tentu hakikatnya belum jelas bagi kita. Hal itu disebabkan “tujuan” tersebut termasuk dalam kategori sesuatu yang harus diraih dan ditemukan, bukan sesuatu yang hanya diketahui. Yang belum menemukan dan meraihnya, tentu tidak akan mengerti serta memahami hakikatnya. Sekadar mengetahui dan memahaminya tidak akan mengantar kita pada hakikat dari tujuan yang sangat mulia itu, bahkan kita tidak akan mampu sekadar memberinya nama. Kita mengetahui bahwa nama (tujuan tertinggi) itu adalah “kedekatan dengan Allah Swt”. Dengan kata lain, tempat yang harus diraih manusia adalah sebuah tempat yang menjadikan manusia berada dekat dengan Rabb-nya. Kita hanya mengetahui satu titik, satu tujuan dan sesuatu yang dicari, dan itu tidak lain adalah kedekatan dengan Allah Swt. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan adalah kedekatan dengan Allah Swt, semata-mata berdasar pada dasar-dasar pandangan Islam yang benar, yang menyatakan bahwa tujuan hakiki

kehidupan manusia adalah kehidupan abadi di sisi rahmat ilahi. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan adalah kedekatan dengan Allah Swt, karena memang tujuan tersebut telah dijelaskan dalam literatur keislaman, seperti ketika Allah

p: 32


1- 10 Asfar Arba'ah, jil.9, hal.97 dan 164.

Swt menjelaskan permohonan serta doa Asiyah istri Firaun: Rabbibni li 'indaka baitan fil jannah (Ya Allah, dirikanlah bagiku di sisi-Mu sebuah rumah di surga!(1) Di dalam al-Quran banyak ayat yang memuat makna “di sisi Tuhan”, seperti, Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya; mereka akan memperoleh derajat-derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.(2) Di tempat yang disenangi (shidq) di sisi Tuhan yang berkuasa.(3) Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (4) Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) di sisi Tuhannya dan Dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.(5) Ungkapan-ungkapan seperti “fi jiwarillah” atau “fi jiwari rahmatillah," merupakan ungkapan-ungkapan irfani yang juga memberikan makna seperti ayat-ayat di atas (yakni, di sisi Tuhan atau di sisi rahmat-Nya). Apa kira-kira ungkapan yang bisa dipilih untuk menyampaikan makna tinggi dan ideal bagi kedekatan dengan Allah Swt? Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, tidak ada lafaz dan kata yang bisa menjelaskan hakikat agung tersebut, yakni akan sampai di mana perjalanan manusia dan apa sebenarnya tingkatan wujud tertinggi bagi kesempurnaannya! Apa yang biasa digunakan dalam bahasa urf untuk menggambarkan kesempurnaan tertinggi ini, tidak lain adalah apa telah disinggung di atas, seperti “di dekat Tuhan”, “di sisi Tuhan”, “fi jiwarillah” atau “fi jiwari rahmatillah.”

p: 33


1- QS. al-Tahrim [66]:11.
2- QS al-Anfal [8]:4.
3- QS. al-Qamar [54]:55.
4- QS. Ali Imran (3):169.
5- QS. al-An'am (6]:127.

Lafaz-lafaz tersebut mengisyaratkan maqam Ilahi yang hakikatnya di luar pemahaman kita. Mudah-mudahan bila nanti kita sampai di sana, kita akan memahami hakikat makna dari maqam tersebut. Apabila kita menggunakan nikmat-nikmat Ilahi yang tak terbatas, kita harus memanfaatkannya dalam rangka mencapai tujuan suci itu dan kita harus menyesuaikan gerak dan langkah kita dengan tujuan tersebut. Kita harus selalu memantau mana perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri

pada tujuan itu, untuk secara terus menerus kita tekuni dan kita juga harus memanfaatkan serta mengarahkan berbagai kecenderungan internal pada maqam tertinggi itu. Oleh sebab itu, yang perlu dijadikan neraca untuk memilih jalan benar dalam memanfaatkan berbagai kecenderungan dan naluri adalah sejauh apa pengaruhnya dalam mendekatkan diri pada tujuan tertinggi itu. Karenanya, semata-mata keseimbangan, tidak dapat menjadi neraca yang tepat dan

benar. Akan tetapi, keseimbangan hanya boleh dijadikan penggerak yang memberikan pengaruh positif, bukan sebagai kepastian (burhan). (Keseimbangan), tidak dapat menjadi penunjuk jalan dan bagaimana seharusnya penggunaan berbagai kecenderungan serta anugerah Ilahi secara benar.

Kita tidak mengetahui secara pasti batasan keseimbangan atas setiap kecenderungan, nikmat dan kebutuhan? Apabila kita mengetahui secara jelas batasan keseimbangan dari masing-masing kecenderungan dan nikmat, barulah kita dapat menggunakannya hingga sampai pada tujuan akhir yang diinginkan. Keseimbangan itu sendiri tidak dapat memberikan batasan yang jelas serta terpecaya dalam pemanfaatan masing- masing kecenderungan dan anugerah.

Neraca untuk Memilih Teman

Nah, ketika manusia tidak dapat meninggalkan pertemanan serta pergaulan dan harus mengarungi perjalanan kehidupan

p: 34

ideal dari celah hidup bermasyarakat, maka untuk menentukan arah perjalanan yang benar, dia harus memiliki sebuah kompas yang bisa menjadi penunjuk arah dan jalan. Namun, sebelumnya, kita harus benar-benar memahami cara kerja kompas tersebut; harus berada di arah mana jarum kompas itu sehingga dapat memandu kita untuk mencapai tujuan tertinggi insani, yang tidak lain adalah siratalmustakim, yakni menuju Allah, ilallah dan fi sabilillah. Telah diketahui, tujuan hidup adalah meniti jalan yang benar, yakni jalan penghambaan kepada Allah Swt, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat, Dan hendaklah kalian menyembah-Ku; inilah jalan yang lurus.(1) Yakni, menjadikan Allah Swt sebagai tujuan, bergerak menuju Allah, menafikan pengaruh independen dari diri dan dari setiap maujud serta tidak melihat kekuatan selain kekuatan-Nya, mengikat diri dengan penghambaan kepada-Nya dan menjadikan Dia sebagai satu-satunya sesembahan serta satu-satunya yang layak dicinta. Inilah jalan yang lurus dan inilah tujuan hidup. Semua jalan yang ditempuh harus berakhir pada tujuan ini. Berbagai jalan dan cabang-cabangnya harus berakhir di siratalmustakim, yang berteman serta bergaul dengan orang lain adalah salah satu cabangnya. Pergaulan yang merupakan tuntutan fitrah manusia, bila dijalani dengan adab serta tata-kramanya, akan menjadi jalan menuju Allah sekaligus sarana yang mengantar manusia pada jalur kebenaran.

Dari keterangan di atas, dapat dipahami mengapa (Islam) menganjurkan untuk berteman serta bergaul dengan orang-orang baik. Tentu saja dianjurkan, karena bergaul dengan mereka akan menjadikan manusia mengarah serta ingat kepada Allah Swt; berteman dengan mereka akan menjadikan manusia selalu dekat dengan kebenaran. Mereka akan selalu menjadi pengingat bagi manusia (untuk) tidak menyimpang dari siratalmustakim. Dengan penuh keyakinan, dapat

p: 35


1- 16 QS. Yasin [36]:61.

dikatakan bahwa orang-orang yang menjauhkan manusia dari kebenaran serta membuat hatinya lalai dari mengingat Allah Swt, sama sekali tidak layak untuk dijadikan sebagai teman bergaul. Inilah neraca dasar serta satu-satunya ukuran yang dapat digunakan untuk memilih sahabat dan teman bergaul. Betapa indahnya sabda Imam Ja'far Shadiq as yang dinukil dari Rasul saw, ketika beliau bercerita tentang ucapan Isa al-Masih as kepada Hawariyyun: “Para Hawari bertanya

kepada Isa as, 'Wahai Ruhullah, siapakah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman bergaul?' Nabi Isa as menjawab, Orang yang memandangnya dapat mengingatkan kalian kepada Allah Swt, yang ucapannya dapat menambah ilmu kalian dan perbuatannya memberikan semangat kepada kalian (untuk meraih kebahagiaan) di akhirat.(1) Nah, ketika sudah dipahami bahwa tujuan hidup dan kesempurnaan tertinggi manusia adalah kedekatan dengan Allah Swt, semua perbuatan, segala cinta dan benci kita haruslah tertuju pada kedekatan tersebut. Dalam pada itu, memilih teman bergaul dengan tiga kriteria di atas dapat mengantar kita menuju kedekatan Ilahi. Kriteria pertama teman yang baik adalah memandangnya dapat mengingatkan

kita kepada Allah Swt. Kita harus mencari teman yang hanya dengan melihatnya secara otomatis ingatan akan Allah akan hidup dalam hati kita. Kriteria pertama yang harus dimiliki oleh orang yang hendak dijadikan sebagai teman dalam pandangan Islam adalah bergaul dengannya akan membuat hati kita teringat kepada Allah Swt; dia adalah seseorang yang keikhlasan serta ketakwaan menghiasi perilaku, tutur-kata dan perbuatannya, sedemikian berhati-hati dalam berbuat

dan berucap, sehingga melihatnya akan serta merta membuat kita ingat kepada Allah Swt. Kriteria kedua bagi teman yang baik adalah ketika berbicara beberapa kalimat dengannya, ilmu dan pengetahuanmu akan bertambah. Dia tidak pernah

p: 36


1- 17 Al-Kafi, jil.1, hal.39, hadis ke-3.

membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidak berarti. Setiap ucapannya mengandung hikmah, menambah informasi, menyelesaikan masalah dan sarat pelajaran. Singkat kata, pembicaraannya berguna bagimu serta menambah pengetahuanmu.

Sudah barang tentu, kita harus mengambil pelajaran darinya hingga dapat mendekatkan kita pada tujuan serta membantu kita dalam meraih kedekatan dengan Allah Swt. Oleh sebab itu, teman yang ideal adalah seorang teman yang wajahnya membuatmu ingat kepada Allah serta ucapannya dapat menambah ilmumu.

Dengan kata lain, seseorang dapat menjalin hubungan dengan seseorang melalui tiga jalan: dari ucapan, wajah dan perbuatan. Berkaitan dengan pengaruh perbuatan, Imam Ali as berkata, “Teman yang baik adalah seorang teman yang perbuatannya dapat memberimu semangat untuk mengejar perkara-perkara ukhrawi.” Apabila seseorang senantiasa berpikir tentang akhirat, pola pikirnya akan mengarahkan perbuatannya pada akhirat dan kebahagiaan abadi.

Orang-orang akan menyaksikan akidah serta ideologinya termanifestasi dalam perbuatannya, dan berteman dengan orang yang seperti itu akan menjadikan diri kita tergiring pada arah yang ditujunya. Alhasil, segala perbuatannya akan membuat kita selalu berpikir tentang akhirat dan berbuat untuk kebahagiaan abadi ukhrawi.

Seseorang yang tampangnya mencerminkan dosa dan tampilannya menebar aroma kuburukan, tentu bukanlah orang yang layak untuk dijadikan teman. Bergaul dengannya tidak hanya membuat kita lupa kepada Allah, tetapi akan membuat kita selalu ingat kepada setan (baca: perbuatan buruk). Tidak ada hal yang bermanfaat dalam pembicaraannya. Sebagai misal, dia selalu berucap, “Barang ini sekarang mahal harganya, barang itu harganya turun”; “si fulan telah melakukan ini dan

p: 37

si fulan melakukan itu”. Isi pembicaraannya hanya gunjingan serta keburukan orang lain. Pembicaraan terbaiknya hanya berkisar seputar apa saja yang kini mahal harganya dan apa saja yang murah harganya, atau berisi beragam keluhan seperti kini hidup menjadi semakin susah, harga kontrak rumah sudah sangat mahal, siapa yang mampu bertahan dalam kehidupan yang seperti ini dan lain sebagainya. Tidak ada satu pun ucapannya yang membuat kita ingat kepada Allah Swt.

Begitulah contoh perangai teman yang buruk, bahkan bisa lebih buruk daripada itu. Teman yang buruk hanya akan berbicara tentang keduniawian, seperti pembicaraannya terfokus pada peningkatan penghasilan, kemewahan dan kenikmatan materi, tanpa peduli apakah peningkatan itu diperoleh dari jalan yang halal atau haram. Pikirannya hanya dipenuhi dengan mengganti dekorasi rumah, membeli kendaraan model terbaru dan yang seperti itu; perilakunya juga seperti pemikirannya, tak menentu dan tak terarah. Orang yang seperti itu, meskipun kemampuannya tidak dapat menjangkau angan-angan duniawinya, namun

karena pemikirannya terfokus pada angan-angan tersebut, maka secara berangsur pemikirannya akan memengaruhi perilakunya. Karenanya, apabila kita hendak memilih teman yang baik, kita harus memilihnya berdasar pada neraca ini. Yakni, pilihlah seorang teman yang membuatmu dekat pada tujuan Ilahi, membantumu meniti siratalmustakim dan menjagamu dari penyimpangan serta kemerosotan moral. Serupa dengan keterangan Imam Ali as di atas, setelah memberikan penekanan pada pentingnya memiliki teman yang baik, beliau juga berkata, “Salah satu dari keberuntungan manusia dalam kehidupan, adalah memiliki teman yang baik.” Ada beberapa riwayat dengan kandungan makna seperti sabda di atas, ketika Rasul saw berkata, “Apabila Allah Swt menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Allah akan

p: 38

memberikan seorang pendamping saleh baginya. Apabila dia lupa kepada Allah, pendamping itu akan mengingatkannya, dan apabila dia ingat kepada Allah, dia akan setia membantunya.(1) Riwayat di atas telah menimbulkan sebuah dorongan serta motivasi untuk mencari teman yang saleh. Apabila kita telah menemukan dan memiliki teman yang baik, kita harus pandai menjaga serta menghargai nilainya. Jangan sampai terlepas dari tangan. Karena teman yang baik itu bagaikan batu permata yang langka dan sulit didapat. Seseorang harus mencari ke sana ke mari dan berusaha ribuan kali untuk mendapatkan seorang teman baik, dan tentu menjaganya jauh lebih sulit dari mendapatkannya. Tak satu kepala pun yang menolak akan pentingnya seorang teman bergaul yang baik. Semua orang sepakat akan urgensinya dalam kehidupan manusia.

Mereka yang berpikir untuk menjauh dari masyarakat dan hidup sendirian, berarti tidak tahu menahu tentang ajaran Islam yang benar dan sedang melangkah melawan fitrahnya. Allah Swt telah menjadikan keberadaan umat manusia sebagai nikmat bagi satu sama lain, namun kita terkadang mengubah nikmat tersebut menjadi bencana. Kita sebagai manusia harus bisa saling memberi manfaat, dan pergaulan serta pertemanan adalah sebuah sarana kebaikan luar biasa yang Allah Swt anugerahkan kepada kita. Besarnya pengaruh yang dapat diberikan oleh seorang teman pada arah kehidupan manusia, tidak dapat diberikan oleh pengaruh dari berbagai faktor lainnya. Dalam kaitan ini, para remaja lebih berada dalam pengaruh pergaulan dan pertemanan dibandingkan orang-orang dewasa.

Tak diragukan, di samping faktor pertemanan, masih ada faktor-faktor lain yang dapat memberikan pengaruh. Seringkali kita tidak memerhatikan berbagai faktor yang

p: 39


1- 18 Bihar al-Anwar, jil.77, hal. 164, hadis ke-2.

memengaruhi arah kehidupan. Akan tetapi, begitu mendalam pengaruh teman dalam kehidupan seorang manusia sehingga tanpa disadari seluruh hidupnya telah berada di bawah pengaruh orang lain. Sedemikian halus dan lembutnya pengaruh yang diberikan oleh teman sepergaulan, sehingga sebagian ulama mengibaratkannya dengan suapan makanan yang berada di dalam mulut, lezatnya rasa makanan tersebut menjadikan mulut terus bekerja untuk mengunyah, namun tanpa disadari tiba-tiba makanan itu masuk ke tenggorokan dan hilang tertelan ke dalam perut. Demikian pula halnya dengan teman, dia akan menelan berbagai kebaikan seseorang tanpa disadarinya. Kekayaan spiritual dan material seseorang akan lenyap dan hilang bila dia bergaul dengan teman-teman yang buruk; sebaliknya kekayaaan itu akan bertambah jika seseorang memiliki teman bergaul yang baik. Teman yang baik dapat mengalihkan serta menghindarkan seseorang dari berbagai macam keburukan hanya dengan pengaruh sederhana. Sementara, apabila orang itu berusaha sendiri untuk menghilangkan berbagai keburukan diri, dia harus berpikir lama dan berusaha keras mengenali keburukan diri lalu menghilangkannya. Dia harus banyak membaca buku, melatih diri, menyusun rencana dan bekerja keras untuk menghilangkan secara berangsur, sebagai misal, salah satu dari sifat-sifat buruknya. Akan tetapi, apabila dia bergaul

dengan seorang teman yang baik, dengan mudah perangai mulia si teman agar berpengaruh dalam perilakunya dan secara berangsur sifat buruknya akan hilang tanpa perlu bersusah payah. Sebaliknya, apabila seseorang bergaul dengan teman yang buruk, dia pun dengan mudah akan terpengaruh oleh

perilaku-perilaku buruknya. Peran teman dalam mengubah perangai, perilaku dan sifat-sifat seseorang, meskipun halus dan lembut, mempunyai pengaruh yang luar biasa besar. Dengan begitu, maka cukuplah bagi seorang manusia untuk mencari teman yang baik agar

p: 40

dapat memberikan pengaruh yang baik dan menghilangkan keburukan diri. Pengaruh positif tersebut akan segera terlihat dalam perangai dan perilaku yang berubah menjadi baik. Sebagaimana teman yang buruk juga akan dengan cepat mengubah perangai dan perilaku menjadi buruk, bahkan sampai menghancurkan kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, para Imam as senantiasa memberikan peringatan kepada kita untuk tidak bergaul dan berteman dengan pribadi-pribadi yang berkelakuan buruk. Dalam sebuah riwayat Imam Ali as berkata, “Hindarilah bersahabat dengan teman yang buruk, karena dia akan membinasakan temannya dan menghinakan orang yang menyertainya.(1) Tidak ada nikmat yang melebihi teman baik; sahabat yang

baik, ibarat sebuah minuman yang manis dan menyegarkan. Sahabat yang baik akan memberikan pengaruh yang baik serta menghilangkan aib dan keburukan diri. Dia akan menularkan sifat-sifat baik dan membuang sifat-sifat buruk. Sahabat yang baik adalah penolong manusia dalam kehidupan dunia serta pendamping yang terus memberikan spirit dalam perjalanan menuju akhirat. Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, tidak ada faktor yang dapat berpengaruh kepada diri manusia

melebihi pengaruh seorang sahabat. Dikatakan, sebaik-baik keuntungan bagi manusia adalah teman yang baik. Apabila seseorang melihat serta mengetahui ada seorang sahabat yang baik, dia harus segera mendekati dan bergaul dengannya agar dapat mengambil pengaruh positif darinya. Karenanya, apabila engkau ingin termasuk dalam golongan orang-orang baik, maka bertemanlah dengan mereka. Bila engkau tidak ingin masuk dalam golongan orang-orang buruk, hindarilah pergaulan dengan mereka! Apabila kamu bergaul dan berteman dengan orang-orang baik, kamu akan menjadi baik. Dikatakan: Qarin ahlal k hairi takun minhum;

yakni, bergaullah dengan orang-orang baik, maka engkau

p: 41


1- 19 Mizan al-Hikmah, jil.5, hal.299, hadis ke-10236.

akan menjadi seperti mereka. Bergaul dengan orang-orang baik akan menarikmu menuju kemuliaan dan orang-orang baik. Sebagaimana apabila engkau bergaul dengan teman- teman yang buruk, engkau akan menjadi buruk. Apabila engkau tidak suka termasuk dalam golongan orang-orang buruk, hindarilah bergaul dengan mereka!

Cara Memilih Teman

Di sini banyak hal yang bisa dibahas, namun kita akan memilih beberapa yang terpenting darinya: Kebaikan dan keburukan adalah sebuah mafhum tasykikiy

dan mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda. Oleh sebab itu, ketika dikatakan: bergaullah dengan orang-orang baik, tentu tingkatan paling tinggi dari orang-orang baik adalah para maksum (baca: manusia-manusia suci) as, karena mereka berada dalam kebaikan mutlak tanpa aib dan noda. Namun, antara kita dan mereka terbentang jarak yang sangat jauh. Sementara selain mereka, tentu sedikit banyak ada kekurangan serta kelemahan di sana-sini. Nah, apabila kita

melihat adanya kekurangan pada seseorang, apakah kemudian kita harus segera memutus pertemanan dengannya dan kita harus mencari seseorang yang benar-benar sempurna seratus persen tanpa sedikitpun aib dan kekurangan; dan sebelum kita bertemu dengan sosok ideal, maka kita harus hidup menyendiri dan menghindari segala bentuk pertemanan? Lalu, apakah yang dimaksud dengan “jangan bergaul dengan orang-orang buruk” itu adalah jangan bergaul dengan mereka yang selalu berbuat keburukan? Tingkatan tertinggi kebaikan, memang hanya ditemukan di kalangan para wali dan para maksum as. Namun, (pada masa

ini) kita tidak bisa bertemu dengan mereka, apalagi bergaul, berinteraksi dan mengambil manfaat secara langsung dari mereka. Nah, dalam kondisi ketika kita tidak mampu bertemu dan berhubungan dengan mereka, lalu apa yang harus dilakukan?

p: 42

Kebaikan dan keburukan adalah dua pengertian bersifat relatif dan keduanya mempunyai tingkatan-tingkatan. Boleh jadi di sebuah kota terdapat sosok terpandang dan dianggap sebagai orang yang paling baik, namun tidak mungkin semua orang berteman dan bergaul dengannya. Boleh jadi di kotamu ada orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang baik dan engkau ingin bergaul dengan mereka, namun tidak mungkin engkau lakukan. Lalu, bagaimana cara kita bergaul dengan orang-orang baik? Apabila yang dimaksud dengan orang-orang baik itu adalah para maksum atau yang sepertimereka, hal itu tidak dapat kita lakukan. Para maksum di luar jangkauan kita, sementara selain mereka yang mempunyai sifat-sifat mereka, juga sulit untuk ditemukan. Menghadapi kenyataan yang seperti ini, sepertinya

seseorang sulit untuk membuka pintu pertemanan. Meskipun kita telah mengetahui bahwa pergaulan adalah kebutuhan manusia, namun karena sosok teman yang ideal tidak ditemukan, pertemanan tidak bisa dilakukan. Nah, kembali pertanyaan di atas mengemuka, dengan siapa kita bergaul? Jawabannya adalah kita bergaul dan berteman dengan orang- orang yang berada dalam jangkauan kita, namun kita pilih yang terbaik di antara mereka. Lalu, apa yang dapat menjadi ukuran dan neraca bagi “yang terbaik”? Jawabannya adalah seperti apa yang telah dibahas sebelum ini, bahwa teman yang baik adalah seorang teman yang membuat kita dekat dengan Allah dan seperti apa yang telah dijelaskan dalam keterangan Nabi Isa as di atas. Masalah lain yang perlu dibahas di sini adalah bagaimana

cara kita memilih dan bergaul dengan orang-orang saleh? Dari mana kita memulai pergaulan serta apa batasannya? Tak diragukan, dalam setiap komunitas dapat ditemukan orang baik. Kita hanya perlu menjalin hubungan pertemanan sebatas aktivitas dan tanggung jawab mereka, yakni pergaulan

p: 43

dengan mereka harus dijalin melalui aktivitas dan bidang- bidang yang mereka tekuni. Orang-orang baik terkadang ditemukan di kalangan para ulama atau di kalangan pedagang dan pengusaha. Pada setiap kelompok dan berbagai lapisan masyarakat pasti ada orang-orang baiknya. Hendaknya kita menjalin pergaulan dari jalur kegiatan serta aktivitas mereka, seperti belajar dari para ulama dan berdagang dengan para pelaku usaha, dan begitulah seterusnya. Kita harus selalu

berusaha menarik perhatian mereka dengan tujuan yang tulus untuk menjadikan diri kita sebagai orang-orang baik seperti mereka, karena kita menyadari bahwa berteman dengan orang-orang baik akan menjadikan diri kita seperti mereka. Niat dan tujuan kita harus terfokus pada mengambil inspirasi serta motivasi dari perilaku mereka untuk peningkatan akhlak kita. Sedikit banyak harus kita pahamkan kepada mereka bahwa kita tidak mempunyai tujuan lain dalam pergaulan selain

peningkatan kualitas akhlak dan perilaku. Orang-orang baik juga berkeinginan untuk menarik dan mengajak orang lain untuk menjadi baik.

Oleh sebab itu, perlu kiranya kita memperkenalkan diri kita serta apa yang menjadi tujuan kita kepada mereka, bahwa kita hanya mencari kebaikan, kebahagiaan dan kemuliaan insane. Kita tidak ingin mengganggu atau membuang-buang waktu mereka, agar mereka mengenal dan menerima kita dengan lapang dada. Bahkan, apabila kita mengenal ada orang- orang baik yang ingin kita jadikan sebagai teman dan sahabat. Ada baiknya untuk kita sempatkan diri berdoa kepada Allah

Swt atau bertawasul kepada para Imam as agar Allah membuka serta memudahkan jalan pertemanan dengan mereka dan menjadikan kita dapat mengambil sebanyak mungkin manfaat dari pertemanan itu. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah apabila kita telah menemukan dan berteman dengan mereka, kita pun harus pandai menjaga hak-hak mereka sebagai teman. Berkaitan dengan hak-hak pertemanan, akan lebih banyak dibahas pada bagian berikut dari wasiat ini. []

p: 44

25-PENYAKIT HUBUNGAN SOSIAL

Point

لا یَغْلِبَنَّ عَلَیْکَ سُوءُ الظَّنِّ فَاِنَّهُ لا یَدَعُ بَیْنَکَ وَ بَیْنَ صَدیق صَلْحاً

Jangan sampai dirimu dikuasai oleh sifat buruk sangka yang tidak akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu.(1)

Pada bagian ketiga surat wasiatnya, Imam Ali as menjelaskan beberapa poin penting dalam kalimat-kalimat yang singkat. Kalimat-kalimat yang singkat itu mengandung arti dan makna yang sangat tinggi dan mendalam. Sepanjang keberadaan alam dan manusia, kalimat-kalimat itu senantiasa akan menjadi pelita bagi umat manusia sebagai penunjuk jalan hidup yang benar. Tinggal sejauh apa kita dapat mewarnai pemikiran dan perbuatan kita dengan petunjuk-petunjuk

tersebut, dan seberapa besar usaha kita dalam menghayati serta mengamalkan wasiat-wasiat Ilahi itu. Pada bagian ini, Imam Ali as mengenalkan kepada kita

salah satu dari penyakit yang dapat merusak hubungan pertemanan, yaitu “sifat buruk sangka” berikut akibat-akibat buruk yang dapat ditimbulkannya. Bisa dikatakan, buruk sangka (su’uzhzhan) adalah virus terganas dalam merusak hubungan pertemanan, persaudaraan, hidup bertetangga, kerja sama dan segala bentuk pergaulan yang lain. Apabila

p: 45


1- 20 Pada sebagian naskah tertulis shafhan sebagai ganti shulhan.

sebuah masyarakat terserang oleh virus buruk sangka, virus ini dapat merusak kehidupan masyarakat itu dengan cepat hingga ke akar-akarnya. Dengan demikian, melindungi masyarakat dari virus berbahaya ini merupakan pekerjaan yang paling urgen dan seluruh anggota masyarakat harus mengemban tanggung jawab ini agar masyarakat dan setiap individunya dapat terjaga dari akibat buruknya.

Apa yang Dimaksud dengan Buruk Sangka (Su’uzhzhan)?

Dalam nasihatnya berkaitan dengan hal ini, Imam Ali as

لا یَغْلِبَنَّ عَلَیْکَ سُوءُ الظَّنِّ فَاِنَّهُ لا یَدَعُ بَیْنَکَ وَ بَیْنَ صَدیق صَلْحاً

Jangan sampai dirimu dikuasai oleh sifat buruk sangka! yang tidak akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu. Pertama, kita harus memahami dengan baik apa yang dimaksud beliau dari keterangan ini. Nah, dalam memaknai keterangan di atas, setidaknya ada dua penjelasan yang dapat dipaparkan:

1. Ungkapan seperti ini biasanya digunakan untuk sebuah sifat yang permanen pada seseorang, yakni sebuah sifat yang telah menjadi karakter atau malakah bagi seseorang. Orang Arab ketika mengatakan:

((غلب علیه الکرم))

((غلب علیه الجود))

((غلب علیه الشح والبخل))

Maksudnya adalah bahwa kedermawanan atau kepelitan merupakan sifat permanen yang sudah melekat

p: 46

dan tak terpisahkan darinya. Apabila kalimat Imam Ali as hendak dimaknai seperti uraian di atas, kalimat beliau bisa diartikan sebagai berikut: Janganlah engkau menjadi ahli buruk sangka dan janganlah engkau berburuk sangka kepada siapa dan apa saja! Jangan sampai engkau dikuasai oleh mentalitas buruk sangka sehingga buruk sangka menjadi karakter dan sifat permanen bagimu! 2. Makna lain yang bisa diberikan pada kalimat Imam Ali as adalah bahwa beliau melarang kita untuk mengikuti buruk sangka yang kerap melintas dalam benak manusia. Maksudnya adalah bahwa manusia seringkali mengalami perasaan buruk sangka pada seseorang atau suatu perkara, tetapi dia kemudian tidak menjadikan perasaan itu memengaruhi sikap dan sepak terjangnya.

Dengan kata lain, boleh jadi hati ini berburuk sangka dan berpikiran negatif tentang sesuatu, namun kita tidak membiarkan pikiran itu menguasai serta mewarnai sikap dan keputusan kita. Ada kalanya buruk sangka sedemikian memengaruhi seseorang sehingga dia tak berdaya untuk menghindar dan menepis pengaruh buruknya terhadap sikap dan keputusannya. Pengaruh buruk sangka itu dapat terlihat jelas pada raut wajah, gerak-gerik, sikap dan keputusannya. Nah, orang yang seperti itulah yang dinamakan bahwa dia telah dikuasai oleh virus buruk sangka.

Berdasar pada kemungkinan makna yang kedua ini, kalimat Imam Ali as akan berarti sebagai berikut: “Apabila engkau mengalami perasaan buruk sangka, jangan sampai engkau terpengaruh olehnya, tetapi kuasailah perasaan buruk sangkamu dan jangan biarkan dia memengaruhi sikap dan keputusanmu!"

Dua makna di atas, dapat diberikan pada keterangan dan kalimat Imam Ali as, namun biasanya dalam bahasa Arab,

p: 47

kalimat itu lebih condong untuk diartikan dengan makna yang pertama, yaitu hindarilah buruk sangka, jangan sampai sifat itu menjadi perangai dan karakter permanen bagimu! Oleh sebab itu, dari dua makna atas kalimat la yaghlibanna 'alaika su’uzhzhanni, maka arti maksimal yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Jagalah dirimu, jangan sampai sifat buruk sangka menguasaimu! Jangan sampai buruk sangka menjadi karakter dan sifat permanenmu, sehingga engkau

berburuk sangka kepada semua orang! Sebenarnya, makna ini lebih sesuai dengan kalimat berikut beliau yang berbunyi: (Karena sifat buruk sangka), tidak

akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu. Yakni, buruk sangka akan membuatmu selalu curiga, bermusuhan dan berpandangan negatif pada semua orang.

Maksud Larangan Berkaitan dengan kondisi dan Aktivitas Rohani

Sehubungan dengan buruk sangka (su’uzhzhan), banyak sekali topik yang dipaparkan dalam ayat dan riwayat. Di dalam al-Quran buruk sangka digolongkan dalam sifat-sifat tercela yang dilarang secara tegas: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (1)

p: 48


1- 21 QS. al-Hujurat [49]:12.

Pada ayat di atas, buruk sangka disebut sebagai perbuatan maksiat dan dosa besar. Demikian pula, dalam banyak riwayat telah dijelaskan bahwa buruk sangka adalah perbuatan maksiat yang harus dihindari.(1) Oleh sebab itu, tak sedikitpun diragukan bahwa buruk sangka merupakan salah satu sifat tercela dan dilarang dalam etika islami. Namun di sini, ada beberapa hal yang masih kabur dan perlu untuk dijelaskan, sebagai misal: buruk sangka, dugaan, keraguan bahkan keyakinan, merupakan kondisi dan aktivitas rohani yang berada di luar kendali manusia, untuk kemudian bisa diperintah atau dilarang. Lalu, bagaimana seseorang dilarang atas sesuatu yang berada di luar ikhtiar dan kendalinya!? Dengan kata lain, hal-hal tersebut merupakan aktivitas rohani yang akan muncul dengan sendirinya pada situasi dan kondisi tertentu. Ketika hal-hal yang mendatangkan keyakinan itu terkumpul, manusia pasti akan merasakan keyakinan. Ketika

syarat-syarat untuk yakin itu tidak ada, manusia akan jatuh dalam keraguan tanpa bisa dihindari. Demikian pula hanya dengan “buruk sangka” atau “baik

sangka”, yakni ada faktor-faktor di luar yang menyebabkan munculnya prasangka atau sangkaan. Ketika faktor-faktor itu terkumpul, mau tidak mau prasangka itu akan muncul dengan sendirinya dan hal itu terjadi di luar kendali manusia. Lalu, bagaimana manusia diminta untuk berbaik sangka dan untuk tidak berburuk sangka? Ketika sebab, syarat dan faktor sangkaan itu ada, maka prasangka itu akan serta- merta muncul, bisa prasangka baik dan bisa pula prasangka buruk. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita diminta untuk berbaik sangka dan dilarang untuk berburuk sangka, sementara kedua-duanya berada di luar kendali dan ikhtiar kita. Dan, bukankah taklif atas sesuatu yang berada di luar kemampuan diri itu, merupakan taklif yang keliru dan tidakbisa diterima!?

p: 49


1- 22 Muhammad Raysyahri, Mizan al-Hikmah, maddah .

Banyak sekali jawaban yang telah diberikan pada permasalahan ini. Di antaranya adalah jawaban berikut. Memang benar, ketika sebab, syarat dan faktor yang

memunculkan berbagai kondisi rohani seperti ragu, yakin dan prasangka itu telah terkumpul, manusia tidak bisa menghindar darinya. Akan tetapi, manusia masih mempunyai ikhtiar dalam menata serta mengatur beberapa mukadimah dari sebab, syarat dan faktornya. Dengan kata lain, ketika mukadimah- mukadimah itu berada dalam ikhtiar manusia, manusia bisa diberi taklif sehubungan dengan mukadimah-mukadimah tersebut. Sebagai contoh, di antara mukadimah-mukadimah

yang bisa berpengaruh pada kondisi rohani adalah memberi sugesti pada diri (talqin al-nafs). Yang biasa terjadi dalam pemikiran seseorang dalam berbagai hal adalah pada mulanya dia hanya menduga sebuah hal dengan dugaan yang sangat lemah, namun sedemikian rupa dia sibukkan dirinya dengan dugaan tersebut hingga menguat dari waktu ke waktu. Tanpa terasa kemudian dugaan yang lemah itu berubah menjadi sangkaan dan boleh jadi kemudian berubah menjadi sebuah

keyakinan karena terus menerus disugestikan pada pemikiran. Atau sebaliknya, sebuah keyakinan akan melemah dan berubah menjadi keraguan, bila secara terus menerus diberi sugesti keraguan akan kebenarannya, seperti bila seseorang terus mengatakan kepada dirinya: Darimana aku mengetahui bahwa hal tersebut seperti itu adanya? Mungkin tidak seperti itu! Boleh jadi aku salah dalam memahaminya! ... Jika secara terus menerus, dia berusaha meragukan apa yang sudah

diyakininya, boleh jadi keyakinan itu akan berubah menjadi sebuah keraguan.

Dengan demikian, maka meskipun timbulnya keyakinan dan prasangka tidak sepenuhnya di bawah kendali manusia, namun melaui berbagai mukadimahnya keduanya dapat berada di bawah kendali manusia dan manusia dengan

p: 50

kehendak dan usahanya bisa mewujudkan atau menafikan keyakinan dan keraguan dalam dirinya. Sebab itulah manusia bisa menerima taklif berkaitan dengan larangan berburuk sangka. Sebagai misal, bila dikatakan kepada seseorang: “Janganlah berprasangka dan menduga-duga", maksudnya adalah hindarilah hal-hal yang bisa mewujudkan prasangka itu pada dirimu. Ragukan dan tepislah semua mukadimah yang akan memunculkan prasangka sehingga prasangka itu tidak

mengkristal dalam pikiranmu. Kadang di kegelapan malam, kita menyaksikan seseorang berjalan perlahan di lorong- lorong kota dengan sesuatu yang dipanggul di atas pundaknya.

Hal pertama yang terbersit dalam pikiran kita adalah bahwa dia seorang pencuri dan sedang memanggul barang curiannya di kegelapan malam agar tidak diketahui orang. Itu adalah hal pertama yang terbersit dalam pikiran, namun seseorang bisa menindaklanjuti pikiran awalnya dengan dua cara bertindak yang berbeda. Pertama, pikiran awal itu segera dilemahkan dan diragukan dengan bergumam, “Darimana aku tahu bahwa dia adalah seorang pencuri dan apa buktinya!? Boleh jadi yang dipanggul itu adalah pakaian atau sembako yang hendak dia bagikan kepada orang-orang miskin dan dia berjalan pelan agar tidak diketahui banyak orang.” Kedua, pikiran awal itu diperkuat, dengan bergumam, "Oh, lihat, betapa dia berjalan penuh kehati-hatian. Tentu agar orang lain tidak melihatnya.

Dari jalannya saja dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang pencuri.”

Nah, dengan cara seperti itulah seseorang dapat merajut prasangka baik atau prasangka buruk. Maka ketika dikatakan, “Jangan berburuk sangka!", maksudnya adalah jangan biarkan dirimu merajut mukadimah-mukadimah negatif yang akan melahirkan buruk sangka, namun tepislah dan ragukan mukadimah-mukadimah tersebut agar tidak mengarah pada perbuatan buruk sangka. Yang menarik untuk dipelajari adalah bagaimana kita mengolah bersitan-bersitan awal

p:100

pikiran agar menjadi prasangka yang baik. Masalah ini telah dijelaskan begitu indah dalam banyak riwayat dan keterangan ulama yang nanti akan kita bahas bersama. Jawaban lain yang diberikan pada permasalahan ini adalah meskipun munculnya prasangka dan dugaan itu di luar kendali manusia, “disimpan” atau “dibuang"nya prasangka tersebut secara umum berada dalam kendalinya. Manusia mempunyai peran yang besar dalam menyimpan atau membuang sebuah

prasangka. Yakni, manusia bisa mencegah munculnya prasangka dengan menepis mukadimah-mukadimahnya dan dia juga bisa membuang prasangka pascakemunculannya, dengan sugesti-sugesti yang melemahkan keberadaan prasangka tersebut, sehingga prasangka itu hanya muncul sebentar untuk kemudian menghilang. Sebagian ulama dan mufasir juga memberikan jawaban-jawaban yang lain atas permasalahan ini. (Allamah Thabathaba'i) dalam Tafsir al-Mizan menjelaskan, “Buruk sangka sebagai salah satu kondisi dan aktivitas rohani, memang tidak dapat menjadi sasaran taklif. Apabila buruk sangka dilarang dan dijadikan sasaran taklif, maksudnya adalah jangan biarkan prasangka buruk berpengaruh dalam tindakan dan perbuatanmu! Firman Allah Swt yang artinya, Jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa, maksudnya, jangan biarkan prasangka buruk berpengaruh dalam sikap dan keputusanmu; jangan bertindak berdasar pada prasangka dan jangan beri kesempatan prasangka untuk memberikan barang sedikit pun dari pengaruhnya! Boleh jadi, dalam hatimu timbul prasangka buruk, namun bukan itu yang menjadi sasaran taklif. Apa yang engkau rasakan dalam hati dan jiwa, tidak akan pernah menjadi sasaran taklif. Akan tetapi, taklif berkaitan dengan apa yang akan engkau perbuat dan lakukan. Dengan demikian, bila buruk sangka itu menjadi haram dan makruh, maka

p: 51

(maksudnya adalah) bertindak, bersikap dan memutuskan sesuatu berdasar padanya menjadi haram dan tercela.(1) Beberapa jawaban berkaitan dengan prasangka dan buruk sangka, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, kita harus berusaha menghilangkan faktor-faktor yang memunculkan prasangka buruk, lalu memberikan sugesti yang dapat melemahkannya. Bila sudah terwujud, kita harus dapat segera melenyapkannya. Pada puncaknya, jangan biarkan dia berpengaruh dalam sikap, tindakan dan keputusan kita!

Batasan antara Prasangka Baik dan Prasangka Buruk

Selain permasalahan di atas, terdapat permasalahan yang lebih penting berkaitan dengan buruk sangka. Masalah itu adalah apabila seseorang selalu dituntut untuk menghilangkan atau mengabaikan prasangka buruknya terhadap orang lain dan diminta untuk bersikap bertentangan dengan apa yang menjadi prasangkanya, yakni diminta untuk selalu menyikapi orang lain dengan prasangka baik, maka dapat dipastikan dia akan mengalami kerugian, baik dalam urusan individu maupun sosial. Sebagai misal, seandainya Anda hendak berteman dengan seseorang, lalu Anda menjadikannya teman hanya dengan melihat dia salat, puasa dan melakukan beberapa kebaikan, Anda menjadikannya sebagai teman sejati hanya bermodal beberapa perbuatan baik tersebut tanpa memberikan sedikitpun kecurigaan, sehingga Anda tak ragu-ragu untuk menitipkan harta dan barang berharga kepadanya, boleh jadi Anda akan mengalami kerugian dan tertipu olehnya. Yakni, setelah berlalunya waktu, Anda baru menyadari ternyata dia adalah orang yang berpura-pura baik dan tulus, padahal hakikatnya adalah seorang yang jahat dan fasid. Nah, apabila kemudian Anda mengalami kerugian moral dan material darinya, lalu adakah yang patut dipersalahkan selain diri Anda sendiri? Bukankah kerugian tersebut adalah

p: 52


1- 23 Allamah Thabathaba'i, Al-Mizan, jil. 18, hal. 483.

akibat dari keteledoran serta kebersahajaan diri Anda dalam memercayai seseorang tanpa memberikan sedikitpun dugaan buruk atasnya?

Seorang pejabat atau kepala perusahaan, apabila dia menerapkan konsep baik sangka dalam tindakan dan sikapnya, dapat dipastikan dia akan mengalami kegagalan. Karena, banyak sekali bawahan dan para pekerja yang menampilkan sifat-sifat baik dan menyembunyikan sifat-sifat buruk sehingga dapat menipu atau mencuri jam kerja, namun luput dari pantauan atasan; dan hal itu terjadi karena si pejabat atau kepala perusahaan tersebut tidak melibatkan buruk sangka

dan menyikapi seluruh bawahannya dengan prasangka baik. Nah, adakah faktor yang menyebabkan semua pelanggaran ini terjadi selain sikap berbaik sangka tanpa sedikitpun melibatkan buruk sangka dan kecurigaan? .. Alhasil, apabila seseorang berbaik sangka dan bersikap hanya atas dasar baik sangka, maka sebagai akibatnya masyarakat akan terkhianati. Apabila seorang pemimpin berdasar pada baik sangka menugaskan seseorang pada suatu jabatan atau sebuah tugas yang berhubungan dengan nasib serta harta orang banyak, besar kemungkinan akan terjadi pengkhianatan pada harta dan nasib rakyat. Tentu saja yang berdosa serta bertanggung jawab atas kerugian dan pengkhianatan tersebut adalah sang pemimpin itu sendiri karena telah memberi kepercayaan kepada orang yang tidak tepat. Dengan demikian, bagaimana seseorang bisa berbaik sangka kepada semua orang dan mendasarkan sikapnya pada prasangka baik, sementara hal tersebut dapat mendatangkan kerugian individual dan sosial; rasionalkah apabila seorang pemimpin mendasarkan sikapnya pada hanya prasangka baik?! Menyadari adanya akibat yang buruk ini, mengapa syariat memberikan penekanan pada sikap “berbaik sangka” dan menganjurkan kita untuk berbaik sangka?

p: 53

Sebelum munculnya pertanyaan ini di benak masyarakat, para Imam as telah memberikan perhatian pada permasalahan dan memberikan jawaban serta penjelasan dalam banyak riwayat. Di antaranya adalah apa diucapkan oleh Imam Ali as dalam kitab Nahj al-Balaghah:

اذا استَولَی الصَّلاحُ عَلَی الزَّمانِ وَ اهلِهِ ثُمَّ اساءَ رَجُلٌ الظَّنَّ بِرَجُلٍ لَهُ تَظهَر مِنهُ خِزیةٌ فَقَد ظَلَمَ وَ اذَا استَولَی الفَسادُ عَلَی الزَّمانِ وَ اهلِهِ فَاحسَنَ رَجُلٌ الظَّنَّ بِرَجُلٍ فَقَد غَرَّرَ.

Apabila pada suatu masa kebanyakan masyarakatnya adalah orang-orang baik dan saleh, kemaslahatan tampak di mana-mana, maka pada zaman seperti itu seseorang tidak pantas untuk berburuk sangka kepada orang lain. Apabila ditemukan satu dua orang atau sekelompok kecil yang berbuat buruk dan melakukan pelanggaran, seseorang tidak boleh berburuk sangka kepada semua orang. Namun hendaknya dia menghindar dari orang atau kelompok tersebut. Hal itu disebabkan atmosfer kebaikan dan kemaslahatan telah meliputi segala tempat. Sebaliknya, apabila sebuah masa dipenuhi oleh orang-orang fasid atau atmosfer keburukan telah meliputi segala area, dalam situasi yang seperti itu seseorang tidak boleh berbaik sangka. Apabila di masa yang seperti itu dia berbaik sangka,

sungguh dia telah tertipu.(1)

Berdasar pada riwayat di atas, apabila dalam banyak riwayat akhlak terdapat anjuran untuk berbaik sangka kepada semua orang, maka maksudnya adalah ketika atmosfer kebaikan dominan pada sebuah masa; yakni apabila mayoritas penghuni sebuah masa adalah orang-orang baik, maka kita dianjurkan untuk berbaik sangka kepada semua orang. Sebaliknya, pada sebuah masa yang mayoritas penghuninya adalah orang-orang buruk, kita tidak boleh berbaik sangka terhadap semua orang.

p: 54


1- 24 Nahj al-Balaghah, aforisme ke-114.

Justru kita dituntut untuk berhati-hati dan mendahulukan prasangka buruk, kecuali apabila terdapat tanda-tanda yang membuktikan kebaikan seseorang atau kelompok tertentu. Riwayat Imam Ali as di atas sedikit banyak telah memberikan penjelasan atas kekaburan permasalahan ini. Sebagian ulama, dalam rangka membuang kekaburan dari permasalah ini, berkata, “Yang dimaksud dari anjuran berbaik sangka adalah berbaik sangka terhadap bagaimana seseorang

itu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, yakni apabila engkau melihat seseorang melakukan sesuatu, engkau menganggap bahwa dia telah melakukan tugasnya dengan benar, karena apabila kita hendak menghakimi perbuatan seseorang, setidaknya terdiri dari dua sudut pandang:

1. Kita membenarkan serta menganggap benar apa yang dilakukannya dari sudut pandang syar'i dan akhlaki, yakni apabila kita hendak menelusuri apakah yang dilakukan itu benar atau salah, kita menganggap bahwa dia telah melakukan yang benar secara syar'i, dan bila salah maka dianggap ma’dzur karena tidak memahami hukum yang benar. Alhasil, meski perbuatannya salah secara syar’i, hal ini tidak kemudian membuatnya layak dicela atau diberi predikat fasik. Oleh sebab itu, selama masih ada alasan yang bisa kita berikan atas perbuatannya, kita akan berbaik sangka dan menganggap perbuatannya benar. bahkan bila dia berbuat kesalahan, kita masih memberi kemungkinan boleh jadi dia benar dan penilaian saya yang keliru. Seandainya kita yakin akan kesalahannya, kita akan mengatakan bahwa dia sedang khilaf dan tidak melakukannya dengan sengaja.

Ada banyak riwayat yang telah dinukil dari para Imam as berkaitan dengan keterangan di atas, seperti dalam kitab Wasail al-Syi'aha(1) dan kitab-kitab Ushul dalam bab

p: 55


1- 25Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, jil.8, hal.263 dan 501.

-

Ashalah al-Shihhah yang maksudnya, “Apabila engkau menyaksikan suatu perbuatan dari saudara seagamamu, sebisa mungkin tafsirkanlah perbuatan itu sebagai

kebaikan.” Dalam sebagian riwayat ditegaskan, “Apabila seseorang mendatangimu dan membawakan lima puluh kesaksian dan bayyinah (baca: bukti) tentang dosa yang diperbuat oleh pribadi tertentu, namun apabila pribadi itu mengingkarinya dan berkata, 'Aku tidak melakukannya', maka terima dan benarkanlah ucapannya! Abaikan semua bukti dan kesaksian dan terimalah ucapannya!" Apa sebenarnya yang dimaksud dari penyikapan yang seperti ini? Apakah maksudnya kita mendustakan seratus saksi dan membenarkan pengakuan satu orang? Bukankah ini artinya kita mengunggulkan pengakuan seorang mukmin dengan mengabaikan kesaksian seratus orang mukmin? Bukankah mendustakan kesaksian banyak orang adalah sebuah dosa? Apakah kita berhak untuk bersikap seperti itu? Apakah maksudnya, apabila kita meragukan kefasikan seseorang, kuantitas tidak lagi bisa menjadi ukuran dan tolok ukur?

Dalam menjawab beberapa pertanyaan tentang makna riwayat di atas, harus dikatakan bahwa shaddiqhu wa kadzdzibhum (Benarkan dia seorang dan dustakan

mereka!), maksudnya adalah bersikaplah seolah-olah engkau membenarkan dia seorang dan mendustakan mereka, bukan berarti mendustakan serta menganggap

mereka semua fasik secara syar'i. Tentu makna riwayat tidak seperti itu, bahwa dalam keraguan antara kefasikan satu orang dengan seratus orang, kita jadikan kuantitas sebagai ukuran. Riwayat tidak mengatakan, “Anggaplah seratus orang itu fasik, namun jangan anggap fasik yang satu orang.” Akan tetapi, maksud riwayat adalah engkau jangan serta merta menganggap yang satu ini sebagai fasik, berburuk sangka dan menuduhnya. Karena, sebagaimana

p: 56

engkau akan bertanggung jawab terhadap satu orang, engkau juga akan bertanggung jawab terhadap seratus orang. (Dengan kata lain, jangan sekali-kali terpengaruh oleh kuantitas dalam menentukan sebuah sikap!). Oleh sebab itu, sebagaimana yang tampak dari zahir riwayat, makna dari kalimat “shaddiqhu wa kadzdzibhum” ialah bersikaplah sedemikian rupa seakan engkau menerima pengakuan satu orang itu dan mendustakan yang lain. Hal ini tidak berarti mendustakan atau tidak menerima suara yang lebih banyak. Karena menerima pengakuan satu orang dan mendustakan pengakuan banyak orang merupakan perilaku yang tidak etis dan bisa terhitung sebagai dosa. Dengan demikian, maksud dari takdzib (mendustakan) dan tashdiq (membenarkan) dalam kaitan ini adalah takdzib dan tashdiq ‘amali, yakni bersikaplah seakan satu orang itu tidak melakukan kesalahan. Ketika engkau membenarkannya dan tidak menggubris pendapat yang lebih banyak, maka seakan engkau telah mendustakan mereka. Hal ini disebabkan tidak wajib bagimu untuk menerima serta membenarkan keterangan dari banyak orang. Yang dimaksud dari prasangka baik dan prasangka buruk di sini adalah jangan menyikapinya dengan prasangka buruk, sebagaimana engkau juga tidak wajib bersikap dengan prasangka baik. Dengan kata lain, engkau secara pemikiran harus berprasangka baik, namun tidak harus berprasangka baik dalam bersikap dan bertindak.

Makna di atas adalah makna yang tercantum dalam tafsir al-Mizan. Dalam menafsirkan ayat ijtanibu katsiran minazhzhnanni,(1) Allamah Thabathaba'i berkata, "Ijtanibu... dalam tataran amal, bukan berarti mengubah berbagai probabilitas pemikiran seperti prasangka. . Bagaimanapun juga, probabilitas pemikiran yang seperti

p: 57


1- 26 QS. al-Hujurat [49]:12.

itu di luar kendali kita, maka bagaimana taklif akan ditujukan padanya."

2. Bentuk lain penyikapan adalah memperlakukan, bermuamalah serta bersikap berdasar pada prasangka baik.

Bentuk penyikapan yang seperti ini, menurut hemat kami, bukanlah penyikapan yang rasional. Di sini kita tidak lagi bisa bersandar pada shaddiqhu wa kadzdzibhum

(benarkan dia seorang dan dustakan mereka!), yang berarti menyalahkan sekelompok orang demi membenarkan satu orang. Yakni, kita putuskan untuk menganggap bahwa satu orang itu saleh dan bekerja sama dengannya, sambil menyatakan, “Karena dia telah menyatakan tidak melakukan dosa, maka kita pun membenarkannya lalu memercayakan nasib serta harta rakyat kepadanya. Pada hakikatnya, penyikapan ini adalah penyikapan ‘amali berdasar pada husnuzhzhan, berbeda dengan bentuk penyikapan pertama yang merupakan penyikapan fikri berdasar pada husnuzhzhan, meskipun kita tidak bertindak berdasar pada buruk sangka. Tidak ada dalil dan riwayat yang dalam tataran penyikapan praktis (ʻamali) mengajak kita untuk shaddiqhu wa kadzdzibhum, yakni mendustakan dan meragukan kesaksian banyak orang lalu berbaik sangka, memercayai dan bekerja sama dengan satu orang. Apabila dengan adanya banyak bukti dan kesaksian yang bertentangan dengan satu kesaksian, kita masih membenarkan satu orang dan menganggapnya sebagai orang baik dan saleh, lalu kita bekerja sama dan memberinya kepercayaan, maka sebenarnya kita telah menipu diri kita sendiri. Bahkan, seandainya kita mempunyai taklif yang seperti itu dan harus dilakukan, tetap saja tidak ada celah untuk kemudian kita bisa percaya tanpa sedikitpun kecurigaan,

p: 58

yakni apabila secara syar'i kita mempunyai taklif untuk hal ini, tetap saja kita tidak bisa memercayai seseorang yang diragukan oleh banyak kesaksian dan bukti untuk bermuamalah tanpa kekhawatiran serta kecurigaan. Memang dalam pemikiran, kita harus menganggapnya sebagai orang baik dan boleh jadi banyak orang yang memberikan kesaksian buruk itu salah, sehingga hati kita dapat memandangnya secara jernih, namun dalam tataran amal kita tetap tidak memercayainya dan kita tidak mau menipu diri sendiri untuk bekerja sama dengannya. Apalagi kalau kita hendak memasrahkan kepadanya nasib dan harta orang banyak atau memberikan sebuah jabatan untuknya.

Tak disangsikan, apabila dengan adanya sekian banyak bukti serta kesaksian akan ketidakjujuran seseorang, lalu kita memberinya sebuah jabatan publik dan akhirnya dia benar-benar melakukan pengkhianatan, maka kita juga akan memikul beban dosa yang diperbuatnya. Dalam urusan-urusan yang seperti ini, kita harus lebih teliti dan berhati-hati hingga mendapatkan keyakinan bahwa orang yang hendak kita pasrahi amanat rakyat adalah pribadi yang benar-benar saleh dan jujur. Meskipun seandainya dalam hati kita berpandangan bahwa dia adalah orang yang baik berdasar pada husnuzhzhan 'ilmi, kita harus tetap melakukan penelitian serta kajian tentang pribadi tersebut hingga benar-benar yakin bahwa dia adalah sosok yang baik dan bersih.

Oleh sebab itu, apabila urusannya adalah (seperti) penempatan seseorang pada jabatan publik tertentu, sekadar husnuzhzhan dan ashalah al-shihhah tidaklah

cukup, tetapi harus dilakukan penelitian serta kajian yang mendatangkan keyakinan bahwa sosok tersebut bersih dantidak mempunyai latar belakang pengkhianatan sehingga

p: 59

nasib dan harta rakyat tidak akan dijadikan ajang korupsi dan konspirasi. Dalam tataran amal, tidak ada keharusan bagi kita untuk berbaik sangka kepada semua orang atau memberikan predikat positif kepada siapa saja yang kita temui, sehingga ketika kita ditanya tentang seseorang, kemudian kita harus mengatakan serta memberikan kesaksian bahwa dia adalah orang baik dan adil. Lalu, ketika ditanyakan kepada kita, apa dasar dari predikat yang kita berikan, kita menjawab, “Ya, karena orang tersebut telah berkata bahwa dia orang bersih dan tidak melakukan kesalahan, maka kita harus membenarkan pengakuannya, karena kita telah diperintah shaddiqhu wa kadzdzibhum.” Tentu tidak seperti itu. Kita tidak berhak memberi kesaksian tentang kebaikan seseorang berdasar pada kesaksian orang itu sendiri. Karena kesaksian kita harus bersandar pada bukti-bukti empiris, seperti bergaul dan berteman langsung dengannya sehingga kita dapat melihat langsung kebaikan, keadilan, ketakwaan serta bagaimana dia menjaga mana yang halal dan mana yang haram. Ashalah al-Shihhah tidak dapat menjadi pembenar

sebuah kesaksian, sebagaimana juga tidak dapat menjadi pembenar untuk memasrahkan urusan umat kepada pribadi yang terbukti kebaikannya secara empiris. Hukum nalarpun tidak membenarkan kita untuk memasrahkan urusan harta kepada pribadi seperti itu. Boleh jadi hukumnya tidak haram, tetapi karena kita menyadari bahwa ada kemungkinan dia berkhianat, maka memasrahkan urusan keuangan kepadanya sama halnya dengan menipu diri sendiri. Oleh sebab itu, bertindak dan bersikap dengan dasar ashalah al-shihhah hanya bisa dibenarkan apabila kebanyakan masyarakat pada masa itu adalah orang- orang baik atau pada sebuah lingkungan yang rata-rata penduduknya adalah orang-orang saleh.

p: 60

Keharusan untuk Mengetahui Kelayakan Seseorang

Kita telah membahas serta menafsirkan beberapa dimensi ma’arif Ilahi seputar husnuzhzhan dan su’uzhzhan, tetapi masih ada beberapa sisi dan dimensi yang masih kabur dan perlu penjelasan lebih lanjut. Di sini kita akan membahas satu lagi dari dimensinya.

Apakah yang dimaksud dengan husnuzhzhan dalam tataran praktis adalah menerima pengakuan seseorang lalu memperlakukannya seperti orang-orang pada umumnya yang belum ada kesaksian buruk atasnya? Sebagai contoh, apabila ada seseorang yang telah diberi predikat buruk oleh lima puluh saksi, dan kita pun dalam tataran pemikiran menganggapnya sebagai orang baik dan berbaik sangka serta menerima pengakuan kebersihan dirinya, apakah kemudian dalam tataran amal kita boleh menganggapnya sebagai orang baik dan bahwa dia jujur dalam pengakuannya? Apakah setelah kita memberikan predikat baik atasnya dalam tataran pemikiran dan berbaik sangka dalam hati kepadanya yang merupakan maksud dari riwayat, kemudian kita boleh memercayainya dalam tataran amal, lalu memasrahkan kepadanya perwakilan masyarakat di bidang politik, ekonomi atau jabatan-jabatan penting lainnya? Apakah boleh, sementara banyak orang

mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang tidak baik, kita mengabaikan semua pendapat itu dan memercayai pengakuan si fulan yang menyatakan bahwa dirinya baik dan bersih, lalu memasrahkan jabatan-jabatan penting kepadanya? Bolehkah kita memercayai dan merasa tenang dengan pribadi yang

seperti itu? Bolehkah kita memasrahkan kepadanya sebuah jabatan syar'i atau memberinya tanggung jawab atas harta dan nasib masyarakat banyak? Bolehkan kita menyerahkan kepadanya urusan pengadilan atau menjadikannya sebagai wakil dari Wali Fakih atau memasrahkan urusan-urusan penting lainnya? Apakah maksud dari riwayat-riwayat yang berkaitan dengan husnuzhzhan adalah kita berbaik sangka

p: 61

kepada si fulan dalam tataran amal dan memperlakukannya seperti pada umumnya orang yang salim al-fitrah (fitrahnya belum terkontaminasi) dan musallam al-thaharah (pribadi yang kebaikannya disepakati oleh banyak orang)? Masalah-masalah inilah yang perlu dibahas serta dikaji lebih dalam, agar kita tidak keliru dalam memahami riwayat, juga tidak salah dalam bersikap, baik pada tataran amal dan praktik maupun dalam tataran pemikiran dan teori.

Sebagaimana telah dibahas, maksud riwayat di atas adalah agar kita berbaik sangka kepada pribadi yang seperti itu dalam tataran pemikiran. Ketika telah banyak orang yang berbicara serta bersaksi akan penyelewengan seseorang, kita tetap harus berpikiran jernih dan berbaik sangka kepadanya dalam hati sambil bergumam mudah-mudahan mereka salah dalam menilainya. Sikap ini boleh kita ambil, apabila sebelumnya kita telah mengenal pribadi tersebut sebagai orang yang baik, namun apabila kita tidak mengenalnya sama sekali, kita tidak bisa menerima kesaksian dia seorang dengan melawan kesaksian orang banyak akan keburukan pribadi tersebut, terlebih bila para saksi itu adalah orang-orang yang adil (baca: baik dan terpercaya). (Kesimpulannya, kita dapat menerapkan dua sikap yang

berbeda dalam tataran yang berbeda pula).

Pertama, sikap kita tentang pribadi tersebut dalam tataran pemikiran. Kita bisa melakukan evaluasi apakah dia benar-benar telah melakukan dosa dan pelanggaran, atau dia melakukannya karena khilaf dan tidak dengan kesengajaan. Dalam tataran pemikiran, kita bisa meyakinkan diri kita bahwa boleh jadi pribadi itu tidak melakukan kesalahan dan para saksi itu keliru dalam mendengar atau menukil. Atau, seandainya dia telah melakukan sebuah pelanggaran, belum tentu dia lakukan

dengan sengaja, karena bisa jadi tidak mengerti hukum atau salah dalam menerapkannya. Kita bisa merangkai seribu

p: 62

alasan sehingga bisa meyakini bahwa dia tidak melakukan pelanggaran yang menyebabkan kefasikan. Dengan begitu, hati kita tetap bersih dan berbaik sangka kepadanya serta tidak menganggapnya sebagai seorang fasik. Namun, hal ini tidak berarti kita memercayainya dalam tataran amal, dan bukan itu pula maksud husnuzhzhan dalam riwayat. Oleh sebab itu, apabila ada kesaksian sekelompok orang tentang keburukan seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya, lalu berdasar

pada riwayat yang memerintah kita untuk berbaik sangka kepada semua orang, kemudian kita serahkan sebuah jabatan penting kepadanya dan akhirnya dia berkhianat, maka jangan salahkan selain diri kita sendiri. Banyak sekali riwayat yang menguatkan pengertian di atas, bahwa kita tidak berhak untuk menilai fasik seseorang dan menganggapnya sebagai pendosa dalam hati dan pemikiran. Namun perlu juga digarisbawahi, bahwa husnuzhzhan qalbi tidak serta merta melahirkan husnuzhzhan amali sehingga kita bisa memasrahkan sebuah urusan penting kepada seseorang tanpa kajian dan ujian yang mendatangkan keyakinan akan kelayakannya. Oleh sebab itu, dalam rangka memberikan sebuah tugas dan tanggung jawab, terlebih dahulu harus diketahui kelayakan seseorang dari sisi kepribadian, etika, ilmu, bagaimana sepak-terjangnya di tengah masyarakat dan lain sebagainya. Husnuzhzhan qalbi dan dzihni yang dianjurkan dalam banyak riwayat, tidak sama dengan husnuzhzhan 'amali yang berarti kepercayaan dan yang keberadaannya bersifat urgen dalam penyerahan tugas serta tanggung jawab. Oleh sebab itu, sekadar husnuzhzhan qalbi terhadap seseorang, tidaklah cukup untuk menyerahkan sebuah tanggung jawab penting kepadanya.

Penyakit Perusak Pertemanan

Disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, terdapat orang- orang yang menderita penyakit buruk sangka akut sehingga

p: 63

su’uzhzhan menjadi sebuah karakter dan dia tidak bisa percaya kepada siapa pun. Kadang manusia mengalami kondisi serta keadaan yang tidak wajar. Sebagai misal, seseorang mempunyai teman yang dipercaya dan sudah bersahabat dalam waktu yang cukup lama. Akan tetapi, dalam sebuah peristiwa, teman tersebut bersikap buruk, berkhianat dan memberikan kerugian yang besar kepadanya. Peristiwa tersebut bisa berdampak sangat buruk, sehingga dia tidak lagi bisa memercayainya, bahkan dia tidak lagi bisa percaya kepada siapa pun. Sebuah peristiwa yang merugikan, tekanan psikologis dan sebuah ketidaknyamanan dapat membuat seseorang kehilangan kontrol sehingga berpandangan buruk kepada semua orang, lalu berkata, “Semua orang adalah pengkhianat dan tidak ada

lagi manusia yang dapat dipercaya!” Kondisi psikologis yang seperti itu menjadikan seseorang tidak dapat hidup nyaman dengan masyarakat. Tentu saja, kondisi psikologis seperti itu bukanlah kondisi yang normal, dan boleh jadi nasihat yang diberikan oleh Imam Ali as berkaitan dengan su’uzhzhan juga berkaitan dengan masalah yang seperti ini. (Imam Ali as berkata), Jangan sampai dirimu dikuasai oleh sifat buruk sangka yang tidak akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu.

Jangan sampai sifat buruk sangka menjadi karakter dalam dirimu, yakni jangan sampai engkau berburuk sangka serta berpandangan buruk kepada semua orang, karena jika itu terjadi, maka engkau tidak akan memiliki teman dan sahabat yang bisa engkau percaya. Apabila buruk sangka serta kecurigaan menjadi karakter seseorang, dia tidak lagi bisa percaya, berteman dan berkawan dengan siapa pun; ia tidak lagi bisa hidup harmonis dalam suasana saling percaya dengan

semua orang. Karena dia beburuk sangka serta berpandangan negatif kepada semua orang, hilanglah nikmat keharmonisan serta pertemanan dalam hidupnya. Kala itulah kehidupan dunia menjadi neraka Jahanam baginya dan dia tidak lagi bisa

p: 64

melakukan pekerjaan-pekerjaan duniawi-ukhrawinya dengan penuh ketenangan. Dalam urusan dunia, manusia memerlukan teman-teman yang bisa dipercaya dan membantunya dalam menjalani hidup; sebagaimana dalam urusan akhirat dia juga memerlukan teman-teman yang dapat dipercaya dan senantiasa memberikan nasihat serta petunjuk kepadanya. Apabila seseorang memutuskan untuk tidak menerima dan percaya kepada siapa pun, maka sebelum orang lain, dialah

yang akan menanggung kerugian. Karena dia berpandangan buruk kepada semua orang, maka dia tidak bisa menjalin serta merasakan hangatnya persahabatan dan pertemanan. Sebagai konsekuensinya, dia akan kehilangan banyak kenikmatan dunia. Apabila kita mau melihat kehidupan dengan pandangan yang jernih, sebagian besar kenikmatan duniawi, baik material maupun spiritual, berasal dari pertemanan serta persahabatan. Misalnya, teman sekelas, teman sekamar, teman diskusi, guru, ... sangat berpengaruh dalam keberhasilan serta kesuksesan seseorang di bidang studi. Atau rekan kerja, teman sekantor, relasi bisnis dan lain sebagainya, sangat menentukan dalam keberhasilan seseorang di bidang kerja. Nah, apabila tidak ada orang yang bisa kita percaya, kehidupan ini akan menjadi sulit.

Tidak mempunyai teman di dunia adalah salah satu bencana besar bagi manusia.

Dalam bahasan yang lalu, telah dinukil sebuah riwayat dari Imam Ali as yang maknanya: setelah makrifatullah tidak ada nikmat yang lebih mulia dan indah daripada teman serta sahabat yang baik. Apabila seorang manusia berburuk sangka kepada semua orang, dia tidak akan bisa memperoleh teman dan tentu dia akan kehilangan salah satu nikmat Allah yang terbesar. Bukan tidak mungkin, sifat buruk sangka ini akan menarik kehidupan seorang manusia pada berbagai macam

kesulitan dan bencana.

p: 65

Perlu diketahui, sebagaimana sikap "tidak percaya” kepada semua orang akan mendatangkan permasalahan dalam pertemanan, “sikap percaya” kepada semua orang juga berpotensi menimbulkan permasalahan lain. Kalau orang mudah percaya dengan orang lain, dia akan mudah tertipu dan terpengaruh oleh perilaku, pemikiran serta pergaulan yang buruk dan menyesatkan. Sebagai misal, dalam urusan pekerjaan, mencari pasangan hidup, pergaulan sosio-kultural

juga etika keagamaan, dia dapat mengalami kerugian serta penyelewengan disebabkan oleh sikap baik sangka yang berlebihan. Oleh sebab itu, manusia harus dapat mengambil jalan tengah dan seimbang agar tidak terjerumus dalam sikap ekstrem (ifrath-tafrith), yakni tidak terlalu mudah untuk berbaik sangka dan memercayai semua orang, namun tidak juga terlalu berburuk sangka hingga tidak dapat memercayai orang Oleh sebab itu, dia harus berusaha secara rasional untuk mendapatkan teman yang baik. Tentunya, dia harus jeli dan teliti dalam mencari sahabat serta tidak merasa cukup dengan bukti-bukti yang masih lemah. Akan tetapi, begitu teman yang baik itu ditemukan dan setelah diuji ternyata dia memang orang yang bertakwa, berakhlak dan bijak, maka dia harus menjaganya, menghargainya dan tidak mudah percaya atas suara-suara yang berbicara miring tentangnya; dia harus selalu berbaik sangka kepadanya. Seandainya ada

seratus orang adil yang bersaksi bahwa dia telah melakukan penyimpangan, maka kepada mereka semua dia harus berkata, “Bertahun-tahun sudah aku bergaul dan bersahabat dengannya, aku benar-benar percaya kepadanya, boleh jadi kalian silap dalam memahaminya...” Yakni, dia harus pandai mempetahankan teman tersebut dan tidak mudah percaya dengan omongan yang beredar di luar, kecuali kalau memang terbukti bahwa dia benar-benar bersalah. Keyakinan akan

kesalahannya harus bersandar pada bukti-bukti yang kuat,

p: 66

dan selama belum didapatkan keyakinan akan kesalahan sang teman, maka jangan mudah percaya dengan bukti-bukti serta kesaksian-kesaksian yang masih lemah dan meragukan. Boleh jadi dalam pemikiran, kita mempunyai gambaran yang negatif pada seorang teman, namun kita tidak boleh serta merta menarik kepercayaan atasnya dalam tataran amal, yakni kita harus tetap memperlakukannya sebagai seorang teman. Ketika dikatakan bahwa manusia harus berbaik sangka terhadap orang lain, maksudnya adalah dalam hati pun kita tidak boleh berpikiran buruk tentangnya, tetapi kita harus terus mengembangkan pikiran positif dan prasangka baik tentang dia. Misalnya, kita terus bergumam, “Betapa banyak orang yang berpikiran keliru tentang diri saya, namun setelah beberapa waktu, mereka baru menyadari kesalahannya, dan boleh jadi mereka juga keliru dalam memandangnya, maka saya tidak boleh ikut begitu saja atas apa yang menjadi pemikiran dan pendapat mereka.”

Seseorang tidak boleh asal-asalan dalam mencari teman bergaul. Sekadar melihat kebaikan seseorang secara lahiriah tidaklah cukup untuk kemudian menjadikannya sebagai teman, tetapi kita harus berhati-hati dan melakukan kajian serta ujian hingga benar-benar yakin bahwa dia layak untuk dijadikan sebagai teman dan sahabat. Yang dimaksud dengan “yakin” di sini adalah keyakinan secara urf dan uqala”, karena kalau yang kita cari adalah sosok teman ideal seperti

Salman Farisi qadasallahu sirruh, maka kita harus bersabar menunggu hingga Allah Swt menghidupkannya lagi! Tentu orang idelis seperti itu tidak akan pernah menemukan teman yang cocok, karena kalau seseorang terlalu berhati-hati dan hendak menemukan seorang teman yang sempurna serta tidak ada kekurangannya, maka dia harus sabar untuk hidup tanpa teman hingga menemukan seorang teman yang baik, bertakwa, jujur, tidak berpura-pura, setia, mau berkorban

p: 67

dan seterusnya. Hal ini bukan berarti kita merasa cukup dengan bekal husnuzhzhan, namun kita harus menggunakan neraca standar dalam mencari teman dengan melakukan sedikit ujian hingga kita benar-benar yakin bahwa dia adalah orang yang layak untuk dijadikan sebagai teman. Setelah kita memilihnya sebagai teman, maka kita harus selalu berbaik sangka kepadanya dan menghindarkan diri dari buruk sangka serta menolak omongan-omongan yang miring tentangnya, (kecuali benar-benar telah terbukti keburukannya). Setan sama sekali tidak suka melihat dua orang mukmin yang berteman dan bersahabat. Kaidah umum yang dipahami

dari kalam Ilahi juga menekankan masalah ini: Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (1) Benar bahwa ayat ini berkaitan dengan khamar dan judi, namun sebenarnya tidak terbatas hanya pada dua itu. Keduanya hanyalah dua faktor yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian. Pemahaman universal (mafhum kulli) ayat ini juga mencakup bahasan kita. Artinya, sebagaimana setan berusaha menciptakan permusuhan serta kebencian di antara kalian melalui khamar dan judi, dia juga berusaha menciptakan permusuhan serta kebencian di antara kalian melalui jalan dan cara yang lain. Yang menjadi tujuannya adalah permusuhan di antara kalian. Dia bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian itu melalui cara-cara selain khamar dan judi. Setan paling tidak suka dan tidak rela dengan hubungan harmonis penuh persahabatan di antara dua orang mukmin. Oleh sebab itu, setan berusaha dengan segala cara menimbulkan permusuhan dan kebencian. Contohnya,

p: 68


1- 27 QS. al-Maidah [5]:91.

setan berusaha mengajak manusia melakukan cacian, makian, sindiran, omongan yang menghasut, gunjingan, celaan dan mencari aib orang lain agar hubungan pertemanan yang penuh kasih serta keharmonisan di antara dua orang mukmin menjadi sirna dan berubah menjadi hubungan yang penuh permusuhan dan kecurigaan. Itulah yang membuat mata setan berbinar-binar penuh kegembiraan. Nah, kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk membuat buta

mata setan dengan mencari sahabat-sahabat yang baik dan membangun hubungan pertemanan yang penuh ketulusan dan kasih sayang, sehingga kita bisa saling cinta karena Allah Swt dan kita harus menjadikan pertemanan ini sebagai sarana peningkatan sisi maknawi dan spiritualitas.

Banyak riwayat yang menganjurkan kita untuk menjalin pertemanan dan hubungan cinta-kasih karena Allah Swt, di antaranya adalah riwayat yang dinukil oleh Imam Baqir as dari datuknya Rasulullah saw:

الْمُتَحَابُّونَ فِی اللَّهِ یَوْمَ الْقِیَامَةِ عَلَی أَرْضِ زَبَرْجَدَةٍ خَضْرَاءَ ف_ِی ظ_ِلِّ ع_َرْش_ِهِ ع_َنْ ی_َم_ِینِهِ وَ کِلْتَا یَدَیْهِ یَمِینٌ وُجُوهُهُمْ أَشَدُّ بَیَاضاً وَ أَضْوَأُ مِنَ الشَّمْسِ الطَّالِع_َةِ ی_َغ_ْب_ِطُهُمْ بِمَنْزِلَتِهِمْ کُلُّ مَلَکٍ مُقَرَّبٍ وَ کُلُّ نَبِیٍّ مُرْسَلٍ یَقُولُ النَّاسُ مَنْ هَؤُلَاءِ فَیُقَالُ هَؤُلَاءِ الْمُتَحَابُّونَ فِی اللَّهِ.

اصول کافی ج : 3 ص : 191 روایة : 7

Orang-orang yang saling mengasihi dan mencintai di jalan Allah pada Hari Kiamat akan berada di atas tanah Zabarjud berwarna hijau di bawah naungan Arasy pada sisi kanan. Wajah-wajah mereka lebih putih dan lebih bercahaya daripada matahari kala terbit. Seluruh malaikat muqarrab dan nabi yang diutus mendambakan kedudukan mereka. Orang-orang bertanya, "Siapakah mereka itu?” Maka dikatakan: “Mereka adalah orang-

p: 69

orang yang saling mencintai di jalan Allah (dan karena Allah Swt). (1) Yang dapat menyampaikan manusia pada kesempurnaan serta kedudukan tinggi ini adalah perjuangan serta usaha mereka dalam menghadapi berbagai macam tipu daya setan untuk menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mukminin. Karena perjuangan itulah mereka mendapatkan kedudukan yang begitu mulia di sisi Allah Swt. Salah satu cara untuk melawan tipu daya itu adalah menolak dan tidak menerima sembarang omongan yang tidak baik, gunjingan serta celaan orang terhadap teman dan sahabat kita. Kita harus menolak dari dalam hati semua pembicaraan yang tidak baik berkaitan dengan sahabat sendiri. []

p: 70


1- 28 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.7, hal. 195, riwayat ke-64.

p: 71

26-MENJAGA HATI

Point

بِئْسَ الطَّعَامُ الْحَرَامُ وَ ظُلْمُ الضَّعِیفِ أَفْحَشُ الظُّلْمِ إِذَا کَانَ الرِّفْقُ خُرْقاً کَانَ الْخُرْقُ رِفْقاً رُبَّمَا کَانَ الدَّوَاءُ دَاءً وَ الدَّاءُ دَوَاءً وَ رُبَّمَا نَصَحَ غَیْرُ النَّاصِحِ وَ غَشَّ الْمُسْتَنْصَحُ .

Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram dan seburuk-buruk kezaliman adalah berbuat zalim terhadap orang lemah. Perbuatan buruk, seperti namanya, buruk juga; dan bersabar atas sesuatu yang tidak disuka akan menjaga hati. Apabila kelembutan diartikan dengan kekerasan, maka kekerasan

akan berarti kelembutan. Adakalanya obat menjadi penyakit dan penyakit menjadi obat. Adakalanya nasihat didapat dari orang yang tidak disangka dan adakalanya orang yang dimintai nasihat melakukan pengkhianatan.

Bagian ketiga wasiat Imam Ali as kepada putranya Hasan bin Ali as adalah kalimat-kalimat pendek yang berisikan nasihat-nasihat umum. Nasihat-nasihat beliau selain berguna untuk kehidupan dunia, bermanfaat pula untuk kebahagiaan akhirat. Sebesar taufik yang Allah Swt berikan, kami akan

p: 72

berusaha mengupas serta menjelaskan kalimat-kalimat penuh cahaya beliau agar mudah dicerna dan dimanfaatkan, insya Allah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini, pada transkrip-transkrip wasiat beliau ada sedikit perbedaan dari sisi volume kalimat dan penempatan beberapa alinea. Nah, untuk menghindari perbedaan beberapa transkrip yang ada, kami memutuskan untuk menukilnya dari kitab Bihar al-Anwar. Sebagai misal, kalimat di bawah ini sama sekali tidak

ditemukan pada beberapa transkrip atau dinukil dengan sedikit perbedaan kalimat:

بِئْسَ الطَّعَامُ الْحَرَامُ وَ ظُلْمُ الضَّعِیفِ أَفْحَشُ الظُّلْمِ و...

Dengan menyadari adanya beberapa perbedaan yang ada, kami akan berusaha menjelaskan serta menafsirkan pesan-pesan mulia dari wasiat beliau.

Neraca Pemanfaatan Kenikmatan Duniawi

Berkaitan dengan pemanfaatan kenikmatan duniawi Imam Ali as berkata, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram.”

Kalimat ini dapat dijelaskan dalam dua penafsiran:

1. Manusia pada umumnya mempunyai sebuah neraca dan ukuran untuk menilai perkara-perkara duniawi, sehingga dia bisa memanfaatkan atau menghindarkan dirinya dari perkara-perkara itu. Dengan adanya neraca, manusia dapat menilai serta menentukan sikapnya berkaitan dengan perkara-perkara duniawi, seperti bila dia berkata, “Apa saja yang sesuai dengan seleraku maka itu adalah baik, dan apa saja yang tidak sesuai dengan seleraku maka itu adalah buruk.” Dengan adanya neraca seperti di atas, dia akan menentukan sikapnya berdasarkan pada neraca

p: 73

tersebut berkaitan dengan seluruh urusan duniawinya, yakni apa saja yang mendatangkan kenikmatan, maka itu adalah baik, dan yang tidak mendatangkan kenikmatan, maka itu adalah buruk.

Dalam pandangan Imam Ali as, tidak satupun neraca materialisme murni yang dapat dijadikan sebagai barometer yang benar karena perlu juga disertakan

neraca maknawi dan rohani. Belum tentu setiap makanan yang disuka itu baik bagi manusia, sebagaimana belum tentu juga makanan yang tidak disuka itu buruk baginya. Akan tetapi, selain masalah "enak” atau “tidak enak” dan sesuai selera atau tidak sesuai selera, juga harus ada neraca maknawi. Makanan yang baik adalah makanan yang halal meskipun tidak enak rasanya, dan makanan yang buruk adalah makanan yang haram meskipun enak an manis rasanya. Berdasar pada interpretasi ini, maka perlu juga diperhatikan nilai-nilai maknawi dan tidak hanya membatasinya nilai-nilai materialisme. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa maksud dari kalimat Imam Ali as yang berkata, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram”, adalah mengajak penerima nasihat untuk juga memerhatikan sisi maknawi dan rohani dari kenikmatan-kenikmatan duniawi.

2. Interpretasi lain yang bisa diberikan pada kalam Imam Ali as adalah bahwa yang beliau maksud dari kalimat “seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram” adalah hal-hal yang haram secara mutlak, yakni segala perbuatan yang kita lakukan semuanya akan berpengaruh pada roh dan jiwa. Makanan yang kita makan akan berpengaruh pada tubuh kita. Apabila makanan itu sehat dan bergizi, tubuh akan menjadi sehat, berenergi dan tumbuh dengan baik. Bila makanan yang kita konsumsi itu beracun, tubuh akan sakit, terserang oleh aneka bakteri dan mikroba, bahkan

p: 74

bisa berakhir dengan kematian. Demikian pula halnya dengan roh dan jiwa yang akan mengalami sehat-sakit dan hidup-mati akibat perbuatan-perbuatan baik dan buruk di dunia. Perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, tak ubahnya seperti makanan dan minuman yang kita berikan kepada roh dan jiwa. Sebagaimana makanan yang buruk, seperti makanan beracun, dapat membuat tubuh menjadi sakit, perbuatan haram dan maksiat juga seperti makanan beracun yang dapat membuat roh dan jiwa menjadi sakit. Kondisi roh dan jiwa kita sangat bergantung pada perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Sebagaimana makanan dapat berpengaruh pada kondisi tubuh, maka perbuatan-perbuatan kita juga akan berpengaruh pada kondisi roh dan jiwa. Berdasarkan keterangan di atas, maka maksud kalam Imam Ali as berarti “perbuatan haram adalah makanan yang buruk bagi roh manusia.” Interpretasi yang kedua ini lebih luas dan mencakup dibandingkan dengan interpretasi pertama.

Seburuk-Buruk Kezaliman

Salah satu pesan dan wasiat beliau adalah menghindarkan serta menjauhkan diri dari berbuat zalim, terkhusus kepada orang-orang lemah. Seburuk-buruk kezaliman adalah berbuat zalim terhadap orang-orang lemah. Setiap perbuatan zalim itu buruk.

Kezaliman yakni perbuatan melampaui batas, tidak menjaga hak-hak orang dan merampas hak orang lain. Ketika seseorang tidak menjaga hak orang lain berarti dia telah berbuat zalim dan melakukan perbuatan buruk, baik yang dizalimi itu orang lemah maupun orang kuat. Hanya saja, apabila yang diabaikan haknya itu adalah orang lemah, perbuatan itu menjadi lebih buruk. Kondisi orang yang lemah seharusnya dapat membangkitkan rasa iba dan empati kita untuk menjaga dan melindunginya; keadaan orang lemah menuntut belas kasih dan kasih sayang. Namun, bila alih-alih

p: 75

melindungi, mengasihi dan membantu orang yang lemah, kita justru menzalimi dan menganiayanya, maka kezaliman yang kita lakukan akan berlipat-lipat nilainya. Karena yang kita lakukan itu bertentangan dengan tuntutan hati nurani dan bagaimana seharusnya orang lemah diperlakukan. Kita tidak hanya tidak menolongnya, namun justru menganiaya, menzalimi dan mengabaikan hak-haknya; karenanya kezaliman ini menjadi lebih buruk. Pada hakikatnya perbuatan itu adalah kezaliman berlapis, dan itulah sebabnya mengapa bersifat lebih buruk.

Sebab lain yang menjadikan perbuatan zalim atas si lemah itu lebih buruk dari perbuatan zalim atas si kuat adalah karena si kuat masih bisa mempertahankan haknya sementara si lemah tidak berdaya. Di samping itu, menzalimi orang lemah bisa dilakukan lebih mudah dan lebih sempurna tanpa risiko berarti, sementara menzalimi orang kuat tentu lebih sulit dan berisiko; karena itulah menzalimi orang lemah dan menginjak-injak haknya menjadi jauh lebih buruk.

Alhasil, Imam Ali as hendak mengingatkan kepada kita agar berhati-hati bila berhadapan dengan orang lemah, jangan sampai kita perlakukan dia sembarangan dan semau-mau kita. Ketidakberdayaan orang-orang lemah, seharusnya membuat kita mengasihi serta menolong mereka. Jangan sampai alih-alih menolong dan membantu mereka, kita justru menzalimi dan merampas hak-hak mereka, sementara mereka tidak mempunyai sedikitpun kekuatan untuk mempertahankan hak

dan membela diri.

Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata, “Perbuatan buruk, seperti namanya, buruk juga.” Ungkapan ini adalah sebuah ungkapan yang luar biasa dan jarang sekali diucapkan. Sebagaimana kita ketahui, sebagian perbuatan yang kita lakukan, dapat diberi predikat baik dan buruk, dan seperti itulah sebagian besar perbuatan kita. Lebih jelasnya, perbuatan

p: 76

kita pada umumnya dapat disifati dengan dua sifat. Misalnya “berbicara”, “makan”, “berjalan”, mungkin bersifat baik dan mungkin juga bersifat buruk. “Berbicara” pada sebuah kesempatan adakalanya bersifat baik dan terpuji, namun pada kesempatan lain “berbicara” bisa bersifat buruk dan tercela. Demikian pula hanya dengan perbuatan "tertawa", boleh jadi baik dan terpuji pada kesempatan tertentu, dan buruk serta tercela pada kesempatan yang lain. Perbuatan itu sendiri

dalam beberapa contoh di atas tidak mengisyaratkan kebaikan ataupun keburukan. Namun ada serangkaian perbuatan yang baik-buruknya sudah bisa dipahami dari nama dan sebutannya, karena nama dan inisialnya sudah memahamkan kebaikan atau keburukan. Perbuatan itu sudah menyimpan nilai tunggal baik atau buruk di dalamnya dan hanya baik atau buruk. Sebagai misal, perbuatan fahsya’(baca: kejahatan, kekejian dan keburukan); tentu tidak perlu lagi dicarikan dalil mengapa

kejahatan itu buruk. Kejahatan itu sendiri sudah cukup untuk menunjukkan serta membuktikan keburukan dirinya. Mengapa fahsya' itu buruk? Jawabannya adalah karena fahsya’ tidak bisa menjadi kebaikan. Sebagaimana ihsan (lawan dari fahsya’), tidak bisa menjadi keburukan. Kita tidak perlu dalil untuk membuktikan keburukan fahsya’atau kebaikan ihsan.

Allah Swt berfirman dalam al-Quran, Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.99

Alasan mengapa tidak boleh mendekati perbuatan zina, karena perbuatan itu bersifat fahisyah, yakni perbuatan yang teramat keji. Kata fahsya' telah menunjukkan kekejian serta keburukan sebuah perbuatan. Ungkapan Imam Ali as yang berkata: “Perbuatan buruk, seperti namanya, buruk juga(1) menunjukkan bahwa perbuatan buruk itu bisa diketahui dari namanya dan tidak perlu lagi bukti akan keburukannya. Kezaliman juga merupakan salah satu dari perbuatan yang

p: 77


1- 29 QS. al-Isra' [17]:32.

berkategori fahisyah dan buruk, sehingga tidak ada kezaliman yang bersifat baik. Ketika sebuah perbuatan itu adalah kezaliman, maka dia pasti buruk dan tidak mungkin baik.

Kendali Hati

Tak diragukan, manusia melakukan berbagai macam hal disebabkan adanya keinginan serta rangsangan, dan hati merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam memunculkan berbagai macam keinginan dan rangsangan. Hatilah yang memberikan arah pada ikhtiar manusia dan menariknya ke sana-sini. Dalam kaitan ini, Imam Ali as memberikan sebuah metode untuk mengendalikan serta menjaga hati; beliau berkata, “Dan bersabar atas sesuatu yang tidak disuka akan menjaga hati.” Hati manusia tentu mempunyai hasrat dan keinginan. “Hawa nafsu” adalah keinginan-keinginan yang muncul di hati yang pada umumnya berisikan hasrat-hasrat sesaat dan tidak baik, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat, Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena

sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (1) Ketika hati menginginkan sesuatu, maka sekadar keinginan yang berasal dari hati, tidak serta merta menunjukkan

bahwa itu adalah sebuah keinginan yang baik. Seringkali hati menginginkan sesuatu yang berbahaya bagi manusia. Hasrat dan keinginan itu memang sering muncul dalam hati secara alamiah, namun bisa dilakukan sesuatu agar hasrat itu tidak muncul atau setidaknya tidak berkembang menjadi sebuah keinginan yang kuat serta menguasai jiwa manusia. Dengan kata lain, hati bisa menjaga serta melindungi dirinya dari berbagai macam hasrat dan keinginan yang muncul. Perlu

p: 78


1- 30 QS. Yusuf [12]:53.

diusahakan bagaimana hati berada dalam kondisi menjaga diri dan kendalinya berada pada si empunya. Jangan biarkan hati kita liar dalam menyukai serta menginginkan apa saja, karena kendalinya ada pada diri kita. Karena apabila hati sudah mengarah pada suatu keinginan, seluruh anggota tubuh juga akan mengarah padanya. Ketika hati berhasrat pada sesuatu, mata, telinga dan seluruh anggota tubuh juga akan mengarah dan bergerak menuju hasrat tersebut.

Aku menjerit karena ulah mata dan hati Karena yang dilihat mata selalu diingat hati Apabila kita bisa mengendalikan hati, sebagian besar permasalahan mendasar kita telah terselesaikan. Apa yang harus dilakukan sehingga hati berada dalam kendali? Apa yang harus kita lakukan agar hati tidak liar dan bergerak ke sana-sini dan mengejar apa saja yang menjadi hasratnya? Hati dapat dikontrol dan dikendalikan dengan proses melatih diri. Hati harus ditarik ke arah berlawanan dari apa yang menjadi hasrat serta keinginannya. Tentu arah yang berlawanan itu tidak dimaukan oleh hati dan tidak mudah untuk memalingkan hati dari kemauan serta hasratnya. Karenanya, hati perlu dijinakkan dengan latihan-latihan.

Biarlah kubuat sebuah belati yang berujung baja

Kutusuk mata dengannya agar hati terbebas dari bara (hasrat)

Sebagai misal, hati mengajak kita untuk melihat nonmuhrim. Apabila kita hendak mengendalikan hati, kita harus mencegah mata dari melihat sesuatu yang tidak

dihalalkan. Kita harus terus melatih diri dengan perenungan dan kesabaran agar keinginan dan hasrat maksiat ternafikan dari hati. Apabila kita berkehendak untuk memegang kontrol hati, kita harus terus melatihnya dengan penuh kesabaran

p: 79

untuk menghindari maksiat hingga terbiasa, yakni kita harus melakukan riyadhah dan membimbing hati agar berpaling dari melihat nonmuhrim. Riyadhah dalam bahasa berarti olah raga, yakni melatih diri. Apabila kita hendak memegang kendali hati, ia harus dibimbing melalui latihan-latihan keras untuk berpaling dari menuruti hawa nafsu. Sebagaimana bila seseorang ingin berprestasi di bidang olah raga, tentu dia harus melakukan latihan-latihan yang keras dan kontinu,

seperti mengangkat beban dari yang ringan sampai yang paling berat. Demikian pula halnya dalam urusan maknawi, apabila kita hendak menguasai keinginan-keinginan hati dan hasrat diri dengan memegang penuh kendali hati, kita harus terus berlatih dan berusaha keras.

Latihan dalam olah raga ini adalah latihan untuk membiasakan hati bersabar sehingga bisa meninggalkan hasrat serta keinginannya (yang non-syar’) dan menjadi

pahlawan di medan perang maknawi. Tashabbur adalah memaksakan kesabaran pada diri, yakni takalluf yang berarti mau susah dan repot untuk mengerjakan sesuatu. Bersabar bukanlah pekerjaan yang mudah dan gampang, tetapi memerlukan usaha dan kerja keras untuk menjadi sabar. Sebagai missal, apabila kita hendak memalingkan pandangan dari yang haram, kita harus melatih diri untuk tidak melihat sebagian yang halal. Manusia memang terbiasa untuk melihat sana-sini, karenanya sulit sekali baginya untuk mengendalikan pandangan. Bahkan seakan tidak ada jalan lain untuk mengontrolnya kecuali dengan memenjarakan diri. Apabila kita ingin tidak jatuh dalam pandangan haram, kita harus mengendalikan pandangan yang halal dan menguasainya. Sebagai misal, beberapa

menit usai salat, tundukkanlah pandangan dengan berzikir, bertasbih, berdoa dan membaca taʼqibat. Dengan melatih kesabaran, seseorang akan menjadi kuat dan mampu untuk

p: 80

mengendalikan keinginan serta hasrat hati. Hati manusia tak ubahnya seperti kuda yang lepas kendali yang berlari tak tentu arah. Dan, tidak ada cara untuk kembali memegang kendalinya kecuali melalui kesabaran. Apabila Anda hendak memegang kendali hati, Anda harus melatihnya dengan hal-hal yang tidak disukainya; harus terus berlatih, riyadhah dan kerja keras untuk membatasi hasrat serta keinginannya. Di samping hal-hal yang tidak menyenangkan sebagai lazimnya kehidupan dunia, manusia juga harus bersabar atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh orang lain. Terkadang ada beberapa ulah orang yang menuntut kita

untuk bersabar dalam menghadapinya. Kita harus pandai mengabaikan hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut tanpa harus mempermalukannya. Apalagi kalau perbuatan itu dilakukan oleh seorang mukmin, yang bila kita tidak bisa bersabar, maka akan berakhir dengan mempermalukan seorang mukmin. Kadang kita dituntut untuk bersabar demi menjaga kehormatan serta harga diri orang lain. Boleh jadi bersabar atas kelakuan orang bisa mendatangkan pahala yang lebih banyak daripada bertahun-tahun ibadah dan mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam takamul maknawi (penyempurnaan spiritual). Melatih diri untuk bersabar dan menahan diri secara berangsur akan memberi kita kekuatan untuk mengendalikan hati dan mengontrol kemauan-kemauannya sehingga hati tidak menjadi budak nafsu. (Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata): “Apabila kelembutan diartikan dengan kekerasan, maka kekerasan akan berarti kelembutan.”

Kalimat beliau ini menyinggung secara singkat sebuah pembahasan penting dalam filsafat akhlak, yaitu apakah akhlak bersifat nisbi (relatif) atau mutlak (absolut)? Kita semua telah mengetahui bahwa salah satu pembahasan penting dalam filsafat akhlak adalah apakah akhlak itu nisbi atau mutlak.

p: 81

Penjelasannya, ketika dikatakan bahwa suatu perbuatan itu baik, apakah selamanya, di mana saja dan bagi siapa saja perbuatan itu baik ataukah kebaikannya bersifat relatif? Dikatakan relatif, karena perbuatan tersebut pada waktu, tempat dan bagi orang-orang tertentu, baik; namun pada tempat, waktu dan bagi orang-orang lain, tidak baik. Tidak ada kesepakatan pendapat berkaitan dengan kenisbian atau kerelatifan akhlak, tetapi banyak aliran serta paham yang berbeda pandangan berkaitan dengannya. Sebagian berpendapat bahwa maksud dari kenisbian akhlak adalah bahwa baik-buruknya segala sesuatu bergantung pada tempat, waktu, situasi dan kondisi; dan tidak ada kebaikan atau keburukan absolut (baca: mutlak). Adakalanya sesuatu itu baik bagi sebagian orang dan tidak baik bagi sebagian yang lain. Ketika sebuah perbuatan dipandang baik oleh sekelompok orang, maka perbuatan itu baik bagi mereka; dan sebaliknya, bila sebuah perbuatan dipandang buruk oleh sekelompok lain, maka perbuatan itu buruk bagi mereka. Dengan kata lain, tidak ada neraca absolut berkaitan dengan nilai baik dan buruk.

Ada juga yang berpendapat bahwa ada sebuah neraca absolut bagi kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, mereka yang meyakini adanya neraca absolut ini akan menghadapi kesulitan dalam beberapa kasus tertentu. Contohnya, berdasar pada pendapat ini, apabila kejujuran adalah kebaikan, maka kejujuran itu baik di segala tempat dan waktu; sementara apabila sebuah kebohongan dapat menyelamatkan jiwa seorang mukmin, maka seseorang harus berdusta dan mengabaikan

kejujuran. Pada situasi yang seperti itu, Islam menganjurkan kita untuk berbohong demi menyelamatkan jiwa manusia dari tangan orang zalim. Kasus-kasus seperti inilah yang kemudian membuat sebagian orang menganggap bahwa akhlak dalam Islam bersifat nisbi dan relative, karena berdusta itu terkadang buruk dan terkadang baik; sebagaimana halnya kejujuran yang

p: 82

terkadang baik dan terkadang buruk. Padahal tidak seperti itu hakikat penafsirannya. Tentu pembahasan rinci-ilmiah berkaitan dengan masalah ini menuntut tempat tersendiri, di sini hanya akan diberikan penjelasan secara umum dan garis besar saja.

Dalam menjelaskan beberapa perbuatan seperti di atas, harus dikatakan bahwa baik dan buruknya perbuatan itu bersandar pada neraca-neraca yang lebih universal. Sebagai contoh, baik-buruknya kejujuran dan dusta bergantung pada serangkaian maslahat dan mafsadah (kerugian atau bahaya) yang ditimbulkannya. Kejujuran tidak selalu baik dan terpuji secara mutlak, sebagaimana dusta juga tidak selalu buruk dan tercela secara mutlak, namun terdapat syarat-syarat juga

faktor situasi dan kondisi yang dapat menjadikan sebuah perbuatan itu bersifat baik atau buruk.

Sebagian filsuf besar akhlak yang mempunyai kecenderungan seperti ini beranggapan bahwa ketika dikatakan sebuah perbuatan itu baik, maka tidak akan

ada pengecualian. Seperti ketika dikatakan bahwa sikap lembut itu adalah sebuah kebaikan dan banyak riwayat yang menganjurkan serta memuji sikap lembut, maka timbul kesalahpahaman bahwa dalam hal ini tidak ada pengecualian, yang berarti bahwa manusia harus selalu bersikap lembut dan tidak boleh menggunakan kekerasan sama sekali. Atau ketika kesabaran disebut sebagai kebaikan dan banyak sekali ayat dan riwayat yang menganjurkan kita untuk bersabar, maka

muncul anggapan bahwa kemarahan adalah sebuah kesalahan dan manusia tidak boleh marah secara mutlak. Padahal pada kaidah-kaidah umum itu terdapat pengecualian. Memang, kasus-kasus pengecualian itu tidak banyak, tetapi meski sedikit, pengecualian itu ada. Sebagai contoh, dalam sirah amali Imam Ali as atau dalam surat-surat yang beliau tulis untuk para gubernur dan pejabat pemerintahan, kita menyaksikan

p: 83

ada ungkapan-ungkapan sangat keras yang digunakan untuk mengecam beberapa pelanggaran serta penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan.; kala itu ke mana perginya kelembutan dan kesabaran Ali as? Mengapa kalimat-kalimat yang digunakan bukan kalimat-kalimat yang lunak

serta sarat kelembutan, seperti: Wahai anak-anakku, wahai putra-putraku, wahai orang-orang yang kucintai, jangan kalian lakukan pekerjaan buruk ini! Aku mohon kepada kalian, baitulmal adalah hak rakyat, jagalah dengan baik hak-hak mereka! Ternyata sikap Imam Ali as tidak selalu sama, beliau bersikap sesuai dengan situasi dan kondisi juga sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Memang dalam pergaulan kita dianjurkan untuk bersikap ramah dan penuh kelembutan, namun terhadap orang-orang yang melanggar dan melakukan penyelewengan, kita dituntut untuk dapat bersikap tegas dan keras.

· Ketika seseorang diperlakukan dengan lembut, sebenarnya dia telah diberi kesempatan untuk berpikir, merenung dan memahami kesalahan diri; memberi dia kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dengan bukti-bukti rasional. Sebaliknya, apabila seseorang diperlakukan secara keras dan kasar, lalu dikatakan kepadanya, “Engkau telah berbuat buruk, engkau tidak mengerti, engkau bodoh, ..."; perlakuan tersebut selain melanggar etika islami, pada hakikatnya telah

menghilangkan kesempatan introspeksi dan usaha untuk memperbaiki diri darinya. Agar tidak tercipta kondisi buruk seperti itu, sudah seharusnya orang seperti itu diperlakukan dengan kelembutan agar tercipta interaksi yang baik di tengah masyarakat. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa tidak setiap

perlakuan dan sikap lembut itu benar dan terpuji. Karena ketika yang dipertaruhkan adalah hak dan maslahat orang banyak, maka seseorang yang berkhianat atas harta muslimin

p: 84

harus disikapi dengan tegas dan keras. Dalam kasus seperti ini, apabila dia diperlakukan dengan kelembutan, dia akan semakin berani untuk meneruskan kejahatannya. Apabila seseorang yang mengorupsi milyaran (rupiah) uang rakyat diperlakukan secara lembut dan lunak, lalu kita ajak ia untuk bertobat seraya

berkata, “Sayangku, jangan lakukan perbuatan ini, karena akibatnya hanyalah kerugian bagimu!” Lalu dia menjawab, “Baiklah, aku tidak akan melakukannya lagi.” (Jika seperti itu perlakuan yang diberikan kepada seorang koruptor), maka dia akan kembali melakukan kejahatannya bahkan dia siap untuk melakukan yang lebih besar lagi. Tentu, sikap lunak dan dan lembut dalam hal ini sama sekali tidak tepat dan keliru. Karena sikap lunak terhadap para pengkhianat rakyat, tidak akan

membuahkan apa-apa selain menjadikan mereka bertambah semangat untuk melanjutkan kejahatannya. Oleh sebab itu, ketegasan dan kekerasan diperlukan pada tempatnya. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menegaskan, “Apabila kelembutan diartikan dengan kekerasan, maka kekerasan akan berarti kelembutan." Adakalanya ketegasan dan kekerasan memberikan hasil kelembutan dan sikap lunak, yakni sesuatu yang menjadi hasil dari sikap lembut dan lunak, terkadang dihasilkan oleh sikap tegas dan keras. Terkadang kita harus menerapkan sikap terbalik, karena ketegasan telah berarti kelembutan dan kekerasan berarti kelunakan. Adakalanya

cinta dan kasih sayang itu harus dituangkan dalam bahasa kekerasan dan ketegasan. Oleh sebab itu, segala anjuran dan pujian yang diberikan pada kelembutan, kasih sayang, kesabaran, ketabahan, rendah hati dan lain sebagainya, bukan berarti tidak ada pengecualiannya, karena ada saat-saat tertentu ketika sikap lunak, sabar dan lembut, harus diganti dengan sikap tegas, marah dan keras demi tercapainya tujuan yang baik.

p: 85

Hal ini telah terungkap dalam berbagai riwayat, di antaranya Rasul saw pernah berkata, “Kerutkan wajahmu bila berhadapan dengan ahli kemungkaran dan bertakarublah kepada Allah dengannya!(1) Dalam riwayat yang lain, Imam Ali as berkata:

مَنْ تَرَک إِنْکارَ الْمُنْکرِ بِقَلْبِهِ وَ لِسَانِهِ فَهُوَ مَیتٌ بَینَ الْأَحْیاءِ

“Barangsiapa yang meninggalkan pengingkaran hal-hal yang mungkar dengan hati, tangan dan lisannya, maka dia bagaikan orang mati di tengah orang-orang yang hidup.(2) Seseorang yang tidak dapat mencegah kemungkaran dengan perbuatan dan tindakan, maka setidaknya dia harus menunjukkan mimik serta sikap yang memahamkan kepada si pelaku kemungkaran bahwa dia tidak setuju dengan perbuatannya dan bahwa apa yang dilakukannya itu buruk. Seseorang tidak boleh menebar wajah penuh senyuman dan sikap rendah hati kepada semua orang tanpa melihat apakah dia teman atau musuh, pendosa atau orang yang taat, baik atau jahat. Akan tetapi, seseorang terkadang perlu bersikap tegas dan keras kepada mereka yang memang pantas diperlakukan

seperti itu.

Namun, bukan juga berarti bahwa manusia harus selalu bersikap keras kepada semua orang. Sikap tegas dan keras hanya boleh digunakan pada momen-momen tertentu dengan penuh ketelitian serta kehati-hatian. Sikap keras kita harus rasional, jernih, objektif dan tidak boleh dipengaruhi oleh rasa cinta atau benci. Perlu diketahui, sikap keras, tegas dan amarah juga mempunyai tempat yang benar dalam kehidupan dan dibutuhkan.

p: 86


1- 31 Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis ke-5518 dan 5586.
2- 32 Thusi, Al-Tahdzib, jil.6, hal. 181.

Dengan demikian, jelas sudah apa yang termaktub dalam beberapa ayat dan riwayat atau sebagian sikap Imam Ali as juga para Imam yang lain; dengan dasar apa perintah untuk bersikap lembut dikeluarkan, namun pada kesempatan lain beliau mengangkat cambuk untuk menghukum pelaku kejahatan atau memberikan kecaman dengan nada keras "tsakkalatka ummuka!” (Semoga ibumu berduka atas kepergianmu!). (1) Orang yang bijaksana tahu persis kapan dia harus bersikap lembut dan lunak, juga kapan dia harus bersikap tegas dan keras. Oleh sebab itu, apabila kita menemukan atau menyaksikan orang-orang mulia bersikap tegas dan keras, kita harus memahami bahwa apa yang dilakukan itu adalah benar dan tidak bertentangan dengan akhlak. Apabila sikap lembut akan mendatangkan hasil yang buruk, kita harus bersikap sebaliknya, yakni tegas dan keras, agar menghasilkan sesuatu yang positif.

Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata, “Adakalanya obat menjadi penyakit dan penyakit menjadi obat.” Betapa banyak penyakit yang justru mendatangkan kesembuhan, dan sebaliknya, sesuatu yang dianggap sebagai obat, justru mendatangkan penyakit. Sebagai misal, ada makanan-makanan yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh tubuh, namun pada saat yang sama dia menjadi sumber dan penyebab munculnya penyakit-penyakit tertentu. Demikian pula halnya dengan

sikap dan perilaku manusia, harus sesuai dengan kaidah di atas.

Setiap sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya, karena jika tidak, maka akan mendatangkan hasil yang sebaliknya. Hal lain yang dipesankan oleh beliau: “Apabila engkau tidak mengenal seseorang, apakah dia menginginkan kebaikanmu ataukah tidak, atau bahkan apabila engkau mengetahuinya bahwa dia menyimpan niat jahat terhadapmu, engkau tetap tidak dibenarkan untuk berpikiran bahwa apa saja yang dikatakannya itu merugikan dirimu. Boleh jadi

p: 87


1- 33 Nahj al-Balaghah, aforisme ke-417.

orang yang tidak suka kepadamu itu memberikan sebuah nasihat yang bermanfaat bagimu. Oleh sebab itu, kita harus mendengar dengan baik dan penuh ketelitian setiap ucapan darimana pun sumbernya, apakah ucapan itu benar atau salah? Apabila engkau mendapati ucapan tersebut sebagai sebuah kebenaran, jangan segan-segan untuk menerimanya, meskipun sumbernya itu adalah musuhmu. Dari sisi lain, terkadang kita sudah sangat percaya terhadap seseorang yang bukan

maksum. Boleh jadi orang tersebut berbicara berdasar pada hawa nafsunya, dan jika kita menerimanya begitu saja, maka kita akan tersesat olehnya. Hanya karena kita sudah percaya dan yakin terhadap kebaikan seseorang, kita tidak boleh menerima semua ucapannya begitu saja dan menganggapnya benar lalu mengikutinya. Bahkan, boleh jadi orang baik itu menyampaikan sesuatu dengan niat yang baik pula, namun apa yang disampaikan itu bukanlah kebenaran, karena dia bukan

pribadi yang maksum dan mungkin melakukan kesalahan.

Kesimpulannya, kita tidak boleh berpandangan buruk tentang seseorang secara berlebihan, sehingga seluruh ucapannya kita anggap buruk dan salah. Karena musuh

sekalipun terkadang menyampaikan sebuah kebenaran yang bermanfaat bagi diri kita. Dari sisi lain, apabila kita percaya kepada seseorang, kita juga tidak boleh menerima semua ucapannya secara buta dan menganggap bahwa semua yang disampaikan itu bermanfaat bagi diri kita. Singkat kata, kita tetap harus memberikan kemungkinan kebenaran ucapan musuh, sebagaimana kita juga tetap harus memberikan kemungkinan niat busuk serta pengkhianatan dari seorang

yang terpercaya. Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata, “Adakalanya nasihat didapat dari orang yang tidak disangka dan adakalanya orang yang dimintai nasihat melakukan pengkhianatan.”

p: 88

Betapa banyak orang yang bukan penasihat dan teman kita memberikan nasihat dengan niat baik kepada kita, bahkan nasihat yang seperti itu jarang kita jumpai dari teman-teman dekat kita. Dari sisi lain, betapa banyak nasihat yang diberikan oleh teman dekat dan orang-orang yang kita percaya, namun pada hakikatnya mereka menyimpan niat busuk dan berusaha menipu kita. Hal ini mungkin saja terjadi, karena mereka bukanlah orang-orang suci. Bisa saja mereka tergoda oleh

hawa nafsu dan berbuat buruk terhadap kita. Jangan sampai prasangka buruk membuat kita kehilangan banyak hal yang positif, dan jangan sampai pula prasangka baik yang berlebihan mendatangkan kerugian yang besar! ]

p: 89

27-ANGAN-ANGAN PANJANG

Point

إیاک والإتکال علی المنی فانها بضائع النوکی و مطل عن الاخره و الدنیا

Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu dan akan mencegahmu dari kebaikan dunia dan akhirat.

Mukadimah

Sebagaimana telah diketahui bahwa bagian akhir dari wasiat Imam Ali as kepada putranya Hasan bin Ali as ini berupa kalimat-kalimat pendek dan nasihat-nasihat universal tanpa penjelasan dan uraian. Pada bagian ini, Imam Ali as berkata, “Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu.”

Nûkâ adalah bentuk jamak dari kata nuk yang berarti dungu dan bebal. Kita harus mengkaji lebih jauh apa maksud Imam dari kalimat ini. Lafaz-lafaz yang digunakan dalam kalimat ini satu hampir sama dengan yang lain, tetapi berbeda dalam tempat penggunaannya. Oleh sebab itu, sebagian mengalami kesalahan dalam menafsirkan dan memahaminya. Secara umum sering terjadi pemahaman yang keliru atas lafaz-lafaz mutlak dan umum dalam ayat serta riwayat. Hal itu terjadi karena qaid dan takhshishnya (baca: rincian penjelasan) bersifat tersembunyi, implisit dan terpisah. Karenanya, mereka yang

p: 90

tidak memerhatikan rincian penjelasan dari keterangan yang mutlak tersebut, bisa salah dalam mengambil kesimpulan. Oleh sebab itu, untuk memahami ayat dan riwayat diperlukan keakraban dengan ayat dan riwayat juga dasar-dasar pengetahuan keislaman (ma’arif islami). Meskipun semua ayat dan riwayat itu adalah cahaya dan manusia harus mengambil petunjuk darinya, tetap dibutuhkan ketelitian serta kejelian, dan ucapan Imam Ali as di atas termasuk dalam kategori ini.

Kita sendiri terkadang menggunakan lafaz-lafaz yang maknanya berdekatan, namun kita tidak memerhatikan tempat penggunaannya dan boleh jadi kita juga akan

mengalami kekeliruan dalam menentukan substansi dan hukum-hukumnya. Di antara kata-kata itu adalah kata seperti harapan, raja', umuniyyah, tamanni, cita-cita dan amal (angan- angan). Beberapa kata tersebut mempunyai makna yang berdekatan dan hampir sama, karenanya dibutuhkan qaid dan takhshish agar maksud yang hendak disampaikan dapat diterima dengan benar. Oleh sebab itu dalam menafsirkan sebuah kalimat harus diperhatikan makna lafaz serta tempat

penggunaannya, juga harus diperhatikan qaid serta takhshish yang disertakan pada kalimat tersebut.

Dalam wasiatnya, Imam Ali as memperingatkan kita untuk tidak jatuh dalam angan-angan panjang. Banyak keterangan dalam riwayat yang mirip dengan pesan beliau, seperti apa yang diucapkan oleh beliau dalam Nahj al-Balaghah:

إنما أخاف علیکم إثنتان: اتباع الهوی و طول الأمل

Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah dua hal:

mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan panjang (1)

p: 91


1- 34 Nahj al-Balaghah, Khotbah ke-28.

Imam Ali as telah menunjukkan ada dua bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia, yang pertama adalah mengikuti hawa nafsu serta hasrat hati dan yang kedua adalah angan-angan panjang. Perlu digarisbawahi, angan-angan panjang bukanlah sekadar bahaya biasa, tetapi merupakan bahaya yang sangat serius dan mengkhawatirkan. Sebegitu bahayanya, hingga Imam Ali as berkata, “Yang paling aku takutkan dari kalian.” Karenanya, dalam wasiat ini beliau berpesan kepada putranya, “Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu dan akan mencegahmu dari kebaikan dunia dan akhirat!"

Nasihat dan anjuran agama yang mencegah kita untuk berangan-angan panjang, sepertinya bertentangan dengan apa yang dianjurkan dalam ilmu psikologi, yang mendorong serta memberi semangat manusia untuk bermimpi, berangan-angan dan bercita-cita tinggi, lalu bagaimana dapat dijelaskan pertentangan ini?

Para pakar ilmu jiwa justru menganjurkan dengan penuh penekanan agar manusia mempunyai angan-angan serta harapan-harapan yang tinggi dan hal itu dianggap sebagai pertanda bagi kehidupan ideal serta kesehatan jiwa. Nah, bagaimana dua pandangan yang berbeda ini diambil jalan tengahnya. Lebih daripada itu, di antara riwayat-riwayat yang sampai kepada kita dari para Imam as, juga terdapat pertentangan, karena sebagian riwayat menganjurkan kita untuk selalu mempunyai harapan dan mencela keputusasaan, sementara sebagian yang lain, seperti pesan Imam Ali as ini, mencegah kita untuk berangan-angan dan menumpuk harapan di dunia. Nah, kini kita harus mengkaji, apakah memiliki cita-cita yang tinggi dan harapan jangka panjang adalah sebuah aib dan perbuatan yang harus dihindari? Sebagai misal, apabila seseorang membuat perencanaan untuk 30 tahun ke depan

p: 92

dan sejak saat ini dia berusaha untuk dapat mencapainya selama waktu yang dicanangkan, apakah dia dianggap telah melakukan sebuah kekeliruan dan sedang mengejar angan- angan kosong? Apa sih sebenarnya sisi buruk dari sekadar memiliki cita-cita dan angan-angan panjang? Apa sebenarnya yang dimaksud oleh Imam Ali as ketika mencegah kita untuk bersandar pada angan-angan yang panjang? Agar topik bahasan menjadi jelas, perlu kiranya memerhatikan beberapa poin berikut: Terlebih dahulu harus diketahui bahwa maksud dari angan-angan atau cita-cita adalah sebuah keinginan yang belum tecapai yang ingin diraih pada masa mendatang. Cita- cita dan dambaan adalah sesuatu yang diinginkan, namun belum tercapai dan tidak mudah untuk meraihnya; perlu perencanaan, kerja keras dan kesabaran juga waktu yang panjang untuk mewujudkannya. Itu adalah arti dari angan-angan dan cita-cita, selanjutnya perlu juga diketahui, berkaitan dengan apa cita-cita dan angan-angan itu? Berbagai macam hal, baik duniawi maupun ukhrawi, dapat menjadi objek cita-cita dan angan-angan; bisa murni kenikmatan duniawi sampai perkara-perkara yang murni ukhrawi. Apabila cita-cita dan angan-angan tersebut berkaitan dengan materi dan kenikmatan duniawi, cita-cita tersebut dapat dibagi menjadi dua: pertama, mencita-citakan sesuatu yang haram menurut syariat, seperti menginginkan harta serta kedudukan dengan cara melanggar

syariat; tentu yang seperti ini sudah sangat jelas hukumnya.

Kedua, mencita-citakan sesuatu yang secara syar'i halal dan tidak bermasalah, seperti bercita-cita untuk memiliki rumah yang luas, mobil model terbaru, harta berlimpah, kebun buah, istana dan lain sebagainya; tentu yang seperti ini juga pada batas dirinya tidak haram. Yang menjadi ukuran serta neraca untuk menghukumi aktivitas yang seperti ini adalah: sebesar apa energi, usaha, aktivitas serta waktu yang dipertaruhkan

p: 93

untuk mewujudkan berbagai keinginan dan angan-angan tersebut? Tentu angan-angan serta cita-cita tinggi berkaitan dengan kenikmatan materi dan duniawi yang banyak menyita waktu dan energi seperti di atas, sangat tidak terpuji dan tercela dari sudut pandang akhlak Islam.

Orang-orang yang mengejar angan-angan panjang duniawi, mau tidak mau, akan terhalangi serta teralihkan dari menjalankan taklif-taklif syar'i dan meraih kesempurnaan- kesempurnaan maknawi, karena dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya untuk meraih semua kemegahan dunia itu. Sebagai misal, seorang pekerja biasa yang sama sekali belum mempunyai modal, namun dia berangan-angan untuk menjadi orang kaya raya dengan harta berlimpah.

Sementara dia harus menjaga seluruh hukum syariat dan akhlak islami, dia juga harus bekerja siang dan malam untuk mengejar mimpinya; bangun dan tidurnya, waktu istirahat dan ketenangan hidupnya, seluruhnya dikonsentrasikan untuk meraih harapan tersebut hingga secara berangsur mencapai keberhasilan. Tak diragukan, bila seperti itu adanya, tidak ada kekuatan yang tersisa baginya untuk mencari ilmu, ketakwaan, ibadah, berkhidmat kepada masyarakat, membantu fakir-miskin dan seterusnya.

Tanpa disadari, mengejar mimpi-mimpi duniawi seperti di atas memang akan menghambat manusia untuk mengerjakan tugas-tugas wajibnya. Oleh sebab itu, menyimpan cita- cita tinggi duniawi merupakan sesuatu yang tercela dalam agama. Akan tetapi, apabila harta serta kedudukan tersebut dia perjuangkan demi meraih tujuan-tujuan ukhrawi, seperti bila demi berkhidmat kepada sesama, membenahi kehidupan masyarakat, mendakwahkan Islam, seseorang berusaha untuk

menduduki jabatan sebagai Presiden atau Perdana Menteri, maka seberapapun usaha dan energi yang diberikan akan tercatat sebagai perbuatan yang mulia. Dengan kata lain,

p: 94

semakin mulia tujuan seseorang dan semakin jauh niatnya dari sekadar memenuhi tuntutan nafsu, maka semakin bernilai pula usaha dan kerja kerasnya. Apabila dia mengejar sebuah kedudukan demi sebuah misi Ilahi, usahanya tidak hanya tidak tercela, namun justru terpuji dan mulia. Namun perlu juga diperhatikan, mengejar dunia demi tujuan ukhrawi mempunyai beberapa syarat. Pertama, dia harus melihat dan mengkaji kemungkinan tercapainya cita-cita tersebut; apakah cita-cita yang diharapkan itu dapat diraih dengan melihat situasi dan kondisi serta fasilitas yang ada? Seberapa besar kemungkinan tercapainya cita-cita dan dambaan tersebut? Tentu, dalam kaitan ini, kemungkinan tercapainya tujuan itu haruslah besar. Oleh sebab itu, pertama harus diprediksi dan dihitung

seberapa besar kemungkinan tercapainya tujuan tersebut. Kedua, kita harus melihat seberapa besar nilai dari cita-cita dan dambaan itu, yakni apabila akhirnya cita-cita itu tercapai, sejauh apa dia dapat bermanfaat bagi akhirat serta pengkhidmatan kepada Islam dan masyarakat Islam? Dengan memahami situasi dan kondisi yang ada berkaitan dengan diri dan masyarakat, sejauh apa dia dapat memanfaatkan cita-cita tersebut dalam berkhidmat kepada Islam? Apabila hasil

telaah dua syarat di atas memberikan jawaban yang positif, berarti cita-cita dan mimpi tersebut layak untuk dikejar dan diwujudkan. Kemungkinan keberhasilan (ihtimal) serta kadar hasil (muhtamal) harus sedemikian besar dan tinggi, agar mengejar cita-cita tersebut dapat disebut sebagai sebuah usaha yang terpuji dan bersifat rasional. Apabila setelah sepuluh secara pasti dia dapat mencapai cita-cita tersebut, tetapi kemungkinan penggunaannya dalam berkhidmat kepada

agama dan masyarakat hanya satu persen, maka meskipun kadar ihtimal begitu kuat, namun kadar muhtamal-nya sangat lemah, dan tentu cita-cita ini sudah tidak layak untuk dikejar

p: 95

dan diwujudkan. Kadang keadaannya terbalik, yaitu ihtimal lemah, namun muhtamal-nya sangat kuat, yakni kemungkinan dicapainya cita-cita sangat kecil, namun bila tercapai pasti akan berguna dan digunakan untuk tujuan-tujuan ukhrawi yang mulia; jika begitu keadaannya, jangan pertaruhkan usia dan biaya untuk menggapainya. Singkat kata, apabila dua syarat di atas telah terkumpul, cita-cita dan angan-angan itu layak untuk dikejar; dan bila kedua syarat atau salah satunya

tidak ada, cita-cita dan angan-angan tersebut tidak layak untuk dikejar dan diperjuangkan. Yang dimaksud dengan nilai sebuah cita-cita adalah sebuah cita-cita yang dapat digunakan dalam merealisasikan nilai-nilai Ilahi dan tujuan-tujuan suci, seperti apabila cita-cita tersebut dapat membantu dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan ukhrawi kita. Namun perlu juga diperhatikan bahwa untuk melakukan sebuah pekerjaan, tidak cukup hanya dengan memperhitungkan kadar ihtimal dan muhtamal. Masih ada hal lain lagi yang perlu diperhitungkan, yaitu melihat serta mengkaji nilai pekerjaan-pekerjaan yang mudah. Dengan begitu, kita dapat memilih

sesuatu yang bernilai lebih tinggi di antara berbagai pekerjaan dan cita-cita yang muhtamal. Boleh jadi, ada pekerjaan- pekerjaan lain yang bernilai tinggi, karenanya kita perlu melakukan komparasi apakah satu pekerjaan khusus ini yang bernilai lebih tinggi atau pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Sebagai kesimpulan, ada tiga perhitungan yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti sebuah cita dan angan. Pertama, menghitung kadar kemungkinan tercapainya sebuah cita dan angan-angan (ihtimal). Kedua, menghitung kadar cita dan angan-angan tersebut, sejauh apa ia bisa bermanfaat bagi akhirat dan khidmat kepada sesama. Ketiga, melihat berbagai cita dan angan-angan yang lain bila dibandingkan dengan cita dan angan-angan yang hendak diraih sekarang, mana di antara

keduanya yang lebih bermanfaat untuk urusan ukhrawi, yakni

p: 96

kita perlu mengkaji dan meneliti lebih jauh, adakah pekerjaan-pekerjaan lain yang nilainya lebih tinggi dari cita dan angan yang ada? Seandainya memang tidak ada pekerjaan lain yang lebih penting daripada cita dan angan-angan tersebut, barulah terbuka jalan bagi kita untuk mewujudkannya.

Apabila cita-cita dan angan-angan itu tinggi dari sisi ihtimal, kuat dari sisi muhtamal dan tidak ada pekerjaan yang lebih baik dan lebih penting darinya, cita-cita dan

angan-angan tersebut harus segera ditindaklanjuti. Tentu cita-cita dan angan-angan yang seperti itu sangat bagus dan terpuji. Sebagai misal, apabila seseorang berkeinginan memiliki sarana dan fasilitas duniawi yang lebih baik untuk berkhidmat kepada Allah Swt, hamba Allah dan agama, maka cita-cita dan angan-angan itu sangatlah baik dan tidak ada sisi buruknya. Namun, apabila kemungkinan tercapainya angan-angan tersebut sangat kecil (ihtimal) dan muhtamal-nya tidak begitu bernilai, mengejar angan-angan yang seperti itu tidak berbeda dengan berkhayal dan berfantasi. Sangatlah disayangkan apabila kesempatan hidup dihabiskan untuk hal-hal tak bernilai seperti itu.

Teori di atas dapat diterapkan serta dirasakan secara nyata pada contoh berikut ini. Dalam sebuah negara berpenduduk 100 juta jiwa, ada sekelompok orang yang berkeinginan untuk menjadi presiden. Seandainya ada sekitar 10 juta orang yang ingin menjadi presiden, kemungkinan untuk berhasil adalah satu per sepuluh juta bagi masing-masing orang. Sudah barang tentu kemungkinan keberhasilannya sangatlah kecil. Akan tetapi, meskipun kecil dari sisi ihtimal, tetapi sangat

besar dari sisi muhtamal, yakni apabila seseorang benar-benar dapat menjadi presiden, dia akan menempati posisi yang sangat strategis untuk berkhidmat kepada Islam dan muslimin. Di hadapannya terbentang luas area untuk berkhidmat dan melayani umat. Nah, sekarang tinggal berhitung dengan

p: 97

syarat yang ketiga, yaitu dia harus melihat dan mengkaji apakah ada pekerjaan lain yang nilainya lebih baik daripada mencalonkan diri sebagai kepala negara atau tidak? Yakni, dia harus memastikan bahwa tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari sisi ihtimal dan muhtamal, juga tidak ada pekerjaan lain yang setidaknya bernilai setara dengan pencalonan diri sebagai presiden.

Ringkasan dari pembahasan di atas adalah bahwa untuk bercita-cita atau mengejar cita-cita, pertama seseorang haruslah melihat apakah cita-cita itu hanya berguna untuk dunia atau juga berguna untuk akhirat? Apabila hanya berguna untuk dunia, apakah mengerahkan segala daya dan upaya untuk tujuan yang seperti itu mempunyai nilai dari sudut pandang Ilahi dan islami ataukah memang layak kita banting tulang peras keringat sepanjang waktu sekadar untuk meraih

kenikmatan duniawi? Nah, apabila cita-cita tersebut hanya bernilai duniawi, usaha untuk menggapainya sungguh tidak rasional. Namun bila juga bernilai maknawi, harus dilakukan tiga perhitungan di atas hingga dapat diputuskan apakah cita-cita tersebut layak dikejar dan diperjuangkan ataukah tidak?

Keselarasan antara Kesungguhan dan Kemampuan dalam Bercita-cita

Masalah lain yang perlu dijelaskan adalah perbedaan antara kesungguhan dan kemampuan individu-individu manusia. Dengan menyadari bahwa manusia tidak sama dari sisi kesungguhan, kemauan dan keseriusan, maka masing- masing mereka harus menyesuaikan cita-citanya dengan kesungguhan serta keseriusannya, karena cita-cita yang tinggi juga menuntut kesungguhan dan kemauan yang tinggi pula dalam mewujudkannya. Sebagai misal, seandainya orang awam biasa berkeinginan untuk menjadi wakil rakyat di parlemen, dia harus berusaha sungguh-sungguh dan serius untuk suatu hari nanti mencapai kedudukan tersebut. Tentu

p: 98

cita-cita ideal dan tinggi seperti itu dari seorang awam biasa, sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kesungguhan serta kemauan yang tinggi. Salah satu hal yang dapat menunjukkan tinggi rendahnya kemauan seseorang adalah duniawi atau ukhrawinya apa yang menjadi cita-cita. Ada orang-orang yang sedemikian rendah kemauannya sehingga selalu mengejar hal-hal yang bersifat instan, yakni dia ingin mendapatkan hasil pekerjaannya pada saat itu juga, dia tidak mau mengejar cita-cita yang menuntut banyak waktu, energi besar, perencanaan yang detail dan kerja keras. Ada juga orang-orang yang suka berkhayal dan

merajut mimpi, mereka selalu mendambakan hal-hal yang kemungkinan tercapainya sangat kecil. Dua bentuk perilaku di atas (dengan mengabaikan sudut pandang agama) sangat tidak terpuji dari sudut pandang akhlak dan etika.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini, dalam segala hal termasuk dalam masalah ini, keseimbangan perlu dijaga. Dengan kata lain, keseimbangan (i'tidal) adalah salah satu neraca untuk menilai dan mengapresiasi perbuatan, termasuk dalam masalah ini. Manusia tidak boleh selalu mengikuti gerak dan langkah orang lain. Dia harus bersemangat, bersungguh-sungguh, berkemauan dan tidak boleh lemah serta bermalas-malasan. Dia tidak boleh hanya mengejar pekerjaan-

pekerjaan yang mudah dan sederhana dengan hasil instan, juga tidak benar mengejar cita-cita yang irasional dan tak terjangkau. Sebagaimana seseorang yang berkemauan rendah dan bermalas-malasan dalam hidup tidak akan mencapai keberhasilan yang berarti, manusia tukang khayal juga tidak akan pernah berkembang dan maju. Ketidakberhasilan itu disebabkan jenis orang seperti ini ketika berusaha, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, selalu berada di bawah

bayangan cita-cita yang irasional dan tidak masuk akal tanpa menjalani tiga perhitungan di atas. Seringkali, begitu timbul

p: 99

keinginan akan sesuatu, tanpa perenungan dan pikir panjang, dia tinggalkan seluruh pekerjaannya dan mengalihkan segenap konsentrasi pada keinginan barunya. Padahal dia belum mempelajari dengan baik bagaimana cara untuk meraih cita-citanya. Oleh sebab itu, biasanya usaha serta kerja keras orang-orang seperti ini hanya akan menghasilkan kesia-siaan.

Karenanya, manusia harus memiliki keseimbangan dalam bercita-cita, yakni tidak terlalu malas, mencari hasil instan, tidak terlalu santai dan menunggu orang lain menghidangkan makanan dan menyuapinya, namun jangan juga terlalu berlebihan membuang energi dalam mengejar semua cita-cita dan keinginan yang tidak begitu bernilai dan berarti. Manusia harus berpikir seimbang, melakukan perhitungan yang matang, memilih jalan yang rasional dan mengeluarkan biaya

serta tenaga seperlunya demi mencapai apa yang menjadi cita-cita. Betapa banyak orang berkemauan tinggi, namun mereka tidak mengetahui jalan untuk meraih apa yang diinginkan. Ada juga orang-orang yang mengetahui jalan, namun tidak mau bersusah payah untuk mengejar apa yang dicita-citakan, atau tidak memiliki program yang jelas dalam rangka meraih cita- cita dan tujuan. Orang-orang seperti di atas pada umumnya tidak akan meraih keberhasilan dalam hidup, karena di satu sisi mereka menganggap beberapa hal itu remeh dan di bawah kelasnya, dan tentu mereka tidak mau mengejar hal-hal yang dianggap rendah. Di sisi lain, mereka juga tidak mempunyai penilaian yang tepat serta program yang benar untuk meraih apa yang dicita-citakan. Mereka merasa terhibur dengan khayalan dan terlalu percaya pada angan-angan.

Ramainya Pasar Khayal dan Fantasi

Dari apa yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa mempunyai dan mengejar cita-cita yang tinggi itu baik apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi. Akan tetapi, apabila kita

p: 100

mengejar sebuah cita-cita tanpa syarat-syarat di atas, meskipun sebuah cita-cita sederhana, tentu akan terkena kecaman Imam Ali as yang melarang kita untuk bersandar pada angan- angan duniawi. Namun, apabila seseorang mempunyai cita-cita yang tinggi dan memahami jalan untuk meraihnya, juga bisa melakukan penilaian yang benar, lalu dengan bertawakal kepada Allah Swt bekerja keras serta berusaha untuk meraih cita-citanya. Tentu mengejar dan memperjuangkan cita-cita yang seperti itu sama sekali tidak tercela. Cita-cita yang seperti itu adalah justru cita-cita yang membuat kehidupan seseorang menjadi dinamis dan bergelora. Manusia harus menjauhkan dirinya dari sikap berputus asa. Setelah berpasrah kepada Allah Swt, dia memilih sebuah tujuan dan cita-cita

yang rasional, terukur dan berarti, lalu berupaya mewujudkan cita-cita tersebut dengan usaha yang cukup dan sesuai. Hal itu disebabkan alam ini adalah alam sebab dan sarana, wa an laisa lil insani illa ma sa'a (dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang dia usahakan).(1) Pada hakikatnya, mereka yang mempunyai angan-angan tinggi dan irasional, pada umumnya tidak melakukan usaha yang sesuai untuk meraihnya, mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai dan tidak berpikir tentang skala prioritas. Mereka tak ubahnya seperti orang yang menggunakan modalnya dalam perdagangan di alam khayal atau seperti pepatah (Persia) yang berbunyi “menumbuk beras pada lesung khayalan!"

Mungkin Anda sudah pernah mendengar cerita Sa'di tentang seorang pedagang yang berfantasi mempunyai perdagangan yang laris manis. Dia selalu melakukan jual beli dalam khayalan sambil berkata, “Aku telah mendapatkan keuntungan sekian dari barang ini dan laba sekian dari barang itu... kemudian aku membeli beberapa budak dan pelayan. Apabila mereka melanggar dan tidak patuh, kepalanya akan aku pukul dengan tongkat hingga tidak kuasa untuk bersuara."

p: 101


1- 35 QS. al-Najm [58]:39.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kendi minyak yang pecah hingga tersadar bahwa semua perdagangan tadi hanyalah khayalan belaka dan yang sebenarnya terjadi adalah kendi minyak yang dia pecahkan.

Orang-orang yang mempunyai cita-cita setinggi langit namun tidak mengetahui jalan untuk mencapainya, tidak mempunyai program yang jelas untuk meraihnya, atau tidak melakukan usaha untuk mewujudkannya, maka mereka itu adalah para pedagang yang sedang berniaga dengan modal hayalan dan fantasi.

Betapa indahnya apa yang digambarkan oleh Imam Ali as tentang orang-orang seperti di atas! Mereka adalah orang-orang bodoh dan dungu yang sedang berniaga dengan modal angan-angan dan fantasi. Angan-angan dan khayalan adalah modal dagang orang-orang dungu dan tak berakal. Yang menjadi sasaran nasihat Imam Ali as ini adalah orang yang hendak bersandar serta mengandalkan dirinya pada angan-angan panjang tak terukur, yakni angan-angan yang irasional

dan belum dipikirkan serta dikaji secara matang. Yang dipermasalahkan di sini bukan sembarang cita-cita dan angan-angan. Yang dimaksud oleh riwayat sebagai angan-angan yang paling berbahaya adalah angan-angan panjang duniawi yang bersifat fantasi dan irasional. Yang dimaksud dalam riwayat adalah agar manusia tidak mempunyai banyak mimpi serta keinginan sehingga menghabiskan seluruh waktu serta konsentrasi untuk meraih dan menggapainya. Angan-angan

panjang seperti itu dapat menyebabkan manusia lupa pada kehidupan akhirat. Angan-angan serta cita-cita yang tercela adalah angan-angan panjang duniawi, yang menurut Imam Ali as, adalah bahaya terbesar yang mengancam kehidupan seorang manusia.

Yang dimaksud oleh Imam Ali as dalam wasiat ini adalah angan-angan serta cita-cita irasional yang belum dipikirkan

p: 102

secara matang juga belum disusun program yang jelas dan belum diikuti dengan usaha yang sesuai untuk meraihnya. Beliau berkata, “Jangan sekali-kali kalian bergantung pada angan-angan yang seperti itu, karena angan-angan yang seperti itu adalah modal kerja orang-orang dungu yang tidak menggunakan akal sehatnya.” Orang-orang yang menyandarkan dirinya pada angan-angan seperti itu, tanpa disertai dengan syarat-syarat yang telah dibahas di atas, akan

kehilangan dunia dan akhirat sekaligus. Nasihat beliau adalah semua aturan serta tatanan kehidupan yang tidak hanya terkait dengan kehidupan akhirat saja, karena orang-orang yang hidup hanya dengan angan-angan tanpa disertai dengan usaha yang memadai untuk meraihnya, pada hakikatnya dia sedang menghancurkan kehidupan duniawinya (sebelum kehidupan ukhrawi). Karena dia belum menelaah secara tuntas apa yang menjadi tujuan, belum mempunyai pengetahuan yang cukup dan tidak berusaha mewujudkannya, maka dapat dipastikan dia tidak dapat meraih tujuan. Ketika tujuan duniawinya tak tercapai, sudah barang tentu tujuan ukhrawinya juga tidak akan tercapai. Apabila seseorang berusaha dan bekerja keras untuk meraih tujuan duniawinya dan akhirnya tercapai, besar kemungkinan dia akan meraih juga tujuan ukhrawinya. Akan tetapi, apabila dia tidak berusaha dan hanya hidup dengan angan-angan belaka, dia akan kehilangan dunia

sekaligus akhirat. Syarat-syarat ini juga berlaku untuk meraih pengetahuan serta tujuan-tujuan ukhrawi. Seseorang yang ingin mencapai kedudukan ukhrawi dan derajat para wali, namun tidak berusaha dan berjuang dan hanya mengucapkan kalimat insya Allah untuk meraihnya, sebenarnya dia sedang bersandar pada angan-angan serta khayalan yang tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Al-Quran telah memberikan sebuah contoh yang sempurna untuk khayalan serta angan-angan dari lisan Ahlulkitab:

p: 103

Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Katakanlah, "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?(1) Allah Swt telah memberikan banyak nikmat terhadap Bani Israil dan mengasihi mereka. Al-Quran juga telah menyebutkan beberapa anugerah maddi-maknawi (material dan spiritual) kepada mereka. Banyaknya curahan nikmat serta anugerah Allah atas mereka menjadikan mereka lupa diri dan mengira bahwa mereka sangat istimewa di sisi-Nya. Bahkan mereka berani berkata, “Nahnu abnullah wa ahibbauh”, yakni kami adalah anak-anak Allah dan para kekasih-Nya. (2) Mereka beranggapan bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan dan para kekasih-Nya. Tentunya Allah tidak akan mengirim dan memasukkan para kekasih dan anak-anak-Nya ke dalam neraka Jahanam. Apabila ada orang dari kalangan Bani Israil yang melakukan dosa yang sangat besar, maka dia hanya akan berada di neraka dalam beberapa hari saja untuk kemudian diselamatkan. Di sinilah kemudian al-Quran menegaskan, “Tilka amaniyyuhum”, yakni itu hanyalah khayalan dan angan mereka saja.(3) Dengan bukti apa mereka bisa berkata seperti itu dan sejauh apa mereka meyakini bahwa mereka akan meraih kebahagiaan dan selamat dari siksa api neraka?! Apa dalil dan bukti yang kalian miliki sehingga kalian berani berkata seperti itu?! Apabila kalian mempunyai dalil danbukti, tunjukkan dan jelaskan! Allah Swt berkata: Qul hatu burhanakum in kuntum shadiqin! (QS. al-Baqarah [2]:111): Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang

p: 104


1- 36 QS. al-Baqarah [2]:80.
2- 37 QS. al-Maidah [5]:18.
3- 38 QS. al-Baqarah [2]:111.

kosong belaka. Katakanlah, "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” Yang kalian ungkap itu hanyalah khayalan yang tak berdasar. Darimana kalian bisa meyakini bahwa kalian akan masuk ke surga dan selamat dari neraka? Manusia harus memahami apa yang diinginkan dan mengetahui bahwa hal tersebut dapat diraih serta jalan apa yang harus ditempuh untuk menggapainya. Bahwa surga itu ada dan dapat diraih adalah sesuatu yang tak diragukan, namun bagaimana cara meraihnya? Apakah cukup dengan membangun angan-angan dan khayal seperti Bani Israil? Tentu di sana ada syafaat, namun syarat-syarat untuk mendapatkannya juga harus dipenuhi. Allah Swt tidak mempunyai hubungan kekerabatan serta kekeluargaan dengan siapa pun. Siapa pun yang taat kepada Allah, maka dia adalah kekasih-Nya, dan siapa pun yang bermaksiat kepadanya, maka dia adalah musuh-Nya. Benar, adakalanya para kekasih Allah yang taat kepada-Nya tergelincir atau tergoda nafsu hingga berbuat dosa, namun dengan bertobat dan memohon ampunan, mereka akan selamat dari siksa. Syarat mendapatkan syafaat adalah pertama, dia adalah pencinta Allah Swt, Rasul saw dan Ahlulbait as; kedua, patuh dan taat kepada-Nya; ketiga, dosanya adalah dosa yang tidak disengaja dan dia sudah berusaha menjaga hukum-hukum Allah Swt, karena sekadar mengungkap cinta kepada Allah, Rasul dan Ahlulbait as bukanlah syarat yang cukup untuk membuat seseorang meraih surga. Jika begitu adanya, hal itu tak lebih dari sekadar angan-angan dan khayal belaka. Alhasil, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, sungguh tidak berakal apabila seseorang menggantungkan dirinya pada angan-angan serta khayal yang irasional, karena

yang seperti itu adalah perilaku orang-orang bodoh dan dungu yang justru akan menghalangi serta mencegah seseorang untuk mencapai tujuan dunia dan akhiratnya.

p: 105

28-HATI YANG BERSIH

Point

ذَکِّ قَلْبَکَ بِالاَْدَبِ کَما تُذَکِّی النّارُ بِالْحَطَبِ، وَ لا تَکُنْ کَحاطِبِ اللَّیْلِ وَ غِثاءِ السَّیل وَ کُفْرُ النِّعْمَةِ لُؤْمٌ وَ صُحْبَةُ الجاهِلِ شُؤْمٌ.

Nyalakan dan terangi hatimu dengan adab sebagaimana api dinyalakan dan dikobarkan dengan kayu. Janganlah seperti pencari kayu di malam hari dan sampah di atas air bah. Mengufuri nikmat (baca: tidak mensyukuri) adalah sifat orang yang tak kenal budi dan berteman dengan orang jahil akan mendatangkan kesialan

(baca: kemalangan). Beragam kondisi yang menimpa hati manusia seperti kesedihan, kegembiraan, ketenangan, kegalauan dan lain sebagainya adalah hal-hal yang paling berpengaruh pada perilaku serta perbuatan manusia. Sedemikian berpengaruhnya sehingga jalan terbaik dan termanjur untuk membenahi perilaku manusia adalah dengan membenahi hatinya. Oleh sebab itu, tidak hanya ulama akhlak, bahkan para hukama (baca: para filsuf) memberikan dorongan untuk diraihnya kondisi-kondisi tertentu bagi hati dan berpendapat bahwa hal itu merupakan langkah awal untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan ketuhanan (ma’arif ilahiyyah). Dalam kaitan ini, Imam Ali as juga berwasiat dan memberikan nasihat untuk menjaga kebersihan hati agar tercipta kondisi-kondisi khusus

p:100

yang dapat membantu manusia dalam meniti fase-fase evolusi dan kesempurnaan.

Hati dan Berbagai Aktivitasnya

Pada bagian wasiat Ilahi ini, Imam Ali as berkata, "Terangi dan bersihkanlah hatimu dengan adab, sebagaimana api dikobarkan dan dibesarkan nyalanya dengan kayu.” Dalam wasiat ini, hati manusia diumpamakan dengan api, yang bila dibiarkan akan padam dan mati, namun bila diberi kayu bakar, maka ia akan terus menyala dan berkobar. Nyala api berasal dari dirinya, namun ia membutuhkan kayu untuk dapat terus menyala. Demikian pula halnya dengan hati manusia, membutuhkan adab agar dapat bercahaya, terang dan kuat. Api berkobar dengan kayu bakar, sementara hati menjadi terang dan bercahaya dengan adab. Di sini Imam Ali as membidik adab sebagai sesuatu yang dapat menguatkan cahaya hati sehingga hati dapat berfungsi secara maksimal. Adab sendiri mempunyai banyak makna dan arti, dan di sini akan dijelaskan sebagian darinya. Yang dimaksud dengan adab adalah hal-hal yang membuat perilaku manusia menjadi baik, yakni sesuatu yang dipelajari dalam rangka memperbaiki perilaku. Kata ta’dib juga berasal dari kata dasar adab. Apabila engkau ingin hatimu menyala dan bercahaya seperti api yang berkobar, engkau harus memberinya makanan adab serta perilaku yang baik dan bijak, karena jika tidak, dia akan kehilangan cahaya dan padam.

Sumber Makanan Hati

Hati (qalb) dalam istilah al-Quran dan riwayat bukanlah anggota sanubari yang berada di sebelah kiri dada. Yang dimaksud dengan hati adalah sebuah kekuatan yang dapat memahami beragam makna dan sebagai pusat dari rasa dan perasaan. Apabila kita mengkaji penggunaan kata hati (qalb)

di dalam al-Quran, setidaknya akan ditemukan dua sifat

p: 106

khusus padanya: pertama, hati adalah sebuah kekuatan yang dapat melihat serta memahami berbagai hakikat dan makna. Kedua, telah dinisbatkan kepada hati berbagai macam perasaan serta emosi, seperti kasih sayang, kelembutan, kekerasan, keramahan, kekasaran dan lain sebagainya. Persamaan kata qalb dalam bahasa Parsi adalah kata dil yang telah banyak digunakan baik dalam prosa maupun puisi, seperti bila dikatakan: Dilat ro pok kun (bersihkan hatimu) atau dile nuroni dosyteh bosyid (milikilah hati yang bercahaya) atau dil ganjineye makrifat wa khoneye mahabbatast (hati adalah tambang makrifat dan rumah cinta), maka maksudnya adalah apa yang dalam bahasa Arab disebut dengan qalb atau fuad.(1) Dengan memerhatikan penjelasan Imam Ali as, maka hati adalah sebuah kekuatan dalam diri manusia yang berpotensi untuk menyala dan memberikan kehangatan serta cahaya. Akan tetapi, hal itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya, hati memerlukan asupan dan energi. Sebagaimana tubuh, khususnya pada masa kanak-kanak, berpotensi untuk tumbuh dan berkembang, tetapi tubuh tidak bisa tumbuh begitu saja, ia memerlukan makanan untuk berkembang. Demikian halnya dengan hati, ia mempunyai kesiapan untuk memahami berbagai macam hakikat dan mengekspresikan berbagai macam perasaan, namun harus diberi makanan serta asupan yang baik. Hati manusia tak ubahnya dengan lampu minyak yang membutuhkan bahan bakar khusus untuk dapat menerangi. Apabila sebuah lampu listrik memberikan cahaya, hal itu disebabkan ia terhubung dengan pusat energi dan mengambil tenaga darinya. Demikian pula halnya dengan hati manusia yang membutuhkan asupan dan energi untuk dapat berfungsi memahami beragam hakikat serta berekspresi. Oleh sebab itu, maka harus disiapkan sumber energi yang cukup bagi hati sehingga dapat melakukan dua aktivitas penting di

p: 107


1- 39 Untuk keterangan lebih detail, silakan merujuk kitab Akhlaq dar Quran karya Ayatullah Mishbah Yazdi.

atas, karena tanpa sumber energi, dapat dipastikan hati akan mati.

Poin lain yang dapat dipahami dari ucapan penuh cahaya Imam Ali as adalah apabila kita ingin hati bercahaya dan mempunyai kesiapan untuk menerima berbagai macam hakikat dan berekspresi, harus dicari sesuatu yang dapat memberikan energi positif baginya. Tidak setiap hal dapat menjadi sumber energi bagi hati, sebagaimana apabila kita masukkan air atau batu di dalam api, keduanya tidak akan menambah baranya. Apabila hati diberi sesuatu yang dapat memadamkan cahayanya, cahaya itu akan padam dan mati. Sebagai akibatnya, hati tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak setiap yang diberikan kepada hati akan

bermanfaat baginya, juga tidak setiap informasi yang diberikan kepada hati akan menguatkan kepekaan, cahaya dan membantu proses takamul-nya (penyempurnaan). Boleh jadi hati menerima asupan-asupan racun yang dapat merusak, menghancurkan, mematikan atau memperlambat gerak dan aktivitasnya. Oleh sebab itu, harus diberikan asupan-asupan yang baik, benar dan tepat agar hati dapat berkembang, menyempurna dan meningkat kualitasnya. Karenanya harus

segera diketahui dan dikenali asupan-asupan energi yang baik bagi hati, yakni asupan-asupan yang begitu diterima oleh hati dapat membuatnya bercahaya dan menyempurna. Asupan itu adalah sesuatu yang oleh Imam Alias dinamakan dengan “adab”. Adab adalah sesuatu yang mengetahuinya dapat memperbaiki perilaku, pergaulan dan akhlak. Manusia harus mempelajari hal-hal yang apabila diberikan kepada hati dapat memperbaiki perilaku dan membantunya melakukan perbuatan yang baik serta meninggalkan perbuatan yang buruk. Apabila hati secara terus-menerus diberi asupan yang seperti itu, besar kemungkinan hati akan semakin bersinar dan dekat dengan kesempurnaannya. Namun, apabila hati

p: 108

dibiarkan begitu saja dan diberi sembarang asupan tanpa ditelaah baik-buruknya, harapan akan perkembangan serta penyempurnaan hati tak lebih dari sekadar harapan yang hampa dan sia-sia, dan justru sebab-sebab penyimpangan serta kehancuran hati yang akan terkumpul. Oleh sebab itu, kita harus selalu berhati-hati untuk selalu mengajarkan adab kepada hati serta memberikan asupan-asupan yang baik, bermanfaat dan mendidik baginya. Berkaitan dengan perasaan dan emosi, kita juga harus menggiring hati pada perasaan dan emosi yang bernuansa Ilahi serta menjauhkannya dari perasaan dan emosi yang bersifat setani.

Asupan yang Baik Harus Diberikan Secara Dawam Agar Hati Bersinar

Poin lain yang dapat dipahami dari wasiat Imam Ali as adalah bahwa hati sebagai sentral pemahaman dan perasaan harus diberi asupan baik secara dawam dan terus-menerus. Kadang kita berpikir bahwa setelah memahami sesuatu, baik dengan bukti rasional, tekstual, mukasyafah dan lain sebagainya, lalu kita merasa cukup dan menutup diri. Sebagai misal, apabila kita sekali telah memahami bahwa Tuhan ada, beriman kepada- Nya dan mengucapkan syahadat, maka itu akan cukup untuk selamanya, padahal tidak seperti itu keadaannya. Sebagaimana untuk mewujudkan penerangan diperlukan bahan bakar dan energi, dan untuk kelangsungannya juga dibutuhkan keberadaan bahan bakar secara terus menerus, maka hati pun membutuhkan asupan dan energi positif yang dawam dan terus

menerus. Dengan sekali mengetahui dan sekali pembuktian, bukan berarti semua pekerjaan telah selesai. Memerhatikan dan konsentrasi pada satu permasahan hingga beberapa waktu, sedikit banyak akan memberikan pengaruh kepada manusia. Tentu masa pengaruhnya pada kehidupan manusiasangat bergantung pada kekuatan intervensi dan faktor-faktor eksternal baik yang positif maupun negatif. Alhasil,

p: 109

ketika seseorang memahami sebuah kebenaran, pengaruhnya sangat terbatas pada perilaku manusia. Karenanya, hati harus dijaga, dikembangkan dan diberi asupan agar tidak padam dan hilang pengaruhnya. Hanya sekali mendapat ilmu dan sekali beriman, tidaklah cukup untuk seumur hidup. Manusia harus selalu memberikan energi dan asupan pada iman dan akidahnya, selalu mengkaji dan mencari bukti-bukti baru yang menguatkan, juga harus selalu melakukan hal-hal yang dapat menghidupkan iman dan akidah tersebut.

Hikmah Di Balik Pengulangan Perbuatan Ibadah dan Akhlak

Rahasia di balik perintah serta anjuran pengulangan amalan-amalan ibadah dan nonibadah dalam syariat Islam dan seluruh agama samawi adalah agar dengan diulang-ulang dapat hidup keyakinan dalam hati dan menjadi asupan serta energi bagi iman dan ilmu dari waktu ke waktu. Sebagai misal, dalam banyak bagian ibadah salat, terjadi pengulangan sebutan “Allahu Akbar"; ketika hendak melakukan rukuk harus mengucap “Allahu Akbar”, ketika hendak melakukan

sujud harus mengucap “Allahu Akbar”, usai membaca al- Fatihah dan surah harus mengucap “Allahu Akbar”, dan ketika salat usai, disunahkah untuk mengucapkan “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali. Demikian juga dengan bacaan tasbihat al-Zahra', “Allahu Akbar” harus diulang sebanyak tiga puluh empat kali. Semua pengulangan ini adalah karena manusia memerlukan asupan rohani dan imani secara kontinu dan terus menerus. Sebagaimana hanya dengan sekali menarik napas

dan menyampaikan udara ke paru-paru tidaklah cukup dan manusia harus selalu bernapas dan memasukkan oksigen ke dalam tubuh, demikian pula hal dengan roh menuntut asupan yang terus menerus. Sebagaimana jasmani manusia tidak bisa melanjutkan hidup sampai akhir umur hanya dengan sekali makan, demikian pula halnya dengan hati dan rohani

p: 110

manusia, keduanya membutuhkan asupan yang kontinu dan proporsional.

Apabila akidah dan pengetahuan (ma’arif) yang benar tidak selalu disuguhkan dan diingatkan kepada hati, lambat laun akan menjadi kurang warna dan hilang pengaruhnya. Sebagai akibatnya, ketika berhadapan dengan berbagai paradoks serta pemikiran yang menyimpang akan mudah terkalahkan dan akan mengalami keraguan serta kebimbangan atas pemikiran, pengetahuan dan akidahnya. Apabila kita menyaksikan orang-orang yang dulunya meyakini akidah Islam dan syariatnya, namun setelah beberapa waktu menjadi bimbang dan ragu, hal itu disebabkan karena mereka tidak senantiasa mengulang serta memperkuat ilmu, iman dan amalnya. Apabila seseorang mengalami kelalaian dan melakukan dosa, keyakinannya akan melemah dan mulai meragukan segala sesuatu. Sebagai

contoh, apabila seseorang melihat karamah para Imam as dalam menyembuhkan orang sakit, kemudian dia berkata, “Ah, itu hanya kebetulan saja.” Tak diragukan, ucapan seperti itu bermuara pada lemahnya iman dan pengetahuan, yakni sebuah kelemahan yang disebabkan oleh kelalaian pada kebenaran serta pengaruh faktor-faktor antiiman, yaitu maksiat dan dosa.

Nah, apabila kita menghendaki hati kita bersinar dan bercahaya, berkembang serta bertambah dekat pada hakikat dan kebenaran, maka pemberian asupan yang sehat dan baik harus terus dilakukan, yakni diberikan kepada hati pemikiran yang benar serta dijauhkan dari hal-hal yang dapat meracuni serta merusaknya. Dalam hal ini, yang menjadi sumber kehidupan bagi hati, yang membuat hati tetap hidup, berkembang dan bercahaya, adalah adab. Adab akan membangkitkan ma'arif

yang benar juga kondisi-kondisi hati yang bernuansa Ilahi dan kesucian, selain dapat menjaga hati dari berbagai macam penyakit, seperti kelalaian, maksiat, lemahnya pengetahuan,

p: 111

pemikiran yang menyimpang, waham dan keraguan (syubhah). Sebagaimana halnya makanan-makanan yang sehat dan bergizi akan menyehatkan badan, dan makanan-makanan yang beracun akan melemahkan badan bahkan membunuhnya, maka demikian pula hanya dengan hati yang berkembang serta meningkat kualitasnya dengan asupan-asupan yang baik dan pengetahuan yang benar. Jika tidak mendapatkan asupan yang baik, dan hanya diberi asupan syubhah, waham serta pemikiran yang menyimpang, ia akan kehilangan iman dan rusak secara perlahan. Oleh sebab itu, terangilah hati dengan dengan adab dan pelajaran-pelajaran yang dapat melahirkan perilaku baik, sebagaimana api dapat menyala dan berkobar dengan kayu bakar.

Ilmu adalah Pelita Jalan

Apabila dalam ungkapannya Imam Ali as menggunakan contoh kayu bakar atau hal-hal yang serupa dengannya, hal itu disebabkan pada masa itu belum ada lampu listrik seperti sekarang sehingga dapat memberikan contoh dengannya. Fashahah dan balaghah sebuah kalimat menuntut seseorang untuk memberikan contoh dengan hal-hal yang dikenal dan akrab dengan pemahaman masyarakat pada zaman itu. Karena kayu bakar dan api sangat populer kala itu, maka beliau pun memberikan tamsil dengannya. Ada macam-macam cara orang dalam mencari kayu bakar pada masa dahulu. Sebagian orang yang pandai, mereka mencari

kayu bakar dengan memanfaatkan terangnya cahaya matahari, sehingga mereka dapat mencari atau membeli dan memilih kayu-kayu yang baik untuk dijadikan bahan bakar. Namun, ada orang-orang yang kurang cerdik sehingga mencari kayu di kegelapan malam. Sudah tentu, mereka tidak dapat memilih kayu-kayu yang baik di kegelapan. Di sinilah kemudian orang-orang Arab membuat peribahasa bahwa “si polan seperti pencari kayu di malam hari' (ka hathibillail”. Orang-orang

p: 112

yang mencari kayu bakar di kegelapan malam, boleh jadi alih-alih mendapatkan kayu bakar, mereka membawa kayu-kayu yang tidak bisa dijadikan kayu bakar atau bisa saja tertimpa hal-hal yang berbahaya, seperti terpatuk ular atau tersengat kalajengking di kegelapan. Yakni, alih-alih mendapatkan kayu bakar, dia justru mengumpulkan hal-hal yang tidak berguna dan bahkan bisa membahayakan keselamatan jiwanya. Orang Arab menggunakan peribahasa ka hathibillail (seperti pencari kayu di malam hari) untuk menggambarkan seseorang yang berbuat tanpa berpikir sebelumnya, sehingga alih-alih mendapatkan manfaat justru terkena bahaya dan kerugian. Orang yang pandai dan mengerti atas apa yang dikerjakan, pertama-tama menentukan tujuan, lalu mempelajari serta mengkaji jalan-jalan yang akan ditempuh untuk meraih tujuan tersebut kemudian baru bekerja untuk merealisasikannya. Orang yang bijak tidak menundukkan kepala lalu berusaha

tanpa berpikir untuk menggapai sebuah tujuan yang tidak jelas. Atau, seandainya pun tujuan telah diketahui, dia melakukan sesuatu yang tidak dia mengerti apakah akan membawanya kepada tujuan atau justru menjauhkannya dari tujuan. Jelas sekali, tidak setiap aktivitas itu akan memberikan manfaat dan hasil positif bagi manusia. Apabila seseorang berdiam diri tidak melakukan aktivitas, hal itu jauh lebih baik daripada dia berjalan dan bergerak ke arah berlawanan yang

semakin menjauhkannya dari tujuan. Gerak dan usaha itu akan bermanfaat apabila dapat membuat kita semakin dengan tujuan. Oleh sebab itu, yang mula-mula harus diketahui adalah tujuan, lalu cara dan jalan untuk sampai kepada tujuan, baru kemudian kita melangkah untuk sampai kepada tujuan.

Seseorang yang melakukan sesuatu dengan mata tertutup, tidak menyadari apakah yang dilakukan itu bermanfaat atau berbahaya dan tidak serius dalam menentukan apa yang maslahat bagi dirinya, maka dia adalah hathibullail (pencari

p: 113

kayu di kegelapan malam). Manusia tidak boleh berperilaku seperti pencari kayu di malam hari, karena tanpa pengetahuanyang cukup, dia bisa mengumpulkan dan menghasilkan sesuatu yang justru akan mengakibatkan kehancuran diri. Seseorang yang berusaha membuat hatinya terang dan bersinar, maka dia harus mencari sesuatu yang dapat menghidupkan serta meningkatkan kualitas hati dengan pengetahuan. Dia harus bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, sehingga

dia dapat mengambil yang benar dan menjauhkan serta menghindarkan dirinya dari kebatilan. Dia harus berusaha memperkenalkan dan mengharmoniskan hatinya dengan hakikat dan kebenaran, sehingga dia menjadi peka dengan kebatilan apabila datang dan dapat mengidentifikasinya dengan cepat.

Penjelasan di atas telah memahamkan kepada kita bahwa hati memerlukan asupan energi agar dapat bersinar dan bercahaya. Asupan yang dibutuhkan adalah asupan yang sehat dan bermanfaat, yaitu pemikiran dan ajaran yang benar, terjamin, menenteramkan dan mendidik, bukan sembarang pemikiran, konsep dan ajaran. Manusia harus terlebih dahulu memilih dan memilah mana yang hak dan mana pula yang batil, sehingga tidak menghabiskan waktụ sia-sia untuk

menelaah dan mengkaji hal-hal yang rancu, kotor, batil dan berbahaya.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penyimpangan dari Tujuan

Dalam kaitan ini, Imam Ali as menyebutkan dua jenis penyimpangan. Pertama, penyimpangan yang terjadi pada seseorang yang mengetahui tujuan dengan baik, namun tidak mengetahui jalan menuju tujuan tersebut. Orang ini tak ubahnya seperti hathibullail (pencari kayu di malam hari) yang salah dalam memilih jalan. Hathibullail mengerti dengan baik bahwa untuk menghidupkan hati diperlukan “kayu bakar”. Dia

p: 114

memahami tujuan dan sangat jelas baginya, namun dia salah memilih dalam jalan yang mengantarkannya kepada tempat kayu bakar atau dia salah dalam memilih waktu sehingga tidak bisa sampai tujuan.

Penyimpangan ini berkaitan dengan jalan untuk meraih tujuan, bukan tujuannya. Adapun penyimpangan jenis kedua adalah penyimpangan yang lebih berbahaya dari yang pertama, yaitu ketika seseorang tidak mengetahui tujuan atau salah dalam menentukan tujuan hidupnya. Penyimpangan ini tentu lebih buruk, karena tujuan sama sekali belum diketahui. Orang yang tidak mengetahui tujuan, berarti dia telah memasrahkan dirinya pada beragam aliran, dia tidak tahu mau dibawa ke

mana dan tidak mengerti apa yang sedang dicari. Orang seperti ini, oleh Imam Ali as, diumpamakan dengan sampah di atas air bah (ghitsa’ussail). Dia tak ubahnya seperti sampah dan kotoran yang dibawa ke berbagai arah oleh gelombang air bah sehingga dia tak menyadari darimana dia berasal dan di mana akan berakhir. Pada hakikatnya, dia telah menyerahkan dirinya pada gelombang air bah yang menghanyutkan segala hal dan beragam badai peristiwa yang menghancurkan. Dia berjalan mengikuti arah angin dan sama sekali tidak mengerti di mana akan berhenti dan nasib apa yang akan diterima. Manusia yang tidak mempunyai tujuan hidup, berarti tidak berpikir untuk apa dia diciptakan, akan ke mana dia pergi dan apa yang harus dilakukan. Begitu dia melihat sekelompok orang melakukan sesuatu, dia pun bergegas melakukannya, tanpa menyadari untuk apa dia melakukan itu dan apa tujuannya. Orang-orang seperti ini tidak pernah mempunyai tujuan dan memikirkannya.

Berusahalah agar kalian tidak berjalan seperti orang-orang yang tak mempunyai tujuan dan melepaskan diri mengikuti arah angin peristiwa. Akan tetapi, berpikirlah,

tentukan tujuan, jadilah sosok yang merdeka dan berbuatlah

p: 115

secara sungguh-sungguh dengan kesadaran dan pengetahuan. Jangan selalu bersikap reaksioner dan membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk dirimu lalu menarikmu ke sana-sini sesuai kemauannya. Milikilah kemampuan untuk menentukan dan mengambil keputusan sendiri.

Menghargai Kebaikan Orang

Di antara kalimat hikmah pendek yang disampaikan oleh Imam Ali as dalam lanjutan wasiatnya, adalah kalimat berikut ini: mengufuri nikmat (baca: tidak mensyukuri) adalah sifat orang yang tak kenal budi. Secara fitrah manusia berkecenderungan untuk berterima kasih dan memberikan penghargaan serta pujian kepada siapa pun yang memberinya sesuatu. Allah Swt memang telah menciptakan manusia dengan kecenderungan seperti itu. Ketika seseorang diberi sesuatu atau dibantu oleh orang lain, dia akan mengucapkan terima kasih serta memberikan penghargaan kepada si pemberi. Hal itu dia lakukan karena ada tuntutan dari dalam dirinya, yang bila

tidak disampaikan maka dia merasa tidak tenang dan gelisah. Penghargaan dan ucapan terima kasih itu dilakukan dengan tujuan agar kecenderungan batin dan fitrah Ilahinya menjadi tenteram. Akan tetapi, terkadang terjadi penyimpangan serta penyelewengan fitrah pada diri manusia sehingga kecenderungan Ilahi tersebut hilang. Sebagai akibat dari memperturutkan hawa nafsu, terjerat dengan kelezatan-kelezatan sesaat duniawi dan pilihan yang buruk, manusia kehilangan berbagai kemuliaan, keagungan jiwa dan fitrah Ilahinya.

Sedemikian jauhnya penyimpangan dan penyelewengan, sehingga terkadang seseorang tidak lagi peduli dengan kebaikan orang lain. Dia melupakan dan mengabaikan dengan mudah kebaikan orang atas dirinya. Tentu saja, manusia yang tidak dapat menghargai kebaikan orang lain, maka dia juga akan mengabaikan serta melupakan berbagai macam anugerah

p: 116

dan pemberian Allah Swt. Mentalitas tak mengenal budi baik orang ini sangatlah buruk dan dapat menyebabkan manusia kehilangan kemuliaan diri yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Esensi wujud manusia tersimpul pada kemuliaan diri sebagai anugerah Ilahi. Esensi roh serta jiwa manusia cenderung pada berterima kasih, bersyukur dan menghargai budi baik orang lain. Nah, apabila ada manusia yang tidak mempunyai kecenderungan ini, berarti dia telah kehilangan

sebuah anugerah besar yang telah Allah berikan padanya, sehingga kini dia menjadi manusia hina, rendah, licik dan tak kenal budi. Imam Ali as berkata, “Mengufuri nikmat adalah sifat orang yang tak kenal budi.” Ini adalah puncak kehinaan dan kerendahan, di mana seseorang tidak bisa memahami, menghargai kebaikan orang lain, bahkan bersikap acuh tak acuh dan melupakannya. Lebih daripada itu, ada orang-orang yang bukan hanya tidak membalas budi baik dengan kebaikan,

namun membalas kebaikan dengan kejahatan (seperti populer dalam peribahasa Indonesia: Air susu dibalas dengan air tuba-pener).

Takamul Tidak Dapat Diraih dengan kejahilan

Manusia telah diciptakan dengan nikmat kebersamaan, saling membantu, saling menolong, saling menyempurnakan

dan seterusnya. Namun tak sedikit pun diragukan, jalan takamul (baca: evolusi) tidak dapat diambil dari orang-orang yang jahil dan kehilangan rasionalitas dalam berpikir. Duduk dan bergaul dengan orang-orang jahil tidak akan memberikan manfaat apa-apa selain kerugian dan kesengsaraan. Ada beberapa alasan mengapa seseorang kehilangan rasionalitas atau tidak dapat memanfaatkan akalnya. Sebagian sengaja melakukan pilihan yang bodoh dan membodohi dirinya sendiri, sebagian memang sejak lahir mempunyai kekurangan pada akal dan pikirannya. Kadang ada yang kehilangan kewarasan karena penyakit, seperti stres dan depresi. Kadang

p: 117

ada yang akalnya mandul karena tidak pernah digunakan sehingga kekuatan berpikirnya terus melemah dari waktu ke waktu, karena setiap kekuatan dan kemampuan anugerah Ilahi yang tidak digunakan lambat-laun akan melemah dan tidak berfungsi.

umpamanya, seandainya seseorang menutup matanya untuk beberapa waktu, mata itu akan kehilangan ketajamannya. Atau, apabila salah satu anggota tubuh seperti tangan diikat dan tidak digerakkan untuk beberapa waktu, ia juga akan kehilangan kekuatannya. Demikian pula halnya dengan kekuatan akal yang dianugerahkan oleh Allah Swt sejak lahir, apabila tidak kita gunakan dan fungsikan sebagaimana mestinya, ia akan kehilangan kekuatan dan ketajamannya.

Yang dimaksud dengan tidak menggunakan akal adalah gaya hidup seseorang yang tenggelam dalam syahwat serta memperturutkan hawa nafsu. Dalam keadaan seperti itu, manusia tidak lagi bisa mendengar suara hati dan akalnya, dan secara perlahan namun pasti, cahaya hati dan akal akan meredup terus meredup hingga padam sama sekali. Oleh sebab itu, bergaul dengan orang-orang yang akal dan hatinya telah mati, selain tidak bermanfaat, juga akan mendatangkan

bencana serta malapetaka yang dapat merugikan serta membahayakan kehidupan manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ali as, “Dan berteman dengan orang jahil akan mendatangkan kesialan (baca: kemalangan).”[]

p: 118

29-KEDUDUKAN PENGALAMAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Point

وَالْعَقْلُ حِفْظُ التَّجارُبِ، وَ خَیْرُ ما جَرَّبْتَ ما وَعَظَکَ، وَ مِنَ الْکَرَمِ لینُ الشِّیم. بادِرِ الْفُرْصَةَ قَبْلَ أَنْ تَکُونَ غُصَّةً

Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran.

Perilaku ramah dan santun termasuk dalam kemuliaan akhlak. Bergegaslah menggunakan kesempatan sebelum hilang dan berubah menjadi penyesalan.

Bahasan kita adalah seputar nasihat dan wasiat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as. Bagian akhir dari wasiat ini yang merupakan bagian utama dari nasihat beliau adalah pesan-pesan singkat dalam wadah kalimat-kalimat pendek yang mengandung pelajaran kehidupan dunia dan jalan menuju kebahagiaan akhirat. Meskipun sepintas terlihat bahwa nasihat-nasihat singkat tersebut tidak saling berhubungan, namun dengan sedikit perenungan dan berbekal pemahaman akan pandangan ilahi-islami juga sedikit mengenal ajaran Ahlulbait as, maka akan dapat terkuak dan terlihat hubungan antara satu dengan yang lain, sehingga

beragam ilmu dan hikmah dapat ditarik dari samudera luas tak terbatas ini. Pada bagian ini, Imam Ali as menunjukkan sebuah sumber makrifat (yang sangat penting), yaitu belajar dari pengalaman-pengalaman (diri sendiri) dan orang lain.

p: 119

Tanda Keberakalan

Diantara hal yang ditekankan pada bagian wasiat ini adalah mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu. Dengan menimba banyak pengalaman, seseorang akan dapat menimba banyak pelajaran dan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila seseorang mengabaikan dan melupakan pengalaman-pengalaman yang ada, itu adalah puncak kejahilannya. Ketika manusia memasuki kehidupan dunia, menurut al-Quran, dia tidak mempunyai modal ilmu dan pengetahuan. Dan Allah

mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(1) (Yang dimaksud oleh ayat ini adalah pengetahuan yang disadari oleh manusia, karena manusia mempunyai semacam pengetahuan bawah sadar dan fitri tentang Allah Swt dan beberapa hakikat lain sebagai modal tersembunyi yang digunakan pada waktunya). Berdasarkan ayat di atas, ketika dilahirkan manusia tidak memiliki pengetahuan yang disadari. Akan tetapi, manusia secara berangsur mempunyai kemampuan untuk berpikir dan memahami berbagai hakikat. Kemampuan akal manusia akan menguat dari waktu ke waktu, khazanah pengetahuannya akan terus bertambah seiring interaksinya dengan berbagai hal. Ada banyak hal yang dapat membantu manusia memperoleh banyak pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi proses evolusinya. Di samping perkara-perkara eksternal yang merupakan hasil dari pengalaman pribadi atau orang lain, manusia harus menggunakan kekuatan internal berpikir untuk menambah khazanah ilmunya. Di atas segala ilmu, adalah ilmu yang telah diwahyukan dan diilhamkan oleh Allah Swt kepada para nabi dan wali. Ilmu ini mempunyai jalan dan jalur tersendiri. Manusia dapat menambah pengetahuannya dari jalur ini untuk dapat berkembang di jalan kemanusiaan dan kesempurnaan.

p: 120


1- 40 QS. al-Nahl (16]:78.

Oleh sebab itu, dapat disebut sebagai kebodohan apabila manusia tidak menggunakan akal dan tidak menimba berbagai ilmu yang ada, baik itu ilmu yang Allah Swt tebar di luar dirinya, atau ilmu yang Allah wahyukan kepada para nabi as, atau ilmu-ilmu yang merupakan hasil penelitian serta kajian para ulama, atau ilmu-ilmu yang diajarkan oleh para guru kepadanya, atau pengalaman-pengalaman hidup dirinya dan orang lain. Perumpamaan orang ini adalah seperti orang yang mengabaikan serta tidak memanfaatkan harta karun gratis lalu mengemis di sana-sini. Patut disayangkan, kita sedikit banyak telah berperilaku seperti contoh di atas dan tidak bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu. Kita tidak menggunakan kemampuan berpikir sebagaimana mestinya.

Kita menyibukkan diri dengan perkara-perkara duniawi yang tidak bernilai hingga kehilangan kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang lebih penting. Kita juga belum secara maksimal memanfaatkan ilmu-ilmu yang telah dikumpulkan oleh orang lain. Bahkan kita tidak berminat untuk sekadar membuka kitab dan menelaahnya. Kita mau menghabiskan waktu untuk banyak hal yang tidak penting, namun kita tidak mau mengambil kitab dari rak dan membacanya. Dalam kaitan ini, keadaan kita, orang-orang Islam, lebih buruk dan paling merugi di antara umat-umat yang lain, karena kita telah kehilangan lebih banyak modal dan menyia-

nyiakan kekayaan maknawi yang lebih unggul. Kita seharusnya mengambil banyak manfaat dari apa yang terkandung dalam al-Quran dan lautan ilmu tak terbatas Ahlulbait as, namun kita tidak mengetahui nilai ilmu-ilmu tersebut dan sedikit sekali yang kita ambil darinya. Kita semua meyakini bahwa ilmu yang paling tinggi dan sempurna terdapat dalam al- Quran dan kalimat-kalimat Ahlulbait as, namun sayang sekali kita tidak memanfaatkannya. Khazanah ilmu tiada tara dan

harta tak terbatas itu selalu berada di tangan kita, namun kita tidak pandai menggunakannya. Kita tidak meneguk air

p: 121

dari telaga Kautsar ayat dan riwayat sehingga rasa dahaga kita tersegarkan dengan berpikir, menelaah dan mengkaji isi serta kandungannya. Sangat disayangkan, sementara kita memiliki banyak sarana dan prasarana dalam hal ini, seperti para guru (baca: ulama), karya tulis mereka dan berbagai macam pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun orang lain, namun kita tidak memanfaatkan semua secara maksimal. Tentu kita harus segera membenahi kekurangan ini.

Peranan Pengalaman dalam Hidup

Sesuatu yang mudah bagi semua orang dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan adalah pengalaman. Pengalaman pribadi dan berbagai pengalaman orang lain

adalah dua pelita bagi jalan kehidupan yang dapat menerangi jalan menuju masa depan. Pada tingkat pertama adalah pengalaman pribadi yang bisa segera digunakan sebelum yang lain. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, seseorang yang telah menghabiskan usianya melalui beragam peristiwa yang keras dan melelahkan sehingga mendapat banyak pengalaman hidup, namun dia tidak menggunakannya pada saat dibutuhkan atau bahkan melupakannya sama sekali. Apakah perlakuan yang seperti ini terhadap sumber-sumber pengetahuan dapat dinamakan selain dengan kebodohan dan kedunguan!? Padahal, dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa setiap manusia sesuai dengan usia dan keadaannya masing- masing, sedikit banyak mempunyai pengalaman berkaitan

dengan masalah pribadi, keluarga, masyarakat, politik, bahkan cara belajar, bergaul dan perjalanan yang pernah dilakukan, juga masalah-masalah besar-kecil lainnya, dan seharusnya dia dapat belajar dari berbagai pengalaman itu.

Namun, lagi-lagi sangat disayangkan, bahwa sebagian besar kita, kendati mempunyai berbagai macam pengalaman yang sangat berharga, kebanyakan darinya kita lupakan dan tidak digunakan.

p: 122

Mungkin hal ini pernah terjadi pada diri Anda, dalam sebuah masalah yang Anda mempunyai pengalaman di situ, pengalaman itu Anda berikan kepada orang lain, namun Anda sendiri tidak menggunakan pengalaman tersebut dan justru melupakannya. Orang lain mengambil manfaat dari pengalaman Anda, namun Anda sendiri tidak. Orang lain menggunakan sarana dan pengalaman kita hingga mengalami kemajuan yang luar biasa, namun kita sendiri tidak menggunakan dan justru mengalami kemunduran. Adakah nama lain bagi perilaku yang seperti ini selain kebodohan dan kejahilan!?

Nah, agar tidak menyia-nyiakan modal yang kita miliki, kita harus segera menyadari modal yang kita miliki dan memahami pengaruhnya dalam menunjukkan jalan serta kemajuan kita. Kita harus mengetahui bahwa untuk mendapat petunjuk dan menemukan jalan hidup yang benar, kita semua sedikit banyak mempunyai pengalaman yang dapat menjadi pelita yang menerangi jalan hidup ini. Tentu, kita juga tidak boleh lalai untuk menambahkan berbagai pengalaman orang

lain dalam pengalaman pribadi. Dalam surat wasiat ini, Imam Ali as juga pernah berkata yang maksudnya: Aku mengetahui sejarah orang-orang terdahulu, sehingga aku seakan hidup dengan mereka semua. Dengan kata lain, orang yang mengetahui berbagai pengalaman orang-orang terdahulu, maka seakan dia mempunyai usia yang sangat panjang dan hidup bersama mereka. Namun nyatanya, kebanyakan kita tidak hanya tidak mengambil pelajaran dari pengalaman

orang lain, bahkan pengalaman diri sendiri pun terlupakan dan terabaikan. Inilah yang disebut dengan puncak kejahilan dan kedunguan. Orang yang berakal adalah orang yang menjaga dan mengambil pelajaran dari pengalaman pribadinya di samping pengalaman orang lain demi menerangi jalan hidupnya. Sebagaimana yang telah dibahas, orang yang telah mendapatkan anugerah pengetahuan dari Allah Swt, selain

p: 123

mengambil pelajaran dari pengalaman pribadi dan orang lain, dia juga memprioritaskan ilmu-ilmu agama dan ajaran para nabi dan wali yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari pengalaman apa pun. Perlu digarisbawahi, ilmu, pengetahuan, dan nasihat-nasihat para nabi dan wali telah sedemikian rupa dijelaskan sehingga manfaatnya dapat menjangkau semua orang dan dapat dipelajari serta digunakan oleh semua. Al-Quran dan Sunah terbukti berguna bagi semua orang dalam segala urusan. Sebagai misal, ketika di sini ditekankan bahwa manusia harus mengambil pelajaran dari pengalaman pribadi dan orang lain untuk menerangi jalan kehidupan, setiap manusia berakal sehat dapat melakukannya dan mengambil manfaat darinya dalam seluruh fase kehidupan. Hal itu disebabkan adanya kaidah umum (yang terucap lewat lisan Imam Ali as), “Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran.” Bagi mereka yang akrab dengan masalah-masalah filsafat dan epistemologi masa kini, boleh jadi apa yang diungkap oleh Imam Ali as yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan dan pemikiran manusia adalah pengalaman, bernuansa aliran empirisisme, padahal tidak seperti itu adanya. Ketika Imam Ali as berkata, “Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran,” bukan berarti beliau membatasi ilmu dan pengetahuan pada pengalaman serta hal-hal yang bersifat empiris. Beliau hanya ingin menegaskan bahwa konsekuensi keberakalan adalah memanfaatkan serta mengambil pelajaran dari pengalaman. Beliau sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa sumber semua pengetahuan dan pemikiran manusia adalah pengalaman, sehingga ungkapan beliau dapat dianggap sebagai pengukuhan pemikiran empirisisme. Imam Ali as menyatakan, menurut akal dan nalar, manusia

p: 124

harus mengingat dan menjaga pengalamannya agar dapat dijadikan bekal yang bermanfaat dalam perjalanan hidupnya, yakni konsekuensi dan tanda keberakalan menuntut manusia untuk mengingat, menjaga serta mengambil pelajaran dari pengalamannya pada saat dibutuhkan. Tentu yang dimaksud bukanlah mencatat semua pengalaman atau menjadikan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan petunjuk, karena manusia dalam hidupnya tidak cukup hanya

mengandalkan pengalaman saja. Banyak orang yang mencatat dan membukukan semua pengalaman hidupnya. Apabila tidak berlebihan dan tidak menjadikan seseorang melupakan tugas-tugas pentingnya, dan dia mencatat peristiwa-peristiwa yang mendidik dan inspiratif, sehingga bisa menjadi penerang jalan bagi dirinya

dan orang lain, pekerjaan itu adalah sesuatu yang baik dan terpuji. Namun dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa sekadar mengingat, mencatat dan mengabadikan pengalaman hidup, tidaklah cukup bagi manusia. Karena tujuan utama dari mengingat semua pengalaman itu adalah mengambil pelajaran darinya dalam tataran amal, sehingga dapat berpengaruh dalam perilaku serta menumbuhkan motivasi agar kita berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Keadaan yang di dalamnya manusia dapat menggunakan serta memanfaatkan berbagai pengalaman pribadi dan orang lain disebut sebagai mengambil ibrah dan pelajaran dari pengalaman. Apabila berbagai pengalaman yang ada dapat menjadi penasihat serta guru bagi manusia dalam sepak terjangnya, berarti manusia tersebut telah memanfaatkan pengalaman dengan sebaik-baiknya. Walaupun rasio dan nalar menuntut agar manusia mengingat dan mengabadikan

pengalaman-pengalaman hidupnya, sebaik-baik pengalaman adalah pengalaman yang dapat berpengaruh dalam perbuatan

p: 125

dan sepak-terjang manusia. Dengan kata lain, pengalaman itu dapat menjadi penasihat serta petunjuk jalan hidup baginya. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Ali as: “Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran.” Sebaik-baik pengalaman adalah yang dapat menasihatimu dan berpengaruh pada perilakumu, yakni engkau dapat mengambil pelajaran dan mendapat petunjuk darinya.

Ungkapan-ungkapan seperti ibrah dan iktibar seringkali digunakan dalam ayat, riwayat termasuk dalam Nahj al-Balaghah sendiri. Banyak hal yang dapat menjadi ibrah bagi manusia, di antaranya adalah pengalaman-pengalaman pribadi dan orang lain. Dalam kaitan ini, Imam Ali as berkata, “Ambillah ibrah dari pengalamanmu dan ambillah pelajaran darinya.” Boleh jadi yang menjadi alasan dari wasiat ini adalah karena pengalaman pribadi merupakan sebuah pengalaman

yang dialami sendiri secara langsung, maka pengaruhnya lebih kuat dan terasa. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi berada pada prioritas utama dan baru kemudian pengalaman orang lain.

Manis dan Getirnya Pertemanan

Manusia selalu membutuhkan untuk hidup bersama dan bergaul dengan orang lain. Berinteraksi dengan orang lain merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Pergaulan dan interaksi ini dapat menjadi sebab perkembangan serta kemajuan manusia bilamana manusia mampu mewujudkan kesabaran serta (kebesaran jiwa) dalamhidupnya. Dalam bergaul dengan orang lain, manusia harus mempunyai kesabaran serta ketahanan agar dapat mengambil

manfaat serta sisi baik dari kehidupan mereka. Tak diragukan, di sana terdapat perbedaan selera, pemikiran, perilaku dan gaya hidup di antara umat manusia. Sebagian manusia, mungkin akibat adanya perbedaan pandangan dengan kita, melakukan

p: 126

hal-hal yang tidak kita sukai, sebagian yang lain juga tidak kita sukai, bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena kurang pandai bergaul, sehingga ada hak yang diinjak-injak, atau perilaku yang tidak santun, atau sikap kurang hormat, perbuatan aniaya, perlakuan yang kasar dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat, manusia tidak akan imun dan aman dari perlakuan orang lain yang tidak senonoh. Sekalipun, pada umumnya, kita tidak dapat meihat kekurangan dan aib diri, kita hanya pandai mengeluhkan perbuatan tidak senonoh dan tidak terpuji orang lain. Sedikit sekali orang yang menyadari dan membenci perbuatan serta kekurangannya sendiri. Pada umumnya, kita lebih pandai untuk memahami perbuatan buruk orang lain. Sebagai misal, apabila ada orang yang berbuat zalim kepada kita, kita akan menyadari betapa buruk dan tercela perbuatan zalim itu. Akan tetapi, bila sepuluh kali lipat perbuatan zalim itu kita sendiri yang melakukannya, kita sama sekali tidak menyadari bahwa perbuatan itu adalah buruk. Apabila kita diperlakukan secara kasar dan tidak terhormat, kita akan merasakan ketidaknyamanan itu, namun bila hal yang sama kita lakukan terhadap orang lain, seringkali kita tidak menyadari betapa kita telah menyakiti orang tersebut. Perbuatan-perbuatan tak terpuji dan kasar seperti itu terkadang memang kita lakukan dan terjadi pada diri kita, karena kita memang bukan pribadi-

pribadi yang maksum dan suci. Apabila manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya mudah marah dan merasa jengkel hanya dengan sedikit perlakuan tidak menyenangkan orang lain, dapat dipastikan dia tidak akan dapat mengambil manfaat dari pergaulan. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kebaikan sebagaimana juga memiliki kekurangan dan keburukan. Apabila dalam pergaulan seseorang mudah tersinggung dan jengkel atas kekurangan

orang lain, dan hanya dengan sedikit sikap tidak hormat, sikap

p: 127

kasar dan aniaya segera memutus hubungan pertemanan dan meninggalkan pergaulan, dia akan sulit mendapatkan manfaat serta kebaikan dari orang lain. Apabila seseorang dalam hidup bermasyarakat berkeinginan untuk dapat merasakan nikmat keberadaan orang lain yang dianugerahkan Allah kepadanya, dia tidak boleh hanya mengharapkan kebaikan serta manfaat dari orang lain saja. Akan tetapi, dia juga harus bisa dan siap menerima kekurangan serta hal-hal yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi sebuah pergaulan, agar di samping semua itu dia dapat meraih manfaat serta keuntungan dari pergaulan. Kita semua adalah hamba-hamba Allah dan kita harus berusaha agar nikmat-nikmat Allah Swt dapat sampai kepada semua orang. Untuk terlaksananya tujuan mul ia tersebut kita dituntut agar sedikit bersabar. Setiap orang harus merajut serta menjaga sebuah hubungan yang baik agar komunikasi dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tentu saja, dengan perlakuan yang keras dan kasar, kita tidak dapat mengambil manfaat dari orang lain sebagaimana kita juga tidak dapat memberikan

manfaat kepada mereka. Jika seperti itu keadaannya, kita tidak dapat merasakan nikmat di balik kehidupan bermasyarakat yang Allah Swt anugerahkan kepada kita, yakni kita tidak dapat mengambil manfaat dan memberi manfaat kepada orang lain. Kebesaran jiwa menuntut kita untuk dapat menampilkan sikap yang lembut serta penuh pengertian dalam sebuah pergaulan. Kemuliaan seseorang terletak pada sikap lembut dan perilaku yang baik. Setiap insan berakal yang ingin

mendapatkan manfaat dari kehidupan bermasyarakat, maka dia harus pandai menjaga sikap dan perilakunya sehingga orang tertarik untuk menjalin hubungan dan pergaulan dengannya. Sebagaimana dia juga harus menjaga kebaikan sikap, perilaku dan bahasa yang santun agar orang lain siap menerima kebaikan, petunjuk, nasihat, arahan serta manfaat darinya.

p: 128

Menunda-Nunda (Taswif) adalah Pencegah serta Penghambat Keberhasilan

Salah satu hal yang sangat ditekankan dan dianjurkan oleh Ahlulbait as dalam berbagai nasihat dan pesan mereka adalah masalah menghargai serta memanfaatkan kesempatan. Manusia mempunyai serangkaian tujuan dan dia tidak dapat mewujudkan semua itu pada segala situasi serta keadaan, yakni setiap pekerjaan itu ada waktu yang sesuai baginya dan manusia harus memanfaatkan waktu yang sesuai itu untuk merealisasikannya. Pada hakikatnya setiap periode dalam kehidupan manusia telah diperuntukkan bagi pekerjaan dan tujuan tertentu. Pada masa remaja, kondisi jasmani dan rohani manusia mempunyai kesesuaian dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, sebagaimana masa tua dan senja juga mempunyai kesesuaian dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu lainnya. Setiap periode kehidupan memiliki tuntutan serta kebutuhannya sendiri. Ada serangkaian pekerjaan yang dapat dilakukan di masa muda, namun sangat sulit untuk dilakukan di masa tua, sebagaimana ada pekerjaan-pekerjaan yang lebih sesuai dilakukan di masa tua dan tidak sesuai bila dilakukan di masa muda. Hal itu disebabkan setiap periode kehidupan mempunyai tuntutannya masing-masing seiring dengan perkembangan serta perubahan kondisi jasmani dan rohani manusia pada setiap masa. Bahkan, faktor tempat juga dapat berpengaruh dalam hal ini dan setiap tempat mempunyai kesesuaian dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Sebagai missal, ada sekelompok orang yang pergi ke sebuah kota dalam rangka menuntut ilmu, hal itu disebabkan di kota mereka sendiri tidak terdapat fasilitas serta situasi dan

kondisi yang mendukung untuk belajar seperti yang tersedia pada kota tersebut.

Terdapat beberapa faktor dan unsur yang berkolaborasi dan saling menopang dalam mewujudkan sebuah situasi dan

p: 129

kondisi yang sesuai untuk pekerjaan serta aktivitas tertentu. Apabila faktor-faktor tersebut tidak saling menopang dan mendukung, sebuah pekerjaan dan aktivitas akan sangat sulit untuk dilakukan dan berkembang. Kesesuaian beberapa faktor penentu dalam sebuah aktivitas, termasuk di dalamnya kesesuaian dari sisi tempat dan waktu juga kesesuaian kondisi jasmani-rohani, itulah yang disebut dengan “kesempatan”. Oleh sebab itu, seorang manusia harus berpikir, apakah dalam

situasi dan kondisi yang seperti ini, yakni dalam usia, tempat dan waktu yang seperti ini, apakah dia dapat mewujudkan cita-cita dan tujuannya? Dengan kata lain, melihat situasi dan kondisi yang ada, hal terbaik apa yang dapat dilakukan demi meraih sesuatu yang berguna bagi kebahagiaan diri dan orang lain. Menggunakan faktor-faktor serta memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada dalam rangka meraih tujuan-tujuan tertentu dapat disebut sebagai memanfaatkan kesempatan.

Hal ini sangat dianjurkan dalam agama, karena tidak setiap situasi dan kondisi itu sesuai dan mendukung untuk diraihnya sebuah tujuan.

Semua penekanan dalam hal memanfaatkan kesempatan ini dilakukan, karena kebanyakan manusia itu suka lalai dan bersifat pelupa. Kita semua mengetahui bahwa masa muda itu tidak abadi dan akan segera berlalu, namun perilaku kita menunjukkan seakan masa muda itu abadi. Kita seringkali lupa bahwa suatu hari nanti kita akan menjadi tua dan seluruh kekuatan serta energi masa muda akan hilang dan kita tidak lagi sekuat masa muda untuk meraih apa yang kita inginkan.

Sedemikian lalainya kita, sehingga semua peringatan dan nasihat seakan tidak mampu menyadarkan diri kita dan satu persatu kesempatan yang kita miliki berlalu dan lepas dari genggaman. Realitas mengatakan, banyak nikmat dan kesempatan yang telah kita abaikan. Betapa kita sangat tidak menghargai kesempatan dan waktu yang Allah berikan sehingga banyak khazanah nikmat dan anugerah yang tidak

p: 130

kita gunakan dan manfaatkan. Kita baru menyadari semua itu ketika semua kesempatan sudah berlalu. Sebagai misal, bertahun-tahun kita berada di hauzah atau universitas, namun kita tidak pernah memanfaatkan keberadaan guru-guru besar dan berpengalaman untuk menimba ilmu, kita selalu mengulur-ulur waktu, hingga akhirnya kita tersadar ketika semuah sudah terlambat.

Perhatian agama suci Islam berkaitan dengan masalah kesempatan ini begitu tingginya, sehingga banyak sekali riwayat dengan berbagai macam penjelasan berbicara tentangnya, yakni manfaatkanlah kesempatan yang ada; jangan sampai ia terlepas dari genggamanmu, seperti riwayat berikut ini: Alfurshatu tamurru marras sahabi,(1) yakni kesempatan berlalu bagaikan awan. Atau, ketika Rasul saw berkata kepada Abu Dzar:

اِغْتَنِمْ خَمْساً قَبْلَ خَمْس: شَبابَکَ قَبْلَ هِرْمِکَ وَ صِحَّتَکَ قَبْلَ سُقْمِکَ وَ غِناکَ قَبْلَ فَقْرِکَ وَ فِراغَکَ قَبْلَ شُغْلِکَ وَ حَیاتَکَ قَبْلَ مَوْتِک

Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, lapangmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum matimu.(2)

Dalam wasiat ini, Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as juga mengingatkan, “Bergegaslah menggunakan kesempatan sebelum hilang dan berubah menjadi

penyesalan.” Gunakanlah kesempatan semasih adanya untuk

penyempurnaan diri, karena bila tidak digunakan, maka

p: 131


1- 41 Nahj al-Balaghah, hikmah ke-21.
2- 42 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.77, hal.77, hadis ke-3.

ia akan segera berubah menjadi penyesalan dan kesedihan yang tiada arti. Nah, sebelum ia terlepas dari genggaman tanganmu dan berubah menjadi penyesalan dan kesedihan, maka pergunakanlah sebaik-baiknya! Biasanya setan menghembuskan pemikiran yang batil dalam kemasan kalimat-kalimat bernuansa hikmah dengan tujuan menipu serta memperdaya manusia. Karena ilmu setan bukan hanya lebih dari ilmu kita, tetapi apabila kita kumpulkan ilmu ratusan manusia, masih belum cukup untuk menandingi ilmu si tuan Iblis. Setan telah hidup enam ribu tahun sebelum Adam hidup di dunia dan sampai sekarang masih hidup, ia telah menggunakan semua pengalaman diri dan orang lain. Oleh sebab itu, setan lebih berpengetahuan dari kita semua. Dia mengetahui segala cara yang ampuh untuk menyesatkan manusia. Jangan terlalu percaya diri akan kecerdikan kita dan merasa mampu menghadapi tipu daya setan serta tidak termakan tipuannya. Dia adalah “Mahaguru” yang dapat menipu orang dengan kalimat-kalimat penuh hikmah. Sebagai misal, dia dapat mengeluarkan kalimat hikmah seperti ini: "Manusia yang mempunyai pandangan jauh ke depan, tentu tidak akan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu,” padahal dia bertujuan agar kita menunda atau mengundur sebuah pekerjaan baik. Secara perlahan tapi pasti, dia hendak mencuri kesempatan emas yang kita miliki untuk melakukan pekerjaan yang baik. Kita pun jatuh dalam jeratan dan berkata, “Al-'ajalatu min al-syaithani. Terburu-buru itu adalah perbuatan setan, maka usah engkau terburu-buru! Kesempatan masih panjang dan banyak”, dan seterusnya. Contoh lain, mengapa engkau harus tergesa-gesa dalam belajar, tundalah barang satu hari, (agar engkau dapat belajar dalam keadaan fresh)! Atau, ketika dia memperdaya kita berkaitan dengan ibadah dan melakukan amalan-amalan mustahab, dia akan berbisik, “Ini adalah awal bulan Rajab, masih ada waktu 29 hari untuk puasa, tak perlu terburu waktu, berpuasalah pada hari yang berikutnya!”

p: 132

Nah, dengan tipuan-tipuan manis seperti itu dia berusaha mencuri kesempatan baik yang kita miliki. Setan akan melakukan segala cara dengan ungkapan-ungkapan yang menipu untuk menjauhkan kita dari perbuatan baik, seperti “jangan terburu-buru”, “lakukan dengan penuh ketenangan”, “pikirlah masak-masak”, “kamu masih terlalu muda untuk melakukan ibadah-ibadah panjang dan kesempatan masih banyak”, “jangan bebani masa mudamu dengan pelajaran- pelajaran yang berat”, “bersantailah sedikit”, “matangkan dulu cara berpikirmu sehingga kamu dapat melakukan ibadah dengan makrifat yang lebih tinggi”, dan seterusnya. Salah satu cara setan dalam menipu dan memperdaya manusia adalah dengan ungkapan berikut ini: manusia yang berpikiran jauh ke depan, tentu tidak akan terburu-buru dalam melakukan pekerjaannya. Untu mematahkan bisikan sesat dan menyimpang ini, Imam Ali as mengaskan, “Minal hazmi al-'azmu. Orang yang berpandangan jauh

ke depan dituntut untuk dapat cepat mengambil keputusan dan bekerja.” Apabila ada kesempatan untuk menuntut ilmu, beribadah, berkhidmat kepada sesama dan perbuatan baik lainnya, kesempatan tersebut harus segera dimanfaatkan agar tidak berlalu begitu saja. Menuntut ilmu, apabila dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt, itu adalah sebaik-baik ibadah. Apabila sebelum masuknya bulan Rajab, ada kesempatan untuk beribadah di tengah malam, maka kesempatan itu harus dimanfaatkan agar (ketika bulan Rajab tiba) kita dapat beribadah lebih maksimal. Orang yang berpandangan jauh ke depan adalah orang yang tidak mau membuang kesempatan begitu saja. Dia justru cepat dalam mengambil keputusan dan segera melakukan hal-hal yang bermanfaat, karena dia menyadari bahwa kesempatan tidak akan berulang dan datang kembali. Karena kalau kesempatan tidak segera dimanfaatkan, boleh jadi ia akan

p: 133

terlepas dari genggaman, sebagaimana dikatakan: Min sabab al-hirmani al-tawani. Salah satu dari sebab kehilangan adalah menunda-nunda atau berlambat-lambat. Menunda-nunda dan berlambat-lambat tidak dapat disebut sebagai kesabaran atau berpikir matang, namun lebih tepat disebut sebagai sikap meremehkan dan perangkap setan. Karena, perbuatan baik yang bisa dilakukan sekarang, bila ditunda-tunda, belum tentu dapat dilakukan di kemudian hari. Tentu, dalam melakukan perbuatan baik, harus juga diperhatikan skala prioritas, karena pekerjaan dan perbuatan baik itu banyak sekali. Bahkan, di antara pekerjaan-pekerjaan

yang wajib, kita masih harus mendahulukan yang lebih wajib. Pasalnya, adakalanya dalam satu kesempatan terjadi beberapa pilihan pekerjaan yang baik dan wajib. Nah, di situlah kita harus pandai-pandai dalam menentukan mana yang pentingdan mana yang lebih penting, atau mana yang wajib dan mana yang lebih wajib. Ketika Anda sudah menentukan mana yang lebih penting dan lebih wajib, maka Anda tidak boleh lagi menunda-nundanya, karena minal hazmi al-'azmu, orang

yang berpandangan jauh ke depan dituntut untuk dapat cepat mengambil keputusan dan bekerja, dan karena min sabab al-hirmani al-tawani, salah satu dari sebab kehilangan adalah menunda-nunda atau berlambat-lambat.17

p: 134

30-KESEMPATAN-KESEMPATAN EMAS

Point

وَمِنَ الْحَزْمِ الْعَزْمُ، وَ مِنْ سَبَبِ الْحِرْمانِ اَلتَّوانیّ، لَیْسَ کُلُّ طالِب یُصِیبُ وَ لا کُلُّ راکِب یَؤُوبُ وَ مِنَ الْفَسادِ إِضاعَةُ الزّادِ، وَلِکُلِّ اَمْر عاقِبَةٌ، رُبَّ یَسیر اَنْمی مِنْ کَثیر، وَ لا خَیْرَ فِی مُعِین مَهِین، وَ لا تَبیتَنَّ مِنْ أَمْر عَلی عُذْر، مَنْ حَلِمَ سادَ وَ مَنْ تَفَهَّمَ اِزْدادَ، وَ لِقاءُ أَهْلِ الْخَیْرِ عِمارَةُ الْقَلْبِ، ساهِلِ الدَّهْرَ ما ذلَّ لَکَ قَعُودُهُ

Kemauan yang kuat merupakan kecakapan, sedangkan kelambanan adalah penyebab kehilangan. Tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari, dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya. Membuang-buang bekal adalah penyebab kehancuran. Setiap perkara pasti ada akhirnya. Adakalanya yang sedikit itu lebih cepat berkembang daripada yang banyak. Tidak ada kebaikan pada pendamping yang tidak berguna. Janganlah engkau lalui malam dengan tanggung jawab (baca: tugas) yang belum terselesaikan. Barangsiapa bersabar, dia akan menjadi mulia, dan barangsiapa yang mencari pengetahuan,

ilmunya akan bertambah. Berjumpa dengan orang-orang baik dapat menghidupkan hati. Naikilah kendaraan zaman selama ia bersikap jinak terhadapmu.

Terkadang seseorang dengan menganggap bahwa di kemudian hari masih banyak waktu dan masih ada

p: 135

kesempatan yang lebih baik untuk melakukan suatu pekerjaan, mengabaikan kesempatan yang ada di tangan dan menundanya. Sebagai akibatnya, boleh jadi dia akan kehilangan anugerah serta nikmat yang telah Allah Swt peruntukkan atasnya. Setan selalu membisikkan bahwa masih banyak waktu, di masa datang fasilitas akan semakin memadai, di masa datang pekerjaan dapat dilakukan lebih baik lagi dan seterusnya. Nah, agar manusia tidak terjatuh dalam jerat-jerat setan tersebut, Imam Ali as mengingatkan bahwa sikap berhati-hati tidak selalu berarti bahwa kita harus menunda pekerjaan. Boleh jadi, kehatian-hatian justru menuntut kita untuk segera mengerjakan pekerjaan tersebut, karena di masa datang tidak ada jaminan kita dapat melakukannya. Minal hazmi al-'azmu, yakni orang yang berpandangan jauh ke depan dituntut untuk dapat cepat mengambil keputusan dan bekerja. Sikap berhati-hati tidak selalu berarti menunda atau mengundur suatu pekerjaan, bahkan bisa berarti segera melaksanakannya. Sikap menunda tidak selalu menguntungkan dan mendatangkan manfaat. Kita hanya boleh menunda suatu pekerjaan apabila kita benar-benar yakin bahwa dengan menundanya, pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan lebih baik dan lebih sempurna.

Tidak Setiap Pencari Dapat Menemukan Apa yang Dicarinya

Kita telah memaknai sebagian kalimat dalam wasiat Imam Ali as, kendati makna yang lebih luas masih bisa diberikan atasnya. Pada bagian berikutnya, beliau berkata, “Laisa kullu thâlibin yushîbu wa lâ kullu râkibin yaûbu. (1) Terjemahan sederhana dari ungkapan Imam Ali as di atas adalah tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya, karena boleh jadi mereka

p: 136


1- 43 Dalam naskah lain tertulis: Wa la kullu ghaibin ya'udu.

yang pergi, tidak akan pernah kembali. Akan tetapi, ungkapan tersebut menyimpan makna yang tersembunyi, dan untuk memahami makna yang tersebunyi itu, terlebih dahulu perlu diketahui beberapa poin berikut. Pertama, dalam rangka apa ungkapan tersebut diucapkan. Jelas sekali, orang yang pergi, adakalanya kembali dan adakalanya tidak kembali. Sebagaimana halnya orang yang mengejar sebuah tujuan, adakalanya dia dapat meraihnya dan adakalanya dia tidak dapat meraihnya. Dengan begitu, apa tujuan dan maksud di balik ungkapan itu? Apa yang hendak disampaikan oleh Imam Ali as kepada lawan bicaranya dan hikmah apa yang hendak beliau ajarkan?

Sebagian penafsir dan pensyarah (Nahj al-Balaghah) memberikan ulasan seperti ini. Sebagian orang yang belum berpengalaman dan baru memulai sebuah pekerjaan beranggapan bahwa pekerjaan apa pun yang dirintis dan dilakukan pasti akan membuahkan hasil sesuai yang diinginkan. Ketika akhirnya dihadapkan pada kegagalan, mereka cenderung patah semangat dan berputus asa. Kondisi itu biasanya akan membuat seseorang tidak lagi berani melangkah dan memulai

pekerjaan baru. Dia akan berkata pada dirinya, “Kemarin, saya telah berusaha dan bekerja namun tidak berhasil, berarti apa pun yang saya lakukan pasti akan menemui kegagalan seperti yang lalu. Nasib saya telanjur tidak baik dan apa pun yang saya lakukan pasti tidak akan membuahkan hasil.” Nah, dalam rangka menghindarkan seseorang dari keputusasaan akibat kegagalan, beliau menegaskan, “Tidak setiap orang yang berusaha mencari atau mewujudkan sesuatu itu pasti memperoleh keberhasilan”, sehingga apabila dia tidak berhasil bisa dikatakan gagal dan tidak mampu. Sifat dan tabiat pekerjaan di dunia memang seperti itu adanya, yakni terkadang orang yang berusaha itu mendapatkan hasil dan adakalanya tidak berhasil. Berhasil atau tidak berhasil

p: 137

itu lumrah adanya. Manusia tidak boleh hanya terpaku memandang hasil kerja, sehingga bila mengalami kegagalan akan berputus asa. Manusia harus terus berusaha dan optimis, dengan kesadaran bahwa kegagalan itu mungkin saja terjadi. Terlalu menjanjikan keberhasilan pada diri akan mengakibatkan keputusasaan bila akhirnya mengalami kegagalan. Seperti halnya apabila seseorang memilih sebuah jalan dan dia merasa sangat yakin bahwa jalan yang dipilihnya itu lurus, bagus dan mulus, bila akhirnya ternyata terdapatnaik-turun, belokan atau lubang, maka besar kemungkinan dia akan terjatuh dan mematahkan kakinya. Itu disebabkan karena dia tidak mempersiapkan diri untuk jalan yang tidak mulus. Berbeda halnya apabila dia memberikan kemungkinan bahwa mungkin di hadapan ada belokan tajam, lubang atau jalan yang naik-turun, tentu dia akan dapat mengatasi serta mengendalikan dirinya. Dengan kata lain, dia telah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Seperti itulah gambaran kehidupan manusia. Apabila seseorang berpikiran bahwa dia pasti berhasil, bila akhirnya menemui kegagalan dia akan berputus asa dan hilang semangat. Kebanyakan orang yang terjerat dalam nihilisme dan pemikiran menyimpang adalah akibat dari optimisme berlebihan yang hanya mengharapkan keberhasilan tanpa mempersiapkan diri unruk sebuah kegagalan. Karena mereka terlalu melenakan diri dalam beragam fantasi keberhasilan yang gagal dicapai, mereka jatuh dalam kegalauan jiwa, keputusasaan dan depresi. Akan tetapi, ketika sejak awal seseorang menyadari bahwa ada kemungkinan kegagalan dan

bahwa tidak setiap usaha itu pasti akan membuahkan hasil yang diinginkan, maka dia tidak akan pernah putus asa dan patah semangat bila mengalami sebuah kegagalan. Karena dia telah mengerti bahwa terkumpulnya beberapa faktor tidak serta merta dan selalu mendatangkan hasil. Apabila mentalitas

p: 138

seperti itu kita miliki, kita pun tidak akan mudah kehilangan semangat dan jatuh dalam keputusasaan. (Dalam benaknya selalu teringat apa yang diucapkan oleh Imam Ali as), “Tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari, dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya.”

Bagaimana Cara Memanfaatkan kesempatan?

Apa yang telah dibahas di atas adalah salah satu kemungkinan makna yang dapat diambil dari kalimat Imam Ali as. Namun dengan memerhatikan beberapa ulasan

sebelumnya, masih terbuka kemungkinan adanya makna lain dari ungkapan beliau. Ketika beliau berkata, “Adakalanya mengundur sebuah pekerjaan dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk meraih tujuannya.” Maksudnya, bersegeralah untuk melakukan pekerjaan pada kesempatan pertama, karena kesempatan kedua belum tentu tersedia. Mengapa? Karena tidak setiap pencari itu dapat menemukan apa yang dicarinya, atau tidak setiap orang yang mengejar sebuah

cita-cita, pasti dapat mewujudkannya. Maksud dari kalimat beliau yang berbunyi, “Manfaatkanlah kesempatan yang ada”, adalah agar kita dapat menghargai serta memanfatkan kesempatan di awal waktu dan tidak terhambat oleh bisikan setan atau terkena penyakit malas, karena bila diundur, tidak ada jaminan bagi kita untuk dapat melaksanankannya pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Sebagai misal, seorang pekerja yang berkata kepada dirinya, “Tidak masalah bila aku

tidak bekerja hari ini. Aku akan menggunakan uang tabungan dari hasil kerja kemarin dan besok aku kembali bekerja lagi”; atau ketika seorang pelajar berkata, “Tidak apa-apa bila aku tidak belajar hari ini, karena waktu belajar akan kuganti pada hari berikutnya.” Baik pekerja maupun pelajar di atas tidak menyadari bahwa besok belum tentu ada kesempatan bagi mereka untuk bekerja ataupun belajar, karena mungkin saja terjadi urusan-urusan lain yang membuat mereka tidak bisa bekerja ataupun belajar. Imam Ali as hendak menasihati bahwa apabila seseorang menunda pekerjaan dan bermalas-

p: 139

malasan lalu berdalih, “Tidak mengapa tidak kukerjakan hari ini, karena besok masih ada waktu, dan bila besok tidak, maka masih ada hari berikutnya”, maka hal ini tidak benar dan sangat keliru. Karena besok atau lusa belum tentu ada kesempatan seperti hari ini. Kesempatan tidak sepenuhnya berada di bawah kendali manusia. Oleh karenanya, manusia harus sangat menghargai kesempatan dan pandai-pandai dalam memanfaatkannya. Pergunakanlah kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah menunda suatu pekerjaan yang bisa dilakukan hari ini untuk dikerjakan pada hari berikutnya! Dalam rangka menyemangati kita untuk giat beraktivitas sekaligus memerangi sifat malas serta kelambanan, Imam Ali as mengajarkan, “Apabila setan berbisik kepadamu untuk

menunda sebuah pekerjaan pada hari esok, maka katakan kepadanya: Jika tidak kukerjakan hari ini, boleh jadi esok hari aku tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya, karena kesempatan yang kini tersedia, belum pasti tetap tersedia pada esok hari. Apabila kukerjakan hari ini, setidaknya aku sudah

mengerjakan sebagian tugas dan tanggung jawabku. Namun bila kutunda esok dan akhirnya ada halangan, tugasku akan semakin bertumpuk.” Dari nasihat beliau kita bisa mengambil pelajaran, manusia harus bersikap realistis, memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya dan menghindarkan diri dari sifat malas dan lamban. Namun pada saat yang sama manusia juga tidak dibenarkan untuk terlalu menggantungkan diri pada hasil serta kesuksesan pekerjaan-pekerjaan duniawi, agar bila suatu hari dihadapkan pada sebuah kegagalan, dia tidak jatuh dalam kekecewaan serta keputusasaan.

Musafir Tanpa Bekal Takwa di Dunia Tidak akan Pernah Sampai di Tujuan

Sang Amirul Kalam dalam lanjutan nasihatnya berkata, “Minal fasadi idha’atuzzad., Membuang-buang bekal adalah

p:100.

penyebab kehancuran.” Apabila seseorang membuang-buang serta menghamburkan bekal perjalanannya dengan dalih dapat memperolehnya kembali, perbuatannya sama dengan menjatuhkan diri sendiri ke dalam sumur. Membuang-buang bekal perjalanan sama hanya dengan memosisikan diri dalam bahaya. Mengingat bahwa dalam al-Quran serta riwayat-riwayat yang sampai dari para insan suci, bahwa bekal perjalanan orang-orang beriman adalah ketakwaan, Imam Ali as hendak mengatakan bahwa jangan pernah meninggalkan takwa dalam kehidupan dunia. Manusia yang kehilangan ketakwaan tak ubahnya seperti pengembara dan musafir yang kehilangan bekal, dan dapat dipastikan bahwa hilangnya bekal akan berakibat pada kematian serta kebinasaan.

Beliau juga berkata, “Rubba yasîrin anma min katsîr. Adakalanya sesuatu yang sedikit berkembang lebih pesat daripada yang banyak.” Terkadang alasan penundaan sebuah pekerjaan serta tidak dipakainya kesempatan yang ada adalah anggapan bahwa bila dikerjakan sekarang maka hasilnya kurang maksimal. Seseorang kemudian menanti sebuah kesempatan di kemudian hari yang diawali dengan berbagai persiapan matang dengan harapan dicapainya hasil yang lebih banyak. Pemikiran yang seperti itu membuat seseorang mengabaikan hasil yang sedikit pada saat ini, demi hasil yang lebih banyak di masa mendatang. Dia beranggapan bahwa sebuah pekerjaan bila dilakukan dengan persiapan-persiapan yang panjang pasti akan memberikan hasil yang lebih banyak dan lebih maksimal, namun dia tidak menyadari bahwa pemikiran itu tidak bersifat menyeluruh dan universal. Tentu, apabila hitung-hitungan pasti mengatakan bahwa bila sebuah pekerjaan ditunda akan memberikan hasil yang lebih baik dan bila dilakukan sekarang akan menghambat serta menghalangi hasil yang lebih baik itu, maka boleh saja seseorang menundanya, (akan tetapi bila sama-sama tidak pasti, maka tidak benar bila pekerjaan hari ini ditunda dan diundur).

p: 140

Sebagai misal, apabila Anda mempunyai modal yang bila digunakan hari pada pekerjaan tertentu akan memberikan keuntungan sepuluh persen, namun bila Anda bersabar satu dua hari modal tersebut bisa digunakan dalam sebuah transaksi yang memberikan keuntungan dua puluh persen, tentu dalam hal ini sebaiknya Anda bersabar dan menunggu beberapa waktu untuk laba yang lebih baik. Dengan demikian, apabila investasi hari ini menyebabkan kita tidak bisa berinvestasi di kemudian hari dengan kepastian keuntungan yang lebih banyak, maka langkah yang rasional adalah menunda investasi hari ini untuk berinvestasi di kemudian hari dengan keuntungan yang lebih besar. Dalam hal ini seorang yang berakal akan berkata kepada dirinya, “Mengapa modal ini saya investasikan untuk sebuah

pekerjaan dengan sepuluh persen keuntungan? Bukankah lebih baik aku tunda besok untuk sebuah pekerjaan dengan keuntungan dua puluh persen.” Ketika di antara dua investasi di atas hanya satu yang bisa dipilih, tentu yang seharusnya dipilih adalah yang prosentase keuntungannya lebih besar. Namun bila keduanya bisa dilakukan bersama-sama, maka seharusnya kedua investasi itu dijalankan. Yakni, bila investasi pertama dengan keuntungan sepuluh persen tidak mengganggu investasi kedua dengan keuntungan dua puluh persen, sebaiknya dua kesempatan itu diambil sehingga ia dapat meraih dua keuntungan sekaligus.

Contoh lain, seandainya hari ini adalah tanggal 12 Rajab, seseorang berkata kepada dirinya, “Baiklah, saya tidak puasa hari ini, tapi saya akan puasa pada tanggal 13 Rajab karena termasuk dalam Ayyamul Bidh(1) dan pahala puasa di Ayyamul Bidh lebih besar dibandingkan hari-hari biasa.” Di sini juga harus dilihat, apakah dia hanya bisa puasa satu hari atau dua hari, nah apabila dia tidak berhalangan untuk berpuasa selama dua hari, maka

p: 141


1- 44 Hari-hari putih yang jatuh pada setiap tanggal 13,14, dan 15 Kamariah-penerj.

sebaiknya dia berpuasa dua hari, karena sungguh tidak masuk akal seseorang berdiam diri dan melepas sebuah amalan kecil dengan pahala yang sedikit demi melakukan sebuah amalan dengan pahala yang lebih besar, kecuali memang dia hanya berkesempatan untuk berpuasa satu hari di antara dua hari tersebut. Rumusan ini berlaku dan bisa diterapkan pada segala urusan dan aktivitas baik duniawi maupun ukhrawi. Dengan demikian, adakalanya manusia harus berpuas diri dengan keuntungan yang sedikit, karena terkadang sesuatu yang sedikit itu lebih cepat perkembangannya daripada sesuatu yang banyak, dan sedikit keuntungan yang pasti jauh lebih baik daripada keuntungan banyak yang tidak pasti. Sebagian pensyarah Nahj al-Balaghah memberikan makna lain terhadap ungkapan rubba yasîrin anma min katsîr dan berkata, “Sedikit yang halal jauh lebih baik daripada banyak yang haram,” yakni keuntungan halal yang sedikit jauh lebih baik daripada keuntungan banyak yang dihasilkan dari jalan yang haram. Karenanya, tidak benar apabila seseorang mengabaikan sedikit keuntungan halal hari ini demi keuntungan haram yang banyak pada hari mendatang. Akan tetapi, penafsiran ini terasa kurang tepat, karena lebih menekankan pada perbedaan antara yang halal dan yang haram, bukan antara yang sedikit dan yang banyak.

Permintaan Maaf adalah Sesuatu yang Harus Segera Dilakukan

Di antara nasihat penting yang sangat ditekankan dalam kalimat-kalimat singkat ini adalah: “Berusahalah untuk segera meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dibuat dan jangan pernah menunda atau mengulur- ulurnya.” Banyak orang yang terkena penyakit ini, yakni dia tidak sudi untuk meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya atau menunda-nundanya. Apabila kita telah melakukan sebuah kesalahan dan bisa

p: 142

segera meminta maaf serta bertanggung jawab kepada orang yang haknya kita abaikan atau mendapat perlakuan yang tidak sopan dari kita, hendaknya segera kita lakukan. Sebagai contoh, apabila karena kelalalian, kita melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, maka apabila kita mampu mengganti kerugian tersebut, kita harus segera melakukannya dan tidak boleh ditunda. Imam Ali as telah menegaskan, “Dan janganlah engkau lalui malam dengan beban tanggung jawab yang belum terselesaikan.” Yakni, jangan tidur di malam hari sebelum engkau menyelesaikan tugas dan tanggung jawabmu! Apabila engkau berutang "minta maaf” kepada seseorang, lakukanlah dan setelah itu pergilah tidur! Apabila engkau berusaha menebus kelalaianmu dan meraih kembali semua keuntungan yang terlewatkan, janganlah engkau tunda sampai besok, tetapi bersegeralah untuk menebusnya! Karena bila ditunda sampai besok, Anda belum tentu sempat.

Semakin lama kita menanggung perbuatan buruk, hati kita akan semakin kotor. Bila hati semakin kotor, proses pembersihannya akan semakin sulit. Sebagai misal, apabila keluar sebuah ucapan tak senonoh dari mulut kita dan kita segera meminta maaf, ucapan itu tidak akan terlalu menyakiti hati orang yang bersangkutan. Namun apabila kita biarkan tanpa permintaan maaf hingga berhari-hari dan baru meminta maaf beberapa hari kemudian, dalam beberapa hari tersebut, si korban akan semakin sakit hati setiap kali mengingatnya dan sakit hatinya akan terus bertambah dariwaktu ke waktu. Kita sebenarnya bisa mencoba dan merasakan

keadaan yang seperti ini ketika ada seseorang melontarkan ungkapan yang tidak pantas terhadap diri kita, lalu dia tidak segera meminta maaf, maka seakan-akan ungkapan tersebut berulang secara terus menerus dan dari waktu ke waktu hati kita semakin sakit. Namun apabila dia segera mengucapkan kata maaf, akan lebih mudah buat kita untuk memaafkan nya.

p: 143

Oleh sebab itu, jangan pernah menunda permintaan maaf. Kita harus segera meminta maaf atas segala kekhilafan, kesilapan dan kesalahan yang kita perbuat.

Masalah ini (yakni bersegera dalam meminta maaf) akan menjadi lebih penting dan urgen bila dikaitkan dengan dosa-dosa serta kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dalam perjalanan penghambaan kepada Allah Swt. Pada kesempatan lain, Imam Ali as juga telah menyinggung hal ini. Beliau berkata, “Bersegerah memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan dan jangan menunda pertobatan!" Berdasarkan keterangan Imam Ali as, masalah ini selain berguna dalam urusan dunia juga berguna untuk urusan akhirat. Ketika beliau mengatakan, “Janganlah kalian menunda permintaan maaf,” maksudnya, “Janganlah kalian menunda untuk meminta maaf kepada sesama hamba Allah dalam urusan dunia sebagaimana janganlah pula kalian menunda untuk bertobat kepada Allah atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat.” Baik kesalahan terhadap sesama manusia maupun kesalahan terhadap Allah Swt, keduanya menuntut kita untuk segera meminta maaf dan memohon ampunan sesegera mungkin. Oleh sebab itu, apabila ada kesalahan yang kita perbuat, kita harus segera meminta maaf dan mengganti atau membayar kesalahan tersebut. Jangan biarkan waktu terus berlalu tanpa permohonan maaf, karena itu akan semakin mengotori hati dan memberatkan

azab ukhrawi.

Keseimbangan dalam Menikmati Fasilitas yang Ada

Dalam lanjutan nasihatnya, Imam Ali as memberikan sebuah perumpamaan yang sangat indah, beliau berkata, “Sâhil al-dahra mâ. dzalla laka qu'ûduh, yakni selama kendaraan dunia bersikap jinak, maka tunggangilah!” Dalam kalimat samawi yang indah ini, beliau mengumpamakan dunia

p: 144

seperti binatang unta yang manusia dapat menungganginya dalam langkah-langkah yang tidak terlalu cepat namun dapat sampai pada tujuan, meski mungkin saja terjadi, onta itu menjadi liar dan tidak lagi bisa dikendalikan. Oleh sebab itu, selama onta masih jinak dan bisa dikendalikan, kita bisa menunggangi dan memanfaatkannya. Apabila hal ini hendak dikaitkan dengan kendaraan-kendaraan besi pada masa kini, bisa dikatakan: boleh jadi mobil, pesawat atau kereta

api yang kita naiki mengalami kerusakan atau kecelakaan hingga tidak lagi dapat mengantar kita pada tujuan. Nah, selama semua fasilitas itu masih bisa digunakan, maka pergunakanlah sebaik-baiknya. Dunia adalah ibarat onta, yang bisa ditunggangi selama masih bersikap jinak, namun adakalanya ia menjadi liar dan tak mungkin lagi ditunggangi. Maka selama ia jinak, manfaatkanlah sebaik mungkin dan jangan lakukan hal-hal yang membuatnya menjadi liar dan tak terkendali hingga menghempaskanmu ke tanah. Perlakukan ia dengan baik dan benar hingga engkau dapat mengambil manfaat yang sebanyak-banyaknya.

Keterangan ini pada kesan pertamanya adalah nasihat yang sederhana. Namun bila direnungkan lebih jauh, sesungguhnya mengandung poin-poin yang sangat penting. Apa yang telah beliau nasihatkan, sebenarnya sering kita temui dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai misal, tubuh kita tak ubahnya seperti kendaraan yang selalu kita tunggangi, walau kita jarang menyadari bahwa kemampuan tubuh kita itu terbatas. Kita seringkali mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan tubuh kita, seperti makanannya, waktu istirahatnya, kesehatannya dan lain-lain. Kita perlu menyadari bahwa kemampuan tubuh kita sangat terbatas. Dengan menyadari keterbatasannya, kita akanlebih menghargai kesempatan serta fasilitas sosio-ekonomi yang tersedia dan memanfaatkannya secara maksimal dan

proporsional, karena kemampuan serta kesempatan itu tidak

p: 145

selalu ada. Oleh sebab itu, semaksimal mungkin gunakan kesempatan serta fasilitas yang ada di jalan Allah Swt dalam rangka berkhidmat kepada sesama dengan menjauihi sikap ifrath dan tafrith (baca: berlebihan).

Sebagai misal, kelas, guru, sekolah, teman dan tetangga yang baik adalah nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Kita seharusnya mampu menghargai serta menggunakan semua nikmat itu secara ideal dan sebaik-baiknya. Karena akan datang suatu masa yang mungkin kita tidak bisa lagi menggunakan semua anugerah tersebut. Apalagi nikmat serta anugerah yang tidak dimanfaatkan bisa berubah menjadi sesuatu yang mendatangkan bahaya serta kerugian. Seperti halnya onta, ketika ia berubah menjadi liar, maka ia bukan hanya tidak akan mengantar kita pada tujuan, namun ia juga bisa mnghempaskan kita ke tanah dan membahayakan jiwa kita. Nah, sebelum beragam anugerah dan nikmat itu berubah menjadi sesuatu yang membahayakan, maka manfaatkan serta pergunakanlah secara proporsional dan sebaik-baiknya.(]

p: 146

p: 147

31- AKAR SIFAT "SELALU MENCARI KEMENANGAN DAN KEUNGGULAN (INGIN SELALU DI ATAS)”

Point

وَ إِیّاکَ أَنْ تُطیحَ بِکَ مَطِیَّةُ اللَّجاجِ وَ إِنْ قارَفْتَ سَیّئَةً فَعَجِّلْ مَحْوَها بِالتَّوبَةِ.

Jangan sampai dirimu dikuasai oleh tunggangan yang liar (tunggangan yang dapat membahayakan keselamatan jiwamu)! Dan, apabila dirimu terkotori oleh keburukan (baca: dosa), bersegeralah untuk membersihkannya dengan tobat! Kita telah menjelaskan serta memaknai beberapa bagian dari nasihat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba. Pada bagian nasihat berikut ini, beliau mengajak kita untuk bersikap waspada pada bahaya dari sifat liar tunggangan

serta masalah menunda-nunda pertobatan, sebuah bahaya yang sering tidak disadari dan terabaikan. Sifat bersikeras pada sebuah keinginan serta ketidakpatuhan seringkali kita jumpai pada anak-anak, bagaimana mereka tidak pernah mau mundur dan menyerah untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan apabila dikatakan kepada mereka “jangan dilakukan”, mereka justru akan semakin termotivasi untuk melakukan apa yang dilarang. Namun perlu diwaspadai, apabila sifat ini akhirnya

menjadi karakter serta merasuk ke dalam jiwa, ia akan terbawa pada semua fase kehidupan, mulai masa belia, remaja, masa

p: 148

tua bahkan hingga saat tutup usia. Betapa banyak orang yang terkena penyakit ini, namun ia sendiri tidak menyadarinya.

Keseimbangan dalam Memenuhi Beragam Keinginan

Yang hendak kita telaah serta kaji di sini adalah apa yang menjadi sebab hingga seseorang terjangkiti sifat ini? Mengapa ketika seorang manusia melakukan sebuah kesalahan, dia bersikeras untuk terus melakukannya, dan mengapa dia tidak berusaha menghindari dan meninggalkannya? Mengapa mengakui kesalahan begitu berat dan sulit bagi manusia? Mereka yang mempunyai anak atau sering bergaul dengan anak-anak tentu mengetahui bahwa meminta maaf dan

mengakui kesalahan bukanlah hal yang sulit bagi anak-anak. Hal ini berbeda dengan orang-orang dewasa yang cenderung susah untuk meminta maaf serta mengakui kesalahan, mereka justru bersikeras untuk terus melakukan kesalahan dan enggan membenahinya. Mereka tidak mau berkata, “Ya, kami telah melakukan kesalahan", namun mereka akan berkata, “Apa yang telah kami lakukan adalah benar.” Akar sifat dan sikap ini adalah gharizah dzatiyyah “cinta diri” yang ada pada setiap manusia. Gharizah (baca: kecenderungan) ini seperti halnya gharizah-gharizah lainnya, ada yang berlebihan (ifrath), ada yang kurang (tafrith) dan ada yang seimbang (mu'tadil). Mencintai diri pada dasarnya bukan saja tidak buruk tetapi juga baik dan sangat diperlukan.

Dapat dipastikan, orang yang tidak mencintai dirinya, maka dia tidak akan berusaha menyempurnakan diri, bahkan dia juga tidak akan berusaha menjaga keselamatan jiwanya. Oleh sebab itu, mencintai diri serta keinginan untuk melanjutkan kehidupan adalah sebuah kecenderungan yang pada hakikatnya tidaklah buruk, tetapi merupakan sebuah faktor yang Allah anugerahkan pada setiap makhluk hidup agar mereka berjuang untuk mempertahankan kehidupan serta

p: 149

berusaha meraih kesempurnaan-kesempurnaan wujudnya. Apabila faktor ini tidak ada, tidak ada makhluk hidup yang mau berusaha memperoleh kesempurnaan pada kehidupan materi maupun maknawinya.

Benar bahwa keberadaan kecenderungan ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan, namun yang penting di sini adalah neraca serta batas pemenuhannya yang harus seimbang dan tidak boleh dipenuhi secara berlebihan atau kurang sehingga menimbulkan penyimpangan, dan agar manusia mampu menggiring dirinya menuju kesempurnaan melalui gharizah ini. Setelah memahami neraca serta batas pemenuhannya, hal penting lainnya adalah memahami kesempurnaan serta apa yang dianggap sebagai kesempurnaan oleh manusia. Tak pelak lagi, manusia mencintai dirinya dan berkeinginan untuk menjadi lebih sempurna. Keinginan untuk menjadi lebih sempurna adalah perkara baik dan faktor positif dalam kehidupan, tetapi ia harus lebih jauh mengkaji apa itu sebenarnya kesempurnaan. Ketika manusia tidak mengerti di mana letak kesempurnaannya, maka dia terlebih dahulu harus mengkaji dan menelaah apa sebenarnya kesempurnaan bagi manusia itu. Dengan kata lain, benar bahwa manusia itu mencintai dirinya dan menginginkan kesempurnaan. Namun untuk mengetahui apa itu kesempurnaan, dia membutuhkan faktor lain yang bernama makrifat (baca: pengetahuan). Ketika makrifat ini disenyawakan dengan gharizah cinta diri, maka ia akan menghasilkan kebahagiaan.

Terdapat serangkaian gharizah serta keinginan yang memang sudah menyatu dengan wujud manusia yang memberikan pengaruh kuat pada arah perjalanan hidupnya, seperti halnya faktor-faktor natural, genetik, sosial dan lingkungan yang mempunyai pengaruh pada perilaku dan arah hidup yang ditempuh oleh seseorang. Bahkan pengaruh

p: 150

itu bisa terjadi secara tidak sadar tanpa perlu dipandu atau dibimbing, ia muncul begitu saja dan mengubah arah hidup seseorang. Oleh sebab itu, di samping faktor kecenderungan pada kesempurnaan yang ada pada diri manusia, harus juga ada pengetahuan serta makrifat yang membantu untuk menjaga perjalanan serta arah hidup manusia dari penyimpangan serta penyelewengan, agar di antara berbagai macam jalan yang ada, manusia dapat memilih jalan yang benar, sebuah jalan yang akan mengantar manusia menuju kesempurnaan hakikinya.

Pengaruh Tarbiah pada Pemenuhan Berbagai Gharizah

Kecenderungan (gharizah) untuk merdeka dan berdiri sendiri adalah kekuatan lain yang Allah berikan kepada manusia. Sebagai contoh sederhana, anak-anak pada usia balita, seandainya dia dapat berdiri tegak sendiri tanpa dibantu, dia tidak akan mengizinkan orang lain untuk mengangkat atau menuntunnya. Mungkin hal ini pernah Anda alami, bagaimana anak-anak balita itu mau dibantu dan ditolong oleh orang tua atau yang lebih dewasa ketika mereka belum bisa berdiri dan berjalan sendiri. Akan tetapi, begitu mereka bisa melakukannya sendiri, mereka tidak mau lagi dibantu dan dituntun. Bahkan ketika berjalan di jalan raya, orang tua harus berusaha keras untuk menuntun dan menggandeng tangan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak itu mempunyai kecenderungan untuk berdiri sendiri

dan tidak bergantung kepada orang lain. Hal ini merupakan gharizah (kecenderungan) untuk berdiri sendiri yang Allah tanamkan pada kedalaman wujud manusia. Kecenderungan ini, seperti halnya kecenderungan yang lain, bisa berada dalam kondisi yang baik dan adakalanya berada dalam kondisi yang tidak baik. Kondisi baiknya adalah kelak ketika si anak beranjak dewasa dia tidak akan menjadi beban bagi orang lain dan dia akan berusaha maksimal dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Namun apabila gharizah ini tidak

p: 151

terpupuk dengan baik, si anak senantiasa akan mengandalkan bantuan dari orang tua dan selalu bergantung kepada orang lain serta tidak mampu berdiri sendiri. Orang seperti ini ketika dihadapkan pada sebuah permasahan, dia tidak akan berusaha untuk menyelesaikannya sendiri, tetapi dia selalu menanti dan menunggu bantuan serta uluran tangan orang lain. Pribadi semacam ini tentu juga tidak akan banyak berusaha dalam urusan-urusan maknawiah, karena dia tidak terlatih untuk berusaha sendiri, dia telah terbiasa dibantu dan ditolong orang lain. Tentu mentalitas dan kejiwaan yang seperti ini tidaklah baik, karena akan menjadikan seseorang bergantung dan berada di bawah baying-bayang orang lain.

Dari sisi lain, apabila gharizah ini berada dalam kondisi ifrath (berlebihan), dia juga akan berbahaya bagi manusia, karena akan menyebabkan seseorang merasa super kuat dan merasa tidak perlu bantuan orang lain. Bahkan gharizah ini bisa menarik manusia hingga mengaku diri sebagai Tuhan serta lebih hebat dari semua makhluk. Mentalitas merasa diri paling hebat ini pada hakikatnya bersumber pada kebodohan, tak ubahnya seperti balita yang tidak mau dituntun ketika menyeberang jalan, sementara ia tidak sadar bahwa boleh jadi ada kendaraan yang menabraknya. Anak kecil itu tidak mau meletakkan tangannya pada tangan

ayah atau ibunya, ia ingin menyeberang jalan sendiri, ia terlalu percaya pada kemampuannya dan tidak menyadari bahwa ada bahaya besar yang mengancam keselamatannya;

ia tidak mengerti bahwa dirinya berada dalam kondisi yang masih perlu dibimbing serta dibantu oleh orang lain dan bila menolak bantuan maka bahaya besar sedang menantinya. Oleh sebab itu, baik ifrath maupun tafrith keduanya tidak baik dan berbahaya bila terjadi pada gharizah ini. Berdiri dan bergantung pada diri sendiri, meskipun merupakan sifat yang mulia dan terpuji, namun bila berlebihan, akan sangat

p: 152

berbahaya bagi kehidupan manusia. Apabila orang tua tidak berhati-hati dalam membimbing anak berkaitan dengan gharizah ini, kelak anak tersebut akan menghadapi banyak bahaya dan petaka dalam kehidupan. Salah satu dimensi dari gharizah ini adalah seseorang akan memberikan nilai khusus (baca: lebih) pada dirinya. Sebagai misal, ketika dia berbicara atau berbuat sesuatu, dia ingin ucapan dan perilakunya diterima oleh semua orang. Memang sudah merupakan kecenderungan fitri manusia yang mempunyai keinginan agar ucapan serta perbuatannya diterima orang lain tanpa syarat. Karena apabila ucapan dan perbuatannya dianggap salah, maka sebagai konsekuensinya dia tidak akan diterima oleh masyarakat dan lingkungannya, dan hal itu bertentangan dengan apa yang menjadi keinginan setiap manusia. Manusia mempunyai keinginan untuk diterima, dimuliakan dan dicintai oleh masyarakatnya. Kecenderungan ini harus berada pada jalur tarbiah dan kesempurnaan diri manusia.

Pada tahap awal seseorang ingin diterima oleh ayah, ibu dan teman-teman seumurnya. Tahap berikutnya, dia ingin diterima oleh masyarakat luas. Akan tetapi lambat-laun dia akan memahami bahwa yang sesungguhnya penting dan berharga adalah bukan penerimaan mereka. Yang paling penting dan berharga adalah penerimaan dari sisi Allah Swt bukan selain-Nya.

Keinginan untuk dicintai orang l ain adalah perkara yang baik dan terpuji, serta merupakan sebuah keinginan yang bermuara pada fitrah insan. Namun perlu juga disisipkan ke dalamnya unsur agama dan nalar agar dapat menjadi jalan tarbiah dan kesempurnaan bagi manusia. Unsur agama dan nalar akan mengajarkan kepada manusia bahwa ada sesuatu yang jauh lebih tinggi daripada sekadar diterima dan dicintai oleh orang, yaitu diterima dan dicintainya seseorang oleh

p: 153

Tuhan Sang Maha Pencipta. Puncak usaha dan perjuangan manusia haruslah tertuju untuk mendapatkan penerimaan dan cinta Ilahi yang merupakan kesempurnaan tertinggi baginya. Oleh sebab itu, para orang tua dan pendidik harus berusaha untuk memberikan arah yang benar pada keinginan fitrah tersebut secara bertahap. Pada masa kanak-kanak keinginan ini menuntut seseorang agar menjadi sama dengan anak-anak seumurnya, lalu pada tahapan berikutnya dia ingin diterima

oleh masyarakat, karena masyarakat umum menurutnya adalah lebih baik dan dia harus melakukan seuatu yang membuatnya diterima oleh mereka. Akan tetapi, orang tua dan guru harus mulai mengajarkan bahwa yang diterima bukan cuma satu macam kelakuan; karena apa yang disukai oleh kalangan anak-anak belum tentu diterima dan disukai oleh kalangan dewasa.

Orang tua dan guru harus juga mengajarkan bahwa penerimaan kalangan dewasa lebih bernilai ketimbang penerimaan anak- anak sebaya atau yang di bawah umurnya. Ketika si anak mulai memahami hal ini, maka dia akan melakukan penilaian dan muhasabah bahwa penerimaan siapa yang paling berharga. Nah, setelah itu barulah dia akan mencari si mahbub hakiki dan mempersembahkan semua yang dimiliki untuk meraih kerelaan-Nya. Apabila kecenderungan fitrah ini mendapat tarbiah sebagaimana mestinya, tentu akan memberikan hasil yang ideal dan luar biasa. Sebaliknya apabila tidak mendapatkan arahan dan bimbingan, maka dia akan tetap seperti itu dan tidak berkembang; dia hanya akan menjadi manusia yang bisanya cuma meniru dan mengikuti orang lain; dia akan menjadi pribadi minder yang tidak berani mengungkap atau mengekspresikan dirinya sendiri. Pribadi seperti itu bisanya hanya melihat apa yang dilakukan orang untuk ditiru dan

diikuti. Dia hanya ingin diterima oleh orang lain, sehingga dia tak ubahnya seperti anak-anak yang hanya ingin sama seperti anak-anak yang lain atau sama seperti masyarakatnya.

p: 154

Berbeda apabila kecenderungan fitrah ini mendapatkan tarbiah dan bimbingan, dia akan menyadari bahwa seseorang harus menentukan dan memilih sendiri siapa yang harus menjadi mahbubnya; bukan memaksa dirinya untuk menyukai apa saja yang disukai oleh orang lain; dan dia tidak ingin dicinta oleh orang-orang yang tidak dikenalnya. Pertanyaan yang harus dijawab di sini adalah: Cinta dan penerimaan siapakah yang paling penting dan bernilai? Hasil pemikiran yang jernih

dan renungan yang mendalam yang dilakukan olehnya akan memberikan jawaban bahwa penerimaan dan kecintaan di sisi Allah adalah cinta dan penerimaan tertinggi dan paling berharga bagi manusia. Di sinilah nanti akan tercipta sebuah tekad dalam dirinya untuk tidak menginginkan apa pun selain penerimaan dan keridaan ilahi. Terdapat beberapa ungkapan dalam al-Quran yang menekankan agar manusia tidak mencari apa pun kecuali keridaan Rabbnya, seperti:

وَ مَا لاَِحَد عِندَهُ ومِنْ نِّعْمَة تُجْزی إِلاّ ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ الاَْعْلَی اِنَّما نُطْعِمُکُمْ لِوَجْهِ اللّهِ لا نُریدُ مِنْکُمْ جَزاءً وَ لا شُکُورا وَمَن یَفْعَلْ ذَلِکَ ابْتِغآءَ مَرْضَات اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِیهِ أَجْراً عَظیِما

Ayat pertama adalah surah al-Lail ayat 19-20 yang menggunakan ungkapan “ibtighaa wajhi rabbih” yang berarti: Padahal tidak ada seorangpun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalas, tetapi (dia memberikan itu semata- mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Ayat kedua adalah surah al-Insan ayat 9 yang menggunakan ungkapan “wajhillah” yang berarti: Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian hanyalah untuk engharapkan

keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

p: 155

Ayat ketiga adalah surah al-Nisa' ayat 114 yang menggunakan ungkapan “mardhatillah” yang berarti, ... Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberikan pahala yang besar. Masih ada beberapa ungkapan lain dalam al-Quran yang serupa dengan makna di atas. (Berpijak pada beberapa ayat di atas), maka sudah seharusnya manusia dapat membimbing dengan benar kecenderungan fitrahnya dan tidak menjadikan

kecintaan dan penerimaan orang sebagai ukuran, dan semata-mata menjadikan keridaan dan kecintaan Ilahi sebagai tujuan utama dalam hidup

Kondisi seperti di atas juga dapat terjadi pada keinginan untuk mencari kesempurnaan, karenanya keinginan ini juga harus ditarbiah dan diarahkan. Sebagai misal, keinginan seseorang untuk menampilkan diri dan menganggapnya sebagai sebuah kesempurnaan. Benar bahwa kecenderungan ini bersifat fitri dan Ilahi, namun tetap harus ditunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju kesempurnaan dan bagaimana cara mengidentifikasinya, sehingga dia sendiri dapat mengetahui di mana letak kesempurnaan hakikinya. Manusia harus mendapatkan bimbingan bahwa tidak setiap jalan yang ditempuhnya itu akan berakhir pada kesempurnaan, dan tentu tidak benar untuk bersikukuh dan bersikeras pada jalan tertentu. Yakni, manusia harus mengerti bahwa dirinya mungkin melakukan kekeliruan dan kesempurnaannya terletak pada “berpaling” dari kekeliruannya. Dia harus segera bertobat dari dosa yang telah diperbuat. Apabila dia menuduh atau mencaci seseorang, maka dia harus segera memohon maaf kepadanya; dan apabila dia telah melakukan kesalahan, meski tidak merugikan orang lain, maka dia harus segera meninggalkan perbuatan tersebut dan tidak meneruskannya. Apabila fitrah (baca: kecenderungan internal) mencintai diri dan mencari kesempurnaan disenyawakan, manusia akan

p: 156

dapat menemukan arah yang benar atas perilakunya dan terhindar dari kekeliruan. Sebagai misal, dia akan meninggalkan sikap “selalu membangkang dan menolak pandangan orang lain” menjadi sikap yang lebih lunak dan luwes sehingga dia dapat melihat cahaya kebenaran dan tunduk padanya. Ada banyak sekali manfaat dari menjalankan bagian nasihat Imam Ali as ini yang tentu tidak dapat diungkap semuanya di sini.

Akibat Buruk dari Sikap Berlebihan dalam Mencintai Diri

Dari keterangan di atas dapat dimengerti bagaimana seseorang dapat berkeras hati dan bersikukuh pada jalan kelirunya. Pada hakikatnya, sumber dari sifat buruk ini adalah kecenderungan fitrah yang mendorongnya untuk menampilkan kesempurnaan diri dan mengukuhkan jati diri. Dia beranggapan apabila dirinya diketahui bersalah, maka kepribadiannya akan ternodai dan hancur. Oleh sebab itu agar tidak tercipta citra buruk dalam pemikiran orang lain tentang dirinya, dia berusaha dengan segala daya dan upaya untuk mempertahankan kesalahan perilaku atau ucapannya. Nah, disini perlu kiranya sedikit kita mengetahui beberapa dampak

negatif dari perilaku yang seperti ini.

Sebagai misal, apabila Anda sedang berbincang-bincang dengan beberapa teman dan Anda sedang menjelaskan makna dari sebuah kalimat dalam kitab, lalu ada seorang teman yang berkata, “Bukan seperti itu maknanya, akan tetapi makna yang benar adalah demikian..." Dia menegaskan, “Yang benar adalah apa yang telah saya jelaskan.” Lalu Anda tidak mau kalah dan berkata, “Tidak, yang benar adalah apa yang tadi telah saya jelaskan.” Nah, Anda mereaksi koreksi teman itu dengan segala cara untuk memaksakan pendapat Anda, padahal Anda sudah menyadari bahwa pendapat Anda salah.

Sifat ngotot tidak mau mengakui kesalahan inilah yang disebut dengan “lajajah” dalam bahasa Arab. Hal ini sering terjadi pada

p: 157

diri kita, sekalipun kita jarang menyadarinya. Adakalanya, sifat buruk ini akan mendatangkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya.

Apabila sifat tersebut telah berubah menjadi karakter pada diri seseorang, tentu banyak sekali akibat buruk yang ditimbulkannya. Sebagai misal, seseorang akan menganggap benar semua ucapannya dan tidak akan pernah mau mengakui kesalahan diri. Tentu, bersikukuh pada kesalahan akan mendatangkan dampak buruk, baik dalam tataran individual maupun sosial. Terlebih lagi, apabila orang tersebut mempunyai posisi dan kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat atau sebagai pemimpin sebuah lembaga, maka dia tidak hanya akan menyeret dirinya sendiri pada kekeliruan, namun segenap orang-orang di bawah kepemimpinannya juga akan terseret pada kekeliruan yang sama. Dia akan menyesatkan diri dan banyak orang sehingga kerusakan yang ditimbulkan akan sangat sulit untuk dibenahi. Mentalitas ini adalah mentalitas “tidak mau patuh” masa kanak-kanak yang terus dipelihara hingga masa dewasa, dan kelak ketika memasuki usia tua, di mana dia telah menjadi pemimpin, marja' taklid, kepala perusahaan, kepala rumah tangga dan lain sebagainya, maka sifat buruk ini akan tetap ada pada dirinya.

Baik kiranya, semasa kita masih remaja dan muda, sebelum terlambat dan sebelum mengakarnya sifat buruk ini di dalam diri, kita bebaskan diri darinya. Apabila Anda menemukan pada diri Anda sedikit kecenderungan untuk mempertahankan kesalahan dan tidak sudi mengakuinya, ketahuilah bahwa Anda berada di jalan yang sangat berbahaya dan akan menggiring Anda pada akhir yang buruk dan menyedihkan. Ketahuilah, semakin tinggi posisi Anda di tengah masyarakat, maka

dampak buruk dan kerusakan yang diakibatkan oleh sifat ini juga akan semakin besar dan berat. Kita harus segera meneliti dan memeriksa diri untuk dapat memahami sejauh apa sifat

p: 158

ini telah bersemayam pada diri kita dan kita harus secepatnya melakukan perbaikan, penyembuhan dan pembenahan diri. Jika tidak, bahaya dan bencana besar sedang menanti kita di kemudian hari.

Penyembuhan Sifat Lajajah (Berkeras Hati)

Ada baiknya di sini untuk dijelaskan masalah penyembuhan sifat lajajah. Untuk mendapat gambaran yang benar tentang penyembuhan sifat ini, pertama mari kita bayangkan sosok anak kecil yang suka ngotot dan tidak pernah mau mendengar nasihat. Apa yang akan kita lakukan bila kita berhadapan dengan anak kecil yang seperti itu? Apabila dia bersikeras untuk melakukan sesuatu (yang berbahaya), apa yang akan Anda lakukan terhadapnya? Apabila si anak tersebut sakit dan tidak boleh makan beberapa jenis makanan, namun dia ngotot dan memaksa untuk memakannya, atau kelakuan-kelakuan pada umumnya anak yang berbahaya, namun dia bersikeras untuk melakukannya, apa yang akan Anda lakukan? Nah, apabila Anda berhadapan dengan individu yang ngotot dan bersikeras seperti inilalu Anda juga menghadapinya dengan sikap yang sama, maka dapat dipastikan akan timbul konflik yang mengakibatkan kerugian dan mendatangkan bahaya. Akan tetapi, apabila Anda menghadapinya secara tenang dan mencoba mengalihkan anak tersebut pada sesuatu yang lebih disukai, seperti jenis permainan tertentu atau

berjalan-jalan ke kebun dan tempat bermain, maka besar kemungkinan si anak akan menerima tawaran Anda. Namun, bila si anak berkata, “Saya harus makan makanan ini”, lalu Anda juga bersikeras mengatakan, “Engkau tidak boleh makan makanan ini”, maka penanganan yang seperti itu akan membuat si anak semakin bersikukuh dan bersikeras pada pendiriannya.

Sifat buruk itu justru akan semakin mengakar dan bukan tidak mungkin akan timbul efek-efek negatif lainnya. Efek buruk pertama dari cara penanganan yang seperti ini, adalah

p: 159

Anda mendidik anak dengan cara tarbiah yang tidak baik (kekerasan). Seharusnya kengototan tidak dihadapi dengan kengototan lain, tetapi berusahalah untuk mengalihkan dia pada sesuatu yang lebih disukai. Pada dasarnya, hal-hal yang disukai dan dicari oleh manusia, baik maupun buruk, apabila dia akhirnya menemukan sesuatu lain yang lebih menarik, maka kesukaannya pada hal pertama akan sedikit berkurang. Hukum umum ini tidak hanya terbatas pada masalah lajajah, tetapi pada semua kecenderungan hewani-insani. Ketika seseorang sudah menyukai sesuatu, maka akan sulit sekali untuk ditahan, kecuali apabila ia menemukan sesuatu yang lebih disukainya.

Syahwat, amarah, egoisme dan lain sebagainya adalah ibarat tunggangan-tunggangan yang bila menjadi liar, maka akan sangat sulit untuk dikendalikan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah jangan sampai syahwat berada dalam kondisi liar dan tak terkendali, karena dalam kondisi seperti itu hampir mustahil dapat diredam dan dikendalikan. Sebagian ulama mengatakan, usahakan agar syahwat tidak sampai mendidih, karena bila sudah mendidih akan sulit sekali mendingikannya. Demikian pula halnya dengan amarah, apabila seseorang sudah merasakan tanda-tanda akan marah, maka dia harus segera menarik diri dari tempat terbakarnya amarah, demi mencegah meledaknya amarah. Karena apabila emosi telah meledak, maka akan sangat sulit untuk diredam dan dihentikan. Begitu juga keadaannya dengan sifat lajajah, kita harus segera menghentikannya pada saat-saat awal. Apabila pernyataan yang salah baru sekali diucapkan, masih

belum terlalu sulit bagi kita untuk mengakui dan merevisinya. Akan tetapi, apabila pernyataan itu sudah dilontarkan berkali-kali sambil menyalahkan pandangan yang lain, akan sangat sulit bagi kita untuk menariknya kembali. Kita akan bersikeras bahwa yang benar adalah apa yang kita ucapkan dan pendapat yang lain adalah salah. Oleh sebab itu, sebelum

p: 160

kita masuk dalam kondisi “tak terkendali” atau “mengganas dan melampaui batas”, kita harus segera menghentikannya. Memang sudah seharusnya manusia tidak terlalu tergesa- gesa dalam mengambil sebuah keputusan. Ketika seseorang sudah melontarkan ucapan, akan sulit baginya untuk menarik ucapan tersebut. Oleh sebab itu, kita harus berusaha untuk mengukur, menimbang, memikirkan dan berhati-hati dalam melontarkan ucapan. Kita tidak boleh memutuskan atau mengungkapkan sesuatu secara tergesa-gesa tanpa dipikir masak-masak. Ini adalah salah satu cara untuk menghindarkan diri dari sifat lajajah atau menyelamatkan diri dari tunggangan yang liar. Apabila ada orang yang menanyakan sesuatu kepada kita, jangan tergesa-gesa dalam menjawabnya. Kita harus sejenak bersabar dan berpikir untuk memberikan jawaban agar terhindar dari kesalahan dan kecerobohan. Karena apabila kita menjawab dengan cepat tanpa dipikir secara matang, kemungkinan jatuh dalam kesalahan sangat besar. Bila telanjur salah, akan sulit bagi kita untuk mengakui dan menariknya kembali. Namun

apabila kita menjawabnya secara tenang dengan dipikir masak-masak, kita akan terhindar dari pemicu sifat lajajah.

Kita harus selalu berpikir tentang apa yang hendak kita ucapkan atau lakukan sehingga kita dapat mempersembahkan ucapan dan kelakuan yang terbaik dan terindah. Nah, ketika kita diminta untuk memutuskan sesuatu, sebaiknya kita ambil waktu satu jam atau bahkan satu hari bila tidak mendesak, agar kita dapat memberikan sebuah keputusan yang telah dipikir secara matang.

Akibat dan Efek Lajajah

Dalam salah satu nasihatnya Luqman Hakim berkata, (1) “Apabila mereka bermusyawarah denganmu, mintalah waktu tiga hari (untuk memutuskan) dan pikirkanlah apa yang

p: 161


1- 45 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.76, hal 271, hadis ke-28.

akan menjadi keputusanmu di waktu-waktu (sesudah) salat. Apabila ada yang datang meminta pendapatmu, mintalah waktu tangguh selama tiga hari untuk menjawabnya. Usai melaksanakan salat Subuh, duduk dan berpikirlah untuk mendapatkan sebuah keputusan, karena salat memberikan suasana kesucian dan ketulusan sehingga engkau dapat memberikan sebuah keputusan yang jernih. Apabila Anda dimintai pendapat untuk sebuah perkara penting, tidak usah terburu-buru menjawabnya, ambillah waktu barang dua sampai tiga hari, gunakan waktu itu untuk berpikir dan merenung serta bersabarlah untuk tidak terlalu cepat mengeluarkan keputusan, karena menarik kembali sebuah keputusan yang telah dikeluarkan bukanlah hal yang sederhana. Namun apabila setelah berpikir dan merenung Anda tetap mengalami sebuah kekeliruan, maka Anda harus tetap menerimanya dengan besar hati dan lapang dada. Karena mengakui sebuah kesalahan manfaatnya jauh lebih besar dan lebih menjaga harga diri daripada ngotot pada sesuatu yang keliru. Ketika orang-orang memahami kekeliruan Anda dan Anda tetap bersikeras dan bersikukuh pada kekeliruan tersebut, maka mereka akan semakin benci kepada Anda.

Karena masyarakat pada umumnya tidak menyukai seseorang yang ngotot pada sebuah kesalahan, sebagaimana diri kita juga tidak suka dengan orang yang ngotot pada kekeliruan. Jika seperti itu adanya, lalu mengapa kita masih ngotot atas kekeliruan yang kita ucapkan atau lakukan, sehingga semua orang membenci kita?! Dengan ngotot, kita berpikir sedang mempertahankan harga diri, padahal justru menghancurkan dan merendahkannya. Mungkin saja dalam jangka pendek

kita bisa menipu atau mengelabui beberapa orang sambil mengatakan bahwa yang benar adalah apa yang telah saya jelaskan, namun tidak lama kemudian kebenaran akan terungkap dan kesalahan serta lajajah kita akan menjadi semakin nyata.

p: 162

Hal seperti ini boleh jadi telah sering kita alami atau kita menjadi korban dari sikap lajajah ini. Kita harus camkan hal ini baik-baik bahwa bisa saja kita menipu dan membodohi orang lain selama beberapa waktu, akan tetapi pasti akan tiba masanya di mana kebohongan serta kekeliruan kita akan terungkap dan genggaman tangan kita menjadi terbuka. Oleh sebab itu, apabila kita memahami bahwa ada ucapan atau tindakan kita yang keliru, kita harus segera mengakui dan membenahinya. Apabila kita menghina seseorang, kita harus segera meminta maaf kepadanya. Karena dengan berlalunya waktu kotoran hati akan semakin mengakar dan menjadi sulit bagi kita untuk mengobatinya. Apabila kita berbuat dosa, kita harus sesegera mungkin memohon ampunan kepada Allah, karena terus-menerus melakukan dosa adalah sebuah bentuk lajajah yang sangat berbahaya. Sifat lajajah akan menjadikan manusia menolak kebenaran sekalipun dia mengetahuinya. Bahkan dia tidak mau menerima kebenaran itu dalam pikirannya.

Mungkin bagi sebagian orang sulit untuk diterima bagaimana seseorang bisa menolak sesuatu yang telah dipahami dan diyakini sebagai kebenaran. Membayangkan

mentalitas yang seperti itu saja sulit, apalagi meyakininya. Oleh sebab itu, sebagian orang tidak percaya apakah mungkin manusia itu bersikeras dan bersikukuh pada kekeliruan sampai sebegitunya. Namun ayat al-Quran mengungkapkan fakta tersebut:

وَ جَحَدُواْ بِهَا وَ اسْتَیْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ...

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. ... !(1)

p: 163


1- 46 QS. al-Naml [27]:14.

Ketika menyaksikan ayat-ayat Ilahi tampak di tangan Musa as dan meyakini ayat-ayat tersebut sebagai hakikat dan kebenaran, para pengikut Firaun tetap mengingkarinya. Mengapa? Jawabannya adalah zhulman wa ‘uluwwan, yakni mereka melakukan penolakan itu semata-mata karena sifat aniaya dan keinginan untuk tetap unggul dan berada di atas. Karena apabila mereka tunduk pada kebenaran yang dibawa oleh Musa as, mereka akan kehilangan harga diri dan tidak lagi punya kesempatan untuk berkuasa atas masyarakat. Kejiwaaan ingin selalu unggul dan berkuasa adalah sebuah kejiwaan yang sangat berbahaya. Dalam al-Quran ditegaskan:

...تِلْکَ الدَّارُ الاَْخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِینَ لاَ یُرِیدوُنَ عُلُوًّا فِی الاَْرْضِ وَ لاَ فَسَادًا ...

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi(1)

Orang-orang yang mempunyai mentalitas ingin selalu unggul dan berada di atas yang lain tidak akan pantas untuk menjadi penghuni surge. Mentalitas seperti itu akan merusak dan menghancurkan jiwa manusia. Kejiwaan ini bermula dari hal-hal yang sepele dan sederhana. Oleh sebab itu, manusia harus mewaspadai dan

memeranginya sedini mungkin. Imam Baqir as berkata, “Contoh dari sifat ingin unggul atas yang lain adalah apabila seseorang ingin kancing atau tali bajunya lebih bagus dari yang lain dan disaksikan oleh orang lain.”48 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.79, hal.312. Ini adalah satu bentuk keinginan untuk mengungguli orang lain dan menjadi cikal-bakal sebuah kejiwaan yang sangat buruk dan berbahaya.

p: 164


1- 47 QS. al-Qashash [28]:83.

Manusia harus selalu melihat apa yang baik baginya dan apa sebenarnya yang Allah inginkan darinya untuk kemudian dia lakukan, sehingga dia tidak melakukan sesuatu berdasar pada keinginan untuk mengungguli orang lain. Kejiwaan yang membuat manusia selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dan ingin mengunggulinya adalah sebuah kejiwaan yang akan mengakibatkan sifat iri, aniaya dan mengabaikan hak-hak orang lain. Dengan kata lain, kejiwaan seperti ini hanya akan mengantar manusia pada penolakan dan pengingkaran (juhud dan kufr) atas kebenaran. Juhud adalah perbuatan mengingkari sebuah kebenaran yang telah diketahui, yakni dia dengan sengaja mengingkari kebenaran yang sudah dipahami. Ini adalah sebuah kondisi kejiwaan yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan berbagai macam penyimpangan yang lain. Kita harus selalu waspada dan berhati-hati jangan sampai sifat ingin mengungguli orang lain ini bersemayam dalam diri.

Sifat ini ditandai dengan lajajah di mana apa yang telah terucap dari lisan kita harus menjadi sebuah kebenaran meskipun kita telah mengetahui kebatilannya. Kita harus menjadi pribadi yang setia dan tunduk pada kebenaran, dari siapa pun dan di manapun kebenaran itu berada; bukan semata-mata karena hal tersebut adalah pendapat dan opini kita. Namun hal ini juga bukan berarti kita harus menerima semua pendapat orang dan bersikap lunak terhadapnya. Kita tidak sependapat dengan toleransi dengan interpretasi Barat yang menganggap semua pandangan itu benar. Manusia harus mencari tahu apa itu kebenaran untuk mendukung

dan membelanya. Kebenaran tidak boleh ditoleransi dengan kebatilan. Akan tetapi, apabila seseorang menyadari bahwa pendapatnya keliru dan tidak benar, dia harus berani mengakui dan meninggalkannya. Manusia harus mengikuti apa yang benar dan meninggalkan sifat lajajah-nya, yakni bersikeras dan ngotot pada kebatilan. Karena hal itu dapat mencegah manusia untuk membenahi kesalahan dan kekeliruannya.

p: 165

Lajajah adalah sebuah tunggangan liar yang dapat menghancurkan dan membunuh penunggangnya. Tak ubahnya seperti tunggangan syahwat dan amarah, yang bila lepas kendali akan menghancurkan semua yang kering dan basah, yakni menghancurkan semua yang ada di hadapannya tanpa pandang bulu. Namun sayang sekali, sekalipun kita mengetahui akibat buruk syahwat dan amarah, kita masih saja lalai dan tidak mewaspadainya. Lajajah adalah sebuah tunggangan liar yang tidak akan memberikan selain kehancuran bagi penunggangnya. Dalam nasihatnya, Amirul Mukminin as berkata kepada putranya al-Hasan as: “Berhati-hatilah, jangan sampai dirimu dikuasai oleh tunggangan yang liar (tunggangan yang dapat membahayakan keselamatan jiwamu)!"

Atau dalam naskah (nuskhah) yang lain ditegaskan:

اِیّاکَ اَنْ تُطیحَ بِکَ مَطِیَّةُ اللَّجاج

Yakni, lajajah tak ubahnya seperti tunggangan liar yang akan menghempaskanmu di atas tanah. Dalam kedua nukilan di atas, Imam Ali as mengumpamakan lajajah sebagai tunggangan liar yang bila manusia tidak dapat memegang kendalinya, maka dia akan menghempaskan dan menghancurkan penunggangnya. Salah satu dari contoh lajajah adalah lajajah dalam perilaku terhadap sesama manusia. Terus menerus berperilaku lajajah sama halnya dengan terus menerus berbuat dosa.

Oleh sebab itu, setelah melarang lajajah, beliau berkata, “Dan apabila dirimu terkotori oleh keburukan (baca: dosa), maka bersegeralah untuk membersihkannya dengan tobat!" Karena terus menerus dalam berbuat dosa adalah sebuah bentuk lajajah, sebab maknanya adalah selalu mengulang kesalahan yang telah diketahui sebagai kesalahan.()

p: 166

32-BAHAYA DAN KEWASPADAAN

Point

ولا تَخُنْ مَنِ ائْتَمَنَکَ و إِنْ خانَکَ، وَ لا تَذَعْ سِرَّهُ وَ إِنْ أذاعَ سِرَّکَ، وَ لا تُخاطِرْ بِشَیْء رَجاءَ أَکْثَرَ مِنْهُ وَاطْلُبْ فَإِنَّهُ یَأْتیکَ ما قُسِّمَ لَکَ، والتّاجِرُ مُخاطِرٌ.

Janganlah engkau mengkhianati orang yang memercayaimu meskipun dia mengkhianatimu! Janganlah engkau siarkan rahasianya meskipun dia menyiarkan rahasiamu! Janganlah engkau membahayakan dirimu untuk mencari sesuatu yang lebih (dari harta dunia). Carilah (harta dunia) sewajarnya, karena apa yang sudah menjadi bagianmu pasti akan mendatangimu. Dan pedagang adalah orang yang siap membahayakan dirinya.

Dalam menjelaskan dan menafsirkan wasiat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as, kita telah sampai pada bagian ketika beliau mengetengahkan salah satu dari nilai umum etika dalam sistem nilai Islam. Yakni, di sana terdapat banyak amalan yang baik dan mulia, namun harus terlebih dahulu dipenuhi syarat-syaratnya. Karena apabila syarat- syarat tersebut belum terpenuhi, amalan baik dan mulia itu akan kehilangan nilainya. Kendati kebanyakan perbuatan baik

dipaparkan secara mutlak dan bersifat umum dan universal, tetapi terdapat beberapa pengecualian. Sebagai contoh, kita semua mengetahui bahwa “berkata jujur” dalam pandangan Islam merupakan sebuah perbuatan baik, namun ada situasi dan kondisi tertentu dimana kita tidak boleh berkata jujur

p: 167

dan bahkan adakalanya justru harus berdusta. Apabila jiwa seorang mukmin terancam dan akan terselamatkan dengan sebuah kebohongan, maka berbohong di sini menjadi wajib hukumnya. Nah, meskipun "berkata jujur” merupakan sebuah kebaikan dalam nilai universal Islam, namun terdapat juga pengecualiannya.

Sebaliknya, ada perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam agama dan secara umum melakukannya adalah sebuah keburukan, namun dalam situasi dan kondisi tertentu perbuatan yang buruk itu harus dilakukan. Sebagai misal, agama tidak memperbolehkan kita untuk menyakiti atau melukai orang lain dan merupakan perbuatan yang tidak pantas dan buruk. Namun apabila hal itu dilakukan dalam rangka hukum kisas atau sebagai balasan atas para pelaku kejahatan, maka perbuatan tersebut akan berubah menjadi sebuah kebaikan. Pada bulan- bulan haram, tidak diperbolehkan untuk memulai peperangan, namun apabila kita diserang pada bulan-bulan tersebut, maka memerangi mereka dalam rangka mempertahankan diri menjadi jihad yang sangat mulia dan tinggi nilainya. Contoh

lain, tidak diperbolehkan perang di Masjidil Haram, namun apabila muslimin diserang di Masjidilharam, maka mereka boleh berperang.

Memegang Amanat

Sebagian dari nilai-nilai etika, baik yang positif maupun yang negatif, mempunyai pengecualian yang harus diperhatikan tentang kapan, di mana dan kepada siapa. (Akan tetapi), ada pula nilai-nilai etika yang bersifat mutlak, seperti halnya “memegang amanah”. Salah satu dari nilai-nilai umum dan universal yang tidak mengalami pengecualian adalah “memegang amanah”. Oleh sebab itu, apabila seseorang menitipkan padamu sebuah amanah dan Anda menerimanya,

maka Anda harus menjaganya sedemikian rupa hingga mengembalikan amanah tersebut kepada yang berhak. Siapa

p: 168

pun yang menitipkan dan apa pun yang dititipkan, Anda tetap harus menjaga dan bertanggung jawab atasnya. Tidak ada pengecualian dalam hal amanah. Siapa yang menitipkan, kapan dititipkan dan di mana dititipkan tidak bisa mengubah tanggung jawab yang telah diterima. Bahkan, seandainya amanah itu datang dari seorang nonmuslim dan musuh sekalipun, apabila Anda telah menerimanya, maka Anda berkewajiban untuk menunaikan amanah tersebut.

Dalam sebuah riwayat yang sangat menarik, Imam Sajjad as berkata, “Apabila pembunuh ayahku menitipkan kepala terpenggalnya kepadaku, aku akan kembalikan padanya.” Perhatikan dengan baik, yang mengucapkan kalimat ini adalah Imam Sajjad as dan sesuatu yang diamanahkan adalah kepala Sayyidus Syuhada Imam Husain as, dan tentu tidak ada amanah yang lebih berharga melebihi kepala cucunda Rasul saw. Terlebih lagi, yang menitipkan kepala itu sudahlah pasti orang yang membunuhnya. Meskipun seperti itu gambarannya, Imam Sajjad as berkata, “Apabila aku menerima kepala ayahku sebagai amanah (baca: titipan), aku akan mengembalikannya.” Nah, apabila nilai etika “memegang amanah” ini ada pengecualiannya, sudah barang tentu amanah yang berkaitan dengan kepala al-Husain as

akan mengalami pengecualian. Akan tetapi Imam Sajjad as menegaskan, dalam hal ini pun tidak ada pengecualian. Bagaimanapun, amanah harus dikembalikan kepada si pemberi amanah.

Tentu, apabila seseorang sejak awal tidak mau menerima sebuah amanah atau sesuatu yang diamanahkan termasuk dalam hal-hal yang seharusnya tidak diterima, maka tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya.

Menjaga Amanah Selalu Bersifat Baik

Pada umumnya ketika berbicara tentang amanah dan menjaga amanah, yang pertama terpikirkan adalah amanah

p: 169

berkaitan dengan harta. Padahal, lingkup amanah jauh lebih luas dari sekadar materi dan harta benda. Masalah amanah bahkan meliputi sebuah pembicaraan atau pertemuan yang dirahasiakan. Sebagai misal, apabila seseorang bercerita kepada Anda tentang sebuah rahasia dalam hidupnya dan Anda telah berjanji unuk tidak menyiarkannya, maka Anda berkewajiban untuk menjaga rahasia dan amanah tersebut. Oleh sebab itu, dalam situasi apa pun Anda tidak boleh membuka rahasia tersebut, karena Anda telah berjanji untuk tidak membongkarnya. Tentu tidak demikian halnya apabila Anda sejak awal tidak berjanji untuk merahasiakannya.

Apabila seseorang berkata kepada Anda, “Aku ingin ungkapkan sebuah rahasia dan jangan pernah Anda ungkap kepada siapa pun selama aku masih hidup", kemudian Anda bersedia dan berjanji untuk tidak membongkarnya, maka Anda tidak boleh menceritakannya kepada siapa pun. Mengapa Anda tidak boleh membukanya? Jawabannya adalah karena hal itu sama dengan berkhianat atas sebuah amanat. Rahasia itu akan menjadi sebuah amanah dan Anda berkewajiban untuk menjaganya. Sebagian perbuatan, seperti “menjaga amanah”, tergolong dalam nilai-nilai etika yang bersifat tetap dan tidak akan mengalami perubahan. Dengan kata lain, tidak ada faktor apa pun yang dapat memisahkannya dari nilai etika. Namun ada sebagian amal dan perbuatan yang akan bergeser dari nilai etika pada situasi dan kondisi tertentu. Contohnya, ada perbuatan buruk yang akhirnya menjadi baik karena terkait pada tujuan-tujuan tertentu, seperti “memberikan perlawanan setimpal”, disebut dalam al-Quran, Dan apabila kamu hendak memberikan balasan (atas sebuah perbuatan buruk), maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.(1) Mengacu pada prinsip “memberikan perlawanan setimpal” yang berdasar pada ayat dan riwayat, maka sebagian perbuatan

p: 170


1- 49 QS. al-Nahl (16]:126.

yang “buruk” menjadi boleh dilakukan, seperti halnya “perang" yang dilakukan untuk mempertahankan sebuah wilayah. Islam juga memberikan keterangan yang cukup rinci berkaitan dengan hukum-hukum “memberikan perlawanan setimpal”. Akan tetapi, berkaitan dengan nilai “menjaga amanah”, bahkan prinsip “memberikan perlawanan setimpal” tidak dapat berlaku atasnya, sehingga seseorang boleh berkhianat dalam rangka memberikan perlawanan yang setimpal. apabila Anda menganggap seseorang bersifat menjaga amanah lalu Anda menitipkan sebuah amanah kepadanya, tetapi dia berkhianat, hal ini tidak menjadikan Anda boleh untuk berkhianat atas sebuah amanah yang Anda terima darinya. Haramnya berkhianat atas sebuah amanah tidak akan berubah oleh prinsip “memberikan perlawanan setimpal”, sehingga dapat dikatakan: Karena dia telah mengkhianati saya, maka saya pun berhak untuk mengkhianatinya; tidak, tidak seperti itu adanya, kita tetap tidak boleh berkhianat atas seseorang yang mengkhianati kita. Apabila Anda menitipkan sebuah rahasia kepada seseorang, lalu dia membongkar rahasia tersebut, kemudian dia menitipkan rahasia kepada Anda, maka Anda tetap tidak berhak untuk membongkar rahasianya. Dengan kata lain, Anda tidak berhak memperlakukan amanahnya berdasar pada prinsip “memberikan balasan yang setimpal”. “Menjaga amanah” dan “haramnya khianat” merupakan nilai-nilai etika universal yang bersifat absolut dan sama sekali tak menerima pengecualian. Sebagian nilai-nilai akhlak seperti “kejujuran” masih mengalami pengecualian, dan pada situasi dan kondisi tertentu seseorang diperbolehkan untuk berdusta, namun tidak demikian halnya dengan nilai etika “menjaga amanah”.

Menepati Janji

Salah satu dari nilai-nilai etika dan akhlak adalah “menepati janji” yang termasuk dalam kategori nilai yang bersifat

p: 171

universal. Oleh sebab itu, apabila Anda telah berjanji dan terikat olehnya, maka Anda harus menepatinya. Di dalam al-Quran Allah Swt telah menegaskan: “Apabila kamu membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik, maka kamu harus menepatinya.” Namun, dalam prinsip “menepati janji” ada satu pengecualian, yaitu ketika pihak yang melakukan perjanjian dengan kita melakukan pelanggaran atas perjanjian yang telah disepakati; jika itu terjadi, maka kita juga terbebas dari ikatan tersebut. Sekalipun pelanggaran yang kita lakukan setelah pihak lain melakukan pelanggaran tidak dapat disebut sebagai pelanggaran janji, karena perjanjian adalah sebuah ikatan antara dua belah pihak. Apabila salah satu melakukan pelanggaran, kita tidak lagi berkewajiban untuk menepatinya. Dengan kata lain, apabila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak, perjanjian akan gugur dengan sendirinya. Hal ini berbeda dengan masalah “memegang amanah”, karena apabila orang lain berkhianat kepada kita, maka kita tetap tidak boleh berkhianat kepadanya. Apabila seseorang membongkar rahasia kita, kita tidak boleh membongkar

rahasianya sebagai balasan. Oleh sebab itu, tidaklah salah apabila kita mengatakan bahwa “menjaga amanah” merupakan nilai yang paling universal dalam sistem nilai Islam. Janganlah engkau mengkhianati orang yang memercayaimu meskipun dia mengkhianatmu! Dan Janganlah engkau sebarkan rahasianya meskipun dia menyebarkan rahasiamu! (Dari pesan Imam Ali as ini dapat dipahami), bahwa dalam kaitan “memegang amanah”

tidak berlaku prinsip “memberikan perlawanan setimpal”.

Kerakusan dan ketamakan adalah Perbuatan yang Bermuara pada ketidakwarasan

Nilai etika lain yang berlaku baik bagi orang mukmin maupun nonmukmin adalah menghindarkan diri dari sifat rakus dan tamak. Nilai ini sungguh sangat mendidik dan bermanfaat bagi setiap manusia. Akibat sifat tamak dan rakus

p: 172

ini, seringkali manusia mengabaikan sedikit manfaat yang pasti demi banyak manfaat dan hasil yang belum pasti, padahal sikap yang seperti itu sama sekali tidak rasional. Fenomena sifat buruk ini tidak hanya sering kita saksikan, namun tidak jarang sifat ini menjangkiti diri kita sendiri. Sebagai misal, kebanyakan orang apabila mendengar berita bahwa sebuah barang tertentu harganya akan naik, maka mereka akan mengumpulkan seluruh kekeyaannya untuk membeli dan menimbun barang tersebut dengan harapan menjualnya kembali di saat harganya telah melambung. Tak sedikitpun diragukan, perbuatan semacam itu sangat buruk dan tidak terpuji dan akan berlipat ganda keburukannya bila dilakukan oleh insan yang beriman.

Perbuatan buruk ini telah dengan jelas menunjukkan bahwa pelakunya adalah manusia yang tidak percaya kepada Allah Swt dan tidak mempunyai tujuan lain selain memuaskan rasa rakus dan tamaknya. Perbuatan ini selain buruk dari sisi etika dan terkadang haram dari sisi fikih, juga merupakan perbuatan yang tidak terpuji dari sudut pandang logika. Dengan kata lain, manusia berdasar pada kaidah logika dan perhitungan yang benar akan mengeluarkan modal demi sebuah keuntungan. Hal ini wajar adanya karena memang semua pekerja akan melakukan hal yang seperti itu demi meraih keuntungan tertentu. Petani menebar benih-benih tanaman di ladang dengan harapan dapat menuai hasil yang lebih banyak. Dia mengelurkan modal dalam mengolah tanah dan menyediakan benih demi meraih keuntungan di saat panen nanti. Pekerjaan seperti petani ini sangatlah wajar dan rasional, karena tanpa menanam, maka dia tidak akan pernah memanen. Seseorang bekerja keras peras keringat banting tulang demi meraih upah dan ongkos tertentu. Namun, ada orang-orang yang rakus dan tamak mengeluarkan modal secara berlebihan demi keuntungan yang berlipat ganda di masa mendatang. Tentu perbuatan yang bermuara pada

p: 173

kerakusan ini tidak dapat dibenarkan baik dari sudut pandang akal maupun syariat. Dalam kaitan ini Imam Ali as berpesan, “Janganlah engkau membahayakan dirimu untuk mencari sesuatu yang lebih (dari harta dunia).” Dengan kata lain, janganlah engkau pertaruhkan harta yang ada di tanganmu dengan sebuah

harapan hasil berlimpah yang belum pasti. Manfaatkan dengan baik harta yang ada di tanganmu dan jangan karena ketamakan dan kerakusan, engkau pertaruhkan harta tersebut demi harta yang lebih banyak namun belum pasti. Anda boleh mempertaruhkan harta yang sudah di tangan dengan dua syarat:

1. Keuntungan lebih yang Anda harapkan bersifat masuk akal dan sangat mungkin untuk diraih, selain halal menurut pandangan syariat.

2. Anda meraihnya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum agama.

Pesan Imam Ali as ini pada hakikatnya bertujuan mencegah manusia agar tidak terjerumus pada perilaku rakus dan tamak, yakni mengimbau manusia untuk tidak mempertaruhkan harta di tangannya demi sesuatu lebih yang tak pasti semata-mata untuk memuaskan kerakusan serta ketamakannya. Tentu perbuatan yang seperti ini tidak benar menurut akal sehat selain tercela dari sudut pandang agama. Muaranya tidak lain adalah ketidakpercayaan kepada Allah Swt (sehingga membuat seseorang ingin menumpuk dan terus menumpuk harta demi menggaransi kebutuhannya sepanjang hidup).

Ujian Bagi Manusia adalah Sebuah Keharusan Berdasar pada Sunah Ilahi

Manusia harus mencari sumber penghidupan bagi dirinya. Telah menjadi sunah Ilahi (baca: ketentuan Allah Swt),

p: 174

bahwa manusia harus berusaha untuk mencari rezekinya di kehidupan dunia ini. Allah Swt tidak menginginkan manusia duduk berdiam diri dan menanti rezekinya turun dari langit. Meskipun terkadang Allah Swt berdasar pada hikmah-hikmah tertentu menurunkan maidah atau hidangan dari langit. Akan tetapi, mengapa Allah Swt telah menentukan bahwa manusia harus berusaha mencari sumber penghidupannya sendiri? Jawabannya adalah karena di dalam pencarian itu sendiri terkandung beragam hikmah dan manfaat. Banyak maslahat serta efek positif berada di balik usaha dan kerja mencari rezeki. Ketika manusia diuji dalam mencari beragam keutamaan dan fadilah, maka dia akan berhadapan dengan dua pilihan jalan, yakni dia harus memilih mana jalan yang benar agar tidak terjerumus dalam jalan yang salah, dia harus memilih perbuatan yang baik agar tidak jatuh dalam perbuatan yang buruk, dia harus memilih cara yang benar dari cara yang

keliru dan dia juga harus memilih mana yang diridai oleh Allah Swt serta menghindarkan diri dari yang tidak diridai-Nya. Apabila seseorang tidak memasuki arena ujian dalam hidupnya, dia tidak akan menghadapi beragam peristiwa serta tantangan yang akan menentukan nasibnya.

Manusia harus mencari serta menemukan perkembangan serta penyempurnaan diri di balik usaha dan perjuangan hidup. Dengan kata lain, dunia dengan berbagai macam ujian, kesulitan serta perjuangan di dalamnya dicipta agar manusia berhadapan dengan dua pilihan, dan dengan memilih jalan yang benar dia akan mencapai tujuan serta kesempurnaan dirinya. Ditegaskan dalam al-Quran: Liyabluwakum ayyukum ahsanu amalan, yakni untuk menguji mana di antara kalian

yang baik amalnya.(1) Nah, apabila manusia tidak memasuki medan laga kehidupan, dia tidak akan mengalami ujian, dan tidak ada proses perkembangan serta penyempurnaan diri baginya. Semakin manusia menarik diri dari kehidupan sosial

p: 175


1- 50 QS. Hud (117:7.)

dan tidak terjun dalam beragam tantangan dan kesulitannya, maka dia akan semakin jauh dari berbagai manfaat serta efek positifnya.

Manusia harus berusaha mencari rezekinya sehingga dia dapat memilih serta memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Hal itulah yang akan menentukan kebahagian serta kesengsaraan dalam kehidupan (duniawi-ukhrawi)nya. Tentu yang dimaksud dengan rezeki di sini tidak terbatas pada makanan dan minuman, karena semua yang diinginkan oleh manusia seperti ilmu, kedudukan, pasangan hidup, anak dan lain sebagainya, seluruhnya merupakan anugerah Ilahi yang

harus diperjuangkan oleh manusia untuk mendapatkannya. Meskipun terkadang karena beberapa maslahat Allah Swt akan memberikan ilmu ladunni bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya, tetapi yang secara umum menjadi sunah Ilahi adalah agar manusia mendapatkan anugerah ilmu dengan berjuang, berusaha dan belajar keras, demikian pula halnya dengan anugerah-anugerah yang lain seperti kedudukan, harta, pasangan hidup, putra-putri dan lain sebagainya.

Bekerja keras Dibarengi Tawakal adalah Jalan Tengah yang Harus Ditempuh

Kita tidak boleh lupa, kebanyakan orang dalam menjalani hidupnya sering terjatuh dalam sikap ifrath dan tafrith (yakni berlebihan atau kurang sama sekali). Sebagian orang sedemikian keras memeras keringat dan membanting tulang dalam mencari harta seakan Allah Swt tidak kuasa untuk membantunya. Ada orang-orang yang menghabiskan seluruh waktu untuk mencari dan menumpuk harta, dia akan terus terdorong untuk mencari dan terus mencari tanpa jeda. Sebaliknya, ada juga orang-orang yang karena kemalasan bekerja atau salah dalam memahami maksud jaminan rezeki dari Allah, mengatakan bahwa kita akan mendapatkan rezeki

p: 176

yang telah ditakdirkan bagi kita; dengan kata lain, kita hanya akan mendapatkan apa yang telah ditakdirkan. Dengan pemahaman seperti itu, mereka merajut alasan

untuk hidup mengangggur, bermalas-malasan dan tidak bekerja. Jelas sekali, dua pandangan serta perilaku di atas adalah salah dan keliru. Manusia harus emahami bahwa rezekinya itu dari Allah dan hanya memohon kepada-Nya, namun pada saat yang sama dia juga harus menerima kerja keras dan usaha sebagai sebuah tanggung jawab dan kewajiban. Tentu tidaklah mudah untuk menentukan batasan usaha dan bekerja. Juga tidak mudah untuk menentukan sejauh apa manusia harus bertawakal dan bersandar kepada Allah Swt, namun di sini terdapat jalan tengah yang dapat membebaskan manusia dari perilaku ifrath dan tafrith.

Manusia tidak boleh jatuh dalam kerakusan serta ketamakan (ifrath), juga tidak boleh jatuh dalam bermalas-malasan dan mau hidup enak tanpa bekerja (tafrith).

Dalam kaitan ini Imamul Muttaqin (Pemimpin Orang- Orang yang Bertakwa) Ali bin Abi Thalib as berkata, “Carilah (harta dunia) sewajarnya, karena apa yang sudah menjadi bagianmu pasti akan mendatangimu.” Banyak orang yang berusaha keras dalam mencari harta, namun yang didapatkan hanya sedikit atau dia kehilangan harta dengan mudah yang telah dikumpulkan dan mati kelaparan. Betapa banyak hartawan kaya raya yang pada akhir hidup mati kelaparan; mereka dihadapkan pada situasi dan kondisi tertentu sehingga tidak mampu untuk mencari sesuap makanan dan seteguk minuman. Sebaliknya, ada orang-orang miskin yang tidak berdaya dan tidak mempunyai apa-apa, namun akhirnya menjadi kaya raya dan berlimpah harta. Berbagai peristiwa, kejadian serta pengalaman tersebut telah mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua hal berada di bawah kendali diri sehingga kita dapat mewujudkan segala yang kita inginkan. Akan tetapi,

p: 177

pada hakikatnya ada kekuatan lain yang memegang kendali penuh atas segala sesuatu. Oleh sebab itu, kita tidak boleh bersandar hanya pada ikhtiar dan usaha kita, dan kita tidak boleh beranggapan bahwa apa yang kita dapatkan sepenuhnya bergantung pada usaha dan kerja keras kita. Dengan kata lain, semakin sedikit usaha yang kita lakukan, akan semakin sedikit pula apa yang kita peroleh. Yang benar adalah kita harus menjalankan apa yang menjadi kewajiban serta tanggung jawab kita, namun yang menentukan segala-galanya hanyalah Allah Swt. Kita harus senantiasa memohon kepada-Nya untuk memberikan apa yang terbaik buta diri kita.

Prinsip umum ini berlaku baik pada anugerah-anugerah materi seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya, juga berlaku pada anugerah-anugerah maknawi seperti ilmu, makrifat, kebersihan hati dan beragam kesempurnaan diri. Manusia harus bekerja keras dan berusaha maksimal, namun yang menentukan segala-galanya adalah Allah Swt bukan selain-Nya. Adakalanya Allah Swt memberikan rezeki yang berlimpah atau ilmu yang banyak kepada sebagian orang tanpa sedikitpun usaha, bahkan tidak terpikirkan oleh si penerima anugerah tersebut. Dalam kaitan ini Rasulullah saw pernah berkata, “Inna lirabbikum fi ayyami dahrikum nafahat...(1), yakni, terkadang Allah Swt memberikan kelapangan-kelapangan dalam hari- hari hidup kalian.” Kelapangan-kelapangan baik dalam

hal materi maupun nilai-nilai maknawi yang tak pernah diusahakan bahkan dimimpikan sekalipun. Sebagai misal, terkadang seseorang mendapatkan anugerah maknawi berupa kekhusukan dalam ibadah sehingga menariknya untuk bangun setiap malam dan berdoa sepanjang sahur. Namun, ada juga

p: 178


1- 51 Majlisi, Bihar al- Anwar, jil. 71, hal.321, riwayat ke-30 dan jil.83, hal 352, riwayat ke-4.

orang-orang yang berusaha keras untuk mendapat suasana hati yang khusuk seperti itu dan tak kunjung berhasil. Tentu, tidak tercapai dan teraihnya tujuan-tujuan materi dan maknawi yang diusahakan, tidak boleh membuat kita berhenti dan menyerah dan melepas tanggung jawab. Sebagai misal, karena saya tidak dapat salat dalam keadaan khusuk, maka apa artinya bagi saya untuk melakukan salat malam. Bagaimanapun juga, melakukan ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah tugas dan kewajiban kita dan harus tetap dilakukan. Namun tercapainya suasana ibadah yang khusuk dan peningkatan sisi rohani sepenuhnya ada di tangan Sang Maha Segala-galanya.

Kekhawatiran yang Rasional

Pada bagian berikut wasiat Imam Ali as, terdapat dua ungkapan dan keterangan indah yang sepintas saling bertentangan. Pada satu sisi beliau berkata, “Jangan

pertaruhkan apa yang sudah ada di tanganmu dengan harapan mendapatkan yang lebih banyak”; sementara selanjutnya beliau berkata, “Pedagang adalah orang yang membahayakan dirinya, karena boleh jadi pedagang bukan hanya tidak mendapatkan keuntungan, akan tetapi seluruh modalnya juga ikut hilang, bahkan lebih daripada itu dia masih bertanggung jawab atas utang akibat kerugian dalam perdagangan." Dalam menjelaskan kekaburan ini, para pensyarah dan penafsir kalam Imam Ali as berpendapat bahwa dua keterangan di atas masing-masing menitikberatkan pada suatu hal tertentu, yakni keterangan pertama hendak menjelaskan

sesuatu dan keterangan yang kedua hendak menjelaskan sesuatu yang lain. Dalam keterangan wa la tukhathir bisyai'in raja'a aktsara minhu, maksudnya adalah jangan sampai karena perhitungan-perhitungan yang tidak masuk akal, engkau pertaruhkan hartamu demi meraih yang lebih banyak dan

p: 179

pada akhirnya engkau akan kehilangan harta yang sudah ada di tangan. Di sini Imam Ali as memperingatkan kita untuk tidak bergantung pada angan-angan yang irasional sehingga ketamakan akan menarik kita pada perhitungan-perhitungan yang tidak terukur sehingga berakibat pada kerugian hilangnya modal. Akan tetapi pada kalimat kedua, beliau berkata: “Wattajiru mukhathir”; pertama, beliau hendak menjelaskan meskipun kita dilarang mempertaruhkan harta di tangan karena ketamakan, namun kita tetap harus berani mempertaruhkannya dengan perhitungan-perhitungan yang terukur dan rasional. Manusia harus siap menghadapi tantangan dan kegagalan, sebagaimana seorang pedagang seperti itu adanya.

Kedua, beliau hendak menjelaskan bahwa sifat perdagangan dan seluruh urusan duniawi memang menuntut kita untuk mempertaruhkan sebagian yang kita miliki demi meraih manfaat serta keuntungan yang lebih. Petani yang menebar benih di ladang dengan harapan meraih keuntungan di masa panen, pada hakikatnya telah mempertaruhkan modal dan tenaganya; karena boleh jadi dia akan mengalami gagal panen karena satu dan lain hal. Meskipun ia mengetahui adanya risiko

itu, dia tetap harus melakukannya, karena jika tidak maka tidak akan terjadi penanaman. Hal yang sama berlaku dalam perniagaan. Orang yang berdagang sudah memperhitungkan baik keuntungan maupun kerugian yang mungkin diterima, namun itulah perdagangan. Jika semua orang menghindar dari kerugian dalam perdagangan, tidak akan pernah terjadi perdagangan, dan kita semua akan kesulitan membeli sesuatu serta meraih manfaat darinya. Oleh sebab itu, menantang

bahaya dalam hal ini merupakan perbuatan yang terpuji, karena kemungkinan kerugian termasuk sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari perdagangan, dan kenyataan ini dapat diterima berdasar pada perhitungan rasional. Akan tetapi, apabila perdagangan dilakukan tanpa perhitungan yang benar

p: 180

dan semata-mata hanya bersandar pada angan-angan serta ketamakan, maka menantang bahaya di sini menjadi sangat tercela. Karena perdagangan yang seperti ini, selain tidak akan mendatangkan keuntungan, justru akan mendatangkan kerugian yang besar. Kesimpulannya, menantang bahaya secara rasional, adalah perbuatan baik dan terpuji; sebaliknya, menantang bahaya tanpa perhitungan yang benar, adalah perbuatan buruk dan tercela. []

p: 181

p: 182

33-HUBUNGAN SOSIAL

Point

وَأَحْسِنِ الْبَذْلَ، وقُلْ لِلنَّاسِ حُسْنًا. وأیُّ کَلِمةِ حِکَم جَامِعَة أَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِکَ وَتَکْرَهُ لَهُمْ مَا تَکْرَهُ لَهَا. إِنَّکَ قَلَّ مَا تَسْلَمُ مِمَّنْ تَسَرَّعْتَ إِلَیْهِ، اَوْ تَنْدِمُ إِنْ تَتَفَضَّلَ عَلَیْهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مِنَ الْکَرَمِ الوَفَاءُ بِالذَّمَمِ، وَالصُّدُودُ آیَةُ المَقْتِ وَکَثْرَةُ الْعِلَلِ آیَةُ الْبُخْلِ، وَلَبَعْضُ إِمْسَاکِکَ عَلَی أَخِیکَ مَعَ لَطُف خَیْرٌ مِنْ بَذْل مَعَ جَنَف، وَمِنَ الْکَرَم(1)صِلَةُ الرَّحِمِ وَمَنْ یَثِقُ بِکَ أوْ یَرْجُوصِلَتَکَ اِذَا قَطَعْتَ قِرَابَتَکَ؟ اَلتَّجَرُّمُ وَجْهُ الْقَطِیعَةِ(2)، إِحْمِلْ نَفْسَکَ مِنْ اَخِیکَ عِنْدَ صَرْمِهِ إیَّاکَ عَلَی الصِّلَةِ، وَعِنْدَ صُدُودِهِ عَلَی اللُّطْفِ وَالْمُقَارَبَةِ، وَعِنْدَ جُمُودِهِ عَلَی البَذْلِ وَعِنْدَ تَبَاعُدِهِ عَلَی الدُّنُوِّ، وَعِنْدَ شِدَّتِهِ عَلَی اللِّینِ، وَعِنْدَ جُرْمِهِ عَلَی الْعُذْرِ حَتَّی کَأَنَّکَ لَهُ عَبْدٌ وَکَأَنَّهُ ذُوالنِّعْمَةِ عَلَیْکَ، وَإِیَّاکَ أَنْ تَضَعَ ذلِکَ فِی غَیْرِ مَوْضِعِهِ، أَوْتَفْعَلَهُ بِغَیْرِ أَهْلِهِ.

Berdermalah dengan baik dan berbicaralah kepada orang dengan ucapan yang baik pula. Alangkah indahnya kalimat hikmah yang mencakup segala kebaikan (berikut ini): Sukailah bagi orang lain apa yang engkau sukai bagi dirimu sendiri, bencilah bagi mereka apa yang engkau benci bagi dirimu sendiri. Sedikit sekali kemungkinan selamatmu apabila engkau tergesa-gesa (dalam memperlakukan) seseorang dan sedikit sekali kemungkinan penyesalanmu apabila engkau berbuat baik kepada seseorang. Ketahuilah, menepati janji merupakan kemuliaan, sedangkan berpaling adalah tanda

p: 183

kebencian serta dendam. Banyak alasan adalah tanda kebakhilan. Menolak pemberian kepada saudaramu (seagama) disertai kelembutan lebih baik daripada memberi disertai sikap yang kasar. Menyambung tali silaturahmi merupakan kebesaran jiwa; dan siapa yang akan percaya kepadamu atau berharap menyambung

hubungan silaturahmi denganmu apabila kamu memutus hubungan tali silaturahmi dengan kerabatmu sendiri. Bersikukuh pada perbuatan yang tidak baik akan menjadi sebab terputusnya tali silaturahmi. Apabila saudaramu berusaha memutuskan hubungan silaturahmi denganmu, paksalah dirimu untuk menyambungnya;

dan apabila dia berpaling darimu, jangan pernah berhenti untuk bersikap ramah terhadapnya; dan apabila dia menolak dan tidak mau berbagi denganmu, jangan berlaku bakhil terhadapnya; dan apabila dia berusaha menjauh darimu, maka berusahalah untuk mendekatinya; dan apabila dia berlaku kasar terhadapmu, tetaplah bersikap lembut kepadanya; apabila dia berbuat kesalahan, maka berbesarhatilah untuk memaafkannya. (Singkat kata), perlakukan saudaramu seakan dirimu adalah budaknya dan kesejahteraanmu ada di tangannya. Akan tetapi, jangan sampai kebaikan ini engkau berikan kepada seseorang yang tidak layak dan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini darimu.

Menurut pandangan akal sehat, hidup bermasyarakat merupakan suatu keharusan dan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Kekuatan yang mengajak manusia untuk hidup bermasyarakat, berikut tujuan serta alasan mengapa manusia menerima bentuk kehidupan yang seperti ini, juga mengajak manusia untuk menyusun sebuah format dan program yang mengatur hubungan antaranggota masyarakat demi teraihnya beragam tujuan serta harapan dari hubungan tersebut;

bila tidak ada format dan program tertentu, kehidupan bermasyarakat yang berjalan tanpa adanya undang-undang yang mengaturnya, tidak akan dapat memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan. Tidak ada manusia berakal yang mau menerima kehidupan bermasyarakat tanpa

p: 184

peraturan, dan sudah barang tentu mereka akan menghindar demi keselamatan diri dari efek negatifnya. Oleh sebab itu, satu-satunya bentuk kehidupan bermasyarakat yang bisa diterima dan didamba adalah sebuah kehidupan bermasyarakat yang bersandar pada serangkaian prinsip, undang-undang serta peraturan yang menjamin terwujudnya tujuan-tujuan mulia insani. Karena hidup bermasyarakat sepanjang sejarah kehidupan umat manusia adalah sebuah keharusan, selain juga merupakan tuntutan akal sehat, maka mau tidak mau harus dikaji serta dipelajari apa yang seharusnya menjadi dasar serta prinsip bagi bentuk kehidupan yang seperti ini dan apa saja yang dapat menguatkan serta menciptakan keharmonisan di dalamnya.

Peran Hubungan Sosial dalam Evolusi Serta Takamul

Manusia Tema bahasan wasiat yang disampaikan oleh Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as pada bagian ini, adalah masalah etika sosial dan hubungan antara manusia satu sama lain. Sudah menjadi keyakinan kita, apa saja yang telah Allah Swt ciptakan di alam semesta ini, tanpa sedikitpun diragukan, adalah nikmat bagi seluruh umat manusia. Tentu kita memiliki keterbatasan ilmu untuk memahami semua bentuk hubungan antara fenomena-fenomena alam satu

dengan lainnya secara sempurna. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, dari waktu ke waktu ilmu umat manusia bertambah dan mereka semakin memahami rahasia hubungan antarfenomena alam serta filosofinya. Sebagai misal, (dahulu) kita tidak memahami apa hubungan yang ada antara galaksi Bima Sakti dengan galaksi lain. Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kita menyadari bahwa seluruh bagian alam semesta ini saling terkait dan

berhubungan dalam sebuah sistem yang luar biasa. Dalam pandangan pertama, boleh jadi kita mengira bahwa maujud-

p: 185

maujud di alam semesta ini satu terpisah dengan yang lain; namun perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan pencerahan bahwa bagian-bagian alam ini saling terkait dan saling berpengaruh. Sekarang telah terbukti bahwa fenomena-fenomena seperti terbitnya matahari, pergerakan planet-planet, terbit dan tenggelamnya bintang-bintang, jatuhnya meteor dan batu-batu langit, hembusan angin dan lain sebagainya, mempunyai pengaruh yang sangat penting pada maujud-maujud di bumi. Fenomena-fenomena langit dan bumi, tumbuhnya tanaman, berkembangbiaknya hewan-hewan dan pergerakan benda-benda langit seluruhnya saling berpengaruh. Hal ini terus berlangsung sementara manusia masih tidak mengetahui secara sempurna dan detail manfaat serta faedah dari berbagai macam fenomena yang ada. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan telah terbukti bahwa ada beberapa maujud yang selama ini dianggap berbahaya, merugikan dan harus dilenyapkan, justru berguna bagi kehidupan sosial dan individu, bahkan boleh jadi manusia dalam menjaga keselamatan jiwanya harus mengambil manfaat darinya. Sebagai contoh, kini telah diketahui bahwa beberapa jenis ular dan kalajengking sangat berguna untuk menjaga keselamatan jiwa manusia dan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan jenis-jenis hewan tersebut. Dengan kata lain, justru hewan-hewan yang sebelum ini dianggap berbahaya dan berusaha untuk disingkirkan, sekarang telah diketahui sangat berguna dan menjadi obat bagi penyakit-penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan.

Perkembangan ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa binatang-binatang yang tampak sangat berbahaya dan merugikan ternyata mempunyai banyak sekali manfaat; pada hakikatnya mereka telah dicipta bukan sebagai pengganggu, namun sebagai sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat. Oleh sebab itu, kini telah diyakini bahwa pada seluruh alam semesta telah berlaku sebuah sistem terpadu dan kokoh yang

p: 186

di dalamnya setiap maujud berada di bawah payung sistem tersebut dan saling menyempurnakan. Perkembangan ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa tidak hanya manusia saja yang saling menyempurnakan, tetapi seluruh keberadaan di alam ini saling terkait, saling berpengaruh dan saling menyempurnakan.

Tentu di dalam kumpulan ini, manusia mempunyai perbedaan yang mendasar dengan makhluk-makhluk lain. Manfaat dan bahaya seluruh makhluk satu dengan yang lain bersifat natural dan takwini, berbeda halnya dengan bahaya serta manfaat manusia yang secara umum mengikuti kehendak dan kemauan manusia itu sendiri. Sebagaimana halnya perkembangan serta evolusi manusia dari sisi maknawi dan rohani itu mengikuti kehendak serta kemauannya sendiri, demikian pula halnya dengan manfaat manusia bagi manusia yang lain yang juga bergantung pada kehendak serta kemauannya. Oleh sebab itu, manusia mempunyai kemampuan penuh untuk mengemas hidupnya sehingga bermanfaat serta saling menguntungkan bagi sesama, sebagaimana dia juga dapat membuat hidupnya menjadi bencana serta malapetaka bagi manusia lainnya. Dengan kata lain, manusia bisa mengemas hidup menjadi saling menguntungkan antarsesama atau saling merugikan. Manusia setiap saat bisa mengubah bentuk hubungannya dengan sesama, sebagaimana dia juga dapat mengubah nikmat-nikmat Allah yang lain menjadi bencana. Di dalam al-Quran telah ditegaskan, Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah mengubah nikmat Allah dengan pengingkaran (kekufuran) dan menjatuhkan kaumnya pada lembah kebinasaan.(1)

Di antara sekalian makhluk yang ada di alam semesta ini, manusia mempunyai keistimewaan serta kekhususantersendiri, yaitu manfaat serta bahaya diri mereka terhadap sesama atau makhluk-makhluk yang lain bergantung pada

p: 187


1- 52 QS. Ibrahim (14]:28.

kehendak serta ketentuannya sendiri. Hal itu disebabkan Allah Swt telah menciptakan manusia dengan ikhtiar (free will), meskipun Allah Swt telah membimbing manusia agar mengikuti serta mencontoh para suri teladan yang diutus- Nya agar dapat menjadikan hidupnya selalu bermanfaat dan tidak merugikan yang lain. Sebagaimana telah mendapat perintah untuk menyembah serta mengabdi kepada Allah Swt, manusia juga dalam kehidupan sosial mendapat perintah untuk mengatur kehidupannya sedemikian rupa hingga bisa bermanfaat bagi selainnya. Lebih jelasnya, tujuan utama dan tertinggi dari konsep kehidupan sosial Islam adalah agar manusia bisa saling menyempurnakan dan saling memberikan manfaat serta keuntungan satu dengan yang lain. Dengan harapan agar mereka dapat semaksimal mungkin menggunakan nikmat-nikmat materi serta nonmateri Ilahi dalam rangka menyempurnakan serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.

Dalam lingkungan yang baik, manusia dapat bertakamul dan melangkah di jalan penyempurnaan diri secara lebih cepat dan lebih baik. Akan tetapi, apabila manusia hidup dalam sebuah lingkungan yang saling bermusuhan dan tidak kondusif, ketika terjadi konflik di dalam keluarga, antartetangga, antarkota dan lain sebagainya, maka sudah barang tentu manusia akan sulit menyempurna dalam situasi dan kondisi yang seperti itu. Dalam situasi perang dan konflikseperti di atas, seluruh energi dan potensi akan terkuras untuk menghadapi perseteruan serta penyelesaiannya, dan tidak tersisa lagi kesempatan bagi manusia untuk berpikir tentang

tujuan-tujuan hidup yang ideal. Bahkan boleh jadi manusia akan mengalami kemunduran yang luar biasa. Oleh sebab itu, kehidupan bermasyarakat harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat tercipta suasana yang tenteram, teratur, penuh keadilan dan saling menghormati serta menghargai

p: 188

antarsesama, sehingga manusia dapat melangkah menuju kesempurnaan serta evolusi yang positif. Kendatipun Allah Swt telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga manusia tetap mampu mengambil keputusan yang terbaik dalam situasi dan kondisi yang terburuk, namun hal itu tidaklah mudah dan tidak semua

manusia mampu bertahan dalam situasi dan kondisi yang sangat buruk. Pada situasi dan kondisi apa pun manusia dapat melangkah menuju Allah Swt serta menjalankan apa yang menjadi tugas serta kewajibannya. Akan tetapi, hal itu tidak mudah dan tidak banyak orang yang mampu bertahan dalam memegang kendali diri dan tidak terpengaruh dalam situasi yang tidak kondusif. Mungkin hanya beberapa gelintir manusia saja yang tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi

yang buruk dalam melakukan perjalanan takamul maknawi.

Prinsip Umum dalam Berbagai Hubungan Sosial

Apabila semua manusia menginginkan situasi dan kondisi yang kondusif dalam berkembang, mereka harus membangun hubungan yang sehat dan baik antarsesama. Hubungan yang seperti itu hanya dapat terwujud apabila asas kehidupan bermasyarakat berdasar pada kasih sayang, ketulusan dan kesantunan. Namun apabila kehidupan bermasyarakat dibangun di atas dasar kebencian, kedengkian, dendam, permusuhan, tipu daya dan egoism, masyarakat seperti itu

tidak akan pernah mengecap kehidupan yang damai dan tenteram. Masyarakat seperti itu tidak akan dapat melangkah menuju kesempurnaan maknawi. Semakin banyak cinta serta kasih sayang di antara individu masyarakat, maka masyarakat itu akan semakin membaik dan berpotensi besar untuk terus maju dan berkembang. Sebaliknya, semakin banyak dendam, permusuhan dan egoisme di antara individu masyarakat, maka masyarakat itu akan semakin jauh dari kebaikan serta kemaslahatan, dan sangat sulit untuk melangkah maju dalam

p: 189

proses takamul maknawi (baca: kesempurnaan rohani). Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat dapat menuju kebahagiaan serta kemajuan apabila berdasar pada kasih sayang yang tulus antarindividunya. Oleh sebab itu, seluruh nilai etika sosial Islam berdasar serta berakar pada hubungan yang penuh ketulusan, cinta serta kepedulian antarsesama. Sebelum ini telah disebutkan sebuah prinsip umum dan universal yang oleh Imam Ali as diberi predikat sebagai sebaik-baik kalimat hikmah yang bersifat komprehensif. Sebagaimana beliau as tegaskan, “Dan alangkah indahnya kalimat hikmah yang mencakup segala kebaikan (berikut ini): Sukailah bagi orang lain apa yang engkau sukai bagi dirimu sendiri; dan bencilah bagi mereka apa yang engkau benci bagi dirimu sendiri.” Perlakukan orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu dan jadikanlah dirimu pada posisi orang lain. Dalam segala bentuk dan tingkat hubungan antarmanusia, terdapat satu neraca yang dapat membuat hubungan menjadi hubungan yang sangat ideal dan berkualitas tinggi, yaitu “jadikanlah dirimu sebagai orang lain dan orang lain sebagi dirimu!" Dalam bentuk seperti itulah hubungan antarmanusia akan menjadi begitu indah, sehat dan sempurna. Semua individu masyarakat harus berpegang teguh pada prinsip ini dalam berbagai macam hubungan yang mereka jalin, seperti hubungan antara suami dan istri, orang tua dan anak, antartetangga, antarteman dan

seterusnya.

Apabila dalam lingkungan keluarga, Anda hendak mengetahui apa yang seharusnya Anda lakukan terhadap pasangan, anak, ayah atau ibu, maka Anda tinggal

membayangkan apabila diri Anda berada di tempat mereka dan mereka berada di posisi Anda, perlakuan seperti apa yang sebenarnya ingin Anda dapatkan dari mereka. Nah, dengan membayangkan diri berada pada posisi mereka, maka Anda dengan baik dapat memahami perlakuan apa yang seharusnya

p: 190

Anda berikan kepada mereka. Dengan demikian, apabila kita menginginkan sebuah prinsip umum dan komprehensif yang dapat menjadi neraca yang kuat dalam menjalin hubungan yang ideal dan bagaimana kita seharusnya memperlakukan orang lain, maka langkah yang kita ambil adalah dengan memosisikan diri kita pada posisi orang lain, sehingga dengan begitu kita dapat memahami apa yang seharusnya kita lakukan terhadap mereka; kita akan dengan mudah mengetahui

perlakuan seperti apa yang baik dan perlakuan seperti apa yang buruk.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, prinsip dan neraca ini dapat berlaku pada segala bentuk hubungan antarmanusia, seperti hunbungan antara orang tua dan anak, suami istri, antarsaudara, antartetangga dan seterusnya. Sebagai misal dalam hubungan antara orang tua dan anak. Apabila seorang ayah tidak mengetahui apa yang harus dia lakukan terhadap anaknya, maka si ayah tinggal memosisikan dirinya sebagai anak dan mulai berpikir, kira-kira perlakuan

apa yang saya inginkan sebagai seorang anak dari ayahnya. Nah, apabila dia telah menemukan sebuah perlakuan yang sesuai, perlakuan itulah yang harus dia terapkan kepada anaknya. Demikian pula halnya perlakuan terhadap tetangga; apabila Anda mempunyai tetangga dan Anda sedang mencari perlakuan yang benar dan baik terhadap tetangga, maka Anda harus memosisikan diri Anda sebagai tetangga dan perlakuan seperti apa yang Anda inginkan dari tetangga Anda. Nah, bila Anda telah menemukan suatu perlakuan yang menurut Anda baik, perlakukanlah tetangga tersebut dengan apa yang Anda sukai bila Anda berada di posisinya. Singkat kata, perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan oleh mereka. Prinsip ini bisa diterapkan di mana saja dan kapan saja, dan oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tidak ada prinsip yang lebih komprehensif berkaitan dengan hubungan sosial serta etikanya daripada prinsip ini.

p: 191

Menurut sebagian riwayat, konsep perilaku yang seperti ini dikategorikan dalam hak-hak antarmuslim dan mukmin. Ada juga beberapa penjelasan seputar prinsip etika ini. Dalam sebuah riwayat Imam Ja'far Shadiq as berkata, “Hak seorang muslim atas muslim yang lain adalah (masing-masing) menginginkan kebaikan bagi yang lain.”(1) Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Hak seorang mukmin atas mukmin yang lain adalah memperlakukan sauadaranya sebagaimana dia suka untuk diperlakukan seperti itu.(2) Atau dalam riwayat lain ditegaskan: “Setiap muslim bertanggung jawab untuk memperlakukan muslim yang lain dengan perlakuan yang dia sendiri suka diperlakukan seperti itu.” Bentuk lebih umumnya adalah agar setiap manusia memperlakukan orang lain sebagaimana dia suka diperlakukan seperti itu. Hal ini disebabkan hubungan antara manusia satu dengan yang lain mempunyai tingkatan yang berbeda- beda. Salah satu tingkatannya adalah hubungan antarsesama mukmin yang menuntut level tertentu dari perhatian dan cinta. Demikian pula halnya hubungan antarsesama muslim yang berada sedikit di bawah level hubungan antarsesama mukmin. Selanjutnya adalah hubungan antar sesama manusia yang bersifat lebih luas daripada hubungan antarmukmin dan antarmuslim. Namun, pada kesemuanya tetap harus berlaku kaidah umum etika sosial, yakni bagaimana kita perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan seperti itu. Dengan kata lain, kita harus memosisikan diri kita di posisi orang lain sehingga kita mengetahui bagaimana seharusnya perlakuan kita terhadap orang lain.

p: 192


1- 53 Kulaini, Al-Kafi, jil.2, hal. 171.
2- 54 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.7, hal.238.

Nah, kini setelah kita memosisikan diri kita pada posisi orang lain, lalu sejauh apa kita harus menunjukkan rasa peduli dan kecintaan terhadapnya. Tentu, kepedulian dan kecintaan kita terhadap orang-orang yang menjalin hubungan sosial dengan kita tidak dapat di samaratakan secara menyeluruh. Pertanyaannya adalah, sejauh apa kita perlakukan dia sebagaimana kita ingin diperlakukan olehnya? Apa yang dapat menjadi neraca serta ukurannya? Ukurannya adalah sejauh apa hubungan kita dengannya. Artinya semakin kuat dan dalam jalinan serta hubungan kita dengan seseorang, maka semakin kuat dan dalam pula kecintaan serta kepedulian kita terhadapnya. Sebagai misal, apabila kita berhubungan dengan seorang muslim, kepedulian kita akan berlipat ganda dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Sedangkan bila kita berhubungan dengan seorang mukmin, kepedulian kita akan menjadi lebih meningkat lagi. Apabila seorang mukmin itu adalah tetangga kita, kepedulian akan lebih tinggi lagi. Demikian halnya apabila orang mukmin itu adalah orang tua kita, maka kepedulian akan semakin meningkat lagi dan begitulah seterusnya. Dengan demikian, sesuatu yang menjadi neraca dan ukuran bukanlah satu poin tertentu, karena boleh jadi ada banyak sisi, tingkatan dan unsur yang terlibat di dalam hubungan antra manusia. Dalam lanjutan wasiatnya, Imam Ali as berkata, “Sedikit sekali kemungkinan selamatmu apabila kamu tergesa-gesa (dalam memperlakukan seseorang; dan sedikit sekali kemungkinan penyesalanmu apabila kamu berbuat baik kepada seseorang." Pada bagian ini beliau hendak menjelaskan bahwa tidak semua hubungan yang terjadi antara kita dengan orang lain itu selalu menyenangkan. Bila ditanyakan apakah manusia berhak untuk

tidak suka dengan perlakuan orang lain atau tidak berhak (dan bolehkah seseorang mengekspresikan ketidaksukaannya atas perlakuan orang lain), tentu membutuhkan penjelasan yang

p: 193

panjang lebar dan bukan di sini tempatnya. Yang menjadi topik di sini adalah apabila seseorang hanya karena tidak suka atau tidak puas dengan perlakuan yang dia terima dari orang lain lalu dia memberikan reaksi yang keras dan kasar tanpa perhitungan yang matang, maka dapat dipastikan orang tersebut tidak menjalankan prinsip umum etika sosial di atas; karena yang dituntut adalah agar dia memperlakukan orang lain sebagaimana dia suka diperlakukan oleh orang lain.

Pertanyaannya adalah apabila Anda berada di posisi orang tersebut, apakah Anda mau diperlakukan kasar secara tergesa-gesa tanpa penelitian lebih jauh? Atau Anda ingin agar mereka bersabar dan melakukan penelitian lebih jauh sehingga dapat memberikan sikap yang sepantasnya Anda terima? Boleh jadi, setelah berlalunya waktu, kita baru menyadari bahwa sikap kita seharusnya lebih lembut dan lebih lunak, dan tidak kasar seperti yang telah terjadi. Nah, apabila sikap kita bertentangan dengan prinsip umum etika di atas dan kita telah memperlakukan orang lain dengan sikap yang kasar tanpa tabayyun, dan kita telah memperlakukannya dengan perlakuan yang tidak terukur dan terkontrol, apakah kita masih berharap bahwa perlakuan kita yang keliru akan memberikan hasil dan dampak yang positif? Sangat jarang, perlakuan serta penyikapan yang tidak terukur akan berakhir dengan sesuatu yang baik dan tidak merugikan. Pada umumnya, perlakuan dan penyikapan yang salah justru akan mendatangkan dampak serta akibat yang sangat berbahaya dan merugikan. Akan tetapi, apabila kita menghadapi perlakuan yang tidak baik dengan kepala dingin serta penyikapan yang bijak, maka boleh jadi si pelaku akan menyadari kesalahan, menyesal dan memohon maaf kepada kita, dan dia akan meninggalkan perbuatan buruknya.

Pada umumnya, dalam masalah-masalah seperti ini penyikapan dengan “memberikan balasan yang setimpal tidak

p:100

p: 194

akan efektif dalam menyadarkan si pelaku keburukan. Boleh jadi reaksi keras dan tidak terukur kita, justru akan membuat si pelaku keburukan bertambah liar, melawan dan semakin bersemangat dalam keburukannya (lajajah). Penyikapan yang tepat dan berjiwa besar atas pelaku keburukan, besar kemungkinan akan membuatnya malu dan menyesali perbuatan buruknya.

Tanda Kebakhilan

Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat sering kali terjadi hubungan antara dua pihak dalam sebuah kesepakatan dan masing-masing pihak berkewajiban untuk

menunaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini dalam istilah fikih biasa disebut dengan ikatan akad. Tak diragukan, dalam ikatan akad masing-masing pihak berkewajiban untuk melakukan apa yang telah menjadi kesepakatan. Di dalam al-Quran telah ditegaskan: Awfu bi al-'uqud, yakni tunaikan dan penuhilah apa yang telah tertuang dalam akad-akad.(1) Akan tetapi, adakalanya tanggung jawab itu hanya dipikul oleh salah satu pihak saja. Misalnya, seseorang yang menampilkan dirinya sebagai penjamin sesuatu kepada seseorang, seperti apabila dia menjadikan dirinya sebagai penjamin sebuah utang- piutang atau cek giro dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tanggung jawab hanya dipikul oleh satu pihak saja, karena bukan merupakan sebuah akad antara dua pihak dan tidak memerlukan proses ijab-kabul. Dengan kata lain, orang tersebut telah menunjukkan sebuah kedermawanan dan kebesaran jiwa dengan menjadikan dirinya sebagai penjamin dan penanggung jawab bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Sudah barang tentu orang seperti ini berdasar pada kemuliaan serta kebesaran jiwanya tidak akan mangkir dan berpaling dari apa yang telah diucapkannya.

p: 195


1- 55 QS. al-Maidah [5]:1.

Dalam hubungan sosial juga ditemukan hubungan antarteman dan karib, sehingga seseorang berdasarkan ikatan pertemanan meminta dan memohon sesuatu kepada temannya dalam bentuk pemberian tanpa ada syarat tertentu. Tentu apabila ikatan pertemanan itu benar-benar ada, maka seseorang akan dengan mudah memberikan apa yang menjadi permintaan serta keinginan temannya tanpa sedikitpun perasaan berat hati. Namun, apabila yang terjadi adalah penolakan dan pengungkapan berbagai macam alasan untuk tidak memberi, maka dapat dipastikan bahwa antara keduanya tidak ada ikatan pertemanan yang sebenar-benar pertemanan. Boleh jadi penolakan dengan menderetkan segudang alasan itu adalah pertanda bahwa si fulan adalah sosok yang bersifat bakhil dan kikir. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menegaskan, ”Dan berpaling adalah tanda kebencian serta dendam. Banyak alasan (untuk menolak) adalah tanda kebakhilan.”

Apabila seseorang datang kepadamu dan mengharapkan sesuatu darimu, jangan biarkan dia pulang dengan tangan hampa, karena orang dermawan dan murah hati tidak akan pernah mengecewakan pemintanya. Bahkan, seandainya pun Anda bukan orang yang dermawan dan murah hati, maka setidaknya tanggung jawab kemanusiaan dan pertemanan menuntut Anda untuk memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, apabila seseorang dengan

beragam alasan menolak permintaan temannya, sesungguh dia telah memutus hubungan pertemanan. Bagaimanapun juga, merangkai alasan untuk menolak

permintaan seorang teman adalah tanda kebakhilan. (Setelah menderetkan beragam alasan) orang bakhil akan berkata, “Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu.” (Sebenarnya si bakhil bukan tidak bisa, namun dia tidak ingin untuk mengabulkan permintaanmu). Mungkin Anda pernah mendengar metafora

berikut.

p: 196

Ada seorang bakhil hidup di tempat yang jauh dari para sahabat dan karib kerabatnya. Suatu hari tetangganya meminta pertolongan kepadanya dan berkata, “Izinkan kami untuk menjemur pakaian pada tali jemuranmu.” Si bakhil kemudian menjawab, “Kami sedang menjemur gandum di atasnya." Padahal tidak mungkin gandum dijemur di atas tali, itu hanya alasan yang dibuat untuk tidak meminjamkan tali jemuran. Ketika seseorang sudah tidak mau untuk melakukan sesuatu, maka dia akan mencari seribu macam alasan. Apabila Anda menyaksikan seseorang yang dalam melakukan sebuah pekerjaan atau menjawab permintaan orang lain secara terus menerus mengemukakan berbagai macam alasan, pastikan bahwa dia adalah orang yang bakhil dan dia tidak mau melakukan pekerjaan tersebut. Apabila dia bukan orang bakhil, dia tidak akan merangkai alasan dan mempersulit perkara, tetapi dengan kebesaran jiwa dia akan segera melakukan pekerjaan itu atau memberikan apa yang menjadi kebutuhan orang miskin dengan lapang dada dan hati yang terbuka tanpa menunda-nundanya. Orang yang tidak bakhil suka sekali dan senang untuk bisa berkhidmat dan membantu orang lain.

Prinsip Berbagi dan Berderma

Berbagai kegiatan ekonomi sosial, seperti berbagi, menyantuni dan berderma merupakan sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitan ini, Imam Ali as memberikan sebuah rumusan universal dan komprehensif, yang dengan menjaga satu pesan etika ini dapat terwujud sebuah kehidupan sosial yang berdasar pada kepedulian serta kasih sayang. Rumusan itu adalah: "Meninggalkan segala macam bentuk pemberian dan derma yang disertai pengundatan, penganiayaan, cacian dan penghinaan.” Apabila kita selesai mengapresiasi rumusan etika di atas dari sisi sosial dan kita mulai memandangnya dari

p: 197

sudut pandang yang lain, rumusan tersebut sebenarnya dapat menjadi dasar bagi setiap kegiatan ekonomi yang baik.Beliau menegaskan, “Menolak pemberian kepada saudaramu (seagama) disertai kelembutan lebih baik daripada memberi disertai sikap yang kasar." Meskipun santunan dan derma merupakan perbuatan yang sangat terpuji dan berguna dalam mempererat hubungan kemasyarakatan, namun tidak adanya pemberian dan derma bisa lebih baik apabila pemberian dan derma itu disertai dengan kasar dan melukai perasaan si penerima santunan. Banyak sekali orang yang berderma dan memberikan santunan, namun perbuatan baik itu mereka nodai dengan penganiayaan dan pengundatan. Dengan begitu, maka perbuatan yang baik dan mulia itu serta merta berubah menjadi keburukan. Dalam kaitan ini Allah Swt telah memberikan rambu-rambu, “La tubthilu shadaqatikum bi al- manni wa al-adza, yakni: “Janganlah kalian rusak (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya (pengundatan) serta menyakiti (perasaan si penerima)."(1)

Dengan demikian, tidak memberi santunan dan tidak berderma akan jauh lebih baik daripada berderma dan menyantuni dengan sikap yang kasar dan tidak menjaga

perasaan si penerima. Tak sedikitpun diragukan bahwa demi terjaga serta kokohnya hubungan antarmanusia dan lebih khusus lagi antara sesama mukmin, manusia harus saling menolong dan saling berderma, namun derma dan santunan itu harus bersih dari pengundatan serta perbuatan yang dapat menyakiti atau melukai perasaan si penerima santunan. Karena jika tidak begitu, maka tidak berderma dan tidak memberi dengan kelembutan akan jauh lebih baik daripada berderma dan memberi yang disertai kekasaran serta ketidaklembutan. Penting untuk diperhatikan, dalam berderma dan memberikan santunan, karib kerabat dan orang-orang

p: 198


1- 56 QS. al-Baqarah [2]:264.

terdekat harus diutamakan daripada yang lain. Salah satu dari perintah serta anjuran penting dalam Islam adalah menyambung tali silaturahmi dengan karib kerabat yang mempunyai pengaruh sangat penting dalam mengukuhkan hubungan sosial, dan termasuk di dalamnya adalah pemberian santunan serta bantuan kepada mereka. Namun patut disayangkan, kegiatan sosial ini sering terabaikan dan terlupakan, padahal bantuan dan santunan dapat memperkuat hubungan sosial dan kekerabatan. Urgensi dan manfaat dari jalinan sosial yang seperti ini harus secara terus menerus didengungkan dan dibicarakan, sehingga dapat menyadarkan

serta memotivasi masyarakat untuk saling berbuat baik dan berderma. Lebih daripada itu, perlu juga diingatkan bahwa memutus hubungan silaturahmi merupakan salah satu dari dosa-dosa besar. Bahkan, dalam situasi dan kondisi tertentu menyambung tali silaturahmi menjadi wajib hukumnya.

Jelas sekali, seluruh kerabat tidaklah sama dalam hal perhatian; tentu yang lebih dekat lebih berhak untuk mendapatkan perhatian dan santunan. Di antara yang dekat, tentu yang membutuhkan santunan lebih berhak untuk mendapatkan perhatian. Karib kerabat yang kaya seharusnya memberikan perhatian yang lebih pada karib kerabat yang miskin, sementara karib kerabat yang miskin juga jangan memutus hubungan silaturahmi dengan karib kerabat yang kaya. Tidak seharusnya karib kerabat yang miskin berkata demikian, “Mereka yang kaya tidak perlu kepada kami dan bila kami mendatangi mereka, pasti mereka akan berpikir bahwa kami

datang untuk menerima santunan dari mereka.” Hubungan silaturahmi tidak boleh terputus dengan alasan apa pun. Silaturahmi harus terus dijaga meskipun

hanya untuk menyapa serta menanyakan keadaan keluarga. Tentu, silaturahmi tidak boleh dilakukan dengan menjual atau menginjak-injak kemuliaan serta harga diri. Karena

p: 199

silaturahmi yang berakhir dengan menginjak-injak kehormatan diri bukanlah silaturahmi. Nuansa silaturahmi haruslah nunsa yang saling menghormati, saling menghargai dan saling berbagi hadiah. Tentu, silaturahmi tidak sama persis dengan membantu fakir dan miskin, karena membantu orang-orang fakir adalah tema yang berbeda dan mempunyai syarat-syaratnya sendiri. Dengan pemahaman seperti itu, tidak seharusnya karib kerabat yang miskin memutus hubungan silaturahmi dengan karib kerabat yang kaya; karena tujuan utama silaturahmi adalah memperkuat serta memperkokoh ikatan kekeluargaan dan bukan memberi atau

meminta santunan. Silaturahmi juga dapat mengurai serta menyelesaikan berbagai kesalahpahaman di antara keluarga. Dalam kaitan ini, Imam Ali as berkata, “Minal karami shilaturrahmi. Menyambung tali silaturahmi merupakan kebesaran jiwa dan bagian dari kedermawanan.”

Dalam lanjutan wasiatnya, beliau menyinggung tentang akibat buruk dari memutus hubungan silaturahmi seraya berkata, “Menyambung tali silaturahmi merupakan kebesaran jiwa; dan siapa yang akan percaya kepadamu atau berharap menyambung hubungan silaturahmi denganmu apabila kamu memutus hubungan

tali silaturahmi dengan kerabatmu sendiri." Apabila Anda telah memutus hubungan silaturahmi dengan keluarga Anda sendiri, lalu siapa yang akan berharap

untuk menjalin hubungan silaturahmi dengan Anda? Siapa lagi yang masih berharap pada pertolongan Anda? Orang- orang akan berkata bahwa si fulan telah memutus hubungan silaturahmi dengan keluarga dan karib kerabatnya dan tidak peduli kepada mereka, tentu nasib kita sudah sangat jelas, karena kita bukan karib kerabatnya. Ketika seseorang berlaku kasar kepada keponakan, sepupu dan karib kerabat yang lain, maka orang lain akan menilai bahwa orang tersebut akan

berlaku lebih kasar lagi kepada selain kerabatnya. Hubungan

p: 200

di antara orang-orang mukmin harus dijalin sedemikian rupa sehingga apabila ada yang mempunyai kebutuhan, dapat dengan tenang menyampaikan kebutuhannya kepada saudara seimannya dan dia yakin bahwa si saudara pasti akan membantunya.

Tentu permasalahan saling membantu di antara mukminin tidak bertentangan dengan menjaga kehormatan serta kemuliaan diri. Memang kemuliaan serta kehormatan diri menuntut seseorang untuk tidak menunjukkan apa yang menjadi kebutuhannya kepada orang lain dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Namun hal ini juga tidak berarti bahwa orang-orang yang berkelebihan tidak boleh membantu mereka yang membutuhkan. Dengan demikian, dua anjuran

Ilahi ini satu sama lain tidak saling bertentangan, namun justru saling menyempurnakan dan keduanya dapat menjadi solusi dalam permasalahan-permasalahan kehidupan sosial.

Lebih daripada itu, terdapat satu perbuatan baik lainnya yang dapat mempertemukan dua anjuran etika di atas. Yaitu, dianjurkan agar orang-orang mampu dalam rangka membantu serta menyantuni orang-orang yang tidak mampu-hendaknya mengawali dengan meminta bantuan mereka dalam hal-hal yang sederhana, sehingga hal itu akan menjadikan orang-orang yang tidak mampu dapat menjalin komunikasi dan memaparkan apa yang menjadi kendala serta kebutuhannya. Dengan kata lain, orang-orang yang mampu meminta bantuan kepada orang-orang miskin dalam hal-hal yang sederhana, sehingga terbuka jalan bagi orang-orang

yang tidak mampu untuk meminta bantuan kepada orang-orang mampu dalam hal-hal yang bersifat pokok dan urgen.

Di samping itu, jangan pula dilupakan bahwa Allah Swt sangat senang kepada orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, namun pada saat yang sama mereka memenuhi kebutuhannya melalui sebab-sebab yang diridai-Nya. Dan di antara sebab-

p: 201

sebab itu adalah meminta bantuan orang lain dengan tetap menjaga ketawakalan serta kehormatan dan kemuliaan orang lain.

Pada hakikatnya, hubungan-hubungan antarmasyarakat dan antarkelompok adalah sebuah jalan yang telah Allah wujudkan agar umat manusia dapat menjalin hubungan yang sehat antarsesama dalam menjamin kebutuhan-kebutahan syar'i-nya. Hubungan-hubungan ini mempunyai bentuk, cara dan tingkatan yang tersendiri dan itu semua harus dijaga agar hubungan tetap berjalan dengan baik. Salah satu contoh dari hubungan yang tidak sehat antaranggota masyarakat

adalah apabila masing-masing anggota masyarakat lebih mendahulukan meminta bantuan kepada orang asing daripada meminta bantuan kepada sesama anggota masyarakat atau orang terdekatnya. Tentu hubungan yang seperti ini adalah hubungan yang sangat tidak sehat dan tidak terpuji. Perilaku individu-individu dalam sebuah masyarakat Islam yang sehat harus terjalin sedemikian rupa sehingga dalam situasi krisis, mereka bisa saling bantu dan saling tolong. Sebagai misal,

hubungan antartetangga harus terjalin sedemikian rupa sehingga mereka dapat saling menolong dan bahu-membahu dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan berdasar pada cinta dan kasih sayang. Oleh sebab itu, hubungan sosial harus terjalin sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota masyarakat saling menolong dengan penuh suka cita serta ketulusan. Apabila perilaku individu masyarakat tidak berdasar pada cinta dan ketulusan, dan hubungan sosial kemasyarakatan juga jauh dari ketulusan dan kasih sayang, maka masing-masing anggota masyarakat tidak akan tertarik untuk merujuk kepada yang lain dalam kebutuhannya. Bagaimanapun juga, dengan menjaga rambu-rambu Islam yang menuntut manusia untuk menjaga harkat dan martabat diri, kita tetap tidak boleh berpaling dari memohon

p: 202

bantuan kepada sesama muslim dalam berbagai kebutuhan yang ada. Namun dari sisi lain, apabila kita diberi kelebihan serta keluasan rezeki, kita harus mempersiapkan diri untuk menolong orang lain dan berbuat sedemikian rupa sehingga mereka yang berkebutuhan tidak sungkan dan segan untuk meminta bantuan kita. Dan, semua bentuk hubungan sosial ini akan sangat bergantung pada sejauh apa ketulusan serta kasih sayang para pelakunya.

Perlu diperhatikan, hubungan saling menolong yang harmonis ini harus lebih memerhatikan karib kerabat terdekat, karena apabila mereka kurang mendapat perhatian, maka kita akan mendapat kecaman dan celaan. Lebih daripada itu, apabila kita tidak peduli dengan kerabat terdekat, maka orang lain tidak akan pernah berharap kepada bantuan kita. Jika kita tidak peduli kepada karib kerabat terdekat, orang lain tidak sedikit pun akan percaya kepada kita, karena dalam pemikiran

mereka akan terukir: Bila keluarga terdekatnya saja tidak dia pedulikan, maka bagaimana dengan kami yang bukan siapa-siapanya.

Hal-Hal yang Dapat Merusak Hubungan Sosial yang Sehat

Pada bagian wasiat ini terdapat sedikit perbedaan lafaz yang sampai dari Imam Ali as. Di dalam kitab berharga Bihar al-Anwar terekam: Al-tajarrum wajhul gathi'ah, sementara dalam naskah yang lain terekam: Al-tahrimu wajhul qathi’ah. Oleh sebab itu, kita menghadapi sedikit kerancuan dalam menjelaskan maksud dari kalimat-kalimat tersebut. Al-tahrim, berarti melarang, mencegah dan menghalangi; sementara al-tajarrum, berarti perbuatan buruk yang dilakukan secara

terus-menerus. Dengan memerhatikan dua lafaz yang berbeda ini, maka kalimat Imam Ali as dapat dimaknai sebagai berikut. Menolak permintaan atau menyakiti orang lain secara terus menerus akan mengakibatkan putusnya hubungan

p: 203

silaturahmi. Apabila ada yang bertanya, apa yang menjadi sebab terputusnya hubungan antarmanusia? Jawabannya adalah menolak permintaan atau suka menyakiti orang lain akan mengakibatkan terputusnya hubungan antarmanusia. Dengan kata lain, apabila engkau menolak orang yang datang kepadamu untuk meminta bantuan atau engkau memperlakukan orang lain dengan perilaku yang buruk secara terus menerus, maka hal itu dapat merusak hubunganmu dengan mereka. Perlahan tapi pasti, kehangatan hubunganmu dengan orang-orang itu akan pudar dan sirna. Perlu digarisbawahi, makna kalimat di atas belumlah pasti dan makna yang diberikan hanyalah sebatas dugaan dan kemungkinan. Boleh jadi lafaz yang sesùngguhnya bukan al-tahrim ataupun al-tajarrum, namun sesuatu yang lain. Akan tetapi, bersandar pada qarinah lafaz-lafaz sebelumnya, seperti lafaz al-takarrum, maka besar kemungkinan yang benar adalah lafaz al-tajarrum karena ber-wazan sama. Alhasil, dengan memerhatikan perbedaan lafaz yang ada, dapat dikatakan bahwa penyebab rusaknya hubungan sosial adalah penolakan

atas permintaan atau perbuatan buruk yang terus berulang. Sebab lain yang dapat merusak hubungan sosial adalah tindakan-tindakan yang bermuara pada kebencian dan balas dendam, yang beliau singgung pada bagian-bagian berikut dari wasiatnya. Seperti apa yang beliau tegaskan, “Apabila saudaramu berusaha memutuskan hubungan silaturahmi denganmu, paksalah dirimu untuk menyambungnya; apabila dia berpaling darimu, jangan pernah berhenti untuk bersikap ramah terhadapnya; apabila dia menolak dan tidak mau berbagi denganmu, jangan berlaku bakhil terhadapnya; apabila dia berusaha menjauh darimu, berusahalah mendekatinya; apabila dia berlaku kasar terhadapmu, tetaplah bersikap lembut kepadanya; apabila dia berbuat kesalahan, berbesarhatilah untuk memaafkannya.”

p: 204

Dalam menjaga hubungan silaturahmi, Imam Ali as berpesan, “Janganlah engkau balas perbuatan buruk dengan keburukan yang sama. Apabila ada di antara temanmu yang berbuat tidak baik terhadapmu dan melupakan pertemanan, tugasmu adalah membalasnya dengan kebaikan agar dia tersadar bahwa engkau adalah teman dan karibnya. Apabila dia berusaha memutuskan hubungan denganmu, berusahalah untuk tetap menyambungnya. Apabila dia tidak pernah mendatangimu, datangilah dia. Jangan pernah engkau berkata, ‘Karena dia tidak mau mendatangiku, akupun tidak akan mendatanginya.' Apabila dia berusaha mencegah sampainya

kebaikan kepadamu, engkau harus tetap menyampaikan kebaikan dan bersikap ramah kepadanya. Apabila dia menolak untuk memberikan sesuatu kepadamu, tetaplah bersikap dermawan terhadapnya. Apabila dia berusaha menjauh dan menghindar darimu dengan segala cara, engkau pun harus berusaha dengan segala cara untuk mendekatinya. Apabila dia bersikap kasar terhadapmu, tetaplah bersikap lembut kepadanya. Apabila dia secara terus menerus berbuat buruk

kepadamu, jangan pernah lelah untuk mencarikan alasan atas perbuatan buruknya; seperti engkau mengatakan pada dirimu: Mungkin dia terpaksa melakukan ini, atau dia tidak bermaksud seperti itu, atau dia tidak sengaja, atau dia tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya, dan lain sebagainya, rajutlah seribu alasan untuk menyelamatkan dirinya dalam hatimu."" Dalam lanjutan wasiatnya, beliau memerintahkan kepada kita suatu perkara yang tidak mudah untuk dilaksanakan,

beliau berkata, “(Singkat kata), perlakukan saudaramu seakan dirimu adalah budaknya dan kesejahteraanmu ada di tangannya.” Imam Ali as memerintah kita untuk memperlakukan orang lain seakan kita ini adalah budaknya. Kalimat Imam Ali as ini telah dengan tegas menggambarkan sejauh apa hubungan sosial yang diinginkan oleh Islam. Hubungan sosial di dalam Islam sedemikian pentingnya sehingga kita diperintah untuk

p: 205

menjadikan diri kita seakan budak orang lain, apalagi apabila berkaitan dengan hubungan sesama muslim dan mukmin. Imam Ali as hendak mengajarkan kepada kita sebuah perkhidmatan yang muncul dari ketulusan jiwa sehingga kita tidak berharap balasan dan imbalan dari orang lain; justru kita diminta untuk menilai orang lain sebagai tuan dan pemilik diri kita. Kita diminta untuk bersabar, meskipun kita telah mendapatkan perlakuan buruk secara berulang kali. Psikologi hubungan

pertemanan yang seperti ini akan membuat kita siap terhadap berbagai macam bentuk perlakuan yang mungkin kita terima, dan dengan balasan kebaikan, maka besar kemungkinan si pelaku keburukan akan mengubah sikapnya. Sebaliknya, apabila sebuah perlakukan buruk langsung kita balas dengan perlakuan buruk yang sama, maka dapat dipastikan hubungan pertemanan akan hancur dan berubah menjadi permusuhan dan dendam yang sulit dipadamkan.

Manusia sering lupa dan keliru, karena apabila dia membalas setiap perlakuan buruk dengan perlakuan buruk, maka semua yang ada di jagad ini akan menjadi musuhnya. Dalam rangka menjaga hubungan pertemanan, apalagi hubungan pertemanan dan persaudaraan di antara muslimin, masing-masing kita berkewajiban untuk berkhidmat kepada teman dan setiap orang. Dengan begitu, perlakuan buruk apa saja yang mereka perbuat terhadapmu, engkau hanya berpikir bahwa “saya mempunyai kewajiban, dan kewajiban itu adalah berkhidmat dan memaksimalkan kebaikan kepada sesamamanusia.”

Dalam lanjutan mutiara hikmah ini, demi mencegah terjadinya akibat-akibat buruk yang fatal, beliau memberikan pengecualian, karena boleh jadi ada orang-orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Beliau menegaskan, “ Akan tetapi, jangan sampai kebaikan ini engkau berikan kepada

p: 206

seseorang yang tidak layak dan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini darimu.”

Di dalam kehidupan ini, ada orang-orang yang sebegitu buruk dan jahatnya, sehingga seakan mereka sudah tidak lagi memiliki fitrah insani. Nah, apabila Anda menjadikan diri Anda seakan budak bagi mereka, mereka akan memanfaatkan Anda untuk tujuan-tujuan buruknya yang justru merusak hubungan sosial antarmanusia. Namun demikian, kita harus tetap berhati-hati dan waspada, jangan sampai kita dengan mudah menghukumi orang sebagai manusia yang telah

keluar dari fitrahnya. Manusia secara umum layak untuk kita perlakukan diri kita sebagai budak mereka, namun ada saja orang-orang yang memang telah keluar dari fitrah insaninya dan tidak layak mendapatkan perlakuan seperti itu dari kita. Dengan kata lain, mereka bukanlah manusia yang layak

mendapatkan pelayanan dan perkhidmatan dari kita. Orang-orang seperti ini tidaklah banyak, mungkin satu di antara seribu orang. Yang masuk dalam pengecualian, adalah orang- orang yang apabila kita berbuat baik kepada mereka, mereka semakin berbuat buruk kepada kita; apabila kita bersikap

rendah hati kepada mereka, mereka justru bertambah angkuh dan sombong, dengan begitu, kita tidak boleh lagi berbuat baik kepada mereka. Bagaimanapun juga, kita tetap harus berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menjalankan pesan dan wasiat ini. Imam Ali as menegaskan, “Akan tetapi, jangan sampai kebaikan ini engkau berikan kepada seseorang yang tidak layak dan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini darimu.” Pesan ini beliau letakkan di akhir, karena boleh jadi sebagai isyarat bahwa orang-orang yang buruk seperti ini sangat sedikit jumlahnya, sedangkan kebanyakan manusia layak untuk kita berkhidmat dan berbuat baik kepada mereka.()

p: 207

p: 208

34-ADAB PERTEMANAN (1)

Point

وَلاَتَتَّخِذَنَّ عَدُوَّ صَدِیقِکَ صَدِیقًا فَتُعَادِیَ صَدِیقَکَ، وَلاَتَعْمَلْ بِالْخَدیعَةِ فَاِنَّهُ خُلْقَ لَئِیم، وَامْحَضْ أَخَاکَ النَّصِیحَةَ حَسَنَةً کَانَتْ اَوْقَبِیحَةً، وَسَاعِدْهُ عَلَی کُلِّ حَال، وَ زَلِّ مَعَهُ حَیْثُ زَالَ، وَلاَتَطْلُبَنَّ مُجَازَاةَ اَخِیکَ وَإِنْ حَثَا التُّرَابَ بِفِیکَ وَخُذْ(1) عَلَی عَدُوِّکَ بِالْفَضْلِ فَاِنَّهُ اَحْرَی لِلظَّفَرِ، وَتَسْلِمْ مِنَ الدُّنْیَا [النَّاس] بِحُسْنِ الْخُلْقِ وَتَجَرُّعِ الْغَیْظَ، فَاِنِّی لَمْ اَرَ جُرْعَةً أَحْلَی مِنْهَا عَاقِبَةً وَلاَ أَلَذَّ مِنْهَا مَغَبَّةً وَلاَ تَصْرِمْ أَخَاکَ عَلَی ارْتِیَاب وَلاَتَقْطَعْهُ دُونَ اسْتِعْتَاب وَ لِنْ لِمَنْ غَالَظَکَ فَاِنَّهُ یُوشَکُ أَنْ یَلینَ لَکَ.

Janganlah engkau jadikan musuh temanmu sebagai teman, maka hal itu sama halnya dengan memusuhi temanmu. Jangan berbuat tipu daya, karena itu adalah perilaku orang-orang yang tak berbudi pekerti. Berikan nasihat kepada saudaramu dengan penuh ketulusan dan bantulah dia dalam segala keadaan; dan sertailah dia ke mana pun perginya. Janganlah engkau membalas saudaramu meskipun dia menyiramkan tanah pada mulutmu. Berbuat baiklah kepada musuhmu, karena hal itu lebih berpengaruh dalam mendatangkan kemenangan. Selamatkan dirimu dari dunia (umat manusia) dengan akhlak yang mulia dan meredam amarah;sungguh aku tidak pernah melihat sesuatu yang hasil akhirnya lebih manis dan lebih indah dari (menjaga diri dengan akhlak dan meredam amarah). Janganlah engkau memutus hubungan dengan saudaramu hanya berdasar pada kecurigaan dan sebelum melakukan

p: 209

pengkajian. Bersikaplah lembut kepada orang yang berlaku kasar terhadapmu, boleh jadi tidak lama kemudian dia akan bersikap lembut kepadamu.

Sebagaimana telah diketahui, bagian akhir dari wasiat Imam Alias berkonsentrasi pada akhlak sosial, adab pergaulan dan hubungan antarmanusia dalam hidup bermasyarakat. Allah Swt telah menciptakan seluruh maujud bagi manusia. Tinggal pandai-pandainya manusia memanfaatkan seluruh anugerah yang telah Allah berikan kepadanya termasuk di dalamnya keberadaan manusia-manusia lain untuk mencapai tujuan-tujuan Ilahi. Manusia diminta untuk memanfaatkan secara cermat berbagai nikmat Allah untuk meraih tujuan- tujuan tertingginya. Akan tetapi, patut disayangkan, tidak sedikit manusia yang mengubah nikmat Ilahi menjadi

bencana. Bahkan mereka tidak hanya mengabaikan nikmat-nikmat tersebut, tetapi justru menjadikannya sebagai sarana untuk keburukan dan maksiat. Orang-orang seperti ini pada hakikatnya telah menzalimi diri mereka sendiri sebelum orang lain; mereka mengorbankan kebahagiannya sendiri dan kemudian merugikan orang-orang yang bergaul dengannya. Orang-orang seperti adalah jenis manusia yang berbahaya bagi dirinya sendiri, selain juga berbahaya bagi orang lain.

Dan, boleh jadi mereka tidak memberikan sumbangsih apa-apa dalam kehidupan dunia selain kerugian dan kerusakan. Padahal, manusia seharusnya saling meengambil manfaat dan saling menyempurnakan satu dengan yang lain. Mereka harus bersama-sama dan bahu membahu dalam rangka meraih tujuan-tujuan tertinggi insani-Ilahi, terkhusus lagi tujuan-tujuan tinggi Islam. Mereka juga harus berjuang sungguh-sungguh untuk mengembangkan serta memajukan

masyarakat Islam.

Cara-Cara Memperkuat Hubungan Pertemanan

Tak diragukan, dalam kehidupan sosial yang ideal, hubungan antarmasyarakatnya harus terjalin dengan penuh

p: 210

kehangatan serta ketulusan; masing-masing kelompok masyarakat harus berusaha menjaga dan mempererat hubungan di antara mereka, selain juga harus mewaspadai faktor-faktor yang dapat merusak keharmonisan serta kehangatan hubungan tersebut. Singkat kata, masyarakat yang ideal adalah sebuah masyarakat yang dapat menjaga keharmonisan hubungan di antara kelompok dan individunya sehingga senantiasa memperkaya diri dengan hal-hal yang dapat semakin mempererat hubungan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merusak serta menghancurkan hubungan di antara mereka.

Tentu apabila kita hendak berbicara secara komprehensif berkaitan dengan adab pergaulan serta persaudaraan juga tentang metode hidup bermasyarakat secara lengkap, maka kita harus memaparkan banyak bahasan seputar hubungan sosial dalam berbagai bab dan pasal. Jika itu yang diinginkan, setidaknya kita harus membahas tema-tema seperti: Bagaimana cara memilih teman yang baik dan layak untuk dijadikan kawan dalam pergaulan, apa neraca dan kriterianya,

bagaimana metode pemilihannya, bagaimana kita memulai pertemanan dan lain sebagainya. Akan tetapi, karena dalam buku ini tidak mungkin secara khusus digunakan untuk mendalami satu topik tertentu dan kita hanya mengkaji sesuai dengan alur pesan dan wasiat Amirul Mukminin as, maka kita hanya akan membatasi bahasan pada apa yang disinggung oleh beliau as dalam wasiatnya.

Perlu juga diperhatikan, ketika kita berbicara tentang teman dan musuh atau pertemanan dan permusuhan di sini, tentu dengan mengabaikan syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam memilih teman. Tentunya pemilihan teman berdasar pada bermacam neraca pemilihan akan memberikan hasil yang berbeda-beda pula. Sebagai misal, apabila keimanan dijadikan sebagai neraca dalam memilih

p: 211

teman, maka setidaknya neraca keimanan bisa dibagi dalam tiga tingkatan. Seseorang yang mempunyai kualitas iman tinggi dan seluruh dambaannya hanyalah meraih keridaan Ilahi, maka dia dalam memilih teman juga akan mencari orang-orang yang satu tingkatan dengannya, yaitu orang-orang yang selalu membuatnya semakin dekat dan semakin dekat dengan Allah Swt. Adapun mereka yang berkualitas iman menengah, maka dia juga akan mencari teman-teman yang sekualitas dengannya, yaitu orang-orang yang berteman dengan mereka tidak akan berdampak negatif pada akidah dan agamanya. Orang-orang kelas menengah ini, sekalipun tidak terlalu memikirkan perkembangan sisi maknawinya, tetapi mereka tidak rela bila harus kehilangan sisi maknawi dalam hidupnya akibat bergaul dengan teman yang salah. Sementara orang-orang yang lemah iman, mereka sangat longgar dan terbuka sekali untuk berteman dengan siapa saja. Dalam wasiat ini Imam Ali as tidak sedang menjelaskan syarat-syarat memilih teman, tetapi beliau memberikan penekanan bahwa berteman harus berjalan sesuai dengan

neraca Islami yang benar. Nah, pada bagian ini Imam Ali as menjelaskan beberapa prinsip yang harus dijalankan demi menjaga kelangsungan hubungan pertemanan yang baik dan ideal.

a. Ketulusan dan kesejatian

Salah satu hal yang harus dijaga dalam pertemanan adalah ketulusan. Sebagai konsekuensi ketulusan dan kesejatian dalam pertemanan adalah ketika Anda berteman dengan seseorang, maka janganlah Anda berteman juga dengan musuh-musuhnya. Tak diragukan, setiap manusia pasti mempunyai teman dan musuh dalam hidup. Akan tetapi, seorang mukmin yang neraca pertemanannya adalah rida Ilahi, tentu tidak akan pernah mau berteman dan bermanis-manis muka dengan para musuh Allah Swt

p: 212

dan agama, sebagaimana dia juga tidak akan berteman dengan temannya para musuh Allah atau temannya para musuh mukminin, dan pastilah mereka (teman para musuh Allah dan orang-orang beriman) tidak akan pernah sejalan dengan si mukmin. Namun mereka yang tidak memiliki iman ideal seperti ini, mereka masih berpeluang untuk berteman dengan musuh-musuh temannya. Hal itu disebabkan seluruh pertemanan dan permusuhannya tidak berdasar pada keimanan kepada Allah. Di antara orang-orang beriman yang mendirikan salat juga masih terbuka kemungkinan terjadinya permusuhan dan perselisihan dalam perkara-perkara duniawi. Oleh sebab itu, yang sangat penting di sini adalah bagaimana caranya membuang dan menghilangkan berbagai noda serta menjaga adab pertemanan dan pergaulan. Apabila Anda mempunyai seorang teman dan teman Anda mempunyai musuh, maka untuk menjaga hubungan pertemanan, maka Anda tidak diperkenankan untuk menjalin pertemanan dengan musuh-musuhnya supaya pertemanan Anda tetap terjaga dan tidak terputus. Anda tidak boleh menjalin pertemanan dengan musuh-musuh teman Anda secara diam-diam, sementara Anda menjaga hubungan pertemanan dengan teman Anda. Karena apabila teman Anda akhirnya mengetahui atau memergoki Anda sedang menjalin pertemanan dengan musuhnya, maka perasaan teman Anda akan cedera dan dia tidak akan lagi

menganggap Anda sebagai teman sejatinya. Oleh sebab itu, apabila Anda menghendaki hubungan pertemanan bisa berjalan langgeng, jangan sekali-kali berteman dengan musuh teman Anda. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menegaskan, “Janganlah engkau jadikan musuh temanmu sebagai teman, maka hal itu sama halnya dengan memusuhi temanmu.” Dalam wasiatnya beliau hendak

p: 213

menjelaskan, mengumpulkan teman dan musuh teman dalam pertemanan tidak akan pernah menghasilkan pertemanan yang tulus dan sejati. Apabila engkau mau

berteman dengan si fulan, engkau harus siap untuk tidak berteman dengan musuh-musuhnya. Namun perlu digarisbawahi, tidak berteman dengan musuh teman

tidaklah berarti harus ikut memusuhi musuh teman. Yang dimaksud adalah, janganlah kita mengadakan hubungan pertemanan yang mesra dengan musuh teman kita, karena yang demikian akan membahayakan dan merusak pertemanan yang pertama.

Boleh jadi seseorang dalam hubungan sosialnya berperilaku dengan dua wajah dan berperan ganda, yakni dia menampilkan dirinya sebagai teman bagi semua orang, namun pada hakikatnya dia tidak mempunyai cinta dalam hati dan tidak pula melakukan kewajiban sebagai seorang teman. Sosok seperti ini tak ubahnya seperti seorang pendusta yang melakukan tipu-daya. Dalam wasiatnya, Imam Alias hendak mengingatkan bahwa seorang mukmin harus menjauhkan dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak pantas seperti ini, karena seorang mukmin adalah sosok pribadi yang jujur, tulus dan apa adanya. Temannya adalah sebenar-benar teman baginya dan musuhnya adalah sebenar-benar musuh baginya. Seorang mukmin tidak akan menjalin pertemanan dengan seseorang dan berpura-pura menyukainya padahal di dalam hati tidak menyukainya atau bahkan memusuhinya. Apabila seorang mukmin menunjukkan pertemanan kepada seseorang,

maka pertemanan itu betul-betul keluar dari kedalaman hatinya. Alangkah indahnya apa yang telah dipaparkan oleh Amirul Mukminin as dalam kaitan ini: “Jangan

berbuat tipu daya, karena itu adalah perilaku orang-orang yang tak berbudi pekerti.” Yakni, janganlah engkau menipu orang lain dengan perilakumu, tetapi bersikaplah jujur

p: 214

dan apa adanya; jangan berbeda antara apa yang engkau tampakkan dan apa yang engkau sembunyikan. Ketika engkau menampakkan persahabatan kepada seseorang, maka jujurlah dengan apa yang engkau tampakkan dan jangan pernah menipunya dengan sikap bersahabatmu, karena perbuatan yang seperti itu bukanlah perbuatan yang pantas keluar dari seorang yang beriman. Perbuatan itu adalah perilaku orang-orang hina yang tak berbudi.

b. Menginginkan kebaikan (bagi teman) dan peduli Syarat lain yang diperlukan untuk memperkuat serta melanggengkan pertemanan adalah menginginkan

kebaikan bagi teman serta kepedulian padanya. Sudah sepatutnya ketika Anda mengikat persahabatan dengan seseorang, maka Anda harus menginginkan kebaikan

bagi dirinya. Pada hakikatnya syarat ini adalah penekanan pada keselarasan atau persamaan antara batin dan zahir kita, yakni setelah kita menerapkan neraca-neraca (Islam) dalam mencari teman yang baik dan akhirnya Anda menemukan teman yang baik, dan Anda yakin bahwa dia adalah benar-benar seorang sahabat yang sesuai dengan kriteria Islam, maka selain Anda harus menghargai bentuk persahabatan yang semacam ini, Anda juga harus memperlakukannya secara tulus dan baik. Dengan kata lain, Anda harus peduli serta menginginkan kebaikan baginya. Misalnya, Anda harus senantiasa menjadi pendamping dan membantunya dalam beragam kesulitan; Anda harus dapat memaafkan kesalahannya dan berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan. Oleh sebab itu, ketika Anda telah menjadikan seseorang sebagai teman, maka Anda tidak boleh mengabaikannya; Anda harus selalu menjadi pembela dan menginginkan kebaikan baginya; apabila Anda menemuinya berbuat kesalahan, Anda harus mengingatkannya dengan cara yang benar;

p: 215

apabila Anda melihatnya berbuat kebaikan, Anda harus memuji dan menyanjungnya; sedapat mungkin, Anda harus membantunya dalam meraih segala kesempurnaan dan apa saja yang dapat membuatnya lebih maju dan berkembang. Umpamanya, apabila ada dua pelajar atau dua mahasiswa yang saling berteman, maka masing- masing harus berbuat yang terbaik bagi temannya dan bagaimana temannya dan terus maju dan berkembang; seorang teman tidak boleh hanya memikirkan kemajuan dan keberhasilannya sendiri saja. Terkadang ada dua orang yang saling bersahabat, kendati persahabatannya terlihat begitu erat, namun masing-masing hanya berpikir tentang urusan dan kepentingannya sendiri, tanpa peduli dengan apa yang sedang dihadapi oleh karibnya. Hal ini

tentu tidak pantas untuk dilakukan oleh dua orang yang mengaku saling bersahabat. Persahabatan menuntut untuk saling peduli dan saling membantu, sedangkan

mengabaikannya dapat dihitung sebagai pengkhianatan dan ketidaktulusan dalam pertemanan. Dalam pandangan Islam, ketika seseorang memulai

oersahabatan dengan orang lain, maka dia harus menginginkan kebaikan bagi temannya dengan sepenuh jiwa. Dia tidak boleh tinggal diam untuk melakukan apa

yang bisa dilakukan bagi sahabatnya. Setiap perbuatan yang mendatangkan kecintaan Ilahi bagi dirinya, maka harus juga dia lakukan dengan niat baik bagi temannya, kendati terkadang perbuatan itu tidak terlalu menyenangkan bagi si teman. Umpamanya, apabila Anda menasihatinya, boleh jadi dia tidak suka dan merasa tersinggung, namun Anda harus tetap melakukannya dengan niat yang baik agar teman Anda terhindar dari sesuatu yang dapat membinasakan dirinya. Bagaimanapun juga dan apa pun konsekuensinya, Anda harus menyelamatkannya dari perbuatan buruk. Demikian pula halnya, apabila

p: 216

Anda melihatnya sedang berbuat kebaikan, Anda harus mendukungnya dan membantunya untuk selalu berada di jalur yang benar. Imam Ali as berkata, “Berikan

nasihat yang tulus kepada sahabatmu, baik ketika dia berbuat baik ataupun berbuat buruk.” Sebagai sahabat, Anda harus selalu dan senantiasa memikirkan dan menginginkan kebaikan bagi sahabat Anda, dan bukan hanya sewaktu-waktu atau bila sempat saja. Jangan sampai Anda lebih mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan sahabat Anda. Akan tetapi, Anda harus selalu membantunya dalam segala keadaan.

c. Kontinuitas dalam persahabatan

Tak diragukan, keadaan manusia berubah-ubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Terkadang miskin dan terkadang kaya, terkadang sakit dan terkadang

sehat... Dalam berbagai keadaan serta kondisi yang dihadapinya, manusia tentu membutuhkan pertolongan. Nah, sebagai teman, kita dituntut untuk menjadi pendamping dan penolongnya dalam berbagai keadaan. Jangan sampai kita hanya ada di sampingnya ketika dia kaya raya dan meninggalkannya ketika jatuh

miskin. Jangan hanya mendekatinya di kala posisi dan kedudukan sosialnya baik, namun melupakannya ketika kehilangan jabatan dan kedudukan. Kita harus menjadi

teman bagi sahabat kita kapan dan di mana saja serta bagaimana pun keadaannya. Sebagai sahabat, kita harus menjadi bayangan (positif) baginya.

Semua pesan dan wasiat beliau berkaitan dengan pertemanan dan persahabatan adalah berkaitan dengan pertemanan serta persahabatan yang sesuai dengan

neraca serta tolok ukur Islam. Oleh sebab itu, pesan dan wasiat beliau tidak meliputi pertemanan serta persahabatan yang bersifat nonislami. Apabila Anda

p: 217

menjalin pertemanan dengan seorang yang fasid dan fasik, tentu Anda tidak diminta untuk menjadi seperti bayangan baginya dan Anda harus membantunya dalam

segala keburukan dan kedurjanaan yang dilakukannya. Yang dimaksud oleh Imam Ali as adalah apabila Anda mempunyai teman yang baik, jangan pernah mengabaikan dan tidak membantunya dalam segala keadaan. Apabila Anda menemuinya sedang berbuat kesalahan, segera ingatkan dan selamatkanlah dia; apabila dia membutuhkan bantuan finansial, maka segera bantu dia. Bahkan dalam hal ini Anda dituntut untuk mengorbankan kepentingan materi dan maknawi Anda. Bersiaplah untuk berkorban demi sahabat Anda dan jangan pernah meninggalkannya sendiri.

Pesan dan wasiat Imam Ali as menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pertemanan dan persahabatan. Dan, berdasar pada fondasi inilah dikatakan, keberadaan satu manusia adalah nikmat bagi yang lain dan kita harus memanfaatkan hubungan antarmanusia menjadi sesuatu yang bermaslahat bagi Islam dan seluruh umat manusia. Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, semakin erat dan tulus hubungan pertemanan, maka manfaatnya akan semakin besar dan semakin terasa bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, kita harus menjaga hubungan pertemanan di antara kita dan selalu berusaha agar hubungan ini tidak memudar atau mengarah kepada sesuatu yang buruk.

d. Menghindari dendam

Ada dua hal yang selalu meliputi dan membayangi kehidupan sosial manusia. Yang pertama adalah keharusan hidup bermasyarakat itu sendiri dan yang kedua adalah tidak luputnya manusia dari kesalahan. Dengan menyadari dan memahami kenyataan di atas,

p: 218

maka apabila salah seorang teman jatuh dalam sebuah kesalahan dan kekeliruan, tentu kesalahan tersebut tidak hanya berpengaruh pada kehidupan pribadinya saja, namun akan berpengaruh juga pada pergaulan dan kehidupan sosialnya. Ketika seorang teman berlaku buruk terhadap Anda dan menginjak-injak serta tidak menghormati ikatan pertemanan yang ada, sebagai misal, pada sebuah situasi dan kondisi yang seharusnya dia menolong Anda, namun dia tidak menolong Anda atau bahkan melakukan sesuatu yang semakin merugikan Anda, maka terhadap orang yang seperti ini apa yang seharusnya kita lakukan? Imam Ali as dalam kaitan ini memberikan jawaban dalam wasiatnya, “Dan janganlah engkau membalas saudaramu meskipun dia menyiramkan tanah pada mulutmu.”

Yakni, apabila teman dan sahabat Anda berlaku buruk terhadap Anda, janganlah Anda segera membalasnya dengan keburukan yang sama; kendati seandainya

temanmu itu menyiramkan tanah pada mulut dan kepalamu, tetaplah bersabar dan jangan membalasnya. Akan tetapi, lakukanlah sesuatu agar dia menyadari

kesalahan yang diperbuatnya sehingga akhirnya meminta maaf kepadamu; jangan balas keburukannya dengan keburukan. Jangan balas kejahatannya dengan kejahatan yang lain meskipun dia telah melakukan sesuatu yang membuatmu kesal dan marah. Kendalikan emosi dan kemarahanmu, jangan berusaha untuk balas dendam, tetapi bantu dia untuk menyadari kesalahan dan memohon maaf kepadamu.

Nasihat dan wasiat Imam Alias di atas telah menjadikan kita mengerti bagaimana harus bersikap terhadap teman yang melakukan kesalahan terhadap kita. Beliau melarang kita untuk melakukan balas dendam dan melanggar ikatan pertemanan: Ketika kita hidup di tengah masyarakat

p: 219

Islam yang penuh ikatan persaudaraan, tentu tidak akan ada orang yang dengan sengaja melukai atau menyakiti orang lain. Akan tetapi kita tetap dituntut untuk berbesar hati, karena mungkin saja ada anggota masyarakat yang lalai dan khilaf sehingga berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Nah, di sini kita tidak boleh membalas kesalahan atau keburukan yang dilakukan kerana khilaf dan lalai dengan kesalahan serta keburukan yang lain. Bahkan apabila kita mengikat pertemanan dengan seorang kafir sekalipun, kita tidak diperbolehkan serta merta membalas keburukannya dengan keburukan yang lain.(1)

Singkat kata, dalam dunia pertemanan dan persahabatan, kita dituntut untuk berbesar jiwa dan lapang dada. Apabila teman Anda melakukan sebuah kesalahan, baik dia seorang mukmin ataupu seorang kafir yang hidup dalam masyarakat Islam, Anda tidak boleh merusak pertemanan dan melakukan balas dendam,

karena kebanyakan dari kesalahan berkutat seputar permasalahan dunia dan materi, dan tidak semestinya dunia dan materi itu merusak kesucian ikatan pertemanan dan persahabatan. Bahkan terhadap si nonmuslim pun kita harus memberikan perhatian dan kasih sayang, juga selalu membantu dan berbuat baik kepadanya. Di dalam al-Quran telah ditegaskan:

p: 220


1- 57 Perlu diketahui bahwa menjalin pertemanan dengan seorang kafir, apalagi yang hidup dalam perlindungan pemerintah Islam, tidaklah dilarang. Seorang muslim boleh menjalin hubungan pertemanan dengan orang kafir (non-harbi), saling menolong dan boleh jadi si kafir akan tertarik pada kemuliaan ajaran Islam melalui pertemanan dengan muslimin. Apabila pada sebagian kitab-kitab fikih dikatakan, janganlah berteman dan menjalin "hubungan dengan musuh-musuh Rasul dan Ahlulbait as, maksudnya adalah mereka yang secara terang-terangan memusuhi dan memerangi Islam.

Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara engkau dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat dekat.(1) Dapat dipastikan bahwa bentuk perlakuan yang seperti ini dapat mengubah musuh menjadi teman dan permusuhan menjadi persahabatan. Al-Quran telah memberikan panduan dengan jelas: “Balaslah perlakuan buruk orang lain dengan kebaikan dan keramahan, sehingga engkau dapat menghentikan permusuhan dan bahkan mengubahnya menjadi persahabatan.” Perlakuan bersahabat terhadap orang yang melakukan permusuhan, sekalipun merupakan sebuah kebaikan yang bernilai tinggi, tetapi tentu memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi. Memang merupakan sebuah kebaikan, apabila manusia dapat mengubah perlakuan bermusuhan seseorang menjadi persahabatan. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang harus dicermati dalam halini. Contohnya, salah satu caranya adalah dengan menginginkan kebaikan atau memberikan kebaikan dan berlaku ihsan, agar dapat memberikan pengaruh positif kepada pelaku keburukan dan mengubah sikapnya terhadapmu. Penyikapan yang seperti ini merupakan salah satu prinsip yang diajarkan oleh al-Quran, seperti yang telah ditegaskan dalam ayat di atas dan atau ayat berikut: Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.(2) Searah dan sejalan dengan al-Quran, Imam Ali as juga menyampaikan prinsip etika ini dalam pesan dan wasiat beliau, “Berbuat-baiklah kepada musuhmu, karena hal itu lebih berpengaruh dalam mendatangkan kemenangan.”

p: 221


1- 58 QS. Fushshilat [41]:34.
2- 59 QS. al-Mukminun [23]:96.

Apabila engkau berlaku ihsan terhadap musuhmu, hal itu akan semakin mendekatkanmu pada tujuan, karena yang menjadi tujuan adalah menghentikan permusuhan dan kejahatan lawan. Dengan ihsan, terkadang kita dapat menghentikan permusuhan dan mencegah beragam kerugian yang akan menimpa umat Islam dari musuh- musuhnya. Dengan demikian, salah satu cara yang dapat menghentikan kejahatan para musuh adalah dengan berbuat ihsan kepada mereka. Dan, boleh jadi cara ini lebih manjur dan lebih cepat dalam menghentikan permusuhan ketimbang cara-cara kekerasan dan perlawanan dengan senjata.

Tentu makna dari pesan serta wasiat di atas adalah kita menyikapi semua permusuhan dengan kebaikan. Kaidah dan rumusan ini tentu tidak bersifat mutlak,

karena ada bentuk-bentuk permusuhan yang harus dilawan dan dihadapi dengan sikap yang lebih tegas. Hal ini tak ubahnya dengan kaidah-kaidah atau prinsip-

prinsip etika dan fikih lainnya, yang juga mempunyai pengecualian-pengecualian. Umpamanya, apabila kita berhadapan dengan musuh yang sangat bengis, kejam

dan berhati batu, sehingga semua kebaikan dan ihsan kita tidak akan berarti apa-apa baginya, bahkan perbuatan baik kita akan dianggap sebagai tanda kelemahan dan membuatnya semakin bersemangat untuk memusuhi kita. Maka, musuh-musuh yang seperti ini akan terkecualikan dari kaidah dan prinsip etika ini. Memang benar bahwa musuh-musuh berhati keras seperti ini tidaklah banyak di tengah masyarakat, namun kita harus tetap waspada dan berhati-hati bahwa tidak semua orang itu sama. Sebagai konsekuensinya, kita juga tidak dapat memperlakukan mereka dengan sikap yang sama. Dengan begitu, makna pesan dan wasiat Maula al-

Muwahhidin Ali as bukan berarti kita harus berbuat baik

p: 222

dan ihsan terhadap setiap musuh, karena kebaikan bagi musuh-musuh seperti ini adalah dengan memerangi mereka sehingga lenyap dari muka bumi dan berkurang azab mereka di sisi Allah nantinya. Memerangi musuh- musuh agama dan melenyapkan mereka dari muka bumi justru merupakan satu bentuk rahmat bagi mereka, karena hal itu akan berakibat pada semakin ringannya azab ukhrawi. Sikap ihsan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang masih mempunyai hati nurani dan tidak bagi mereka yang hatinya sudah membatu dan mati.

Kesimpulannya, dalam hidup di tengah masyarakat, manusia secara umun dianjurkan untuk tidak segera membalas keburukan dengan keburukan, tetapi manusia

diminta untuk berjiwa besar dan membalas keburukan dengan kebaikan, sehingga tercipta suasana saling cinta dan saling kasih di tengah masyarakat. Keburukan

yang dibalas dengan kebaikan akan menjadikan suasana hidup masyarakat menjadi tenteram dan damai, karena banyak api bermusuhan yang menjadi padam dengannya dan permusuhan berbalik menjadi persahabatan. Sikap membalas keburukan dengan keburukan dan kejahatan dengan kejahatan yang lain akan mudah menimbulkan kekacauan dan konflik-konflik yang berkepanjangan, dan tentu akan mencabut suasana hidup yang dami dan tenteram. Sudah barang tentu, kehidupan masyarakat yang saling bermusuhan dan saling membenci akan membunuh potensi-potensi masyarakat itu sendiri dan menghancurkannya.

Cara-Cara Menyelamatkan Kehidupan Masyarakat dari Berbagai Petaka yang Dapat Menghancurkannya

a. Menjauhi amarah

Pada bagian berikut wasiatnya, Imam alias menjelaskan beberapa cara untuk menyelamatkan sebuah

p: 223

masyarakat dari kehancuran, beliau berkata, “Selamatkan dirimu dari dunia dan umat manusia dengan akhlak yang mulia dan meredam amarah.” Apabila engkau ingin selamat dari petaka dan bahaya kehidupan bermasyarakat, maka perbaikilah akhlakmu, berperilakulah yang baik dan redamlah amarahmu.

Tentu sebagaimana yang telah diketahui, berperilaku baik dan santun tidak hanya dianjurkan untuk dilakukan terhadap orang-orang yang berperilaku baik saja, tetapi sebagai sebuah prinsip dalam etika Islam, kita diminta untuk berperilaku baik dan santun bahkan terhadap mereka yang berperilaku buruk dan kasar. Wasiat ini sejalan dengan pesan beliau sebelumnya yang berbunyi, “Apabila temanmu menyiramkan tanah pada mulutmu, maka jangan balas dia dengan perilaku yang sama.” Perlakuan orang yang seperti itu sudah barang tentu memancing dan menyulut amarah. Terkadang, satu dua kalimat yang tidak terukur dan diucapkan oleh seorang teman kepada kita dapat membuat kita jengkel dan marah. Atau, apabila kita diperlakukan oleh seseorang yang di luar harapan kita atau tidak dihormati sebagaimana mestinya, boleh jadi kita akan jengkel dan marah. Apalagi seandainya ada yang menyiramkan tanah pada mulut kita!! Dapat dimaklumi, mengontrol emosi dan menahan diri dalam situasi yang seperti itu tidaklah mudah, apalagi harus membalas perlakukan buruk dengan ihsan. Meredam amarah adalah perbuatan yang sangat sulit, namun hal itu sangat membangun dan berdampak positif. Apabila seseorang ingin selamat dari petaka kehidupan sosial, dia harus pandai-pandai melatih diri untuk mengendalikan emosi dan amarahnya, dan jangan mudah membalas keburukan dengan keburukan yang sama. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menasihati putranya:

p: 224

“(Wahai putraku), selamatkan dirimu dari dunia (umat manusia) dengan akhlak yang mulia dan meredam amarah; sungguh aku tidak pernah melihat sesuatu yang hasil akhirnya lebih manis dan lebih indah dari (menjaga diri dengan akhlak dan meredam amarah).” Beragam minuman tidak memberikan sensasi yang

sama pada mulut seseorang. Sebagian minuman seperti air tawar yang sejuk akan memberikan sensasi kesegaran dan kesejukan. Sebagian minuman memberikan sensasi manis yang sangat nikmat, seperti air yang diperas dari buah-buahan. Ada juga minuman yang sangat pahit dan getir, seperti halnya cairan-cairan obat. Akan tetapi bagi meraka yang telah lulus dari Madrasah Ali bin Abi Thalib as (sebagai lulusan terbaik dari Madrasah Rasulullah saw), meredam amarah bagi mereka akan memberikan sensasi yang lebih manis dari sari buah yang paling lezat sekalipun. Si panutan orang-orang suci, Ali bin Abi Thalib as sendiri pernah berkata, “Ketika aku berhasil meredam amarahku, aku merasakan sensasi minuman manis yang sangat menyegarkan dan tidak ada minuman di dunia ini yang dapat menandingi kelezatannya." Nah, sudah semestinya bagi mereka yang mengaku sebagai pengikut Mawla al-Muttaqin as untuk juga melatih diri agar dapat menghiasi diri dengan kemuliaan akhlak seperti ini. Apabila dengan usaha dan kerja keras akhirnya kita dapat mengendalikan serta menundukkan amarah kita, kita akan merasakan sebuah kenikmatan yang tidak akan pernah kita dapat dari mengumbar emosi dan amarah.

Dari aspek lain, apabila kita mau sedikit cermat, membalas sikap buruk dengan mengumbar amarah, justru berpeluang untuk mendatangkan kerugian-kerugian

yang lain; berbeda halnya dengan meredam amarah, yang

p: 225

memang sangat sulit untuk dilakukan, boleh jadi akan mendatangkan manfaat dan kepuasan yang luar biasa. Dampak emosi dan amarah seribu kali lebih buruk dan

merugikan dibandingkan dengan bersabar dan menahan diri. Membalas amarah dengan menahan diri akan terasa indah, sementara membalas amarah dengan amarah justru akan melelahkan dan merugikan diri sendiri. Imam Ali as hendak memahamkan kepada kita bahwa “jangan dikira nasihat dan pesan yang aku berikan ini hanya sekadar pesan kering yang belum teruji; tidak, sekali lagi tidak seperti itu, tetapi ini adalah sebuah realitas yang telah aku coba dan praktikkan berulang-ulang. Ketika aku menganjurkan, redamlah amarahmu, hal ini karena aku telah mencobanya dan merasakan kenikmatan hasilnya, dan aku berani mengatakan bahwa meredam amarah rasanya jauh lebih lezat dan lebih manis dari minuman apa saja."

Imam Alias memberikan motivasi dan semangat kepada Sang putra dan siapa pun yang membaca nasihatnya untuk mencoba dan merasakan hasil dari akhlak mulia ini.

b. Menghindari putusnya hubungan pertemanan Munculnya kesalahpahaman dalam hidup bermasyarakat adalah sebuah fenomena yang biasa terjadi. Dengan kata lain, sudah merupakan kelaziman dari kehidupan bermasyarakat seseorang mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dan tidak dapat dimengerti dari sesama atau temannya. Nah, apabila kita langsung memberikan reaksi yang negatif terhadap setiap perlakuan yang belum sepenuhnya kita pahami latar belakangnya, tidak akan ada lagi hubungan pertemanan yang dapat dipertahankan, karena memang dalam hidup kita akan sering mendapat perlakukan yang tidak jelas seperti itu dari teman dan sahabat kita. Padahal prinsip

p: 226

yang harus dipegang serta dijunjung tinggi dalam hubungan sosial dan terlebih lagi hubungan antar teman adalah berbaik sangka dan mendasarkankan segala

perilaku pada niat yang baik. Nah, oleh sebab itu apabila kita menyaksikan serangkaian perilaku yang bersifat paradoks dan tidak jelas, pada penyikapan pertama

kita dituntut untuk berbaik sangka dan membenarkan perbuatan tersebut kendati belum tahu persis apa penjelasan serta alasannya. Dengan munculnya sedikit

keraguan, jangan serta merta memutus tali pertemanan dan persahabatan, dan jangan juga berburuk sangka. Akan tetapi, dengan tetap menjaga hubungan yang ada kita mulai mencari tahu dan mengkaji apa kira-kira alasan dan latar belakang dari sikap-sikap yang seperti itu sehingga kita mendapatkan kebenarannya. Bahkan, seandainya Anda telah yakin bahwa perbuatan ini adalah sebuah kekeliruan yang dilakukan dengan niat yang kotor, Anda tetap tidak dianjurkan untuk memutus hubungan pertemanan dan membalas keburukannya dengan keburukan, tetapi Anda diminta untuk membenahi, menasihati dan mengembalikan teman Anda ke jalur yang benar.

Sekadar menyaksikan perilaku yang paradoks dari seorang teman, jangan kemudian segera ditafsirkan bahwa teman Anda sudah tidak ingin lagi menjalin

hubungan pertemanan dan mengkhianati Anda sehingga harus didepak dan dibuang dari pertemanan. Kita tidak boleh memutus hubungan pertemanan hanya berdasar pada dugaan atau keraguan atas sikap dan perilaku teman kita. Bahkan seandainya Anda telah merasa yakin bahwa dia ingin berkhianat dan memutuskan hubungan pertemanan dengan Anda, Anda tetap tidak dianjurkan untuk bersegera memutus hubungan pertemanan yang sudah terjalin; Anda dituntut untuk melakukan seuatu

p: 227

agar dia menyesal serta membatalkan niatnya. Anda harus berusaha memahamkan dia atas kesalahan yang sedang dia lakukan. Dengan berbicara, memberikan

nasihat atau langkah-langkah strategis lainnya, Anda harus memotivasinya untuk tetap menjaga serta menghormati ikatan pertemanan yang ada. Bukan tidak mungkin, upaya dan usaha yang Anda lakukan akan membuatnya menyesal dan mengubah perilaku buruknya. Namun, apabila setelah semua upaya dan

usaha yang Anda lakukan, dia tetap bersikeras dan tidak menyesali perbuatannya, maka di saat itulah Anda boleh memutus hubungan pertemanan dengannya. []

p: 228

35-ADAB PERTEMANAN (2)

Point

مَا أَقْبَحَ الْقَطِیعَةَ بَعْدَ الصِّلَةِ وَالْجَفَاءَ بَعْدَ الاِْخَاءِ، وَالْعَدَاوَةَ بَعْدَ الْمَوَدَّةِ، وَالْخِیَانَةَ لِمَنِ ائْتَمَنَکَ، وَالْغَدْرَ بِمَنِ اسْتَأمَنَ إِلَیْکَ، وَإِنْ اَرَدْتَ قَطِیعَةَ أَخِیکَ فَاسْتَبْقِ لَهُ مِنْ نَفْسِکَ بَقِیَّةً یَرْجِعُ إِلَیْهَا إِنْ بَدَا لَهُ وَلَکَ یَوْمَاً مَا وَمَنْ ظَنَّ بِکَ خَیْراً فَصَدِّقْ ظَنَّهُ وَلاَتُضِیعَنَّ حَقَّ أَخِیکَ إِتِّکَالاً عَلَی مَا بَیْنَکَ وَبَیْنَهُ فَإِنَّهُ لَیْسَ لَکَ بِأَخ مَنْ أَضَعْتَ حَقَّهُ، وَلاَیَکُنْ أَهْلُکَ أَشْقَی النَّاسِ بِکَ

Alangkah buruk, putusnya hubungan silaturahmi pascaterjalinnya, dan pertikaian pascapersaudaraan, dan permusuhan pascakasih sayang, dan berkhianat terhadap orang yang memercayakan padamu, dan menipu orang yang percaya padamu. Apabila engkau hendak memutus hubungan dengan saudaramu, sisakan tempat di hatimu untuk kembali berhubungan dengannya apabila suatu hari nanti ada sesuatu yang menjadi jelas dan terbuka bagimu dan baginya. Apabila ada orang yang berbaik sangka kepadamu, realisasikan sangka baiknya. Jangan sekali-kali engkau mengabaikan hak saudaramu dengan dalih kedekatanmu dengannya, karena sungguh bukanlah saudaramu orang yang engkau abaikan haknya. Jangan sampai keluargamu menjadiorang-orang yang paling celaka di sisimu.

p: 229

Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as masih berbicara seputar etika sosial dan adab pergaulan serta pertemanan. Nasihat-nasihat beliau ini, secara khusus tidak beliau tujukan kepada putranya (Imam Hasan Mujtaba as) sebagai seorang figur yang bertabur kemuliaan, tetapi beliau tujukan kepada setiap manusia yang ingin sukses dalam kehidupan bermasyarakatnya dan kepada siapa saja yang ingin menjaga nilai-nilai tinggi insani. Oleh sebab itu, pesan dan wasiat beliau juga secara khusus tidak tertuju kepada orang-prang mukmin yang percaya kepada Tuhan dan Hari Akhir, tetapi mencakup seluruh umat manusia. Siapa pun yang menerapkan nasihat-nasihat beliau dalam hidupnya, pasti akan merasakan hasil dan manfaat darinya, baik dia adalah seorang yang beriman atau bukan orang yang beriman. Akan tetapi, bagi mereka yang beriman dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan mengamalkan nasihat-nasihat ini dan memberikan warna ibadah pada setiap aktivitasnya, maka dia akan dengan cepat mencapai tujuan tertingginya, yaitu kedekatan dengan Ilahi Rabbi. Sementara mereka yang tidak beriman dan

tidak bermakrifat, mereka hanya akan menikmati hasilnya dalam kehidupan duniawi. Orang-orang yang tidak beriman, walaupun mereka tidak dapat mencapai kedudukan tinggi orang-orang beriman, tetapi mereka akan memiliki kehidupan yang ideal di dunia dengan mengamalkan pesan serta wasiat agung ini.

Tema bahasan pada bagian wasiat ini adalah adab pergaulan dan prinsip hidup bermasyarakat serta cara menjalin hubungan dengan sesama manusia.

Lebih Buruk dari Yang Buruk

Pada bagian yang lalu telah dibahas beberapa nasihat dan hikmah tinggi berkaitan dengan adab pergaulan dengan teman, seperti bagaimana cara bersikap terhadap orang lain, cara memilih teman, cara bergaul dengan teman, cara memperkuat

p: 230

hubungan pertemanan dan lain sebagainya. Termasuk juga beberapa pesan, nasihat serta rumusan berkaitan dengan tugas-tugas antarteman dalam pergaulan. Kini beliau akan menjelaskan lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan prinsip dalam hubungan pertemanan. Ketika seseorang mulai melangkahkan kakinya

pada kehidupan bermasyarakat, maka dia harus menjaga serangkaian prinsip, seperti memilih teman yang baik, berbuat baik kepada orang, bersikap ramah dan menginginkan kebaikan bagi orang lain. Akan tetapi, setelah dia memasuki kehidupan dalam masyarakat, mempunyai teman-teman dan mempunyai kedudukan, maka dia akan dihadapkan pada tugas dan tanggung kawab yang lebih berat dari sebelumnya. Pada hari-hari pertama memasuki kehidupan masyarakat,

dia diberi nasihat untuk memilih teman yang baik dan menghindari teman-teman yang dapat menjerumuskan dirinya dalam penyimpangan. Pada periode ini, kita diminta untuk memilih teman-teman yang dapat membantu kita dalam meraih tujuan-tujuan hidup yang mulia. Pada periode berikutnya, ketika kita sudah memasuki kehidupan bermasyarakat, mempunyai teman-teman dan berhubungan dengan banyak orang, bahkan ada sebagian orang yang percaya terhadap diri kita, tentu pada tingkat ini kita mempunyai tugas serta tanggung jawab yang lebih berat dari periode sebelumnya.

Pada periode pertama, apabila seseorang tidak memilih teman-teman yang baik dan tepat, dia akan dicela dan boleh jadi dia akan menghadapi beragam kerugian akibat berteman dengan manusia-manusia yang tidak baik. Demikian pula halnya pada periode kedua, apabila setelah mendapatkan teman yang baik dan tepat, lalu karena satu dan lain hal dia harus putus hubungan dengan teman-temannya; tentu dalam hal ini dia juga akan dicela karena tidak dapat mempertahankan hubungan pertemanan. Manusia kadang dicela karena tidak

p: 231

melakukan sesuatu yang baik, namun adakalanya manusia dicela karena membuang sia-sia hasil kerjanya, tentu yang kedua jauh lebih menyakitkan.

Pesan dan wasiat Imam Ali as pada bagian ini berkaitan dengan kondisi ketika seseorang telah menemukan teman-teman yang baik, namun karena kurang pandainya dia dalam membina hubungan pertemanan, maka terputuslah hubungan itu dan dia kehilangan mereka. Atau seseorang yang dipercaya lalu berkhianat dan tidak menunaikan amanah yang diberikan padanya. Tak diragukan, kehilangan teman jauh lebih buruk daripada tidak mempunyai teman. Atau lebih baik sejak awal tidak dipercaya, daripada dipercaya lalu berkhianat. Imam Ali as berkata, “Alangkah buruk, putusnya hubungan silaturahmi pascaterjalinnya.” Hidup tanpa teman dan hubungan sosial memang tidak benar dan merugikan, tetapi jauh lebih merugikan apabila teman yang sudah dimiliki lepas dari genggaman dan terputus.

Demikian pula halnya dengan pertikaian setelah terjalinnya tali persaudaraan. Seseorang yang telah memiliki teman dan menjalin hubungan pertemanan dengannya, lalu mencederai hubungan tersebut, jauh lebih buruk daripada apabila sejak awal dia tidak mempunyai teman. Keberadaan teman adalah sebuah modal yang harus dihargai dan dijaga dengan baik seperti modal-modal yang lain, karena tidak mempunyai modal itu adalah kondisi yang tidak baik, dan lebih buruk daripada kondisi itu adalah mempunyai modal lalu dihilangkan. Demikian pula halnya dengan permusuhan setelah pertemanan, yang jauh lebih buruk daripada

permusuhan yang tidak diawali dengan pertemanan. Imam Ali as juga berkata, “(Alangkah buruknya) berkhianat terhadap orang yang memercayakan sesuatu kepadamu.” Jelas sekali bahwa mengkhianati seseorang adalah perbuatan yang buruk, namun lebih buruk lagi apabila pengkhianatan itu dilakukan

p: 232

kepada seseorang yang memercayaimu. Khianat mengandung beberapa makna, terkadang berupa menghilangkan hak seseorang dan terkadang berupa merampas dan mengambil harta orang. Ketika seseorang mempunyai kedudukan di tengah masyarakat dan orang percaya kepadanya; menjadikannya rujukan dan menitipkan barang-barang berharga kepadanya.

Nah, apabila kemudian orang seperti ini berkhianat, dia lebih buruk daripada orang yang belum mendapat kedudukan dan dipercaya oleh masyarakatnya.

Sebagaimana telah disinggung di awal, pesan dan wasiat Imam Ali as ini bersifat umum dan universal. Pesan beliau sangat bermanfaat dalam kehidupan dan dapat menjadi pembuka jalan. Bedanya adalah apabila yang menggunakan nasihat beliau adalah seorang mukmin yang berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka selain manfaat duniawi, dia juga mendapatkan manfaat ukhrawi, yakni selain mendapatkan kemajuan dan perkembangan urusan duniawi, dia juga mendapatkan kebahagiaan ukhrawi dan maknawi. Namun bagi mereka yang tidak beriman kepada Tuhan dan Hari Kiamat, dia hanya akan mendapatkan manfaat serta maslahat dalam kehidupan sosial dan duniawinya saja apabila menggunakan nasihat-nasihat ini dalam hidupnya sebagai sebuah prinsip kehidupan.

Batasan Pertemanan dan Ukuran Ketulusan

Salah satu dari alasan disampaikannya nasihat dan wasiat ini adalah untuk membangunkan kita dari tidur kelalaian. Karena beberapa pesan di atas termasuk dalam hal-hal yang sering dilalaikan, meskipun semua mengetahui dan mengakui kebenarannya. Nasihat dan pesan beliau, apabila dipikirkan dan direnungkan, maka semua kepala akan membenarkannya tanpa perlu dibuktikan secara nakli dan ta'abbudi. Semua orang mengetahui, apabila dia diberi amanat, seharusnya dia tidak berkhianat. Berkhianat atas sebuah amanah adalah

p: 233

perbuatan yang buruk dan semua orang mengetahuinya. Hal ini beliau wasiatkan lantaran sering dilupakan dan dilalaikan. Terkadang manusia jatuh dalam sikap ifrath dan tafrith. Umpamanya, seseorang menceritakan segala permasalahan dan rahasia kepada temannya tanpa sensor dan batas. Nah, ketika kemudian pertemanan mereka mulai memudar, maka dia merasa ketakutan dan tidak aman, karena semua rahasia telah diketahui oleh mantan temannya. Sering kali terjadi, bagaimana hubungan pertemanan yang erat, tiba-tiba berubah menjadi permusuhan yang hebat. Di saat itulah kemudian rahasia-rahasia yang telah dipercayakan dapat disalahgunakan. Karena pertemanan yang begitu erat dan hangat ini, tidak pernah terpikir akan rusak dan hancur, padahal selalu terbuka kemungkinan suatu hari pertemanan itu akan berubah menjadi permusuhan. Kendati kita diperintah untuk mencari teman-teman yang baik, namun itu bukan berarti kita boleh membongkar serta menyerahkan semua rahasia kepadanya. Ada hal-hal dalam hidup yang tidak perlu dibagi meskipun terhadap teman yang paling karib sekalipun. Manusia harus sangat berhati-hati dan tidak perlu membagi seluruh khazanah rahasianya kepada orang lain. Setelah beberapa tahun pertemanan, terujinya teman

dalam beragam situasi dan kondisi juga keyakinan terhadap kesetiaannya, baru kita boleh berbagi sebagian rahasia yang dirasa perlu untuk diketahui. Namun sebelum kita yakin akan kesetiaan dan ketulusannya, sebaiknya kita tidak berbagirahasia dengannya.

Masalah tersebut telah diketahui oleh setiap orang yang berakal, namun sayangnya sering dilupakan dan dilalaikan. Nanti ketika dampak buruknya telah menimpa dan dirasa, barulah orang menyadari dan menyesali kesalahan yang telah diperbuat. Perlu diketahui, dalam sebuah hubungan pertemanan, tidak ada keharusan untuk saling berbagi dan

p: 234

membongkar seluruh rahasia. Pemahaman yang seperti ini sungguh keliru dan tidak benar menurut akal sehat. Pada saat yang sama, seseorang harus mempunyai neraca dan ukuran yang benar dalam menunjukkan perasaan serta rasa sukanya kepada teman. Berdasar pada neraca dan ukuran itulah dia harus menyesuaikan rasa suka dan cintanya. Dalam menunjukkan perasaan cinta dan suka saja, seseorang dituntut untuk mengetahui batasan serta ukurannya, apalagi dalam masalah berbagi rahasia yang kalau tidak berhati-hati bisa berakibat pada hancurnya bangunan kehidupan. Rumusan dan kaidah ini juga perlu diperhatikan berkaitan

dengan musuh. Yakni, apabila kita bermusuhan dengan seseorang, kita tidak boleh mengumbar semua keburukan dan rasa benci kita kepadanya. Pasalnya, apabila permusuhan ini berlangsung lama, kita akan kehabisan amunisi untuk memojokkannya, atau apabila suatu hari nanti terbuka pintu pertemanan dengannya, kita tidak terlalu sulit mengikis permusuhan yang lalu.

Singkat kata, baik dalam pertemanan maupun permusuhan, kita tidak dianjurkan untuk mengungkap seluruh perasaan cinta atau mengumbar semua kebencian tanpa ada batasan. Ungkap perasaan suka dan tidak suka Anda secara wajar dan proporsional agar Anda tidak terjebak atau terjerat oleh apa yang Anda ungkapkan. Nah, apabila Anda mengalami salah paham dengan seseorang, baik Anda yang benar ataupun Anda yang salah, Anda tidak dianjurkan untuk mengumbar segala macam kebencian secara berlebihan (baca: ifrath) sehingga pintu damai akan tertutup untuk selama-lamanya. Anda dituntut untuk berhati-hati dalam semua tindakan dan ucapan. Jangan perlakukan temanmu dengan rasa suka yang berlebihan, karena suatu saat nanti dia bisa menjadi musuhmu; sebaliknya, jangan perlakukan musuhmu dengan rasa benci yang berlebihan, karena suatu saat nanti dia bisa

p: 235

menjadi temanmu. Dengan kata lain, jangan umbar seluruh kebencian, agar suatu saat bila engkau berteman dengannya, engkau bisa dengan mudah memandang wajahnya dan dia juga dapat dengan mudah memandang wajahmu. Imam Ali as berkata, “Dan apabila engkau hendak memutus hubungan dengan saudaramu, sisakan tempat di hatimu untuk kembali berhubungan dengannya; apabila suatu hari nanti ada hal-hal yang menjadi jelas dan terbuka bagimu dan baginya.”

Apabila engkau hendak memutus hubungan pertemanan, sisakan tempat untuk kemungkinan kembali menjadi teman. Umpamanya, Anda telah menjalin pertemanan yang cukup lama dengan seseorang, namun kini Anda melihatnya telah keluar dari jalur takwa dan Anda tidak ingin lagi berhubungan dengannya. Atau, boleh jadi hubungan pertemanan seseorang itu berkaitan dengan hubungan dalam perniagaan. Nah, setelah perniagaan surut, hubungan mereka juga ikut surut dan mulai memudar. Imam Ali as dalam kaitan ini hendak mengingatkan: apabila engkau hendak berpisah atau meninggalkan pertemanan dengan temanmu, janganlah engkau memutus hubungan itu sehingga sulit untuk dijalin kembali; akan tetapi, sisakan celah untuk dapat kau jalin lagi hubungan pertemanan dengannya apabila suatu saat nanti penghalang pertemanan telah sirna. Karena sangat mungkin terjadi pada suatu hari nanti Anda akan perlu untuk kembali membuka hubungan pertemanan dengannya. Oleh sebab itu, janganlah melakukan tindakan-tindakan yang dapat menutup rapat-rapat pintu terjalinnya kembali pertemanan. Kita harus selalu mengingat apa yang diwasiatkan oleh Maula al-Muttaqin, Imam Ali as, “Dan apabila engkau hendak memutus hubungan dengan saudaramu, maka sisakan tempat di hatimu untuk kembali berhubungan dengannya; apabila suatu hari nanti ada hal-hal yang menjadi jelas dan terbuka bagimu dan baginya."

p: 236

Menghindari Posisi Tuduhan dan Fitnah

Di antara hal penting yang harus diperhatikan dalam hidup bermasyarakat, adab pergaulan dan etika sosial, adalah masalah menghindari posisi tuhmah (baca: posisi tuduhan). Dalam kehidupan sosial dan pergaulan dengan orang lain, manusia harus sedemikian rupa berperilaku agar tidak menjadi sasaran tuduhan dan buruk sangka (baca: su’uzhzhan). Dengan kata lain, manusia tidak boleh melakukan perbuatan yang tidak terukur dan tidak pada tempatnya, agar tidak menjadi sasaran tuduhan dan buruk sangka orang lain. Sekalipun manusia tidak boleh secara berlebihan memerhatikan dan mementingkan pandangan orang lain dan harus menjadikan keridaan Ilahi sebagai tolok ukur sejati atas segala sepak terjangnya, namun tetap saja manusia tidak diperkenankan untuk melakukan hal- hal yang dapat menjadikan dirinya sebagai sasaran tuduhan dan buruk sangka.

Perlu diperhatikan, antara pandangan orang-yang buruk sangka termasuk di dalamnya--dan menginginkan kerelaan serta persetujuan orang, terdapat perbedaan yang sangat jelas dan mencolok. Manusia tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang yang menjadikan orang lain berpandangan buruk terhadap dirinya, tetapi pada saat yang sama dia juga tidak boleh berbuat semata-mata demi meraih kerelaan orang lain, namun dia harus berbuat semata-mata demi meraih

keridaan Allah Swt. Terkadang masyarakat menginginkan sesuatu dari kita yang tidak diinginkan dan tidak pula diridai oleh Allah Swt; terkadang juga masyarakat memberikan penilaian-penilaian yang tidak terukur, yakni mereka memuji dan mencela seenaknya tanpa alasan yang rasional. Dengan memerhatikan dua fenomena di atas, manusia tidak boleh menjadikan kerelaan masyarakat sebagai ukuran dan tolok ukur bagi perbuatannya, namun dia juga harus berhati-hati agar masyarakat tidak berburuk sangka serta menuduhnya dengan tuduhan yang buruk.

p: 237

Dengan kata lain, manusia harus berbuat tidak karena orang dan tidak memberi peluang orang untuk berburuk sangka terhadap dirinya. Bagaimanapun juga, meraih keridaan Ilahi adalah sebuah keharusan dan manusia harus senantiasa berpikir apakah Allah Swt rela terhadap dirinya atau tidak. Banyak riwayat shahih yang secara mendalam berbicara tentang hal ini dan sudah kita bahas pada Buku Pertama. Mungkin, di antara semua riwayat itu, yang paling menarik adalah ucapan Imam Baqir as kepada Jabir bin Yazid al-Ju'fi yang juga telah dibahas. Tolok ukur penilaian dan apresiasi adalah kalam Ilahi, ketentuan serta hukum-Nya dan

bukan pandangan masyarakat; manusia tidak diperkenankan untuk menjadikan pandangan masyarakat sebagai tolok ukur atas perbuatan dan tindakannya. Yang harus dijadikan tolok ukur adalah apa yang dimaukan oleh Allah Swt, Rasul saw dan para Imam suci as.

Manusia tidak perlu sibuk untuk meraih kerelaan masyarakat, bahkan dia tidak diperkenankan untuk semata- mata mencari baik sangka mereka, karena hal itu dapat menjerumuskan manusia dalam sebuah bentuk kemusyrikan. Yang dianjurkan dan dipesankan adalah jangan berbuat hal-hal yang menjadikan masyarakat berpandangan buruk dan berburuk sangka (terhadap diri kita). Manusia tidak diperkenankan untuk melakukan serangkaian perbuatan agar dipuji dan dipuja oleh masyarakat. Seorang mukmin yang muwahhid hanya memerhatikan serta memikirkan keridaan Ilahi dan bukan selain-Nya. Akan tetapi, apabila seseorang

itu bersama Allah Swt, Allah juga akan menjadikan hati masyarakat terpaut serta jatuh cinta kepadanya. (Ditegaskan dalam al-Quran), Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati umat manusia) kecintaan terhadap mereka.(1)

p: 238


1- 60 QS. Maryam (197:96).

Seorang mukmin tidak boleh beramal demi keridaan serta kerelaan manusia, dia berbuat semata-mata demi meraih keridaan Ilahi; Nah, sebagai imbalannya, Allah Swt akan membuka hati mayarakat untuk mencintai dan menyukainya. Dari sisi lain, seorang mukmin juga tidak diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang menjadikan masyarakat berpandangan buruk serta berburuk sangka terhadapnya. sebagai akibat dari tidak mengindahkan serta lalai dari pesan Ilahi yang mencerahkan ini, sebagian ahli tasawuf terjerumus dalam kekeliruan. Mereka memahami jihad al-nafs dan memerangi diri adalah dengan melakukan serangkaian

perbuatan yang justru mendatangkan kecaman, cemoohan serta buruk sangka dari masyarakat. Karena kelompok (mutashawwifah) ini beranggapan bahwa memerangi hawa nafsu adalah dengan menanggung cemoohan serta celaan orang lain, maka mereka dinamakan sebagai kelompok Malamatiyyah. Salah satu kelompok aliran tasawuf Ahlusunnah ini beranggapan bahwa melakukan hal-hal yang mendatangkan celaan dan cemoohan dari masyarakat akan menjadikan

seseorang memperoleh kedekatan di sisi Allah Swt. Tentu anggapan seperti ini tidaklah benar, karena Allah Swt tidak suka kepada seorang mukmin yang melakukan serangkaian perbuatan tidak terukur sehingga dia mendapatkan celaan serta tuduhan buruk dari masyarakatnya. Kemaslahatan kehidupan sosial yang Islami menuntut terciptanya suasana saling berbaik sangka di antara masyarakat. Ajaran Ilahi-samawi tidak mengizinkan kepada seorang mukmin untuk

memosisikan diri dalam sasaran tuhmah (tuduhan negatif) serta buruk sangka masyarakatnya.

Kewajiban untuk Menjaga Kehormatan dan Harga Diri

Allah Swt tidak mengizinkan seorang mukmin untuk menjatuhkan kehormatan dan harga dirinya sendiri, sebagaima Allah Swt juga melarang seorang mukmin untuk menjatuhkan

p: 239

harga diri dan kehormatan orang lain. Harga diri seorang mukmin sangatlah terhormat, karenanya sebagaimana orang lain tidak boleh menjatuhkan harga diri seorang mukmin, maka dia sendiri juga tidak boleh untuk melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan orang lain berburuk sangka atau mengambil kesimpulan yang buruk tentangnya. Seorang mukmin tidak boleh memosisikan dirinya dalam sasaran tuduhan dan buruk sangka, sebagaimana dia juga tidak boleh berburuk sangka dan menuduh orang lain. Sekalipun dalam praktik kedua hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan, yakni tidak berbuat semata-mata demi meraih kerelaan

manusia dan pada saat yang sama dia tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi tuduhan dan buruk sangka. Oleh sebab itu, sangat sulit menjaga batasan-batasan yang sangat tipis ini. Manusia dituntut untuk menutupi beragam dosa, maksiat dan keburukan diri. Apabila ada kekurangan atau aib diri yang tidak diketahui orang lain, dia tidak diperkenankan untuk membuka serta membeberkannya. Nah, apabila dia dapat menjaga prinsip ini dalam kehidupan sosial, masyarakat akan berbaik sangka kepadanya. Hal itu adalah salah satu kenikmatan yang Allah Swt anugerahkan kepadanya; dia harus menghargai nikmat itu, karena kepercayaan serta dukungan masyarakat adalah sebuah modal yang dapat digunakan dalam kepentingan materi maupun maknawi, yakni nikmat keberadaan teman dan dukungan masyarakat dapat digunakan untuk mengarungi jenjang-jenjang kesempurnaan serta tujuan-tujuan tinggi insani.

Boleh jadi, dukungan masyarakat, pandangan baik dan kepercayaan mereka, dapat menjadikan Anda bersemangat untuk mengubahnya menjadi sangka baik yang hakiki. Dengan kata lain, seandainya sisi kesempurnaan dan sifat-sifat baik itu benar-benar tidak ada pada diri Anda, berusahalah mewujudkan dan merealisasikannya. Umpamanya, apabila masyarakat menganggap Anda sebagai sosok orang yang

p: 240

bertakwa dan ahli salat malam (baca: tahajud), wujudkanlah prasangka baik mereka dalam kehidupan nyata. Apabila masyarakat menilai Anda sebagai orang yang baik, jujur dan berakhlak mulia, jangan pernah lagi berdusta, jangan juga melakukan perbuatan yang buruk atau mengeluarkan ucapan yang tidak baik. Singkat kata, jangan sia-siakan sangka baik masyarakat terhadap diri Anda. Sangka baik dan kepercayaan masyarakat ini merupakan modal yang sangat berharga,

terutama bagi mereka yang memiliki posisi, kedudukan serta tanggung jawab sosial. Karenanya mereka harus berusaha keras untuk menjaga pandangan baik masyarakat serta kepercayaan ini; dan hendaknya mereka menampilkan perilaku yang dapat menjaga kepercayaan masyarakat serta mendatangkan keridaan Allah Swt. Tentu tak sedikitpun diragukan, bagi seorang mukmin, muwahhid dan beriman sempurna-Imam Hasan Mujtaba as sebagai salah satu contoh nyatanya—nasihat-nasihat di atas sama sekali tidak mempunyai tempat, yakni tidak ada artinya bagi sosok seumpama Imam Hasan Mujtaba as dikatakan: “Karena masyarakat berperasangka baik kepadamu, maka berlakulah seperti sangka baik mereka.” Beliau adalah sosok yang telah membersihkan diri dari berbagai macam keburukan

karena Allah Swt. Beliau jauh-jauh hari telah merealisasikan apa yang menjadi sangka baik masyarakat. Sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya, nasihat ini pada hakikatnya ditujukan kepada masyarakat secara umum. Dan, masyarakat umum biasanya memiliki serangkai kesalahan dan aib yang tertutup dari orang lain dan karena itu orang lain berbaik sangka kepadanya dan memandangnya dengan penilaian positif.

Yang Merusak Hubungan Pertemanan

Salah satu poin penting yang harus diperhatikan dalam dunia pertemanan adalah menjaga hak-hak pertemanan

p: 241

dalam beragam situasi dan kondisi juga naik-turunnya roda kehidupan. Ketika menjalin hubungan pertemanan yang harmonis dengan seseorang, terkadang manusia lupa menjaga hak-hak si teman yang akhirnya berakibat pada terabaikannya hak-hak pertemanan. Salah satu hak teman yang mukmin adalah menghormati dan menghargainya di hadapan orang lain dan harus mendahulukannya dalam urusan kebaikan. Apabila teman mukmin kita membutuhkan sesusatu, kita harus segera memenuhinya. Akan tetapi, sangat disayangkan, terkadang kita sering melupakan hak-hak teman dan tanggung jawab kita terhadapnya, bahkan terkadang kita bisa melupakan sama sekali sosok dan identitasnya.

Mengabaikan hak di sini terjadi karena sebegitu akrabnya hubungan pertemanan di antara mereka. Dan, seperti inilah pada umumnya pergaulan, ketika sudah semakin akrab, mereka kurang menghormati satu sama lain. Bahkan hal ini bisa menjurus pada mengabaikan hak-hak pertemanan. Sebagai misal, karena hubungan pertemanan sudah sedemikian dekatnya, maka antarteman akan saling panggil dengan ucapan “kamu”, dan karena sudah terbiasa saling panggil dengan kata ganti tersebut, maka di hadapan banyak orang pun mereka akan saling panggil dengan kata ganti tersebut. Perlu diwaspadai, perilaku antarteman yang seperti ini lambat-laun akan mengurangi kedekatan dan kualitas hubungan pertemanan. Kedekatan hubungan pertemanan tidak boleh menjadi alasan untuk diabaikannya hak-hak pertemanan di mata umum, seperti sikap saling menghormati dan saling menghargai di antara teman.

Bagaimanapun juga, hak-hak teman harus dijaga dan tidak boleh ada yang bersikap melampaui batas. Jangan sampai keakraban dan kedekatan menjadi sebab untuk tidak menghormati serta menghargai teman, apalagi sampai mengabaikan hak-hak seorang teman. Karena bagaimanapun

p: 242

juga, setiap orang mempunyai posisi di tengah masyarakat yang harus dihormati dan dihargai. Prinsip dan kaidah akhlak ini juga harus dijaga dalam hubungan suami istri. Benar, antara suami istri telah tercipta hubungan yang sedemikian dekatnya. Akan tetapi, di hadapan khalayak dan masyarakat, suami istri tidak boleh berperilaku seperti ketika mereka di rumah dan tidak dalam pantauan orang lain. Di hadapan orang, suami istri dituntut untuk menjaga sikap dan saling menghormati, seperti suami harus menghormati istri dalam berbicara dan begitu juga sebaliknya. Boleh jadi, suami istri di rumah mempunyai cara berkomunikasi yang tidak terlalu formal dan menggunakan kata-kata yang sedikit bebas. Namun, di hadapan masyarakat, mereka harus berbicara dengan kalimat-kalimat yang lebih menunjukkan rasa hormat dan sesuai dengan nilai-nilai kesantunan. Setiap situasi dan kondisi mempunyai batasannya masing- masing dan menuntut sikap-sikap tertentu yang tidak bisa disamaratakan. Dan keakraban di antara teman tidak bisa dijadikan dalih atau alasan untuk tidak saling menghormati. Sikap-sikap yang tidak terukur dan melampaui batas justru akan membahayakan hubungan pertemanan. Apabila dengan alasan pertemanan kita mengabaikan hak-hak teman, pada hakikatnya tidak ada hubungan pertemanan yang tersisa. Imam Ali as dalam kaitan ini menegaskan, “Dan jangan sekali-kali engkau mengabaikan hak saudaramu dengan dalih kedekatanmu dengannya, karena sungguh bukanlah saudaramu orang yang engkau abaikan haknya."Temanmu mempunyai hak-hak atasmu dan engkau bertanggung jawab untuk menghormati serta menghargainya di tengah masyarakat. Hal ini sama sekali tidak akan mencederai kedekatan kita dengan teman-teman, namun bagaimanapun juga kita tetap dituntut untuk saling menghormati di hadapan umum.

p: 243

Apabila kita tidak menghormati dan menghargai hak-hak teman, pada hakikatnya hubungan pertemanan tersebut telah sirna. Apabila Anda hendak berteman dengan seseorang, jagalah hak-haknya sebagai teman; karena jika tidak Anda jaga hak-haknya, pada hakikatnya Anda adalah bukan temannya. (Mari kembali kita ingat apa yang diucapkan oleh Imam Ali as), Dan jangan sekali-kali engkau mengabaikan hak saudaramu dengan dalih kedekatanmu dengannya, karena sungguh bukanlah saudaramu orang yang engkau abaikan haknya.

Sikap l'tidal dalam Beragam Tanggung Jawab

Hal penting lain yang harus diperhatikan dan dibahas di sini adalah masalah menjaga i'tidal atau keseimbangan dalam menjalankan tanggung jawab dan memberikan hak-hak pertemanan. Mengabaikan poin penting ini akan mendatangkan banyak masalah bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab berat. Banyak sekali orang lantaran tanggung jawab besar yang dipikulnya di tengah masyarakat, menjadi tidak berdaya untuk menjalankan tanggung jawab terhadap

orang-orang dekatnya seperti istri dan anak-anak. Dia lalai untuk menjaga keseimbangan dalam menjalankan hak-hak dan tanggung jawab yang diembannya. Seperti halnya mereka yang mempunyai banyak pekerjaan dan super sibuk; dia sudah pergi keluar rumah di awal pagi sementara anak-anak masih

tidur dan baru pulang ke rumah di kala anak-anak sudah kembali tidur. Saya teringat cerita salah seorang syahid mulia yang berkata, “Karena kesibukan dalam kerja pengawasan dan evaluasi, saya selalu pulang tengah malam ketika anak-anak sudah pergi tidur dan saya sudah harus meninggalkan rumah

lagi sebelum mereka terbangun. Terkadang dalam satu bulan saya hanya dapat bertemu sekali dengan anak-anak di saat bangunnya.”

Boleh jadi banyaknya kesibukan dan pekerjaan menjadikan seseorang lalai atas tanggung jawab terhadap istri dan anak

p: 244

sehingga hak-hak mereka terabaikan. Bagaimanapun juga seseorang dituntut untuk dapat menjaga keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan tanggung jawab atas keluarga. Kebanyakan orang mengorbankan orang-orang dekatnya demi tuntasnya tanggung jawab sosial, atau setidaknya porsi yang lebih besar diberikan pada masalah-masalah sosial dan sedikit sekali diberikan pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Hal ini merupakan masalah besar yang harus

selalu mendapatkan teguran dan peringatan. Oleh karenanya Imam Alias berpesan, “Jangan sampai keluargamu menjadi orang-orang yang paling celaka di sisimu.” Ingatlah, Anda mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan mereka mempunyai hak-hak atasmu. Jangan sampai lantaran tidak memerhatikan hak-hak mereka, akhirnya mereka menjadi terabaikan dan mengalami kesulitan. Ingatlah, keluargamu mempunyai hak atasmu dan wajib untuk diberikan. Setidaknya, sama

ratakan perhatianmu atas anak-anakmu dengan orang lain.

Mereka adalah manusia yang juga mempunyai serangkaian hak atasmu. Jangan sampai kesibukan di luar menjadikan kita mengabaikan keluarga sendiri.

Para pelajar, mahasiswa, peneliti dan mereka yang merasa memiliki tanggung jawab sosial, tentu akan menghadapi tantangan yang berat dalam masalah ini. Mereka berpikiran bahwa studi dan penelitian tak ubahnya seperti pertahanan militer bagi sebuah negara yang wajib dilakukan. Seandainya sepanjang pagi dan malam digunakan untuk studi dan penelitian, masih saja kurang waktu yang dibutuhkan, karena pekerjaan penelitian serta setumpuk masalah yang belum

terselesaikan menuntut waktu lebih dari 24 jam. Oleh sebab itu, mereka mengabdikan seluruh waktunya untuk tugas-tugas studi dan penelitian dan mereka beristirahat hanya untuk sekadar makan dan minum. Nah, pekerjaan yang tak kenal batas waktu seperti ini, tentu menyebabkan terabaikannya

p: 245

hak-hak orang tua, istri dan anak-anak. Hal ini biasanya lebih dirasakan oleh istri dan kedua orang tua.

Mereka yang pergi ke luar kota untuk belajar (atau bekerja) biasanya akan menghadapi masalah ini, karena mereka tinggal jauh dari orang tua dan istri. Para istri dan ibu akan merasa kesepian dan hanya bisa menanti kapan suami atau anak mereka pulang. Kesibukan dalam studi atau pekerjaan tidak menyisakan waktu bagi mereka untuk menjalankan tugas-tugas serta tanggung jawab dalam keluarga. Mereka bahkan sampai tidak punya waktu untuk sekadar menanyakan keadaan

orang tua dan istrinya. Sepertinya mereka tidak mengenal apa-apa selain buku dan pena, karenanya ketika pulang ke rumah pun mereka masih saja sibuk dengan berbagai catatan serta penelitiannya. Mereka tidak lagi sempat menanyakan keadaan orang tua yang sudah renta atau anak yang sedang sakit. Orang-orang seperti ini telah lalai dengan tanggung jawab terhadap keluarga atau jika tidak lalai mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengurusi orang tua, istri dan anak-anaknya.

Jelas sekali bahwa studi pada masa kini tak ubahnya seperti masalah pertahanan dan aktivitas sosial lainnya yang bersifat harus dan wajib. Namun kita harus menyadari bahwa apabila hal itu menjadikan terabaikannya hak-hak keluarga, studi itu tidak pantas untuk dilanjutkan selain tidak akan pernah memberikan manfaat yang berarti. Sikap tidak peduli dan mengabaikan keluarga yang di dalamnya ada orang tua,

istri dan anak-anak, bisa berakibat pada munculnya masalah-masalah mental dan psikologis yang sulit untuk diobati. Dampak buruk lainnya adalah akan berkembang anak-anak yang asing dan tidak kenal dengan agama lantaran kurang mendapat tarbiah dan perhatian, sehingga menjadi masalah dan bencana bagi keluarga dan masyarakat umum. Imam Ali as mengingatkan, “Jangan sampai keluargamu menjadi orang-

p: 246

orang yang paling celaka di sisimu.” Yakni, jangan sampai keluarga kita menjadi orang-orang yang paling dirugikan lantaran sikap kita yang keliru dan kurang peduli. Bukan tidak mungkin, sikap keliru dan tidak peduli kita akan menjadikan mereka sengsara dan celaka. Oleh sebab itu, janganlah kita melakukan hal-hal yang menjadi penyebab penyimpangan serta kehancuran istri, anak-anak dan orang-orang terdekat kita sendiri. Sikap tidak peduli dan lalai merupakan sikap yang tidak sesuai dengan apa yang dipesankan oleh Maula al-Muttaqin Imam Ali as.()

p: 247

p: 248

36-ADAB PERTEMANAN (3)

Point

وَلاَ تَرْغَبَنَّ فِی مَنْ زَهِدَ فِیکَ، وَلاَیَکُونَنَّ أَخُوکَ أَقْوَی عَلَی قَطِیعَتِکَ مِنْکَ عَلَی صِلَتِهِ وَلاَیَکُونَنَّ(1) عَلَی الاِْسَاءَةِ أَقْوَی مِنْکَ عَلَی الاِْحْسَانِ، وَلاَ عَلَی الْبُخْلِ أَقْوَی مِنْکَ عَلَی الْبَذْلِ، وَلاَعَلَی التَّقْصِیرِ أَقْوَی مِنْکَ عَلَی الْفَضْلِ، وَلاَیَکْبُرَنَّ عَلَیْکَ ظُلْمُ مَنْ ظَلَمَکَ فَإِنَّهُ یَسْعَی فِی مَضرَّتِهِ وَنَفعِکَ، ولَیْسَ جَزَاءُ مَنْ سَرَّکَ أَنْ تَسُوءُهُ

Janganlah engkau berharap kepada orang yang menahan diri darimu. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam memutus hubungan silaturahmi daripada engkau dalam menyambungnya. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam melakukan keburukan. dari pada engkau dalam berbuat kebaikan. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam kebakhilan daripada engkau dalam kedermawanan. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam ketidakpedulian dan penolakan daripada engkau dalam kepedulian dan pemberian. Jangan sampai kezaliman orang yang menzalimimu menjadi besar dalam pandanganmu.

Dalam sebagian naskah dinukil “la takunanna” bukan “la yakun-anna”, sehingga pesan Imam Ali as akan berarti demikian: Jangan sampai kecenderunganmu untuk berbuat keburukan lebih kuat daripada kecenderunganmu untuk berbuat kebaikan. Jangan sampai kecenderunganmu pada kebakhilan lebih kuat daripada kecend-

erunganmu pada kedermawanan. Jangan sampai kecenderunganmu pada kekurangan (dalam berkhidmat) lebih kuat daripada kecenderunganmu pada keutamaan dalam berkhidmat.

p: 249

sedang berusaha menghancurkan dirinya dan memberikan manfaat kepadamu. Dan balasan bagi orang yang membahagiakanmu bukanlah dengan engkau berbuat buruk dan menyakitinya. Salah satu tugas besar akhlaki seorang insan muslim, terkhusus pengikut ajaran Imam Ja'far Shadiq as yang telah ditekankan dalam banyak riwayat adalah menjaga hak-hak pertemanan dan ikhwan. Kata “ikhwan” dalam istilah Arab dan Islam tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu,

tetapi merupakan sebuah ungkapan umum yang hampir sama dengan kata “saudara”. Istilah ini pascarevolusi (Revolusi Iran 1979) telah menjadi sebutan populer dalam budaya sosial masyarakat kita ketika antara muslimin dan mukminin saling panggil dengan sebutan itu. Yang dimaksud dengan hak-hak ikhwan di sini adalah hak-hak orang-orang yang bergaul dan berteman dengan kita. Di dalam Islam, terkhusus dalam ajaran Ahlulbait, terdapat banyak hak yang diperuntukkan bagi ikhwan. Kita harus mengenal hak-hak tersebut dan menjaganya. Dari situlah kita akan menunjukkan kesetiaan kepada teman-teman kita. Kesetiaan terhadap teman itu sendiri merupakan sebuah nilai insani yang sangat tinggi dan ditekankan dalam ajaran Islam. Bagian wasiat dan pesan Imam Ali as ini juga membahas tentang pergaulan, hak teman, cara memilih teman dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sikap Kurang Kasih Sayang Jauh Lebih Baik Daripada Sikap Kasar

Sebagaimana yang telah dibahas, motivasi pertemanan dan ketertarikan antarmanusia sangatlah beragam dan bermacam-macam. Karena melihat ketakwaan seseorang, ketinggian ilmu atau kesempurnaan lainnya, kadang manusia menjalin hubungan pertemanan dengannya. Terkadang hubungan pertemanan berlangsung secara bertepuk sebelah tangan”, yakni yang satu tertarik untuk berteman sementara yang lain tidak. Nah, (Imam Ali as) menasihati untuk tidak memaksakan

p: 250

pertemanan dengan orang yang tidak ingin berteman dengan kita. Apabila Anda telah berusaha untuk mendekatkan diri dengan seseorang dan dia tidak merespon positif usaha Anda, maka jangan paksakan pertemanan dengannya. Dalam kaitan ini beliau menegaskan yang maknanya, “Apabila engkau telah berusaha untuk menjalin pertemanan dengan seseorang, namun dia tidak tertarik berteman denganmu, maka jangan pernah memaksakannya, karena hal itu hanya akan

menyebabkan kerendahan serta kehinaanmu. Masih banyak orang lain yang bisa kaupilih untuk berteman dengannya secara tulus. Apabila engkau memaksa sementara dia tidak mau berteman, usahamu hanya akan membuang-buang waktu dan energi, dan engkau tidak akan mendapatkan manfaat apa- apa darinya. Oleh sebab itu, bertemanlah dengan mereka yang memang mau berteman denganmu, karena pertemanan tidak bisa dibangun secara sepihak dan bertepuk sebelah tangan. Ketertarikan kedua belah pihak merupakan syarat utama dalam membangun sebuah ikatan pertemanan. Adapun bagi dua orang mukmin yang telah mencapai tingkat keimanan tertentu, maka yang menjadi ukuran pertemanan adalah kualitas keimanan itu sendiri. Apabila kedua belah pihak telah masuk dalam golongan orang-orang yang beriman, keduanya pasti akan saling menyukai, dan ketika itu tidak ada hal lain yang menjadi perekat hubungan pertemanan mereka selain keimanan."

Singkat kata, apabila dalam lingkungan kehidupan dan hubungan pertemanan, Anda melihat adanya orang-orang yang tidak suka untuk berteman dengan Anda, maka jangan pernah memaksakan pertemanan dengannya, karena hubungan yang seperti itu tidak akan pernah mendatangkan kebaikan. Tak diragukan, ketidak tertarikan orang lain untuk berteman dengan kita bisa disebabkan oleh beberapa sebab. Boleh jadi, pihak lain tidak mau berteman dengan kita karena kesalahpahaman atau perasangka buruk. Nah, semua itu

p: 251

harus diluruskan terlebih dahulu. Akan tetapi, apabila upaya pelurusan dan menghilangkan kesalahpahaman serta buruk sangka sudah dilakukan dan pihak lain tetap tidak tertarik untuk berteman dengan kita, maka memaksakan pertemanan dengannya hanya akan membuang waktu dan energi secara sia-sia; selain tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa kecuali kehinaan diri dan penyesalan. Imam Ali as berkata, “Wa la targhabanna fi man zahida fika. Janganlah engkau

berharap kepada orang yang menahan diri darimu.” Atau bisa juga dimaknai sebagai berikut: “Jangan pautkan hatimu kepada orang yang tidak suka padamu.” Apabila seseorang telah menunjukkan ketidaktertarikannya padamu, janganlah engkau menunjukkan ketertarikan padanya dan jangan pula memaksa diri untuk menjalin hubungan pertemanan dengannya.

Hubungan Pertemanan Tidak Akan Pudar

Pesan dan wasiat Imam Ali as ini mengajarkan kepada kita tentang langkah-langkah awal dalam membangun hubungan pertemanan serta tahapan-tahapannya. Adakalanya permintaan pertemanan itu diterima dan adakalanya permintaan pertemanan ditolak; dan bila ditolak, kita tidak boleh memaksakannya. Sedangkan ketika permintaan pertemanan diterima, maka hal itu memerlukan penyikapan serta tindak lanjut tertentu. Ketika seseorang telah memilih teman dan merasa saling suka dan cocok sehingga hubungan pertemanan berjalan selama beberapa waktu; apabila kemudian terjadi permasalahan dan salah satu menghendaki putusnya hubungan pertamanan, apa yang harus dilakukan? Apakah langkah yang harus diambil adalah seperti apa yang telah dibahas di atas, yakni karena kautidak ingin menjalin hubungan denganku, maka aku tidak akan memaksakannya dan karena engkau tidak menjaga hak-hak pertemanan, maka aku juga tidak akan menjaga hak-hakmu; seperti itukah sikap

p: 252

yang benar? Jawabannya adalah tidak, tidak seperti itu. Di sini kita harus menjalankan adab pergaulan dan pertemanan yang telah diajarkan untuk mengambil sikap serta reaksi yang benar dan tepat.

Apabila sebuah hubungan pertemanan telah dibangun di atas dasar-dasar agama secara benar, kita tidak diperbolehkan untuk merusak hubungan tersebut. Apabila kita telah memilih teman yang baik dalam urusan dunia dan agama, yakni sebuah hubungan pertemanan yang diridai oleh Allah Swt, kita tidak boleh segera memutuskan hubungan tersebut hanya karena teman kita berniat untuk memutuskan hubungan pertemanan. Yang harus kita lakukan justru sebaliknya, yakni kita berusaha untuk kembali memperkuat hubungan yang sudah mulai melemah. Kita tidak boleh kehilangan teman hanya karena alasan-alasan yang sepele. Memang

benar, dalam mengawali hubungan pertemanan, seseorang tidak dianjurkan untuk memaksakan sebuah hubungan. Akan tetapi, apabila pertemanan telah terjalin, kita juga tidak boleh merusak hubungan tersebut dengan alasan yang tidak begitu penting. Dalam kaitan ini, telah banyak keterangan serta bimbingan yang sampai dari para Imam as dan sebagiannya telah kita singgung pada bahasan-bahasan yang lalu. Di sini, Imam Ali as memberikan penjelasan lain yang maknanya:

Apabila temanmu berkehendak untuk memutuskan hubungan pertemanan, janganlah engkau mengambil langkah yang sama, tetapi engkau justru harus menjaga serta mempertahankan hubungan yang telah terjalin indah di masa lalu. Jangan pernah engkau memutuskan sebuah hubungan pertemanan yang telah terjalin. Engkau harus berusaha seperti dua pegulat yang bertarung dan berusaha keluar sebagai pemenang. Berjuang dan bertahanlah untuk tetap menjaga hubungan

pertemanan. Jangan sampai pihak yang menghendaki putusnya hubungan pertemanan keluar sebagai pemenang; justru engkau yang harus menang dalam mempertahankan

p: 253

hubungan pertemanan. Engkau harus mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk mempertahankan dan menjaga hubungan pertemanan Ilahi yang telah lama terjalin dan menangkan pertarungan dalam menjaga hubungan tersebut. Beliau berkata, “Waspadalah terhadap orang yang hendak memutuskan hubungan pertemanan; jangan sampai dia menang dan pertemananmu akhirnya terputus dengannya. Usahakan kekuatanmu dalam mempertahankan pertemanan lebih unggul daripada kekuatannya dalam memutus hubungan pertemanan. Jangan sampai engkau menghadapinya dengan kelemahan sementara dia berusaha memutus hubungan pertemanan dengan kekuatan penuh.”

Ungkapan Imam Ali as di sini memberikan motivasi serta kekuatan yang luar biasa dalam mempertahankan hubungan pertemanan. Beliau mengajak kita untuk

mengerahkan kemampuan maksimal dalam mempertahankan pertemanan seraya berkata, “Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam memutus hubungan silaturahmi daripada engkau dalam menyambungnya.” Apabila temanmu melanggar janji dan berusaha memutus hubungan pertemanan lalu engkau menyerah begitu saja padanya, ketahuilah bahwa engkau lebih lemah daripada dia sehingga engkau pasrah dan tunduk padanya. Apabila kita mau mengikuti nasihat Imam Ali

as di sini, kita harus lebih kuat dari orang yang berusaha memutus hubungan silaturahmi dan jangan biarkan dia menang dalam memutus hubungan pertemanan. Oleh sebab itu, apabila hubungan pertemanan yang engkau jalani adalah hubungan pertemanan yang diridai oleh Allah Swt, engkau berkewajiban untuk menjaga serta mempertahankannya, dan jangan sampai hubungan tersebut putus akibat alasan-alasan yang sepele. Hal itu disebabkan, keberadaan seorang teman

baik dalam kehidupan ukhrawi dan dunia sangatlah penting dan berharga.

p: 254

Kecenderungan-Kecenderungan yang Berlawanan

Berbagai konflik internal antara dua poros yang saling berlawanan dan pertarungan yang berlangsung secara terus menerus antardua macam kecenderungan, selalu memosisikan manusia dalam dua pilihan yang sulit. Pada bagian ini, Imam Ali as menjelaskan tentang perlawanan antarteman dan sikap yang harus diambil; beliau berkata, “Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam melakukan keburukan dari pada engkau dalam

berbuat kebaikan.” Sebelum ini, beliau telah menjelaskan bahwa jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam memutus hubungan pertemanan daripada engkau dalam menjaga serta mempertahankan hubungan tersebut. Jangan biarkan saudaramu dengan kecenderungan-kecenderungan negatifnya keluar sebagai pemenang dalam memutus hubungan pertemanan.

Sebagaimana yang telah disinggung di awal pembahasan, terdapat naskah yang ungkapan “la yakunanna” dinukil dengan “la takunanna”. Apabila yang diambil adalah nukilan “la yakunanna”, maka yang dipahami adalah terdapat sebuah perbandingan serta perlawanan antardua macam kecenderungan, karena manusia memiliki kemampuan dan potensi untuk melakukan bermacam-macam aktivitas dan perbuatan. Keragaman kecenderungan ini begitu luas liputannya. Karenanya, pesandan nasihat ImamAliasini berlaku baik pada hubungan pertemanan maupun pada hubungan- hubungan lainnya. Sebagai misal, dalam hal pertemanan

terdapat dua macam kecenderungan dalam diri manusia yang saling bertentangan. Pada satu sisi ada kecenderungan yang menarik manusia untuk berbuat baik, melayani, bersikap peduli, bersikap ramah dan sebagainya, namun pada sisi lain, terdapat kecenderungan yang menarik manusia untuk berbuat jahat, buruk, bersikap kasar, berkhianat dan sebagainya. Dua kecenderungan atau dua potensi ini, keduanya berada di bawah ikhtiar manusia. Manusia mempunyai kuasa penuh

p: 255

untuk mengambil serta menindaklanjuti kecenderungan yang mana saja. Di sinilah kemudian Imam Ali as menjelaskan jalan yang benar serta kecenderungan mana yang harus dipilih seraya berkata, “Kemampuan untuk berbuat baik dan ihsan tidak boleh lebih lemah dari kemampuan untuk berbuat buruk dan jahat. Usahamu untuk berbuat baik, bersikap ramah, setia dan peduli kepada teman, harus lebih keras dibandingkan kecenderunganmu untuk berbuat buruk, berkhianat, bersikap

kasar dan tidak peduli.”

Di dalam batin Anda terdapat dua faktor serta kekuatan yang saling bertarung. Satu kekuatan berkata kepada Anda, Segera putuskan hubungan pertemanan. Apabila engkau melihat ketidaksetiaan dan mendapatkan perlakuan yang tidak ramah dari temanmu, segera balas dia dengan sikap dan perlakuan yang sama. Apabila dia berkhianat serta tidak peduli padamu dan meninggalkanmu di kala engkau membutuhkan bantuannya, tinggalkanlah dia saat membutuhkanmu dan perlakukan sebagaimana dia memperlakukanmu. Akan tetapi, di dalam dirimu terdapat kecenderungan lain yang berkata, Jaga dan pertahankanlah hubungan persahabatanmu. Setialah pada janji pertemanan dan jangan biarkan hubungan pertemanan menjadi rusak, bahkan berbesar hatilah untuk membalas engkhianatan

dan sikap tak kenal budi dengan perlakuan baik dan cinta. Jangan pernah kautinggalkan sikap baik dan perlakuan yang sarat cinta dan kasih sayang. Apabila sahabatmu berlaku buruk dan tidak setia, jangan sekali-kali engkau membalasnya dengan keburukan yang sama. Tetaplah setia pada ikatan persahabatan dan jangan pernah kaulepas dan rusak hubungan persahabatan Ilahimu apa pun taruhannya.

Dua faktor dan kecenderungan dalam batin ini selalu bertarung dan tarik-menarik, dan berusahalah untuk melangkah pada arah kecenderungan yang positif.

p: 256

Telah sama-sama kita pahami, pembicaraan Imam Ali as sebelum ini adalah perbandingan antara sikap dua teman yang salah satunya positif dan yang lain negatif. Akan tetapi di sini, beliau berbicara tentang dua kecenderungan yang saling berlawanan dalam diri manusia, di mana yang satu mengajak manusia untuk berbuat buruk, tak mengenal balas budi dan merusak hubungan pertemanan, sementara yang lain mengajak manusia untuk berbuat baik, kesetiaan, ketulusan dan menjaga hubungan pertemanan. Beliau berwasiat kepada kita untuk memilih kecenderungan yang kedua serya berkata, “Berusahalah untuk memperkuat kecenderungan yang kedua dalam dirimu, yakni ambil dan tindak lanjuti kecenderungan yang mengajakmu untuk berbuat baik, setia, berkhidmat dan berihsan kepada orang lain. Jangan sekali-kali engkau biarkan kecenderungan yang negatif menang atas kecenderungan- kecenderungan yang positif, sehingga engkau menjadi tidak setia dan berihsan terhadap orang lain terlebih sahabatmu. Imam Ali as menegaskan, “Wa la takunanna ‘alal isaati aqwa minka ‘alal ihsani. Jangan sampai kemampuanmu untuk

berbuat keburukan lebih besar daripada kemampuanmu untuk berbuat kebaikan. Berusahalah agar keinginanmu untuk berbuat kebaikan lebih besar dari pada keinginanmu untuk berbuat keburukan.” Berusahalah selalu dalam perbuatanmu untuk menginginkan kebaikan bagi orang lain dan berihsanterhadap mereka.

Demikian pula, jadikan kedermawananmu lebih kuat dan lebih besar daripada kekikiranmu. Apabila terbuka kesempatan bagimu untuk memberikan bantuan dalam masalah finansial dan materi, jangan sampai kesempatan tersebut terlewat darimu. Di dalam diri manusia terjadi pertarungan antara mendermakan

harta untuk kepentingan orang lain atau menyimpan harta untuk kepentingan diri sendiri; yang pertama disebut sebagai kedermawanan dan yang kedua adalah kekikiran atau "bukh”. Dalam kaitan ini, Imam Ali as memberikan nasihat, “Jadikan

p: 257

kecenderunganmu untuk mendermakan harta lebih kuat daripada kecenderunganmu untuk menyimpannya.” Dengan kata lain, meskipun kedua kecenderungan itu ada pada diri manusia, tetapi engkau harus berusaha memenangkan kecenderungan berderma atas kebakhilan dan kekikiran. Jadikanlah dirimu selalu bersemangat untuk membantu orang lain dalam masalah-masalah finansial.

Menebar Cinta atau Kikir atas Kasih Sayang dan Keramahan?

Tak diragukan, bantuan yang bisa diberikan kepada teman atau orang lain tidak hanya terbatas pada bantuan- bantuan keuangan dan materi, sebagaimana tidak semua problem bermuara pada masalah-masalah tersebut. Terkadang sebuah problem dapat diselesaikan dengan perbincangan dan tidak mungkin diselesaikan dengan uang. Sebagai misal, keharmonisan hubungan di antara dua orang teman mulai memudar disebabkan oleh beberapa faktor sehingga hubungan mereka menjadi renggang. Nah, masalah ini mungkin bisa diselesaikan apabila salah satu mau mendatangi yang lain dan menjelaskan duduk perkara dengan tenang atau meminta maaf bila memang terjadi sebuah kesalahan, sehingga hubungan pertemanan mereka kembali baik dan berjalan sebagaimana mestinya. Jelas sekali, tindakan di atas jauh lebih efektif dalam memulihkan hubungan pertemanan dibanding dengan bantuan keuangan.

Banyak masalah dan problem yang uang sama sekali tidak berdaya untuk memberikan solusi, tetapi ada cara dan jalan lain yang bisa menyelesaikannya. Contohnya, sikap perhatian dan peduli kepada teman sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bantuan keuangan dan santunan. Sikap peduli dan perhatian terhadap teman merupakan sebuah keutamaan dan ihsan. Sebaliknya, sikap acuh tak acuh adalah cerminan dari keegoisan dan hedonisme. Di sinilah Imam Ali as menegaskan

p: 258

yang maknanya: Jangan sampai kemampuanmu untuk berderma dan berihsan lebih kecil daripada kemampuanmu untuk menahan pemberian dan mencintai diri sendiri.

Antara Memaafkan dan Balas Dendam

Yang telah dibicarakan selama ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan dan menjaga hubungan persaudaraan serta pertemanan. Kini mari kita mengkaji dan melihat lebih jauh apa yang menjadi tugas insani-islami kita bila berhadapan dengan masalah memudar serta merenggangnya hubungan pertemanan. Adakalanya seseorang dihadapkan pada situasi dan kondisi dalam hubungan pertemanan ketika dia dikhianati atau bahkan dizalimi oleh temannya sendiri. Nah, apa yang harus dia lakukan? Apa yang menjadi tugas insani-islaminya dalam keadaan seperti itu?

Dalam situasi normal, manusia sangat peka terhadap orang yang hendak berbuat buruk atau merugikan dirinya. Kondisi kejiwaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang buruk, justru bermanfaat dan berguna baginya. Apabila manusia tidak peduli atas sebuah kezaliman yang menimpa dirinya dan membiarkan begitu saja setiap orang yang berbuat zalim kepadanya, dia tidak akan pernah meraih keberhasilan, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Tak diragukan, manusia tidak boleh menjadi orang yang pasrah dan menerima kezaliman tanpa berbuat apa-apa. Akan tetapi, di dalam dunia pertemanan dan persahabatan, ada nuansa yang sedikit berbeda. Apabila ada orang asing berlaku zalim kepadamu, berikan balasan yang sesuai dengan kezaliman yang dilakukan. Namun, apabila yang

berlaku zalim terhadapmu adalah seorang teman, hal tersebut menuntut balasan tersendiri. Apabila temanmu berlaku zalim kepadamu, engkau tidak boleh segera melakukan balasan serta reaksi yang terlalu cepat tanpa dipikir masak-masak. Karena

p: 259

bersabar atas kezaliman yang diperbuat oleh teman seringkali mendatangkan dampak positif yang tak terhingga, dan oleh sebab itu hal ini diwasiatkan dan dipesankan oleh Maula al- Muttaqin Ali bin Abi Thalib as. Salah satu bahasan yang terpapar dalam etika sosial adalah bagaimana cara menaggapi kezaliman atau perbuatan yang melampaui batas dalam lingkungan pertemanan. Apakah harus ditanggapi dengan memberikan balasan yang setimpal? Apakah diperlukan penyikapan yang keras, bermuka masam dan melakukan balas dendam? Ataukah, harus menutup mata dan mengabaikannya begitu saja? Dalam ajaran agama, kedua bentuk penyikapan lembut dan keras telah diajarkan, meskipun masing-masing penyikapan mempunyai tempat khususnya. Dalam atmosfer pertemanan dan nuansa persahabatan, kita dianjurkan untuk menutup mata dan memaafkan. Sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Maidah ayat ke-13: Fa'fu 'anhum washfah innallaha yuhibbul muhsinin. Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dengan kata lain, maafkanlah mereka sebagaimana engkau ingin dimaafkan oleh Allah Swt. Ayat ini dengan jelas telah menerangkan betapa penting sikap memaafkan serta mengabaikan kesalahan orang. Sekalipun dalam beberapa situasi dan kondisi kita juga dianjurkan untuk melakukan pembalasan setimpal dan perlawanan, terlebih

terhadap musuh-musuh agama. Tentu dalam kaitan ini banyak sekali yang dapat dibicarakan, seperti kapan harus memaafkan dan kapan harus melakukan perlawanan dan memberikan balasan. Apakah begitu mendapatkan perlakuan yang zalim, kita harus segera melakukan kisas, membalas dan merebut kembali hak

kita? Apakah orang yang berbuat zalim terhadap harta dan kemuliaan kita, sebaiknya diabaikan dan dibiarkan begitu saja tanpa diberi peringatan? Kajian atas ayat dan riwayat secara

p: 260

umum telah menunjukkan bahwa orang yang dizalimi berhak untuk melakukan perlawanan dan pembalasan terhadap pelaku kezaliman. Namun, hak tersebut adalah hak menurut undang- undang (syariat), sementara dari sisi etika dan akhlak, tidak ada anjuran yang begitu.

Tidak dipungkiri, membiarkan pelaku kezaliman tanpa balasan akan membuat si pelaku tidak jera dan termotivasi untuk melakukan kezaliman itu lagi, baik kepada orang yang sama maupun yang lain. Demikian pula halnya dengan memaafkan pelaku kezaliman yang dapat membuat si pelaku berani untuk mengulangi perbuatan buruknya. Oleh sebab itu, dalam beberapa kasus, pelaku kezaliman harus mendapatkan perlawanan dan balasan sebagai pelajaran dan upaya mencegah berulangnya kemungkaran (baca: nahi mungkar).

Sekalipun Anda bisa mengabaikan dan memaafkannya, Anda juga bertanggung jawab untuk memberikan pelajaran bagi si pelaku kezaliman agar tidak mengulangi perbuatannya. Perbuatan buruknya harus mendapatkan balasan yang menjerakan agar si pelaku takut dan tidak berani menginjak-injak hak orang lain.

Perlu juga dipahami, ketika hak seseorang terabaikan dan terampas, maka sebenarnya ada hak Tuhan yang terampas, yakni si pelaku kezaliman telah melakukan kezaliman yang lebih besar terhadap dirinya sendiri. Oleh sebab itu, kita tidak boleh membiarkan pelaku kezaliman melakukan perbuatan buruknya tanpa ada yang mengingatkan atau menghentikan keburukannya, sehingga dia terdidik sebagai individu yang terbiasa berbuat dosa. Akhlak Islam menuntut kita untuk mengkhawatirkan serta menyelamatkan orang yang suka berbuat dosa. Apabila para pelaku kezaliman dibiarkan begitu saja, bukan hanya hak orang lain yang terampas dan terinjak-injak, tetapi para pelaku kezaliman itu sendiri juga akan merugi dan menjadi rusak kepribadiannya. Untuk mencegah

p: 261

perbuatan dosa dan terulangnya keburukan, si pelaku harus diberi perlawanan serta balasan agar mendapatkan peringatan dan menjadi jera. Dalam beberapa kasus tertentu, kisas dan memberikan balasan yang setimpal terhadap pelaku kezaliman jauh lebih baik ketimbang memaafkan dan membiarkannya, karena memaafkan dan membiarkan pelaku kezaliman akan menjadikan si pelaku berani mengulangi perbuatan buruknya. Berbeda apabila si pelaku kezaliman mendapatkan balasan, apalagi seandainya perbuatan buruk itu masih pada fase-fase awal, maka si pelaku akan segera jera. Selain itu, dengan melihat balasan serta perlawanan yang diterima oleh si pelaku kezaliman, orang lain juga akan mengambil pelajaran untuk tidak melakukan kezaliman serta perbuatan buruk yang

sama. Adakalanya memberikan perlawanan serta balasan yang setimpal kepada pelaku kezaliman, bukan hanya tidak memperbaiki perilaku si pelaku, tetapi justru membuatnya semakin bersemangat dalam melakukan serta meningkatkan perbuatan buruknya secara kuantitas dan kualitas. Ada orang-orang yang bila diberi peringatan, Dia menjadi semakin kasar, kecurigaannya meningkat dan permusuhannya semakin menggila. Nah, dalam kasus yang seperti ini, bisa jadi membiarkan serta mengabaikannya akan lebih baik ketimbang melakukan balasan serta perlawanan, karena bagaimanapun juga dia tidak bisa dibenahi, dan sebaiknya kita

tidak memberinya energi untuk semakin meningkatkan dan menambah keburukan. Dengan demikian, dalam menyikapi sebuah kezaliman, adakalanya kita harus memberikan pelajaran kepada si pelaku agar jera dan kembali ke jalan yang benar. Adakalanya pula kita perlu membalas keburukan dengan kebaikan agar si pelaku keburukan menjadi malu serta menyadari kesalahannya. Boleh jadi, balasan yang baik atas keburukan dapat menyadarkan si pelaku keburukan.

p: 262

Al-Quran telah menunjukkan kedua cara penyikapan di atas. Terkadang al-Quran mengajak kita untuk membalas keburukan dengan kebaikan, Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan eolah-olah telah menjadi teman yang setia.(1) Apabila seseorang berbuat buruk terhadapmu, balaslah keburukannya itu dengan kebaikan, sehingga dia akan sadar, mengubah sikap buruknya dan boleh jadi akan menjadi teman yang setia. Adakalanya menutup mata terhadap kezaliman serta perlakuan buruk orang lain, atau mencarikan alasan yang baik atas perbuatan buruk, dapat memberikan pengaruh positif yang luar biasa terhadap si pelaku. Umpamanya, dalam memberi alasan atau memaafkan keburukan orang lain, dikatakan, “Saya mengerti bahwa Anda terpaksa melakukannya dan Anda sebenarnya tidak berniat untuk melakukannya.” Atau, apabila si pelaku datang kepada Anda dan mengakui kesalahan, Anda membalasnya dengan ucapan, “Tidak apa-apa, tidak ada masalah besar yang telah terjadi. Aku mengerti bahwa Anda berada dalam sebuah situasi dan kondisi yang memaksa Anda untuk melakukan perbuatan tersebut. Ini merupakan kebetulan dan ketidaksengajaan, karena tidak mungkin orang seumpama Anda melakukan perbuatan yang seperti ini.” Alhasil, rangkailah kalimat dan kata-kata yang menjadikan orang tersebut menyadari kesalahan serta kekeliruannya. Nah, dalam kasus seperti ini, tentu memaafkan jauh lebih baik ketimbang menghukum dan membalas si pelaku keburukan dan kejahatan.

Menzalimi Diri Sendiri

Tak pelak lagi, memaafkan jauh lebih baik daripada balas dendam atau memberikan balasan yang setimpal, sekalipun bila berkaitan dengan teman terdapat kewajiban dan tanggung

p: 263


1- 62 QS. Fushshilat [41]:34.

jawab yang lebih berat. Menyaksikan perbuatan zalim yang dilakukan oleh seorang teman jauh lebih menyakitkan ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh orang lain, karena sensitivitas seseorang lebih tinggi terhadap seorang teman ketimbang orang lain. Karenanya sering dikatakan: "Tanah yang disiramkan oleh seorang teman jauh lebih menyakitkan ketimbang batu yang dilemparkan musuh.” Nah, ketika kita hendak memberikan reaksi serta penyikapan yang baik terhadap perbuatan buruk teman dan dari sisi lain kita juga ingin merasa puas dengan sikap kita, maka apa yang harus kita lakukan? Dalam kaitan ini, Imam Ali as berkata (yang maknanya): “Renungkan dan pikirkan, apakah orang yang berbuat zalim terhadapmu pada hakikatnya lebih merugikan dirinya sendiri atau dirimu? Dengan perbuatan zalim itu berarti dia telah berbuat dosa yang berakibat murka Allah dan siksa-Nya. Masih banyak efek buruk lain yang akan menimpa dirinya. Allah Swt tidak akan pernah tinggal diam atas setiap kezaliman yang terjadi. Dia menyediakan azab di dunia bagi para pelaku kezaliman sebelum azab ukhrawi.”

Dengan perenungan sederhana, Anda akan memahami bahwa dengan sedikit kezaliman yang dia lakukan terhadap Anda, dia telah banyak menzalimi dirinya sendiri. Dengan kata lain, kerugian yang dia timpakan kepadamu tidak bisa dibandingkan dengan banyaknya kerugian yang dia timpakan atas dirinya sendiri. Boleh jadi, ada sedikit hartamu yang diambil atau kehormatanmu yang dicederai, namun semua itu hanyalah masalah-masalah kecil yang segera berlalu dan terlupakan; sementara dia dengan dosa ini akan menanggung beban dosa hingga hari Kiamat dan selama engkau tidak memaafkannya, maka Allah Swt juga tidak akan meridai dan

mengampuninya. Dengan demikian, dia lebih merugikan serta membahayakan dirinya ketimbang dirimu. Dari sisi lain, apabila Anda kemudian memaafkannya, Anda berkesempatan untuk meraih pahala yang sangat besar, karena pemberian

p: 264

maaf akan mendatangkan pahala yang tak terkira nilainya. Perbuatan zalimnya terhadap Anda bisa berubah menjadi kesempatan mendulang pahala bagi Anda dan kerugian yang pasti baginya. Dengan begitu, Anda dapat memahami bahwa apabila ada orang yang berbuat jahat terhadap Anda, pada hakikatnya dia telah merugikan dirinya sendiri dan memberi Anda keuntungan yang luar biasa. Dengan cara berpikir yang seperti ini, Anda akan mudah memaafkan seorang teman

yang berbuat jahat. Sebaliknya, apabila Anda berpikir negatif dan berkata dalam hati, Sungguh keterlaluan apa yang dia perbuat terhadap diriku, padahal pertemanan di antara kita sudah berlangsung lama! Bagaimana dia sampai hati untuk melakukan kejahatan ini terhadap diriku!

Jika Anda berpikir seperti ini, kejahatannya akan berlipat ganda, bara permusuhan dan dendam akan menyala-nyala. Bukan tidak mungkin akan menyeret Anda untuk melakukan dosa yang sama. Nah, dari pada mengambil langkah negatif dan kekanak-kanakan tanpa dasar yang benar seperti di atas, maka sebaiknya Anda berpikir sebagai berikut: Pertama, siapa yang sebenarnya telah berbuat dosa, merugikan diri dan membahayakan nasibnya di akhirat kelak. Kedua, terbuka

kesempatan besar bagi Anda untuk meraih pahala besar dari “memaafkan”.

Tentu, sikap di atas bukan berarti kita menerima setiap kezaliman yang terjadi atas diri kita. Apabila sebuah kezaliman itu bersifat sosial, tidak bisa diabaikan dan dimaafkan begitu saja. Manusia harus bermentalitas memerangi kezaliman dan melawan keras setiap bentuk kezaliman serta penganiayaan atas masyarakat dan agama. Akan tetapi, dalam masalah-masalah individual, apabila memaafkan sebuah kezaliman yang terjadi pada seorang individu itu tidak menimbulkan dampak

negatif yang berarti, individu tersebut harus dapat memaafkan pelakunya. Nah, untuk mempunyai kesiapan mental dan

p: 265

kesanggupan dalam memaafkan perbuatan zalimoranglain, kita harus memahami bahwa perbuatan zalim itu lebih merugikan si pelaku ketimbang korban, selain bisa menjadi kesempatan mendulang pahala bagi si korban. Imam Ali as menegaskan, “Jangan sampai kezaliman orang yang menzalimimu menjadi besar dalam pandanganmu, karena sesungguhnya dia sedang berusaha menghancurkan dirinya dan memberikan manfaat kepadamu.” Jangan pernah engkau tanamkan dalam pikiranmu tentang kebesaran keburukan serta kejahatan yang dilakukannya atas dirimu; tetapi jadikanlah kezalimannya menjadi remeh, kecil dan tidak penting dalam pandanganmu. Bagaimana? Apa yang harus dilakukan agar kezaliman orang lain menjadi kecil dan bisa diabaikan begitu saja? Beliau memberikan pandangan

yang seperti ini: “..., karena sesungguhnya ia sedang berusaha menghancurkan dirinya dan memberikan manfaat kepadamu.” Sadarilah, perbuatan buruknya itu jauh lebih berbahaya bagi dirinya ketimbang dirimu. Pandangan yang seperti ini akan menghindarkan Anda dari balas dendam atau reaksi negatif yang berlebihan selain membuat Anda dapat melupakan serta mengabaikan kejahatannya dengan mudah. Jangan pernah Anda besar-besarkan perbuatan buruknya atas diri Anda,

karena hal ini hanya akan mengantarkan Anda pada kesulitan serta permusuhan yang tiada akhir.

Pada akhir bagian ini, beliau kembali mengingatkan sebuah anjuran berkaitan dengan etika sosial lainnya seraya berkata, “Dan balasan bagi orang yang membahagiakanmu bukanlah dengan engkau berbuat buruk dan menyakitinya.” Kita bertanggung jawab untuk membalas kebaikan orang lain dengan balasan yang setimpal. Jangan sampai kita tidak mengapresiasi kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh teman-teman kita; apalagi, jangan sampai kebaikan mereka kita balas

dengan keburukan, karena bisa saja kita jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan.[

p: 266

37-MACAM-MACAM REZEKI

Point

وَالرِّزْقُ رِزْقَانِ رِزْقٌ تَطْلُبُهُ وَ رِزْقٌ یَطْلُبُکَ، فَإِنْ لَمْ تَأْتِهِ أَتَاکَ، وَاعْلَمْ یَابُنَیَّ أَنَّ الدَّهْرَ ذُو صُرُوف فَلاَ تَکُنْ مِمَّنْ یَشْتَدُّ لاَئِمَتُهُ وَ یَقِلُّ عِنْدَ النَّاسَ عُذْرُهُ، مَا أقْبَحَ الخْضُوُعُ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَ الجَفَاءُ عِنْدَ الْغِنَی؛

Dan rezeki itu ada dua macam, ada rezeki yang engkau mencarinya dan ada pula rezeki yang mencarimu, dan bila engkau tidak mendatanginya maka dia akan mendatangimu. Ketahuilah wahai putraku, sesungguhnya zaman ini penuh perubahan, maka janganlah engkau menjadi orang yang banyak mencela dan kurang

maafnya di tengah masyarakat. Alangkah buruknya sikap rendah hati di kala membutuhkan dan sikap kasar (baca: angkuh) di kala berkecukupan.

Pesan Imam Ali as pada bagian ini bersandar pada salah satu bahasan akidah yang berulang-ulang telah ditekankan dalam banyak ayat serta riwayat Ahlulbait as. Bagian wasiat ini telah menekankan sebuah prinsip dalam akidah sebagai berikut: Bahwasanya Allah Swt telah mengatur serta menentukan rezeki khusus bagi masing-masing hamba-Nya.

p: 267

Untuk itu, di awal akan dijelaskan beberapa hal berkaitan dengan prinsip akidah ini, lalu kita akan mengkaji serta meneliti poin-poin praktisnya.

Takdir dan Qadha' llahi

Salah satu ajaran agama yang tak terbantah adalah bahwa Allah Swt telah menentukan rezeki khusus bagi setiap maujud. Al-Quran telah menegaskan, “Wa ma min dabbatin fi al-ardhi illa ‘alallahi rizquha. Dan tidak ada yang melata di muka bumi kecuali Allah (yang bertanggung jawab) atas rezekinya.(1) Hal ini merupakan salah satu dari hikmah Ilahi, karena sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan Allah Swt adalah bahwa ketika Allah menciptakan makhluk, maka syarat-syarat kehidupan serta kelangsungannya secara otomatis menjadi tanggung jawab Allah Swt. Apabila Allah Swt menciptakan makhluk, lalu tidak menyediakan apa yang menjadi kebutuhan bagi kelangsungan hidupnya, maka pekerjaan Allah akan menjadi sia-sia dan tidak berarti. Sudah barang tentu yang seperti itu tidak sesuai dengan hikmah Ilahi. Hikmah Ilahi menuntut bahwa ketika Allah Swt menciptakan makhluk yang membutuhkan rezeki, maka Dia bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan awal hidupnya. Dan di mana pun Allah Swt menciptakan makhluk, maka di sekitar itu pula Allah menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Apa yang diperlukan oleh manusia-manusia yang hidup pada kawasan tertentu juga akan disediakan dalam tanaman, hewan dan

tambang-tambang yang ada di kawasan tersebut. Sebagai contoh, manusia-manusia yang diciptakan untuk hidup di sekitar garis Khatulistiwa, maka tidak mungkin makanannya diletakkan di daerah kutub utara, karena hal itu akan menjadi sia-sia dan tidak sesuai dengan hikmah Ilahi. Setiap manusia atau binatang yang diciptakan pada kawasan tertentu, maka kebutuhan hidupnya juga harus berada di kawasan tersebut;

p: 268


1- 63 QS. Hud [11]:6.

keyakinan ini merupakan bagian dari keyakinan akan prinsip "hikmah Ilahi”.

Allah Swt secara umum telah menentukan rezeki semua maujud, baik manusia maupun binatang. Pada hakikatnya, Allah Swt telah menciptakan bumi sedemikian rupa sehingga seluruh makhluk dapat melangsungkan kehidupan di sana; dan bagi setiap makhluk telah diberikan rezeki serta tempat khususnya. Semua ini merupakan berkah dari hikmah Ilahi (baca: Kemahabijaksanaan Allah Swt). Apabila salah satu dari makhluk hidup memerlukan rezeki tertentu, Allah Swt berkewajiban untuk menyediakannya. Di sini mungkin akan timbul pertanyaan berikut: Apabila Allah Swt telah menentukan dan menyediakan rezeki bagi setiap maujud, lalu mengapa manusia masih harus berusaha mendapatkan serta memperjuangkan rezekinya? Apabila Allah Swt telah menyediakan rezeki bagi setiap individu, kerja dan usaha tidak akan lagi diperlukan dan akan menjadi sia-sia bila dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah ketentuan Allah bertentangan dengan ikhtiar manusia?

Berikut ini adalah jawaban secara umum dari pertanyaan di atas: Ikhtiar manusia itu sendiri merupakan salah satu dari takdir dan ketentuan Allah Swt. Allah Swt telah menentukan bahwa si fulan harus berusaha melalui jalur tertentu untuk mencapai serta meraih rezekinya; dan sebelum ajalnya tiba, maka rezeki tertentu itu akan menjadi bagiannya. Dengan demikian, takdir Ilahi bukan hanya tidak bertentangan dengan ikhtiar dan usahanya, tetapi takdir itu justru akan terwujud melalui usaha serta kerjanya. Pada hakikatnya pengertian takdir adalah bahwa rezeki tertentu itu akan diraih melalui usaha yang tertentu pula. Ini merupakan sebuah jawaban umum yang dapat berlaku pada semua bentuk takdir dan qadha Ilahi.

p: 269

Perbuatan-perbuatan yang kita lakukan juga merupakan salah dari bentuk takdir dan qadha Ilahi. Umpamanya, apabila seseorang ditabrak mobil yang menyebabkan hilangnya salah satu anggota tubuh atau bahkan hilangnya nyawa, apakah bisa dikatakan bahwa dalam kecelakaan itu tidak ada yang salah dan sudah menjadi takdir atau ketentuan ilahi? Benar, hal itu memang telah ditakdirkan, namun dengan perantara seorang pengendara yang tidak berhati-hati dan ugal-ugalan sehingga berakibat kecacatan atau hilangnya nyawa seseorang. Pengendara itu tidak mematuhi peraturan lalu lintas atau melaju dengan kecepatan yang tidak

diizinkan sehingga menyebabkan kematian seorang pejalan kaki. Dengan demikian, peristiwa ini juga takdir dan juga merupakan akibat dari ikhtiar si pengendara yang ugal-ugalan. Usaha, ikhtiar dan pilihan setiap individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari takdir Ilahi. Demikian pula halnya dengan rezeki yang takdir dan ikhtiar di dalamnya tidak saling bertentangan, karena ikhtiar itu sendiri adalah bagian dari takdir Ilahi. Termasuk dalam takdir adalah ajal atau batas waktu

kehidupan. Bagi setiap manusia telah ditentukan batas waktu tertentu dalam kehidupan. Termasuk dalam takdir juga adalah masalah sehat dan sakit, yang telah

dijelaskan dalam banyak ayat dan riwayat. Sebagai misal, mari kita pelajari percakapan antara Nabi Ibrahim as dengan Namrud kala dia bertanya kepada Ibrahim as siapakah Tuhanmu? Dalam bagian jawabannya, Ibrahim as berkata, “Tuhanku adalah Zat yang memberi makan, memberi minum, dan bila aku jatuh sakit maka Dialah yang menyembuhkanku, dan Dialah yang mematikanku lalu menghidupkanku kembali.(1) Masalah mematikan, menghidupkan, menyembuhkan, membuat sakit dan memberi rezeki sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.

p: 270


1- 64 QS. al-Syu'ara [26]:79-81.

Nabi Ibrahim as berbicara dalam rangka menjelaskan siapa sebenarnya Tuhan yang disembahnya; beliau menjelaskan, “Tuhanku adalah Zat yang hidup, mati, kesehatan, sakit dan rezekiku berada di tangan-Nya.”

Itu adalah serangkaian takdir yang ditegaskan dalam ayat dan riwayat, namun itu sama sekali tidak berarti menghapus atau menghilangkan peran usaha, ikhtiar dan tanggung jawab manusia. Keterangan singkat di atas cukup kiranya bagi kita untuk masuk pada bahasan-bahasan berkaitan dengan pesan dan wasiat Amirul Mukminin as. Adapun untuk mendalami hal-hal yang berkaitan dengan takdir, silakan merujuk pada kitab-kitab akidah, kalam, filsafat, tafsir dan keterangan serta penjelasan para ulama tentang riwayat-riwayat musykil (berkaitan dengan takdir).

Pengaruh Qadha-Qadar dari Sisi Tarbiah

Yang penting untuk dibahas setelah keterangan singkat di atas adalah: mengapa al-Quran dan riwayat menjelaskan dan menegaskan serangkain hal yang telah ditentukan (baca: ditakdirkan)? Mengapa al-Quran menyatakan bahwa setiap musibah yang menimpamu adalah takdir Ilahi? Allah Swt berfirman, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(1) Mengapa ada penekanan khusus pada serangkaian hal yang telah ditentukan serta ditakdirkan oleh Allah Swt dan menjadi bagian dari qadha-qadar Ilahi? Mengapa yang diungkap serta ditekankan hanya beberapa urusan tertentu; padahal segala sesuatu berada di bawah “pena takdir Ilahi”? Jawabannya adalah: Keterangan dalam ayat dan riwayat berkaitan dengan hal ini bertujuan untuk mewujudkan dan

p: 271


1- 65 QS. al-Hadid [57]:22.

memperkuat makrifat tauhidi pada diri manusia. Kesempurnaan insani menuntut manusia untuk lebih mengenal Tuhannya. Ketika kita mengenal tauhid dalam Zat, ibadah dan af’al (perbuatan), maka perhatian dan ingatan kita kepada Allah akan semakin menguat. Salah satu makna dari tauhid af'ali adalah kita meyakini bahwa pengaturan segala urusan makhluk berada di bawah kendali dan kuasa Allah Swt. Semakin kita menyadari dan memahami kuasa Allah Swt, maka perhatian kita terhadap Allah dalam seluruh fase kehidupan, juga akan semakin meningkat. Ketika kita menyadari bahwa kehidupan kita setiap saat berada dalam ketentuan-Nya, rezeki kita berada dalam kuasa-Nya, dan segala urusan yang berkaitan dengan diri kita berada dalam genggaman tangan-Nya, maka hal itu akan membuat kita senantiasa ingat serta tunduk kepada-Nya. Semakin sempurna makrifat kita, semakin sempurna pula pengetahuan maknawi kita. Pasalnya, kesempurnaan manusia

sepenuhnya bergantung pada makrifatnya akan Tuhan, sifat dan af'al Ilahi.

Makrifat tentang Allah Swt, sifat dan af'al Ilahi selain merupakan kesempurnaan dari sisi ilmu yang sangat urgen, juga mempunyai pengaruh yang luar biasa dari sisi amal. Apa yang telah diterangkan dan ditekankan dalam banyak ayat dan riwayat, secara umum bertujuan untuk mengukuhkan makrifat ini. Penekanan ini terlihat lebih banyak dalam riwayat-riwayat yang bernuansa mauizah. Dalam wasiat dan mauizah Amirul Mukminin ini juga, setelah beliau memberikan nasihat

amali: “Bersikaplah seperti ini dan jangan bersikap seperti itu; perlakukan teman dengan perlakuan yang seperti ini; beginilah seharusnya engkau bersikap terhadap orang-orang dekatmu,” dan seterusnya, kini beliau berkata, “Rezeki itu ada dua macam.” Di sini timbul pertanyaan penting berikut: mengapa Imam Ali as setelah memberikan serangkaian nasihat dan anjuran amali, lalu berpindah pada masalah lain dan berkata, “Dan rezeki itu ada dua macam, ada rezeki yang

p: 272

kamu mencarinya dan ada pula rezeki yang mencarimu, dan bila engkau tidak mendatanginya maka dia akan mendatangimu." Untuk mendapat jawaban atas pertanyaan di atas, perlu kiranya diperhatikan poin berikut ini, bahwa dalam perjalanan hidup sedikit banyak kita telah dihadapkan pada kebutuhan-kebutuhan mendesak yang bila tidak terpenuhi akan mendatangkan banyak kesulitan. Sementara kita menghadapi kesulitan tersebut, kita melihat sepertinya semua jalan telah

terbuntu, tidak ada lagi jalan keluar dan kita pasrah. Namun tiba-tiba Allah Swt telah membuka sebuah jalan yang tidak pernah sedikit pun terpikir oleh kita dan masalah selesai. Tak ayal lagi, setiap dari kita pernah mengalami situasi seperti di atas dalam kehidupan, yakni Allah Swt menolong kita dalam situasi krisis dan kritis dari jalan yang tidak pernah kita sangka. Kenyataan ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa jangan pernah mengira bahwa datangnya rezeki itu sepenuhnya bergantung pada usaha dan kerja kita. Jangan pernah berpikiran bahwa satu-satunya faktor penentu dalam datangnya rezeki adalah usaha kita sehingga siapa yang ingin mendapatkan harta lebih banyak, maka dia harus bekerja lebih rakus dan berlarian dari satu titik ke titik lainnya tanpa mengenal lelah. Akan tetapi di samping itu semua terdapat unsur dan faktor lain yang berpengaruh dan Dialah yang justru menentukan. Jangan pernah beranggapan, bahwa yang

banyak usahanya, akan banyak pula rezekinya. Jangan pernah pula beranggapan bahwa usaha dan kerja keras adalah satu- satunya jalan untuk meraih harta dunia sehingga dengan berpegangan pada pemikiran yang batil ini Anda melakukan usaha dan upaya yang berlebihan dan penuh kerakusan. Semua itu adalah mentalitas dan psikologi para penyembah dan hamba dunia. Mereka adalah orang-orang yang puncak kepentingannya adalah terpenuhinya kebutuhan materi serta kepuasan jasmaninya. Manusia seperti jenis manusia yang

p: 273

rakus dan tidak pernah merasa cukup; mereka meninggalkan seluruh kewajiban syar'i, etika dan norma-norma pergaulan insani demi memaksimalkan usaha untuk mendapatkan materi dan harta yang lebih banyak. Tentu mentalitas dan gaya hidup yang seperti ini sangat berbahaya bagi kehidupan manusia secara umum, terlebih muslimin dan mereka yang menyandang sebuah jabatan dalam pemerintahan Islam. Dengan pola pikir yang seperti itu, manusia tidak akan pernah mencapai tujuan-tujuan mulia dan tinggi insani dalam hidupnya. Umpamanya, apabila seorang pelajar terkena virus (cinta materi) ini, dia tidak akan pernah dapat belajar serta menuntut ilmu dengan baik.

Mungkin yang menjadi sebab kita dipahamkan bahwa rezeki tidak semata-mata karena usaha dan kerja keras manusia dan Sang penentu sejati adalah Allah Swt, adalah agar kita tidak hidup dengan ketamakan. Pesan dan nasihat yang diberikan oleh Imam Ali as bertujuan untuk menghindarkan kita dari kehidupan yang selalu mengejar dunia, selain juga bertujuan untuk menumbuhkan dan memperkuat roh tawakal dalam diri manusia. Ada banyak contoh nyata berkaitan dengan masalah

dan boleh jadi Anda sendiri pernah mengalaminya. Banyak juga cerita yang pernah Anda dengar atau baca seputar orang-orang yang mendapatkan harta dan kemewahan dunia tanpa melalui kerja keras atau harta tersebut tidak bisa diraih meskipun dengan kerja keras selama ribuan tahun. Tentu sudah maklum adanya bahwa rezeki tidak terbatas pada kebutuhan-kebutuhan perut, tetapi semua yang diperlukan oleh manusia dalam hidupnya dapat disebut sebagai rezeki. Pemahaman bahwa rezeki tidak sepenuhnya bergantung pada usaha dan kerja manusia akan menjadikan manusia mempunyai kehidupan yang seimbang dalam

berhubungan dengan masyarakat dan tidak berlebihan dalam mencari materi, karena dia telah menyadari bahwa usaha dan

p: 274

kerja keras bukanlah segala-galanya dalam mendapatkan rezeki atau mata pencaharian. Betapa banyak orang yang berusaha, namun tidak mendapat apa-apa; dan betapa banyak orang yang tidak berusaha, namun mendapatkan harta yang berlimpah; dan betapa banyak pula orang berusaha begitu keras tanpa kenal lelah, namun hanya memperoleh sedikit dari harta dunia.

Dari sisi lain, masalah sarana dan fasilitas juga merupakan faktor lain. Adakalanya seseorang telah mendapatkan sarana dan fasilitas yang memadai berikut kiat-kiat, strategi serta manajemen kerja yang baik, namun alih-alih meraih keuntungan, dia justru kehilangan seluruh modal dan aset yang dimiliki. Apabila manusia memasuki dunia usaha dan secara penuh bergantung pada perhitungan matematis semata tanpa ada unsur tawakal kepada Allah Swt, maka ketika akhirnya dia merugi dan kehilangan modal awal, tentu dia akan mendapatkan pukulan yang sangat berat secara psikologis dan mental. Kondisi seperti ini sangat membahayakan bagi kesehatan mental dan jiwanya. Selain juga akan berpengaruh pada kesehatan fisiknya, bahkan bukan tidak mungkin dia akan terkena serangan jantung dan mati mendadak.

Mereka yang dalam kerjanya hanya bersandar pada usaha, perhitungan-perhitungan ekonomi dan peluang usaha, maka apabila akhirnya gagal dan merugi, tentu dia akan kehilangan keseimbangan jiwa dan berpotensi besar untuk terkena gangguan kewarasan. Coba Anda bayangkan, seseorang yang dengan perhitungan dan usahanya sendiri, tanpa bertawakal kepada Allah Swt, selama bertahun-tahun berusaha dan kerja keras mempersiapkan diri untuk menikahi seorang wanita, nah

apabila setelah persiapan yang bertahun-tahun itu akhirnya dihadapkan pada penolakan dari si wanita yang dicintainya, maka tidakkah dia akan mengalami hantaman keras dan

p: 275

kekecewaan yang luar biasa; dia akan mengalami tekanan psikologis yang sangat berat dan kehilangan keseimbangan jiwa yang dapat berujung pada kegilaan atau tindakan-tindakan brutal. Akan tetapi, apabila dia menyadari bahwa rezeki setiap manusia itu telah ditentukan serta diatur oleh yang Mahakuasa nan Mahabijaksana, dan dia melangkah dalam kehidupan dengan keyakinan yang seperti itu, maka dijamin dia tidak akan mengalami kecemasan yang seperti itu. Ketika seseorang menerima nasibnya sebagai sebuah ketentuan dari Zat yang Mahabijaksana tanpa campur tangan selain-Nya, maka dia akan meyakini bahwa di balik apa pun

yang menjadi takdirnya terkandung hikmah yang sangat besar dan dia akan terselamatkan dari dampak negatif serta perilaku yang menyimpang (akibat kecemasan, kegalauan serta keputusasaan).

Orang semacam itu telah meyakini bahwa Allah Swt tidak mungkin menentukan sesuatu baginya tanpa tujuan yang mulia. Boleh jadi sebuah musibah yang ditimpakan oleh Allah Swt kepadanya merupakan sebuah penyucian atas berbagai macam dosa serta maksiat yang selama ini dilakukan. Atau, boleh jadi sebuah musibah diberikan kepadanya adalah untuk membangkitkan semangat dan melenyapkan kelemahan diri. Terkadang balasan atas sebuah dosa diberikan di alam

dunia dalam bentuk kemiskinan dan kekurangan materi demi menghindarkan si pelaku dari siksa di alam barzakh dan hari Kiamat yang jauh lebih menyakitkan. Lebih daripada itu, hukuman dunia itu sendiri pada hakikatnya bermuara pada hikmah, rahmat dan kasih sayang Allah Swt kepada sekalian hamba-Nya. Terkadang para hamba dihadapkan pada situasi dan kondisi yang penuh cobaan serta keputusasaan dalam rangka penghapusan dosa atau peningkatan sisi maknawi dan

spiritual mereka. Hal itu dilakukan agar para hamba belajar untuk bersabar, tabah, selalu ingat kepada Allah dan rela atas segala ketentuanNya; sekalipun kerelaannya itu berarti hidup

p: 276

dalam kemiskinan dan tak tercapainya keinginan-keinginan duniawi. Keadaan ketika manusia terjauhkan dari apa yang menjadi keinginan dan dambaannya akan menjadikan dia mampu menapaki kedudukan (maqamat) maknawi yang tinggi.

Boleh jadi jumlah orang yang sampai pada maqamat ‘aliyah lantaran kesabaran atas berbagai musibah, tidak lebih sedikit dari mereka yang sampai maqamat itu lantaran ibadah. Allah Swt telah banyak mengangkat kedudukan para hamba-Nya pada maqamat ‘aliyah disebabkan kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai macam musibah dan cobaan. Berbagai macam peristiwa manis ataupun pahit yang terjadi, pasti di dalamnya terdapat hikmah-hikmah yang tersembunyi.

Allah Swt telah menegaskan di dalam al-Quran, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Setiap bencana yang terjadi di bumi, seperti banjir,

angin topan, gempa bumi dan lain sebagainya, atau pada diri manusia, seperti penyakit, kematian, kehilangan orang-orang tercinta dan lain sebagainya, semua itu telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Allah menciptakannya. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah: Mengapa harus seperti itu? Apakah Allah hendak menyengsarakan sebagian dari hamba-hamba-Nya tanpa tujuan dan alasan yang jelas?

Jawaban singkatnya adalah bahwa Allah Swt sebagai Zat Yang Mahasempurna dan Mahabijaksana tentu tidak pernah melakukan sesuatu tanpa hikmah dan tujuan, kendati kita tidak mengetahui apa sebenarnya hikmah dan alasan dari sebuah peristiwa. Dengan kata lain, apabila kita tidak mengetahui hikmah atau alasan di balik sebuah peristiwa, itu sama sekali tidak berarti bahwa dalam peristiwa tersebut

p: 277

tidak ada hikmah dan tujuan. Pemahaman dan keyakinan bahwa semua yang terjadi ini berlangsung di bawah kendali serta tadbir dan takdir Ilahi akan membuat kita tenang, tidak cemas, tidak berputus asa, tidak mengeluh dan tidak kehilangan iman. Tidak sedikit orang yang karena tidak memiliki pemahaman yang benar tentang takdir, harus kehilangan imannya lantaran musibah dan cobaan yang menimpa diri, keluarga atau hartanya. Mereka berpikir bahwa bila alam semesta dan dunia ini memiliki Tuhan yang Maha Pengasih, Penyayang dan Bijaksana, tentu tidak akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menyakitkan dan menyengsarakan umat manusia. Terjadinya beberapa peristiwa yang menyakitkan dan menyengsarakan di dunia, mereka jadikan sebagai pertanda bahwa dunia ini tidak memiliki Tuhan atau jika Tuhan itu ada, maka Tuhan juga tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan yang menimpa umat manusia. Padahal, apabila kita mau berpikir lebih jernih, semua peristiwa yang terjadi, yang manis ataupun yang pahit, yang baik maupun yang buruk, semuanya memiliki hikmah dan sebab, walaupun hikmah

dan sebab itu tidak atau belum kita ketahui. Namun, apabìla kita memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat bahwa Allah Swt adalah Zat yang Mahabijaksana, kendati kita tidak mengetahui hikmah dan sebab di balik beragam musibah yang terjadi, tetap saja iman kita akan terjaga, bahkan bisa semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam sebuah ayat, Allah Swt menegaskan salah satu manfaat di balik berbagai macam peristiwa dan musibah yang terjadi, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami) jelaskan yang demikian itu supaya kalian jangan berduka cita atas apa yang luput dari kalian, dan supaya

p: 278

kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (1) Ayat di atas merupakan sebuah penjelasan bahwa semua yang terjadi berada di bawah kendali takdir Ilahi, sehingga bila ada sebuah musibah yang menimpa diri Anda, Anda tidak akan kehilangan iman atau berduka cita secara berlebihan. Ketahuilah, Tuhan yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana itu melihat adanya maslahat besar di balik musibah atau bencana yang menimpa diri Anda.

Antara Takdir dan Taklif Syar'i

Telah sama-sama kita ketahui, di samping masalah takdir serta ketentuan Ilahi, juga ada hal-hal yang berkaitan dengan taklif syar'i dan tanggung jawab insani. Sebagai contoh, apabila pada suatu malam Anda menyaksikan salah seorang tetangga tertimpa musibah, maka berdasar pada taklif syar'i serta tanggung jawab akhlaki-insani, Anda harus segera datang untuk memberikan pertolongan kepadanya. Tidak benar apabila Anda berkata dalam hati, Itu sudah merupakan ketentuan dari Allah Swt dan kita tidak perlu datang menolongnya.

Membantu kesulitan dan problem orang lain merupakan tanggung jawab syar'iy-akhlaqi kita dan itu sama sekali tidak bertentangan dengan takdir sarat hikmah dari Allah Swt. Ketika di sebuah tempat terjadi bencana gempa bumi dan ratusan orang mati dan terjerat di bawah puing-puing bangunan, maka turut bersedih dan membantu mereka yang tertimpa musibah adalah kewajiban dan tanggung jawab syar'i. Adapun mengapa Allah Swt menjadikan takdir dalam sebuah bencana gempa bumi yang merenggut banyak jiwa dan hancurnya ribuan rumah merupakan masalah lain yang

p: 279


1- 66 QS. al-Hadid (57):23.

harus dijawab pada tataran ideologi dan pemikiran sehingga tidak merusak keimanan kita. Demikian pula halnya dengan bencana-bencana yang menimpa orang perseorangan. Terkadang orang yang berpemahaman sempit dan tidak sabaran, apabila tertimpa sebuah musibah, maka dia akan cepat mengeluh seraya berkata, “Sepertinya seluruh khazanah musibah yang dimiliki oleh Allah Swt ditimpakan hanya kepada orang-orang lemah seperti kami!” Pemikiran seperti ini tidak akan terjadi apabila sebelumnya dia telah memperkuat dan memahami prinsip takdir dengan benar. Dia tidak akan mengeluh dan berputus asa apabila memahami bahwa setiap fenomena yang terjadi berada di bawah tadbir dan kendali Zat Yang Mahabijaksana dan sesuai dengan perhitungan serta rencana yang telah tersusun sebelumnya. Inna dzalika 'alallahi yasir.

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(1) Segala takdir dan tadbir adalah mudah bagi Allah Swt. Jangan pernah mengira bahwa penentuan serta perencanaan sebuah peristiwa sejak ribuan tahun yang lalu dan merupakan sesuatu yang sulit dan mustahil bagi kita, hal itu juga sulit bagi Allah Swt. Tidak, sungguh tidak sesuatu yang sulit bagi Allah Swt. Innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!”, maka terjadilah ia.(2) Alhasil, meyakini hikmah dan takdir Allah yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana akan memberikan kekuatan dalam menghadapi musibah serta menghilangkan segala bentuk kecemasan dan kekhawatiran. Demikian pula halnya, apabila Anda mendapatkan nikmat dan anugerah, Anda tidak akan sombong, lupa diri dan lalai. Karena Anda telah memahami dengan benar bahwa baik musibah maupun anugerah, kebaikan maupun keburukan dunia, keduanya adalah sarana ujian bagi

p: 280


1- 67 QS. al-Hadid (57):22.
2- 68 QS. Yasin [36]:82.

manusia. Telah ditegaskan dalam al-Quran, Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.(1) Dalam lingkaran hikmah Ilahi, sebagaimana musibah dan kesulitan adalah sebuah ujian, kesenangan dan anugerah juga merupakan ujian yang lain. Lantaran itu, kita tidak boleh lalai dan lupa diri bila mendapatkan nikmat dan anugerah. Apabila suatu hari nanti kita mendapatkan limpahan harta yang banyak, kita tidak boleh sombong dan melupakan Allah. Demikian pula halnya apabila kita tertimpa sebuah bencana atau mendapat kesulitan, kita tidak boleh mengeluh, menyesal dan berkecil hati. Kita harus selalu mengingat firman Allah, (Kami) jelaskan yang demikian itu supaya kalian jangan berduka cita atas apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.(2)

Nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadamu, janganlah engkau anggap sebagai segala-galanya sehingga engkau menjadi sombong, angkuh dan lupa diri. Ada atau

tidak adanya harta tidak boleh membuat banyak perubahan pada diri Anda. Dari sudut pandang maknawi, Anda harus mencapai sebuah kedudukan yang di dalamnya harta atau kemiskinan tidak lagi bisa berpengaruh banyak pada diri Anda dan Anda hanya memandang anugerah atau musibah di dunia sebagai sebuah ujian semata. Nah, pemahaman dan keyakinan bahwa nikmat dan rezeki itu datang dari sisi Allah Swt dan telah ditentukan oleh-Nya, akan menjadikan manusia tidak sombong dan lupa diri bila mendapat rezeki yang berlimpah dan juga tidak kehilangan iman serta

p: 281


1- 69 QS. al-Anbiya [21]:35.
2- 70 QS. al-Hadid (57]:23.

kesabaran apabila mendapat musibah dan bencana, karena dia telah memahami dengan baik bahwa semua itu tidak lebih dari sekadar ujian yang Allah berikan atasnya di dalam kehidupan dunia.

Salah satu manfaat cara pandang yang seperti ini adalah manusia tidak lagi berlebih-lebihan dalam mencari harta dunia. Dia akan mencari dunia dengan cara yang baik, halal dan tidak memaksakan diri (baca: al-ijmal fi al-thalab). Hasil positif dari keyakinan yang seperti ini adalah terwujudnya etika dan kesantunan pada diri manusia dalam mencari nafkah, sehingga dia tidak terlalu rakus, tidak menghalalkan segala cara, tidak mengetuk setiap pintu dan tidak bersikap kejam serta menekan terhadap mereka yang berutang harta kepadanya. Hasil positif lainnya adalah dia tidak akan pernah berhenti untuk memperbaiki diri, meraih keutamaan

akhlak, melaksanakan taklif serta kewajiban syar’i dan tidak mengahabiskan seluruh waktunya untuk menumpuk dan menimbun harta. Ketika seseorang memahami bahwa tidak semua rezeki itu harus dicari dengan banting tulang dan peras keringat, karena rezeki itu ada dua, yaitu ada yang dicari dan ada yang datang sendiri, maka tentu dia tidak akan jatuh dalam pencarian yang berlebihan. Pandangan yang seperti ini akan mewujudkan keseimbangan perilaku pada diri manusia dan menghindarkannya dari sifat rakus dan tamak.

Keseimbangan Jiwa dalam Perubahan Zaman

Roh dan jiwa manusia tak ubahnya seperti tubuh dan jasadnya, selalu berubah dan berganti. Adanya perubahan pada jiwa dan raga manusia merupakan sebuah hakikat yang tak terbantahkan. Namun, yang tidak baik dan tercela di sini adalah ketidakstabilan jiwa manusia lantaran sebab-sebab yang sepele. Apabila perubahan itu mempunyai alasan yang rasional dan masuk akal, perubahan itu baik dan terpuji. Akan tetapi, apabila tidak memiliki alasan yang dapat diterima

p: 282

oleh nalar, perubahan itu bersifat buruk dan tercela. Ada orang-orang yang kejiwaannya selalu berubah-ubah setiap waktu seperti masa kanak-kanak. Apabila mendapatkan apa yang diinginkan, dia bergembira dan tertawa. Namun jika berhadapan dengan kesulitan, dia mudah bersedih, kecewa dan larut dalam kedukaan. Apabila ada orang yang sedikit berbuat baik kepadanya, dia langsung percaya dan suka, namun bila menghadapi penolakan dari seseorang, dia akan memusuhi orang tersebut, membencinya dan berbicara buruk di belakangnya.

Orang-orang semacam itu tidak pernah tenang dan stabil di dalam hidupnya, sementara seorang mukmin batin dan jiwanya harus tenang dan stabil. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelum ini bahwa memang jiwa manusia tidak dapat selalu berada dalam satu kondisi yang sama, namun ini juga tidak berarti bahwa jiwanya tidak stabil, gelisah dan tidak mempunyai ketenangan sama sekali. Ada orang-orang yang jika hari ini Anda bertanya kepada mereka tentang si fulan,

karena baru saja menyaksikan kebaikannya, mereka akan menjawab, “Orang itu layak untuk disejajarkan dengan para malaikat Allah Swt.” Namun, keesokan harinya, apabila Anda bertanya lagi kepada mereka tentang si fulan, karena baru saja menyaksikan keburukannya, mereka akan menjawab bahwa si fulan lebih buruk dari Iblis. Nah, penyikapan-penyikapan yang berubah-ubah setiap waktu dan tidak stabil seperti ini, bukanlah ciri-ciri sikap seorang mukmin.

Agar manusia terhindar dari sikap “pagi-sore” seperti di atas, dia harus mengetahui, memahami dan memerhatikan beberapa hal. Pada tahap awal, dia harus lebih banyak memahami tentang realitas yang terjadi dalam kehidupan, dunia, diri dan masyarakat. Dia harus memahami bahwa perbedaan kondisi dan keberagaman sikap antara satu orang dengan yang lain merupakan sebuah realitas yang

p: 283

tak terbantahkan. Terkadang manusia bersemangat untuk beribadah dan menjalani ketakwaan, tetapi adakalanya juga melemah dan kurang gairah. Terkadang manusia bersemangat untuk bergaul serta bersosialisasi, namun adakalanya dia ingin menarik diri dari kehidupan masyarakat. Secara umum perilaku dan sikap manusia cenderung berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan perubahan usia. Pada masa remaja dia mempunyai kecenderungan tertentu, sedangkan di masa

tua dia mempunyai kecenderungan yang lain. Keadaan setiap individu cenderung berubah-ubah seiring dengan berubahnya situasi dan kondisi yang ada. Adakalanya manusia berada dalam kondisi kecukupan harta dan adakalanya berada dalam kondisi kekurangan harta; terkadang sehat dan segar bugar, namun adakalanya jatuh sakit dan tidak berdaya untuk berbuat apa-apa.

Demikian pula halnya dengan keadaan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan keseharian kita. Adakalanya mereka sedang bergembira dan adakalanya mereka sedang bersedih. Adakalanya mereka berada dalam kondisi yang bebas masalah, namun adakalanya mereka dihadapkan pada problem dan kesulitan. Perubahan situasi dan kondisi ini mau tidak mau akan berpengaruh pada sikap dan perilaku mereka. Masa juga selalu berubah-ubah, namun manusia tidak boleh

selalu ikut berubah seperti masa. Manusia harus memiliki serangkaian sikap dan prinsip yang tetap dan tidak berubah-ubah mengikuti perubahan yang terjadi.

Karena perilaku dan sikap manusia itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka penyikapan kita terhadap orang juga tidak bisa hanya dengan melihat perilaku orang tersebut di masa kini saja, kita pun harus melihat rekaman peristiwa masa lalunya sehingga dapat memberikan penyikapan yang benar. Kita harus melihat dan mengingat pergaulan dengannya selama ini, sehingga kita tidak memberikan keputusan yang

p: 284

salah tentang seseorang hanya karena ada keinginan kita yang tidak terpenuhi olehnya di masa kini. Karena, boleh jadi kondisi dia sekarang berbeda dengan kondisinya di masa sebelumnya. Penyikapan kita tidak boleh tergesa-gesa, dangkal dan labil, melainkan kita harus berusaha mempunyai sikap yang berdasar pada prinsip-prinsip yang tidak selalu berubah. Apabila kita melihat sebuah perilaku yang tidak baik dari seseorang, kita harus berusaha untuk tidak mudah melakukan kecaman dan celaan. Kita harus pandai menoleransi dan bersabar beberapa waktu.

Dalam kaitan di atas, Imam Ali as berpesan, “Ketahuilah, wahai putraku, sesungguhnya zaman ini penuh perubahan, maka janganlah engkau menjadi orang yang banyak mencela dan kurang maafnya di tengah masyarakat. Boleh jadi, kita menganggap bahwa seseorang telah berbuat keburukan, padahal yang terjadi adalah kesalahpahaman. Bahkan, seandainya pun telah terjadi sebuah perbuatan buruk oleh seseorang, kita tidak boleh mengumbar segala celaan dan kecaman terhadapnya. Kita harus mempunyai sikap yang tenang, sabar dan toleran. Kita harus mencoba memahami terlebih dahulu mengapa orang tersebut melakukan keburukan ini. Bahkan, adakalanya kita dituntut untuk menutup mata dan tidak terlalu mencari-cari kesalahan atau keburukan seseorang. Jangan hanya karena satu perbuatan buruk, lalu kita mengubah seluruh sikap kita atasnya. Kita harus banyak belajar untuk memahami berubah-ubahnya kondisi seseorang, sehingga kita dapat memberikan sikap yang tepat dan tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan relatif yang mungkin terjadi pada diri seseorang.

Dengan memahami dan menyadari banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dunia ini, kita dituntut untuk memiliki kestabilan relatif dalam bersikap dan memberikan keputusan. Seorang mukmin dituntut untuk memiliki

p: 285

ketenangan dan kestabilan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Apabila seorang mukmin menyerahkan sikapnya pada berubah-ubahnya situasi dan kondisi, sehingga sikapnya selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi, maka derajatnya sebagai ahli iman juga akan berubah dan menurun. Kehidupan manusia mempunyai banyak sekali kondisi "naik-turun". Terkadang manusia dihadapkan pada situasi yang sangat sulit dari sisi materi, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjerit dan merasakan derita; dia berada dalam kesempitan meskipun dalam kebutuhan-kebutuhan primernya. Nah, apabila dalam kondisi terpuruk

seperti itu, tiba-tiba dia mendapatkan keuntungan yang besar dan harta yang berlimpah, maka dia harus sangat berhati-hati untuk tidak jatuh dalam kesombongan, keangkuhan dan ketidakpedulian terhadap teman-teman. Indahnya kehidupan justru terletak pada kerendahan hati di kala kaya. Alangkah buruknya kerendahan hati yang terpaksa di kala membutuhkan. Kerendahan hati di kala membutuhkan dan keangkuhan di kala berkecukupan adalah sikap yang sangat tercela dan tidak

terpuji. Imam Ali as menegaskan, “Alangkah buruknya sikap rendah hati di kala membutuhkan dan sikap kasar (baca: angkuh) di kala berkecukupan."[]

p: 286

Roh dan jiwa manusia tak ubahnya seperti tubuh dan jasadnya, selalu berubah dan berganti. Adanya perubahan pada jiwa dan raga manusia merupakan sebuah hakikat yang tak terbantahkan. Namun, yang tidak baik dan tercela di sini adalah ketidakstabilan jiwa manusia lantaran sebab-sebab yang sepele. Apabila perubahan itu mempunyai alasan yang rasional dan masuk akal, perubahan itu baik dan terpuji. Akan tetapi, apabila tidak memiliki alasan yang dapat diterima

p: 287

oleh nalar, perubahan itu bersifat buruk dan tercela. Ada orang-orang yang kejiwaannya selalu berubah-ubah setiap waktu seperti masa kanak-kanak. Apabila mendapatkan apa yang diinginkan, dia bergembira dan tertawa. Namun jika berhadapan dengan kesulitan, dia mudah bersedih, kecewa dan larut dalam kedukaan. Apabila ada orang yang sedikit berbuat baik kepadanya, dia langsung percaya dan suka, namun bila menghadapi penolakan dari seseorang, dia akan memusuhi orang tersebut, membencinya dan berbicara buruk di belakangnya.

Orang-orang semacam itu tidak pernah tenang dan stabil di dalam hidupnya, sementara seorang mukmin batin dan jiwanya harus tenang dan stabil. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelum ini bahwa memang jiwa manusia tidak dapat selalu berada dalam satu kondisi yang sama, namun ini juga tidak berarti bahwa jiwanya tidak stabil, gelisah dan tidak mempunyai ketenangan sama sekali. Ada orang-orang yang jika hari ini Anda bertanya kepada mereka tentang si fulan,

karena baru saja menyaksikan kebaikannya, mereka akan menjawab, “Orang itu layak untuk disejajarkan dengan para malaikat Allah Swt.” Namun, keesokan harinya, apabila Anda bertanya lagi kepada mereka tentang si fulan, karena baru saja menyaksikan keburukannya, mereka akan menjawab bahwa si fulan lebih buruk dari Iblis. Nah, penyikapan-penyikapan yang berubah-ubah setiap waktu dan tidak stabil seperti ini, bukanlah ciri-ciri sikap seorang mukmin.

Agar manusia terhindar dari sikap “pagi-sore” seperti di atas, dia harus mengetahui, memahami dan memerhatikan beberapa hal. Pada tahap awal, dia harus lebih banyak memahami tentang realitas yang terjadi dalam kehidupan, dunia, diri dan masyarakat. Dia harus memahami bahwa perbedaan kondisi dan keberagaman sikap antara satu orang dengan yang lain merupakan sebuah realitas yang

p: 288

tak terbantahkan. Terkadang manusia bersemangat untuk beribadah dan menjalani ketakwaan, tetapi adakalanya juga melemah dan kurang gairah. Terkadang manusia bersemangat untuk bergaul serta bersosialisasi, namun adakalanya dia ingin menarik diri dari kehidupan masyarakat. Secara umum perilaku dan sikap manusia cenderung berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan perubahan usia. Pada masa remaja dia mempunyai kecenderungan tertentu, sedangkan di masa

tua dia mempunyai kecenderungan yang lain. Keadaan setiap individu cenderung berubah-ubah seiring dengan berubahnya situasi dan kondisi yang ada. Adakalanya manusia berada dalam kondisi kecukupan harta dan adakalanya berada dalam kondisi kekurangan harta; terkadang sehat dan segar bugar, namun adakalanya jatuh sakit dan tidak berdaya untuk berbuat apa-apa.

Demikian pula halnya dengan keadaan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan keseharian kita. Adakalanya mereka sedang bergembira dan adakalanya mereka sedang bersedih. Adakalanya mereka berada dalam kondisi yang bebas masalah, namun adakalanya mereka dihadapkan pada problem dan kesulitan. Perubahan situasi dan kondisi ini mau tidak mau akan berpengaruh pada sikap dan perilaku mereka. Masa juga selalu berubah-ubah, namun manusia tidak boleh

selalu ikut berubah seperti masa. Manusia harus memiliki serangkaian sikap dan prinsip yang tetap dan tidak berubah-ubah mengikuti perubahan yang terjadi.

Karena perilaku dan sikap manusia itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka penyikapan kita terhadap orang juga tidak bisa hanya dengan melihat perilaku orang tersebut di masa kini saja, kita pun harus melihat rekaman peristiwa masa lalunya sehingga dapat memberikan penyikapan yang benar. Kita harus melihat dan mengingat pergaulan dengannya selama ini, sehingga kita tidak memberikan keputusan yang

p: 289

salah tentang seseorang hanya karena ada keinginan kita yang tidak terpenuhi olehnya di masa kini. Karena, boleh jadi kondisi dia sekarang berbeda dengan kondisinya di masa sebelumnya. Penyikapan kita tidak boleh tergesa-gesa, dangkal dan labil, melainkan kita harus berusaha mempunyai sikap yang berdasar pada prinsip-prinsip yang tidak selalu berubah. Apabila kita melihat sebuah perilaku yang tidak baik dari seseorang, kita harus berusaha untuk tidak mudah melakukan kecaman dan celaan. Kita harus pandai menoleransi dan bersabar beberapa waktu.

Dalam kaitan di atas, Imam Ali as berpesan, “Ketahuilah, wahai putraku, sesungguhnya zaman ini penuh perubahan, maka janganlah engkau menjadi orang yang banyak mencela dan kurang maafnya di tengah masyarakat. Boleh jadi, kita menganggap bahwa seseorang telah berbuat keburukan, padahal yang terjadi adalah kesalahpahaman. Bahkan, seandainya pun telah terjadi sebuah perbuatan buruk oleh seseorang, kita tidak boleh mengumbar segala celaan dan kecaman terhadapnya. Kita harus mempunyai sikap yang tenang, sabar dan toleran. Kita harus mencoba memahami terlebih dahulu mengapa orang tersebut melakukan keburukan ini. Bahkan, adakalanya kita dituntut untuk menutup mata dan tidak terlalu mencari-cari kesalahan atau keburukan seseorang. Jangan hanya karena satu perbuatan buruk, lalu kita mengubah seluruh sikap kita atasnya. Kita harus banyak belajar untuk memahami berubah-ubahnya kondisi seseorang, sehingga kita dapat memberikan sikap yang tepat dan tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan relatif yang mungkin terjadi pada diri seseorang.

Dengan memahami dan menyadari banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dunia ini, kita dituntut untuk memiliki kestabilan relatif dalam bersikap dan memberikan keputusan. Seorang mukmin dituntut untuk memiliki

p: 290

ketenangan dan kestabilan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Apabila seorang mukmin menyerahkan sikapnya pada berubah-ubahnya situasi dan kondisi, sehingga sikapnya selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi, maka derajatnya sebagai ahli iman juga akan berubah dan menurun. Kehidupan manusia mempunyai banyak sekali kondisi "naik-turun". Terkadang manusia dihadapkan pada situasi yang sangat sulit dari sisi materi, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjerit dan merasakan derita; dia berada dalam kesempitan meskipun dalam kebutuhan-kebutuhan primernya. Nah, apabila dalam kondisi terpuruk

seperti itu, tiba-tiba dia mendapatkan keuntungan yang besar dan harta yang berlimpah, maka dia harus sangat berhati-hati untuk tidak jatuh dalam kesombongan, keangkuhan dan ketidakpedulian terhadap teman-teman. Indahnya kehidupan justru terletak pada kerendahan hati di kala kaya. Alangkah buruknya kerendahan hati yang terpaksa di kala membutuhkan. Kerendahan hati di kala membutuhkan dan keangkuhan di kala berkecukupan adalah sikap yang sangat tercela dan tidak

terpuji. Imam Ali as menegaskan, “Alangkah buruknya sikap rendah hati di kala membutuhkan dan sikap kasar (baca: angkuh) di kala berkecukupan."[]

p: 291

38-DUNIA YANG IDEAL

Point

إِنَّمَا لَکَ مِنْ دَنْیَاکَ مَا أَصْلَحْتَ بِه مَثْوَاکَ فَأَنْفِقْ فِی حقٍّ وَ لاَ تَکُنْ خَازِنًا لِغَیْرِکَ وَ إِنْ کُنْتَ جَازِعًا عَلَی مَا تَفَلَّتَ مِنْ بَیْنِ یَدَیْکَ فَاجْزَعْ عَلَی کُلِّ مَا لَمْ یَصِلْ إِلَیْکَ؛

Sesungguhnya bagianmu dari dunia adalah apa yang dengannya engkau bangun akhiratmu, maka keluarkan hartamu dengan benar dan jangan sampai engkau menjadi penyimpan harta bagi orang lain. Apabila engkau mengeluh atas harta yang terlepas dari genggamanmu, (seharusnya) engkau juga mengeluh atas

seluruh harta yang tidak sampai ke tanganmu. Penghulu para muwahhid (Maula al-Muwahhidin) Imam Ali bin Abi Thalib as menjelaskan dalam bagian pesan ini dan

banyak bagian yang lain, tentang hakikat dunia yang tidak berharga dan cepat berlalu. Beliau telah menjelaskan hakikat ini dengan berbagai macam ungkapan dan keterangan bahwa dunia harus digunakan untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi, karenajika tidak, semua yang diraih akan sirna dan tidak berarti apa-apa. Pengulangan yang beliau lakukan dalam wasiat ini maupun pada sabda-sabda beliau yang lain menunjukan betapa pentingnya masalah ini. Seandainya dilakukan pengulangan yang lebih dari apa yang ada, hal itu masih sangat perlu

p: 292

dan berguna. Karena manusia seringkali dilanda kelalaian serta keterlenaan dalam masalah dunia. Kendatipun manusia diingatkan setiap pagi dan malam tentang hakikat dunia, tetap saja manusia masih bisa lalai dan lupa untuk mengambil jalan yang benar dan tidak menyimpang berkaitan dengan dunia dan kenikmatan-kenikmatan di dalamnya. Oleh sebab itu, menunjukkan jalan serta cara yang benar dalam mengambil manfaat dari dunia, akan selalu penting bagi manusia dan

kebahagiaan hakikinya.

Cara Hidup di Dunia

Gambaran awal pada benak manusia tentang cara hidup yang benar biasanya tertuju pada pemenuhan kebutuhan hidup dan menikmati kehidupan duniawi. Karenanya, yang paling utama dipikirkan adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian, baru kemudian akan beralih pada kebutuhan akan tempat tinggal dan pasangan hidup. Sementara seorang insan muslim yang percaya kepadaTuhan dan Hari Akhir juga akan berpikir tentang kehidupan

pascadunia. Selain berpikir tentang kebutuhan dunia, dia juga berpikir tentang kebutuhan akhirat sehingga dia mempunyai bekal yang cukup untuk hidup di sana. Setidaknya harus ada keseimbangan antara usaha untuk kebutuhan duniawi dengan usaha untuk kebutuhan ukhrawi. Kita juga harus berusaha untuk mengukir ibadah dan amal saleh sebagai bekal bagi kehidupan di akhirat. Kebanyakan dari awam muslimin menjalani hidup dengan menjaga keseimbangan antara dunia

dan akhirat. Ada kelompok yang lebih sedikit dari kalangan muslimin yang mempunyai keimanan lebih mendalam. Mereka berusaha melakukan sedikit lebih baik dibanding dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas, yaitu mereka selalu menjaga batasan halal-haram dan syariat Ilahi dalam perkara-perkara duniawi.

Kelompok ini dapat digolongkan sebagai orang-orang baik

p: 293

dan saléh yang berusaha selalu melangkah pada jalur yang digariskan oleh Allah Swt, Rasul saw dan Ahlul Bayt as Namun perlu diketahui, tingkatan tarbiah dalam ajaran para Nábi dan Imam as tidak hanya terbatas pada tingkat-tingkat rendah seperti di atas. Masih banyak lagi tingkatan serta maqam yang lebih tinggi yang mereka anjurkan untuk kita raih tingkátán đan maqam yang lebih tinggi, urusan menjalankan táklif sýäri serta menjaga akhlak islami menjadi sebuah tingkatan kesempurnaan yang sangät rénđäh. Pada hakikátnya; menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan merupakan langkah awal kesempurnaan dan masih ada

banyak lagi tingkatani serta' derajat yang lebih tinggi. Untuk mencapai tingkatan-tingkatan yangʻi tinggi itú;" manusia harus melakukan pembenahan atas pandangannya tentang kehidupan dunia. Dia harus mengetahui hubungan dirinya dengani Sáng Mahả kuasa;'i siapa dirinya; siapa sebenarnya Tuhannya dan apa sebenarnya hakikat dari tujúañ kehidupan dunia dan penciptaan dirinya?

Kita harus jujur mengakui bahwa pengetahuan kita dalam hal ini sangatlah kurang dan sedikit. Terkadang sebagai akibat dari pengetahuan yang kurang dan sedikit itulah akhirnya kita jatuh dalam kesalahan-kesalahan fatal yang menimbulkan kerugian-kerugian tak terperi, penyimpangan berpikir yang sangat berat sehingga berani berkata: Apa sebenarnya manfaat dari taklif-taklif syar'i dan

p: 294

hanya tidak mencari apa taklif-taklifnya di hadapan Allah Swt, tetapi mereka justru sedang menuntut hak-hak insaninya dari Allah Swt.

Akar pemikiran seperti ini berasal dari pandangan filsafat Barat tentang keberadaan, Tuhan dan manusia. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara ideologi yang dibawa serta didakwahkan oleh para nabi dengan ideologi yang populer di Barat masa kini. Bagaimanapun juga ideologi Barat yang berorientasikan materi, keduniawian dan ilhad (baca: menentang Tuhan) akan selalu ada. Selama setan ada, ideologi yang seperti ini juga akan terus ada; akan selalu

terjadi pertarungan antara ideologi Ilahi para nabi dengan ideologi setan yang kini termanifestasi dalam ideologi Barat. Oleh sebab itu, apabila siang dan malam kita selalu mengaitkan diri dengan ideologi para nabi, maka itu masih kurang, karena doktrin-doktrin ideologi Barat juga tidak pernah berhenti sepanjang waktu.

Hakikat Kehidupan Dunia dalam Ideologi Para Nabi

Dasar perbedaan dua ideologi ini terletak pada pandangan masing-masing tentang dunia, yang salah satunya beranggapan bahwa awal dan akhir kehidupan hanya berlangsung di dunia, sementara yang lain (sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran) berpandangan bahwa kehidupan manusia di dunia tak ubahnya seperti kehidupan janin di dalam rahim. Untuk sampai pada kehidupan yang lain, manusia harus seperti bayi menjalani beberapa masa dalam kandungan sampai siap untuk hidup di luar alam kandungan. Yakni, manusia harus menjalani beberapa waktu hidup di dunia sampai dirinya siap untuk menjalani kehidupan di alam pascadunia.

Yang membedakan antara kehidupan manusia di alam dunia dengan kehidupan janin di dalam kandungan adalah bahwa janin di dalam kandungan sama sekali tidak mempunyai

p: 295

ikhtiar dan dia berkembang seturut proses alamiah serta hukum takwini Ilahi sehingga tiba waktu lahirnya. Sementara manusia di rahim dunia harus berusaha dan berjuang dengan ikhtiar yang Allah berikan kepadanya sehingga siap untuk dilahirkan di alam rahmat Ilahi. Pada hakikatnya, kehidupan manusia baru dimulai di sana. Karenanya, orang-orang yang beranggapan bahwa kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dunia, ketika nanti dibangkitkan di alam akhirat,

akan berkata dengan penuh penyesalan: Ya laitani qaddamtu li hayati. Seandainya aku telah berbuat sesuatu untuk kehidupan ini (kehidupan ukhrawi).(1) Menarik untuk dicermati, dalam ayat di atas Allah tidak berfirman, Ya laitani qaddamtu li hayat al-akhirah, tetapi berfirman, “Ya laitani qaddamtu li hayati. Seandainya aku mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku”, yang bermakna bahwa kehidupan dunia adalah bukan kehidupanku. Kehidupan hakikiberada pada kehidupanpascadunia(kehidupan akhirat); sebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat, Wa inna al-dâr al-âkhirata lahiya al- hayawân. Sesungguhnya rumah akhirat adalah kekal abadi.(2) Ayat ini disampaikan dengan hashr (yang memberikan makna “hanya") serta penekanan yang berlapis (baca: taʼkid), seperti inna, lam ta'kid, dhamir fashl hiya, alif-lam pada lafaz al-hayawan setelah dhamir fashl hiya, sehingga memberikan makna bahwa kehidupan yang sebenar-benar kehidupan hanyalah di sana (akhirat). Berdasarkan ayat di atas, sungguh keliru apabila kita menganggap bahwa kehidupan dunia adalah sebuah kehidupan yang sebenar-benar kehidupan. Dunia adalah kehidupan tipuan (dar al-ghurur). Di sinilah letak perbedaan cara pandang “kita" dengan Allah Swt, Rasul dan para Imam as. Mereka mengatakan bahwa kehidupan yang hakiki berada di sana, akan tetapi “kita” bersikeras bahwa kehidupan hakiki

p: 296


1- 71. QS. al-Fajr [89]:24.
2- 72 QS. al-Ankabut [29]:64.

adalah kehidupan dişini (dunia). Kita mengira bahwa di sana adalah kematian dan ketiadaan; sementara mereka berkatá bahwa justru kehidupan yang sebenar-benar kehidupan ada di sana. Kehidupan dunia adalah sebuah kehidupan yang sangat singkat seperti satu kedipan máta, agar kita dapat tumbuh dan

berkembang sementara kehidupan akhirat adáalah tujuan dan tak terbatas. Seandainya pun kehidupan dunia inisdinamakan sebağải kehidupan; ia adalahi kehidupan yarig bersifat farli dan mukadimah untuk memasuki kehidupan yang hakiki dan asli * Apabila kita memahami hakikat ini dan mengimanınya, tentu sikap dan perilaku kita akan berubah. Pasalnya, ketika pandangan kita tentang keberadaan salam, manusia, masyarakat w. berubah, maka keinginan dan harapan kita

juga siakan berubah secara mendasar. Perubahan harapan dan keinginan itulah (yang akan mendatangkan perubahan pada sikap dan perilaku, bahkan akan mengalami perubahan dalam kuantitas dan kualitas. Namun selama ipandangan kita tentang keberadaan; dunia, masyarakat dan manusias tidak seperti pandangan Allah Swt; Rasul dan para Imam'as, maka dapat dipastikan perilaku; sikäp;keinginan, dambaan dan harapan kita juga akan sesuai dengan cara pandang tersebut

Karena pandangan yang keliru akan memberikan pengaruh yang negatif pada sikap dan perilaku manusia, maka kita diingatkan untuk selalu berpikir tentang mana kehidupan yang hakiki:dan' mana yang hanya bersifati sementara, apa itu hakikat dunia dan apa pula hakikat kehidupan ukhrawi, berapa nilai kehidupan dunia bila dibandingkan dengan akhirat.

Alisis Memang, kebanyakan manusia masih terlena dengan kehidupan dunia seperti halnya diri kita sendiri: Kebanyakan dari kita sekalipun sudah memahami hakikat kehidupan dunia dan akhirat, ternyata belum memberikan pengaruh dan warna yang maksimal dalam perbuatan sehari-hari. Kità tetap bangun di pagi hari sementara rencana yang terseusun di otak kita

p: 297

!

seluruhnya berkaitan dengan keduniawjan. Kendati perhátian Allah Swt; i kedua orang tua dan tarbiah Islamiyah, sedikit banyak telah membuat kita bangun di saat fajar menigingat kehidupan i ukhrawi lalu emendirikann salat Subuh;i namun setelah dua rakaát; itú sélesai.semua pikiran, kita tercurah sepenuhnya pada kehidupan dunia hingga tibanya waktu:salat berikutnya. Adapun mereka yang jauh dari tarbiah ini, maka dapat dipastikan bahwa mereka hanya akan mengahabiskan waktu hidupnya dalam urusan-urusan duniawi Apabila; kita mau sedikit berpikir dan merenung;” kita bisa berbuat yang lebih baik dari: apa yang selama ini telah dilakukan. Kita bisa mengemas seluruh aktivitas duniawi kita dengan penuh semangat untuk membangun kehidupan ukhráwi, karena semua itu dilakukan dalam rangka meraihi keridaan Allah Swt;rsebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat Illabtighâu wajhirrabbíhil sa 'la (semata-mata untuki meraih

rida Tuhannya yang Mahatinggi):(1) Pada hakikatnya, aktivitas kerja keduniawan sama sekali tidakı bertentangan dengan ketaatan kepada Allah Swt; bahkan kita bisa lebih giat dan bersemangat dalam kerja-kerja dünia apabila dilakukan dalam rangka meraih keridaan Ilahi Rabbi, sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat: Ibtighâ: mạrdhâtillâh (mengharap keridaan Allah Swt).(2) Perbedaan antara amal yang bersifat ukhrawi dan amal duniawi hanya terletak pada motivasi serta niat daripada perbuatan tersebut. Ketika ipandangan, kita tentang dunia telah berubah, maka tujuan kita juga akan berubah, lalu pada gilirannya motivasi serta niat kita juga akan berubah. Semua aktivitas keduniawian akan berjalan seperti sediakala, namuri kali ini dengan niat, motivasi serta tujuan yang berbeda dan lebih mulia, karena semua itu dilakukan dalam rangka menaih rida-ilahi dan kebahagian abadi.

p: 298


1- 73 QS. al-Lail [92]:20.
2- 74 QS. al-Nisa' [4]:114.

Dengan demikian, kita harus terlebih dahulu membenahi pandangan tentang alam (baca: dunia) dan manusia, dan pada tahap berikutnya kita harus sampai pada sebuah keyakinan bahwa kehidupan dunia adalah sebuah mukadimah untuk kehidupan hakiki ukhrawi yang abadi. Alam dunia adalah sebuah rahim yang akan mengantar kita pada kehidupan yang lebih luas dan tak terbatas, sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Quran, Wa jannatin 'ardhuhâ al-samâwâtu wa al-ardhi, yaitu surga yang luasnya terbentang antara langit dan bumi.(1) Sekarang telah dimengerti alasan mengapa ada penekanan dan pengulangan dalam berbagai ungkapan berkaitan dengan memahami hakikat dunia dan akhirat serta perbedaan di antara keduanya. Kini kita menyadari bahwa penekanan yang berulang-ulang itu sama sekali tidak berlebihan, bahkan harus terus ditambah intensitasnya, karena pemahaman itu akan sangat berpengaruh pada seluruh dimensi wujud, perbuatan, perasaan, pemikiran serta ideologi manusia. Oleh sebab itu, pada awal-awal surat wasiat ini, Imam ali as telah berbicara secara khusus seputar masalah ini. Dan, seperti surat dan khutbah beliau yang lain, beliau telah memberikan keterangan serta penjelasan yang gamblang tentang hakikat kehidupan dunia, untuk apa manusia diciptakan serta ditempatkan di sana, apa tujuan hakiki kehidupan manusia, dan seterusnya. Pada bagian ini pun beliau kembali menekankan hakikat dunia dan berkata, "Sesungguhnya bagianmu dari dunia adalah apa yang dengannya engkau bangun akhiratmu.” Yakni, yang akan berguna dari duniamu adalah apa yang dengannya engkau bangun akhiratmu. Apa pun dari dunia yang engkau gunakan untuk memakmurkan akhiratmu, maka itulah yang akan kekal dan abadi. Akan tetapi, bila duniamu hanya engkau gunakan untuk kehidupan dan kenikmatan dunia, manfaat serta kegunaannya hanya terbatas pada kehidupan sementara dan fana ini saja lalu akan binasa dan sirna secara sia-sia. Dan masih

p: 299


1- 75 QS. Ali Imran [3]:133.

ada sedikit catatan: apabila kenikmatan dunia itu dihasilkan dengan cara dan dari jalan yang halal sesuai hukum-hukum syar'i, maka tidak akan mendatangkan siksa. Namun, apabila kemakmuran dunia dan berbagai kenikmatannya diperoleh dengan cara menginjak-injak hukum syariat, kenikmatan-kenikmatan sementara dunia ini kelak akan berubah menjadi siksa yang amat pedih dan menyakitkan.

Akhir dari Kehidupan Non-Ilahi

Sekadar menjaga hukum-hukum syariat, mencari nafkah halal dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram, belum bisa dinilai sebagai cara hidup yang ideal dan sesuai dengan maqam yang tinggi. Akan tetapi manusia harus dapat menyesuaikan perbuatannya dengan apa yang menjadi keridaan Allah Swt, Rasul saw dan para Imam as dalam pandangan serta kecenderungannya berkaitan dengan dunia dan akhirat. Pasalnya, bila tidak seperti itu, sekadar menjaga hukum syariat, meninggalkan yang haram dan mencari rezeki halal, tak ubahnya seperti seorang manusia yang dengan permata berharga milikinya, membeli satu kali jamuan makan lezat; padahal dengan permata itu dia bisa membeli istana super mewah serta kebun-kebun yang luas; bagaimana dia begitu bodoh menyerahkan permata tersebut hanya untuk satu kali jamuan makan! Apakah yang dilakukan oleh manusia seperti ini dapat disebut sebagai pertukaran atau jual-beli yang pantas dan masuk akal?! Dapat dipastikan, orang-

orang berakal akan mencemooh serta menganggapnya dungu dan bodoh. Sekalipun hidangan nasi “daging panggang” dapat mengenyangkan perut manusia, tetapi itu tidak bisa dibandingkan dengan istana serta kebun yang luas dengan segala fasilitas mewahnya. Apa yang selama ini kita lakukan di dunia boleh jadi tidak

lebih baik dari orang yang menjual permata mahalnya dengan satu kali jamuan makan di atas. Padahal kita dengan modal

p: 300

kehidupan singkat dunia berpeluang besar untuk membeli istana dan kebun yang luas di alam akhirat. Ternyata puncak usaha dan upaya kita di dunia hanya sekadar tidak berbuat dosa dan menghindarkan diri dari azab ukhrawi. Dengan begitu; kita dalam kehidupan dunia tidak menghasilkan apa-apa untuk kehidupan akhirat selain terhindar dari azab dan siksa Kita telah kehilangan manfaat besar yang dapat diraih dalam kehidupan akhirat, karena kita merasa puas hanya dengan terhindar dari siksa serta kërugian yang bisa menimpa diri! Jelas, sekali, sikap yang seperti ini, yakni merasa cukup dengan tidak merugi, dan mengabaikan keuntungan, besar yang bisa diraih, adalah perbuatan yang tidak dapat diterima oleh nalar, dan logika. Dengan kata lain, perbuatan ini tidak dapat diberi predikat apa pun selain, sebuah kedunguan, karena, menjaga hukum-hukum syariat hanya akan menyelamatkan seseorang sangat besar lantaran mengabaikan, keuntungan yang tak terhingga. Tidak ada orang berakal yang dapat_menerima perilaku seperti ini

Keuntungan" hakiki adalah manakala seorang manusia dapat memanfaatkan seluruh kesel di dunia dalam meraih yang terbaik pa đá kehidupan akhirat yang kekal nän abadi Karena, satu-satunya hal yang kekal abadi dan tak akan sirna hanyalah kebahagiaan ukhrawi dan keridaan Ilahi; sementara yang lain, meskipun hala dan baik, indakum väntadu wa mi tetap akán sirna dan hilang. Ditegaskan dalam sebuah ayat, dallahi badu akan sirna dan apa yang di sisi Allah akan kekal nan abadi)

Dalam ayat lain disebutkan, Harta dan anak-anak adalah amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik

untuk menjadi, harapan:" Beragam kelezatan dan kenikmatan

p: 301

dunia hanyalah perhiasan bagi kehidupan sementara, karena semuanya akan hancur dan sirna. Ada sebuah perumpamaan di dalam al-Quran berkaitan dengan dunia, Dan berilah perumpamaan kepada mereka (mahusia), bahwa kehidupan dunia ädalah bağđikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi sübür karenahya' tumbuh-tumbuhan di múkä' bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan'itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin: Dän adalah: "Allah Maha küasa atas segala sesuatu.? Di sini perlu kiranya kita menginga dalam al-Quran

Perdagangan ala Al-Quran

demikian banyak harta kepada melimpah Qarun sehingga tumpukan kunci-kunci khazanah hartanya harus dipikul oleh orang-orang kuat untuk memindahkannya. Pada zaman itu belum ada bank sehingga masyarakat dapat menyimpan harta mereka di sana. Karenanya mereka terpaksa menyimpan harta benda di dalam khazanah-khazanah dengan kunci kuat untuk menjaganya dari para pencuri. Semakin besar sebuah khazanah, semakin besar pula kuncinya; semakin banyak harta yang dimiliki, semakin banyak pula khazanah yang dibutuhkan, dan sudah barang tentu akan

semakin banyak pula kunci yang diperlukani Orang, terkaya di, masa itu, adalah: Qarun, yang karena banyaknya kunci khazanah yang dimiliki, maka dibutuhkan orang-orang kụat untuk memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain; Orang-orang mukmin, memberikan nasihat kepadą, Qaruni (Ingatlah), keţika, kaumnya; berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.(1) Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri, akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di

p: 302


1- 78 QS. al-Kahfi [18]:45.

(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(1) Mereka memberi beberapa nasihat kepada Qarun. Pertama, janganlah engkau terlalu lupa diri dan bangga diri, karena Allah tidak suka kepada orang yang mabuk harta serta kesenangan. Yang dimaksud dengan kalimat la tafrah (di dalam ayat), bukanlah “jangan bergembira”, tetapi jangan sampai engkau berlebihan dalam kegembiraan sehingga menjadi terlena, angkuh dan lupa diri. Karena berbangga diri dengan berlimpahnya harta tidak akan memberikan hasil apa pun selain penyelewengan serta penyimpangan dari kebenaran dan jalan Allah Swt. Kedua, jadikanlah nikmat dunia yang Allah berikan kepadamu sebagai sarana untuk meraih kenikmatan akhirat yang abadi; jangan sampai engkau keliru dalam menentukan mana yang seharusnya menjadi sarana dan mana yang seharusnya menjadi tujuan. Ketiga, jangan pula engkau

melupakan nasibmu dari dunia. Berkaitan dengan nasihat yang ketiga, ada beberapa pendapat dari kalangan mufasirin: Sebagian mufasir berkata bahwa ketika orang- orang mukmin menasihati Qarun, pertama-tama mereka mengingatkan Qarun agar berpikir tentang akhirat. Kemudian, karena mereka khawatir (si Qarun) menjalankan nasihat ini secara berlebihan sehingga hanya berpikir tentang akhirat dan melupakan dunia sama sekali, maka mereka berkata, “Dan jangan lupakan bagianmu dari kehidupan dunia!” Dengan kata lain, mereka hendak berkata, “Apabila kami mengajakmu untuk berpikir tentang akhirat, ini bukan berarti kami memerintahmu untuk melupakan dunia sama sekali. Silakan engkau menikmati duniamu, namun jangan sampai hal itu membuat lupa akan akhirat yang abadi.”

p: 303


1- 79 QS. al-Qashash [28]:77.

Kelompok lain menafsirkan, “Jadikan akhirat sebagai tujuan aslimu, meski dengannya jangan sampai engkau melupakan dunia secara keseluruhan.” Kelompok yang lain berpendapat bahwa ayat ini (wa lâ tansa nashibaka mina al-dunya) pada hakikatnya merupakan penyempurna dari bagian sebelumnya (wabtaghi fima atakallahud daral akhirata), yakni, jangan sampai engkau lupa bahwa duniamu adalah sarana untuk meraih akhiratmu; engkau harus menjadikan kenikmatan dunia sebagai sarana untuk meraih kenikmatan akhirat. Dengan kata lain, maksud dari “jangan lupakan nasibmu dari dunia" adalah jangan lupa bahwa dunia adalah saranamu untuk meraih akhirat, karena jika tidak begitu, tidak ada sesuatu yang tersisa bagimu dari dunia.

Di antara beberapa penafsiran di atas, boleh jadi penafsiran akhir lebih dekat dengan kebenaran, karena Qarun tidak pernah melupakan kenikmatan duniawi sehingga perlu diingatkan dengan kalimat “jangan lupakan bagianmu dari dunia". Qarun adalah manusia yang seluruh keinginan serta hasratnya tertuju dan terpaku pada kelezatan serta kenikmatan duniawi. Yang jelas-jelas dilupakan oleh Qarun adalah menjadikan dunia sebagai sarana untuk meraih akhirat. Oleh karenanya, perlu dinasihatkan kepadanya: “Jangan lupakan akhiratmu dan jadikan dunia sebagai sarana untuk meraih akhirat, karena yang akan tersisa dari kenikmatan dunia ini hanyalah apa yang digunakan untuk meraih kenikmatan ukhrawi." Bagian dan nasib dari dunia yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa nikmat-nikmat dunia harus digunakan untuk meraih nikmat-nikmat akhirat. Yakni, nikmatilah dunia dengan sebuah cara sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan ukhrawimu. Menikmati dunia dalam jalur syariat dalam rangka beribadah dan memperoleh kekuatan untuk

p: 304

menjalankan tugas-tugas ilahi, itentu akan sangat berguna bagi kehidupan ukhrawi sa o buna un Dengan memerhatikan keterangan di atas, maka nasihat Imam Ali yang berbunyisja Sesungguhnya bagianmu dari dunia adalah japa yang dengannya engkau bangunsakņiràtmu?, terlihat lebih sesuai dengan penafsiran yang terakhir. Imam Ali as berkata, t1Innama: laka min dunydka ma ashlahta:bihi matswaka." Laka berarti bagianmu dari dunias innamd memberikan makna hashr:(yang berarti hanya itu dan bukan yang lain:), sehingga nasihat, beliau; akan berarti: sbagianmu dari dunia tidaki lain adalah apa yang dengannya engkau bangun riakhiratmu, Sebagaimana di dalam ayat di atas Allah Swt berfirman; La tansa, nashîbaka mina al-dunyâu :Jangan lupakan bagianmu dari dunia. Dan bagian yang dilupakan oleh Qarun adalah bahwa Qarun tidak menjadikan dunianya sebagai sarana untuk membangun akhirat. Sebagaimana telah disinggung di atas, ini merupakan salah satu penafsiran yang diberikan pada ayat:dii atas akan tetapi, di antara beberapa! penafsiran yang ada; penafsiran ini sterkesan lebih-itepat; kanena penafsiran, ini juga didukung oleh apa yang diucapkan oleh Imam Alias. Dalam-nasihatnýă beliau berkata, O Sesungguhnya-bagianmu dari dunia adalah apa yang dengannya engkau bangun akhinatmu dan apabila dunia digunakan pada tujuan yang lain, dia tidak akan; memberikan hasil apa-apa selain kerugian. Apabila manusia menggunakan dunia untuki dunia; ia kehilangan sesuatu yang dengannya dia dapat meraih sesuatu yang kekal nan abadi.

Apabila dunia digunakan untuk meraih selain akhirat, dia tidak akah pernah memberikan keuntungan, atá'ápa yang dihasilkan tidak dapat disebut sebagai sebuah keuntungan dalam kehidupan dunia adalah apabila dunia dapat menjadi sarana untuk meraih seuatu yang kekal nan abadi di akhirat."

p: 305

Membeli keridaan Allah (Ridhwan Ilahi)

Setelah menjelaskan kaidah dan rumusan umum tentang kehidupan dan meraih akhirat, beliau menjelaskan pula salah ebelum kita memasuki lanjutan dari nasihat beliau yang sangat berharga, perlu kiranya kita menyimak mukadimah berikut

Apabila kita memerhatikan sikap dan perilaku kita,

Kita akan mendapati bahwa diri kita kita tidak mudah untuk membelanjakan harta yang telah diperoleh. Tentu hal itu disebabkan kita memperolehnya dengan usaha dan kerja keras. Apa yang telah masuk dalam simpanan harta kita, tidak akan dengan mudah untuk dibelanjakan apalagi untuk hal-hal yang tidak berharga. Kita hanya akan mengeluarkannya untuk sesuatu yang perlu atau investasi yang menguntungkan. Nah, apabila harta dan modal itu dikeluarkan di jalan Allah, apakah

akan mendatangkan kerugianTentu tidak, investasi ukhrawi justru akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda dan abadi. Investasi di jalan Allah adalah satu-satunya investasi yang memberikan jaminan keuntungan tak terbatas dan sama sekali tidak ada kemungkinan ruginyą.

Dengan adanya jaminan keuntunigan tanpa kerugian dari sisi Allah Swt, maka apa yang dapat mencegah seseorang untuk berinvestasi di jalan Allah berpikir bahwa investasi duniawi lebih menguntungkan? Atau sebaiknya harta itu dibiarkan serta dikonsumsi begitu saja tanpa diinvestasikan? Yang mencegah kita untuk berinvestasi ukhrawi tidaķ lain adalah keterpautan pada kelezatan duniawi yang juga mencegah kita untuk berinfak di jalan Allah Swt. Untuk dapåt terlepas dari kebakhilan, kekikiran serta keterpaután pädä harta duniakita harus memahami bahwa manfaat dan Keuntungan yang hakiki itu justru terdapat pada investasi ukhrawi, bukan dalam mengonsumsinya

p: 306

untuk kehidupan dunia semata atau menyimpannya. Yang menguntungkan dan abadi adalah berinfak di jalan Allah Swt. Dalam al-Quran ditegaskan, Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung(1) Ungkapan ini telah digunakan dalam beberapa tempat di dalam al-Quran. Allah Swt menegaskan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang dapat selamat dari sifat kikir dan bakhil. Sebaliknya, mereka yang kikir dan hanya sibuk dengan menumpuk dan menyimpan harta tanpa berinfak adalah orang-orang yang merugi. Keberuntungan hanya akan menjadi milik orang-orang yang dapat membebaskan dirinya dari sifat bakhil dan kikir. Kekikiran dalam ayat di atas diungkapkan dengan kata syuhh, yang berarti "tangan yang menggenggam” sebagai pertanda kekikiran dan keterpautan diri pada harta dunia sehingga tidak mau berinfak sama sekali. Keterpautan pada dunia akan menjadikan manusia hancur dan sengsara. Lantaran itu, orang yang ingin meraih kebahagiaan dan keuntungan, dia harus membebaskan dirinya dari sifat buruk ini. Akan tetapi, yang penting untuk diketahui di sini adalah kapan manusia dapat terbebas dari rintangan ini (kekikiran dan kebakhilan)? Dengan memerhatikan keterangan-keterangan yang telah diungkap sebelum ini, maka jawaban dari pertanyaan di atas sudah sangat jelas dan terang. Manusia akan terbebas dari keterpautan pada dunia, apabila dia benar-benar memahami bahwa infak dan sedekahnya di dunia akan memberikan keuntungan baginya. Karena apabila harta itu

hanya dia gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan duniawi saja, maka kenikmatannya hanyalah bersifat sementara dan cepat berlalu dan tak satu pun kepala yang meragukan bahwa dunia adalah tempat tinggal yang tidak abadi. Namun, apabila

p: 307


1- 80 QS. al-Hasyr (597:9.)

manusia mau berinfak dan bersedekah di dunia, maka selain dia dapat menikmati kehidupan dunia, Allah Swt juga akan memberinya spirit dan gelora jiwa yang bersifat abadi. Ketika seseorang berkhidmat kepada orang lain semata-mata untuk meraih keridaan ilahi, maka di samping imbalan duniawi, nilai amalnya pun akan mengabadi selama-lamanya dan dia juga akan menuai hasil yang baik kelak di akhirat. Oleh sebab itu, dalam lanjutan wasiatnya, Imam Ali as berkata, “Berinfaklah

di jalan yang benar! Infakkan hartamu untuk orang-orang yang membutuhkan dan jangan simpan hartamu sehingga justru orang lain yang akan menikmatinya.”

Apa yang akan diraih oleh mereka yang hanya sibuk menumpuk harta dari waktu ke waktu? Apa sebenarnya yang hendak mereka capai? Bukankah mereka hanya akan menjadi orang-orang yang bersusah payah mengumpulkan harta untuk dinikmati oleh orang lain? Mereka tak ubahnya seperti seorang penjaga sebuah gudang penyimpanan harta agar tidak dicuri, lalu akan dinikmati oleh orang lain. Dia tak ada bedanya dengan seorang pelayan yang melayani kebutuhan orang lain. Apa pun keuntungan yang diperolehnya dengan susah payah, akan dirasakan oleh orang lain tanpa perlu bersusah payah. Boleh jadi, manfaat yang diambil oleh orang

lain dari harta hasil jerih payahnya, jauh lebih besar dari manfaat yang dirasakannya. Pada hakikatnya para penumpuk dan penimbun harta dunia adalah orang-orang yang bekerja keras siang dan malam tanpa kenal lelah demi kepentingan dan keuntungan orang lain.

Orang yang tidak berinfak di jalan Allah Swt persis dengan orang yang menjaga gudang harta tersebut, yakni orang yang menjaga gudang harta orang lain. Bedanya, si penjaga gudang ini tidak menuntut upah dan bayaran, karena dia melakukannya dengan sukarela. Si penumpuk harta dunia apabila dia meninggal dunia, maka tibalah giliran para ahli

p: 308

waris untuk bertarung dan bersengketa dalam perebutan harta. Boleh jadi pará ahli waris juga akan memberikan umpatan atau cemoohan kepada sempunyai hartai Apabila mereka tidak menunaikan tanggung jawab'sýar'i-nya; (siksa ukhrawi pasti akan menghadangi dan menjeratnya. Oleh sebab itu kini pikirkan sertâ renúngkan baik-baik; apa kira-kira keuntungan yang bisa diraiksoleh seorang penjaga"gudang Kartal tanpa bayaran?: Apakah kita memang dicipta untuk mengemban tugas sepeřti ini? -Apabila kita tidak dicipta untuk itu, berinfakláh di jalan yang benar dan jangan pernah menjadi penyimpan harta bagi orang lain.

Tidak Ada yang Perlu Disésali dari Dunia

Dalam , lanjutan wasiatnya, Pemimpin Orang-Orang Bertakwa, ini (Ali bin Abi Thalib) memberikan pesan lain kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as: Sebagai akibat dari keterikatan pada dunia dan kenikmatannya, apabila seseorang kehilangan, sedikit darinya, dia akan bersedih dan bersusah hati Mungkin masing-masinga kita pernah merasakan penyesälán; kekecewaan serta kesedihan akibat kehilangan harta dunia Sebagai misal dengan kehilangan sebuah bükü atat sebuah cincin' atau" sélémbár úiänig, kita tidak lagi dapat salát dengan 'khüsük;"pikiran kita akan selalu melayang dan terfokus pada pencarian apa yang telah' ħilang. Bahkan,

Hilangnya benda-benda sederhana' itu bisa membuat kitá kehilangan kendali dan bersikap kasar serta melampaui batas. Karena kehilangan tersebut kita bisa melakukan sesuatu yang melanggar syariat dan tata krama. Seperti itulah kondisi kejiwaan kita bila kehilangan selembar kertas uang. Lalu, bagaimana kejiwaan seorang manusia yang barang dagangannya tenggelam di laut, bebas? Bagaimana pula apabila terendam bencana banjir atau gempa bumi yang membumi hanguskan seluruh harta manusia, apa yang

p: 309

kemudian akan dilakukannya dan kejiwaan seperti apa yang akan menimpa dirinya? Alhasil, terkadang hilang sebuah cincin atau untaian tasbih yang terbuat dari batu permata akan membuat jiwa seseorang merasakan kesedihan dan kekecewaan yang menjadikannya tidak berdaya untuk berbuat apa-apa. Seluruh pikirannya

terfokus pada barang yang hilang. Dia tidak bisa menjalankan ibadah dengan khusuk, bahkan dia kehilangan semangat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya. Kesedihan dan kekecewaan ini terkadang sedemikian rupa memasygulkan hati seseorang sehingga dia tidak berdaya untuk berbuat apa-apa dan keceriaan hidupnya berubah menjadi sebuah kegetiran bak racun yang mematikan. Padahal semua kita telah memahami bahwa kehidupan dunia tidak akan pernah

luput dari bencana, petaka dan cobaan yang meliputi harta dan orang-orang tercinta (semoga Allah menjaga kita semua). Cobaan dan ujian pasti akan menimpa manusia. Karena itu, manusia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi beragam kepastian dalam kehidupan dunia. Apabila seorang manusia itu jatuh dalam kekecewaan dan kesedihan yang tiada henti hanya karena kehilangan sebagian kecil dari harta dunianya, dapat dipastikan dia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan di dalam hidupnya. Manusia seperti ini tidak akan pernah mampu menjalankan tugas-tugas keagamaannya dan dia pun akan tidak berdaya untuk

melanjutkan studi atau pekerjaannya. Dia tidak akan pernah beribadah dengan kekhusukan hati dan dia tidak akan pernah merasakan keceriaan dalam bergaul dengan orang lain. Sikap dan perilakunya juga akan berubah terhadap istri dan anak-anaknya dan seterusnya.

Kejiwaan dan perilaku yang semacam ini menunjukkan sebuah penyakit yang sangat berbahaya. Dalam rangka mengobati penyakit seperti ini, Imam Ali as memberikan

p: 310

solusi (yang maknanya): “Coba pikirkan berapa banyak seluruh harta yang kaumiliki dan berapa banyak harta kekayaan di dunia yang belum kaumiliki. Tak diragukan, banyak hal yang belum kita miliki. Ada banyak kekayaan yang berada di tangan orang lain dan kita tidak memilikinya. Banyak harta karun yang terpendam di dalam tanah dan belum dikeluarkan. Banyak tambang emas, perak, minyak, tembaga dan lain sebagainya yang berada di tangan orang lain dan kita tidak memilikinya. Nah, apakah ada orang berakal yang bersedih dan bersusah hati lantaran tidak memiliki semua harta dan tambang itu? Tak diragukan, tidak ada orang berakal yang bersedih untuk itu. Apabila engkau kehilangan sesuatu, bayangkan bahwa sesuatu itu tidak pernah menjadi milikmu seperti kebanyakan kekayaan

dunia yang juga tidak pernah menjadi milikmu. Sebagaimana halnya engkau tidak pernah bersedih hati karena kekayaan yang belum pernah kaumiliki, maka

jangan pula bersedih untuk sedikit harta yang terlepas dari tanganmu. Jangan engkau mengusik ketenangan orang lain dan jangan pula engkau mengganggu orang lain; jangan engkau sia-siakan hidupmu. Akan tetapi, bersukurlah kepada Allah karena engkau pernah menikmatinya selama beberapa waktu. Dan, ketika sekarang harta itu terlepas dari tanganmu, maka anggaplah harta itu seperti kebanyakan harta yang belum pernah ada dalam genggamanmu. Pada hakikatnya ada

banyak hal yang belum pernah menjadi milikmu, lalu apakah terus kita harus bersedih dan bersusah hati karenanya?! Kita harus pandai bersyukur dan mensyukuri apa yang pernah menjadi milik kita. Apabila kini hilang atau berpindah tangan, biarlah orang lain menikmatinya; karena ada dan tidak adanya harta dunia tersebut tidak sepenuhnya berada dalam kendali kita sehingga kita harus terus memikirkan dan bersedih untuknya. Apabila harta tersebut akhirnya kembali

p: 311

ke tangan kita, maka itu adalah sebuah nikmat baru yang menuntut ucapan syukur yang baru pula.” Dengan demikian, jalan terbaik untuk terbebas dari

perasaan sedih atas kehilangan harta adalah anggaplah harta itu seperti halnya kebanyakan harta yang belum pernah menjadi milikmu. Apakah kita bersedih untuk sesuatu yang belum kita miliki sehingga kita harus bersedih untuk sesuatu yang lepas dari tangan?!

Dalam kaitan ini Imam Ali as memberikan nasihat, “Apabila engkau mengeluhkan atas harta yang terlepas dari genggamanmu, maka (seharusnya) engkau juga mengeluhkan atas seluruh harta yang tidak sampai ke tanganmu.” Imam Ali as hendak mengatakan, harta yang terlepas dari genggamanmu dengan harta yang belum pernah menjadi milikmu itu adalah sama, yakni sama-sama tidak berada dalam kepemilikanmu, karena keduanya sama-sama tidak berada di tangan Anda.

Sebagaimana Anda tidak bersedih karena tidak memiliki yang itu, maka Anda juga seharusnya tidak bersedih dan bersusah hati karena tidak memiliki yang ini. ]

p: 312

p: 313

39-PELAJARAN SEJARAH (1)

Point

وَ اسْتَدْلِلْ عَلَی مَا لَمْ یَکُنْ بِمَا کَانَ فَاِنَّمَا الاُْمُورُ اَشْبَاهٌ وَ لاَ تَکْفُرَنَّ ذَا نِعْمَة فَإِنَّ کُفْرَ النِّعْمَةِ مِنَ أَلاَْمِ الْکُفْرِ وَاقْبَلِ العُذْرَ.

Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan. Janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran. Jadilah pula orang yang dapat menerima

uzur orang lain.

Masa Lampau adalah Pelita Bagi Masa Depan

Kini kita akan memberikan syarah atas surat wasiat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as pada bagian yang berbunyi, Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki

keserupaan. Dengan kata lain, jadikanlah peristiwa dan kejadian masa lalu sebagai pelita serta petunjuk atas peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Kemudian beliau memberi alasan atas apa yang diucapkan sebelumnya dan berkata:

"Karena perkara-perkara dan peristiwa-peristiwa itu memiliki keserupaan antara satu dengan yang lain.” Dan tentu, kita dapat mengambil kesimpulan dari hal-hal yang serupa.

p: 314

Apa yang diucapkan oleh Imam Ali as di sini merupakan sebuah nasihat, bukan sesuatu yang bersifat ilmiah dan filosofis.81 Apa yang beliau nasihatkan adalah sebuah realitas tak terbantah dalam rangka mengingatkan orang-orang yang terlena dan lalai. Ketika manusia menelaah serta meneliti peristiwa-peristiwa dalam sejarah, dia akan memahami bahwa umat manusia sepanjang sejarah telah melewati beragam peristiwa manis dan getir, menyenangkan dan menyedihkan,

juga hal-hal yang menakjubkan hingga akhirnya sampai pada masa yang sekarang. Tentu semua itu belum berakhir, karena di masa mendatang manusia masih akan menghadapi hal-hal yang serupa dan tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dihadapi sebelumnya. Salah satu fenomena umum yang sejak dahulu terjadi dan akan selalu terjadi adalah bahwa generasi terdahulu selalu mewariskan harta, rumah dan apa saja yang pernah menjadi milik mereka kepada generasi yang sekarang.

Nah, di sini kita pun harus mengambil pelajaran dari kaidah umum ini, bahwa suatu hari nanti kita juga mau tidak mau harus meninggalkan apa saja yang pernah menjadi milik kita untuk diserahkan dan dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, jangan sampai hati kita terpaut pada harta dunia yang segera sirna dan berlalu. Keterikatan kepada dunia akan menjadikan diri kita tidak lagi pandai untuk membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Apabila diri kita terpaut pada dunia, kita akan berani melakukan perbuatan yang haram dan dilarang semata-mata untuk memuaskan apa yang menjadi hasrat serta keinginan kita.

Banyak manusia yang sedemikian rupa terikat pada harta dunia dan anak-anak sehingga mereka terjauhkan dari tugas-tugas syar'i dan taklif-taklif Ilahi. Padahal seorang manusia Di dalam filsafat ada sebuah kaidah yang berbunyi: Hukm al-amtsal fima yajuzu wa fima la yajuzu wahidun, yakni Hal-hal yang serupa

mempunyai hukum yang sama. Kaidah ini di kalangan para filsuf menjadi bahan perbincangan. Alhasil, apa yang diucapkan oleh Imam Ali as tidak ada kaitannya dengan kaidah ini.

p: 315

yang sungguh-sungguh mencari kesempurnaan diri, maka dia tidak boleh mengorbankan hal-hal yang mustahab atau nilai- nilai akhlak demi materi dan harta dunia. Hal itu disebabkan kerugian terkecil yang akan diterima oleh manusia akibat keterpautan diri kepada dunia adalah perhatian manusia akan berkurang terhadap perkara-perkara maknawi dan nilai-nilai luhur insan. Padahal, pikiran, hati dan jiwa manusia seharusnya hanya berkonsentrasi pada hal-hal maknawi yang bernilai tinggi. Tentu saja, salat yang tidak dibarengi oleh kekhusukan hati dan ibadah yang tidak dilakukan sepenuh hati akan semakin menambah kekerasan hati manusia. Sebagaimana belajar tanpa konsentrasi tidak akan memberikan hasil apa-apa, demikian pula halnya keterpautan hati kepada dunia, harta benda, istri dan anak-anak akan menjadikan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kesempurnaan yang hakiki. Bahkan, kendatipun semua kemewahan duniawi itu diperoleh dari jalan yang halal, tetap saja hal itu akan berbahaya dan menghambat perkembangan maknawi seorang insan. Lebih daripada itu, perhitungan harta dunia yang halal di

hari kiamat akan membuat manusia tertahan di alam Mahsyar.

Ini adalah kerugian paling ringan yang akan dihadapi oleh manusia sebagai akibat keterpautan pada harta dunia. Dalam rangka menjelaskan kenyataan ini, Imam Ali as berpesan, “Ambillah pelajaran dari masa silam dan perhatikanlah bahwa dunia tidak akan pernah setia kepada penghuninya.” Nasib orang-orang yang memautkan hatinya pada harta dunia sungguh sangat buruk, menyakitkan dan menyedihkan. Sebaliknya, kebahagiaan dan keberuntungan hanya akan diraih oleh orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt dan sibuk mencari keridaan-Nya.

Oleh sebab itu, banyaklah belajar dari generasi terdahulu dalam segala perbuatan dan sepak terjangmu, karena segala yang menimpa mereka, cepat atau lambat juga akan menimpamu.

p: 316

Logika ‘Ibrah (Mengambil Pelajaran dari Orang Lain di Masa Lampau)

Perlu diketahui bahwa kadar pengambilan pelajaran manusia dari sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu adalah berbeda-beda. Sebagian manusia melihat sejarah hanya selayang pandang dan merasa cukup dengan itu. Mereka tidak menganggap peristiwa-peristiwa itu sebagai sesuatu yang penting untuk diambil hikmah dan pelajarannya.

Mereka adalah jenis orang-orang yang mengikuti kesenangan hawa nafsu sesaat dan mengikuti hasrat diri secara buta tanpa berpikir. Begitu timbul keinginan dalam diri, mereka akan langsung merespon dan menindaklanjutinya. Bagi mereka tidak terlalu penting darimana muara hasrat dan keinginan tersebut. Begitu merasa lapar, haus, atau terangsang hasrat seksualnya, baik itu terjadi secara alami atau akibat pengaruh lingkungan dan masyarakat, mereka akan langsung menuruti

apa yang menjadi hasrat dan keinginannya. Mereka sama sekali tidak pernah berpikir bahwa perbuatan ini akan berakhir seperti apa dan apa yang menjadi akibatnya. Tentu, manusia-manusia seperti di atas pada hakikatnya telah menggunakan gaya hidup hewan dan binatang dan akan digolongkan dengan mereka. Al-Quran telah menegaskan, Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (1) akan tetapi, ada sekelompok lain yang selalu mengambil ‘ibrah (baca: pelajaran) dari peristiwa dan kejadian masa lampau, lalu menjadikan sejarah itu sebagai pelita jalan bagi masa depan mereka. Meskipun ada saja di antara mereka yang jatuh dalam sesat-pikir (fallacy) dan ekstremitas sehingga berkeyakinan bahwa setiap kejadian di masa lalu dapat dijadikan sebagai pijakan untuk masa kini dan juga masa mendatang. Mereka berpendapat bahwa setiap sesuatu adalah

p: 317


1- 82 QS. al-Hijr [15]:3.

dalil bagi sesuatu yang lain. Mereka yang mempunyai sikap berlebihan seperti ini, bahkan bisa melalaikan tugas-tugas sosial dan taklif-taklif syar’yang paling jelas dan sederhana. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak contoh nyata berikut ini.

'Ibrah Tanpa Logika

Sebelum kemenangan Revolusi Islam (Iran), ketika Imam Khomeini rahimahullah masih berjuang melawan tagut (baca: penguasa zalim), sebagian orang berkata, “Perjuangan dan perlawanan ini tidak akan memberi hasil,” dan oleh sebab itu mereka tidak pernah mau ikut dan terlibat dalam perjuangan. Ketika ditanyakan kepada mereka apa yang menjadi alasan pemikiran mereka dan bagaimana mereka dapat yakin dengan prediksi mereka, mereka menjawab, "Sudah berapa kali dan berapa lama para ulama berjuang untuk menggulingkan rezim yang zalim, dan bukankah selama ini mereka mengalami kegagalan dan tidak pernah berhasil menjatuhkan rezim tersebut. Sudah berapa banyak ulama yang berjuang, dipenjara dan bahkan gugur sebagai syahid di jalan ini, namun tak satu pun dari mereka mampu untuk menggulingkan rezim yang zalim. Gerakan revolusi ini pun tak ubahnya seperti perjuangan dan perlawanan yang sudah-sudah, dapat dipastikan ia akan berakhir dengan kegagalan dan kekalahan!"

Tak sedikitpun diragukan, cara berdalih seperti ini adalah sebuah cara berdalih yang bersifat ifrathi (baca: berlebihan/ ekstrem) dan penuh dengan sesat-pikir. Sudah barang tentu seseorang tidak dapat meninggalkan tanggung syar'i-nya semata-mata bersandar pada dalih dan alasan seperti ini, yaitu karena dulu tidak berhasil, maka sekarang pun tidak akan berhasil. Apakah berkaitan dengan taklif penting seperti “amar makruf nahi mungkar”, dalil seperti ini dapat diterapkan?

Dalil itu berbunyi seperti ini: karena tahun yang lalu saya telah menasihati orang seperti ini dan tidak berpengaruh

p: 318

apa-apa, maka tahun ini pun akan sama hasilnya, dan karena seperti itu adanya, maka amar makruf nahi mungkar tidak lagi wajib atas diri saya. Tentu saja bahwa dalil seperti ini tidak dapat menggugurkan kewajiban amar makruf nahi mungkar, karena boleh jadi pada tahun ini nasihat dan amar makruf nahi mungkar itu akan berhasil. Apabila hanya karena si fulan tidak mau mengindahkan amar makruf nahi mungkar yang saya berikan, maka amar makruf nahi mungkar itu ditinggalkan, lalu kapan lagi amar makruf nahi mungkar itu dapat diberikan?! Apakah dapat dikatakan seperti ini, bahwa saya telah melakukannya sekali, namun tidak berhasil, maka untuk selamanya tugas Ilahi ini sudah tidak wajib lagi bagi diri saya.

Contoh lain dari cara berdalih seperti ini adalah setiap kali ada pembicaraan tentang campur tangan dalam masalah-masalah sosial, dikatakan bahwa di sana

ada dukungan dan campur tangan Inggris, karenanya apa pun yang kita lakukan pasti akan menemui jalan buntu. Yakni, hanya dengan kalimat “ini adalah politik serta siasat Inggris”, maka pergerakan itu kita nafikan dan kita tolak.

Kalimat tersebut adalah kalimat yang menjadi sandaran dan buah bibir orang-orang tua, lalu diambil sebuah kesimpulan: Dengan begitu, maka percuma saja berjuang, ini semua tidak akan memberikan hasil apa-apa. Perlu digarisbawahi, sebagian kelompok ini adalah orang- orang yang pada hakikatnya baik dan agamis. Mereka berusaha melakukan apa yang menjadi tugas serta kewajibannya, namun mereka mengira bahwa cara berdalih seperti ini adalah cara yang benar, yakni apabila Inggris telah melakukan intervensi, semua aktivitas akan terhenti dan menemui jalan buntu karena Inggris dapat melakukan apa saja dan kita pasti kalah.

Berkaitan dengan perjuangan serta perlawanan terakhir

p: 319

(yang dipimpin oleh Imam Khomeini rahimahullah), orang-orang seperti di atas juga selalu berkata bahwa penguasa zalim ini tidak dapat dijatuhkan, karena perlawanan kita tak ubahnya seperti perlawanan antara kepalan tangan dan belati, dan tentu tangan kosong akan dikalahkan oleh belati. Apakah tangan kosong dapat bertahan bila berhadapan dengan belati?! Musuh kita bersenjata lengkap, sementara kita hanya berbekal tangan kosong. Oleh sebab itu, apa pun yang kita lakukan pasti akan berakhir dengan kekalahan. Dan, bila perjuangan dan perlawanan ini kita paksakan, maka kita semua akan mati. Jika berdalih dengan peristiwa yang serupa itu tidak benar adanya, lalu mengapa Amirul Mukminin as tegas-tegas mengatakan, “Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan.” Dan jadikanlah masa lampau sebagai pelita bagi masa datang? Beliau secara tegas berkata, “Sesungguhnya perkara-perkara dan peristiwa-peristiwa itu memiliki kemiripan”; berdasar pada ucapan beliau, dapat disimpulkan bahwa antara satu fenomena dengan fenomena yang lain terdapat keserupaan, dan oleh sebab itu kita bisa berdalih dengan sebuah fenomena atas fenomena yang lain. Dengan demikian,

bukankah logika dan cara berpikir para ulama dan intelektual yang mengatakan bahwa perjuangan ini akan berakhir dengan kekalahan berdasar pada beberapa kekalahan di masa lampau, merupakan sebuah logika yang benar? Bagaimana kita menghadapi dan memberikan solusi atas kontradiksi ini? Sebagai jawaban singkat, dapat dikatakan, bahwa bukti yang paling jelas atas kebatilan cara berpikir seperti di atas adalah kemenangan Revolusi Islam dan terjadinya perubahan

sistem negara secara mendasar. Bila kita hendak menerangkan dengan bahasa ilmiah, dapat dikatakan: sebaik-baik dalil dan bukti atas kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa adalah apabila peristiwa itu akhirnya benar-benar terjadi. Pada

p: 320

hakikatnya terjadinya perubahan telah menunjukkan bahwa dua periode boleh jadi satu tidak sama dengan yang lain, dan hal ini tidak bertentangan dengan apa yang diucapkan oleh Imam Ali as, (karena beliau menitikberatkan ucapannya pada keserupaan dan kemiripan). Kemenangan Revolusi Islam Iran telah membuktikan bahwa antara periode kemenangan ini tidak ada kemiripan dengan periode kekalahan sebelumnya.

Sebuah Contoh dan Sebuah Catatan

Untuk menjelaskan dan membuktikan perubahan situasi dan kondisi, mari kita simak contoh menarik berikut ini. Kota Yazd adalah salah satu kota di Iran yang dikenal sebagai kota yang sangat agamis, karenanya kota tersebut dinamakan sebagai “Darul Ibadah”. Di sana banyak sekolah agama dan Hauzah, dan sejak dahulu masyarakat di sana sangat antusias dengan masalah-masalah keagamaan. Akan tetapi, ternyata di masa lalu (sebelum terjadi perubahan di

kota ini), sulit sekali ditemukan guru muslim yang dapat mengajar bacaan al-Quran dengan baik, sehingga para murid ketika menemui kesulitan dalam bacaan al-Quran terkadang harus bertanya kepada seorang guru Zoroaster. Ini adalah sebuah realitas tentang kota Yazd dan bukan cerita burung, yakni pernah terjadi di sebuah kota di negara Islam yang dijuluki dengan Darul Ibadah, namun ketika ada kesulitan dalam bacaan al-Quran, mereka merujuk kepada seorang guru

Zoroaster. Mengapa? Lima puluh tahun sebelum masa itu, para politisi Inggris memberikan pernyataan, bahwa selama al-Quran marak dibaca dan dipelajari di tengah-tengah masyarakat, maka mayarakat itu akan sangat sulit untuk dikuasai dan dijajah.

Oleh sebab itu, dengan perencanaan dan strategi yang telah diperhitungkan, mereka berhasil meniadakan dan menjauhkan masyarakat dari al-Quran. Hal ini terjadi sedemikian rupa

p: 321

sehingga jumlah guru yang bisa mengajarkan bacaan al-Quran terus berkurang dari waktu ke waktu, sehingga ada sebuah lelucon yang menjadi buah bibir, yaitu ketika al-Quran dibuka dihadapan seorang guru dan dia diminta untuk membaca surat Yasin, si guru membaca (Şw)) dengan bacaan “yes” bukan “yâsîn”. Sekalipun ini hanya sebuah lelucon, pada hakikatnya ia hendak mengungkap kenyataan pahit yang pernah terjadi di masa silam.

Pada masa sekarang pun negara-negara imperialis, khususnya si setan besar Amerika, mereka telah sampai pada satu kesimpulan bahwa selama konsep wilayat al-faqih berjalan di Republik Islam Iran, maka Iran dan masyarakatnya akan sangat sulit untuk dikuasai dan ditundukkan. Oleh sebab itu, mereka berusaha dengan segala cara untuk menghapus sistem wilayat al-faqih dari Republik Islam Iran dan menjauhkan masyarakatnya dari poros wilayah.

Selembar Catatan dalam Sejarah

Perlu diketahui, memisahkan masyarakat dari wilayat al-faqih sungguh tidak lebih sulit daripada memisahkan mereka dari al-Quran. Memisahkan masyarakat ini dari al-Quran bukanlah perkara yang mudah dan tidak ada orang yang berani berkata kepada mereka: “Jangan baca al-Quran!” Akan tetapi, para musuh melakukan perencanaan jangka panjang dengan strategi tertentu dan baru berhasil bertahun-tahun kemudian. Namun, lihatlah perubahan yang terjadi pada masa ini. Sebagai salah satu berkah dari Revolusi Islam Iran, Anda bisa menemukan anak-anak usia lima tahun yang berhasil menghafal seluruh al-Quran, padahal di masa sebelumnya para guru yang berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun kesulitan untuk sekadar membaca al-Quran. Para musuh telah berhasil menyusun program penghapusan al-Quran yang begitu rapi sehingga secara perlahan tapi pasti al-Quran berhasil disingkirkan. Di antaranya, mereka memperbanyak

p: 322

pelajaran-pelajaran ekstrakurikuler sehingga para murid tidak mempunyai kesempatan untuk belajar membaca al-Quran. Nah, apakah sekarang Anda masih berpikir bahwamemisahkan masyarakat dari wilayat al-faqih sebagai sesuatu yang sulit dan lebih sulit dari menjauhkan mereka dari al-Quran?!

Dua puluh tahun mereka bekerja keras menyusun berbagai macam program dan strategi untuk memisahkan masyarakat dari wilayat al-faqih. Sangat disayangkan ternyata mereka sedikit banyak telah meraih keberhasilan dalam hal ini. Setidaknya mereka sudah berani untuk mengetengahkan masalah ini di kalangan para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Mereka berani berkata kepada para mahasiswa bahwa konsep wilayat al-faqih tidak mempunyai dasar hukum kecuali

hanya tercantum dalam UUD Republik Islam Iran, dan karena UUD merupakan produk manusia, maka terdapat kemungkinan kesalahan di sana; dan bila terbukti seperti itu, maka satu-satunya cara untuk terlepas dari kesalahan adalah dengan mengubahnya. Kita menerima konsep wilayat al-faqih, hanya karena konsep tersebut telah tertuang dalam UUD; dan seandainya UUD diubah dan tidak lagi mencantumkan masalah wilayat al-faqih, maka kita pun akan meninggalkannya; karena berlakunya konsep ini semata-mata karena telah dicantumkan dalam UUD. Dengan kata lain, legalitas konsep wilayat al-faqih bermuara pada UUD. Dengan mengubah UUD, legalitas konsep wilayat al-faqih juga akan gugur dengan sendirinya.

Mereka menghembuskan pemikiran ini, seolah-olah UUD seperti wahyu yang turun dari langit dan sebagai fondasi serta dasar keabsahan konsep wilayat al-faqih. Padahal konsep wilayat al-faqih merupakan salah satu prinsip dalam keyakinan para pengikut Ahlulbait as (baca: masyarakat tasyayyu) dan justru wilayat al-faqih-lah yang memberikan legalitas pada UUD. Apabila tidak ada pengesahan dari wali fakih, UUD

p: 323

tidak akan mendapatkan legalitas sebagaimana halnya dengan undang-undang ‘urf lainnya. Apa yang mewajibkan diri kita untuk berkoban serta berjuang dengan harta dan jiwa di jalan agama adalah hukum dan titah seorang wali fakih. Hal ini disebabkan apa yang beliau ucapkan bermuara dan bersumber dari aturan agama dan hukum Allah Swt. Apabila di masa kekuasaan tagut (Syah Reza Pahlevi), masyarakat turun ke jalan dan menjadikan dada-dada mereka sebagai sasaran

empuk bagi peluru-peluru aparat, itu tidak lain adalah karena perintah yang diberikan oleh wakil Imam Zaman (al-Mahdi) afs(1). Sekarang pun masyarakat melakukan perjuangan untuk mempertahankan Islam dan sistem Islam dalam rangka mematuhi perintah wali fakih. Masyarakat di Iran dengan meyakini bahwa wali fakih adalah wakil Imam Mahdi dan bahwa perintahnya adalah perintah Allah Swt beserta Rasul- Nya saw, maka mereka mewajibkan dirinya untuk taat kepada

wali fakih. Jika tidak seperti itu adanya, lalu apa yang dapat membuat masyarakat siap untuk mempersembahkan apa saja yang menjadi miliknya di jalan ini?

Para musuh telah menyadari urgensi dan posisi wilayat al-faqih. Oleh sebab itu, mereka berusaha keras memudarkan dan menjauhkan konsep ini dari benak umat Islam. Mereka terus bekerja melunturkan dan mengkaburkan konsep ini dari pemikiran umat, sehingga umat tidak lagi mematuhi walil fakih. Sedikit banyak mereka telah meraih keberhasilan dalam hal ini. Oleh sebab itu, pada masa sekarang umat Islam dituntut untuk lebih cerdas dan waspada dari masa-masa sebelumnya, karena musuh telah menyerang kita dengan beragam tipu daya dan konspirasi di bidang politik, budaya dan kultur. Jangan sampai kita tertipu dan terlena, sehingga

kita akan menerima hukuman Allah Swt dengan kehilangan nikmat besar wilayah yang Allah telah berikan kepada kita.

p: 324


1- 83 Ajjalallahu farajahu al-syarif (Semoga Allah mempercepat kemuncullannya), sebuah doa yang selalu menyertai nama Imam Mahdi saat disebutkan-peny.

Sekadar untuk memahami betapa besar nikmat wilayah ini, ada baiknya kita melirik apa yang terjadi pada negara tetangga kita, Afghanistan. Masyarakat Islam Afghanistan telah berjuang mati-matian untuk mengusir kekuatan tagut yang membentengi pemerintahan dan penguasa zalim di sana, sehingga mereka akhirnya mendapat kemenangan dan berhasil mengusir kekuatan penjajah dari negeri mereka. Penderitaan dan pengorbanan yang diberikan oleh muslimin Afghanistan sama sekali tidak lebih sedikit dari pengorbananyang dilakukan oleh muslimin di Iran. Akan tetapi, lihatlah apa yang dihasilkan oleh perjuangan, pengorbanan dan darah-darah mujahidin yang tertumpah di sana? Lebih dari dua dasawarsa sudah mereka terlibat dalam perang saudara pasca- terusirnya kekuatan (Uni Soviet). Sebagai muslimin mereka berwudu dengan darah saudara muslimnya sendiri. Ini semua akibat karena mereka tidak mempunyai seorang wali fakih yang menjadi pemimpin dan pusat komando mereka. Di negara Iran, berkat Ahlulbait as dan ideologi tasyayyu', konsep dan prinsip wilayat al-faqih adalah sesuatu yang secara

aklamasi diterima dan diyakini. Sementara di Afghanistan, karena mayoritas mereka adalah dari kalangan muslimin yang tidak mengenal konsep wilayat al-faqih, dan sebagai akibatnya mereka tidak dapat menemukan seorang pemimpin yang dapat menjadi pusat arahan dan komando. Padahal, setidaknya mereka dapat mengangkat seorang pemimpin yang dikukuhkan melalaui UUD yang mereka sahkan. Allah Swt telah memberikan nikmat besar kepada negara Iran dan para pengikut Ahlulbait as dengan seorang pemimpin Ilahi yang dapat menjadi pelita serta cahaya yang sangat terang di tengah-tengah umat.

Bagi mereka yang tidak meyakini konsep serta prinsip Islam ini pun, mereka tetap harus mensyukuri nikmat besar yang menjamin kesejahteraan serta ketenteraman ini.

p: 325

Pasalnya, seandainya nikmat wilayah ini tidak ada, bukan tidak mungkin perang saudara yang terjadi di Afghanistan juga akan terjadi di Iran. Perlu diketahui, perbedaan-perbedaan qaumiy (baca: etnis) yang ada di Iran tidak lebih sedikit dari perbedaan qaumiy yang ada di Afghanistan, bahkan jumlah etnis yang ada di Iran jauh lebih banyak dari jumlah etnis yang hidup di Afghanistan. Sebagai bukti dari apa yang dipaparkan di sini adalah perselisihan dan konflik yang terjadi

pada awal kemenangan Revolusi Islam Iran. Perselisihan yang terjadi antara etnis Kurdi, Turkamani, Arab, Baluc dan seterusnya tidak lebih sedikit dari konflik serta perselisihan kelompok yang ada di Afghanistan. Akan tetapi, sesuatu yang dapat menjadikan semua kelompok dan golongan masyarakat itu bersatu dan berada di bawah satu bendera, adalah kepemimpinan Ilahi yang kita sebut sebagai wilayat al- faqih. Seandainya kekuatan Ilahi itu tidak ada, kekuatan partai atau organisasi mana yang dapat mewujudkan persatuan seperti ini? Ada saja orang-orang sok intelektual yang merasa cinta negara berusaha untuk menghidupkan kembali konsep

kepartaian dan keetnisan, seperti Pan Kurdisme, Pan Turkisme dan Pan Arabisme. Tentu, kita harus terus berjuang untuk memperkuat sendi-sendi wilayat al-faqih dalam tataran teori dan praktik.

Mereka yang berusaha menghidupkan kembali konsep kepartaian adalah orang-orang yang tidak mengenal syukur atas berkah persatuan yang Allah berikan atas bangsa ini lantaran wilayat al-faqih. Siang dan malam mereka tak kenal lelah selalu berusaha melemahkan konsep dan prinsip wilayat al-faqih, untuk mereka kembalikan pada hal-hal yang dapat memicu konflik di antara anak bangsa. Salah satu bentuk tidak bersyukur atas nikmat besar ini adalah apabila ada orang-

orang yang berusaha untuk menggantikan konsep wilayat al-faqih dengan konsep demokrasi ala Barat.

p: 326

Berkaitan dengan sikap-sikap tidak tahu bersyukur inilah, Imam Ali as berpesan, “Dan janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran.”Seburuk-buruk kekufuran adalah tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Orang yang paling tidak tahu diri adalah orang yang tidak pandai berterima kasih atas pemberian dan anugerah. Dan, puncak kebodohan adalah ketika orang menolak sesuatu yang menjadi sebab kemuliaan dan kebahagiannya baik di dunia maupun di akhirat. Sementara di tengah masyarakat kita ada orang-orang yang berusaha mempertanyakan dan melemahkan konsep wilayat al-faqih, kita masih harus melihat kenyataan pahit lain, yaitu diamnya para ulama. Apakah sikap diam atau mendiamkan orang-orang yang menghina nikmat besar wilayah ini, dapat dibenarkan? Pantaskah kita (khususnya para ulama) berdiam diri dan duduk tenang melihat sekelompok orang yang secara terus menerus melecehkan serta mempertanyakan konsep wilayat al-faqih?

Balasan Kufur Nikmat

Di sini kita perlu sedikit merenungkan apa yang telah disinggung dalam al-Quran berkaitan dengan syukur dan kufur nikmat serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Allah Swt telah memberikan peringatan di banyak ayat sehubungan dengan syukur dan kufur nikmat berikut efek- efeknya. Di antaranya, Allah Swt berfirman, Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengufuri (nikmatku), maka sesungguhnya siksaku sangatlah pedih”. (1)

Di dalam bahasa Arab wazan tafa’ul adalah untuk memberikan makna ta'kid (baca: penekanan) dalam sebuah

p: 327


1- 84 QS. Ibrahim [14]:7.

urusan. Di dalam ayat ini, Allah Swt juga memaklumkan sebuah janji penting dengan penekanan yang sangat kuat: Apabila kalian menghargai dan mensyukuri nikmat yang Aku berikan, maka pasti Aku menambah nikmat itu; di dalam kalimat la in syakartum la azidannakum terdapat lam qasam beserta ta'kid lafzhi yang memberikan penekanan pada makna yang terkandung di dalamnya. Dalam lanjutannya, Allah Swt kembali menegaskan, “Namun, apabila kalian tidak bersyukur dan mengufuri nikmat-Ku, maka ketahuilah bahwa siksa-Ku amatlah pedih nan menyakitkan.” Ini adalah salah satu dari sunnatullah yang gath’i (baca: pasti) bahwa

apabila manusia mensyukuri nikmat, maka Allah Swt akan menambah nikmat-Nya. Apabila manusia mengufuri nikmat, cepat atau lambat Allah akan mengambil nikmat tersebut darinya. Banyak contoh dan peristiwa di sepanjang sejarah yang menunjukkan kenyataan bahwa mensyukuri nikmat akan mendatangkan tambahan nikmat dari Allah dan kufur nikmat akan menyebabkan hilangnya nikmat, namun contoh-contoh itu tidak akan kita bahas di buku ini. Akan tetapi, di sini kita hanya akan menekankan pada dua nikmat besar yang Allah anugerahkan kepada bangsa (Iran). Yang pertama adalah nikmat Revolusi Islam dan yang kedua adalah nikmat

kepemimpinan yang berdiri atas prinsip dan konsep wilayat al-faqih. Dua nikmat tersebut adalah nikmat terbesar yang telah Allah Swt anugerahkan kepada kita pada zaman ini. Apabila tidak ada Revolusi Islam (Februari 1979), dapat dipastikan kita tidak akan memiliki kemuliaan, kemenangan serta kejayaan seperti sekarang ini. Seluruh kejayaan dan kemuliaan negara dan masyarakat Iran terwujud berkat Revolusi Islam dan kepeminpinan wali fakih. Berbagai kemajuan dan perkembangan baik yang bersifat duniawi maupun maknawi bagi negara ini bermuara dari dua nikmat besar tak tergantikan ini dan masih banyak lagi kemajuan

dan perkembangan di masa mendatang yang akan kita raih

p: 328

berkat keduanya. Jangan pernah terlupa bahwa dua nikmat besar ini sampai ke tangan kita sebagai hasil perjuangan lebih dari seribu tahun para mujahid dan ulama. Cahaya ini adalah cahaya yang bersumber pada jiwa-jiwa pejuang suci sepanjang sejarah umat Islam. Perlu kita segarkan ingatan kita akan titah (baca: fatwa) populer Marhum Mirza Syirazi dalam masalah tembakau. Beliau memberikan fatwa penggunaan tutun (daun sejenis tembakau) dan tembakau adalah haram. Itu berarti penentangan terhadap Imam Zaman (al-Mahdi) afs. Setelah fatwa dikeluarkan, seluruh masyarakat, tua dan muda tanpa bertanya mengapa, meninggalkan rokok dan tidak ada yang berani melanggarnya. Kepatuhan masyarakat itu bermuara pada keyakinan dan kepercayaan bahwa Marhum Mirza Syirazi adalah wakil Imam Zaman afs yang wajib untuk ditaati (baca: wajib al-itha'ah).

Sejak masa itu, para musuh mulai menyadari kekuatan besar (wilayat al-faqih). Mereka terus bekerja untuk menjauhkan masyarakat darinya. Mereka menyusun rencana dan strategi untuk mencuci otak masyarakat agar terjauhkan dari keyakinan pada prinsip wilayat al-faqih. Mereka berusaha maksimal untuk merebut nikmat luar biasa ini dari masyarakat (Iran). Mereka beranggapan bahwa setelah lima puluh tahun masa kekuasaan para raja dinasti Pahlevi, keyakinan akan wilayat al-faqih telah memudar dari benak dan hati masyarakat. Akan tetapi, mereka tidak memahami bahwa keterpautan pada wilayat al-faqih serta kerinduan pada Shahib al-Ashri wa al-Zaman (Imam Mahdi] dan wakilnya telah sedemikian mengakar di hati masyarakat dan tidak mungkin memudar barang sedikit pun. Nikmat besar wilayah yang telah menjadi kultur ini dari waktu ke waktu akan semakin berkembang dan menguat. Sudah tentu manfaat dan berkahnya juga akan meliputi serta menerangi seluruh penjuru dunia, insya Allah.

p:100

40-PELAJARAN SEJARAH (2)

Point

وَ اسْتَدْلِلْ عَلَی مَا لَمْ یَکُنْ بِمَا کَانَ فَإِنَّمَا الاُْمُورُ اَشْبَاهٌ وَ لاَ تَکْفُرَنَّ ذَانِعْمَة فَاِنَّ کُفْرَ الِنّعْمَةِ مِنْ اَلاَْمِ الکُفْرِ وَاقْبَلِ الْعُذْرَ.

Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan. Janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran. Dan jadilah orang yang dapat menerima

uzur orang lain. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Imam Ali as berpesan kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as bahwa jadikanlah peristiwa dan kejadian di masa lalu sebagai pelita petunjuk bagi masa depan dan jadikan masa lalu sebagai pijakan bagi masa mendatang, karena peristiwa-peristiwa di

dunia itu memiliki kemiripan dan keserupaan antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain, ketika sebuah peristiwa terjadi di masa lalu, maka yang serupa juga akan terjadi di masa datang. Apabila Anda memerhatikan dan mencermati masa lalu, Anda akan mendapatkan pelajaran dan bekal di masa yang akan datang.

Dalam rangka memberi penjelasan atas bagian wasiat ini, telah diketengahkan sebuah kritik bahwa ada sejumlah

p: 329

peristiwa di masa lalu yang tidak patut untuk dicontih dan diteladani. Dalam kaitan ini, telah dikemukakan beberapa contoh seperti kebangkitan para rohaniawan (baca: ruhaniyat) dan pergerakan Imam Khomeini rahimahullah bahwa sebelum Imam Khomeini qs, para ulama dan rohaniawan telah melakukan serta memimpin pergerakan dan kebangkitan, namun mereka tidak pernah menuai keberhasilan dan akhirnya terkalahkan. Jika begitu adanya, dengan berpijak pada nasihat

Imam Ali as, maka seharusnya bercermin dan belajar dari kegagalan masa lalu, para ulama di masa kini sudah tidak perlu berpikir untuk melakukan pergerakan dan perjuangan, karena mereka pasti akan mengalami kekalahan seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya. Pada bahasan yang lalu, kami telah memberikan

jawaban secara global. Kini kami akan menyempurnakan jawaban tersebut. Kami juga akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul ke permukaan.

Pengulangan atau keserupaan Peristiwa-peristiwa

Di antara pesan dan nasihatnya, Imam Ali as berkata, "Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan. Yang menjadi pertanyaan di sini, apakah pernyataan innama al-umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan) bersifat universal (baca: mutlak) atau tidak? Apakah ini berarti bahwa peristiwa apa pun yang terjadi di masa lalu pasti akan terjadi yang serupa di masa datang? Jelas sekali, keserupaan bukan berarti kesamaan dan pernyataan di atas tidak bersifat mutlak serta universal. Satu peristiwa dengan yang lain terkadang memiliki keserupaan dan terkadang sama sekali tidak memiliki keserupaan. Nah, apabila rumusan di atas tidak bersifat universal, mengapa Imam Ali as menyatakan innama al-umura asybahun

p: 330

(bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan), dengan menggunakan kata innama yang memberikan makna hashr (yakni hanya/satu-satunya) dengan ta'kid (penekanan)? Beliau secara tegas berkata, “Jadikanlah peristiwa yang telah terjadi sebagai pijakan atas peristiwa yang belum terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan.” Pernyataan ini bisa dianggap benar, apabila rumusan di dalamnya bersifat universal. Padahal kita semua memahami bahwa antara

peristiwa yang terjadi di masa lampau dengan yang terjadi sekarang atau di masa depan memiliki banyak perbedaan. Pertanyaannnya adalah apabila rumusan ini tidak bersifat universal, lalu apa makna dari ucapan beliau dan mengapa beliau mengucapkan rumusan ini seakan bersifat mutlak tanpa pengecualiaan? Kritikan dan pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua cara:

Pertama, bahwa ucapan Imam Ali as di sini adalah sebuah ungkapan khithabi (retorika) semata. Sebagaimana telah diketahui, dalam menjelaskan sebuah permasalahan bisa digunakan beberapa pola istidlal (baca: argumentasi), seperti burhan, jadal, khithabah, syair dan mughalathah (yakni pembuktian rasional, debat, retorika, puisi dan fallacy) yang di dalam ilmu logika disebut dengan istilah al-shina'at al- khamsah. Al-shina'at al-khamsah adalah lima pola argumentasi

yang digunakan untuk meyakinkan sebuah pemikiran atau maksud tertentu kepada orang lain. Salah satu ciri argumentasi dengan pola retorika adalah penggunaan dalil-dalil yang bersifat asumtif dengan tujuan memberikan motivasi kepada para pendengarnya untuk melakukan atau meyakini sesuatu yang bermaslahat bagi mereka. Nasihat dan mauizah secara umum disampaikan dengan pola ini, karena si pemberi nasihat tidak berada pada posisi untuk berargumentasi dengan pola

pembuktian rasional dan filosofis. Dia berbicara sedemikian rupa agar para pendengar termotivasi untuk melaksanakan atau meyakini apa yang disampaikannya.

p: 331

Oleh sebab itu, boleh jadi apa yang disampaikan itu bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan univerasal, tetapi pada umumnya seperti itu. Pembicara cukup menyampaikan sesuatu yang akan digunakan oleh pendengar pada saat tertentu; dia bertujuan agar apa yang disampaikan bisa diingat dan digunakan pada saat diperlukan. Di dalam retorika, boleh jadi keterangan yang disampaikan tidak bersifat universal dengan menggunakan premis-premis zhanniy (baca: asumtif)

dengan tujuan agar diingat dan digunakan saat perlu. (Boleh jadi), tujuan Imam Ali as agar para pendengar nasihat memahami bahwa peristiwa-peristiwa masa datang juga sama tidak kekalnya denga peristiwa-peristiwa masa lalu. Imam Ali as hendak meyakinkan bahwa apa yang terjadi di dunia hanyalah bersifat sementara dan sebagaimana manusia mengalami banyak kesulitan di masa lalu, maka di masa datang pun keadaan akan seperti itu adanya. Kita semua telah membuktikan bahwa setiap keberhasilan selalu diiringi dengan rintangan dan kesulitan; kesenangan duniawi selalu beriringan dengan kesengsaraannya. Oleh sebab itu, kita harus menyadari bahwa masa yang akan datang juga sama seperti itu. Kita tidak boleh mengira bahwa segala hal akan terjadi sesuai dengan apa yang kita inginkan atau apa yang kita raih akan selalu berada dalam genggaman dan tidak akan sirna. Imam Ali as hendak mengajak para pembaca nasihatnya untuk mengambil pelajaran tentang dunia dari masa lalu agar tidak ada hati manusia yang terpaut dengannya. Karenanya beliau berpesan: “Lihat dan belajarlah dari apa yang terjadi di masa lalu.” Benar, masa lalu tidak selalu sama dengan masa datang dan rumusan ini tidak bersifat mutlak. Akan tetapi, penekanan beliau tersimpul pada hal-hal yang di dalamnya terdapat keserupaan antara masa lalu dan masa datangnya. Kesimpulan dari jawaban pertama ini adalah bahwa nasihat yang disampaikan oleh beliau bersifat retorika. Sebagaimana dimaklum, retorika secara umum menyampaikan

p: 332

hal-hal yang bersifat asumtif. Dengan kata lain, pesan- pesan yang disampaikan dengan pola retorika biasanya mengandung keterangan “pada umumnya” dan hanya sedikit terjadi pengecualian; retorika bukanlah keterangan yang bersifat yaqini sehingga tidak ada pengecualian sama sekali di dalamnya.

Kedua, jawaban lain yang bisa diketengahkan adalah ketika Imam Ali as menyampaikan innama al-umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan), maksudnya adalah bahwa peristiwa masa lalu dan masa datang pada hakikatnya sedikit-banyak memiliki keserupaan dan kesamaan.

Dengan kata lain, beragam peristiwa itu memiliki kesamaan dan keserupaan dari sisi tertentu, dan yang dimaksud bukanlah keserupaan menyeluruh antara peristiwa masa lalu dan masa datang. Semua orang mengetahui bahwa si fulan yang hidup seribu tahun silam tidak akan hidup lagi di masa datang sehingga dikatakan bahwa apa yang terjadi di masa lalu akan terulang dengan segala detailnya secara sempurna di masa datang. Yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa terdapat sisi tertentu yang serupa antara peristiwa-peristiwa masa lalu dan masa datang. Bila sisi itu berhasil diketahui, kita bisa mengatakan bahwa apa yang terjadi di masa lalu mempunyai keserupaan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Beragam peristiwa di masa lalu dan masa datang sedikit

banyak mempunyai keserupaan, namun buka dari segala sisi- Nya, tetapi pada sisi tertentu yang harus dikuak dan diketahui agar kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu untuk apa yang akan terjadi. Perlu juga disadari, keserupaan bukanlah berarti kesamaan. Di dalam kesamaan terdapat keserupaan yang menyeluruh dan sempurna; sementara dalam keserupaan, cukuplah terdapat kesamaan antara dua fenomena pada sisi-sisi tertentu saja. Berpijak pada kesamaan pada sisi tertentu itulah akan muncul hukum yang sama. Sebagai

p: 333

missal, semua peristiwa yang terjadi di masa lalu tidak ada satu pun yang bersifat abadi. Segala macam kesenangan dan penderitaan telah berlalu. Nah, dari yang sama ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa apa pun yang akan terjadi di masa mendatang juga tidak ada yang bersifat kekal nan abadi. Kita telah berhasil menguak sebuah kesamaan dalam semua peristiwa dan fenomena, yaitu ketidakabadian serta kefanaan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt: Ma‘indakum yanfadu wa ma 'indallahi baqin (segala yang ada di sisimu akan sirna dan apa yang di sisi Allah akan kekal abadi).(1) Dan, apabila pada sebagian sunatullah terdapat sisi kesamaan lain yang terdapat pada semua fenomena dan peristiwa, sisi kesamaan itu bisa dijadikan pijakan serta pedoman untuk membaca apa yang akan terjadi di masa mendatang. Tentu hal itu akan membantu kita dalam menangani berbagai macam permasalahan serta urusan yang dihadapi. Al-Quran telah banyak menerangkan sunatullah yang sama dalam beragam peristiwa dan fenomena yang telah dialami oleh segala umat di segala masa. Oleh sebab itu, apabila kita memandang masa lalu, kita akan dapat memahami bahwa sebuah fenomena tertentu akan terjadi di masa datang.

Umpamanya, kita telah memahami bahwa di masa lalu apabila sebuah masyarakat atau umat itu tidak bersyukur atas nikmat Allah, berlaku zalim dan selalu memerangi kebenaran, ternyata mereka mengalami nasib serta akibat yang buruk. Berpijak pada apa yang selalu terjadi di masa lalu berkaitan dengan masyarakat yang zalim dan kufur nikmat, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka pasti akan menemui akibat yang buruk, yaitu dicabutnya nikmat tersebut oleh Allah Swt.

Allah Swt telah berfirman, La in syakartum la azidannakum wa lain kafartum inna ‘adzabi lasyadid. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengufuri (nikmat-Ku), maka sesungguhnya

p: 334


1- 85 QS. al-Nahl(167:96.

siksa-Ku sangatlah pedih.(1) Pernyataan ini benar dan bersifat mutlak dan universal.

Oleh sebab itu, apabila kita mampu menguak sisi persamaan dari beragam peristiwa dan fenomena, kita akan dapat melakukan analogi serta menjadikannya pijakan atas peristiwa dan fenomena yang akan terjadi di masa depan. Dengan kata lain, kita dapat menjadikan peristiwa dan fenomena masa silam sebagai pelita petunjuk bagi peristiwa dan fenomena masa datang.

Masa Depan Berbeda dengan Masa Silam

Sejenak kita perlu meneliti hal-hal yang dikritisi dan dipertanyakan. Pada bahasan yang lalu kita telah mengetengahkan sebuah tema berkaitan dengan perjuangan para ulama dan rohaniawan. Ada sebagian yang berpikir bahwa karena di masa silam pergerakan serta perjuangan para ulama dalam upaya menggulingkan penguasa yang zalim selalu berakhir dengan kekalahan, maka mereka menyimpulkan bahwa setiap pergerakan melawan penguasa yang zalim di masa depan juga akan selalu berakhir dengan kekalahan juga. Dengan alasan inilah, mereka tidak mau terlibat dalam perjuangan serta perlawanan. Mereka sudah merasa yakin

bahwa segala macam bentuk perjuangan melawan penguasa yang zalim akan berakhir dengan kekalahan sebagaimana yang sudah-sudah. Alasan ini juga yang digunakan untuk berlepas diri dari tanggung jawab sosial dan keagamaan mereka. Di sini kita harus jelaskan kepada mereka, mereka tidak melakukan perbandingan antara peristiwa yang terjadi di masa lampau dengan masa datang dalam sisi-sisi yang sama. Mereka tidak menyadari bahwa di antara beberapa peristiwa

berlainan masa itu juga terdapat hal-hal yang tidak sama. Misalnya, pada masa lampau masyarakat tidak memiliki

p: 335


1- 86 QS. Ibrahim [14]:7.

kesadaran yang cukup, juga tidak ada kesempatan untuk melakukan pengajaran, pendidikan serta pencerahan kepada masyarakat luas. Akan tetapi pada pergerakan terakhir, masyarakat sendiri telah mengambil pelajaran dari berbagai kegagalan masa lampau, selain tersedianya media yang memadai untuk menyampaikan pencerahan, pendidikan dan pengarahan kepada masyarakat luas. Karenanya, dua periode ini tidak bisa ditafsirkan sama begitu saja lalu diambil sebuah kesimpulan: karena di masa silam pergerakan selalu menemui kegagalan, maka pergerakan yang satu ini pun akan berakhir dengan kegagalan.

Pada masa silam, ada sekelompok orang yang berhasil melakukan propaganda buruk sehingga dapat menipu serta menyingkirkan masyarakat dari arena perlawanan. Di masa sekarang pun, seandainya masyarakat tertipu dan meninggalkan arena perjuangan, kekalahan dan kegagalan yang sama juga akan menimpa mereka. Namun, apa yang terjadi sekarang jauh berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Pada masa ini, masyarakat cepat memahami hakikat permasalahan dan bisa disadarkan dari propaganda busuk musuh yang menipu.

Dalam situasi dan kondisi yang terjadi sekarang, sikap pesimistik dan fobia atas kegagalan beruntun di masa lalu merupakan sikap yang tidak benar dan sangat keliru, karena antara masa silam dan masa kini sama sekali tidak ada kesamaan dari sisi ini. Yang pertama harus dilakukan adalah menemukan

sisi persamaan antara apa yang terjadi di masa silam dan apa pula yang terjadi di masa kini, baru kemudian dengan memerhatikan sisi kesamaan di sepanjang periode sejarah masa lalu, dapat dilakukan penyimpulan serta prediksi atas apa yang akan terjadi di masa mendatang. Oleh sebab itu, Imam

p: 336

Ali as berkata, “Innama al- umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan).” Berkaitan dengan pergerakan para ulama dan rohaniawan,

kita dapat berdalih dengan beberapa sisi yang mempunyai keserupaan, bahwa sebagian mereka dengan memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat, akhirnya mampu memberikan penyadaran dan pencerahan kepada mereka, dan akhirnya berhasil meraih kemenangan dalam pergerakan serta perlawanan mereka meski dalam lingkup yang relatif kecil dan terbatas. Nah, kini kita dapat melakukan pola-pola perjuangan tersebut dalam lingkup yang lebih luas sehingga dengannya dapat diraih kemenangan yang lebih besar. Singkat kata, kita masih dapat berkata, “Innama al- umura asybahun”, karena apabila pekerjaan-pekerjaan perlawanan dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan fasilitas serta kekuatan yang ada, sebatas apa yang telah dilakukan, tentu akan memberikan keberhasilan dan kesuksesan. Apabila semua itu dilakukan dengan fasilitas serta kekuatan yang lebih besar, dapat dipastikan kemenangan dan kesuksesan yang diraih akan lebih besar pula. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apa yang diungkap oleh Imam Ali as adalah sebuah rumusan yang bersifat mutlak dan universal. Universalitas rumusan tersebut berada pada kata asybahun (keserupaan), yakni ketika keserupaan atau kesamaan di antara peristiwa-peristiwa masa lalu dan peristiwa-peristiwa masa kini ditemukan, maka peristiwa masa lalu pasti dapat dijadikan pijakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Imam Ali as tidak mengatakan bahwa perkara-perkara itu sama persis dan dari setiap fenomena masa lalu kita akan dapat memahami fenomena masa datang. Contohnya, sebuah tanaman yang berkaitan dengan daerah bersuhu panas, tentu ia tidak akan tumbuh subur dan memberikan buah di daerah

p: 337

bersuhu dingin, dan tidak bisa dikatakan bahwa tanaman sama dan tanahnya sama pula atau dikatakan "bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan”, tetapi setiap tanaman hanya bisa dianalogikan dengan tanaman-tanaman yang sejenis dan sekarakter dari sisi suhu, kadar air, perawatan dan lain sebagainya, sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan universal sehubungan dengan tanaman tersebut.

Apabila kita menemui perbedaan antara peristiwa-peristiwa masa lalu dengan masa datang, dapat dipastikan kita kurangjeli dalam memahami sisi persamaan dan perbedaannya. Sisi perbedaan antara dua peristiwa harus diperhatikan secara cermat. Karena apabila kita tidak mencermati dengan baik sisi perbedaan yang ada, hanya dengan satu persamaan di antara keduanya kita akan menganggapnya sama dalam segala hal. Boleh jadi sebuah perkara dalam situasi dan kondisi tertentu

akan berbeda hasilnya dengan perkara yang sama dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Kita harus cermat apakah sebab yang menjadi alasan terjadinya sebuah peristiwa dimasa lalu, juga masih ada di masa mendatang sehingga akan memberikan hasil yang sama? Atau sebab itu sudah tidak ada? Kita harus selalu cermat dan teliti bahwa syarat-syarat, sebab-sebab serta situasi dan kondisi dapat berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Oleh sebab itu, rumusan yang diucapkan

oleh Imam Ali as itu adalah benar adanya dan bersifat universal, tetapi dengan satu syarat, yaitu sebuah syarat yang dalam bahasa logika dikatakan: dengan syarth khafiy (syarat tersembunyi), sebuah proposisi akan menjadi universal. Yakni, sebuah proposisi yang tampaknya bersifat mazhnun (dugaan), tetapi dengan satu syarat akan berubah menjadi yaqini (pasti). Di dalam bahasan al-qadhaya (proposisi) dikatakan, sebagian proposisi mazhnun (bersifat dugaan) dapat menjadi shadiq (benar dan pasti), yakni meskipun dari sisi tertentu ia bersifat mazhnun, dari sisi lain bersifat shadiq. Proposisi seperti itu

p: 338

juga bisa digunakan sebagai burhan (baca: pembuktian) dengan memandang sisi kebenarannya. Oleh sebab itu, dalam menjelaskan apa yang diungkap oleh

Imam Ali as, bisa digunakan salah satu dari dua tafsir berikut. Pertama, kita menilai bahwa yang diungkap oleh beliau adalah sebuah proposisi zhanni yang digunakan dalam retorika mauizah, dan sebagaimana kita maklumi bahwa dalam retorika mauizah tidak ada keharusan untuk menggunakan proposisi yaqiniyyat. Di dalam retorika cukup digunakan sebuah proposisi yang bersifat “secara garis besar” dan “pada umumnya", tidak perlu yang bersifat mutlak atau universal, itupun dengan penekanan kepada lawan bicara agar membidik hal-hal yang dimaksud oleh pembicara. Imam Ali as menyampaikan nasihatnya dengan retorika mauizah, dan mauizah tidak menuntut lebih daripada itu. Kedua, meskipun keterangan yang disampaikan bersifat retorika dan di dalam retorika tidak dituntut lebih dari

premis-premis yang bersifat zhanniy, tetapi dengan membidik syarth khafiy di dalamnya, maka premis-premis tersebut akan menjadi universal. Yang dimaksud dengan syarat itu adalah ditemukannya sisi persamaan antara peristiwa masa lalu dan peristiwa masa depan. Apabila syarat-syarat itu juga ada di dalam peristiwa-peristiwa masa datang sebagaimana yang ada di masa lalu, dapat dipastikan bahwa hasil dari peristiwa masa lalu juga akan diperoleh dari peristiwa masa datang.

Sistematika Peristiwa-peristiwa Sosial

Ketika pembahasan sudah sampai di sini, ada baiknya kita paparkan pertanyaan berikut: Apakah peristiwa-peristiwa sosial dapat berulang tak ubahnya peristiwa-peristiwa natural? Atau dalam sisi ini, terdapat perbedaan antara peristiwa-peristiwa sosial dan natural? Sebagai misal, di alam

p: 339

natur sesuatu yang bisa terbakar apabila bersentuhan dengan api dan tidak ada penghalang, maka dapat dipastikan akan terbakar. Rumusan ini berlaku kapan saja tanpa pengecualian, sehingga kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada sesuatu yang bisa terbakar bila bersentuhan dengan api tanpa penghalang. Contoh lain, di musim semi, hujan akan turun dan tumbuh-tumbuhan akan menghijau; kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada tumbuh-tumbuhan

di setiap musim semi. Nah, apakah hal seperti ini juga dapat terjadi pada masalah-masalah sosial?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sangat penting dalam bahasan-bahasan sosiologi. Di kalangan sosiolog, terdapat kecenderungan pemikiran yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sosial adalah peristiwa-peristiwa tunggal yang tidak akan terulang; karenanya tidak ada sebuah rumusan universal serta kaidah tetap yang dapat diterapkan pada masalah-masalah sosial. Perkara-perkara sosial adalah produk kemauan serta keinginan individu-individu manusia dan terjadi perubahan situasi dan kondisi pada setiap waktunya. Oleh sebab itu, tidak dapat dibuat sebuah rumusan universal serta kaidah tetap berkaitan dengan masalah-masalah sosial, sehingga bisa dijadikan pijakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa datang. Nah, bagaimana kita mempertemukan antara apa yang diyakini oleh para sosiolog dengan apa yang diucapkan oleh Imam Ali as, “Innama al-umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan)?”. Jawaban kita adalah bahwa secara umum memang terdapat perbedaan antara kaidah yang berkaitan dengan fenomena-fenomena sosial dengan kaidah yang berkaitan dengan fenomena-fenomena natural. Di dalam fenomena sosial, kita tidak akan pernah menemukan dua peristiwa yang sama persis

seperti halnya peristiwa dalam fenomena-fenomena natural. Meski begitu adanya, pandangan para sosiolog juga tidak

p: 340

sepenuhnya benar, sehingga dapat dikatakan bahwa di antara peristiwa-peristiwa sosial, sama sekali tidak ada kesamaan antara satu dengan lainnya dan bahwa setiap peristiwa itu berbeda secara menyeluruh dengan peristiwa yang lain. Selain itu, banyak bukti dalam sejarah yang menunjukkan adanya kesamaan antara beberapa peristiwa yang terjadi pada masa dan waktu yang berbeda. Ditambah lagi bahwa dalil-dalil naqli (baca: tekstual) serta teks-teks suci keagamaan seperti

al-Quran juga mengukuhkan adanya persamaan antara satu peristiwa dengan yang lain. Di dalam al-Quran kita membaca, Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka

dan kesengsaraan, serta diguncang (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.(1) Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga tanpa melewati ujian? Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, sementara kalian belum melewati cobaan seperti halnya orang-orang terdahulu? Apakah kalian adalah kain dirajut berbeda? Orang-orang terdahulu telah diuji, mereka telah mengalami masa-masa sulit dan beragam malapetaka serta cobaan. Apabila mereka berhasil melewati ujian dengan baik, mereka akan menuju surga; dan apabila mereka gagal serta tidak bersabar dalam menghadapinya, mereka akan tergiring ke neraka jahanam. Nah, orang-orang terdahulu, semuanya telah menerima ujian, apakah kalian mengira bahwa kalian tidak akan diuji?! Sungguh kalian pasti akan diuji dan melewati masa-masa sulit. Ayat di atas hendak menegaskan, jangan sekali-kali berpikir bahwa kalian akan masuk surga begitu saja sebelum melewati ujian serta cobaan seperti halnya orang-orang

p: 341


1- 87 QS. al-Baqarah [2]:214.

terdahulu. Apa yang telah menimpa dan diterima oleh orang-orang terdahulu? Ayat menjawab, Mereka telah ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncang (dengan bermacam-macam cobaan). Mereka yang bersabar dan berhasil melalu berbagai macam ujian dan cobaan tersebut, maka mereka akan mendapatkan surge. Akan tetapi, apabila mereka tidak bersabar dan gagal melalui ujian dan cobaan, mereka akan kehilangan surga. Sunah Ilahi (baca: Sunatullah) ini juga pasti akan berlaku atas kalian. Berkaitan dengan ayat ini, ada banyak riwayat dan hadis yang dimuat dalam kitab-kitab tafsir(1) yang juga mengukuhkan serta memperkuat makna yang dikandung ayat. Dalam sebuah sabdanya, Rasul saw berkata kepada muslimin, “Apa yang telah menimpa Bani Israil di masa lalu, juga akan menimpa kalian.” Beliau saw melanjutkan, “Bahkan seandainya Bani Israil itu pernah memasuki lubang biawak, kalian juga akan memasukinya.(2) Makna ucapan Rasul saw adalah bahwa bagian-bagian partikular dalam sejarah pun juga mungkin dan bisa terulang, yakni akan terulang dengan melihat sisi persamaan, bukan berarti sama persis tanpa sedikit pun perbedaan. Ada sisi-sisi persamaan (jihat al-isytirak) antara peristiwa masa lalu dengan masa datang, sehingga apabila kita mengetahui sisi persamaan tersebut, kita akan dapat membandingkan masa lalu dengan masa datang, dan dengan perbandingan itu kita dapat memprediksi masa datang berdasar pada masa lalu. Apabila sisi persamaan peristiwa-peristiwa sosial dapat diketahui dan dianalisis dengan sempurna, dengan adanya sisi persamaan tersebut, maka terulangnya peristiwa dapat diprediksi. Peristiwa-peristiwa bukanlah sesuatu yang berfaktor tunggal sehingga tidak bisa berulang dan dirumuskan. Fenomena-fenomena sosial juga bisa dirumuskan dan disimpulkan kaidah tertentu darinya, kendati menemukan

p: 342


1- 88 Allamah Thabathaba'i, Al-Mizan, jil.2, hal. 162.
2- 89 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.59, hal. 127.

sisi persamaan dan formulasinya agak sedikit rumit. Misalnya, mengetahui secara detail faktor dan penyebab sebuah peristiwa sosial, dalam situasi seperti apa akan terjadi dan apa hal-hal yang dapat menjadi penghalangnya, merupakan sesuatu yang sangat sulit dan tidak mudah. Benar, eksaminasi dan pengulangan atas fenomena-fenomena natural jauh lebih mudah dilakukan serta ditemukan formulasi serta faktor-faktor penyebabnya. Namun, ini bukan berarti bahwa peristiwa-peristiwa sosial sama sekali tidak bisa dikaji dan ditemukan kaidah serta formulasinya untuk melakukan prediksi atas peristiwa-peristiwa yang akan datang. Apabila

sisi persamaan antara peristiwa masa lalu dan masa datang dapat ditemukan, masa depan akan dapat diprediksi berdasar pada sisi persamaan tersebut.

Tentu, yang dimaksud dengan berulangnya peristiwa, bukanlah peristiwa yang sama persis dari segala sisi. Umpamanya, apa yang disabdakan oleh Rasul saw berkaitan dengan persamaan antara umat beliau dengan Bani Israil, jelas sekali bahwa kita muslimin, Nabi kita adalah Rasulullah saw dan bukan Bani Israil serta Nabi Musa as, tetapi ada sisi persamaan antara kita dengan Bani Israil, yaitu bahwa apa pun yang mereka alami juga akan kita alami dalam kehidupan dunia, sekalipun ada hal-hal yang khusus dengan kita, sebagaimana ada juga hal-hal khusus yang berkaitan dengan mereka. Pascakegaiban Nabi Musa as selama empat

puluh tahun Bani Israil berubah menjadi penyembah anak sapi. Mereka tidak mau mendengar wakil Nabi Musa as yang mengajak mereka kembali kepada tauhid. Di dalam dunia Islam juga terjadi penyimpangan yang seperti itu. Belum genap empat puluh atau tujuh puluh hari dari wafatnya Rasul saw, umat beliau sudah meninggalkan Ali bin Abi Thalib as dan tidak mau mendengar perkataannya, yakni mereka meninggalkan sosok yang di sisi Rasul saw ibarat Harun di sisi Musa as dan berpaling dari apa yang telah diwasiatkan

p: 343

oleh beliau. Dalam rangka mencegah terjadinya perselisihan di tengah umat, pertumpahan darah, kerusakan dan menjaga keutuhan mereka, Harun as mengambil sikap diam. Di dalam al-Quran disebutkan, ketika Musa as berkata kepada Harun as, “Bukankah aku telah berpesan kepadamu agar menjaga Bani Israil dan jangan biarkan mereka mengambil jalan yang menyimpang?!” Harun as menjawab, “Aku khawatir nanti engkau akan mengatakan bahwa aku telah memecah belah mereka, karenanya aku biarkan mereka agar tidak terjadi perselisihan dan pertumpahan darah.”Di dalam surah Thaha, ayat 94 ditegaskan: Harun menjawab, “Hai putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): ‘Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku.' Apa yang menimpa umat Musa as juga menimpa serta dialami oleh umat Muhammad saw. Demi mencegah terjadinya perpecahan di antara umat Islam, Imam Ali as mengambil jalan diam setelah menyempurnakan hujah atas mereka. Beliau bersabar selama 25 tahun hingga umat menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Banyak riwayat yang menyinggung bahwa apa yang menimpa Bani Israil juga akan menimpa kalian, wahai muslimin. Boleh jadi, diangkatnya sejarah penyimpangan Bani Israil di al-Quran adalah adanya sisi kesamaan ini. Ada banyak pelajaran dan ibrah di dalam sejarah Bani Israil yang bisa diambil oleh umat Islam, seperti peristiwa Samiri dan penyembahan anak sapi. Seharusnya umat Islam mengambil pelajaran dari apa yang menimpa Bani Israil, agar mereka terhindari dari bencana yang dialami oleh umat Musa as.

Ringkasan dan Kesimpulan Bahasan

Ringkasan dari apa yang telah dijelaskan atas pesan Amirul Mukminin as pada bagian ini adalah apabila seseorang berkata bahwa antara masa lalu dan masa datang sama sekali

p: 344

tidak ada sisi kesamaan dan masing-masing merupakan peristiwa-peristiwa tunggal dan tersendiri, maka tidak akan ada satu peristiwa yang bisa dianalogikan dengan peristiwa lain dan diambil kesimpulan yang sama. Akan tetapi, apabila memang terdapat sisi kesamaan antara satu peristiwa dengan lainnya, sisi kesamaan itu dapat melahirkan sebuah kesimpulan yang dapat diterapkan atas dua fenomena dan peristiwa yang berbeda waktu. Apabila sisi persamaan pada setiap fenomena ditemukan, akan lahir sebuah hukum universal yang dapat diterapkan atas semua, yakni di mana pun sisi persamaan itu ditemukan, maka hukum universal itu akan berlaku. Oleh sebab itu, Imam Ali as menegaskan, “Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena

perkara-perkara itu memiliki keserupaan.” Yakni, Anda bisa memprediksi masa depan berdasar pada sisi kesamaan yang terdapat pada beragam fenomena dan peristiwa yang serupa dan memiliki sisi kesamaan. Kemudian beliau berkata, “Dan janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran.”

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kufur nikmat dan berbagai akibatnya merupakan salah satu contoh dari adanya sisi kesamaan antara peristiwa masa lalu dan masa masa datang. Ketika umat terdahulu terkena bencana sebagai akibat tidak mensyukuri nikmat, maka umat yang akan datang juga akan mengalami nasib yang sama apabila mereka tidak mensyukuri nikmat. Apabila kita kufur nikmat, dapat dipastikan kita akan berhadapan dengan bencana sebagaimana yang telah dialami oleh orang-orang terdahulu. Yang dimaksud dengan nikmat di sini, tentu bukanlah sekadar nikmat-nikmat materi seperti makanan, minuman, pakaian dan kesenangan hidup, tetapi nikmat-nikmat maknawi yang jauh lebih bernilai ketimbang nikmat-nikmat materi.

p: 345

Pada contoh yang lalu telah disinggung, nikmat maknawi besar yang kita miliki sekarang adalah nikmat pemerintahan Islam di bawah naungan wilayat al-faqih. Nikmat ini adalah sebuah nikmat yang dihasilkan oleh darah-darah suci para syuhada dan ulama sepanjang sejarah perjuangan Islam. Kita semua harus menjaga nikmat ini dengan segenap jiwa dan raga. Tugas penjagaan ini lebih terbebankan kepada para ulama ketimbang masyarakat secara umum. Para ulama bertanggung jawab untuk menjelaskan secara saksama konsep dan prinsip agung ini agar tertanam dan terpatri secara kuat di hati segenap masyarakat dan umat Islam. Demikian juga, di antara nikmat-nikmat besar yang dihasilkan oleh revolusi adalah perhatian, kecenderungan serta kepedulian pada masalah-masalah agama, al-Quran dan syariat. Ini adalah nikmat-nikmat yang harus dihargai dan dijaga. Tentu, bahwa di sana-sini masih ada kekurangan dan kita tidak mendakwa

bahwa revolusi telah menjadikan semua orang bebas dari perbuatan dosa, yang seperti itu tidak mungkin diwujudkan, karena manusia memang tidak maksum. Kita harus selalu bekerja dan berjuang di arah islah dan pembenahan diri serta masyarakat, di samping tidak lupa untuk mensyukuri semua yang sudah dihasilkan oleh revolusi, agar syukur kita menjadi alasan bagi Allah Swt untuk menambah berbagai anugerah serta nikmat yang lain. Namun, apabila kita melupakan nikmat-nikmat Ilahi yang telah diturunkan dan kita mengabaikan nikmat kepemimpinan agama serta wilayat al-faqih, kita akan diberi hukuman dengan kepemimpinan manusia-manusia yang sama sekali tidak peduli dengan risalah Ilahi dan al-Quran yang didakwahkan oleh Rasul saw dan Para Imam as. Apabila itu benar-benar terjadi, seluruh nilai Islam, kemanusiaan dan hukum agama akan tercerabut dari tengah masyarakat; dan kala itu kita tidak akan bisa menyalahkan siapa pun selain diri

kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan di dalam salah sebuah ayat, Setiap musbah yang menimpamu adalah sebagai akibat dari apa yang kamu lakukan sendiri.(1)[]

p: 346


1- 90 QS. al-Syura [42]:30.

41-ANTARA MANUSIA DAN HEWAN

Point

وَ لاَ تَکُونَنَّ مِمَّنْ لاَ یَنْتَفِعُ مِنَ الْعِظَةِ اِلاَّ بِمَا لَزِمَهُ فَاِنَّ الْعَاقِلَ یَتَّعِظَ بِالاَْدَبِ، وَالبَهَایِمُ لا تَتَّعِظُ اِلاَّ بِالضَّرْبِ.

Dan janganlah engkau termasuk orang yang tidak dapat mengambil manfaat dari nasihat kecuali dengan paksaan, karena sesungguhnya orang yang berakal akan menggunakan nasihat dengan adab, sementara binatang tidak akan mengambil nasihat kecuali dengan pukulan.

Peranan keinginan dan Kecenderungan dalam Perilaku

Boleh jadi, kalimat berikut ini merupakan sebuah pertanyaan tanpa jawaban bagi kebanyakan orang, yakni mengapa manusia dengan pemahaman dan pengetahuan

yang dimiliki, cenderung untuk mengabaikan nasihat-nasihat yang tertuang di dalam berbagai ayat dan riwayat? Apa yang semestinya dilakukan agar manusia dapat mengamalkan nasihat tanpa harus dipaksa atau diingatkan secara berulang- ulang? Pertanyaan ini adalah gambaran dari realitas yang kita hadapi dan rasakan, dan sangat urgen untuk segera diberikan jawabannya.

Tak pelak lagi, manusia dalam apa yang diperbuat dan dilakukan, tak ubahnya seperti hewan-hewan yang lain,

p: 347

berangkat dari sebuah keinginan serta pemahaman tertentu. Apabila dia melakukan suatu pekerjaan, dapat dipastikan ada maksud serta tujuan yang hendak diraih. Hewan apabila memakan rumput tentu bertujuan untuk mengenyangkan perutnya, sebagaimana halnya manusia yang makan dalam rangka menghilangkan rasa laparnya. Dalam hal ini, bisa dikatakan terdapat kesamaan antara hewan dan manusia; yakni keduanya melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu atau bisa juga dikatakan bahwa terdapat sebab akhir (final cause) di dalam setiap yang dilakukan oleh keduanya. Apabila tidak terdapat sebab akhir, keduanya tidak akan melakukan apa-apa, setiap perbuatan yang dilakukan, tentulah bermuara pada keinginan serta tujuan yang hendak dicapai. Sebab akhir yang merupakan sisi kesamaan antara manusia dan hewan, bisa bermacam-macam bentuk dan tingkatannya. Terkadang sebab akhir hanya berkaitan dengan pemenuhan sebuah keinginan sederahana dalam jangka waktu yang pendek, dan terkadang berkaitan dengan beberapa tujuan yang lebih tinggi. Akan tetapi, yang pasti, harus

terdapat tujuan di balik setiap perbuatan. Bahkan sekadar berjalan di tengah padang pasir atau melangkah di jalan, pastilah terdapat tujuan di baliknya. Boleh jadi, dia berkata bahwa “saya tidak mempunyai tujuan tertentu”. Akan tetapi, ketenangan, membuang kejenuhan, mencari udara segar atau menghilangkan ketegangan, bisa jadi merupakan alasan dari aktivitas jalan-jalan. Oleh sebab itu, apabila kita tidak mempunyai keinginan tertentu, dapat dipastikan kita tidak akan melakukan apa-apa. Allah Swt telah meletakkan keinginan serta kecenderungan tertentu pada setiap manusia dan hewan. Umpamanya, Allah Swt telah menciptakan manusia dan hewan sedemikian rupa sehingga keduanya merasakan kenikmatan pada saat makan dan minum. Tentu, jenis makanan berbeda antara satu dengan

p: 348

lainnya, tetapi setiap manusia dan hewan mempunyai keinginan pada makanan serta merasakan kelezatan darinya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terdapat kecenderungan serta keinginan pada diri manusia yang menariknya untuk melakukan sebuah aktivitas. Dia tidak akan menunda untuk melakukan sesuatu yang memenuhi keinginannya, kecuali apabila terdapat beberapa keinginan yang saling bertabrakan pada saat yang sama, maka dia akan mendahulukan salah satu

dari keinginan tersebut serta menunda yang lain. Contohnya, apabila manusia ingin melakukan sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dan pada saat yang sama dia juga ingin beristirahat, tetapi karena perbuatan yang mendatangkan kelezatan itu juga melelahkan serta membutuhkan energi yang tidak sedikit, maka dia mendahulukan istirahat daripada aktivitas yang mendatangkan kelezatan. Ada orang yang lebih mementingkan istirahat daripada kelezatan, dan ada pula orang-orang yang berpaling dari istirahat serta bekerja tak kenal lelah untuk meraih berbagai macam kenikmatan di kemudian hari.

Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Mewujudkan dan Menguatnya Keinginan

Ada beberapa kecenderungan dan keinginan yang sedikit banyak sama antara manusia dan hewan, juga ada beberapa faktor yang terlibat dalam proses kemunculan berbagai keinginan dan kecenderungan tersebut. Contohnya, ada hormon-hormon tertentu yang menimbulkan gairah seksual dan keinginan untuk melampiaskan nafsu-birahi pada diri manusia. Kecenderungan seks pada diri manusia adalah hasil dari proses fisiologis yang bersumber pada anggota tertentu

di dalam tubuh. Akan tetapi, sebagian kecenderungan manusia tidak bermuara pada anggota tubuh tertentu, atau bilapun ada faktor organik dan fisik yang berperan, perannya tidak terlalu besar, karena muara aslinya berkaitan dengan sisi psikis,

p: 349

seperti “kecenderungan serta keinginan untuk dihormati” pada diri manusia. Kecenderungan ingin dihormati ini, tidak berasal dari anggota tubuh tertentu; ia tidak berkaitan dengan indra penglihatan, pendengaran atau kelenjar tertentu tetapi lebih merupakan sebuah kondisi psikis tertentu yang di dalamnya manusia merasa senang apabila dihormati dan dihargai. Dalam hal ini, faktor utamanya adalah roh dan jiwa manusia, dan tidak secara langsung berkaitan dengan sisi fisik manusia.

Keinginan manusia untuk bermunajat dan bertakarub dengan Sang Khalik, termasuk dalam kecenderungan serta keinginan nonorganik dan tidak bergantung pada bagian tubuh tertentu. Keinginan untuk bermunajat dan bertakarub dengan Ilahi Rabbi pada diri manusia begitu mulia dan kuat, sehingga manusia siap untuk melakukan berbagai macam perjuangan dan pengorbanan tanpa memedulikan kelelahan, kepenatan, cuaca panas, cuaca dingin, rasa lapar, rasa haus dan bahkan rasa kantuk. Semua itu dilakukan demi mencicipi manisnya bermunajat dan bermesraan dengan Allah Swt. (1) Dari keterangan singkat di atas dapat disimpulkan, terkadang muara kecenderungan dan keinginan manusia itu berkaitan dengan organ tubuh tertentu, namun adakalanya kecenderungan manusia sama sekali tidak bersifat organik, tetapi bermuara pada roh dan jiwa manusia.

Pertentangan Di Antara Beberapa kecenderungan dan Keinginan

Sejauh apa manusia mengikuti keinginan dan kecenderungan naluri alaminya adalah sebuah kajian yang

p: 350


1- 91 Orang-orang yang tidak bisa merasakan manisnya bertakarub dengan Allah Swt adalah orang-orang yang mendapat hukuman karena banyaknya dosa dan maksiat yang diperbuat. Perilaku buruk, dosa dan maksiat dapat menjauhkan manusia dari kenikmatan munajat dan takarub, meskipun manusia tersebut mempunyai pengetahuan dan ilmu yang cukup.

bukan di sini tempatnya dan memang kita tidak berencana untuk mengkajinya di sini. Satu hal yang pasti dan telah disepakati bahwa manusia mempunyai peranan penting dalam mengontrol, mengendalikan dan mengarahkan berbagai kecenderungan naluriahnya, di samping berperan juga di dalam menyiapkan syarat-syarat pemenuhan serta menyingkirkan rintangan-rintangan yang ada. Umpamanya, mendengar mauizah, mengikuti majelis taklim dan membaca doa merupakan adalah serangkaian aktivitas yang dapat memunculkan keinginan dan kecenderungan mulia pada diri manusia. Mengamalkan apa yang tertuang di dalam syariat dan menghiasi diri dengan akhlak-akhlak yang mulia, juga akan berperan di dalam menimbulkan dan mengembangkan kecenderungan- kecenderungan positif pada diri manusia. Di dalam bait-bait Munajat Sya'baniyyah terdapat sebuah ungkapan yang sangat mendidik dan mencerahkan, kala Imam Ali as berucap, “Ya Allah, aku tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk menghindarkan diri dari bermaksiat kepada- Mu, kecuali pada saat Engkau menyadarkan diriku dengan cinta-Mu.” Di dalam kalimat munajat ini telah digambarkan adanya dua kecenderungan yang saling bertentangan pada diri manusia, yang satu menarik manusia kepada maksiat

dan gerak menurun, dan yang satu lagi menarik manusia menuju kesempurnaan dan kesucian diri. Sehubungan dengan pertentangan ini, Imam Ali as berkata, “Ya Allah, aku tidak mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari maksiat dan dosa, kecuali apabila Engkau menyelamatkanku dengan kasih-sayang dan cinta-Mu.” Pertentangan dan tarik-menarik antara dua kekuatan pada diri manusia juga telah dipaparkan di dalam al-Quran. Yakni, ada dua kekuatan di dalam diri manusia yang masing-masing menarik pada arah yang berlawanan, satu menarik ke

p: 351

arah Tuhan dan yang lain menarik ke arah yang bertentangan dengan-Nya. Satu kecenderungan menarik manusia pada sisi Allah dan para kekasih-Nya, sementara kecenderungan yang lain menarik manusia pada sisi hawa nafsu dan setan, seperti keinginan untuk meraih kecintaan-kecintaan palsu sosial, jabatan-jabatan tertentu dan gemerlap serta kemewahan dunia.

Petikan bait-bait Munajat Sya'baniyyah di atas telah dengan tegas menyatakan bahwa kecintaan Allah Swt adalah kekuatan yang paling ampuh untuk menjauhkan manusia dari hawa nafsu dan menariknya menuju kesempurnaan dan kedudukan yang dekat dengan-Nya. Apabila manusia dapat memperkuat faktor ini di dalam dirinya, dia akan dengan mudah menyelamatkan diri dari jeratan dan cemgkeraman kekuatan non-Ilahi.

Berdasarkan penelitian dan kajian ilmiah, terbukti bahwa manusia berhadapan dengan pertentangan beragam kekuatan diri yang masing-masing hendak menariknya kepada arah serta aktivitas tertentu. Dalam pada itu, orang-orang yang telah masuk dalam mahabah Ilahi, dapat dipastikan mampu bertahan dalam menghadapi berbagai godaan serta ajakan yang menariknya kepada hal-hal yang buruk. Salah satu tujuan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci

adalah untuk membimbing umat manusia agar mempunyai kemampuan untuk mengendalikan beragam kecenderungan dan keinginan diri. Dengan kata lain, ajaran Ilahi akan mengajak manusia untuk menghidupkan kecenderungan dan keinginan yang baik nan mulia, sehingga daya tarik maknawi di dalam diri manusia menguat dan manusia terselamatkan dari faktor-faktor non-Ilahi yang menghancurkan. Salah satu faktor yang akan membantu manusia dalam pertarungan antara kecenderungan ini adalah kembali kepada Allah Swt. Apabila manusia meyakini bahwa Allah Swt

p: 352

adalah Zat yang mencipta dan mengatur alam keberadaan ini, kemudian dia bertawakal kepada-Nya, maka Zat Yang Maha segalanya itu pasti akan memberinya petunjuk kepada jalan yang benar. Akan tetapi, meskipun manusia mempunyai keyakinan yang seperti ini, adakalanya dia lupa dan lalai, pada saat itulah manusia memerlukan nasihat dan peringatan agar dapat terhindar dari kelalaian dan kecenderungan-kecenderungan yang buruk. Mauizah dan nasihat sangat berperan penting dalam mengingatkan dan menyadarkan manusia dari kelalaian, sehingga dia dapat kembali pada nilai-nilai yang sudah diyakininya dan terhindar dari keterlenaan.

Batasan Antara Manusia dan Hewan

Perbedaan mendasar antara manusia dan hewan terletak pada bagaimana keduanya menghadapi berbagai kecenderungan dan keinginan yang muncul dari dalam

diri. Keinginan dan kecenderungan pada diri manusia dapat dikendalikan, dikuatkan dan dilemahkan, bahkan manusia dapat mengambil langkah-langkah tertentu dalam rangka mengubah serta mengarahkan berbagai kecenderungan dan keinginannya. Berbeda dengan hewan yang sama sekali tidak berdaya kecuali menuruti apa yang menjadi keinginan serta kecenderungan naluriahnya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara manusia dan hewan. Di samping itu manusia juga mempunyai serangkaian kecenderungan ilahi-maknawi yang tidak dimiliki oleh hewan.

Manusia mempunyai kemampuan untuk mendahulukan kecenderungan Ilahi-maknawi atas kecenderungan hewani-duniawinya. Seandainya terjadi pertentangan, dia dapat mengunggulkan sisi maknawi atas sisi duniawinya. Selain itu, unsur mauizah, nasihat dan taklim-tarbiah juga dapat memberikan arahan bagi manusia untuk memperkuat atau melemahkan berbagai kecenderungan serta keinginan yang ada, bahkan manusia dapat memiliki kemampuan untuk

p: 353

mengendalikan dan mengontrol berbagai kecenderungan. Semua kelebihan itu sama sekali tidak dimiliki oleh hewan. Hewan telah terkungkung dalam berbagai keinginan dan kecenderungan naluriahnya serta tidak mempunyai daya kecuali pasrah pada keinginan dan kecenderungan tersebut. Umpamanya, apabila hewan merasa lapar, ia akan terdorong untuk menundukkan kepala tanpa mengetahui di mana letak makanan dan darimana datangnya. Selama rasa lapar itu masih ada maka ia tidak akan berhenti makan.

Nah, apabila manusia dalam hal ini berkelakuan seperti binatang, maka tidak ada lagi yang membedakan antara dia dengan binatang. Sungguh tidak mengherankan ketika al-Quran berkata, Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.(1) Orang-orang yang kosong dari keyakinan dan pemikiran, yaitu orang-orang kafir, mereka dalam hal makan dan minum tak ubahnya seperti binatang. Dalam kaitan ini, orang-orang mukmin juga makan dan menikmati berbagai kelezatan di dunia, namun cara orang kafir menikmati dunia jauh berbeda dengan cara orang mukmin. Orang-orang kafir menikmati dunia sambil menginjak-injak aturan dan hukum Ilahi, sehingga mereka mengarah pada kecenderungan-kecenderungan yang hina dan jauh dari kemuliaan insani. Orang-orang kafir terjauhkan dari petunjuk Ilahi dan kebahagiaan abadi, karena mereka hanya mengenal kenikmatan-kenikmatan hewani sesaat. Dengan kata lain, orang-orang kafir, sekalipun mereka mempunyai serangkaian kecenderungan yang tidak dimiliki oleh hewan, mereka hanya hidup dengan kecenderungan-kecenderungan hewaninya. Oleh sebab itu, mereka layak untuk menyandang predikat lebih rendah dari hewan dan binatang, sebagaimana

p: 354


1- 92 QS. Muhammad [47]:12.

disebutkan dalam al-Quran, Bal hum adhallu (bahkan lebih rendah daripada hewan).(1) Untuk mengetahui kadar insaniah diri, kita perlu mengetahui bahwa ketika kita dihadapkan pada pertentangan antara kecenderungan maknawi dan hewani, mana yang akan kita pilih? Apakah kita akan memlih sisi Ilahi, insani, akli, maknawi dan iman atau kita akan memilih kenikmatan serta kelezatan duniawi yang sementara? Mampukah kita menyelamatkan diri dari kecenderungan serta keinginan nafsu hewani? Di sinilah batasan antara manusia dan hewan, karena apabila sisi insani kita lemah, dapat dipastikan kita akan memilih kecenderungan-kecenderungan hewani. Sungguh memalukan, apabila hewan dan binatang masih dapat menghindarkan dirinya dari berbagai kecenderungan naluriahnya, sementara manusia tidak! Sebagian hewan, apabila memasuki ladang orang lain, begitu ia melihat si pemilik ladang mengejar dan mengusir mereka dengan tongkat, maka mereka akan segera menghindar dan tidak lagi mau masuk ke ladang tersebut. Cukup satu pengalaman itu bagi mereka untuk terbimbing dan tidak mengulangi kesalahan. Berbeda halnya dengan sebagian manusia, kendati telah mendapatkan ribuan pengalaman pahit dari berbagai kesalahan, tetap saja tidak mau mengambil pelajaran dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Sebagian hewan, dengan menjalani pelatihan tertentu, menjadi jinak dan patuh. Namun, sebagian manusia, meski telah dibimbing oleh para utusan Ilahi selama bertahun-tahun, tetap saja membangkang dan tidak mau patuh. Melihat kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa binatang lebih mudah untuk dibimbing ketimbang manusia. Bukankah binatang yang seperti itu lebih mulia daripada manusia, dan manusia yang seperti itu menjadi lebih rendah dan hina ketimbang hewan?! Dengan penuh keyakinan

p: 355


1- 93 QS. Furqan [25]:44.

dapat dikatakan bahwa manusia yang liar seperti itu lebih rendah harkatnya daripada hewan (bal hum adhallu). Perlu digarisbawahi, apabila manusia setelah mengalami masa-masa penyimpangan yang pahit, akhirnya menjadi terdidik, terbimbing dan mengarah pada kecenderungan-kecenderungan Ilahi-maknawinya, tetap saja belum bisa dikatakan lebih baik daripada hewan. Yakni, apabila manusia akhirnya sadar setelah terjerumus dalam pahitnya dosa-dosa, maka dia belum bisa dikatakan lebih baik daripada hewan; karena seekor hewan pemikul beban, apabila kakinya terperosok pada suatu tempat, maka ia tidak akan pernah

mau melewati tempat itu sehingga dapat terperosok untuk kedua kali. Manusia seharusnya membangun hubungannya dengan Tuhan melalui makrifat dan cinta, bukan melalui pengalaman-pengalaman pahit yang membuatnya tersadar.

Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as juga berpesan kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as (yang maknanya): “Apabila engkau hendak mencapai kedudukan insani yang tinggi dan keluar dari sisi hewani yang rendah, engkau harus dapat mengalahkan serta menundukkan kecenderungan-kecenderungan hewanimu. Engkau harus dapat mengambil jalan kemuliaan yang akan mengantarmu kepada kebahagiaan serta hidayah melalui mauizah, nasihat dan tarbiah insan-insan suci aa. Jangan sampai dirimu sama dengan hewan yang baru mau patuh setelah dicambuk, karena manusia seharusnya dapat terbimbing dengan akal, cinta(1) dan tarbiah, tanpa harus dipukul.[]

p: 356


1- 94 Hal ini telah diterangkan dalam banyak ayat dan riwayat, seperti apa yang sering kita baca dalam Ziyarah Jami'ah: Man ahabbakum fa qad ahabballah, barangsiapa yang mencintai kalian (Ahlulbait as), maka berarti mereka telah mencintai Allah.

42-MENGHARGAI HAK ORANG

Point

اِعْرِفِ الْحَقَّ لِمَنْ عَرَفَهُ لَکَ، رَفِیعًا کَانَ أَوْ وَضِیعًا، وَاطْرَحْ عَنْکَ وَارِدَاتِ الْهُمُومِ بِعَزَائِمِ الصَّبْرِ وَ حُسْنِ الْیَقِینِ.

Hargailah hak orang yang menghargai hakmu, baik orang itu dari kalangan atas atau dari kalangan bawah. Buanglah berbagai kesedihan dengan kesabaran dan keyakinan.

Menghargai Hak Orang yang Menghargai Hak

Kita Dengan inayah dan taufik Ilahi, telah dijelaskan secara ringkas beberapa bagian dari pesan dan wasiat Imam Ali as hingga sampai pada penggalan ini. Pada bagian ini, Imam Ali as berbicara tentang menghargai serta menjaga hak- hak orang lain. Beliau berkata, “Hargailah hak orang-orang yang menghargai hakmu, baik orang tersebut dari kalangan sosial yang lebih tinggi darimu ataupun dari kalangan sosial yang lebih rendah."

Kedudukan sosial seseorang di tengah masyarakat tidak boleh melahirkan diskriminasi dalam penyikapan terhadap mereka. Dengan kata lain, dalam menjalankan tugas sosial dan menjaga hak orang lain, kita tidak boleh menjadikan apa pun sebagai tolok ukur selain hak-hak orang tersebut, yakni

p: 357

jangan melihat kadar kekayaan, kepemilikan, kedudukan serta jabatan sosial si pemilik hak, baik dia kaya ataupun miskin, terkenal ataupun tidak, berjabatan tinggi atau rendah. Singkat kata, hak orang yang menghargai hak orang lain haruslah dijaga dan dihormati. Yang menjadi neraca dan tolok ukur adalah hak itu sendiri bukan selainnya. Hak setiap orang haruslah diberikan kepadanya. Di dalam wasiat ini telah digunakan ungkapan yang mungkin bisa menimbulkan kesalahpahaman, karena beliau berkata, “Hargailah hak orang yang menghargai hakmu”, sehingga boleh jadi kita akan menyimpulkan maksud ucapan beliau seperti ini, yaitu bahwa apabila ada orang yang tidak menghargai dan menjaga hak kita, kita pun tidak perlu menghormati dan menjaga haknya. Apakah seperti itu maksudnya? Pertanyaan ini sangatlah penting dan memerlukan jawaban yang panjang-lebar. Akan tetapi, sesuai dengan kadar buku ini, kami akan memberikan jawaban yang ringkas.

Pengertian Hak dari Sisi Undang-Undang

Untuk mendapatkan kejelasan dari pertanyaan di atas, pertama harus diketahui apa yang dimaksud dengan “hak”. Hak adalah sebuah kata yang mengandung makna “kedua belah pihak” dan akan selalu begitu. Hak dapat dibagi menjadi beberapa bagian, seperti “hak-hak Ilahi” yakni hak- hak yang berkaitan antara Tuhan dengan sekalian hamba- Nya, atau “hak-hak sosial” yakni hak-hak yang dimiliki antarmanusia dalam kehidupan sosial, dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka kata “hak” dalam realisasinya setidaknya memerlukan keberadaan dua pihak, dan kedua pihak itu bisa individu dan bisa juga kelompok yang masing- masing mempunyai hak. Umpamanya saja, bayangkanlah hak antartetangga, yakni sebagaimana seseorang mempunyai hak terhadap tetanggannya, maka si tetangga juga mempunyai

p: 358

hak terhadap orang tersebut. Hal ini disebabkan makna “hak” mengandung arti “kedua belah pihak”, dan dalam kaitan ini tidak terdapat perbedaan antara hak dua saudara, dua saudari, dua teman sekolah, dua sahabat, bahkan antara suami-istri. Ketika suami mempunyai hak terhadap istri, maka istri pun mempunyai hak terhadap suaminya. Dalam beberapa kasus tertentu, "hak” sepertinya tidak berarti kedua belah pihak dan hanya sepihak saja. Seperti halnya salah satu dari anggota keluarga atau masyarakat yang mempunyai hak terhadap yang lain tanpa ada hak orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Contohnya adalah seorang

ayah yang mempunyai serangkaian hak terhadap anaknya, baik hak-hak yang bersifat materi ataupun nonmateri, sedemikian rupa sehingga apabila si ayah telah meninggal dunia, hak- haknya masih menjadi tanggung jawab si anak, seperti halnya hak-hak ayah yang telah ditetapkan oleh syariat yang menjadi kewajiban atas anak tertua. Hak-hak tersebut hanya dimiliki oleh ayah tanpa ada hak anak yang menjadi tanggung jawab si ayah, sementara ayah telah meninggal dunia dan tidak

ada yang bisa dia perbuat untuk anaknya, namun si anak masih mempunyai tanggung jawab yang harus ditunaikan. Sebagai misal, si anak masih wajib mengqada salat-salat wajib ayahnya, atau melakukan hal-hal yang berkaitan dengan beberapa amalan dan perkara mustahab bagi sang ayah, seperti melakukan serangkaian kebajikan (baca: khairat) yang pahalanya dihadiahkan kepada sang ayah. Hak-hak seperti ini adalah hak-hak yang bersifat sepihak, karena kendati si ayah telah meninggal dunia, tetapi ada serangkaian hak ayah yang harus dilakukan dan ditunaikan oleh anak-anaknya. Dalam hal ini, ayah mempunyai hak atas anak tanpa ada hak anak yang menjadi tanggung jawab serta kewajibannya. Bahkan seandainya si ayah adalah seorang musyrik, kafir atau fasik sekalipun, dia tetap memiliki hak atas anaknya yang harus dilakukan. Misalnya saja, apabila seorang ayah musyrik

p: 359

mengajak anaknya untuk melakukan kemusyrikan, tentu si anak tidak boleh mematuhi ajakan orang tuanya, tetapi si anak tetap harus berbakti kepada orang tua dan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab seorang anak kepada seorang ayah, seperti si anak tidak melakukan hal-hal yang bersifat tidak menghormati orang tua. Di dalam al-Quran telah ditegaskan, dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berlaku baik terhadap kedua orang tuanya.(1) Dalam ayat lain disebutkan, Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.(2) Jangan patuhi mereka ketika mengajakmu untuk berbuat kemusyrikan, tetapi perlakukanlah mereka dengan baik di dunia. Oleh sebab itu, apabila seorang anak mukmin mempunyai orang tua yang kafir dan dia sama sekali tidak menunaikan apa yang menjadi hak anak, anak-anaknya tetap berkewajiban untuk menunaikan hak-hak seorang ayah. Hak seperti ini terlihat sepintas sebagai hak yang bersifat sepihak, karena sekalipun si ayah tidak melaksanakan tanggung jawabnya, si anak tetap berkewajiban untuk menghormati serta menjaga hak sang ayah.

Tolok Ukur Menjaga Hak Orang Lain dalam Etika

Secara umum, dengan mengesampingkan sebagian hak sepihak, seperti hak orang tua atas anak-anaknya, biasanya menjaga hak orang lain itu bergantung pada bagaimana orang lain itu juga menghormati dan menghargai hak kita, terlebih pada hal-hal yang berkaitan dengan etika. Hal ini disebabkan apabila salah satu pihak tidak menghormati hak yang lain, maka pihak yang lain juga tidak akan menghormati haknya. Sebagai misal, apabila salah seorang teman tidak

p: 360


1- 95 QS. al-Ankabut [29]:8.
2- 96 QS. Luqman [31]:15.

menghormati dan tidak menghargai hak teman yang lain, maka dia juga harus bersiap-siap untuk tidak dihormati serta dihargai hak-haknya. Apabila seorang teman berlaku kasar dan tidak ramah kepada teman yang lain, dia juga harus bersiap-siap untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, tidak jarang sikap yang baik dan sopan dari salah satu pihak akan membuat pihak lain bertambah berani untuk melakukan yang sebaliknya.

Dalam beberapa kasus, menjaga dan menghormati hak orang lain bergantung pada sejauh apa dia menghormati dan menjaga hak kita. Kendati tidak setiap perkara menghormati hak orang lain bergantung pada penghormatan dia atas hak kita. Yakni, apabila orang tersebut tidak menghormati hak kita, kita tetap bertanggung jawab untuk menjaga serta menghormati haknya, seperti halnya hak seorang teman dan kedua orang tua atas diri kita.

Sering dijumpai, ketika seseorang itu mempunyai strata sosial dan finansial yang tinggi, maka haknya cenderung dijaga dan dihormati, tetapi begitu orang tersebut kehilangan jabatan dan jatuh miskin, maka semua teman dan sahabat akan segera meninggalkannya, seakan tidak pernah terjalin persahabatan dan pertemanan di antara mereka. Dalam situasi yang seperti ini, Imam Ali as berpesan bahwa menjaga hak orang lain itu adalah sebuah keharusan apabila orang tersebut juga menjaga hak kita. Ini adalah tolok ukur untuk menjaga hak orang lain, bukan jabatan sosial atau kekayaan. Meskipun seseorang itu tidak mempunyai jabatan dan hidup dalam kemiskinan, selama dia menghormati hak kita, maka kita pun berkewajiban untuk menjaga serta menghormati haknya. Beliau menegaskan,

"Hargailah hak orang yang menghargai hakmu, baik orang itu dari kalangan atas atau dari kalangan bawah.” Nasihat beliau ini adalah sebuah peringatan bagi mereka yang secara tidak sadar lalai dan meremehkan hak orang lain

p: 361

yang berada di kalangan sosial bawah dan ekonomi rendah. Tidak sedikit orang yang mempunyai karakter melupakan dan meninggalkan teman ketika kehilangan kedudukan dan jatuh miskin, padahal seorang mukmin tidak dibenarkan untuk berlaku seperti itu. Mukmin adalah pribadi yang menjaga serta menghormati hak orang lain dalam segala hal, sekalipun orang yang memiliki hak itu berasal dari kalangan bawah dan miskin. Yang menjadi tolok ukur adalah apabila orang lain itu

menjaga serta menghormati hak kita, kita pun berkewajiban untuk menjaga dan menghormati haknya.

Beberapa Problem yang Terjadi Sesama Manusia

Manusia, mau tidak mau, akan berhadapan dengan beberapa masalah dan problem yang berkaitan dengan jiwa serta psikologinya. Terkadang, dia menemui masalah dalam dunia kerja, terkadang harus kehilangan orang yang dicintai, terkadang terjadi sebuah peristiwa yang mengancam dan membahayakan masa depannya dan lain-lain. Singkat kata, manusia tidak bisa lepas dari beragam masalah dan problem dalam hidupnya. Tentu masalah yang dihadapi oleh setiap

orang tidaklah sama, namun masing-masing sesuai dengan kapasitanya akan berhadapan dengan serangkaian hal yang membuatnya gelisah, bersedih dan merasa tidak nyaman.

Seseorang yang mempunyai jabatan tinggi dengan tanggung jawab besar, tentu masalah yang dihadapinya akan lebih berat dibandingkan mereka yang mempunyai tanggung jawab kecil. Sebagaimana para pencari dunia banyak dihantui serta dibebani oleh masalah-masalah dunia, maka para pencari keridaan ilahi juga akan dihantui oleh kekhawatiran tidak terlaksananya taklif ilahi yang ada di pundak mereka; apabila ada banyak rintangan di hadapan, maka mereka akan semakin

khawatir untuk tidak bisa menuntaskan apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran ini, terkadang sedemikian rupa menghantui

p: 362

pemikiran dan kejiwaan seseorang sehingga dia akan kehilangan kekuatan serta semangat untuk menyelesaikan apa yang menjadi dan tanggung jawab; dia akan kehilangan spirit dan kemudian menyerah. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang diharapkan untuk terjadi dan tidak diinginkan oleh semua orang. Orang yang seperti ini, biasanya tidak bisa menuntaskan tanggung jawab dunia dan akhiratnya; dia selalu dihantui dengan kegelisahan dan kecemasan tanpa henti, sehingga dia tidak bisa melaksanakan salat dengan khusuk. Bahkan dia akan kehilangan gairah sama sekali untuk beribadah dan benar-benar menjadi pribadi yang kehilangan

fungsi dan tidak berguna sama sekali.

Jalan dan Cara Menghadapi Beragam Kesulitan dan Problem

Sebagaimana yang telah dijelaskan, hidup manusia tidak pernah sunyi dari beragam masalah dan peristiwa pahit. Peristiwa-peristiwa tersebut tentu akan memengaruhi berbagai aktivitas duniawi-ukhrawi dalam aspek individu dan juga sosial. Yang penting untuk diperhatikan di sini adalah langkah-langkah dan strategi apa yang harus diambil agar manusia terjaga dari beragam masalah dan problem sehingga semua itu tidak dapat menghalangi kemajuan serta perkembangannya.

Tidak dapat dipungkiri, kehidupan manusia beriringan dengan musibah, bencana dan hal-hal yang menyakitkan. Kehidupan manusia tidak pernah bebas dari duka dan derita. Yang perlu untuk dipikirkan di sini adalah bagaimana cara manusia untuk bisa menghadapi berbagai macam kesulitan sehingga dia tidak dikuasai dan dikendalikan oleh beragam masalah, namun justru dia yang menguasai dan mengendalikannya. Karena apabila manusia dikuasai oleh masalah, dia akan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan

p: 363

tugas dan tanggung jawabnya. Apa sebenarnya jalan keluar dari masalah ini?

Sebelum berbicara tentang solusi dan jalan keluar, ada sebuah hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu. Orang- orang yang berkepribadian sensitif, tentu akan merasakan tekanan yang lebih berat dibandingkan mereka yang tidak terlalu sensitif. Dengan kata lain, ada orang-orang yang bisa tenang dan santai dalam menghadapi beragam kesulitan dan masalah; mereka tidak terlalu cemas dan bingung dalam menghadapi bencana yang menimpa. Tentu, orang-orang tenang seperti ini lebih kuat dalam menghadapi musibah dan masalah. Namun, ada orang-orang yang begitu menghadapi masalah, mereka langsung kehilangan keseimbangan, bingung, cemas, gelisah dan tidak tenang. Mereka tidak mudah untuk bisa menghadapi dan keluar dari masalah dan musibah yang dating. Masalah dan musibah menghantui serta merasuk pada kejiwaannya secara mendalam. Kelompok yang kedua ini, tentu lebih mudah untuk terserang bahaya serta penyakit jiwa, seperti keputusasaan, ketidakberdayaan, kecemasan, kegelisahan, ketegangan, kesedihan dan bahkan beragam penyakit fisik seperti kelumpuhan. Itu semua akan semakin mempersulit masalah yang sedang dihadapi dan tidak terselesaikannya berbagai macam persoalan. Bagaimana orang-orang seperti di atas dapat keluar dari masalah ini?

Maula al-Muttaqin Im m Ali as dalam kaitan ini berpesan: (Dalam rangka menyelamatkan diri dalam berbagai musibah, bencana dan kesulitan seperti ini), kita harus menghidupkan dua kekuatan yang menghidupkan dalam diri. Dua kekuatan itu adalah kekuatan kesabaran dan kekuatan keyakinan.

1. Kekuatan kesabaran

Kesabaran merupakan sebuah wacana penting dalam akhlak yang bisa diperoleh oleh manusia dari berbagai macam jalan. Pemilik kesabaran dapat bertahan kala

p: 364

menghadapi berbagai macam musibah dan persoalan di dalam hidup sehingga tidak mudah menyerah dan berputus asa. Tentu bukan di sini tempatnya untuk

membahas berbagai cara dan metode meraih kesabaran, karena itu merupakan tanggung jawab bahasan-bahasan yang berkaitan dengan akhlak dan kami tidak ingin masuk di dalamnya. Yang hendak kami tekankan adalah apabila seseorang dapat memperkuat kesabaran dan ketabahan di dalam diri, dia akan mampu untuk bertahan dan menghadapai beragam musibah dan problematika kehidupan. Musibah dan berbagai macam kesulitan dalam kehidupan dunia dapat menghancurkan dan membuat manusia menjadi bingung, tertekan, cemas dan gelisah. Akan tetapi, seorang insan yang sabar dan tabah akan mampu bertahan dan menghadapi segala permasalahan dengan beragam cara yang ditempuh. Semakin tinggi tingkat kesabaran dan ketabahan seseorang, maka dia akan semakin kuat dalam menghadapi berbagai macam persoalan dalam hidupnya.

2. Kekuatan keyakinan

Yang dimaksud dengan keyakinan di sini adalah keyakinan manusia akan kekuasaan, kebijaksanaan dan pengaturan Ilahi. Dalam pembahasan yang lalu, sedikit

banyak kami telah menyinggung masalah ini. Salah satu dari ajaran agama-agama samawi yang telah banyak diangkat dalam berbagai macam ayat dan riwayat di

dalam Islam adalah masalah qadha dan qadar Ilahi. Tentu qadha dan qadar dalam pemahaman yang benar, bukan pemahaman yang bersifat deterministik. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa maksud dari keyakinan pada qadha dan qadar Ilahi adalah keyakinan bahwa di alam semesta ini terdapat pengaturan yang jauh lebih menentukan daripada pengaturan partikular sekalian makhluk dan

p: 365

hamba. Kita manusia, adalah mahluk-mahluk yang biasa berpikir dan berencana dalam ruang-ruang sempit dan terbatas dengan kekuatan dan kemampuan yang sangat terbatas pula, sehingga dalam banyak hal kita berhadapan dengan kesulitan dan tidak berdaya untuk menggapai apa yang diinginkan.

Realitas wujud kita yang sarat kelemahan ini adalah salah satu bukti bahwa ada sebuah pengaturan oleh kekuatan Yang Mahadahsyat di luar pengetahuan dan

pemikiran kita. Kita telah berkali-kali membuktikan bahwa dalam rangka menggapai sebuah tujuan yang sudah digariskan, terkadang kita bisa mencapai hal-hal

yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan; atau justru sebaliknya, meskipun kita telah mengerahkan segala macam kemampuan dengan perencanaan yang begitu detail dan rinci, namun tujuan tidak kunjung tercapai. Terkadang seseorang berusaha untuk melakukan sebuah kebaikan, namun justru musibah dan bencana yang dihasilkan. Pengalaman-pengalaman dalam hidup ini adalah bukti nyata dari adanya sebuah pengaturan yang lebih hebat dari manusia. Berbagai macam musibah dan bencana dengan banyak korban jiwa dan kehancuran seperti banjir, gempa bumi dan beragam malapetaka lain adalah hal-hal yang terjadi di luar kehendak dan keinginan manusia. Dalam ajaran-ajaran agama kita telah diberi pengetahuan bahwa beragam peristiwa di jagad raya baik yang manis maupun yang pahit, semuanya berada di bawah pengaturan dan kendali universal Ilahi Rabbi. Benar, dalam hal ini kita manusia telah menghadapi fenomena-fenomena yang menyakitkan dan menakutkan. Tidak jarang kita akan menganggapini sebagai pengaturan alam semesta yang tidak baik dan sarat kekurangan. Namun pada hakikatnya ada sebuah pengaturan yang

p: 366

bersifat universal yang meliputi seluruh alam keberadaan ini dan itu di luar jangkauan pemahaman kita. Memang hal itu sengaja tidak diberitahuakan kepada kita, karena semua itu adalah salah satu cara Allah Swt untuk menguji sekalian hamba-Nya. Seandainya semua itu diketahui oleh manusia, ujian terhadap manusia tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Seorang mukmin dengan iman dan baik-sangkanya terhadap pengaturan Sang Mahakuasa, dia mengetahui bahwa semua yang terjadi ini tidak ada yang sia-sia dan tanpa tujuan. Manusia keliru kalau berpikir bahwa peristiwa-peristiwa alam ini terjadi di luar kendali dan pengaturan Ilahi. Manusia juga salah apabila dia berpikiran bahwa Allah Swt berkehendak untuk menyengsarakan hamba-hamba-Nya. Allah Swt adalah Zat yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang. Berbagai fenomena dan peristiwa menyakitkan di alam semesta ini adalah sebuah keharusan yang sangat bermaslahat. Akan tetapi, karena kita

mempunyai pengetahuan yang terbatas, kita tidak bisa memahami maslahat dan hikmah yang terkandung di baliknya. Sebagai konsekuensinya, kita merasa keberatan dan protes atas segala musibah dan bencana yang terjadi. Seandainya kita mengetahui masalah-masalah universal berkaitan dengan alam semesta, kita pun akan berpikiran bahwa semua ini memang harus terjadi, karena hal ini adalah sebuah keniscayaan dari sebuah pengaturan yang sarat keadilan dan kebijaksanaan. Keyakinan pada kebijaksanaan dan pengaturan Ilahi yang penuh keadilan akan menjadikan manusia sabar dan tabah dalam menghadapi beragam musibah dan peristiwa yang menyakitkan. Semakin tinggi tingkat keyakinan kita pada pengaturan dan kebijaksanaan Ilahi, maka kita akan semakin mendapat ketenangan dan ketenteraman di

p: 367

dalam hidup. Bayangkan, seorang anak yang jatuh sakit di tengah keluarga dan sang ibu mencegahnya untuk menyantap makanan-makanan yang lezat. Dalam situasi seperti ini dapat dipastikan bahwa si anak akan merasa kesal dan jengkel, bahkan terkadang menangis. Dia mengira bahwa si ibu tidak lagi menyayanginya karena tidak memberikan makanan yang diminta. Apalagi ketika si ibu kemudian memberikan padanya obat yang pahit, maka dia akan menyangka bahwa si ibu sedang menghukum dan menyiksanya. Hal ini disebabkan dia masih belum memahami apa yang sebenarnya menjadi maksud dan niat sang ibu. Akan tetapi, ketika dia sudah mulai dewasa, maka dia akan segera mengerti bahwa minum obat yang pahit itu adalah keharusan bagi kesembuhannya, dan apa yang dilakukan oleh sang ibu itu justru berangkat dari rasa cinta dan kasih sayang terhadap Sang anak. Ketika itu barulah dia menyadari akan kebaikan sang ibu, dia akan memuji, berterima kasih dan tidak enggan untuk meminum obat yang paling pahit sekalipun. Hal ini dapat kita saksikan, apabila anak semakin besar, dia tidak lagi sulit untuk diperintah menelan obat yang pahit. Dia akan lebih mudah untuk meminumnya tanpa harus dipaksa. Bahkan dia akan siap untuk meminum obatnya sendiri hanya dengan anjuran sang ibu, karena dia sudah memahami bahwa apa yang menjadi keputusan ibu adalah baik bagi dirinya.

Hal ini juga dapat disaksikan dalam perilaku anak yang semakin besar, dia tidak lagi marah bila diperintah dan diperintahkan oleh kedua orang tua akan sesuatu, karena dia mulai menyadari bahwa bimbingan dan peringatan orang tua adalah untuk kebaikan dirinya. Demikian pula halnya dengan murid-murid yang mendapat tugas-tugas berat dari sang guru. Sebagian mereka merasa jengkel dan kesal apabila mendapat pekerjaan rumah yang berat

p: 368

karena berpikiran bahwa si guru telah memberikan hukuman kepada mereka. Akan tetapi, apabila kemudian mereka akhirnya lulus dalam ujian dan mendapat

penghargaan, mereka justru akan berterima kasih kepada si guru yang selalu memberikan tugas-tugas berat yang membuat mereka memahami pelajaran dengan baik. Demikian pula halnya dengan orang-orang mukmin yang percaya dan beriman pada pengaturan Sang Khalik yang Maha Pengasih dan Bijaksana. Mereka telah

meyakini bahwa apa yang terjadi di alam keberadaan ini adalah bermuara pada kebijaksanaan dan kasih-sayang- Nya yang tak terbatas. Oleh sebab itu, mereka tidak mudah mengeluh, cemas dan gelisah, karena mereka telah menyadari bahwa segala yang terjadi adalah apa yang telah dikehendaki dan diperhitungkan oleh Zat yang Maha Pengasih lagi Mahabijaksana. Dengan keyakinannya, mereka memahami bahwa semua yang terjadi ini adalah yang terbaik dan sudah sesuai dengan hikmah tertinggi, hanya saja mereka—karena keterbatasan ilmunya—tidak memahami secara menyeluruh hikmah dan maslahat di dalamnya. Oleh sebab itu, apabila kita selalu meningkatkan makrifat kita kepada Allah Swt dan membenahi pemahaman kita yang keliru tentang Zat yang Maha segala-galanya itu, kita akan selalu merasa tenang dan tenteram dalam hidup. Kita dapat menjalankan apa yang menjadi tugas dan taklif kita pada saat terjadinya berbagai macam musibah dan bencana. Umpamanya, apabila terjadi gempa bumi, kita akan sibuk untuk membantu, menolong dan menyelamatkan masyarakat yang tertimpa musibah. Dengan demikian, maka kita selain akan menjadi insan-insan yang mampu melaksanakan tugas serta taklifnya, juga menjadi manusia-manusia yang mempunyai ketenangan serta ketenteraman batin dalam menghadapi berbagai macam musibah dan bencana.

p: 369

Pemahaman dan keyakinan yang benar ini akan menjauhkan kita dari kegelisahan dan kecemasan yang tidak perlu, selain tetap menjaga kita bersemangat untuk

melaksanakan berbagai macam tugas dan tanggung jawab. Bahkan kita akan selalu hadir dan siap untuk berkorban dan membantu orang lain. Sebaliknya, apabila kita mempunyai pemahaman dan keyakinan yang keliru, kita akan selalu cemas dan gelisah. Kita akan kehilangan spirit dan jatuh dalam keputusasaan yang menjadikan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu, Imam Ali as berpesan kepada kita untuk memiliki kesabaran dan keyakinan yang benar. Dengan keduanya, kita tidak bisa dikuasai dan dikendalikan oleh berbagai musibah dan cobaan, bahkan musibah dan cobaan itu justru akan menjadi anak-anak tangga yang mengantar kita menuju kesempurnaan hamba di sisi Rabbnya.[]

p: 370

43-KEUTAMAAN DAN KERENDAHAN

Point

مَنْ تَرَکَ الْقَصْدَ جَارَ، و نِعْمَ حَظُّ الْمَرْءِ الْقَنُوعُ، وَ مِن شَرِّ مَا صَحِبَ المَرْءَ الْحَسَدُ، وَ فِی القُنُوطِ التَّفْرِیطُ، وَالشُّحُ یَجْلِبُ.

Barangsiapa yang meninggalkan sikap adil dan moderat, dia akan berbuat kezaliman. Sebaik-baik harta yang dimiliki oleh manusia adalah sifat kanaah (merasa cukup dan pandai berterima kasih atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt). Seburuk- buruk teman adalah teman yang bersifat iri hati. Di dalam

keputusasaan terdapat tafrith (meninggalkan kewajiban). Dan kekikiran pasti akan mendatangkan cercaan. Sabda Ahlulbait as adalah cahaya mata, kekuatan jiwa dan spirit bagi orang mukmin. Sampai sejauh ini, berkat taufik Ilahi, kita bersama telah menerangi dan memperkuat jiwa, hati dan agama dengan sabda-sabda Maula al-Muttaqin Imam Ali bin Abi Thalib as sesuai dengan kapasitas wujud diri. Kita telah mendapat banyak nasihat, pesan dan hikmah dari samudera tak bertepian itu. Kini kita masih akan memasuki bagian lain dari untaian mutiara yang keluar dari lisan suci beliau.

Pada bagian wasiat ini beliau berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan sikap adil dan moderat, maka dia akan berbuat .

p: 371

kezaliman.” Setelah kalimat ini, beliau mengungkapkan beberapa nasihat lain yang dapat menjadi pengembangan dari nasihat yang pertama. Perlu digarisbawahi, beberapa kalimat berikut beliau, tidak dimuat di dalam kitab Nahj al-Balaghah, karena Marhum Sayid Radhi menukil sabda beliau secara pilihan. Akan tetapi, di dalam nukilan Bihar al-Anwar beberapa kalimat itu ada. Sebelum masuk pada penjelasan, perlu kiranya sedikit dibahas tentang maksud kata i'tidal yang berarti sikap adil, sikap tengah dan sikap moderat.

Sikap I'tidal Adalah Tolok Ukur Keutamaan

Kaidah berikut ini sangat populer di tengah masyarakat bahwa khair al-umuri awsathuha, sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Di dalam filsafat akhlak, ada sebuah kaidah dari para filsuf Yunani kuno yang juga diterima oleh para filsuf Islam. Kaidah itu berbunyi: “Setiap keutamaan akhlak dibatasi oleh dua kerendahan akhlak; yang satu tafrith dan yang lain adalah ifrath.” Di dalam kitab-kitab akhlak Islam, kaidah ini juga menjadi tolok ukur perbuatan- perbuatan akhlaki. Dalam kitab akhlak Jami' al-Sa'adat,(1) sebagaimana kitab-kitab akhlak lainnya juga mengukuhkan prinsip ini bahwa setiap keutamaan dan perbuatan terpuji dibatasi oleh dua kerendahan, yaitu batasan tafrith dan batasan ifrath. Dengan demikian, ifrath dan tafrith akan menyebabkan

lahirnya kerendahan, sedangkan sikap i'tidal, tengah-tengah atau moderat akan melahirkan keutamaan.

Di dalam bahasan-bahasan filsafat akhlak, ungkapan ini dipaparkan sebagai sebuah kaidah dan rumusan. Yang menjadi pertanyaan, apakah kaidah ini bersifat kulli (universal)? Apakah ifrath dan tafrith pada setiap amalan itu tercela dan sikap i'tidal terpuji? Apa dalil rasional yang bisa diberikan berkaitan dengan terpujinya sikap i'tidal, sementara ifrath dan tafrith selalu tercela? Dalil apa yang dapat menjadikan tolok

p: 372


1- 97 Jami' al-Sa'adat, juz 1, hal.61.

ukur ini diterima? Apakah kaidah ini bersandar pada sebuah induksi? Atau bersandar pada sebuah dalil akli? Tentu, di sekitar masalah ini terdapat banyak bahasan yang tidak bisa dipaparkan semua di sini. Namun, secara umum kaidah ini telah diterima dan sangat popular. Dengan kata lain, termasuk dalam musallamat dan masyhurat. Oleh sebab itu, mereka yang berkeyakinan bahwa masalah-masalah akhlak adalah hal-hal yang bersandar pada masyhurat, maka mengangkat pertanyaan ini tidaklah pada tempatnya, karena memang akhlaqiyyat adalah hal-hal yang bertumpu pada masyhurat. Nah, dengan pengertian yang seperti ini, proposisi ini termasuk dalam proposisi masyhurat, maka tidak lagi diperlukan untuk dilakukan pembuktian dan membawakan dalil-dalil, karena semua telah sepakat bahwa premis-premis yang bersifat masyhurat dapat digunakan dalam masalah-masalah akhlak. Singkat kata, bahasan ini adalah bahasan akhlaki, dan kaidah di atas merupakan kaidah masyhurat, maka tidak ada yang perlu dibahas lebih jauh. Akan tetapi, bagi mereka yang berkeyakinan bahwa dalam masalah-masalah

akhlaki juga harus disandarkan pada dalil-dalil rasional yang premis-premisnya bersifat aksiomatis, maka pembahasan akan sedikit rumit, karena proposisi itu harus dibuktikan dengan dalil rasional yang mendatangkan keyakinan, yaitu bahwa sikap moderat adalah tolok ukur atas keutamaan dan ifrath-tafrith adalah tolok ukur atas kerendahan. Sejak berabad-abad yang lalu Sebelum Masehi, hal ini telah menjadi pembahasan di kalangan para filsuf Yunani: apakah sikap moderat dan tengah-tengah selalu baik dan terpuji, sementara ifrath dan tafrith selalu buruk dan tercela? Umpamanya, apakah dalam hal mencari ilmu yang terbaik itu

adalah sikap tengah-tengah, sedangkan ifrath dan tafrith di dalamnya buruk? Atau, semakin banyak manusia menuntut ilmu, justru semakin baik? Sebagian tidak menerima kaidah ini,

p: 373

dan menjadikan contoh “mencari ilmu” sebagai sesuatu yang membatalkan kaidah tersebut, yakni sikap "tengah-tengah” dan i'tidal ternyata tidak selalu baik dan terpuji. Mereka secara tegas berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan ifrath dalam mencari dan menuntut ilmu sebagai perbuatan yang buruk dan tercela.” Tentu, ada banyak jawaban yang diberikan kepada kelompok ini, dan bukan di sini tempat untuk dibahas.

Bagaimanapun juga, kaidah ini dengan penafsiran yang benar masih bisa dibuktikan kebenarannya secara burhani (dengan dalil-dalil rasional). Penafsiran tersebut memerlukan beberapa mukadimah yang bisa Anda simak berikut ini.

Di dalam diri manusia terdapat beberapa kekuatan yang dalam tataran amal bisa saling bertabrakan. Kenyataan ini disadari oleh setiap manusia dan dia bisa membuktikannya sendiri bahwa di dalam dirinya terdapat beragam kecenderungan yang kesemuanya tidak dapat disatukan atau dikumpulkan dalam tataran praktik. Misalnya, seseorang yang sedang ingin mencari ilmu dan melakukan penelitian, dia tidak bisa menggabungkan hal itu dengan keinginan lainnya seperti beribadah dan bercengkerama dengan keluarga. Tak dipungkiri, semua amalan di atas adalah baik dan terpuji, tetapi dalam tataran praktik tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Ketika seseorang sedang melakukan salat, tentu dia tidak bisa membaca buku, atau ngobrol dan berbincang-bincang dengan keluarga dan rekan kerja, karena semua aktivitas itu saling bertentangan dan tidak bisa disatukan. Manusia tidak mempunyai pilihan kecuali satu dari dua hal, yaitu apakah dia membagi waktunya untuk beberapa aktivitas atau dia habiskan hidupnya untuk satu aktivitas saja dan meninggalkan seluruh pekerjaan yang lain. Contoh lain, pada zaman dahulu, ada orang-orang yang menghabiskan umurnya untuk tinggal di gereja dan sinagog hanya untuk beribadah dan meninggalkan seluruh aktivitas yang lain. Mereka mengira bahwa seluruh keutamaan hanya tersimpul dalam ritual-ritual ibadah dan

p: 374

itulah yang terpenting dalam kehidupan. Nah, pertanyaan yang harus dijawab adalah: apakah manusia harus melakukan satu pekerjaan dan meninggalkan segala aktivitas yang lain, ataukah manusia harus melakukan pembagian waktu untuk beberapa aktivitas yang diperlukan dalam kehidupan? Sirah dan sejarah hidup Rasulullah saw juga para Imam as menunjukkan bahwa kehidupan mereka tidak terbatas pada satu dimensi saja. Ayat dan riwayat juga mengatakan bahwa keutamaan bagi manusia tidak terbatas pada satu jenis aktivitas saja. Akan tetapi, agama mengajarkan kepada kita serangkaian tugas, taklif dan tanggungjawab yang bermacam-macam, seperti salat, amar makruf nahi mungkar, belajar dan mengajar, berbagai aktivitas sosial-politik, berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keluarga dan pendidikan anak serta masih banyak lagi lainnya. Dengan demikian, menurut Islam kita tidak bisa membatasi kehidupan pada satu aktivitas saja,

seperti hanya untuk beribadah atau menuntut ilmu saja lalu meninggalkan segala macam pekerjaan dan tanggung jawab lainnya. Islam selalu menolak kehidupan yang bersifat satu sisi dan satu dimensi. Keterlibatan seseorang dalam berbagai aktivitas adalah sebuah keharusan dalam kehidupan manusia, dan seseorang harus berkecimpung dalam berbagai aktivitas ibadah, budaya, sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya.

Yang perlu diwaspadai di sini adalah bahwa jangan sampai ada sebuah aktivitas atau beberapa aktivitas yang dilakukan secara berlebihan (ifrath) atau kurang proporsional (tafrith), karena kedua sikap tersebut akan mengubah perbuatan yang baik dan terpuji menjadi buruk dan tercela. Umpamanya, ritual salat.

Ia mempunyai batasan dan porsinya, yang apabila melebihi batasannya, maka akan berakibat pada tidak terlaksananya beberapa tugas, kewajiban dan tanggung jawab lainnya, dan akan membuatnya tercela. Oleh sebab itu, memberikan waktu secara berlebihan untuk salat-salat mustahab akan memunculkan predikat yang tidak baik. Karenanya sikap

p: 375

moderat, i'tidal dan tengah-tengah harus diambil agar sebuah aktivitas positif tidak terseret pada ifrath dan tafrith yang akan mendatangkan predikat buruk. Dengan kata lain, sebuah aktivitas positif harus dilakukan secara proporsional agar tidak kurang dari batasannya atau berlebihan. Dengan demikian, menjaga sikap i'tidal dan moderat selalu dapat menjadi tolok ukur keutamaan, karena manusia tidak hanya mempunyai satu tugas saja. Untuk lebih jelasnya, contoh berikut ini mungkin akan sangat membantu.

Jihad adalah salah satu taklif Ilahi yang sangat bernilai dan terpuji yang sepertinya mendapat pengecualian dari kaidah i'tidal. Karena ketika sebuah situasi dan kondisi telah mewajibkan kita untuk berjihad, maka kita harus meninggalkan semua aktivitas dan fokus serta berkonsentrasi padanya. Dengan kata lain, ada suasana perang tertentu yang mengharuskan kita untuk sementara waktu terlibat secara penuh dan menyeluruh dalam jihad. Pada saat itu jihad menempati prioritas utama, karena memang tidak mungkin untuk melakukan aktivitas lainnya. Tentu, ketika suasana sudah kembali normal, masyarakat bisa kembali pada berbagai macam aktivitas yang digelutinya sambil menjaga sikap moderat dan i'tidal agar terhindar dari ifrath dan tafrith. Dengan demikian, jihad pun harus sesuai dengan kaidah i'tidaldan batasannya boleh jadi adalah waktu dan kemampuan. Misalnya, seberapa banyak kekuatan yang harus dikerahkan untuk jihad, atau berapa lama waktu yang telah ditentukan untuknya. Dengan demikian maka jihad pun memiliki batasan dan porsinya sendiri.

Secara umum, ketika seseorang berhadapan dengan berbagai macam aktivitas, kewajiban dan tanggungjawab yang saling bertabrakan, dan tidak bisa dia lakukan sekaligus secara bersamaan, maka untuk batas waktu tertentu dia bisa fokus dan berkonsentrasi untuk satu pekerjaan. Setiap pekerjaan

p: 376

tentu memiliki batasan dan waktunya, sehingga ketika dirasa cukup, maka pekerjaan itu harus segera ditinggalkan agar tidak keluar dari batas proporsionalnya.

Alhasil, sebagai kesimpulan, bisa diterima bahwa sikap i'tidal dan tengah-tengah adalah tolok ukur bagi perbuatan dan sifat yang terpuji agar tidak jatuh dalam sikap ifrath-tafrith yang membuat pekerjaan atau sifat tersebut menjadi buruk dan tercela.

Pengertian Batasan l'tidal

Kini harus ditentukan batasan yang diinginkan” atau batasan yang proporsional. Apabila dalam amal perbuatan dan taklif dituntut untuk dijaganya batasan i'tidal, apa yang dimaksud dengan batasan itu, apa yang dapat menjadi neraca bagi kuantitas dan kadarnya? Tentu, beragamnya aktivitas dan taklif, juga kapasitas serta kemampuan berbeda antara satu individu dengan lainnya, tidak mengizinkan kita untuk menentukan batasan tertentu, untuk kemudian kita ungkap bahwa inilah batasan dan ukuran i'tidal atas beragam aktivitas. Oleh sebab itu, menentukan batasan i'tidal bukanlah pekerjaan yang mudah dan memerlukan pembahasan dan kajian yang mendalam. Umpamanya, batasan i'tidal untuk makan adalah jangan makan sampai tertumpah dari mulutmu dan jangan tidak makan sampai tubuhmu menjadi lemas! Namun batasan ini tidak berdasar pada sebuah penelitian dan kajian yang mendalam sehingga darinya bisa diperoleh kadar yang paling

proporsional bagi ukuran makanan i'tidal yang tidak kurang dan tidak juga berlebihan.

Tak diragukan, menentukan batasan yang seperti itu tidaklah tepat selain tidak mungkin juga mengingat karena kapasitas, aktivitas dan selera manusia tidak sama dan berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada kadar makanan yang dikonsumsi, tetapi serangkaian faktor

p: 377

tersebut tidak pernah tetap pada satu orang apalagi antara satu manusia dengan yang lain. Oleh sebab itu, mau tidak mau harus dikatakan bahwa bagi setiap manusia ada ukuran proporsional tersendiri dan hal itu bukanlah sebuah fenomena kuantitas yang selalu tetap dan tidak berubah sehingga bisa disebutkan inilah ukuran proporsional makanan bagi setiap manusia yang apabila kurang atau lebih maka akan keluar dari batasan i'tidal yang mengakibatkan seseorang bisa

diberi predikat “kurang makan” atau “terlalu banyak makan”. Bahkan mereka yang meyakini kaidah i'tidal dalam etika ini pun tidak pernah memberikan kadar dan ukuran tetap pada batasan i'tidal dan menganggap pemberian batasan dan ukuran yang tetap sebagai sebuah kesalahan. Yang dimaksud dengan batasan i'tidal bukanlah kuantitas dan kadar tertentu. Maksudnya adalah pada setiap perbuatan baik yang kita lakukan, usahakan jangan sampai sedemikian larut di dalamnya sehingga berkonsekuensi pada terabaikannya tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang lain. Dari sisi lain, usahakan jangan sampai apa yang dilakukan sedemikian sedikit dan tidak berarti, sehingga tidak bisa memberikan pengaruh sebagaimana yang diharapkan.

Alhasil, kaidah i'tidal secara umum bisa diterima dan dapat menjadi tolok ukur dan neraca bagi keutamaan dan nilai-nilai akhlaki. Tentu, kaidah ini baru bisa berfungsi apabila batasan i’tidal itu telah diketahui, namun menentukan batasan i'tidal bukanlah perkara yang mudah. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menentukan batasan i'tidal. Pada sebagian kasus, dalil rasional bisa dijadikan sandaran untuk menentukan batasan i'tidal; pada sebagian kasus, penelitian ilmiah dan eksperimen bisa dijadikan sandaran; dan pada sebagian kasus lain, harus juga digunakan dalil- dalil nakli dan ta'abbudi (tekstual). Semakin banyak sandaran

yang digunakan dan dilibatkan, maka tingkat akurasinya pun akan semakin tinggi. Umpamanya, bagi usia tertentu, dapat

p: 378

ditentukan ukuran dan takaran makanan yang dibutuhkan oleh anak-anak berdasar pada penelitian-penelitian medis dan kesehatan sehingga tidak menimbulkan bahaya. Nah, dalam kasus-kasus seperti ini, sudah tentu ilmu pengetahuan sangat membantu dalam menentukan batasan i’tidal. Akan tetapi, pada beberapa kasus yang lain, ilmu pengetahuan sama sekali tidak bisa membantu dan harus merujuk pada dalil-dalil akli dan nakli (rasional dan tekstual); sebagai misal, ukuran

waktu ibadah yang dibutuhkan oleh manusia, pastinya tidak bisa dipahami melalui pembuktian-pembuktian ilmiah. Satu-satunya jalan yang dapat menentukan batasan i'tidal di dalam ibadah adalah wahyu dan syariat. Singkat kata, i'tidal bisa menjadi ukuran keutamaan, sekalipun penentuan batasannya bukan perkara mudah. pada umumnya, batasan i'tidal tidak bisa ditentukan dengan bersandar pada sensus dan angka-angka. Kaidah ini pada hakikatnya adalah sebuah kaidah yang sempurna dan hampir diterima secara mutlak, tetapi masalah penentuan batasan dan ukuran proporsionalnya sangatlah sulit dan tidak mudah.

Sikap dan Perilaku l'tidal Sangat Dianjurkan Di Dalam Al-Quran dan Hadis

Di celah-celah riwayat yang sampai dari para Imam maksum as, kita akan menemukan riwayat-riwayat yang mengajak kita untuk bersikap moderat dalam hal ibadah dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as berpesan kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as:

اِقْتَصِدْ یَا بُنَیَّ فِی مَعِیشَتِکَ وَ اقْتَصِدْ فِی عِبَادَتِکَ

Bersikaplah moderat (jangan berlebihan) dalam hal ma'isyah (pemenuhan kebutuhan hidup) dan ibadah. (1)

p: 379


1- 98 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 71, hal.214.

Pada riwayat yang lain, beliau menilai sikap moderat sebagai akhlaknya orang yang beriman:

اَلْمُؤْمِنُ سِیرَتُهُ الْقَصْدُ

Orang beriman itu berperilaku moderat dan tidak berlebihan.(1)

Di dalam al-Quran juga ada ungkapan-ungkapan yang mengisyaratkan makna sikap moderat, seperti nasihat Luqman kepada putranya: Waqshid fi masyyik. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan.(2)

Kata qashd dan iqtishad yang berasal dari satu akar kata, yang di dalam bahasa Arab berarti sikap moderat dan tengah-tengah. Kendati bagi kata qashd terdapat makna-makna lain, seperti menginginkan dan menuju. Akan tetapi, di antara semua makna kata qashd, makna sikap moderat dan tengah-tengah terhitung sebagai makna asli baginya. Diantara nasihat yang diberikan oleh Luqman al-Hakim as kepada putranya adalah imbauan dan anjuran agar anaknya mengambil jalan

tengah dan sikap moderat dalam (perjalanan hidupnya. Memang, perlu dikaji lebih jauh, apa kira-kira yang dimaksud dari kata masyyik pada ayat di atas. Apakah yang dimaksud adalah sekadar “berjalan" fisik biasa ataukah mencakup seluruh perilaku hidup manusia? Tentu, jawabannya memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun yang pasti, Luqman as telah berpesan kepada anaknya untuk bersikap moderat dan tengah-tengah. Yakni, jagalah sikap i'tidal di dalam berjalan, jangan terlalu cepat dan terburu-buru, dan jangan pula terlalu lamban sehingga banyak waktu akan terbuang dan banyak pula pekerjaan lain yang terabaikan.

Sedemikian penting sikap i'tidal, sehingga untuk sekadar urusan berjalan saja perlu diterapkan sikap i'tidal.

p: 380


1- 99 Muhammad Raysyahri, Mizan al-Hikmah, juz 8, hal.139.
2- 100 QS. Luqman (31]:19.

Demikian pula halnya dalam hal berbicara, di dalam surah tersebut Luqman juga menasihatkan (yang maknanya):

“Janganlah engkau angkat suaramu terlalu tinggi sehingga dapat mengganggu orang lain, dan jangan pula terlalu pelan sehingga maksud tak tersampaikan serta lawan bicara tak dapat mendengar. Sesuaikanlah tinggi dan rendahnya suaramu dengan mempertimbangkan jarak antara engkau dan lawan bicaramu.”

Yang menjadi batasan i'tidal dalam contoh di atas adalah penilaian akal dan nalar. Akal dan nalar mengatakan bahwa salah satu tujuan utama berbicara adalah menyampaikan sebuah maksud kepada lawan bicara, dan berdasar pada tujuan tersebut seseorang bisa mengukur sedemikian rupa tinggi-rendah suaranya sehingga apa yang disampaikan dapat didengar oleh lawan bicara. Sampaikanlah maksudmu dengan suara yang tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah.

Dan batasan i'tidal yang seperti ini tentu tidak membutuhkan alat ukur khusus tertentu.

Kata muqtashid juga diambil dari akar kata yang sama dengan qashd dan iqtishad. Kata ini juga berarti sikap moderat dan tengah-tengah. Di dalam al-Quran disebutkan: Wa minhum ummatun muqtashidatun wa katsirun minhum sa'a ma ya’malun. Di antara mereka (Ahlulkitab) ada golongan yang moderat (golongan yang bersikap tengah-tengah) dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang buruk perbuatannya. (1) Di tempat lain, al-Quran mengkhithab Rasulullah saw:Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (janganlah engkau meninggalkan infak dan bantuan) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, maka kamu akan dicela dan tidak bisa melakukan apa-apa.(2)

p: 381


1- 101 QS. al-Maidah [53:66.
2- 102 QS. al-Isra' [17]:29.

Kedua-dua perilaku dalam berinfak tercela dan tidak terpuji. Jangan terlalu berlebihan dalam berinfak sehingga tidak ada yang tersisa bagi dirimu dan jangan pula terlalu kikir sehingga tidak ada orang yang pernah merasakan pemberianmu.

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa ayat-ayat al-Quran juga menjadikan sikap moderat sebagai sebuah kaidah dalam keutamaan-keutamaan akhlak sekaligus menjadi neraca untuk menilai mana sikap yang baik dan terpuji dan mana pula sikap yang buruk dan tercela. Kaidah i'tidal ini sepertinya telah menjadi sebuah hakikat yang diterima secara umum dan tak terbantahkan.

Antara Sikap moderat dan kezaliman

Pada ayat-ayat awal surah al-Nahl, telah disebutkan beberapa nikmat Ilahi, Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan yang kamu tidak mengetahuinya.(1) Di dalam menjelaskan poin-poinnya, al-Quran terkadang menggunakan pola “berlari”, sebagaimana juga dalam ayat di atas. Di dalam pola ini, pembicara biasanya terlebih dahulu beralih pada sebuah makna dan bahasan yang lebih tinggi dan lebih penting. Di awal ayat, Allah Swt berfirman, Kami telah menciptakan bagi kalian sarana untuk menempuh jarak- jarak yang jauh di permukaan bumi; Kami telah tundukkan bagi kalian hewan-hewan berkaki empat untuk kalian tunggangi dan memindahkan kalian dari satu kota ke kota yang lain. Kemudian, Allah Swt berkata, Dan merupakan tanggung jawab Allah (untuk menunjukkan) jalan yang lurus; dan di antara jalan-jalan, ada pula yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah

p: 382


1- 103 QS. al-Nahl (16):8.

Dia akan memberi petunjuk kalian semuanya (kepada jalan yang benar). (1)

Yang dimaksud dengan jalan lurus di atas adalah jalan tengah dan moderat, yaitu sebuah jalan yang akan mengantar Anda sampai kepada tujuan.

Di awal ayat, Allah Swt berbicara tentang menempuh perjalanan panjang dan jauh dengan binatang-binatang berkaki empat, lalu pada ayat berikutnya Allah Swt

memahamkan kepada sekalian hamba-Nya bahwa seluruh kehidupan pada hakikatnya adalah sebuah perjalanan dan Allah Swt telah menunjukkan jalan tengah yang lurus kepada mereka. Pastinya, Allah Swt tidak akan turun langsung untuk menunjukkan kepada kita jalan dari kota fulan menuju kota fulan, oleh sebab itu, ketika Allah berkata:

Wa alallahi qashd al-sabil (dan merupakan tanggung jawab Allah untuk menunjukkan jalan yang lurus), maksudnya adalah bahwa Allah akan menunjukkan jalan kehidupan yang benar sehingga manusia dapat meraih kebahagiaan. Akan tetapi, sangat disayangkan sekali, sebagian meninggalkan jalan tengah dan mengambil jalan yang bengkok dan menyimpang. Di dalam ayat ini qashd dihadapkan pada jaur, yang artinya: Apakah yang dipilih itu adalah jalan tengah-tengah dan moderat (i'tidal), atau bila tidak, maka jalan yang diambil adalah jalan kezaliman dan melampaui batas.

Karena, selain jalan yang lurus dan mustakim, ada banyak jalan yang bengkok dan menyimpang. Sebagaimana ketika seseorang pergi menuju sebuah kota dari kota tertentu, dia selalu harus waspada pada arah yang benar agar tidak keliru, demikian pula halnya dalam perjalanan kehidupan, manusia harus mengikuti jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah Swt agar tidak mengambil jalan jaur, kezaliman dan melampaui batas.

p: 383


1- 104 QS. al-Nahl (16):9.

Di dalam ayat ini, kata qashd dihadapkan pada kata jaur, sebagaimana hal Imam Ali as dalam pesannya melakukan hal yang sama, beliau berkata, “Man tarakal qashda jara. Barangsiapa yang meninggalkan sikap adil dan moderat, maka dia akan berbuat kezaliman. Baik dalam ayat al- Quran maupun dalam ucapan Imam Ali as telah ditegaskan, barangsiapa yang meninggalkan jalan tengah, maka dia akan jatuh dalam kesesatan, kezaliman atau perilaku yang melampaui batas.

Pada bagian pesan berikutnya, Imam Ali as memberikan beberapa contoh penyimpangan dari jalan i'tidal seraya berkata, “Orang yang beruntung adalah orang yang berjiwa kanaah.” Kanaah adalah batasan i'tidal dari sifat merasa kurang secara berlebihan. Manusia yang berjiwa kanaah adalah manusia yang hanya menuntut apa yang menjadi kebutuhannya secara proporsional sehingga tidak kurang dan tidak juga berlebihan. Beliau melanjutkan, "Seburuk-buruk teman adalah yang bersifat iri hati.” Karena sikap iri hati dan hasud adalah sikap yang melampaui batas i'tidal. Allah Swt telah menentukan bagian rezeki masing-masing hamba-Nya, namun seorang yang berjiwa iri hati merasa tidak puas dengan bagiannya dan mulai melirik bagian orang lain. Dia selalu ingin memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan dia juga menginginkan apa-apa yang dimiliki oleh orang lain bagi dirinya; dia juga tidak bisa melihat kemapanan orang lain. Pada hakikatnya, orang yang hasud telah terkena semacam penyakit tafrith dalam hak dan tentu hal ini sudah keluar dari batasan i'tidal, dan dapat dipastikan telah jatuh dalam jalur kezaliman dan “melampaui batas”.

Sikap l'tidal dalam Angan-Angan dan Cita-Cita

Berkaitan dengan masa depan, kejiwaan manusia terbagi menjadi tiga. Terkadang manusia jatuh dalam khayalan dan fantasi yang berlebihan tentang masa depannya, sehingga

p: 384

seakan hidup di alam khayal dan angan-angan. Contohnya, dia membangun sebuah istana di alam pikir, menghiasinya, memiliki jabatan-jabatan tinggi, mempunyai banyak harta dan modal dan seterusnya. Padahal tidak satu pun dari apa yang dikhayalkan itu benar-benar telah dimilikinya. Orang yang berakal sehat tentu tidak akan mempunyai pemikiran yang seperti ini, dan bila dia melihat hal ini pada orang lain, tentu dia akan merasa heran dan tak percaya, dia akan bergumam di

hati, Orang tersebut adalah orang yang tidak stabil jiwanya.

Ada pula jenis manusia yang sama sekali tidak berani mengambil keputusan, bahkan dia tidak mau menggunakan pemikiran dan ide baru yang melintas di otaknya. Tidak ada sedikitpun harapan akan keberhasilan dan kesuksesan dalam pemikiran manusia jenis ini, sehingga dia termotivasi untuk melakukan sesuatu. Mereka pada hakikatnya adalah orang-orang mati yang kebetulan karena bertempat tinggal di tengah orang-orang hidup maka mau tidak mau juga bergerak, namun gerak mereka sepenuhnya dikendalikan oleh orang lain dan tidak pernah mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri.

Dua kelompok di atas adalah kelompok yang berada pada sisi ifrath dan tafrith, sementara garis i'tidal adalah ketika seseorang mempunyai cita-cita yang masuk akal bagi masa depan dengan melihat situasi dan kondisi, bersikap 'realistis dan bertawakal kepada Allah Yang Maha Memberi anugerah. Dia mengambil keputusan sesuai realitas hukum yang berlaku di dunia. Orang seperti ini tidak sedemikian larut dalam fantasi dan khayalnya sehingga tidak akan pernah menggapai cita-cita

dan selalu jauh dari realitas. Dia juga tidak sedemikian putus harapan sehingga tidak berani melangkah dan mengambil keputusan; dia selalu berjalan pada jalur i'tidal dan "tengah- tengah” yang jauh dari sikap ifrath dan tafrith. ()

p: 385

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109